Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larv

PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA KERANG MUTIARA (Pinctada maxima) PADA KONDISI SUHU YANG BERBEDA SKRIPSI OLEH: ARIS SANDO HAMZAH I1A2 11 023 JURUSAN/PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA KERANG MUTIARA ( Pinctada maxima ) PADA KONDISI SUHU YANG BERBEDA

Development and Survival Rate of the Pearl Oyster ( Pinctada maxima ) Larvae in Different Temperature Conditions

SKRIPSI OLEH: ARIS SANDO HAMZAH I1A2 11 023

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan Jurusan/ Prog. Studi Budidaya Perairan

JURUSAN/PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda Nama

: Aris Sando Hamzah Stambuk

: I1A2 11 023 Program Studi

: Budidaya Perairan Jurusan

: Budidaya Perairan Fakultas

: Perikanan dan Ilmu Kelautan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Muhaimin Hamzah, S.Pi., M.Si Ir. Mat Sardi Hamzah, M.P

NIP. 19750815 200501 1 003 NIP. 19570715 198602 1 009

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ketua Jurusan Budidaya Perairan Ilmu Kelautan

Prof. Ir. H. La Sara, M.S., Ph.D

H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D

NIP. 19600422 198703 1 003 NIP. 19700802 199512 1 001

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI DENGAN JUDUL INI ADALAH KARYA SAYA DENGAN ARAHAN DARI PEMBIMBING DAN BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG BERASAL ATAU DIKUTIP DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.

KENDARI, 25 MEI 2016

ARIS SANDO HAMZAH

NIM. I1A211023

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Aris Sando Hamzah, lahir di Ambon pada tanggal 16 Januari 1994. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Ir. Mat Sardi Hamzah, M.P., dan Marlia Napirah, S.Pd. Penulis memulai jenjang pendidikan di SDN 3 Pemenang Barat, Lombok Utara pada tahun 1999 dan selesai pada tahun 2005, kemudian penulis melanjutkan studi di SMP Negeri 5 Kendari pada tahun 2005 dan berhasil menyelesaikan studi pada tahun 2008. Setelah menyelesaikan pendidikan SMP, penulis

melanjutkan studi di SMA Negeri 2 Kendari pada tahun 2008 dan berhasil menyelesaikan studi pada tahun 2011. Saat ini penulis tengah menempuh studi di Universitas Halu Oleo Kendari pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Program Studi/Jurusan Budidaya Perairan. Penulis juga mengikuti beberapa organisasi internal fakultas antara lain HMPS BDP (Himpunan Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan) Periode 2012/2013 dan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Periode 2014/2015.

KATA PENGANTAR

Kerang mutiara merupakan kerang yang dapat menghasilkan mutiara dengan warna yang eksotis dan digemari oleh berbagai kalangan. Selain dijadikan sebagai perhiasan, mutiara yang dihasilkan juga dijadikan sebagai alat ritual keagamaan, dan dijadikan sebagai suatu simbol keindahan oleh beberapa negara di dunia. Kerang mutiara (Pinctada maxima) merupakan salah satu organisme unggulan penting pada sektor budidaya perairan. Selain jenis tersebut, ada pula beberapa jenis kerang penghasil mutiara seperti kerang mabe (Pteria penguin), Pinctada fucata, Pinctada margaritifera dan lain sebagainya. Akan tetapi di Indonesia jenis Pinctada maxima umumnya yang menjadi andalan industri kerang mutiara. Kerang mutiara (P. maxima) merupakan organisme ekonomis penting dan umumnya hanya bisa dihasilkan dengan cara dibudidayakan.

Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang bertanggung jawab dalam mempengaruhi aktivitas fisiologis organisme akuatik dan berdampak terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup serta perkembangan stadia larva kerang mutiara (P. maxima) sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas spat yang akan dihasilkan. Beberapa kajian serupa pada larva kerang mutiara sudah banyak dilakukan, akan tetapi pengaruh suhu terhadap perkembangan stadia larva kerang mutiara (P. maxima) masih belum banyak diungkapkan.

Kendari, 25 Mei 2016

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, berkat rahmat Allah yang maha pengasih dan berkat izinnya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun masih memiliki banyak kekurangan. Karya kecil ini penulis persembahkan kepada nenekku tercinta Hj. Salma Napirah yang mengasuhku sejak kecil, ibundaku tercinta Marlia Napirah, S.Pd., ayahandaku tercinta Ir. Mat Sardi Hamzah, M.P., saudara-saudaraku yang selalu aku banggakan Muhammad Zul Fahmi Hamzah, Siti Sakinah Maulidtya Aprili Hamzah, Siti Amalia Firdausa Hamzah dan Yulia Sahupala. Keluarga dan kerabatku yang selalu aku banggakan bapak Ir. Rab Ali Napirah, bapak Ir. Rahman Napirah, M.Si., bapak Djalaluddin Napirah, SH., ibu Aida, SH., ibu Yuliana Hadia Nibu, S.Pd., ibu Syamsiah Napirah, S.Ag., ibu Rosma Napirah (Onco Os), Syahrani Djalal Napirah, Riski Muhammad Akbar Napirah, Anisa Montalea Zulfebrianti Napirah, Mardiana Napirah, Asriyana Napirah, Muhammad Ryman Napirah, Muhammad Risal Aidin Napirah dan Muhammad Rayan Napirah.

Demikian pula penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., Rektor Universitas Halu Oleo.

2. Prof. Ir. H. La Sara, M.S., Ph.D., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo.

3. Hendra Munandar, M.Si., Ketua LPBIL LIPI Mataram.

4. Dr. Muhaimin Hamzah, S.Pi., M.Si., Wakil Dekan I FPIK UHO, Dr. Ir. Wellem H. Muskita, M.Si., Wakil Dekan II FPIK UHO, dan Kadir Sabilu,

5. H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D., Ketua Jurusan Budidaya Perairan.

6. Dosen Pembimbing Skripsiku Dr. Muhaimin Hamzah, S.Pi., M.Si., dan Ir. Mat Sardi Hamzah, M.Si.

7. Dosen Penguji Skripsiku H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D., dan Ermayanti Ishak, S.Pi., M.Si.

8. Bapak Dr. S.A.P. Dwiono yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian dan banyak memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini, Ibu Prof. Dwi Listyo Rahayu yang banyak memberikan saran dan dukungan kepada penulis, Bapak Ramli Marzuki, S.Pi., yang banyak membantu penulis dalam penelitian, Ibu Lisa, Pak Farian, Pak Balkam F. Badi, Pak Idam, Pak Firdaus, Pak La Ali, Pak Hadi, Pak Fauzan, Pak Wahab, Bang Syakirin, Pak Alimudin, Bu Evi, Bu Ermi, Bang Alan, Pak Masyum, Pak Sayudin, Pak Ali Kombal, Idi, Pak Junaedi, dan seluruh staf serta teknisi LPBIL LIPI Mataram.

