Artikel tentang Indonesia dan problem ke

Artikel tentang “Indonesia dan
problem kemiskinan”
Indonesia dan problem kemiskinan
oleh : Abdul Ghopur
Jakarta - Pada mulanya adalah kemiskinan. Lalu pengangguran.
Kemudian kekerasan dan kejahatan [crime]. Martin Luther King [1960]
mengingatkan, “you are as strong as the weakestof the people.” Kita tidak
akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih
miskin dan lemah. Maka untuk menjadi bangsa yang besar mayoritas
masyarakatnya tidak boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah.
Sesungguhnya kemiskinan bukanlah persoalan baru di negeri ini. Sekitar
seabad sebelum kemerdekaan Pemerintah Kolonial Belanda mulai resah
atas kemiskinan yang terjadi di Indonesia [Pulau Jawa]. Pada saat itu
indikator kemiskinan hanya dilihat dari pertambahan penduduk yang pesat
[Soejadmoko, 1980].
Kini di Indonesia jerat kemiskinan itu makin akut. Jumlah kemiskinan di
Indonesia pada Maret 2009 saja mencapai 32,53 juta atau 14,15 persen
[www.bps.go.id]. Kemiskinan tidak hanya terjadi di perdesaan tapi juga di
kota-kota besar seperti di Jakarta. Kemiskinan juga tidak semata-mata
persoalan ekonomi melainkan kemiskinan kultural dan struktural.
Pertanyaannya seberapa parah sesungguhnya kemiskinan di Indonesia?

Jawabannya mungkin sangat parah. Sebab, kemiskinan yang terjadi saat
ini bersifat jadi sangat multidimensional. Hal tersebut bisa kita buktikan
dan dicarikan jejaknya dari banyaknya kasus yang terjadi di seluruh
pelosok negeri ini.
Hakikat Kemiskinan
Meski kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban
manusia tetapi pemahaman kita terhadapnya dan upaya-upaya untuk
mengentaskannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Para
pengamat ekonomi pada awalnya melihat masalah kemiskinan sebagai
“sesuatu” yang hanya selalu dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi saja.

Hari Susanto [2006] mengatakan umumnya instrumen yang digunakan
untuk menentukan apakah seseorang atau sekelompok orang dalam
masyarakat tersebut miskin atau tidak bisa dipantau dengan memakai
ukuran peningkatan pendapatan atau tingkat konsumsi seseorang atau
sekelompok orang. Padahal hakikat kemiskinan dapat dilihat dari berbagai
faktor. Apakah itu sosial-budaya, ekonomi, politik, maupun hukum.
Menurut Koerniatmanto Soetoprawiryo menyebut dalam Bahasa Latin ada
istilah esse [to be] atau [martabat manusia] dan habere [to have] atau
[harta atau kepemilikan]. Oleh sebagian besar orang persoalan kemiskinan

lebih dipahami dalam konteks habere. Orang miskin adalah orang yang
tidak menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan kemiskinan urusan bersifat
ekonomis semata.
Kondisi Umum Masyarakat
Mari kita cermati kondisi masyarakat dewasa ini. Banyak dari mereka
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Bahkan, hanya untuk mempertahankan hak-hak dasarnya serta bertahan
hidup saja tidak mampu. Apalagi mengembangkan hidup yang terhormat
dan bermartabat. Bapenas [2006] mendefinisikan hak-hak dasar sebagai
terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan
hidup, serta rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Baik bagi
perempuan maupun laki-laki.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan
yang membuat negeri ini semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Hal
ini dapat kita buktikan dari tingginya tingkat putus sekolah dan buta huruf.
Hingga 2006 saja jumlah penderita buta aksara di Jawa Barat misalnya
mencapai jumlah 1.512.899. Dari jumlah itu 23 persen di antaranya berada
dalam usia produktif antara 15-44 tahun. Belum lagi tingkat pengangguran

yang meningkat “signifikan.” Jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 di
Indonesia sebanyak 12,7 juta orang. Ditambah lagi kasus gizi buruk yang
tinggi, kelaparan/busung lapar, dan terakhir, masyarakat yang makan “Nasi
Aking.”
Di Nusa Tenggara Timur (NTT) 2000 kasus balita kekurangan gizi dan
206 anak di bawah lima tahun gizi buruk. Sedangkan di Bogor selama
2005 tercatat sebanyak 240 balita menderita gizi buruk dan 35 balita yang
statusnya marasmus dan satu di antaranya positif busung lapar. Sementara
di Jakarta Timur sebanyak 10.987 balita menderita kekurangan gizi. Dan,
di Jakarta Utara menurut data Pembinaan Peran Serta Masyarakat
Kesehatan Masyarakat [PPSM Kesmas] Jakut pada Desember 2005 kasus
gizi buruk pada bayi sebanyak 1.079 kasus.

