PROGRAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA UN

Please quote as:
=====================================================================
Sujana, I Made. 2012. Program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA): Peluang,
Tantangan dan Solusi. Makalah disampaikan pada “Seminar Internasional “Menimang
Bahasa Membangun Bangsa” Diselenggarakan oleh FKIP Universitas Mataram di Hotel
Grand Legi Mataram, Lombok, NTB, 5-6 September 2012.
=====================================================================

PROGRAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
UNTUK PENUTUR ASING (BIPA): PELUANG,
TANTANGAN DAN SOLUSI

Oleh:

I Made Sujana
Pusat Bahasa Universitas Mataram
mdenasujana@gmail.com
www.imadesujana.com

Makalah Disampaikan pada
Seminar Internasional “Menimang Bahasa, Membangun Bangsa ”

Hotel Grand Legi Mataram, 5-6 September 2012

1

LUSTRUM VI FKIP UNIVERSITAS MATARAM
DAN
ULANG TAHUN EMAS UNIVERSITAS MATARAM

2

PROGRAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA UNTUK PENUTUR
ASING (BIPA): PELUANG, TANTANGAN DAN SOLUSIi

Oleh:
I Made Sujana
Pusat Bahasa Universitas Mataram
mdenasujana@gmail.com
www.imadesujana.com

Abstrak. Program Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) semakin marak

dilaksanakan baik di sentra-sentra BIPA dalam negeri maupun sentra-sentra di luar negeri.
Perkembangan ini memberi peluang bagi lembaga-lembaga pendidikan maupun perorangan
untuk mengambil bagian sesuai dengan kapasitas masing-masing karena BIPA diibaratkan
sebagai hutan belantara yang didalamnya terkandung potensi-potensi yang luar biasa untuk digali
(Riasa, 2011). Program BIPA bisa digarap dari dimensi bisnis (berupa program kursus), dari
dimensi bidang ilmu (kajian khusus tentang pembelajaran BIPA dan linguistic BIPA), dan dari
dimensi profesi (BIPA bisa digeluti sebagai profesi). Bagi masyarakat NTB, garapan dimensi ini
ditunjang oleh semakin maraknya NTB sebagai daerah tujuan wisata. Selain itu Program BIPA
juga sebagai batu loncatan untuk menindaklanjuti kerjasama di luar hal-hal yang berkaitan
dengan belajar bahasa, karena pebelajar asing belajar bahasa Indonesia bukan untuk menjadi ahli
bahasa tetapi menggunakan kemampuan berbahasa sebagai tujuan antara. Dibalik potensi-potensi
tersebut di atas, kita dihadapkan pada berbagai tantangan: Apakah kita sudah siap dengan
program-program yang kita tawarkan?, Apakah sumberdaya manusia (instruktur) yang kita
hasilkan sudah siap mengajar BIPA? Apakah dengan berbekal S1 Pendidikan Bahasa dan Seni
sudah siap menjadi instruktur BIPA? Apakah lususan S1 Pendidikan Bahasa dan Seni telah
dibekali dengan model-model/strategi/teknik belajar bahasa asing (BI sebagai Bahasa Asing)?
Apakah kita sebagai penutur asli bahasa Indonesia cukup percaya diri untuk menjelaskan
Tatabahasa Indonesia? Itulah diantara tantangan yang harus dijawab oleh kita semua yang ingin
menjadi penggiat BIPA. Tulisan ini akan membahas potensi-potensi Program BIPA dan
tantangan-tantangan yang mungkin dihadapi ketika ingin menyelenggarakan atau terlibat dalam

program BIPA serta solusi-solusi dalam menghadi tantangan tersebut.
Kata-Kata Kunci: BIPA, potensi, tantangan

A. PENDAHULUAN
Program BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) adalah program pembelajaran
bahasa Indonesia untuk orang-orang yang bahasa ibunya bukan bahasa Indonesia dan
yang berasal dari luar Indonesia. Program ini semakin berkembang baik di dalam maupun
di luar negeri dan merupakan salah satu program Pemerintah Indonesia melalui Badan
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (BPPB) Kemendiknas sebagaimana yang tertuang
pada PP No. 24 tahun 2009. Sampai saat ini sudah tercatat paling tidak ada 179 sentra
penyelenggara BIPA di 48 negara dan diprediksi akan terus berkembang (Maryani,
2011).
Beberapa faktor yang mendukung merebaknya program pengajaran BIPA baik di
dalam maupun di luar negeri antara lain dari aspek geografis, perdagangan dan industri,
pariwisata, dan pendidikan. Letak geografis Indonesia yang menjadi tetangga terdekat
3

dengan Australia memungkinkan orang Australia menjadikan Indonesia sebagai pilihan
utama untuk berlibur, melakukan bisnis dan kegiatan lain mengingat jarak. Kedekatan
seperti ini akan mendorong orang Australia, baik perorangan maupun isntitusi, belajar

bahasa Indonesia. Dari aspek perdagangan dan industri, jumlah penduduk Indonesia yang
sangat besar memiliki potensi untuk memasarkan barang dan jasa dari luar negeri untuk
dipasarkan di Indonesia apalagi dengan dibukanya pasar bebas (global market). Sejalan
dengan mengalirnya barang dan jasa dari luar negeri, kedudukan bahasa Indoenesia akan
semakin semakin penting karena keberhasilan sebuah transaksi akan ditentukan oleh
kemampuan berbahasa Indonesia. Dengan demikian, Program BIPA akan semakin
memegang peran penting. Terkait dengan aspek pariwisata, keindahan alam dan ragam
budaya Indonesia menarik perhatian orang asing untuk datang apakah sebagai turis,
sebagai pebisnis, maupun sebagai peneliti. Selain terkait dengan penelitian berbagai
bidang, semaraknya program BIPA di luar negeri akan membuka peluang
penyelenggarakan pendidikan ke-BIPA-an untuk guru-guru dari luar Indonesia,
disamping terbukanya peluang bagi orang asing untuk mengikuti studi lebih lanjut S1, S2
dan S3 di universitas-unibersitas yang telah memiliki reputasi internasional. Untuk tujuan
tersebut, diperlukan tingkat penguasaan bahasa Indonesia yang memadai.
Dengan demikian, Program BIPA akan memberikan peluang kita orang Indonesia
sebagai business berupa penawaran program-program kursus/training, sebagai bidang
ilmu terkait dengan penelitian dalam metodologi pembelajaran ke-BIPA-an dan linguistik
BIPA, maupun sebagai sebuah profesi yang peluang kita terbuka untuk menjadi instrukur
yang banyak dibutuhkan di dalam dan luar negeri.
Akan tetapi di balik peluang yang besar terdapat tantangan-tantangan yang cukup

