T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemenuhan Pendidikan Keagamaan Bagi Penghayat Kepercayaan (Studi Kasus Di Komunitas Sedulur Sikep Kab. Kudus) T2 BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pemenuhan Hak Dasar atas Pendidikan
Makna pendidikan secara sederhana dapat
diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat
dan
kebudayaannya.
demikian,
bagaimanapun
Dengan
sederhananya
peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi
atau
berlangsung
suatu
proses
pendidikan.
Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah
ada sepanjang peradaban umat manusia.
Pendidikan dalam arti sempit diartikan
sebagai proses interaksi belajar mengajar dalam
bentuk formal yang dikenal sebagai pengajaran.
Sedangkan dalam arti luas pendidikan mencakup
seluruh
proses
hidup
dan
segenap
bentuk
interaksi individu dengan lingkungannya, baik
secara formal, non formal maupun informal,
sampai dengan suatu taraf kedewasaan tertentu.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan
usaha
manusia
melestarikan
hidupnya.
Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah
pedagogik yaitu ilmu menuntun anak, orang
Romawi memandang pendidikan sebagai educare,
10
yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan
merealisasikan
potensi
anak
yang
dibawa
dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat
pendidikan sebagai Erzichung yang setara dengan
educare,
yakni
membangkitkan
kekuatan
terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi
anak. Dalam bahasa Jawa pendidikan berarti
panggulawentah
(pengolahan),
mengolah,
mengubah, kejiwaan, mematangkan perasaan,
pikiran dan watak, mengubah kepribadian sang
anak.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia,
pendidikan
berasal
(mendidik),
yaitu
dari
kata
memelihara
dasar
dan
“didik”
memberi
latihan (ajaran pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan
pikiran.
pendidikan
adalah
perlindungan
dan
menurut
setiap
Langeveld,
usaha,
pengaruh,
yang
diberikan
bantuan
kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak
itu, atau lebih tepatnya membantu anak agar
cukup
cakap
melaksanakan
sendiri.
Pengaruh
dewasa
dan
itu
ditujukan
tugas
datangnya
kepada
hidupnya
dari
orang
orang
belum
dewasa.
Ki
Hajar
Dewantara
mengartikan
pendidikan sebagai upaya untuk memajukan
11
budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar
dapat
memajukan
kesempurnaan
hidup
dan
menghidupkan anak yang selaras dengan alam
dan
masyarakatnya.
Dewantara
Lebih
menjelaskan
lanjut
bahwa
Ki
Hajar
“Pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak;
dalam
pengertian
Taman
Siswa
tidak
boleh
dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya
kita dapat memajukan kesempurnaan hidup,
yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak
yang
kita
didik
selaras
dengan
dunianya.
(Dewantara, 1977:14).
Lebih
lanjut
menjelaskan
Ki
bahwa
Hajar
Dewantara
pendidikan
harus
mengutamakan aspek-aspek berikut. Pertama,
segala alat, usaha dan cara pedidikan harus
sesuai
dengan
kodratnya
keadaan.
Kedua,
Kodratnya keadaan itu tersimpan dalam adatistiadat
setiap
rakyat,
yang
oleh
karenanya
bergolong-golong merupakan kesatuan dengan
sifat
prikehidupan
sendiri-sendiri,
sifat-sifat
mana terjadi dari bercampurnya semua usaha
dan daya upaya untuk mencapai hidup tertib
damai. Ketiga, adat istiadat, sebagai sifat peri
12
kehidupan atau sifat percampuran usaha dan
daya upaya akan hidup tertib damai itu tiada
terluput dari pengaruh zaman dan tempat.; oleh
karena itu tidak tetap senantiasa berubah.
Keempat,
akan
mengetahui
garis-hidup
yang tetap dari sesuatu bangsa perlulah kita
mempelajari zaman yang telah lalu. Kelima,
pengaruh
baru
diperoleh
karena
bercampur
bangsa yang satu dengan yang lain, percampuran
mana
sekarang
ini
mudah
sekali
terjadi
disebabkan adanya hubungan modern.Haruslah
waspada dalam memilih mana yang baik untuk
menambah kemuliaan hidup kita dan mana yang
akan merugikan.