Faktor Penyebab Kemiskinan
Ternyata kemiskinan itu tidak terjadi begitu saja melainkan memiliki
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan. Adapun faktorfaktor penyebab terjadinya kemiskinan dapat dikategorikan dalam
beberapa hal berikut ini :
a. Merosotnya standar perkembangan pendapatan per-kapita secara
global.
Yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa standar pendapatan perkapita bergerak seimbang dengan produktivitas yang ada pada suatu

sistem. Jikalau produktivitas berangsur meningkat maka pendapatan perkapita pun akan naik. Begitu pula sebaliknya, seandainya produktivitas
menyusut maka pendapatan per-kapita akan turun beriringan. Berikut
beberapa faktor yang mempengaruhi kemerosotan standar perkembangan
pendapatan per-kapita:
1)
Naiknya standar perkembangan suatu daerah.
2)
Politik ekonomi yang tidak sehat.
3)
Faktor-faktor luar negeri, diantaranya:
4)
Rusaknya syarat-syarat perdagangan
5)
Beban hutang

6) Kurangnya bantuan luar negeri, dan Perang
b. Menurunnya etos kerja dan produktivitas masyarakat.
Faktor ini sangat penting dalam pengaruhnya terhadap kemiskinan. Oleh
karena itu, untuk
menaikkan etos kerja dan produktivitas masyarakat

harus didukung dengan SDA dan SDM yang bagus, serta jaminan
kesehatan dan pendidikan yang bisa dipertanggung jawabkan dengan
maksimal
c. Biaya kehidupan yang tinggi.
Melonjak tingginya biaya kehidupan di suatu daerah adalah sebagai akibat
dari tidak adanya keseimbangan pendapatan atau gaji masyarakat.
Tentunya kemiskinan adalah konsekuensi logis dari realita di atas. Hal ini
bisa disebabkan oleh karena kurangnya tenaga kerja ahli dan banyaknya
pengangguran.
d. Pembagian subsidi in come pemerintah yang kurang merata.
Hal ini selain menyulitkan akan terpenuhinya kebutuhan pokok dan
jaminan keamanan untuk para warga miskin, juga secara tidak langsung
mematikan sumber pemasukan warga. Bahkan di sisi lain rakyat miskin
masih terbebani oleh pajak negara.
Dampak Kemiskinan
Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak
dan kompleks. Pertama, pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah
pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah
yang cukup “fantastis” mengingat krisis multidimensional yang sedang
dihadapi bangsa saat ini.

Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak
memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak
memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan
pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing
dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung
terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.
Dalam konteks daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya
pembangunan manusia di Tanah Air, akan melemahkan kekuatan daya
saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui
kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain
secara global. Dalam konteks daya beli di tengah melemahnya daya beli
masyarakat kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka
kemiskinan. Razali Ritonga menyatakan perkiraan itu didasarkan atas
kontribusi pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis
kemiskinan yakni hampir tiga perempatnya [74,99 persen].
Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya
tingkat pendidikan seseorang. Tetapi, juga disebabkan kebijakan

pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau
pertumbuhan [growth]. Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia

tahun 1997 silam misalnya banyak perusahaan yang melakukan
perampingan jumlah tenaga kerja. Sebab, tak mampu lagi membayar gaji
karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang
terpaksa harus dirumahkan atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK
[Putus Hubungan Kerja].
Kedua, kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhirakhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak
mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak
ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga
keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya,
merampok, menodong, mencuri, atau menipu [dengan cara mengintimidasi
orang lain] di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak
keluarganya ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga
dengan mudah ia mendapatkan uang dari memalak.
Ketiga, pendidikan. Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan
fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat
masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau
pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang
sangat mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali
sehari saja mereka sudah kesulitan.
Bagaimana seorang penarik becak misalnya yang memiliki anak cerdas

