HUKUM PERDATA dalam pengatu (7)

HUKUM PERDATA
1.

PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur
tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan
masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata
dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan
hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur
kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum
perdata
formal
mengatur
bagaimana
cara
seseorang
mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.

2.


KONDISI HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Kondisi Hukum Perdata dewasa ini di Indonesia dapat
dikatakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna.
Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:

1.

Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat Bangsa
Indonesia, karena negara kita Indonesia ini terdiri dari berbagai suku
bangsa.
2. Faktor Hostia Yuridis yang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S.
yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu:
1.
Golongan Eropa dan yang dipersamakan
2.
Golongan Bumi Putera (pribumi / bangsa Indonesia asli) dan
yang dipersamakan.
3.
Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).


Pasal 131.I.S. yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi
masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas.
Adapun hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu:
1. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Hukum
Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum
Perdata dan Hukum Dagang di negeri Belanda berdasarkan azas
konkordansi.
2. Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) dan yang dipersamakan
berlaku Hukum Adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala
berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar Hukum Adat
tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan
rakyat.
3. Bagi golongan timur asing (bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum
masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan
Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukan

diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun
untuk beberapa macam tindakan hukum tertentu saja.
Pedoman politik bagi pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di
Indonesia ditulis dalam pasal 131 (I.S) (Indische Staatregeling) yang

sebelumnya pasal 131 (I.S) yaitu pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang
pokok-pokoknya sebagai berikut:

1.
2.
3.

4.

5.

Hukum Perdata dan Dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta
Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana harus diletakan
dalam kitab Undang-undang yaitu di Kodifikasi).
Untuk golongan bangsa Eropa harus dianut perundang-undangan
yang berlaku di negeri Belanda (sesuai azas Konkordansi).
Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing (yaitu
Tionghoa, Arab, dan lainnya) jika ternyata bahwa kebutuhan
kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturanperaturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka.
Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka

belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama denagn
bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang
berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik
secara umum maupun secara hanya mengenai perbuatan tertentu
saja.
Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesai ditulis di dalam
Undang-undang. Maka bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum
yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.

Disamping itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk
bangsa Indonesia seperti:

Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933
no7.4).

Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) Staatsblad
1939 no 570 berhubungan denag no 717).

Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan
warga negara, yaitu:



Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912)



Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 no 108)



Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523)


98).

Ordonansi tentang pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no

3. JELASKAN SEJARAH DARI KITAB UNDANG – UNDANG
HUKUM PERDATA


Sebelum mengenal terlebih dahulu tentang sejarah hukum perdata,
alangkah baiknya mengenal terlebih dahulu apa itu hukum perdata.
Hukum perdata adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah
laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun
pergaulan keluarga. Menurut seorang pakar hukum Internasional yaitu
H. F. A Vollmar mengatakan bahwa hukum perdata adalah aturanaturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh
karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan - kepentingan
perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan
yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang - orang dalam
suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan
keluarga dan hubungan lalu lintas.[1] Hukum perdata dibedakan
menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal.
Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata
setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana
cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang
lain. Secara Umum, kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) yang dikenal dengan istilah Bugerlijk Wetboek (BW) adalah
kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Penyusunan
tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code

Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi
(Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum
yang paling sempurna. KUH Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah
panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan sebagian besar
bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain serta kodifisikasi
KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun diberlakukan di negeri
Belanda pada 1 Oktober 1838. pada tahun itu diberlakukan juga KUH
Dagang (WVK). Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud
Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van
Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia

tersebut juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang
diketuai Mr. C.J. scholten van Oud Haarlem lagi, tatapi anggotanya
diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. J. Van Nes. Akhirnya panitia
inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia
berdasarkan asas konkordasi yang sempit. Artinya KUH Perdata
Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata
Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia. Kodifikasi
KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui
Statsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. kiranya perlu

dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW)
Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J.
Van de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya,
ia juga turut berhasa dalam kodifikasi tersebut.[2] Disamping itu,
sejarah mengenai perkembangan hukum perdata yang berkembang di
Indonesia bahwa hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia
merupakan produk hukum perdata Belanda yang di berlakukan asas
Korkondansi yaitu hukum yang berlaku di negeri jajahan (Belanda)
yang sama dengan ketentuan yang berlaku di negeri penjajah. Secara
makrosubtansial, perubahan – perubahan yang terjadi pada hukum
perdata Indonesia:Pertama, pada mulanya hukumperdata Indonesia
merupakan ketentuan- ketentuan pemerintahan Hindia-Belanda yang
di berlakukan di Indonesia (Algemene Bepalingen van
Wetgeving/AB).Sesuai dengan stbll.No.23 tanggal 30 April 1847 yang
terdiri dari 36 pasal. Kedua, dengan konkordansi pada tahun 1848 di
undangkan KUH perdata (BW) oleh pemerintah Belanda.Di samping
BW berlaku juga KUHD (WvK) yang di atur dalam stbl.1847 No.23.
Dalam Perspektif sejarah,hukum perdata yang berlaku di Indonesia
terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka
dan periode setelah Indonesia Merdeka. Pertama, Sebelum Indonesia

merdeka sebagaimana negara jajahan, maka hukum yang berlaku di
Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Hal yang sama dengan
hukum perdata. Hukum perdata yang di berlakukan bangsa belanda
untuk Indonesia mengalami adopsi dan penjalanan sejarah yang
sangat panjang. Pada mulanya hukum perdata belanda di rancang
oleh suatu panitia yang di bentuk tahun 1814 yang di ketuai oleh
Mr.J.M Kempers (1776 – 1824).Tahun 1816,Kempers menyampaikan
rencana kode hukum tersebut pada pemerintah Belanda di dasarkan
pada hukum Belanda kuno dan di beri nama Ontwerp Kempers.
Ontwerp Kempers ini di tantang keras oleh P.Th.Nicolai,yaitu anggota
parlemen berkebangsaan Belgia dan sekaligus menjadi Presiden
Pengadilan Belgia.Tahun 1824 Kempers meninggal,selanjutnya
penyusunan kodifikasi code hukum di serahkan Nicolai.Akibat
perubahan tersebut,dasar pembentukan hukum perdata Belanda

sebagian besar berorientasikan pada code civil Perancis.Code civil
Perancis sendiri meresepsi hukum romawi,Corpus Civilis dari
Justinianus.Dengan demikian hukum perdata belanda merupakan
kombinasi dari hukum Kebiasaan/hukum Belanda kuno dan Code Civil
Perancis.Tahun 1838,Kodifikasi hukum perdata Belanda Di tetapkan

dengan stbl.838.[3] Pada tahun 1848,kodifikasi hukum perdata
belanda di berlakukan di Indonesia dengan stbl.1848.Dan Tujuh tahun
kemudian,Hukum perdata di Indonesia kembali di pertegas lagi dengan
stbl.1919. Kedua, Setelah Indonesia merdeka, hukum Perdata yang
berlaku di Indonesia di dasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD
1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan di
nyatakan masih berlaku sebelum di adakan peraturan baru menurut
UUD termasuk di dalamnya hukum perdata Belanda yang berlaku di
Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum
(rechtvacuum) di bidang hukum perdata. Namun, secara keseluruhan
hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami
beberapa proses pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan
tersebut di sesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.

4. JELASKAN APA YANG DIMAKSUD DENGAN :

A.

HUKUM ORANG , PERORANGAN, HUKUM PRIBADI


Hukum orang adalah hukum yang memuat tentang peraturanperaturan tentang diri manusia sebagi subyek dalam hukum,
peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan
untuk bertindak sendiri melaksanakan haknya itu serta hal-hal yang
mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

B.

HUKUM KELUARGA

Keseluruhan ketentuan atau aturan – aturan yang mengenai
hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah
dan kekeluargaan karena perkawinan.
C.

HUKUM KEKAYAAN

Seperangkat peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban
manusia yang dapat dinilai dengan uang.

D.

HUKUM WARIS

Hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah
meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan
masyarakat yang lebih berhak.

HUKUM PIDANA
1. PENGERTIAN HUKUM PIDANA

Keseluruhan dari peraturan – peraturan yang menentukan
perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana,
serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap
yang melakukannya.

