Gejala Islamophobia di Eropa Daratan

ISU PELARANGAN PENGGUNAAN HIJAB DI BELANDA TAHUN 2011
Hubungan internasional di era globalisasi ini memasuki fase yang berbeda dibanding pada masa
pra-globalisasi. Pada saat itu, interaksi yang ada dalam hubungan internasional bersifat statis dan
nyaris tanpa ada dinamika. Setidaknya pada era tahun 70an. Memasuki dekade 80an, banyak
peristiwa yang mewarnai tahun demi tahun di era tersebut, dan mengubah tampilan serta struktur
hubungan internasional secara keseluruhan. Berakhirnya Perang Dingin membawa perubahan
geopolitik internasional yang cukup besar; runtuhnya Uni Soviet membuat sistem internasional
dari semula bipolar menjadi unipolar, kemunculan sistem hegemon. Memasuki abad ke21,
peristiwa 9/11 menjadi titik tolak perubahan pola interaksi dalam hubungan internasional,
ditambah dengan ‘perang melawan terorisme’.
Dampak dari ‘perang melawan terorisme’ adalah munculnya Islamophobia1 di belahan
bumi utara, khususnya di wilayah Eropa daratan. Islamphobia menunjukkan prasangka terhadap,
atau kebencian atau ketakutan irasional terhadap Muslim . Istilah ini ada sejak awal 1900-an,
namun penggunaan modern berasal selama akhir 1980-an atau awal 1990-an. Ini masuk kosakata
umum setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Pada tahun 1997, The Runnymede Trust2 mendefinisikan Islamophobia sebagai
"ketakutan atau kebencian Islam dan karena itu, dengan takut dan tidak suka semua umat Islam,"
yang menyatakan bahwa hal itu juga mengacu pada praktek diskriminasi terhadap Muslim
dengan mengecualikan mereka dari ekonomi, sosial, dan kehidupan masyarakat bangsa. Ini
mencakup persepsi bahwa Islam tidak memiliki nilai-nilai yang sama dengan budaya lain, lebih
rendah daripada Barat dan merupakan kekerasan ideologi politik ketimbang agama.3


1

Fredman, Sandra (2001). Discrimination and human rights: the case of racism . Oxford
[Oxfordshire]: Oxford University Press. p. 121..
2
Runnymede Trust adalah think tank terkemuka yang didirikan pada tahun 1968 oleh Jim
Rose dan Anthony Lester, dengan tujuan bertindak sebagai think tank kesetaraan ras
independen dengan menghasilkan intelijen untuk multi-etnis Inggris melalui penelitian,
membangun jaringan, memimpin debat, dan keterlibatan kebijakan. Direktur saat ini adalah
Dr Rob Berkeley dan Ketua saat ini adalah Clive Jones CBE.
3

Islamophobia: A Challenge for Us All . Runnymede Trust , 1997, p. 1, cited in Quraishi,
Muzammil. Muslims and Crime: A Comparative Study , Ashgate Publishing Ltd., 2005, p. 60

Sebuah tren yang dirasakan Islamophobia meningkat selama tahun 2000-an dan telah
dikaitkan oleh komentar-komentar yang ada mengenai serangan 11 September, sementara yang
lain mengasosiasikannya dengan kehadiran meningkat dari umat Islam di dunia Barat. Perlu
diketahui bahwa sejak serangan 11 September, selain adanya tren Islamophobia juga muncul

