Tentang Esai tentang dampak (1)

TENTANG ESAI
Oleh Suantoko
Disajikan dalam Diklat LPM Universitas PGRI Ronggolawe Tuban
Kata kunci pada bentuk tulisan esai adalah adanya faktor analisis, interpretasi, dan
refleksi. Karakter esai, umumnya non teknis, non sistematis, dengan karakter dari penulis
(unsur subjektivitas) yang menonjol. Hal inilah yang membedakan esai dengan artikel dan
opini yang lain. Esai lebih mengutamakan faktor analisis secara individual. Sementara artikel
lebih mengutamakan analisis dengan bantuan teori atau disiplin ilmu tertentu. Pada bentuk
tulisan opini, pendapat pribadi penulis (bukan analisis) lebih diutamakan.
Tidak semua wartawan dan sastrawan mampu menulis artikel dan feature. Kedua,
tidak semua penulis artikel, feature, dan sastrawan mampu menulis esai. Hanya sedikit
wartawan dan sastrawan yang mampu menjadi penulis esai. Sebab bentuk tulisan ini
termasuk yang paling sulit dikuasai. Namun penulis esai, hampir selalu bisa menulis artikel
dan feature dengan cukup baik. Tingkat kesulitan esai, terutama disebabkan oleh karakternya
yang non teknis dan non sistematis. Hingga kekuatan esai hanyalah tertumpu pada daya
analisis, refleksi dan karakter pribadi si penulis. Karenanya, teknik menulis esai dari
seseorang, akan sulit untuk dipelajari dan ditiru oleh penulis lain. Sementara teknik menulis
artikel dan feature dari seorang penulis kenamaan, bisa dipelajari dan ditiru oleh penulis
pemula.
Seorang penulis esai, dituntut memiliki tingkat kecerdasan intelektual, emosional dan
spiritual di atas rata-rata. Seseorang yang cerdas secara intelektual, lebih cocok untuk

menjadi penulis artikel. Mereka yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual dan emosional
tinggi lebih pas menjadi penulis feature dan opini. Kalau kecerdasan intelektual dan
emosional itu ditambah dengan kecerdasan spiritual dan pengetahuan serta wawasan luas,
maka dia bisa menjadi penulis esai yang baik.
Sebagai sebuah tulisan, esai juga menuntut adanya judul, etalase, lead, body dan
ending. Namun struktur secara keseluruhan tidak seketat dan sebaku pada artikel dan feature.
Justru karena tidak adanya kebakuan tersebut, maka sebuah esai dari penulis kenamaan, sulit
untuk dipelajari dan dicontoh oleh penulis pemula. Karakter esai yang non teknis dan non
sistematis menjadi kendala untuk membakukan struktur penulisannya.
Kekuatan Individu dalam Esai
Kekuatan karakter individu penulis, diperlukan dalam semua bentuk tulisan, mulai
dari news, reportase, artikel dan feature. Namun bentuk-bentuk tulisan tersebut memiliki
teknik dan sistematika yang jelas. Karenanya, penulis yang tidak terlalu kuat pun, tetap bisa
menghasilkan news, reportase, artikel dan feature yang baik. Dalam esai, kekuatan individu
lebih diperlukan karena tidak bakunya teknik dan sistematika.
Yang dimaksud sebagai kekuatan individu, terutama adalah faktor tingkat kecerdasan
intelektual, emosional dan spiritual yang di atas rata-rata. Namun kekhasan dari masingmasing individu akan sangat menentukan kualitas esai yang dihasilkan. Karakter khas yang
kuat ini diperoleh bukan karena faktor teknik melainkan karena muncul dari dalam diri si
penulis.
Kekuatan karekter individu, bukan diperoleh dari pendidikan formal, melainkan dari