berat untuk mewujudkan peluang di atas. Berkaca dari Program BIPA Pusat Bahasa
Universitas Mataram yang telah berjalan dari tahun 1996 dengan kerjasama Northern
Territory University (NTU yang sekarang bernama Charles Darwin University (CDU))
dan selanjutnya berkembang menjadi kerjasama dengan 4 universitas di Australia yang
tergabung dalam Konsorsium RUILI (Regional Universities‟ Indonesian Language
Initiatives), terekam berbagai kendala sebagai sebuah pengalaman atau pembelajaran
yang menarik untuk dikaji dan dicarikan solusi oleh penggiat BIPA. Pembelajaran yang
dapat dipetik antara lain: (a) Mengajar bahasa Indonesia untuk penutur asing berbeda
dengan mengajar bahasa Inggris untuk penutur asing dalam banyak hal (b) Program
BIPA memiliki kekhasan dalam hal metodologi pengajaran, bahan ajar, sistem penilaian,
dukungan sistem administrasi, (c) Sebagai penutur asli bahasa Indonesia (dan/atau sarjana
pendidikan yang telah memperoleh ilmu keguruan) belumlah cukup modal untuk menjadi
intstruktur BIPA, (d) Mengingat target dan keinginan peserta satu dengan yang lainnya
berbeda membuat penyusunan program BIPA dan pengembangan profesional instruktur
tidak pernah berakhir, (e) Sering terjadi mispersepsi antara instruktur dengan pebelajar
yang disebakan oleh perbedaan budaya.
Dari pemaparan di atas, Program BIPA memiliki peluang yang besar utuk
dikembangkan karena akan memberikan keuntungan baik dari aspek bisnis, ilmu
pengetahuan dan profesi dan sekaligus memberikan tantangan yang cukup besar dalam
pengelolaannya. Paper ini selanjutnya akan memaparkan tentang peluang dan tantangan

sekaligus mengusulkan solusi terhadap tantanganya.

4

B. PEMBAHASAN
Program BIPA sebagaimana disebutkan di atas memberikan berbagai peluang untuk kita
rebut sekaligus memunculkan tantangan dalam menyelenggarakannya. Dari segi peluang,
Program BIPA akan membuka lapangan kerja baru baik berupa bisnis pengelolaan kursus
maupun sebagai tenaga pengajar. Selain itu, BIPA juga berpotensi memunculkan bidang
ilmu baru yang setara dengan pengajaran bahasa Inggris untuk orang asing (TEFL).
Sebagai bidang baru akn memungkinkan tumbuhnya kajian-kajian baik penelitian
maupun hasil pemikiran terkait dengan metode pengajaran BIPA, media pembelajaran
BIPA, linguistic BIPA, kajian budaya BIPA, dll. Berikut ini disajikan berbagai peluang
dan tantangan dalam Program BIPA.
1. PELUANG DAN TANTANGAN PROGRAM BIPA
Sebagaimana diungkapkan di atas bahwa merebaknya penyelenggaraan Program
BIPA baik di dalam maupun di luar negeri memberikan peluang besar bagi intelektual
Indonesia untuk mengembangkan sayapnya dalam kegiatan ke-BIPA-an dengan porsi
masing-masing. Namun dibalik peluang-peluang tersebut, selalu ada tantangan yang
harus dihadapi mengingat BIPA sebagai bidang yang relatif baru di Indonesia dan

mengalami perkembangan yang sangat lambat. Ini tercermin dari keberadaan
program, bahan ajar yang belum banyak dikembangkan, perkembangan metodologi
pengajaran yang cendrung mengadopsi bahasa asing lain, dan berbagai tantangan
lainnya. Berikut ini disajikan berbagai peluang dan tantangan pengembangan BIPA
dari berbagai sudut pandang.
a. Program BIPA sebagai Bisnis
Program BIPA akan memberikan peluang baru bagi lembaga bahasa, pusat-pusat
bahasa, dan kursus untuk melebarkan sayapnya dengan menyediakan pelayanan
kursus/kuliah Bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Hal ini dimungkinkan
antara lain oleh perkembangan minat belajar bahasa Indonesia di luar negeri,
semakin meningkatnya jumlah ekspatriat yang bekerja di Indonesia, semakin
berpotensinya Indonesia sebagai pangsa pasar produk luar negeri karena jumlah
penduduknya banyak dan semakin dipacunya kegiatan kepariwisataan di beberapa
wilayah di Indonesia termasuk NTB, serta semakin menariknya Indonesia sebuah
kajian dari berbagai aspek. Hal yang terakhir ini memunculkan kebutuhan orang
asing belajar bahasa Indonesia untuk studi lanjut atau penelitian tentang
Indonesia. Dengan demikian, sentra-sentra pelatihan/kursus bahasa perlu
menambahkan lembaganya dengan program-program non-degree ke-BIPA-an
seperti kursus BIPA, lokakarya dan program sertifikasi guru BIPA. Dengan
peluang ini akan semakin banyak tenaga kerja yang bisa terserap. Bagi perguruan

tinggi, perkembangan ini bisa memotivasi munculnya program studi baru, yairu
Program Studi Bahasa dan Budaya Indonesia untuk Penutur Asing.
Keberlangsunga Program BIPA sebagai sebuah bisnis akan sangat ditentukan oleh
profesionalisme program dan profesionalisme pengelolaan. Sebagai sebuah
program pendidikan, Program BIPA harus memiliki kelengkapan sebuah lembaga
pendidikan, baik berupa software berupa kurikulum maupun hardware berupa
sarana prasarana. Program BIPA dituntut untuk memiliki perangkat pembelajaran
5