Menurut Syah dalam Chandra (2009: 33)
dikatakan bahwa pendidikan berasal dari kata
dasar “didik” yang mempunyai arti memelihara
dan
memberi
memerlukan
latihan.
adanya
Kedua
ajaran,
hal
tersebut
tuntunan,
dan
pimpinan tentang kecerdasan pikiran. Pengertian
pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan
perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran
dan
pelatihan.
Dengan
melihat
definisi tersebut, sebagian orang mengartikan
bahwa pendidikan adalah pengajaran karena
13
pendidikan
pada
pengajaran
dan
mendidik.
Secara
umumnya
setiap
membutuhkan
orang
sempit
berkewajiban
mengajar
adalah
kegiatan secara formal menyampaikan materi
pelajaran
sehingga
peserta
didik
menguasai
materi ajar.
Tujuan
pendidikan
menurut
beberapa
tokoh dirangkum oleh Fudyartanta (2010; 10)
antara lain;
Crow and Crow: menuju pertumbuhan dan
perkembangan
Thompson: kebiasaan tingkah laku
Langeveld: menjadi dewasa
Hoogveld: cakap menyelesaikan
Brojonagoro: menjadi dewasa
Ki Hadjar Dewantara: kemajuan hidup lahir
batin
Sedangkan tujuan pendidikan nasional di
Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-Undang Sisdiknas dari waktu ke waktu
mengalami perubahan sebagaimana berikut;
14
Tabel perbandingan tujuan pendidikan di Indonesia
beberapa periode
UU No. 4 tahun 1959 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran (pasal 3)
“Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap
dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air”
UU No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (pasal 2)
“Membentuk manusia susila yang berjiwa pancasila dan bertanggung jawab akan
terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materiil dan
spiritual...”
TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan
“Membentuk manusia pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang
dikehendaki oleh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan isi Undang-Undang
Dasar 1945”
UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 4)
“Mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
mengembangkan
manusia
Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 3)
“... bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”
15
Tujuan pendidikan dari tabel di atas dari
tahun ke tahun ke tahun mengalami pergeseran
makna, pada tahun 1950-an ide utama tujuan
pendidikan
bergeser
adalah
ke
“kesusilaan”,
“sosialisme”
di
kemudian
tahun
1960-an.
Setelah peristiwa G 30 S tahun 1965 kata
sosialisme
tidak
dimunculkan
diperkuat
adalah
pancasila
kembali,
sebagai
yang
tujuan
pendidikan nasional. Kemudian di era Soeharto
tahun 1980-an, ide tujuan iman dan takwa
menggantikan
ide
sebelumnya
tentang
kesusilaan, sosialisme dan Pancasila.
Dalam UU Sisdiknas tahun 1989 dan 2003,
Pancasila dan UUD 1945 ditempatkan sebagai
“dasar
pendidikan”.
Istilah
berakhlak
mulia
dalam UU Sisdiknas 2003 adalah baru, yang
tidak ditemukan di UU sebelumnya, karena yang
dipakai
sebelumnya
adalah
“berbudi
pekerti
luhur....” (Suhadi, 2013; 13)
Aturan Pendidikan di Indonesia.
Menurut
UU
No.
20
tahun
2003,
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
16
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan
yang
diperlukan
dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan merupakan tugas yang penting
bagi
warga,
pelaksanaan
dengan
tanggungjawab
kegiatan
pendidikan
utama
berada
di
tangan Pemerintah. Dalam Pembukaan UUD
1945, dinyatakan: “Kemudian daripada itu untuk
membentuk
Indonesia
suatu
…
Pemerintahan
melindungi
Negara
segenap
bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan
kehidupan
melaksanakan
ketertiban
bangsa,
dunia
dan
...”.
ikut
Sejalan
dengan amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut
di atas, maka para pendiri Negara Kesatuan
Republik Indonesia menetapkan pengaturan lebih
lanjut tentang pendidikan dalam Pasal 31 Ayat (1)
UUD 1945 (sebelum amandemen) bahwa, “Tiaptiap
warga
negara
berhak
mendapatkan
pengajaran.”