2. SISTEM HUKUMAN DALAM HUKUM PIDANA

Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 tentang
pidana pokok dan tambahan, menyatakan bahwa hukuman yang

dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri
dari :
Hukuman Pokok (hoofd straffen ).
1. Hukuman mati
Contoh : Kejahatan yang dapat mengancam Negara,
pembunuhan terhadap oang tertentu, harta benda dan
disertai unsur/factor, pembajakan laut/sungai/pantai.
2. Hukuman penjara
Menempatkan terpidana dalam suatu tempat dimana
terpidana tidak bisa bebas untuk keluar masuk dan diwajibkan
untuk tunduk dan taat menjalankan semua peraturan dan tata
tertib yang berlaku. Hukuman penjara min. 1 hari dan max. 15
tahun (Pasal 12 ayat 2)
3. Hukuman kurungan
Dapat dilaksanakan dengen batasan palilng sedikit 1 hari dan
paling lama 1 tahun.
4. Hukuman denda
b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
a.

3. ASAS ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
1. Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan PerundangUndangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal
1 Ayat (1) KUHP). Jika sesudah perbuatan dilakukan ada
perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang
dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi
terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP).
2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan
pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus
dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang
tersebut.
3. Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia
berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang
menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia,
termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang
Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara
asing.
4. Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak
pidana dimana pun ia berada

5. Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan
kepentingan negara

. UNDANG

– UNDANG HUKUM PERKAWINAN DI
INDONESAIA

1. Perkawinan dalam UU RI No. 1 Tahun 1974
Di Indonesia masalah perkawinan diatur dalam UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974, yang mulai diundangkan pada tanggal 2 januari 1974.
Undang-undang tersebut dibuat dengan mempertimbangkan bahwa
falsafah Negara Republik Indonesia adalah Pancasila, maka perlu dibuat
undang-undang perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara . Bagi
umat islam di Indonesia, undang-undang tersebut meskipun tidak sama
persis dengan hukum pernikahaan di dalam fikih islam, namun dalam
pembuatannya telah di cermati secara mendalam sehingga tidak
bertentangan dengan hokum islam.
Untuk kelancaran pelaksanaan undang-undang perkawinan tersebut
pemerintah telah mengeluarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No .9 tahun 1975. Peraturan pemerintah tersebut terdiri atas 10 bab dan
49 pasal yang ditetapkan di Jakarta pada April 1975. Dengan adanya
undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975, diharapkan masalah-masalah yang berhubungan
dengan perkawinan di Indonesia akan dapat teratasi.
Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
terdiri dari 14 Bab dan terbagi dalam 67 pasal. Isi masing-masing bab itu
secara garis besarnya sebagai berikut :
a. Bab I Dasar Perkawinan
Berisi ketentuan mengenai :
1) Pengertian dan tujuan perkawinan ;
2) Sahnya perkawinan;
3) Pencatat perkawinan;
4) Asas monogami dalam perkawinan.
b. Bab II Syarat- syarat Perkawinan
Berisi ketentuan-ketentuan :
1) Persetujuan kedua mempelai;
2) Izin kedua orang tua;
3) Pengecualian persetujuan kedua calon mempelai dan izin kedua orang
tua;
4) Batas umur perkawinan;
5) Larangan kawin;