kekayaan pengalaman hidup, bacaan yang luas dan lingkungan pergaulan yang beragam.
Meskipun faktor genetik, juga ikut pula mempengaruhi kekuatan karekter individu seseorang.
Namun tanpa kekayaan pengalaman, luasnya bacaan dan variasi pergaulan, karakter dasar
serta pendidikan formal belum merupakan jaminan kekuatan individu seseorang.
Di samping itu, skil tetap diperlukan dalam penulsan esai, namun hal tersebut bukan
merupakan faktor utama. Sebab apabila skil yang diutamakan, maka esai yang dihasilkan
justru akan merosot kualitasnya. Sebab esai justru diharapkan tidak dihasilkan sebanyak
artikel, feature dan lebih-lebih news.
Dengan demikian, esai tidak bisa dibandingkan dengan artikel dan feature, sebab
masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Artikel lebih berfungsi untuk mengajak
pembaca memahami suatu pokok persoalan. Feature digunakan untuk menggugah rasa
human interest pembaca. Sementara esai bermanfaat untuk melakukan refleksi dan
1

perenungan. Meskipun fungsi tiga bentuk tulisan ini berbeda, kekhasan dalam setiap
bentuknya menjadi sebuah pencerahan bagi pembaca.
Sekadar Contoh Esai

Tahun Baru, Menjadi Dungu
Oleh: Suantoko

Apa yang diperoleh dari merayakan malam tahun baru? Sampai rela
berdesak-desakan di antara keramaian alun-alun kota? Sungguh
mengherankan badan, pra perayaan tahun baru atau lebih dikenal dengan
ucapan happy new year’s. Ucapan yang tidak hanya melalui telepon,
facebook, mms, Twitter, sms, atau E-Mail, tetapi juga melalui knalpot
blong. Ucapannya memang benar bagus untuk menjalani kehidupan pada
tahun yang baru. Meninggalkan segala kejenuhan pada tahun yang lama.
Yang membuat jelak itu, ucapan knalpot blong itu lho. Memekakkan
telinga. Apa hasilnya dari perayaan malam tahun itu? Apakah yang
didapatkan setelah knalpot blong? Kesenangan, ketentraman hidup, atau
besuk pada tanggal 1 Januari pada tahun yang baru, bisa langsung
mengubah nasib?
Hal yang lumrah di kota-kota di Indonesia, baik distrik maupun pusat.
Fenomena tahunan, perayaan tahun baru sudah mejalar di masyarakat.
Baik itu masyarakat kota, ataupun masyarakat desa yang berbondongbondong ke kota. Bahkan rela berdesak-desakan menunggu antrian arus
macet. Memang ada segi positifnya bagi masyarakat desa untuk
mengenal “kericuhan” kota pada malam pergantian tahun. Bak kicauan
kelelawar dan codot bersahutan mencari makan pada malam hari.
Walaupun harus berdesak-desakan demi melihat kembang api pada pukul
00.00. suatu malam menandakan pergantian tahun, untuk menyambut

tahun yang baru, bulan baru, tanggal baru, tetapi nasib tentu masih
sama, tho? Memang ada beberapa pihak yang nyata; telah diuntungkan
karena perayaan pergantian tahun. Ini hal yang berbeda dalam pra –
perayaan tahun baru tiba. Hal itu juga terjadi pada setiap tahunnya.
Menjelang tahun baru, tentu ada dampak positif juga bagi montir-montir
bengkel. Dampak positif itu didapatkan, karena orderan memodifikasi
motor atau mobil untuk merayakan tahun baru. Terutama memodifikasi
raungan knalpot yang menggelegar. Meskipun harus merugikan dan
berdampak negatif terhadap
sepasang telinga orang-orang yang
mendengarkannya. Hal itu tidak apa-apalah montir-montir itu hanya
menjalankan kewajibannya. Bagi pemilik motor juga tidak apa-apa, karena
itu juga motornya sendiri. Asal tidak motor pinjaman saja yang dipreteli.
Lantas apa yang menjadi problematika sosial masyarakat? Kemudian
menimbulkan permasalahan baru dalam perayaan tahun baru.
Tidak lain adalah rasa tenggang rasa, kepada sesama manusia. Itu yang
terlupakan. Mengapa terlupakan? Hal itu terjadi karena giliran ada orang
sembahyang, penunggang raungan knalpot seakan tidak punya nalar.
Padahal itu di depan tempat ibadah. Aktivitas raungan knalpot di jalan
raya, juga menghambat arus lalu lintas. Heran juga dengan keadaan ini,