yang didalamnya termasuk kurikulum, silabus, dan lesson plan dari program dan
memiliki sistem penilaian yang valid dan realiable. Terkait dengan penyususnan
perangkat pembelajaran, kendala yang mungkin dialami adalah penetapan
tujuan/kompetensi yang akan menjadi titik sentral pengembangan komponen
berikutnya. Kendala ini bersumber dari kebutuhan yang berbeda-beda antara
program yang satu dengan program yang lainnya dan karakteristik pembelajar
asing (terutama dari negara-negara Barat) dengan latar budayanya masingmasing. [berbeda dengan karakteristik pebelajar kita dalam belajar bahasa Inggris
atau bahasa Indonesia yang menerima saja apa yang diberikan, jarang protes
sehingga meninabobokan gurunya bahwa tidak ada masalah dalam
pembelajarannya, demikian juga dalam sistem penilaian].
Setelah tersusun program yang telah dilengkapi dengan materi, maka masalah

yang perlu diantisipasi dan merupakan masalah yang paling krusial adalah
bagaimana menyampaikan materi tersebut supaya bisa membelajarkan pebelajar.
Di sinilah kendala utama yang dihadapi oleh praktisi BIPA yaitu bagaimana
membuat suasana kelas yang benar-benar aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan dengan tetap menekankan pada aspek efektivitas pembelajaran –
yaitu pencapaian tujuan pembelajaran. Pebelajar asing adalah pebelajar kritis dan
memiliki pola pebelajar. Setiap langkah yang kita lakukan sebagai guru dan
mereka lakukan sebagai pebelajar harus jelas dan sistematis. Ini sering menjadi
sumber masalah pengajar dengan pebelajar karena ketika pebelajar merasa tidak
puas atau merasa tidak belajar apa-apa, maka mereka menunjukkan
ketidakpuasannya secara langsung dengan reaksi yang bermacam-macam
(menangis, keluar kelas, protes langsung, protes ke pengelola). Yang diperlukan
dalam konteks seperti ini adalah kekuatan mental dan menerima kekurangan kita
untuk diperbaiki (guru sebagai insane pebelajar). Tidak sedikit instruktur Pusat
Bahasa UNRAM, misalnya, minta mengundurkan diri di tengan program karena
tidak tahan terhadap perlakukan mahasiswa. Sebaliknya, sekali kita bisa
memuaskan kebutuhan mereka, maka proses pembelajaran sangat mudah – guru
bisa santai di kelas dan pebelajar merasa nyaman dan merasa memproleh yang
ingin mereka pelajari. Kalau bisa terus bertahan seperti ini maka kita merasa
nyaman dan satu keberhasilan akan cendrung berbuah keberhasilan lain karena

kita merasa sudah bisa menguasai medan.
Selain kesiapan program, kendala lain yang sering ditemui dalam Program BIPA
adalah siapa yang akan mengajar. Menurut Kurniawan (2007), salah kaprah yang
terjadi selama ini terkait dengan program BIPA adalah siapa saja yang merasa diri
penutur Indonesia atau orang asing yang telah belajar bahasa Indonesia sudah siap
menjadi Instruktur BIPA. Seseorang yang memiliki hak dan kemampuan
mengajarkan bahasa Indonesia adalah orang yang memiliki latar belakang ilmu
pengetahuan dan keahlian berbahasa, sastra, dan budaya Indonesia dan memiliki
kewenangan akte sebagai tenaga pengajar. Pertanyaan yang lebih mendalam perlu
dikaji adalah apakah yang tertuang dalam kewenangan akta mengajar telah
termasuk di antaranya kemampuan pedagogis untuk berhadapan dengan penutur
asing seperti kemapuan menyusun program bahasa Indonesia sebagai bahasa
6

asing, model-model pembelajaran, pengembangan media, pelaksanaan sistem
evaluasi dan pemahaman lintas budaya. Kalau itu yang menjadi kriteria pengajar
BIPA maka instruktur BIPA harus dibekali dengan kompetensi ke-BIPA-an.
Caranya? Dengan menambahkan matakuliah yang menuntut Program Studi untuk
melakukan rekonstruksi kurikulumnya, mengikuti loka karya berkesinambungan,
atau program sertifikasi ke-BIPA-an [lebih rinci tentang SDM akan dibahas pada

pembahasan BIPA sebagai profesi di bawah].
Kendala lain yang dihadapi ketika berhadapan dengan pebelajar asing adalah
masalah penilaian. Perbedaan budaya melahirkan perbedaan dalam penilaian dan
pebelajar asing selalu menuntut reasoning dalam setiap penilaian yang diberikan.
Diperlukan latihan memberikan penilaian dengan menggunakan rubrik-rubrik
yang telah disusun sebelumnya dan harus disosialisakan kepada pebelajar karena
dipakai acuan dalam belajar. Pertanyaan yang sering muncul dalam penilaian esei
atau berbicara adalah ketika kita memberikan nilai 75 yang berarti tingkat
penguasaanya 75%, maka pertanyaan yang mungkin muncul adalah apa kira-kira
yang 25% lagi yang belum saya kuasai (pertanyaan yang hampir tidak pernah
keluar dari mahasiswa kita. Yang dituntut dalam penilaian adalah obyektivitas
dan kejelasan. Mereka tidak senang diberikan nilai tanpa kriteria yang jelas
b. Program BIPA sebagai Kajian (Sains)
Dengan perkembangan BIPA saat ini, tidak menutup kemungkinan BIPA akan
menjadi suatu bidang ilmu tersendiri yang sejajar dengan TEFL/TESOL dalam
pengajaran Bahasa Inggris. Para penggiat BIPA dari seluruh dunia minimal
setahun sekali berkumpul dalam Forum Konferensi Internasional Bahasa
Indonesia untuk Penutur Asing (KIPBIPA). Pada tahun 2012 ini juga kegiatan
KIPBIPA VIII bekerjasama dengan Asosiasi Guru Bahasa Indonesia Australia
yang tergabung dalam ASILE (Australian Society of Indonesian Language
Educators) mengadakan seminar internasional di UKSW Salatiga. Dari kegiatankegiatan yang dilakukan oleh ASILE, tentu banyak sekali pemikiran-pemikiran
tentang BIPA yang telah digulirkan dari berbagai dismensi. Akan tetapi ada
temuan menarik yang disajikan oleh Alwasilah (dalam Riasa, 2007) terkait
dengan penelitian tentang ke-BIPA-an. Dari kajian makalah selama lima tahun
penyelenggaraan KIPBIPA, Alwasilah menemukan bahwa makalah yang
disajikan dalam KIPBIPA didominasi oleh makalah hasil pemikiran. Ini artinya
kajian-kajian BIPA melalui penelitian belum banyak dilakukan. Minimnya
penelitian menurut beliau disebabkan antara lain oleh (a) kurangnya kerjasama
antar lembaga; (b) kesinambungan kegiatan BIPA sering terhambat oleh berbagai
faktor; dan (c) lembaga BIPA non-perguruan tinggi tidak berminat mengadakan
penelitian karena menganggap bukan tugas dan tanggung jawabnya. Selain itu,
rendahnya kegiatan penelitian BIPA disebabkan oleh belum banyaknya peneliti
yang serius menekuni BIPA karena BIPA masih belum menjanjikan sebagai
sebuah profesi karena kegiatannya masih bersifat musiman.
Padahal kalau ditelusuri BIPA sebenarnya memiliki peluang penelitian yang
sangat besar sejajar dengan pengajaran bahasa asing lainnya. Rekan-rekan dari
7