9. Para dosen-dosenku tercinta Pak Yusnaini, D.E.A., Pak Prof. L.M. Aslan, Bu Oce Astuti, M.Si., Bu Indri, Ph.D., Pak Prof. Maruf Kasim, Pak Dr. Rahmad Sofyan Patadjai, Pak Dr. La Anadi, Pak Irwan Djunaedi, M.Sc., Pak Dr. Muhammad Idris, Pak Dr. Wellem Muskita, Pak Muhammad Fajar Purnama, M.Si., Pak Ginong, M.Si., Pak La Ode Baytul Abidin, M.Biotec., Pak Kadir Sabilu, M.Si., Pak Muis Balubi, M.Si., Bu Ermayanti Ishak, M.Si., Pak Dr. Muhaimin Hamzah, Pak Agus Kurnia, Ph.D., Ibu Dr. Andi Besse Patadjai, dan seluruh orang tuaku di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo.

10. Sahabat-sahabatku BDP 011 Muhammad Riszal, Rahmad Budiarfa, Rusdi Febriyadi K., Zhulfirah Zahrah, Muhammad Ridwan, La Bardin, Fendy, Narsun, Asril, Sutriani S. Yusuf, Makritan, Jumaisa, Mindar, Ratna, S.Pi., Alkudus Hidayat, S.Pi., Firda Afrianti, S.Pi, Nita Irmaluyu, S.Pi., Naimruddin, Musdian, Mitnawati, Nurul Qamariah, S.Pi., Ratna, S.Pi., Jusdam, Dominggus Kiliykily, Darwiana, S.Pi., La Ode Maru, Reliyanto, Alghazali La Ranti, Yusrin, Yustin Palio, Arleleng, Ahmad Riyadi, Citra Rahmadhani, S.Pi., Alvin, Ulfa Kurniati, S.Pi., Ashar, Windra, S.Pi., Yuliana, S.Pi., Hasriati, S.Pi., Sulman Hasnur, Desi Febrianti, Hasnah, S.Pi., Hardila Paala, S.Pi., Abdul Budiatma, S.Pi., Yusrin, Aldin, La Ipu, Misnah, Sarto, Aldin, Nurkholis, Iskandardinata, Rudolfo, Tian Sumarlan, Neli Marlisa, dan Husein.

11. Keluarga BDP, MSP, Agribisnis, BDP Abalone, IKL, dan PSP seluruh angkatan tanpa terkecuali.

12. Keluarga Besar HIPPMA-LASWABUL Kendari (Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Lasaritapo Wabula) dan Keluarga Besar KMWB (Kerukunan Masyarakat Wabula Buton).

13. Adik-adikku peserta Magang/PKL di LPBIL LIPI Mataram, Irma, Obi, Yogi, Onggi, Roni, Putra, Ni Luh, Kiki, dan seluruhnya tanpa terkecuali.

14. Gazlat Community, Eggy John (Haidir), Zee (Syarifu), Haikal, Imbran, Randy, Itsar, Nurul, Kemar, Biyan, Berdy dan semuanya tanpa terkecuali.

15. Shultonul Ma’arif, Ibu Gusti, Robin, Andi Yusriadi, Pipi, Ikwal. Beryl, Andi Ardiyansyah, Andi Tendri, Herlan (Chito), Affandi, Sukmo dan seluruh sahabatku yang tidak bisa ku tuliskan satu per satu.

Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara ( Pinctada maxima ) pada Kondisi Suhu yang Berbeda ABSTRAK

Penelitian perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) pada kondisi suhu yang berbeda telah dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dari 10 Februari -

17 Maret 2016. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kisaran suhu optimum bagi perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima). Ukuran larva kerang mutiara (P. maxima) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 80 x 75µm (AP x DV) yang ditentukan berdasarkan fase awal perkembangan larva (D- veliger). Larva dipelihara dalam bak kontainer dengan kepadatan 20.000 larva dalam 80 liter air laut pada kondisi suhu yang berbeda. Penelitian didesain menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Larva kerang mutiara dipelihara pada lima perlakuan suhu yang berbeda,

yaitu 26,5-28 o C (perlakuan Kontrol), 26 C±0,5 (perlakuan A), 28 C±0,5 (perlakuan B), 30 o C±0,5 (perlakuan C) dan 32 o C±0,5 (perlakuan D). Hasil

penelitian menunjukan bahwa tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan spesifik DV dan AP tertinggi didapatkan pada perlakuan B

(suhu 28 o C±0,5) dengan nilai masing-masing 8,00%±0,16, 1458,32µm±32,16, 5,46%±0,03 dan 5,71%±0,04. Perkembangan stadia larva kerang mutiara hingga

mencapai spat tertinggi pada perlakuan B (suhu 28±0,5 o

C) dengan nilai AP x DV yaitu D-veliger (80 x 75µm), Umbo (170,67µm±30,11 x 153,67µm±26,76), Eyespot (209,00µm±9,94 x 196,00µm±9,66), Pediveliger (237,22µm±29,86 x 207,50µm±31,17) dan Spat dengan nilai AP (1510,67µm±155,56). Kesimpulan pada penilitian ini bahwa suhu air optimum pada pemeliharaan larva kerang mutiara (P. maxima) yaitu 28 o C±0.5.

Kata Kunci: Larva kerang mutiara, Pinctada maxima , Suhu, Perkembangan dan Kelangsungan Hidup

Development and Survival Rate of the Pearl Oyster ( Pinctada maxima ) Larvae in Different Temperature Conditions ABSTRACT

Study of development and survival rate of the pearl oyster (Pinctada maxima) larvae in different temperature conditions has been conducted in the Laboratory of Mataram Marine Bio Industry Technical Implementation Unit of Research Center

th for Oseanography, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) from Pebruary 10 to March 17 th 2016. The aim of the present sudy was determine temperature range

for the development and survival rate of the pearl oyster (P. maxima) larvae. The size of pearl oyster (P. maxima) larvae that used in the study was 80 x 75µm (AP x DV) based on the initial phase of larval development (D-veliger). The larvae were reared in container tanks with a density of 20,000 larvae in 80 liters of sea water at a different temperature conditions. The study was designed using completely randomized design (CRD) with five treatments and three replicates.