Secara
menguraikan
detail
Pasal
hak-hak
31
warga
UUD
Negara
1945
dalam
pendidikan sebagai berikut:
1) Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan;
17
2)
Setiap
warga
pendidikan
dasar
negara
dan
wajib
mengikuti
pemerintah
wajib
membiayai; 3) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan
nasional,
yang
satu
sistem
meningkatkan
pendidikan
keimanan
dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dalam undang-undang;
4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya
dua
puluh
persen
dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta
dari anggaran pendapat dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional;
5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat.
Kewajiban pemerintah dalam pelaksanaan
pendidikan nasional adalah memberikan layanan
dan
kemudahan,
serta
menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi dan wajib
menjamin
tersedianya
dana
guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
18
belas
tahun.
Hal
tersebut
sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun
2003. Tanggung jawab pemerintah atau negara
dalam
membiayai
pendidikan
dan
menyediakan
sebagai
pelaksanaan
Pasal
dana
konsekuensi
31
UUD
atas
1945,
ternyata
dilaksanakan lain oleh Pasal 46 Ayat (1) UU
Nomor
20
Tahun
2003
yaitu
Pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara
Pemerintah,
masyarakat.
Begitu
Pemerintah
juga
Daerah,
sumber
dan
pendanaan
pendidikan di dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Nomor
20
Tahun
2003
menjadi
tanggung
jawab
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Pengalokasian anggaran pendidikan di dalam
Pasal 49 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 telah
diatur dialokasikan minimal 20% dari APBN
sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD
selain alokasi gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan.
Penjelasan
Pasal
49
Ayat
(1)
menyatakan Pemenuhan pendanaan pendidikan
dapat dilakukan secara bertahap.
Dalam perkembangannya, pasal-pasal di
dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 beberapa kali
diajukan
permohonan
Pengujian
UU
ke
Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 5 Oktober
19
2005, MK melakukan pengujian atas Pasal 17
Ayat (1) (2) dan Penjelasan Pasal 49 Ayat (1)
dengan
Nomor
putusannya
11/PUU-III/2005.
atas
memutuskan:
pasal-pasal
(1).
Dalam
tersebut,
Mengabulkan
MK
permohonan
para Pemohon untuk sebagian; (2). Menyatakan
Penjelasan Pasal 49 Ayat (1) Undang-undang
Republik
Indonesia
Nomor
20
Tahun
2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara
Tahun
2003
Nomor
78,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4301) bertentangan dengan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(3). Menyatakan Penjelasan Pasal 49 Ayat (1)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia
mempunyai
Menolak
permohonan
selebihnya;
Putusan
kekuatan
ini
(5).
Nomor
4301)
hukum
para
mengikat;
Pemohon
Memerintahkan
dalam
Berita
tidak
Negara
(4).
untuk
pemuatan
Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas
putusan tersebut adalah bahwa pada hakikatnya
20
pelaksanaan ketentuan Konstitusi tidak boleh
ditunda-tunda. UUD 1945 secara expressis verbis
telah menentukan bahwa anggaran pendidikan
minimal 20% harus diprioritaskan yang tercermin
dalam APBN dan APBD tidak boleh direduksi oleh
peraturan perundang-perundangan yang secara
hierarkis berada di bawahnya. Penjelasan Pasal
49 Ayat (1) UU Sisdiknas juga telah membentuk
norma baru yang mengaburkan norma yang
terkandung dalam Pasal 49 Ayat (1) yang ingin
dijelaskannya,
Penjelasan
sehingga
Pasal 49
Ayat
ketentuan
(1)
dalam
tersebut juga
bertentangan dengan prinsip-prinsip dan teori
perundang-undangan yang sudah lazim diterima
dalam ilmu hukum yang kemudian dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
undangan (vide Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor
005/PUU-III/2005
dalam
permohonan
pengujian Penjelasan Pasal 59 Ayat (1) UndangUndang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah. Terlebih lagi pendidikan di
Indonesia
sudah
sudah
waktunya
sangat
tertinggal,
pendidikan
harus
sehingga
menjadi
prioritas utama pembangunan di Indonesia yang
perwujudannya antara lain adalah pemberian
prioritas di bidang anggaran. Adanya Penjelasan
21
Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas menjadi alasan
bagi Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun
pemerintah daerah untuk tidak memenuhi pagu
20% anggaran pendidikan dalam APBN dan
APBD.