Pendidikan Bahasa dan Sastra maupun Sastra murni (Indonesia mapun Inggris)
harus mulai membuka mata untuk mengembangkan penelitiannya pada ke-BIPAan. Penelian ke-BIPA-an dapat terkait dengan masalah-masalah kompetensi
pedagogis, kompetensi profesional (akademis) maupun masalah-masalah yang
terkait dengan pemahaman lintas budaya (CCU). Secara lebih rinci, kegiatan
penelitian dapat berupa analisis kebutuhan pebelajar BIPA, rancangan
kurikulum/silabus dengan berbagai pendekatan pengembangan bahasa
asing/bahasa kedua (seperti theme-based, skill-based, function and notion,
structural-based approaches, dll), penelitian tindakan kelas atau penelitian
eksperimen terkait dengan penggunaan berbagai model pembelajaran bahasa
asing untuk meningkatkan berbagai ketrampilan dan aspek kebahasaan, penelitian
tentang analisis kesalahan berbahasa (lisan maupun tulis), penelitian tentang
Tatabahasa untuk BIPA (teknik pengajarannya dan aspek-aspek yang sulit
dipelajari oleh penutur asing), penelitian tentang pemahaman lintas budaya yang
melatarbelakangi penggunaan bahasa dan kendala-kendala yang dihadapi oleh
penutur asing dari negara berbeda, dan masih banyak lagi yang bisa digali dari
penelitian BIPA.
Dari pemaparan di atas, kegiatan penelitian BIPA dapat dilakukan oleh semua
orang yang terlibat dalam pembelajaran BIPA. Pihak manajemen bisa
mengadakan penelitian terkait dengan analisis kebutuhan dan hal-hal yang
berkaitan dengan program-program pengajaran BIPA dan para instruktur dapat
meneliti kelasnya sendiri dengan melakukan eksperimen dan/atau penelitian
tendikan kelas tentang model-model pembelajaran, media atau permainanpermainan dalam pengajaran skill dan aspek kebahasaan. Manajemn dan
instruktur dapat melakukan kolaborasi untuk mengadakan penelitian sesuai
dengan permasalahan yang berkembang.
Salah satu kegiatan penelitian yang didanai dalam Skim Strategis Nasional DIKTI
Kemendikbud Jakarta adalah penelitian tentang rancangan perangkat
pembelajaran BIPA dengan menerapkan pendekatan berbasis tema oleh Tim
Pusat Bahasa UNRAM (Sujana, Sudika, Fitrina, dan Syahrial, 2012) yang
diharapkan akan menghasilkan Kurikulum, 8 jenjang silabus dan RPP dan tahun
kedua menghasilkan 8 buku ajar dan instrument penilaian (jika didanai).
Penelitian lain yang telah dilakukan berupa penelitian tindakan kelas, misalnya,
Nastiti dan Sinaga (2010) tentang peningkatan kemampuan berbicara melalui film
dokumenter di Universitas Trisakti. Penelitian-penelitian seperti ini perlu
dikelompokkan dan selanjutnya dipublikasikan untuk bisa dijadikan bahan untuk
„sharing‟ pengetahuan dan ketrampilan sesama penggiat BIPA.
c. Program BIPA sebagai Profesi
Dengan semakin maraknya sentra BIPA baik di dalam maupun di luar negeri,
akan semakin berpeluang untuk menjadikan mengajar Program BIPA sebagai
sebuah profesi baru. Ketika Program BIPA hanya diminati oleh beberapa orang
asing maka peluang mengajar biasanya diaraih oleh orang-rang dari jurusan
bahasa Inggris karena memiliki tingkat rasa percaya diri yang lebih dalam
8