seakan menjadi kecanduan tiap tahun. Setelah knalpot diraungkan, apa
manfaatnya? Kesenangan, ketentraman, kenyaman, setelah membuat
telinga orang-orang pekak? Terus membuat nenek-kakek tidak bisa tidur,
karena lantunan irama knalpot itu ditiup mesin? Tidak ada manfaatnya,
apa yang dilakukan itu. Malah, merugikan orang-orang di sekitar
dentuman knalpot. Apalagi kalau ada orang ngilu sakit gigi. Wah, bisa-bisa
muntah kata-kata kotor, atau lebih dikenal orang jawa dengan kata sosot
itu.
2

Di Indonesia, mengingat masyarakatnya yang multikultur, banyak juga
tahun baru yang ada dalam masyarakat, separti tahun baru Jawa, Tahun
baru Hijriah, Tahun baru Saka, tetapi mengapa tahun baru Masehi ini,
begitu mencandu perayaannya dalam masyarakat? Kalau tahun baru yang
lain, biasanya perayaan tahun baru dilaksanakan secara sakral dan
hening, baik itu puasa atau tirakatan. Semedi merefleksi diri, tentang
hakikat hidup pada tahun yang lama, menuju tahun yang baru.
Tetapi mengapa masyarakat Indonesia tidak melakukan semacam itu,
untuk merayakan tahun baru Masehi. Kalau kita runtut adanya tahun Baru
pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah

Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk
mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak
abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar
dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang
menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti
revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365
seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM
sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga
memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada
bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan
dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44
SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius
atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti
Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Lalu umat Kristen meneruskan perayaan tahun baru itu sesuai dengan
keputusan konsilitaurs dan ekaristi, kemudian pada tahun 1582, umat
Kristen mengubah perayaan tahun barunya dari tanggal 25 Maret menjadi
1 Januari. Sehingga umat krstiani merayakan tahun baru Masehi pada
tanggal 1 Januari. Itupun dilakukan dengan ritual puasa. Anehnya,

perayaan itu berubah menjadi hura-hura akhir-akhir ini. Bergadang pada
jam-jam malam. Tak tentu, tujuan apa yang hendak dicapai dengan
merayakan tahun baru itu.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara
dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of
Roses sebelum lomba football. Amerika Rose Bowl dilangsungkan di
Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar
Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan
malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orangorang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di
jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat
lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api
diledakkan dan orang-orang meneriakkan selamat “Tahun Baru” dan
menyanyikan lagu Auld Lang Syne.
Sungguh berbeda jauh dengan perayaan tahun baru Masehi yang ada di
luar negeri dengan perayaan tahun baru di Indonesia. Perayaan tahun
baru di luar negeri terutama di Yahudi, tidak berhura-hura seheboh yang
dilakukan di Indonesia, sampai membuat macet arus lalu lintas. Terlihat
bahwa dengan keadaan ini, seakan-akan yang didapat dari perayaan
tahun baru hanya sebatas kulit ari. Tidak sampai pada daging yang ada
dalam kulit tersebut. Substansi dan esensi dari perayaan tahun baru tidak

diketahui sama sekali. Makna religious tidak disentuh sama sekali.
Sebenarnya tanpa disadari bahwa perayaan tahun baru Masehi yang
berlebihan di Indonesia, telah andil dalam menghancurkan budaya bangsa
sendiri. Terutama perayaan tahun baru yang dimiliki bangsa ini. Lihat saja,
ketika perayaan tahun baru satu sura atau satu muharram terlihat sepi.
3