peningkatan minat masyarakat dunia untuk mempelajari Islam secara keseluruhan.
Salah satu bentuk Islamophobia adalah semacam ketakutan dan atau ignorance terhadap
masyarakat Muslim yang berada di Barat. Kebanyakan masyarakat Muslim, khususnya
perempuan mengenakan kerudung atau hijab untuk menutupi aurat mereka, dan tidak jarang
mengenakan cadar untuk menutupi wajah mereka. Hal ini tidak jarang menimbulkan sedikit’
ketakutan’ kepada masyarakat Barat yang menilai mereka dengan stigma negatif, bahkan sebagai
seorang teroris.
Pemerintah di negara-negara Barat, khususnya di wilayah Eropa mulai memberlakukan
undang-undang yang melarang penggunaan hijab atau kerudung bagi perempuan muslim di
wilayahnya. Contoh nyata dari hal tersebut adalah di Belanda yang saat ini sedang hangat isu
tentang pelarangan hijab atau burqa4 dan berencana untuk mengesahkan larangan tersebut
menjadi undang-undang sebagaimana yang telah dilakukan Perancis beberapa waktu lalu.
Pemerintah Minoritas Belanda berencana akan melarang cadar atau burqa muslimah dan
apapun bentuk yang menutupi wajah dimulai tahun depan. Larangan tersebut membuat muslimah
di Belanda tidak boleh mengenakan cadar atau burqa di tempat umum, dimana sekitar 1 juta dari
17 juta warga Belanda adalah muslim. Jika terjadi, maka Belanda adalah Negara Uni Eropa
kedua yang melarang pemakaian cadar atau burqa setelah Prancis.
Menurut Wakil Perdana Menteri, Maxime Verhagen menyamakan larangan itu dengan
pengendara motor yang menggunakan Helm yang dipakai di tempat yang tidak sesuai seperti di
dalam toko. Sedangkan Anti-Islam Geert Wilders dari Partai Kebebasan (PVV), yang membantu


4

Burqa (juga ditulis burka atau burqua) (bahasa Arab: ‫برقعة‬, burqʿah) adalah sebuah pakaian
yang membungkus seluruh tubuh yang dikenakan oleh sebagian perempuan Muslim di
Afganistan, Pakistan, dan India utara.

memberikan Kristen Demokrat-liberal, koalisi utamanya di Parlemen, telah menetapkan
“tindakan politik” yang cukup untuk mendapatkan undang-undang larangan cadar atau burqa.5
Beberapa ratus muslimah di Belanda memakai niqab/cadar dan burqa. Partai koalisi
tersebut telah setuju untuk mengajukan hokum baru ke meja Parlemen pada pekan depan bahwa
“pelanggar” akan dikenakan denda hingga 390 euro (510 USD), kata Verhagen. Hukum
mengenakan cadar atau burqa di Belanda, yang masih perlu untuk memenangkan persetujuan di
kedua majelis parlemen, termasuk pakaian yang dikenakan untuk alasan keamanan seperti yang
dipakai oleh petugas pemadam kebakaran dan pemain hoki, serta pakaian pesta seperti Santa
Claus atau kostum Halloween. Larangan tersebut tidak berlaku untuk tempat-tempat keagamaan,
seperti gereja dan masjid, atau untuk penumpang di pesawat atau perjalanan melalui bandara
Belanda.
Perdebatan mengenai model pakaian muslimah di Belanda sudah berawal sejak 1985,
yaitu ketika otoritas daerah Alpheen Aan den Rijn, sebuah munisipal di Belanda, pada akhirnya

memutuskan untuk melarang pemakaian hijab selama proses belajar mengajar berlangsung di
kelas. Perdebatan ini ternyata tidak hanya berhenti di tingkat munisipal. Setelah berbagai protes
dan diskusi, di tingkat Tweede Kamer pelarangan ini pada akhirnya dibatalkan (Koningsveld &
Shadid, 1997).
Beberapa waktu kemudian, muncul kemungkinan adanya penghapusan larangan
penggunaan cadar atau Burka yang diusulkan bagi Muslimah di Belanda menyusul runtuhnya
koalisi antara pemerintahan Belanda dengan anggota parlemen dari partai anti-Islam, partai
Kebebasan (PVV) pimpinan Geert Wilders. Menurut Maurits Berger, kebijakan ini didorong oleh
PVV tetapi juga oleh pemerintahan ini yang bertujuan untuk menjaga hubungan mereka dengan
PVV. Dia mengatakan bahwa larangan cadar (niqab) atau burka akan segera ditarik dari meja
setelah pemerintahan Belanda jatuh.6

5

http://muslimahzone.com/belanda-berencana-akan-larang-penggunaan-cadar-atau-burqatahun-depan/
6