berkomunikasi, sehingga ketika program mulai banyak diminati pun masih
didominasi oleh orang-orang dari program studi bahasa Inggris. Situasi ini
memunculkan pertanyaan “Mengapa ada kecendrungan bahwa Program BIPA di
Indonesia kebanyakan didominasi oleh orang-orang dari PS Bahasa Ingris?”
Sementara pada Kongres Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (KIPBIPA) VI di
Pusat Bahasa DEPDIKNAS Jakarta tahun 2007 dan KIPBIPA VII di Universitas
Indonesia Jakarta tahun 2010 selalu muncul wacana tetntang “siapa yang berhak
dan memiliki kemampuan mengajarkan BIPA”. Program BIPA UI misalnya
dikelola oleh mereka yang memiliki latar belakang Pendidikan dan Sastra
Indonesia (komunikasi personal dengan mitra kerja LBI FIB UI). Kalau kita
mencermati apa yang disampaiakan oleh Kurniawan (2007) di atas, yang berhak
dan memiliki kemampuan untuk menjadi guru BIPA adalah lulusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia sementara yang berasal dari Fakultas Sastra belum
memenuhi syarat karena kewenangan akta mengajar. Akan tetapi,untuk menjawab
wacana ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: (1) apa kriteria “instruktur
BIPA yang berterima ” bagi pebelajar asing; (2) apa tujuan orang asing belajar
bahasa Indonesia – sebagai linguist atau sebagai pengguna bahasa; (3) apakah
yang bersangkutan telah memilki bekal tentang metodologi pengajaran bahasa
sebagai bahasa asing; dan sebagai tambahan (4) apakah yang bersangkutan
memiliki kemampuan berbahasa asing sebagai alat komunikasi. Ada wacana yang
menarik dilontarkan terkait dengan instruktur BIPA khususnya di Pusat Bahasa
UNRAM oleh salah seorang dosen senior bahasa Indonesia dari University of
Sunshine Coast Autralia, yang secara periodik menjadi Resident Director Program
BIPA Pusat Bahasa UNRAM kerjasama dengan Konsorsium RUILI Australia.
Mencermati pasang surut dan keberagaman penampilan instruktur BIPA Pusat
Bahasa UNRAM, Dr. Philip Mahnken berkomentar pada suatu rapat mingguan:
… we don’t care what qualifications they have, but what we need is teachers who
are capable of making our students learn, who want to learn from their failure in
class, who are willing to prepare themshelves. We don’t need unprepared
teachers,… We don’t need teachers with fossilized ways of tea ching …
Pernyataan Dr. Mahnken di atas merubah kriteria instruktur BIPA Pusat Bahasa
UNRAM tahun-tahun mendatang. Muncullah instruktur muda dan instruktur
senior yang tanggap terhadap perubahan-perubahan paradigma pengajaran dan
terbuka untuk menerima kritikan dari peserta, Resident Director, dan management
Pusat Bahasa yang dilontarkan secara terbuka dalam rapat mingguan program,
dimana semua pihak melaporkan best practices dan bad practices yang dirasakan
oleh instruktur dan dari hasil pengamatan oleh RD dan manajemen. Hal ini
dimungkinkan mahasiwa belajar BIPA adalah untuk bisa berkomunikasi sehingga
bagaimana menciptakan berbagai kegiatan kelas untuk mampu berkomunikasilah
yang dipentingkan, bukan untuk menjadi ahli bahasa. Terkait dengan penjelasan
gramatika, misalnya, yang diperlukan mahasiswa adalah penjelasan yang
sederhana dan tepat guna untuk berkomunikasi. Dari 21 instruktur yang dimiliki
oleh Pusat Bahasa UNRAM saat ini 20 diantaranya berasal dari PS Pendidikan
Bahasa Inggris.
9

Idealnya, seseorang yang ingin terlibat dalam kegiatan BIPA harus memenuhi
kriteria antara lain: (a) menguasai bidang ilmunya (dalam hal ini tidak hanya
memiliki kemampuan menggunakan bahasa dengan baik terkait 4 ketrampilan
berbahasa tetapi juga harus memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek
kebahasaaan), (b) memiliki kompetensi pedagogis, terutama terkait dengan
pengajaran bahasa sebagai bahasa asing (dalam hal ini kemampuan yang dituntut
adalah kemampuan merencanakan, mengimplementasikan dan mengevaluasi
program. Dalam implementasi, diperlukan kemampuan menerapkan model, media
yang tepat sesuai dengan karakteristik pebelajar. Memahami karakteristik
pebelajar asing menjadi catatan khusus dalam BIPA yang berbeda dengan
karakteristik pebelajar Inggris), (c) memiliki pengetahuan yang luas, (d)
responsive terhadap terhadap perkembangan ilmu (sebagai insan pebelajar), (e)
memiliki tanggung jawab dan lapang terhadap kritikan, (f) memiliki kode etik
sebagai pengajar BIPA, (g) memiliki pengetahuan lintas budaya (cross-cultural
understanding).
Dari wacana-wacana di atas, persoalan harus dikembalikan kepada calon
instruktur: apakah dia memiliki kriteria menjadi instruktur yang berterima ?,
apakah dalam perkuliahan dibekali dengan kemampuan yang harus dimiliki oleh
seorang instruktur BIPA? apakah paradigma pembelajaran telah berubah dari
teachers’ centered ke learners’ centered dengan segala kebutuhannya? Kalau
semua kriteria-kriteria tersebut terpenuhi maka yang menjadi ujiboba terakhir
adalah lapangan, yaitu kelas sebenarnya. Dari segi pengakuan, kebanyakan
sarjana Pendidikan dan Sastra Indonesia merasa siap mengajar Program BIPA
karena selain sebagai penutur asli mereka sudah mendapat pendidikan formal
kurang lebih 4 tahun [Ini sering menjadi dilemma bagi pengelola BIPA]. Dengan
berbekal keduanya, sebenarnya telah menjadi modal yang sangat kuat, tetapi
harus dilengkapi dengan kriteria pengajar BIPA lainnya. Kalau kita bandingkan
dengan instruktur pengajaran Bahasa Inggris sebagai Bahasa asing, maka akan
ditemukan fakta yang berbeda – seorang penutur asli bahasa Inggris tidak harus
kuliah S1 Pendidikan Bahasa Inggris selama 4 tahun untuk menjadi guru bahasa
Inggris tetapi cukup mengambil sertikat TEFL atau TESOL selama setahun.
Makna dari statemen di atas adalah kita sebagai penutur asli bahasa Indonesia
dalam bidang apa ilmu apa saja sebenarnya bisa saja menjadi pengajar Program
BIPA tetapi yang perlu membekali diri dengan kemampuan menyusun program
BIPA, metodologi pembelajaran BIPA, karakteristik pebelajar BIPA, kepekaan
terhadap kebutuhan pebelajar, memiliki etos kerja kuat. Intinya adalah
keunggulan kita sebagai penutur asli harus diimbangi dengan keinginan belajar
yang kuat baik secara mandiri maupun melalui kegiatan lokakarya, termasuk
kemauan belajar berbahasa asing (Inggris).
d. Program BIPA sebagai Sentra Pendidikan
Peluang lain yang bisa diciptakan oleh Program BIPA adalah sentra pendidikan.
Dengan banyaknya orang asing dan orang Indonesia yang terlibat sebagai
10