6) Jangka waktu tunggu;
7) Tata cara pelaksanaan perkawinan.
c. Bab III Pencegahan Perkawinan
Berisi tentang :
1) Pencegahan perkawinan;
2) Penolakan perkawinan.
d. Bab IV Batalnya Perkawinan
Berisi ketentuan tentang dapat dibatalkannya suatu perkawinan, pihak
yang dapat mengajukan pembatalan dan ketentuan-ketentuan lain yang
berkenan dengan perkawinan.
e. Bab V Perjanjian Perkawinan
Berisi ketentuan tentang dapat diadakannya perjanjian tertulis pada
waktu atau sebelum perkawinan oleh kedua belah pihak , atas
persetujuan bersama, dan mengenai pengesahan, mulai berlakunya ,
serta kemungkinan perubahan perjanjian tersebut.
f. Bab VI Hak dan Kewajiban Suami Istri
Berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban suami istri, baik sendirisendiri atau bersama-sam.
g. Bab VII Harta Benda dalam Perkawinan
Berisi ketentuan tentang harta benda bawaan masing-masing.
h. Bab VIII Putusnya Perkawinan dan Akibatnya
Berisi ketentuan putusnya perkawinan dan sebab-sebabnya.
i. Bab IX Kedudukan Anak
Berisi ketentuan tentang kedudukan anak yang sah dan anak yang
dilahirkan di luar pernikahan.
j. Bab X Hak dan Kewajiban Antara Orangtua dan Anak
Berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban orang tua serta hak dan
kewajiban anak .
k. Bab XI Perwalian
Berisi ketentuan mengenai perwalian bagi anak yang belum mencapai
umur 18 tahun dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya.
l. Bab XII Ketwntuan-ketentuan Lain,
m. Bab XIII Ketentuan peralihan,
n. Bab XVI Ketentuan Penutup.
2. Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Kompilasi hukum di Indonesia berarti ‘Buku Kumpulan-kumpulan hukum
islam”. Usaha untuk mengadakan kompilasi hukum islam telah dilakukan
oleh pemerintah Indonesia dan penyebarannya berdasarkan Intruksi
Pemerintah RI No. 1 tahun 1991 dan ditindaklanjuti dengan keputusan
Mentri Agama No. 154 tahun 1991.
Kompilasi hukum islam di Indonesia telah menjadi semacam “fikih
keindonesiaan” yang diperlukan sebagai pedoman dalam bidang hukum
material bagi para hakim di lingkungan peradilan agama, sehingga
terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum . Kompilasi itu terdiri atas
tiga buku .

Buku I tentang Perkawinan
Buku II tentang Kewarisan
Buku III tentang Pewakafan
Dalam buku I terdapat 19 bab dan 170 pasal, dan setiap pasalnya
diuraikan secara jelas menurut keperluan hukum.
Bab-bab tersebut yaitu :
BAB I : Ketentuan Umum (1 pasal)
BAB II : Dasar-dasar Perkawinan (19 pasal)
BAB III : Pemenangan (3 pasal)
BAB IV : Rukun dan Syarat Perkawinan (16 pasal)
BAB V : Mahar (9 pasal)
BAB VI : Larangan Perkawinan (7 pasal)
BAB VII : Perjanjian Perkawinan (8 pasal)
BAB VIII : Kawin Hamil (2 pasal)
BAB IX : Beristri lebih dari satu (5 pasal)
BAB X : Pencegahan Perkawinan (10 pasal)
BAB XI : Batalnya Perkawinan (7 pasal)
BAB XII : Hak dan kewajiban suami istri (8 pasal)
BAB XIII : Harta kekayaan dalam perkawinan ( 12 pasal)
BAB XIV : Pemeliharaan anak ( 9 pasal)
BAB XV : Perwalian(6 pasal)
BAB XVI : Putusnya perkawinan (36 pasal)
BAB XVII : Akibat putus perkawinan (14 pasal)
BAB XVIII : Rujuk (7 pasal)
BAB XIX : Masa berkabung (1 pasal)
Setiap pasal dari bab-bab tersebut telah di jelaskan menurut keperluan
hukumnya. Misalnya, kamu dapat menyimak aturan pencatatan
perkawinan dan cara perceraian yang ditulis dalam Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, yaitu :
a. Pencatat perkawinan
Pencatat perkawinan diatur dalam pasal-pasal seperti berikut ini :
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan pasal 2 ayat(1)Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Perkawinan adalah sah , apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 5
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo

Undang-undang
No.32 Tahun 1954.
Pasal 6
1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah.
2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal 15
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undangNo.1 tahun 1974 yakni calon
suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya berumur 16 tahun.
(2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus
mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4)
dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
b. Tata cara perceraian
Perceraian diatur sebagai berikut :
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya
mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta
meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan
tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum
banding dan kasasi
Pasal 131
1) Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan
dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari
memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak
danternyata cukup alasanuntuk menjatuhkan talak serta yang
bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun dalamrumahtangga,
pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami
untukmengikrarkan talak.
3) Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami
mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh
isteri atau kuasanya.
4) Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah
terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya
mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka hak suami untuk
mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat
penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan
bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat
ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi
tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga
masingmasing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan
oleh Pengadilan Agama