Pearl oyster larvae was reared in five different temperatures, they were 26,5-28 o C

(Control treatment), 26 o C±0,5 (treatment A), 28 C±0,5 (treatment B), 30 C±0,5 (treatment C) and 32 o C±0,5 (treatment D). The results showed that the highest

survival rate, absolute growth and specific growth rate of DV and AP were obtained in treatment B (temperature 28 o C±0.5) with values 8,00%±0,16,

1458,32μm±32,16, 5,46%±0,03 and 5,71%±0,04, respectively. The development stage of pearl oyster larvae (AP x DV) in treatment B (temperature of 28°C±0,5)

D- veliger (80x75μm), Umbo (170,67μm±30,11 x 153,67μm±26,76), Eyespot (209,00μm±9,94 x 196,00μm±9,66), Pediveliger (207,50μm±29.86 x 237,22μm±31,17) and spat with the value of AP was (1510, 67μm ± 155,56). This study concluded that optimum water temperature to reared pearl oyster (P.

maxima) larvae was 28 o C±0,5.

Key Word: Pearl Oyster Larvae, Pinctada maxima , Temperature, Development and Survival Rate

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaan .................................................. 21

2. Perlakuan dan Ulangan pada Penelitian .......................................... 23

3. Kualitas Air dan Peralatan yang Digunakan dalam Penelitian ....... 28

4. Perkembangan Stadia Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Hingga Mencapai Spat (Juvenil) .................................................................. 35

5. Parameter Kualitas Air yang Diukur Selama Penelitian ................. 36

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Morfologi dan Anatomi Kerang Mutiara (Pinctada sp.) ................. 7

2. Siklus Hidup Kerang Mutiara (Pinctada maxima) .......................... 17

3. Morfologi Tahapan Perkembangan Larva (P. maxima) .................. 18

4. Tata Letak Media Penelitian ........................................................... 24

5. Persentase Dosis Campuran Pakan Berdasarkan Fase Perkembangan Larva Hingga Menempel pada Kolektor ................ 25

6. Pengukuran Panjang Anterio-Posterior (AP) dan Dorso-Ventral (DV) Larva Kerang Mutiara (P. maxima) ....................................... 27

7. Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ........................................ 31

8. Pertumbuhan Mutlak Kerang Mutiara (P. maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ........................................ 32

9. Laju Pertumbuhan Spesifik DV Larva Kerang Mutiara (P. maxima)

pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ............................... 33

10. Laju Pertumbuhan Spesifik AP Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ............................... 34

11. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia D-Veliger dan Umbo .. 45

12. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Eyespot Tampak Atas dan Samping ............................................................................ 46

13. Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Pediveliger dan Spat .............. 47

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerang mutiara ( Pinctada maxima ) merupakan salah satu komoditas perikanan penting yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadi andalan usaha budidaya di Indonesia. Hal ini didukung oleh perairan nusantara yang berpotensi dalam pengembangan usaha budidaya kerang mutiara. Teknik budidaya kerang mutiara pada mulanya dikuasai oleh tenaga asing (Jepang) khusus untuk hatchery dan operasi penyuntikan. Namun seiring dengan perkembangan teknologi bidang kelautan, maka pada dekade tahun 1980an telah terjadi alih teknologi dari tenaga asing ke tenaga kerja Indonesia (Hamzah, 2008a; Hamzah dan Setyono, 2010). Dewasa ini usaha budidaya kerang mutiara semakin meningkat, seiring dengan permintaan butiran mutiara baik pasar domestik maupun mancanegara. Namun para pengusaha terutama skala industri sering mengalami kendala dalam penyedian induk alam yang matang gonad. Penyebab utama kekurangan induk matang gonad adalah kompetisi antar nelayan penyelam yang menjual kulit cangkang untuk industri kerajinan perhiasan dan penyedian induk untuk perusahaan budidaya kerang mutiara.

Budidaya kerang mutiara ( P. maxima ) sangat ditentukan oleh proses pembenihan, yang dimana proses pembenihan sangat menentukan kualitas dan kuantitas kerang yang akan dihasilkan. Pengaruh kualitas air menjadi faktor penentu bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Salah satu parameter kualitas air adalah suhu yang mempengaruhi laju metabolisme organisme akuatik

Hamzah (2008b) yang mengemukakan bahwa kematian massal anakan kerang mutiara rerata sebesar 68,57% bersamaan dengan naiknya kondisi suhu harian dari level 29°C menjadi 31°C dengan gradient 2°C di perairan Buton, Sulawesi Tenggara. Kemudian Hamzah (2009) menyimpulkan bahwa kematian massal anakan kerang mutiara ukuran lebar cangkang antara 3-4 cm yang terjadi di Laut adalah diduga kuat disebabkan oleh perubahan kondisi suhu yang terjadi secara ekstrim pada periode waktu yang singkat. Fase perkembangan stadia larva merupakan masa kritis yang dimana pengaruh perubahan parameter lingkungan khususnya suhu yang tidak sesuai sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva sehingga dapat menyebabkan kematian (Doroudi dan Southgate, 1999; Yukihira et al ., 2000; Cataldo et al ., 2005; Dove dan O’Connor, 2007).

Kajian terdahulu mengenai pengaruh suhu terhadap pemeliharaan larva kerang mutiara sudah banyak dilakukan (Doroudi et al ., 1999; Yukihira et al ., 2000; Saucedo et al ., 2004; Southgate dan Lucas, 2008; Winanto dkk ., 2009; Winanto, 2009; Hamzah, 2016) akan tetapi percobaan dengan kisaran suhu yang

luas yaitu 26-32 o

C serta dampaknya terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup dan perkembangan stadia larva kerang mutiara ( P. maxima ) belum banyak diungkapkan, sehingga penelitian ini perlu dilaksanakan agar dapat diketahui kisaran suhu optimum bagi pemeliharaan larva kerang mutiara ( P. maxima ).

B. Rumusan Masalah

Proses pemijahan dan perawatan larva kerang mutiara sering mengalami

pada musim peralihan. Sebagai akibat dari keadaan ini, jumlah dan kualitas benih yang menempel pada kolektor rendah sehingga berdampak terhadap produksi pada balai benih yang rendah. Kualitas air khususnya suhu merupakan salah satu faktor pembatas dan penentu bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara ( P. maxima ) yang berdampak pada proses metabolisme. Southgate dan Lucas (2008) menjelaskan bahwa suhu rendah yang terjadi pada musim dingin menyebabkan lambatnya aktivitas makan dan aktivitas lainnya pada larva kerang mutiara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap spesies maupun populasi memiliki rentang suhu optimum yang berbeda dan kemungkinan dipengaruhi oleh faktor genetik. Cáceres-Puig et al . (2007) juga menambahkan bahwa suhu tinggi mengakibatkan stres fisiologis dan metabolik, serta terjadi denaturasi protein dan enzim pada keluarga kerang Mytilidae dan Pectinidae. Perkembangan larva merupakan masa kritis dimana pengaruh lingkungan khususnya suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva sehingga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas benih (juvenil) yang akan dihasilkan. Selain itu, kerang mutiara juga memiliki toleransi suhu yang berbeda pada tiap tingkatan stadia dan kadang-kadang toleransi akan suhu meningkat selama masa perkembangan (Southgate dan Lucas, 2008).