Dikutip dan disadur dari http://muslimahzone.com/pemerintahan-belanda-runtuh-larangancadar-kemungkinan-akan-dihapus/ pada tangal 1 Desember 2012

Jika hijab di Belanda dianggap sudah dapat diterima di tengah-tengah masyarakat, nasib

niqab (cadar) tidak demikian. Persoalan cadar mencuat ketika atas beberapa permintaan. Equal
Treatment Commission (kasus no. 2003-40) membolehkan sebuah institusi pendidikan di
Amsterdam melarang pemakaian cadar dengan alasan bahwa cadar menghambat komunikasi
antara murid dan guru -yang menjadi salah satu esensi pendidikan- atau sesama murid, bahwa
cadar menyulitkan identifikasi siswa ketika masuk ujian. Menurut mereka, cadar juga berpotensi
merintangi masa depan sang pemakai dalam berlomba-lomba mencari pekerjaan. Beberapa tahun
silam, tepatnya pada 29 Agustus 2003, Universiteit Leiden kemudian juga melarang penggunaan
segala bentuk penutup muka dan seluruh atribut yang menghambat komunikasi mahasiswa dan
dosen selama kuliah berlangsung.
Melihat situasi ini, maka penulis menilai bahwa Belanda terlalu berlebihan dalam
menghadapi masyarakat muslim yang tinggal di wilayah Belanda, ditambah dengan sikap dari
politisi seperti Geert Wilders yang memang anti Islam. Selain itu penulis melihat bahwa Belanda,
khususnya pemerintahannya belum siap menerima kehadiran orang muslim yang ada diwilayah
mereka, dan belum memiliki cara-cara untuk menghadapi masyarakat muslim, yang merupakan
warga pendatang dari daratan Afrika Utara atau dari Timur Tengah, atau dari Asia. Semakin lama
masyarakat muslim semakin banyak jumlahnya yang berada di wilayah Belanda, dan semestinya
tidak perlu adanya tentangan baik dari pemerintah ataupun masyarakat, bahkan sampai membuat
undang-undang yang melarang penggunaan hijab karena sudah merupakan keharusan bagi
muslimah mengenakan hijab.
Menurut penulis, pelarangan cadar di Belanda atas dasar bahwa cadar menghambat

komunikasi dan mempersulit identifikasi, seperti yang dikemukakan secara resmi, tidak bisa
dibuktikan. Yang bisa dibuktikan adalah bahwa kebijakan ini merupakan akibat langsung
peristiwa 11 September, yang ditolak oleh otoritas setempat. Dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Annelies Moors, seorang professor di Jurusan Sosiologi dan Antropologi Budaya,
Amsterdam University bahkan menginformasikan bahwa kebijakan ini merupakan pengaruh Pim
Fortuyn, sebuah partai populis sayap kanan di Belanda. Salah seorang anggota partai ini bahkan
menyerukan bahwa jika para perempuan bercadar (yang biasa disebut muntaqibat atau
munaqqabat) menang dalam tuntutan partainya, maka mereka akan mengupayakan draft legislasi
nasional yang melarang cadar di semua tempat umum di Belanda (Herrera & Moors, 2003).

Lebih lanjut, kebijakan ini merupakan diskriminasi tidak langsung atas nama agama. Ini
tentu saja tidak bisa terjadi di negara-negara yang memegang teguh prinsip sekularisme dan
liberalisme seperti Belanda. Moors juga tentu sadar terhadap banyak asumsi bahwa cadar
merupakan bagian tak terpisahkan dari fundamentalisme Islam sejak Revolusi Islam Iran 1979.
Namun, kebijakan ini merupakan pukul rata yang tidak bisa dibuktikan untuk kasus Belanda,
meski orang juga tahu bahwa mayoritas populasi Muslim di Belanda khususnya atau Eropa pada
umumnya, adalah penganut Wahabisme, sebuah paham garis keras dalam Islam. Perempuan
bercadar di Belanda mesti dibedakan dengan perempuan-perempuan bercadar di dunia Muslim,
Mesir khususnya, yang sebagiannya memang boleh jadi teridentifikasi sebagai bagian dari Islam
radikal yang mengancam stabilitas politik.7