2.2
Kebijakan
Pendidikan
Agama
Di
Indonesia
Di Indonesia peraturan tentang pendidikan
secara umum diatur dalam UU Sisdiknas No. 20
tahun
2003.
Secara
spesifik
pendidikan
keagamaan tersebut dalam pasal 30 ayat 1,
berbunyi:
”Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Selanjutnya dalam ayat 2 dinyatakan:
”Pendidikan
keagamaan
berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi
ahli ilmu agama”.
Dalam
ayat
3
disebutkan:
“Pendidikan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal”.
Pada ayat 4 berbunyi: ”Pendidikan keagamaan
22
berbentuk
pendidikan
diniyah,
pesantren,
pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain
yang sejenis”. Dan pada ayat 5 juga disampaikan:
”Ketentuan
mengenai
pendidikan
keagamaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah”.
Dari
pasal
12
UU
Sisdiknas
tersebut
kemudian pemerintah mengelularkan kebijakan
tentang pendidikan agama dan keagamaan dalam
Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007. Dalam
pasal-pasal dalam peraturan pemerintah ini, ada
beberapa point yang menjelaskan pendidikan
agama ketika terjadi multi agama dalam satu
sekolah.
Dalam pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa
”Pendidik pendidikan agama pada satuan
pendidikan
yang
diselenggarakan
oleh
Pemerintah atau pemda disediakan oleh
pemerintah atau pemda sesuai kewenangan
masing-masing
berdasarkan
ketentuan
Peraturan Perundang-undangan”.
Pada
ayat
2
diungkapkan:
”Pendidik
pendidikan agama pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh
satuan pendidikan yang bersangkutan. Pada ayat
3 dinyatakan: ”Dalam hal satuan pendidikan
23
tidak dapat menyediakannya, maka pemerintah
dan/atau pemda wajib menyediakannya sesuai
kebutuhan satuan pendidikan”.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan. Secara kasat mata,
PP ini sebenarnya sudah diskriminatif bagi agama
suku ketika kita dengan teliti bahasan-bahasan
eksplisitnya.
simbol
Termasuk
keagamaan
yang
bahasa-bahasa
serta
digunakannya
pun
sudah sangat condong kepada agama-agama
pemerintah. Contoh paling kentara adalah pada
pasal 9 ayat 1 bahwa (1) Pendidikan keagamaan
meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Peraturan Menteri Agama Nor 16 tahun
2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di
Sekolah. Dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa
Pendidikan Agama terdiri dari: Pendidikan Agama
Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan
Agama
Kristen,
Pendidikan
Pendidikan
Agama
Buddha
Agama
dan
Hindu,
Pendidikan
Agama Khonghucu.
24
2.3
Penghayat Kepercayaan
Secara
bahasa
arti
dari
kepercayaan
berasal dari kata percaya, menurut A.L. Huxley
(dalam Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
RI, 1992-1994) di dalam bukunya The Parennial
Philosiphy, seseorang pengarang dan ahli filsafat
dari Inggris, menyebutkan empat arti:
a. Percaya/mengandalkan
(kepada
orang
tertentu).
b. Percaya (faith) kepada wibawa (dari para ahli
di suatu bidang ilmu pengetahuan).
c. Percaya (beliefe) kepada dalil-dalil yang kita
sendiri tidak dapat menceknya, apabila kita
mempunyai
kesediaan,
kesempatan,
dan
kemampuan untuk itu.
d. Percaya (beliefe) kepada dalil-dalil, yang kita
ketahui, bahwa kita tidak dapat menceknya,
sekalipun kita menghendakinya.