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu yang berbeda terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan stadia larva kerang mutiara ( P. maxima ).

Kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui kisaran suhu optimum bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan stadia larva kerang mutiara ( P. maxima ). Luaran hasil penelitian ini diharapkan menjadi tambahan informasi bagi penelitian lanjut terutama pembenihan dan pemeliharaan larva kerang mutiara ( P. maxima ) di Laboratorium.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi

Kerang mutiara ( P. maxima ) termasuk dalam kelas bivalvia yang merupakan kelas terbesar kedua dalam filum Moluska (Gosling, 2015) dengan jumlah lebih dari 7000 spesies yang tersebar di seluruh dunia dengan daerah penyebaran di Perairan Tawar, Estuari dan Laut (Lewbart, 2012). Southgate dan Lucas (2008) mengklasifikasikan kerang mutiara ( P. maxima ) sebagai berikut: Phylum : Mollusca

Class : Bivalvia (Linnaeus, 1758) Subclass : Pteriomorphia (Beurlen, 1944) Order : Pterioida (Newell, 1965) Suborder : Pteriina (Newell, 1965)

Superfamily : Pterioidea (Gray, 1847) Family : Pteriidae (Gray, 1847)

Genus : Pinctada (Roding, 1798) Species : Pinctada maxima (Jameson, 1901)

Secara tradisional taksonomi kerang mutiara ditentukan berdasarkan tampilan cangkang (bentuk dan warna) yang dikenal sebagai karakter yang mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan heterogenitas antara habitat. Identifikasi spesies sangat sulit pada kerang muda karena bentuk cangkang yang hampir sama (Cunha et al ., 2011). Genera Pteriidae secara tradisional juga ditentukan oleh bentuk cangkang. Selain perbedaan dalam bentuk cangkang, genera Pteria dan Pinctada dibedakan oleh pola gigi engsel dan bentuk goresan otot adduktor posterior. Beberapa karakter anatomi organ lunak, terutama pola melingkar usus Secara tradisional taksonomi kerang mutiara ditentukan berdasarkan tampilan cangkang (bentuk dan warna) yang dikenal sebagai karakter yang mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan heterogenitas antara habitat. Identifikasi spesies sangat sulit pada kerang muda karena bentuk cangkang yang hampir sama (Cunha et al ., 2011). Genera Pteriidae secara tradisional juga ditentukan oleh bentuk cangkang. Selain perbedaan dalam bentuk cangkang, genera Pteria dan Pinctada dibedakan oleh pola gigi engsel dan bentuk goresan otot adduktor posterior. Beberapa karakter anatomi organ lunak, terutama pola melingkar usus

B. Morfologi dan Anatomi

Bivalvia memiliki dua katup cangkang yang dihubungkan oleh engsel pada bagian punggung dan terhubung oleh ligamen elastis (Gosling, 2015). Cangkang tertutup melawan air dengan lapisan organik mengeluarkan scleroprotein dari pinggiran mantel, yang merupakan suatu periostracum yang jarang (Lewbart, 2012). Bagian dorsal cangkang berbentuk datar dan panjang serta dihubungkan oleh semacam engsel berwarna hitam (Takemura dan Kafuku, 1957 dalam Winanto, 2009). Menurut Dame (2012) cangkang pada bivalvia memainkan peranan penting dalam penentuan dan interpretasi dari kondisi lingkungan masa lalu. Informasi lingkungan tersimpan ketika pembentukan kristal kalsium karbonat dalam pembentukan cangkang kerang. Pinctada fucata di Taiwan memiliki lebar cangkang lebih besar dari pada di Jepang dan Korea. Perbedaan-perbedaan pada nilai pertumbuhan dan terutama bentuk morfologi diduga bahwa tiram alami Taiwan mungkin menyimpan ciri genetik asli (Hwang et al ., 2007).

Hamzah dan Nababan (2011) melaporkan bahwa dilihat dari bentuk morfologi anakan kerang mutiara ( P. maxima ) dewasa yang digantung pada kedalaman 2m memiliki warna cangkang merah-coklat tua yang merupakan warna aslinya dan ditumbuhi lumut-lumut halus. Pertumbuhan kerang dalam keadaan normal dan sehat dicirikan dengan hasaky yang tumbuh mekar serta tempelan bysuss pada substrat yang kuat (Hamzah dan Nababan, 2009). Kaki mengeluarkan Hamzah dan Nababan (2011) melaporkan bahwa dilihat dari bentuk morfologi anakan kerang mutiara ( P. maxima ) dewasa yang digantung pada kedalaman 2m memiliki warna cangkang merah-coklat tua yang merupakan warna aslinya dan ditumbuhi lumut-lumut halus. Pertumbuhan kerang dalam keadaan normal dan sehat dicirikan dengan hasaky yang tumbuh mekar serta tempelan bysuss pada substrat yang kuat (Hamzah dan Nababan, 2009). Kaki mengeluarkan

Gambar 1. Morfologi dan Anatomi Kerang Mutiara ( Pinctada sp.) (Sumber: Southgate dan Lucas, 2008)

Bivalvia umumnya memiliki mantel yang terdiri dari dua jaringan lobus yang menutupi hewan dalam cangkang (Gosling, 2015). Lobus mantel menempati sebagian besar area antara katup membentang dari garis engsel mengelilingi pinggiran nacreous cangkang (Southgate dan Lucas, 2008). Mantel merupakan organ penting yang berfungsi dalam pembentukan cangkang moluska melalui ekspresi komponen protein sel (Gardner et al ., 2011). Menurut Joubert et al . (2014) pertumbuhan cangkang kerang mutiara ( P. margaritifera ) dipengaruhi langsung oleh kondisi lingkungan, seperti makanan dan suhu serta hal tersebut memodulasi Bivalvia umumnya memiliki mantel yang terdiri dari dua jaringan lobus yang menutupi hewan dalam cangkang (Gosling, 2015). Lobus mantel menempati sebagian besar area antara katup membentang dari garis engsel mengelilingi pinggiran nacreous cangkang (Southgate dan Lucas, 2008). Mantel merupakan organ penting yang berfungsi dalam pembentukan cangkang moluska melalui ekspresi komponen protein sel (Gardner et al ., 2011). Menurut Joubert et al . (2014) pertumbuhan cangkang kerang mutiara ( P. margaritifera ) dipengaruhi langsung oleh kondisi lingkungan, seperti makanan dan suhu serta hal tersebut memodulasi