Tanpa ada gemuruh. Jangankan gemuruh knalpot, gemuruh mulut dzikir
saja tampaknya sudah jarang. Seolah-olah tidak pernah ada tahun baru
lain untuk bangsa Indonesia. Padahal itu adalah tahun baru yang lebih
dulu ada dalam tanah air Indonesia.
Nah ini, kemudian memunculkan atmosfir baru bahwa bangsa sendiri
menjajah diri sendiri. Alat jajahan yang digunakan perayaan tahun baru.
Dan bangsa Indonesia sendiri yang memainkan senjata itu. Wajar kalau
pada malam tahun baru sekan dungu. Coba saja kalau perayaan tahun
baru tanpa ada ucapan salam knalpot blong. Kan nyaman. Toh, knalpot
blong juga butuh tenaga dan biaya untuk mengubahnya dari produksi
pabrik. Ya, wajar saja kalau memakai knalpot blong dilarang masuk kota.
Bahkan diuber-uber polisi lalu lintas.
Coba biaya itu dibelikan krupuk dan es teh, kan enak diminum sambil

berdiskusi. Selain itu, juga dapat dijadikan ajang merencanakan program
satu tahun ke depan. Tanpa harus pawai mengumandangkan raungan
knalpot blong. Toh semua sama-sama tenang, baik polisi, tentara, atau
muda-mudi yang keluar bersama pacarnya. Tidak harus bersenggolan di
jalan raya, kemudian memicu permasalahan, sampai tawuran.
Apakah tradisi keliru menafsirkan guru ini perlu dilanjutkan? Ya, samasama tahulah. Ada yang setuju untuk dilanjutkan. Ada yang tidak setuju
untuk dilanjutkan. Dua pendapat yang berbeda, itu wajar dalam Negara
demokrasi ini. Asal jangan sampai memicu perpecahan, tawuran, karena
tahun baru. Jangan sampai karena tahun baru kemudian menjadi dungu.
Pengaruh raungan knalpot keliru guru.
Sebisa mungkin tradisi tahunan dengan ritual knalpot blong, diganti
dengan puasa tanpa bunyi knalpot dan tanpa pawai arak-arakan motor
pretelan. Pasti lebih seru lebih nyaman. Tentunya telinga tanpa gangguan.
Polisi juga tidak berdoa supaya hujan pada malam tahun baru, agar jalanjalan lengang. Kalau memang mau mengikuti guru, marilah mengikuti
esensi ajarannya untuk keselamatan umat. Bukan malah menghancurkan
telinga saudara dekat. Dengan suara-suara yang tidak jelas.
Alangkah permai nuansa alam Indonesia dalam merayakan tahun baru
masehi dengan suasana damai, tenang tanpa konflik. Sehingga
kedamaian yang ada tidak hanya ada dalam kantong-kantong individu,
tetapi juga alur jalan raya, tidak semerbak dengan kendaraan knalpot

blong. Seakan-akan menyesaki dada dan trotoar jalan raya. Begitu juga
dengan kendaraan yang biasa lewat, juga bisa berjalan lengang. Tanpa
hambatan raungan knalpot dungu.

MENGGAGAS PENDIDIKAN TANPA KASTA
Oleh: Suantoko*
Seperti yang telah diketahui bersama, di beberapa media masa
memfokuskan perhatianya dalam sidang keputusan Mahkamah Konstitusi
(MK) beberapa waktu lalu. Sidang tersebut mengenai pembubaran
Sekolah Bertaraf Internasional/Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
(SBI/RSBI). Pembubaran dilakukan, melihat fakta di lapangan bahwa
dengan adanya SBI/RSBI sangat rentan memunculkan diskriminasi dan
4

kastanisasi. Fakta tersebut bertolak belakang dengan UUD 1945. Dengan
demikian, sebanyak 1300 SBI/RSBI harus kembali menjadi Sekolah
Berstandar Nasional (SSN) atau sekolah unggulan biasa tanpa label
SBI/RSBI.
Upaya pembubaran ‘kasta pendidikan’ tersebut dilakukan
berdasarkan uji materi oleh mereka yang merasa dirugikan atas