Jika kita menganalisis tindakan pemerintah Belanda untuk menjaga diri kita tetap netral,
hal itu cukup melawan hak-hak kebebasan dasar rakyat. Setiap orang memiliki hak untuk
memakai apa pun yang ia sukai, lalu bagaimana pemerintah dapat mendikte orang apa yang
harus dipakai dan apa yang tidak. Sejauh pembenaran tentang urusan sekularisme, aspek dasar
hak-hak kebebasan jauh lebih unggul yang disebut sebagai indikasi sekuler. Jika orang tidak
merdeka untuk menikmati kebebasan maka sekulerisme tidak ada gunanya. Apalagi jika kita
melihat kitab suci dari semua agama besar kita akan mencapai pada kesimpulan bahwa hijab
bukanlah identitas wanita Muslim semata, tetapi semua agama besar menyerukan perempuan
untuk mengenakan hijab. Agama Kristen, Yahudi, Hindu, dan Islam semuanya berbicara tentang
hijab. Usaha untuk melawan keyakinan milyaran orang di seluruh dunia, hanya untuk melayani
kepentingan pribadi dan pembenaran tidak logis dari segolongan kecil politikus adalah hal yang
benar-benar omong kosong dan tidak masuk akal.
Di Belanda, Muslim adalah minoritas yang cukup besar. Ada beberapa perempuan di
Belanda yang terlahir sebagai orang Belanda dan mengenakan hijab atau cadar sejak masih
remaja. Bagi perempuan-perempuan itu berita pelarangan ini tidaklah kurang dari malapetaka
apapun. Mereka tidak diizinkan untuk memakai apa yang mereka inginkan di tanah air mereka
sendiri, sehingga muncul pertanyaan tradisi demokrasi macam apakah yang sedang berjalan.
Apalagi jika pemerintah Belanda setelah beberapa tahun menyampaikan logika baru supaya tidak
7


Dikutip dan disadur dari http://www.rahima.or.id/index.php?
view=article&catid=39:teropong-dunia&id=220:teropong-edisi-11-membela-perempuanbercadar-di-belanda&option=com_content&Itemid=272 pada tanggal 1 Desember 2012

mengenakan pakaian karena mereka menyerupai kaum Muslim dan para pengikut agama-agama
lain. Tentu saja ini adalah hal yang sangat menggelikan, ajaran agama-agama besar terutama
Islam sungguh dengan sempurna berdasar pada alam sehingga siapapun tidak bisa lepas dari
alam.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa tindakan pemerintah Belanda jelas melanggar
hak-hak dasar kebebasan, seseorang memiliki hak untuk memakai apa yang dia sukai, tidak ada
yang memaksakan pendiktean terhadap apa yang harus dipakai dan apa yang tidak. Oleh karena
itu penulis sangat percaya bahwa pemerintah Belanda harus meninjau kembali keputusannya
tentang larangan bercadar dan berhijab karena bertentangan dengan keyakinan dan hak-hak dasar
milyaran orang di seluruh dunia, ribuan warga Belanda.
Mengingat masyarakat muslim yang berkembang semakin pesat, maka bagi semua
masyarakat non muslim yang menjadi mayoritas di suatu wilayah harus menerima kehadiran
masyarakat muslim, terutama di Belanda dan mengakomodir segala kebutuhan mereka tanpa
membedakan satu sama lain dengan penduduk asli, namun tetap menghormati ciri khas yang ada
dalam diri mereka. Penulis berharap bahwa dikemudian hari masyarakat Eropa khususnya
Belanda bisa lebih toleran terhadap siapa saja yang datang ke Belanda, terutama kepada
masyarakat Muslim. Karena dengan bersikap toleransi maka akan membawa citra baik terhadap

Belanda dan akan memberikan contoh bagi negara-negara di Eropa lain akan bentuk toleransi
terhadap umat beragama lainnya.