C. Habitat dan Penyebaran

Sebagian besar spesies Pteriidae menghuni zona littoral dangkal dan daerah sublittoral landas kontinen. Beberapa spesies ditemukan pada dasar perairan berpasir dengan kedalaman maksimal sekitar 100-120m (Southgate dan Lucas, 2008). Pada kedalaman 2m kulit cangkang ditumbuhi lumut halus yang mengindikasikan pertumbuhan kerang dalam keadaan normal. Sementara kerang yang diletakan pada kedalaman dibawahnya dominan ditumbuhi teritip ( biofouling ) yang bersifat parasit dan menghambat pertumbuhan, merusak susunan kulit cangkang, dan berdampak pada kematian bila tidak cepat dibersihkan (Hamzah dan Nababan, 2009; Hamzah dan Setyono, 2009). Hamzah (2010) menyatakan bahwa kerang mabe ( P. penguin ) juga banyak ditemukan pada daerah teluk-teluk yang memiliki sonasi hutan bakau dan karang serta menyebar pada kedalaman perairan antara 20 –60m. Tingkah laku sebaran larva kerang mutiara, P. maxima dan P. martensii lebih condong bersifat phototaxis negatif atau tidak tertarik pada cahaya dan senang menempel pada substrat yang berwarna gelap (Su et al ., 2007; Hamzah, 2013a). Hal ini juga terjadi pada larva kerang mabe ( Pteria penguin ) yang

Kerang mutiara ( P. maxima ) tersebar pada pertengahan daerah Indo-Pasifik, termasuk Asia Tenggara, daerah perairan Pilipina, Laut China Selatan, Thailand, Australia, dari Myanmar ke Pulau Solomon, Papua New Guinea, Polynesia, Micronesia, Jepang Selatan, Fillipina dan Indonesia, Sementara di Indonesia umumnya banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur seperti Irian jaya, Sulawesi dan Maluku terutama gugus kepulauan Arafura (Lind et al ., 2007; Southgate dan Lucas, 2008).

D. Kualitas Air

Hamzah dan Sumadhiharga (2002) mengemukakan bahwa kisaran ambang toleransi variasi musiman kondisi suhu dan salinitas yang ideal untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan kerang mutiara ukuran stadia kritis (lebar cangkang antara 3-4cm) adalah antara 28-29 0

C dan salinitas antara 30-33ppt. Tidak ada pengaruh sinergi antara suhu dan salinitas, tetapi keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap lama waktu pencapaian stadia. Pada suhu optimum aktivitas metabolisme berjalan maksimum, sehingga larva berkembang dengan baik. Sedangkan suhu 26 0

C diduga relatif rendah untuk perkembangan larva dan sebaliknya suhu 30 0

C relatif tinggi untuk perkembangan larva (Winanto dkk ., 2009). Suhu air sangat berperan dalam mengendalikan proses metabolisme, pada kisaran suhu antara 26-29 0

C kerang mutiara sangat aktif melakukan kegiatan metabolisme dan mampu tumbuh dengan baik (Susilowati dan Sumantadinata, 2011). Loncatan suhu dengan gradien 1 0

C masih dalam batas ambang toleransi kehidupan kerang mutiara kecuali sudah mencapai gradient 2 0

C (Hamzah dkk .,

25ppt menunjukan persentasi yang lebih rendah dibandingkan dengan salinitas 34ppt dan 31ppt, hal ini diduga bahwa tekanan osmotik dalam sel telur berbeda dengan lingkungannya. Selain itu, pada salinitas 34ppt menunjukan tingkat kelangsungan hidup larva tertinggi dan diduga salinitas tersebut merupakan salinitas optimum dalam mendukung aktivitas metabolisme larva kerang mutiara (Awaluddin dkk ., 2013). Salinitas umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya oleh pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi) dan adanya aliran sungai ( run off ) (Patty, 2013).

Nilai derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter kimia penting yang dapat dijadikan sebagai indikator pemantau kestabilan perairan, perubahan nilai pH dalam suatu perairan terhadap organisme akuatik mempunyai batasan tertentu dengan nilai pH yang bervariasi (Simanjuntak, 2012). Habitat kerang mutiara berbeda pada perairan dengan pH lebih tinggi dari 6,75 namun kerang mutiara tidak dapat bereproduksi bila pH lebih tinggi dari 9. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan menyebabkan terganggunya sistem penyangga yang dapat

menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO 2 sehingga dapat membahayakan kehidupan biota laut. pH air yang cocok untuk tumbuh dan berkembang biak kerang mutiara ( P. maxima ) adalah berkisar antara 7,9-8,2 (Nayar dan Mahadevan, 1987 dalam Susilowati dan Sumantadinata, 2011). Menurut Matsui (1960) dalam Winanto (2009) pH air yang layak untuk kehidupan kerang mutiara ( P. maxima ) berkisar antara 7,8-8,6. Sedangkan pada pH 7,9-8,2 kerang mutiara dapat berkembang baik dan tumbuh dengan baik (Winanto, 2009).

Oksigen terlarut merupakan salah satu penunjang utama kehidupan di laut dan indikator kesuburan perairan. Kadar oksigen terlarut semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya limbah organik di perairan dan kadar oksigen terlarut berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Simanjuntak, 2012). Kerang dapat hidup dengan baik pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut berkisar antara 5,20-6,60 (Imai, 1982 dalam Winanto 2009). Dhivya dan Lipton (2015) menemukan bahwa Perna indica dengan panjang rata-rata 20mm menunjukkan laju konsumsi oksigen lebih tinggi pada suhu tinggi yaitu 35°C.