diberlakukannya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas), khususnya Pasal 50 ayat 3 tentang SBI/RSBI. Isi pasal
menyebutkan
“Jika
pemerintah
dan
atau
pemerintah
daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada
semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional.” Hal ini mengimplikasikan bahwa
setiap kota kabupaten atau daerah harus memiliki sekurang-kurangnya
satu SBI/RSBI. Padahal, setiap kecamatan diwajibkan memiliki minimal
satu sekolah di setiap jenjang pendidikan. Hal ini, memang dirasakan
bertentangan dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Bagaimana bisa berkembang sekolah-sekolah yang ada di kecamatan,
kalau UU tersebut tetap diberlakukan. Mengingat, masyarakat sudah
terhegemoni kognisinya dengan citra SBI/RSBI. Yang sengaja diciptakan
oleh pemerintah. Ironisnya, citra itu menjadi komoditi yang harus
dikonsumsi oleh siapa saja, yang bisa mencapai taraf tersebut. Tentunya,
yang mampu mencapai hanyalah orang-orang yang memiliki kekayaan.
Disamping
itu,
adanya
SBI/RSBI
dinilai
menjadi
ladang
komersialisme pendidikan, karena di lingkungan semacam itu, rentan
sekali terjadi jual beli politik kekuasaan. Hal itu terjadi, karena pembelian
citra, merk atau kemasan, dalam lingkup pemikiran masyarakat mengenai
SBI/RSBI. Pembeli demi gengsi, dan penjual citra SBI/RSBI, demi rezeki.
Sayang kalau tidak dimanfaatkan dengan baik, katanya. Bahkan pungutan
liar, bebas diperlakukan bagi siswa demi menjaga citra. Tidak ada kata
malu untuk dilakukan, agar seluruh aktivitas menjurus pada kondisi taraf
internasional.
Dampak lain yang ditimbulkan adalah tertutupnya ruang bagi siswa
kurang mampu. Memang pada dasarnya ada kucuran dana bagi siswa
yang belajar di SBI/RSBI, sesuai Permendiknas Nomor 78 tahun 2009
tentang RSBI, kucuran dana khusus bagi SBI/RSBI. Seakan-akan sekolah
tersebut diistimewakan. Namun, pada kenyataannya siswa kurang mampu
atau miskin, selamanya sulit untuk menjangkau. Ditinjau dari kebutuhan
akademis, memang telah ada beasiswa khusus baik untuk siswa
berprestasi atau kurang mampu. Akan tetapi, untuk siswa kurang mampu,
apakah mampu menjangkau citra itu? Sedang tiap hari mulai dari sepatu,
kaos kaki, tas, bahkan pita rambut untuk siswa perempuan, harus diganti
tiap hari demi menjaga citra. Betapa sulitnya menjangkau citra itu, jika
harus disejajarkan dengan siswa-siswa lain yang memang mampu, baik
secara pembiayaan operasional akademik, maupun biaya operasional
pribadi. Tentu, hal semacam itu merupakan sebagian kecil dari
problematika adanya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang (Sisdiknas).
Setidaknya hal kecil itulah, kalau semakin lama dibiarkan akan semakin
besar. Ibarat rumah satu kampung rumpun ilalang, satu rumah terbakar,
apabila tidak segera dipadamkan, pasti rumah satu kampung, ludes
tinggal debu dan abu. Begitu juga dengan pendidikan di Indonesia,
adanya SBI/RSBI adalah api pendidikan Indonesia, sewaktu-waktu dapat
membakar seluruh sistem pendidikan. Maka dari itu, memang benar jika
SBI/RSBI harus dibubarkan, agar jilatannya tidak menjalar diberbagai
sektor, baik sosial, ekonomi, mentalitas masyarakat, dan budaya
masyarakat Indonesia pada umumnya.