bisa mengangkat dirinya dari kemiskinan ketika biaya untuk sekolah saja
sudah sangat mencekik leher. Sementara anak-anak orang yang berduit
bisa bersekolah di perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas
lengkap. Jika ini yang terjadi sesungguhnya negara sudah melakukan
“pemiskinan struktural” terhadap rakyatnya.
Akhirnya kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam.
Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat
pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan
seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan
bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era
globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
Keempat, kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang
sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta
besar menerapkan tarif atau ongkos pengobatan yang biayanya melangit.
Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.
Kelima, konflik sosial bernuansa SARA. Tanpa bersikap munafik konflik
SARA muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin

yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. M
Yudhi Haryono menyebut akibat ketiadaan jaminan keadilan “keamanan”

dan perlindungan hukum dari negara, persoalan ekonomi-politik yang
obyektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif.
Terlebih lagi fenomena bencana alam yang kerap melanda negeri ini yang
berdampak langsung terhadap meningkatnya jumlah orang miskin.
Kesemuanya menambah deret panjang daftar kemiskinan. Dan, semuanya
terjadi hampir merata di setiap daerah di Indonesia. Baik di perdesaan
maupun perkotaan.

Musuh Utama Bangsa
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini
adalah kemiskinan. Sebab, kemiskinan telah menjadi kata yang
menghantui negara-negra berkembang. Khususnya Indonesia. Mengapa
demikian? Jawabannya karena selama ini pemerintah [tampak limbo]
belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu.
Kebijakan pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro
poor. Sebab, dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran,
dan kekerasan selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural
dan pendekatan ekonomi [makro] semata.
Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik. Padahal kebijakan
pengentasan kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau


non-statistik. Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya
“buttom-up intervention” dengan padat karya atau dengan memberikan
pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental
wirausaha [enterpreneur].
Karena itu situasi di Indonesia sekarang jelas menunjukkan ada banyak
orang terpuruk dalam kemiskinan bukan karena malas bekerja. Namun,
karena struktur lingkungan [tidak memiliki kesempatan yang sama] dan
kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa naik kelas atau
melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Paradigma Pembangunan
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas kuncinya harus ada
kebijakan dan strategi pembangunan yang komprehensif dan berkelanjutan
jangka panjang. Pemerintah boleh saja mengejar pertumbuhan-ekonomi
makro dan ramah pada pasar. Tetapi, juga harus ada pembelaan pada
sektor riil agar berdampak luas pada perekonomian rakyat.
Ekonomi makro-mikro tidak bisa dipisahkan dan dianggap berdiri sendiri.
Sebaliknya keduanya harus seimbang-berkelindan serta saling
menyokong. Pendek kata harus ada simbiosis mutualisme di antara
keduanya.

Perekonomian nasional dengan demikian menjadi sangat kokoh dan vital
dalam usaha pemenuhan cita-cita tersebut. Perekonomian yang tujuan
utamanya adalah pemerataan dan pertumbuhan ekonomi bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sebab, tanpa perekonomian nasional yang kuat dan
memihak rakyat maka mustahil cita-cita tersebut dapat tercapai. Intinya
tanpa pemaknaan yang subtansial dari kemerdekaan politik menjadi
kemerdekaan ekonomi maka sia-sialah pembentukan sebuah negara.
Mubazirlah sebuah pemerintahan. Oleh karenanya pentingnya menghapus
kemiskinan sebagai prestasi pembangunan yang hakiki. [Dari berbagai
sumber].
Opini saya :
Pemerintah menciptakan lapangan kerja yang mampu menyerap banyak
tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran, karena pengangguran
adalah salah satu sumber penyebab kemiskinan terbesar di Indonesia.
pemerintah juga harus segera menghapus atau menyelesaikan masalah
korupsi hingga tuntas. karna korupsi adalah tindakan mencuri uang negara
dan membuat terhambatnya pembangunan fasilitas masyarakat.
sumber
:
http://us.suarapembaca.detik.com/read/2010/02/22/081829/1303963/471/i
ndonesia-dan-problem-kemiskinan

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24