E. Cara Makan dan Kebiasaan Makan

Kerang mutiara ( P. maxima ) termasuk biota laut bersifat plankton feeder , sehingga dipercaya akan membersihkan air dari kemungkinan terjadinya blooming plankton yang tidak dikehendaki. Beberapa jenis alga yang umum diberikan untuk pakan antara lain Isochrysis galbana, Pavlova lutheri /, Monochrysis lutheri , Chromulina sp., Chaetoceros sp., Nannochloropsis sp., dan Dicrateria sp., Untuk fase pertumbuhan sampai menjelang spat dapat diberi variasi berbagai jenis alga tersebut. Namun untuk stadia awal larva, jenis fitoplankton flagelata yang paling penting untuk pakan adalah Isochrysis galbana dengan ukuran sekitar 7 µm. Adakalanya digunakan jenis Tetraselmis tetrathele dan Chlorella sp., terutama untuk stadia spat atau sebagai pakan campuran induk (Winanto, 2004; dan Winanto, 2009). Menurut Marshall et al . (2010) secara umum, kombinasi dari spesies alga I. galbana dan

C. calcitrans sangat berhasil untuk pemeliharaan larva kerang. Penggunaan

C. calcitrans terbukti menghasilkan hasil yang baik dalam hal C. calcitrans terbukti menghasilkan hasil yang baik dalam hal

I. galbana saja tidak. Menurut CMFRI (1991) dalam Supii (2007) menyatakan bahwa budidaya pada stadia awal larva (D shape) sampai stadia umbo diberi pakan fitoplankton jenis Isochrysis galbana dengan kepadatan 5000 sel/ekor/hari. Beberapa jenis mikroalga yang digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna antara lain Nannochloris sp., Pavlova lutheri, Isochrysis galbana, Phaeodactilum tricornutum, Chaetoceros meulleri, Chaetoceros calcitran, Thalassiosira weisflogii, Dunaliella salina, Tetraselmis tetrathele, Tetraselmis suecica , namun mikroalga yang dapat dicerna oleh larva hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana (Winanto, 2009). Isochrysis galbana dan Pavlova lutheri memiliki kandungan lemak yang tinggi (Martinez-Fernandez, 2006). Larva kerang mutiara ( P. maxima ) lebih efektif diberikan pakan alami jenis Isochrisis galbana sebagai bahan pakan utama sehingga memberikan perkembangan yang cenderung lebih cepat mencapai fase spat (hari ke 18) (Hamzah, 2008a). Menurut Brown (1991) dalam Hermawan dkk . (2007)

I. galbana memiliki kandungan gizi yang lebih lengkap yaitu protein 29%, karbohidrat 12,9% dan lemak 23% serta mempunyai kandungan EPA sebesar

1,88% dan DHA sebesar 6,76% sedangkan kandungan gizi Chaetoceros sp. adalah protein 29%, karbohidrat 9% dan lemak 12%.

Kerang mutiara ( P. maxima ) merupakan filter feeder yang menyaring plankton dengan menggerakan silia, sehingga menimbulkan arus dan kemudian masuk kedalam rongga mantel. Gerakan silia akan memindahkan fitoplankton yang Kerang mutiara ( P. maxima ) merupakan filter feeder yang menyaring plankton dengan menggerakan silia, sehingga menimbulkan arus dan kemudian masuk kedalam rongga mantel. Gerakan silia akan memindahkan fitoplankton yang

dan Gandhi, 1987 dalam Winanto, 2009). Kerang hijau bersifat filter feeder

(penyaring makanan) sehingga kebutuhan makanan tergantung pada perairan sekitarnya terutama makanan yang terbawa oleh arus (Hermawan dkk ., 2007). Pada prinsipnya mikro alga yang digunakan sebagai pakan larva kerang atau organisme laut lainnya adalah mempunyai ukuran yang tepat untuk dimakan atau sesuai dengan bukaan mulut larva/spat, mudah dibudidayakan, cepat tumbuh dengan kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan substansi racun (Ponis et al ., 2006). Makanan yang ditelan masuk dari mulut kemudian melalui kerongkongan yang pendek langsung masuk perut, atau saluran kantong tipis pada perut dengan kulit luar ( cuticle ) kasar yang berfungsi untuk memisah-misahkan makanan. Sisa makanan akan dibuang melalui saluran usus yang relatif pendek dan bentuknya seperti huruf S kemudian keluar lewat anus (Velayudhan dan Gandhi, 1987 dalam Winanto, 2009).

F. Biologi dan Fisiologi

Salah satu faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen adalah suhu air. Suhu akan mempengaruhi mekanisme transport ion yang berimplikasi pada osmoregulasi dengan melibatkan berbagai reaksi kimia (Winanto dkk ., 2009). Pada tiram, metabolisme biasanya tergantung pada suhu, peningkatan suhu menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen. Hal yang sama juga terjadi pada bivalvia tropis, seperti kerang mutiara Calafia Pinctada mazatlanica . Tingkat respirasi biasanya meningkat dengan meningkatnya suhu, hingga luar batas

P. fucata laju konsumsi oksigen meningkat tinggi selama jam pertama kerang dimasukkan kembali ke dalam air dan laju konsumsi normal dicatat setelah waktu

tersebut. Kebutuhan oksigen terlarut kerang mutiara ( P. fucata ) menunjukan bahwa kerang berukuran 40-50 mm mengkonsumsi oksigen 1,339 µl/l; ukuran 50-60 mm mengkonsumsi 1, 650 µl/l dan ukuran 60-70 mm mengkonsumsi 1,810 µl/l (Darmaraj, 1983 dalam Winanto, 2009).

Osmoregulasi adalah proses yang dilakukan oleh hewan laut untuk mengatur keseimbangan konsentrasi cairan tubuh dan ion-ion agar seimbangan dengan konsentrasi mediumnya. Osmoregulasi dipengaruhi oleh konsentrasi kadar garam (salinitas) dalam perairan, jika kosentrasi salinitas terlalu rendah atau terlalu tinggi maka akan berdampak terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kerang mutiara ( P. maxima ). Kerang mutiara merupakan osmokonformer, dengan menggunakan penutupan katup berkelanjutan untuk menyangga perubahan salinitas yang cepat (Southgate dan Lucas, 2008). Beberapa kerang mutiara hidup pada habitat pesisir dimana salinitas menurun akibat runoff terestrial. Larva P. imbricata mempunyai toleransi yang rendah terhadap salinitas, apalagi jika salinitas

turun sampai kurang dari 29‰. Pada kisaran salinitas 29–35‰, persentase perkembangan embrio sampai stadia D-veliger meningkat signifikan seiring dengan meningkatnya salinitas (Winanto dkk ., 2009). Beberapa spesies kerang mutiara cukup eurihalin dalam menoleransi kisaran salinitas yang besar. Kerang mutiara ( P. margaritifera ) memiliki kisaran salinitas pada fase embrio yaitu <25-39 ppt, fase larva yaitu <25-32 ppt dan spat 25-45 ppt. Sedangkan pada kerang mutiara ( P.

maxima ) memiliki kisaran salinitas pada fase spat yaitu 30-34 ppt (Southgate dan Lucas, 2008).