Huxley berpendapat, bahwa ketiga arti yang
pertama mempunyai peranan yang penting dalam
kehidupan
sehari-hari
dan
dalam
arti
yang
keempat itu dipandangnyasama dengan apa yang
biasa disebut “kepercayaan agamani”.
Aliran-aliran
kepercayaan
merupakan
aliran kerohanian yang sulit didefinisikan secara
25
tepat, sama sulitnya dengan mendefenisikan
agama
serta
lembaga-lembaga
kerohanian
lainnya. As’ad (1982) mengatakan penghayat
adalah suatu cabang dari pada paham yang
rentannya masih berinduk dari salah satu agama
(madzhab, orde, sekte dan lain-lain).
Di Indonesia salah satu masalah yang tak
kunjung menemukan titik temu adalah saat
mengurai
agama
dan
kepercayaan.
Dalam
dokumen internasional kita mengenal religion dan
belief yang sering diterjemahkan dengan kata
“agama” dan “keyakinan.” Dalam pasal 29 kata
“agama”
dan
Perdebatannya
“kepercayaan”
adalah
apakah
muncul.
keduanya
merupakan dua substansi atau satu (Kholiludin:
2008).
Persoalan menjadi tambah pelik karena
yang terjadi kemudian adalah terjadi pemisahan
secara diametral antara agama dan kepercayaan.
Diversifikasi ini, menjadi salah satu cara yang
ampuh untuk mengatakan bahwa kepercayaan
berbeda dengan agama, bahkan bukan agama.
Lebih tegas Tedi Tholiludin (2013) bahwa
pembedaan agama dengan kepercayaan, tidak
ditopang oleh bangunan argumentasi yang kuat
26
secara epistemik maupun metodologis. Besar
kemungkinan yang terjadi adalah pemisahan
kategorial dengan didasarkan atas kepentingan
politis.
enam
Indikasinya,
agama,
negara
sementara
hanya
aliran
mengakui
kepercayaan
dianggap bukan agama. Padahal kalau yang
menjadi
referensi
adalah
bahasan-bahasan
mengenai agama dan kepercayaan dalam tradisi
akademik, pembedaan yang dilakukan negara,
sangatlah tidak tepat.
Sedangkan menurut Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata Definisi Penghayat Kepercayaan
adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini
nilai-nilai
penghayatan
kepercayaan
terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan
pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan
Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang
diwujudkan
dengan
perilaku
ketaqwaan
dan
peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
serta pengamalan budi luhur yang ajarannya
bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia.
Jadi Aliran Kepercayaan yang berkembang
di masyarakat adalah sesuatu yang bersumber
kepada budaya luhur bangsa Indonesia yang
27
mengandung
nilai-nilai
luhur
dan
telah
membudaya dalam masyarakat sebagai hasil
penalaran daya cipta, karsa dan rasa manusia,
yang
berbentuk
atau
berwujud
kepercayaan
budaya, meliputi aliran kebathinan, kejiwaan,
kerokhanian atau kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa tidak merupakan agama dan
tidak mengarah kepada pembentukan agama
baru, dalam arti bahwa indentitas tuntunan yang
dianut adalah produk interaksi bebas dalam
menghayati
keterlibatan
atau
keterjalinan
hubungan dan keterkaitan atau ketergantungan
hidup manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2.4
Pendidikan Yang Membebaskan
Pendidikan
sejatinya
adalah
media
mencerdaskan kehidupan bangsa dan membawa
masyarakat kepada era pencerahan, pendidikan
adalah tonggak untuk meberantas kemiskinan,
menyelesaikan
kebodohan
permasalahan
yang
terjadi
sebagai
jalan
Pendidikan
membebaskan
manusia
dan
dari
menuntaskan
di
masyarakat.
dalam
dominasi
rangka
sang
penindas, sehingga yang akan tercipta adalah
bagaimana
pendidikan
bisa
memanusiakan
sesama manusia. Dengan pemahaman begitu
28
tidak akan terjadi diskriminasi, karena sejatinya
pendidikan
adalah
kemudian
hari
proses
belajar
menjadi
untuk
manusia
di
tanpa
penindasan.