instruktur BIPA, maka banyak orang yang tertarik untuk membekali kemampuan
yang disyaratkan di atas. Program pendidikan yang terkecil adalah diadakannya
program non-degree Program Lokakarya Pengajaran BIPA seperti yang sudah
dilakukan oleh IALF Bali, atau program sertifikasi Pengajar BIPA yang telah
diusahakan oleh APBIPA Bali di bawah pimpinan Nyoman Riasa, atau pada skala
degree yaitu pembukaan Program Studi Indonesia untuk Penutur Asing yang bisa
dikelola oleh Jurusan Bahasa dan Seni. Hal ini potensial untuk membuka program
studi baru. Program-program non-degree maupun degree bisa dipadukan dengan
program budaya yang banyak diminati oleh orang asing.
Yang menjadi tantangan adalah kembali kepada kesiapan sumber daya manusia
(SDM) dalam melakukan analisis kebutuhan program, merencakan dan
mengimplementasikan program-program yang telah disusun.
e. Program BIPA dan Pariwisata
Program BIPA dan pariwisata merupakan dua hal yang berbeda tetapi bisa
menjadi suatu kekuatan (magnet) jika kita mampu menggabungkan dan
mengemas menjadi program yang saling mendukung. Salah satu keuatan orang
asing belajar bahasa di Lombok, misalnya, adalah daerah ini menjadi destinasi
wisata baru setelah Bali dianggap bagi kebanyakan orang asing sudah mulai
jenuh. Apabila kita bisa menggabungkan pariwisata Lombok sebagai primadona
baru dengan Program BIPA yang profesional, maka orang asing tidak ragu-ragu
untuk memilih berlibur dan belajar bahasa Indonesia sekaligus di Lombok.
Dengan lain kata, keberadaan Lombok (NTB) sebagai daya tarik baru bagi
pariwisata dunia harus bisa dimanfaatkan oleh sentra-sentra BIPA untuk
memberikan pelayanan yang profesional.
Dalam komunikasi penulis dengan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
NTB, Bapak Drs. Lalu Gita Aryadi, M.Si. ketika menemani Tim Lombok
Reseach Initiative (LoRI) University of Sunshine Coast melakukan audiensi bulan
Januari 2011 beliau berharap bahwa suatu saat Lombok (NTB) diharapkan bisa
berkembang menjadi salah satu daerah tujuan “pariwisata pendidikan” bagi
orang asing. Hal ini sudah dirintis oleh rekan-rekan di Universitas Mataram
dengan setiap tahun mendatangkan mahasiswa Australia di bawah konsorsium
RUILI (Regional University Indonesian Language Initiatives) yang merupakan
gabungan 4 universitas di Australia yang menawarkan program bahasa Indonesia.
Beliau mengharapkan program pendidikan serupa bisa dikembangkan baik oleh
Universitas Mataram maupun lembaga pendidikan lainnya untuk menarik
perhatian orang asing datang ke Lombok. Gabungan antara pesona alam,
keanekaragaman budaya, dan pelayanan pendidikan profesional akan
mengundang minat turis manca negara untuk datang dan tinggal lebih lama di
Lombok.
Tantangan dari pelaksanaan program di atas antara lain bagaimana menyediakan
layanan pendidikan yang profesional, dukungan masyarakat, dan bagaimana
menciptakan keamanan. Keamanan merupakan isu yang paling sentral ketika kita
11

berhadapan dengan lembaga asing karena travel warning sangat diperhatikan oleh
negara mereka terkait dengan asuransi dan keamanan warganegaranya. Impian
untuk menjadikan Lombok sebagai salah satu destinasi pendidikan akan sirna
apabila masalah security masih menjadi pembicaraan para wisatawan. Dengan
perkembangan teknologi komunikasi apa pun yang terjadi di suatu daerah
(Lombok misalnya) akan dengan cepat menyebar dan mempengaruhi keinginan
mereka untuk datang dan akan berdampak pada kebijakan pemerintah mereka
dengan mengeluarkan „travel warning‟.
f. Program BIPA dan Kerjasama Luar Negeri
Orang asing belajar bahasa Indonesia tidak untuk menjadi linguist bahasa
Indonesia tetapi untuk bisa berkomunikasi untuk mencapai tujuan lain. Belajar
bahasa Indonesia hanyalah sebagai tujuan antara atau sebagai batu loncatan untuk
mempermudah pencapaian tujuan lain. Kegiatan BIPA yang diselenggarakan baik
di dalam maupun luar negeri hanyalah sebagai batu loncatan untuk mencapai
tujuan lain seperti melakukan penelitian di Indonesia, mengembangkan usaha di
Indonesia, membantu pendidikan di Indonesia. Dengan demikian program BIPA
ini sangat potensial untuk berlanjut menjadi kerjasama luar negeri baik untuk
pemerintah, swasta, maupun perguruan tinggi. Permasalahan yang sering
menghambat adalah kecendrungan kita adalah sebagai penunggu bola lewat
daripada sebagai inisiator yang menjemput bola.
Di Universitas Mataram dan universitas lainnya di Indonesia, terbentuknya
Overseas Student Office (OSO, Office of International Affairs dan sejenisnya di
bawah Pembantu Rektor urusan Kerjasama harus bisa menangkap ini sebagai
peluang yang harus dijemput dengan lebih pro-aktif.
2. SOLUSI ALTERNATIF DALAM MENGATASI TANTANGAN
Peningkatan mutu pelayanan BIPA terus harus diupayakan melalu berbagai cara dan
berbagai sektor dari penyiapan program perangkat pembelajaran, pengembangan
SDM, pengembangan bahan ajar, pembenahan sistem pelayanan dan administrasi
BIPA.
a. Penyediaan Perangkat Pembelajaran
Komponen pertama yang perlu disiapkan dalam menjalankan Program BIPA
adalah kesiapan kurikulum sebagai penentu destinasi dari sebuah program. Semua
program harus dijabarkan secara eksplisit dan jelas. Yang perlu ditentukan dalam
penyusunan silabus yang dilanjutkan dengan pengembangan silabus adalah SKL
yang ingin dicapai dalam 1 program. Untuk mencapai SKL tersebut, berapa
jenjang kursus diperlukan dan masing-masing jenjang dikemas dalam berapa jam?
Pendekatan apa yang akan digunakan dalama menyusun silabus? Apakah ada
pendekatan khusus dalam penyusunan silabus BIPA? Kalau tidak maka kita bisa
meminjam dari pendekatan penyusunan silabus bahasa asing lainnya seperti
theme-based, skill-based, functional-notional, structural-based, content-based,
dll. Materi apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut?
Metode/teknik/strategi apa yang akan digunakan untuk menyampaikan materi
12