Nutrisi adalah proses dimana hewan memperoleh kebutuhan energi untuk metabolisme dari kandungan bahan kimia, seperti asam amino, asam lemak, vitamin dan mineral, yang semuanya diperlukan untuk pertumbuhan dan kesejahteraan. Kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi bahan makanan yang cocok, yang kemudian mengalami proses pencernaan dan penyerapan (Lucas dan Southgate, 2008). Pengunaan energi untuk metabolisme rutin spat P. maxima umur

35 hari lebih rendah jika dibandingkan umur 25 hari. Hal ini diduga, spat umur 25 hari lebih banyak membutuhkan energi karena masih berada pada masa transisi hidup sebagai bentik, sehingga harus memproduksi banyak bysuss untuk menempelkan diri pada substrat. Sebaliknya pada umur 35 hari kondisi relatif sudah lebih stabil, spat sudah menetap, jika ada produksi bysuss hanya untuk mengimbangi pertambahan berat, sehingga membutuhkan energi yang lebih kecil (Winanto, 2009). Suhu merupakan salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi metabolisme larva kerang mutiara ( P. maxima ), semakin rendah suhu maka laju metabolisme semakin menurun, sehingga laju pertumbuhan larva jadi lambat. Sebaliknya semakin tinggi suhu maka laju metabolisme makin meningkat dan akan diikuti dengan meningkatnya laju pertumbuhan larva (Winanto dkk ., 2009).

G. Reproduksi dan Siklus Hidup

Kerang mutiara bersifat hermaprodit dan salah satu faktor yang Kerang mutiara bersifat hermaprodit dan salah satu faktor yang

dengan suatu puncak pada bulan September-November dengan suhu antara 27 o C dan 29 o

C (Southgate dan Lucas, 2008). Menurut Gomez-Robles et al . (2005) puncak reproduksi P. margaritifera terjadi pada musim panas yaitu pada bulan Agustus dengan suhu air 29,5°C. Tingginya tingkat kematangan gonad dan pasca vitellogenik oosit selama musim dingin, berkaitan dengan suhu laut yang hangat yaitu 23-24°C. Selain itu, selama musim dingin, oosit mengalami artesia.

Pemijahan kerang mutiara biasanya dipicu oleh perubahan kondisi lingkungan, seperti kenaikan atau penurunan suhu air atau perubahan salinitas, dan perubahan serupa digunakan untuk menginduksi pemijahan dalam kondisi budidaya (Southgate dan Lucas, 2008). Proses reproduksi diawali dengan fertilisasi eksternal yang terjadi di dalam air. Selama proses pemijahan biasanya induk jantan memijah lebih duluan, kemudian sekitar 30-35 menit baru induk betina mengelurkan sel-sel telurnya (Southgate dan Lucas, 2008; Saoruddin, 2004 dalam Susilowati dan Sumantadinata, 2011; dan Hamzah, 2013a) . Narita et al . (2008) menambahkan bahwa bentuk morfologi spermatozoa dari kerang mutiara, P. fucata martensii dibagi dalam 3 bagian yaitu acrosoma, nucleus, mitochondrion dan flagellum. Kemudian telur yang telah dibuahi berbentuk bulat dengan diameter 55- Pemijahan kerang mutiara biasanya dipicu oleh perubahan kondisi lingkungan, seperti kenaikan atau penurunan suhu air atau perubahan salinitas, dan perubahan serupa digunakan untuk menginduksi pemijahan dalam kondisi budidaya (Southgate dan Lucas, 2008). Proses reproduksi diawali dengan fertilisasi eksternal yang terjadi di dalam air. Selama proses pemijahan biasanya induk jantan memijah lebih duluan, kemudian sekitar 30-35 menit baru induk betina mengelurkan sel-sel telurnya (Southgate dan Lucas, 2008; Saoruddin, 2004 dalam Susilowati dan Sumantadinata, 2011; dan Hamzah, 2013a) . Narita et al . (2008) menambahkan bahwa bentuk morfologi spermatozoa dari kerang mutiara, P. fucata martensii dibagi dalam 3 bagian yaitu acrosoma, nucleus, mitochondrion dan flagellum. Kemudian telur yang telah dibuahi berbentuk bulat dengan diameter 55-

normal yaitu suhu berkisar antara 28 0 –30

C, larva akan menempatkan diri untuk menetap dan melekat pada substrat setelah berumur 20 –22 hari dengan ukuran 200– 250µm sedangkan pada rentang suhu 24,3 0 –27,2

C, larva baru akan menetap dan melekat pada spat kolektor setelah berumur 32 hari dan berukuran 250 –300µm.

Gambar 2. Siklus Hidup Kerang Mutiara ( P. maxima ) (Keterangan: a. telur dan sperma; b. telur dibuahi; c. pembelahan sel; d. gastrula; e. larva bentuk- d; f. stadia umbo; g. spat; h. dewasa) (Sumber: Winanto, 2009)

Siklus hidup kerang dimulai dengan fertilisasi telur, biasanya dalam perairan terjadi disekeliling kerang dewasa (Dame, 2012). Fase kehidupan awal kerang mutiara dimulai dengan penonjolan polar, kemudian membentuk polar lube II yang merupakan awal proses pembelahan sel. Setelah terjadi fertilisasi, maka akan terjadi Siklus hidup kerang dimulai dengan fertilisasi telur, biasanya dalam perairan terjadi disekeliling kerang dewasa (Dame, 2012). Fase kehidupan awal kerang mutiara dimulai dengan penonjolan polar, kemudian membentuk polar lube II yang merupakan awal proses pembelahan sel. Setelah terjadi fertilisasi, maka akan terjadi

Gambar 3. Morfologi Tahapan Perkembangan Larva ( P. maxima ) (Keterangan: a. D-veliger; b. umbo awal; c. umbo tengah; d. eye-spot; e. umbo akhir (pediveliger); f. plantigrade) (Sumber: Winanto, 2009)

Stadia awal larva P. maxima (bentuk D) dijumpai setelah 24 jam, larva mempunyai cangkang prodissocanch I dengan ukuran kira-kira 70 x 60µm (panjang x tinggi) (Southgate dan Lucas, 2008). Larva stadia veliger bersifat poto-positif, sehingga nampak berenang-renang disekitar permukaan air (Brusca, 1990 dalam Winanto, 2009). Southgate dan Lucas (2008) menambahkan bahwa fase D-veligers menunjukan pertumbuhan awal cangkang sekitar 1-2 hari setelah fertilisasi dan setelah itu bagian umbo mulai timbul pada bagian dorsal cangkang. Fase eye spot ditandai dengan bintik hitam pada dua sisi cangkang serta mulai menempel pada kolektor setelah mencapai 15-17 hari. Pada larva P. fucata stadia eye-spot berkembang pada hari ke-15 dengan ukuran 190 x 180 µm (Alagarswami et al ., 1987 dalam Winanto 2009). Pada fase pedi-veliger (umbo akhir) yang dicapai pada

18 –20 hari terlihat mulai terbentuk kaki ( byssus ) yang menonjol pada bagian dorsal yang digunakan untuk menepel. Gerakan larva mulai melambat dan nampak adanya pertumbuhan organ penempel seperti lidah yang keluar dari dalam tubuh larva. Beberapa larva yang belum mendapatkan tempat untuk menempel masih melakukan gerakan memutar lambat dengan terus mencari tempat untuk menempel (Wardana dkk ., 2014).