Pendidikan
peserta
didik
hendaknya
ke
dalam
tidak
membawa
kesempitan
dalam
memahami sesuatu, tapi membawa keterbukaan
dalam
berfikir
dan
menghargai
sebuah
perbedaan. Pendidikan tidak lagi diajarkan hanya
sebatas
dogmatis,
mengajarkan
antara
dan
indoktrinasi
sesuatu
itu
salah
yang
dan
sesuatu itu benar. Pendidikan gaya konservatif
yang menciptakan murid menjadi robot, murid
hanya dijadikan sebagai objek materi yang tertera
dalam sebuah teks pelajaran. Hal seperti apa
yang diritik Freire tentang pendidikan ‘gaya
bank’, ia menyusun daftar antagonism dalam
gaya terebut:
-
-
Guru mengajar murid belajar.
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apaapa.
Guru berpikir, murid dipikirkan.
Guru bicara, murid mendengarkan.
Guru mengatur, murid diatur.
Guru memilih dan memaksakan pilihan¬nya,
murid menuruti.
Guru
bertindak,
murid
membayangkan
bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan
gurunya.
Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid
menyesuaikan diri.
29
-
-
Guru
mengacaukan
wewenang
ilmu
pengetahuan
dengan
wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya
dengan kebebasan murid.
Guru adalah subjek proses belajar, murid
objeknya (Yamin, 2013; 152).
Tidak
mengherankan
jika
konsep
pendidikan gaya bank menyamakan manusia
sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan
benda
yang
gampang
diatur,
dengan
model
seperti in pendidikan akan melanggengan sistem
relasi penindasan.
Sehingga
pendidikan
yang
seharusnya
diterapkan di masyarakat adalah pendidikan
yang
membaebaskan,
yang
mengantarkan
peserta didik menjadi humanis dan merdeka.
Merujuk
apa
yang
disampaikan
Freire,
pendidikan pembebasan merupakan proses bagi
seorang anak manusia untuk menemukan hal
yang paling penting dalam kehidupannya, yakni
terbebas
dari
segala
hal
yang
mengekang
kemanusiaannya menuju kehidupan yang penuh
dengan kebebasan (Freire, 2007; xx)
Dengan
mebebaskan
demikian
adalah
pendidikan
pendidikan
yang
yang
menumbuhkan kesadaran kritis yang mendorong
kemampuan
peserta
didik
untuk
memiliki
kedalaman menafsirkan persoalan nyata dalam
30
kehidupannya. Bila sudah demikian, pendidikan
yang
membebaskan
kepercayaan
pada
diri
juga
membangun
pesera
didik
untuk
menyikapi keadaan yang terjadi. Oleh karena itu,
proses pendidikan dinilai lebih penting dari pada
dengan hasilnya.
Pendidikan yang membebaskan merupakan
upaya memperoleh pengetahuan dan menjadi
proses transformasi yang diuji dalam kehidupan
antara
peserta
didik
mesti
terjadi
dalam
hubungan timbal balik. Sumbangan pemikiran
menjadi salah satu model pedidikan pembebasan
yang dikembangkan Freire dalam masyarakat
yang cenderung terbelakang dan miskin. Sebuah
kebebasan memiliki batasan-batasan tertentu,
kebebasan tanpa batas akan membentur hak-hak
orang lain dan akhirnya menimbulkan anarki dan
mendistorsi makna pembebasan, terkait dengan
upaya
proses
pendidikan
yang
mengedepankan “kebebasan” sebagai ruh
selalu
spirit
dalam melakukan pemaknaan akan keberadaan
manusia
sebagai
manusia
yang
benar-benar
manusiawi. Kebebasan bukanlah cita-cita yang
letaknya diluar manusia; bukan pula sepotong
gagasan
yang
kemudian
menjadi
mitos.