untuk mencapai komptensi yang ditargetkan? Bagaimana cara mengetahui
tujuan/kompetensi yang ditetapkan telah tercapai? Secara singkat dapat dikatakan
bahwa sebuah program pada intinya terdiri dari 3 komponen besar yaitu (1) mau
dibawa kemana pebelajar ini (tujuan/kompetensi/destinasi)?; (2) bagaimana cara
mencapai tukuan tersebut (materi, metodologi, media)? dan (3) bagaimana
caranya kita tahu bahwa tujuan yang dicanangkan telah tercapai (asesmen)?
Penyediaan program yang baik merupakan langkah awal yang bagus.
Keberhasilan sebuah program pembelajaran sangat tergantung pada perencanaan.
Kalau kita gagal merencanakan maka kita berencana untuk gagal (If you fail to
plan, you plan to fail) (anonym).
b. Penyediaan Program Pengembangan SDM BIPA
Kalau dicermati kriteria pengajar BIPA di atas, maka sampai saat ini belum ada
sarjana yang benar-benar siap untuk mengajarkan Program BIPA. Untuk itu,
diperlukan perekrutan instruktur-instruktur dari penutur asli atau orang asing yang
memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang mahir dan kemudia perlu
dilakukan sentuhan-sentuhan berupa lokakarya, profesional development,
program sertifikasi BIPA. Untuk persiapan guru BIPA jangka penjang, diperlukan
inovasi dari lembaga pendidikan dan perguruan tinggi untuk membekali
mahasiswa dengan kemampuan yang diperlukan melalui penyisipan mata kuliah
ke-BIPA-an pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Seni (PS Bahasa Inggris
maupun PS Bahasa Indonesia) atau yang lebih luas lagi adalah pembukaan
program studi baru (PS BIPA).
i.

ii.

Program Lokakarya dan Sertifikasi Pengajar BIPA
Alternatif perrama dalam pengembangan SDM BIPA adalah dengan lebih
banyak memberikan lokakarya pengembangan kompetensi instruktur dengan
melakukan profesional development sesuai dengan kebutuhan instruktur.
Lembaga-lembaga kursus besar saat ini telah mengembangkan kegiatan
layanannya dengan memberikan Training of Trainers (ToT) untuk calon
instruktur BIPA. IALF Bali misalnya menawarkan program Workshop BIPA
sehari dengan topik-topik yang mengarah pada mempersipakan guru BIPA.
APBIBA Bali juga menyediakan program pengembangan dan sertifikasi guru
BIPA untuk mempersiapkan guru BIPA. Di Pusat Pahasa UNRAM sendiri,
kegiatan professional development berupa workshop minimal setahun dua
kali yang melibatkan para pakar BIPA dari Australia dan pengajar senior di
Pusat Bahasa UNRAM sebagai tradisi sebelum program kursus JanuariFebruari mulai. Tahun 2012 ini kegiatan Profesional Development akan
dilaksanakan dengan bantuan Charles Darwin University mendatangkan
pakar kurikulum dan manajemen selama 5 hari bulan Oktober dan
mengundang narasumber dari IALF Bali bulan November. Ini merupakan
usaha dalam pembinaan dan pengembangan profesionalisme instruktur BIPA
Pusat Bahasa UNRAM.
Program BIPA sebagai Mata Kuliah dalam Prodi Bahasa Indonesia
13

Pada persiapan jangka panjang, pembekalan kemampuan ke-BIPA-an bisa
dibekali melalui pencangan mata kuliah BIPA yang terintegrasi dalam
Program Studi Bahasa dan Satra Indonesia. Hal ini menuntut keberanian
Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra dan Budaya untuk mengalokasi mata
kuliah ke-BIPA-an dan merekonstruksi kurikulum. Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) Bandung, misalnya, telah mengalokasikan 16 sks mata kuliah
perluasan dan pendalaman BIPA dalam kurikulum Jurusan DIKSASTRASIA.
Mata kuliah yang ditawarkan antara lain Bahan Ajar BIPA, Strategi Belajar
Mengajar BIPA, Media BIPA, Evaluasi BIPA dan Seminar Pengajaran BIPA
(Kurniawan, 2007). Beberapa Jurusan DIKSASTRASIA di Indonesia juga
telah melaksanakan rekonstruksi kurikulum dengan bobot sks yang berbeda.
Bagaimana dengan Program Studi DIKSASTRASIA FKIP UNRAM? Sudah
saatnya dipikirkan pengembangan-pengembangan program ke arah itu. Paling
tidak bisa mulai dengan 6 sks dengan kompetensi yang tercakup bahgaimana
merencanakan pembelajaran BIPA, bagaimana mengajarkan BIPA dan
bagaimana menilai keberhasilan belajar BIPA.
iii.

Program Studi BIPA
Solusi lain dalam penyediaan guru BIPA adalah dengan membuka Program
Studi BIPA yang bisa diperuntukan bagi penutur asli dan penutur asing.
Tentu pembukaan ini memerlukan analisis kebutuhan dan analisis kelayakan
penyelenggaraan secara matang dengan mempertimbangkan calon
mahasiswa, pangsa pasar lulusan, kesiapan SDM penyelenggara, dll. Kalau
Program Studi BIPA bisa dibuka maka akan semakin membuka peluang
menkadikan Pendidikan BIPA sebagai salah satu cabang ilmu yang sejajar
dengan pengajaran bahasa asing lainnya.