Fase plantigrade yaitu akhir planktonik dengan ditandai pembentukan cangkang telah sempurna lengkap dengan anterior, posterior dan byssus, fase ini terjadi setelah berumur antara 20 –22 hari. Selanjutnya pada fase post-larva yang dicirikan dengan berkembang dan tumbuh dalam keadaan menempel pada kolektor, berumur antara 22-24 hari. Fase spat (juvenil) berkembang dan tumbuh menjadi Fase plantigrade yaitu akhir planktonik dengan ditandai pembentukan cangkang telah sempurna lengkap dengan anterior, posterior dan byssus, fase ini terjadi setelah berumur antara 20 –22 hari. Selanjutnya pada fase post-larva yang dicirikan dengan berkembang dan tumbuh dalam keadaan menempel pada kolektor, berumur antara 22-24 hari. Fase spat (juvenil) berkembang dan tumbuh menjadi

1 cm. Ukuran tersebut dapat dicapai pada benih umur 60 hari atau 3-4 minggu pemeliharaan dilaut (Wardana dkk ., 2014). Menurut Winanto (2004) bahwa selama pertumbuhan larva mengalami 3 kali periode kritis yaitu pertama pada fase D yaitu larva pertama kali mulai makan, kedua pada fase umbo dan terakhir pada fase plantigrade yaitu pada saat larva mengalami perubahan kebiasaan hidup dari planktonis menjadi spat yang hidupnya menetap di dasar. Kematian larva tertinggi terjadi pada periode plantonik yaitu dari fase umbo-veliger ke fase pediveliger, dan kematian kedua terjadi pada periode bentik yaitu fase plantigrade ke fase spat (Supii, 2007; Hamzah, 2008a).

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada 10 Februari – 17 Maret 2016 di Laboratorium Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan beserta kegunaan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaan

No. Alat dan Bahan

Satuan

Kegunaan

A. Alat

1. 0 Termometer batang C Mengukur suhu

2. Hand refraktometer

ppt

Mengukur salinitas

3. pH meter digital

Mengukur pH air

4. Pipet tetes

Mengambil sampel

5. Lup

Mengamati spat

6. 0 Heater C Menstabilkan suhu perlakuan

7. - Pendingin/es batu Mendinginkan suhu air

8. Mikrometer okuler

µm

Mengukur panjang larva

9. Kamera digital

Dukumentasi

10. Net plankton (screen net) µm Menyaring larva kerang mutiara

11. Wadah container

unit

Media penelitian

12. Wadah plastik

unit

Tempat menyimpan pakan

13. Arloji

jam

Menghitung waktu pengamatan

14. Mikroskop cahaya

Mengamati larva

15. Ember plastk

Menampung air saringan larva

16. Aerasi

Menyuplai oksigen

17. Sedgewick rafter

Menghitung jumlah larva

18. Senter

Mengamati larva

19. Gelas ukur plastik

Mengukur jumlah pakan

20. Filter bag

Menyaring air laut

21. Spat kolektor

Media penempelan spat

22. Hand counter

Mengkitung jumlah larva

No. Alat dan Bahan

Satuan

Kegunaan

B. Bahan

1. Larva kerang mutiara ( P. individu Organisme uji maxima )

2. Isochrysis galbana

sel/ml

Pakan yang diberikan

3. Pavlova lutheri

sel/ml

Pakan yang diberikan

4. Chaetoceros sp.

sel/ml

Pakan yang diberikan

C. Prosedur Penelitian

1. Pemijahan induk dan Perawatan Larva

Seleksi induk kerang mutiara yaitu dengan melihat Tingkat Kematangan Gonad (TKG) induk kerang mutiara yaitu ≥70% dengan perbandingan jumlah jantan dan betina adalah 4:4 (4 ekor induk jantan dan 4 ekor induk betina) dengan ukuran panjang cangkang sekitar 12cm. Selanjutnya dilakukan pemijahan induk dengan metode kejutan suhu ( thermal shock ) atau proses pheromon bila sulit memijah yang bertujuan untuk mempercepat proses rangsangan. Setelah selesai memijah dilakukan pengadukan air dalam bak tersebut agar terjadi fertilisasi (pembuahan) merata.

Penyaringan larva dilakukan dengan menggunakan screen net (plankton net) dengan ukuran mata 100µm, 80µm, 60µm, 40µm dan 25µm. Saringan ini disusun berdasarkan besaran ukuran mata yaitu ukuran yang besar di bagian atas dan disusul ukuran berikutnya. Ukuran mata menunjukkan satuan besaran pertumbuhan larva yang tidak tersaring pada setiap ukuran mata screen net . . Indikator penentuan ukuran besar larva fase D-veliger dapat diketahui berdasarkan

ukuran mata saringan larva ( screen net ) yaitu antara 40-60 µm. Sebelum dilakukan pendederan, larva D-veliger diukur menggunakan mikrometer okuler ukuran mata saringan larva ( screen net ) yaitu antara 40-60 µm. Sebelum dilakukan pendederan, larva D-veliger diukur menggunakan mikrometer okuler

Kualitas air yang dijadikan sebagai media percobaan disterilisasi mulai dari penampungan air (tower) hingga dialirkan masuk ke dalam bak uji melalui UV dan pada ujung selang air dipasang kantung saringan ( filter bag ). Sehingga media air yang digunakan untuk pemeliharaan hewan uji bersih dan terhindar dari kotoran atau partikel-partikel yang dapat mengganggu kehidupan larva. Larva yang telah mencapai fase D-veliger, didederkan pada setiap bak uji yang telah disiapkan dengan padat tebar 20.000 larva/80 liter air sesuai dengan jumlah perlakuan suhu.

C diatur menggunakan heater o dan pada perlakuan suhu rendah yaitu 26 C ditambahkan pendingin berupa

Wadah penelitian diberi perlakuan suhu 28-32 o