5

Pada hakikatnya, tanpa disadari, adanya SBI/RSBI memunculkan
kasta baru. Kasta ini menjadi hangat-hangat kuku yang menarik untuk
diperbincangkan. Akan tetapi, dalam tulisan ini tidak memperbincangkan
hal semacam itu lebih dalam. Cuma, perlu digarisbawahi bahwa kondisi
masyarakat berbudaya dominasi rentan sekali dipersuasi dengan kasta.
Ambil saja contoh kelas mobil yang dikendarai masyarakat Indonesia. Ada
Carry, Avanza, Civic, Terios, Mercedes Benz BMW, Pajero, dan lain-lain.
Merk mobil tersebut ada kelasnya yaitu kelas bawah, menengah, dan
atas. Mengapa Terios, Pajero, dan BMW digolongkan kelas atas? Karena
ada merk lain, seperti carry yang berada di kelas bawah. Jadi, apabila
SBI/RSBI menjadi idola masyarakat, karena citra/merk dagang sekolah,
hal ini disebabkan memang ada sekolah-sekolah yang baru saja
berkembang di kecamatan-kecamatan (sekolah kelas bawah). Polemik
yang terjadi di sekolah tingkat regional kecamatan yaitu jangankan
menciptakan SBI/RSBI, menggaet siswa baru pun, sulitnya setengah mati.
Wajar saja, kalau adanya sekolah rintisan menciptakan kastanisasi dalam
pendidikan di Indonesia, terutama di kota besar. Dan mematikan sekolah
di kecamatan-kecamatan.
Proses penciptaan tingkat atau kastanisasi dalam pendidikan,
memang perlu dihindari, agar pemerataan pendidikan dapat terjamah.
Proses kasta yang ada, tidak sebanding dengan mutual akademik
antarsekolah-sekolah secara nasional. Kesenjangan pasti terjadi baik
tingkat guru/pengajar sampai tukang cukur kebun. Wajar saja, kalau siswa
ikut-ikutan menciptakan kasta atau geng. Seperti halnya, peristiwa
maraknya tawuran pelajar tahun lalu. Salah satu pemicunya disebabkan
oleh gengsi gede-gedean para siswa melalui kastanisasi di sekolah. Dari
fenomena semacam itu, maka alternative lain kiranya perlu diterapkan,
agar warisan kasta dari penjajah tidak memburu generasi-generasi muda
(dalam hal ini pelajar). Secara tidak langsung, perlakuan semacam itu
menimbulkan ranking, yang justru menjatuhkan kualitas pendidikan.
Alternatif Lain Usai Pembubaran SBI/RSBI
Pembubaran SBI/RSBI menuai pro dan kontra, akan tetapi banyak
pro-nya daripada kontra. Hal ini terjadi, karena lebih banyak sekolah yang
merasa dirugikan dengan SBI/RSBI. Di samping itu, mematikan karakter
sekolah yang baru saja dirintis di kecamatan-kecamatan. Maka dari itu,
ada alternative lain, kiranya menjadi wacana, yang bisa dialihkan dari
SBI/RSBI menjadi SSN. Demi menanggapi Permendiknas Nomor 78 tahun
2009 tentang RSBI, mengenai kucuran dana khusus bagi SBI/RSBI.
Kucuran dana khusus tersebut, bisa dijadikan sarana memeratakan
pendidikan secara nasional. Pendek kata, sekolah manapun berhak atas
kucuran dana khusus tersebut. Hal itu diwujudkan dengan catatan,
lembaga sekolah tersebut memiliki keistimewaan baik prestasi maupun
tata kelola. Prestasi akademik maupun non-akademik. Jadi, tidak hanya
sekolah idola saja yang berhak menerima, tetapi sekolah ‘kelas bawah’
juga berhak mendapatkan kucuran, baik sekolah swasta maupun negeri,
asalkan berprestasi.
Alternative lain yang perlu dipahami bersama, bahwa Negara
Indonesia kaya dengan kulturalnya, itulah kekhasan Indonesia, mengapa
tidak dimanfaatkan? Hal itu sudah sangat mendorong sekali, untuk
menciptakan beberapa sistem pendidikan, tanpa harus menciptakan
kasta. Bayangkan, setiap daerah di Indonesia memiliki kebijaksanaan lokal
(local wisdom) yang sebenarnya perlu penggarapan melalui pendidikan.
Dalam artian begini, kearifan lokal di Indonesia semestinya dijadikan
ladang lembaga pendidikan untuk digali terus-menerus. Jika, tiap daerah
di Indonesia mampu menciptakan pendidikan berorientasi lokal, maka
kastanisasi pendidikan bisa ditiadakan, karena lembaga-lembaga
6