c. Penyediaan Bahan Ajar
Profesionalsime penyediaan layanan BIPA akan tercermin juga pada kesiapan
bahan ajar. Bahan ajar merupakan salah satu komponen penting dalam trilogi
pembelajaran – pembelajaran bisa terjadi apabila minimal ada pebelajar (siswa),
materi, dan guru (Tomlinson & Masuhara, 2004). Bahkan dalam konteks belajar
jarak jauh trilogi tersebut sudah berubah menjadi dwilogi – pembelajaran terjadi
minimal ada pebelajar dan materi.
Pernyataan di atas mengingatkan kita pentingnya peran bahan ajar (materi) dalam
sebuah pembelajaran. Oleh sebab itu, materi/bahan ajar harus dirancang dengan
baik. Materi yang baik adalah (a) materi yang tersusun dengan baik karena materi
akan membantu pengajar dan pebelajar dalam mengorganisir PBM; (b) materi
yang mampu memberikan stimulus untuk pembelajaran; (c) materi yang mampu
memberikan model penggunaan bahasa yang baik.
d. Pembenahan Sistem Pelayanan dan Administrasi
Program BIPA melibatkan pebelajar dari berbagai negara. Ketika kita
memutuskan untuk membuka Program BIPA, maka harus siap dengan sistem
layanan dan adminsitrasi yang profesional. Lembaga dituntut untuk memiliki
14

panduan informasi yang sekiranya diperlukan oleh orang asing tidak hanya terkait
dengan kegiatan akademis, termasuk juga di dalamnya non-akademis seperti
sistem transportasi di daerah dimana kegiatan dilaksanakan, security system
dalam emergency, pilihan-pilihan akomodasi, contact person, kebudayaan secara
singkat, dan lain-lain. Demikian juga dengan keramahan para tim administrasi dan
pengajar serta manajemen. Semua ini dilakukan adalah untuk kenyamanan dalam
belajar.
C. PENUTUP
Dari pemaparan di atas tergambar bahwa Program BIPA memberikan peluang yang
sangat besar bagi orang-orang yang mau terlibat serius dalam program ini. Peluangpeluang tersebut dapat berupa kegiatan belajar mengajar (kursus/bisnis), dalam bidang
penelitian ke-BIPA-an, dan dari profesi. BIPA juga dapat meningkatkan pariwisata
setempat dan sebagai batu loncatan untuk menjajagi kerja sama lebih lanjut.
Di balik peluang yang ada, BIPA juga memunculkan berbagai tantangan unttuk dapat
berjalan secara profesional. Penggiat BIPA dituntut untuk menyediakan program yang
profesional, menyiapkan instruktur yang profesional, dan menyediakan bahan ajar yang
mampu membelajarkan pebelajar secara maksimal dalam waktu yang relative singkat.
Solusi-solusi yang dapat ditawarkan untuk meningkatkan program BIPA ke arah
profesional antara lain penyediaan perangkat pembelajaran berupa kurikulum dan silabus
yang jelas, penyediaan bahan ajar yang lengkap dan sistematis, penyediaan SDM
(instruktur) melalui pembekalan tentang ke-BIPA-an secara berjenjang mulai dari lokakarya, program sertifikasi, sampai pada penyisipan mata kuliah BIPA pada program studi
dan pembukaan program studi BIPA, serta peningkatan sistem pelayanan dan
administrasi program. Kalau semua ini bisa terpenuhi secara sinergis maka
penyelenggaraan program BIPA dapat berjalan dengan baik dan profesional.

DAFTAR PUSTAKA
Bailey, K. 2007. Pengajaran BIPA Membuka Jendela Informasi tentang Indonesia Makalah
Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Internasional Pengajaran BIPA.
Diselenggarakan oleh Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Jakarta, 18 – 20 Juli 2007.
Fanany, I., 2007. Engaging Students in Language Study. Makalah Disajikan dalam Seminar dan
Lokakarya Internasional Pengajaran BIPA,. Diselenggarakan oleh Pusat Bahasa
DEPDIKNAS, Jakarta, 18 – 20 Juli 2007.
Kurniawan, K. 2007. Peningkatan Mutu Penyelenggaraan BIPA yang Profesional, Makalah
Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Internasional Pengajaran BIPA.
Diselenggarakan oleh Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Jakarta, 18 – 20 Juli 2007.
Maryani, Y., 2011. Lokakarya Program Prasertifikasi Guru BIPA: Metodologi Pengajaran
BIPA. Diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Prov. NTB bekerjasama dengan APBIPA
Bali, Senggigi Beach Hotel, 13 – 15 April 2011.
15

Nastiti, D. L. dan O. T. Sinaga. 2010. Peneningkatan Keterampilan Berbicara BI melalui
Penggunaan Media Film Dokumenter pada Siswa BIPA Tingkat Madya di Universitas
Trisakti. Makalah Disampaikan pada KIPBIBA VII di Fakutas Ilmu Budaya FIB UI
Jakarta tanggal 29 – 31 Juli 2010.
Riasa, N., 2007. Penyelenggaraan BIPA di Tengah Kegalauan Hati. Makalah Disajikan dalam
Seminar dan Lokakarya Internasional Pengajaran BIPA. Diselenggarakan oleh Pusat
Bahasa DEPDIKNAS, Jakarta, 18 – 20 Juli 2007.
Riasa, N., 2011. Lokakarya Program Prasertifikasi Guru BIPA: Metodologi Pengajaran BIPA.
Diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Prov. NTB bekerjasama dengan APBIPA Bali,
Senggigi Beach Hotel, 13 – 15 April 2011.
Sujana, I M., 2011. “Program BIPA sebagai Batu Loncatan Menuju Internasionalissasi
Universitas Mataram”, diunggah dari www.imadesujana.com tanggal 28 Agustus 2012
Sujana, I M., I N. Sudika, E. Fitriana, E. Syahrial (2012). Rancangan Pembelajaran BIPA dengan
Pendekatan Berbasis Tema di Pusat Bahasa Universitas Mataram, Laporan Penelitian
Hibah Strategis Nasional, didanai oleh DIKTI Kemendikbud Jakarta (in progress).
Tomlinson B. and Masuhara. 2004. Theory of Teaching and Learning. Cambrige: CUP
Utorodewo, F.N., 2007. Intensitas Kerjasama Antarlembaga dalam Pengembangan BIPA.
Makalah Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Internasional Pengajaran BIPA.
Diselenggarakan oleh Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Jakarta, 18 – 20 Juli 2007.
Widodo Hs., 2011. Lokakarya Program Prasertifikasi Guru BIPA: Metodologi Pengajaran
BIPA. Diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Prov. NTB bekerjasama dengan APBIPA
Bali, Senggigi Beach Hotel, 13 – 15 April 2011.

16