pendidikan yang ada di daerah terfokus pada lokalitasnya. Dengan
kalimat lain, menciptakan pendidikan berkualitas, tidak perlu menggebumenggebu berorientasi standar internasional. Kalau ukuran standar
internasional hanya sebatas penguasaan bahasa asing, tata kelola, dan
standar proses pembelajaran, untuk apa. Kearifan lokal di Indonesia, bisa
dijadikan contoh, tidak perlu harus mengacu pada ‘internasional’. Biarkan
taraf internasional yang mengacu pada sistem pendidikan lokal di
Indonesia. Jadi, langkah struktur bottom-up education, perlu diterapkan.
Pendidikan Indonesia bergerak dari bawah yaitu kekayaan intelektual dari
kearifan lokal. Pada prinsipnya, kotak-kotak lokal itulah kalau dikumpulkan
bisa menciptakan pondasi taraf internasional. Sejatinya taraf nasional dan
internasional, tidak akan ada apabila lokal sebagai penumpunya tidak
dapat menopangnya.
Dari fakta dan fenomena semacam inilah, pembubaran SBI/RSBI
tidaklah menjadi masalah. kalau toh, memang adanya SBI/RSBI
memunculkan kastanisasi, menurut beberapa pihak. Toh, keberhasilan
pendidikan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh SBI/RSBI saja.
Melainkan beberapa pihak harus dilibatkan, termasuk di dalamnya
pemerintah melalui dinas pendidikan, pihak sekolah melalui Kasek, komite
sekolah, pengajar, siswa, tukang kebun, dan orang tua. Sinergi dari
beberapa pihak itulah, yang bisa menentukan keberhasilan pendidikan di
Indonesia.
Tugas bersama, selain merevisi UU Sisdiknas adalah mencari jati diri
pendidikan bangsa Indonesia, yang dapat menjadi ruh pendidikan secara
inter (nasional). Bangga menggunakan sistem pendidikan yang ada di
daerah/lokal, sebetulnya lebih efektif daripada meniru sistem pendidikan
Negara lain. Toh, mengimitasi sistem pendidikan dari luar belum tentu
relevan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia pada
umumnya.
*Alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unirow Tuban
Peminat bahasa, sastra dan budaya

7

Dokumen yang terkait

Konstruksi Media tentang Kontroversi Penerimaan Siswa Baru di Kota Malang (Analisis Framing pada Surat Kabar Radar Malang Periode 30 Juni – 3 Juli 2012)

0 72 56

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN PEMBENTUKAN CITRA POSITIF RUMAH SAKIT Studi pada Keluarga Pasien Rawat Jalan RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tentang Pelayanan Poliklinik

2 56 65

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Makna Kekerasan Pada Film Jagal (The Act Of Killing) (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter "Jagal (The Act of Killing)" tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1965-1966, Karya Joshua Oppenheimer)

17 109 98

Rancangan media informasi tentang makanan tradisional Peyeum Bandung

5 77 1

Eksistensi Diri Penari Jaipong di Kota Sukabumi (Studi Deskriptif Tentang Eksistensi Diri Penari Jaipong di Kota Sukabumi)

4 40 1

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Sistem Komputerisasi Kantor Pertahanan (KKP) Terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Cimahi

24 81 167

Politik Hukum Pembaharuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Kajian Pasal 74 beserta Penjelasannya)

0 1 22