Kebebasan lebih merupakan syarat yang tak bisa
31
ditawar-tawar lagi agar manusia dapat memulai
perjuangan untuk menjadi manusia utuh.
Yamin
(2013;
154-160)
merangkum
beberapa hal yang signifikan dalam memandang
pendidikan menurut Freire sebagai penyadaran
dan
pembangkit
pendidikan
kesadaran
merupakan
kritis.
sebuah
Pertama,
pendekatan
pemikiran yang berangkat dari asumsi bahwa
pendidikan
adalah
proses
pembebasan
dari
sistem yang menindas. Bagi Freire pendidikan
ialah pembebasan manusia dari ketertutupan
menuju keterbukaan.
Kedua, pendidikan merupakan pembangun
paradigma berfikir yang lebih mengedepankan
realitas sosial terbuka ketimbang sempit maupun
kerdil. Realitas sosial terbuka adalah kondisi
masyarakat yang secara nyata hadir tanpa ada
rekayasa
untuk
menyembunyikan
sebuah
penindasan atau eksploitasi dari kelompok kuat
terhadap kelompok yang lemah, atau mayoritas
terhadap minoritas.
Ketiga, pendidikan bertujuan membangun
kehidupan
yang
demokratis.
Kebebasan
berpendapat adalah sebuah keniscayaan yang
harus
dipraktekkan
di
masyarakat.
32
Demokratisasi pendidikan menuntut pendidik
dan sekolah untuk memberikan ruang selebarlebarnya
pada
anak
didik
untuk
mengaktualisasikan dirinya, begitu pula dengan
pendidik di sekolah.
Keempat,
transformator
bermasyarakat
pendidikan
merupakan
kehidupan
berbangsa,
dan
bernegara,
atau
bisa
diartikan bahwa pendidikan bertujuan untuk
membangun kualitas kehidupan sebuah bangsa.
Dengan pendidikan yang baik sebuah bangsa
bisa
ditata
menjadi
dengan
bangsa
pendidikan
mengajarkan
sedemikian
besar
dan
maju.
merupakan
bagaimana
rupa
media
berbahasa
untuk
Kelima,
untuk
dan
menghargai setiap bahasa yang digunakan oleh
anak-anak didik dalam ruangan kelas, sebab
dalam
pendidikan
diajarkan
untuk
saling
menghargai antar dengan lainnya.
2.5
Penelitian Yang Relevan
Ada banyak penelitian yang dilakukan oleh
beberapa peneliti, tapi mereka tidak terfokus
pada kasus pendidikan. Diantaranya, disertasi
David Samiyono (2010) yang mengakat topik
33
menarik tentang ‘Sedulur Sikep: Struktur Sosial
dan
Agama
Masyarakat
Samin
di
Sukalila’.
Penelitian ini sangat kaya akan data dan lamanya
proses penelitian, karena penelitian ini lebih
bersifat
antrolopogis.
Jadi,
apa
yang
telah
diungkap oleh David Samiyono kiranya bisa
dijadikan data awal keadaan sosial dan antrolpogi
masyarakat penganut aliran kepercayaan yang
berada di Kabupaten Pati.
Selanjutnya,
penelitian
Tedi
Kholiludin
(2008) tentang ‘Agama, Negara dan Hak-hak
Sipil’. Namun Tedi Kholiludin lebih menganalisis
terhadap politik pengakuan negara atas agama di
Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut bisa
dilihat bagaimana kita memandang lebih luas
tentang defiinisi agama, tidak sekadar apa yang
dilabelkan oleh negara atas agama resmi dan
tidak resmi belaka.
Penelitian secara umum tentang aliran
kepercayaan, khususnya warga Samin juga telah
dilakukan oleh Moh Rosyid (2008). Buku tersebut
berjudul ‘Samin Kudus: Bersahaja di Tengah
Asketisme Lokal’. Dalam buku ini dijelaskan
bagaimana warga Samin hidup bersahaja dengan
penuh kesederhaan dan ketenangan tanpa harus
berurusan dengan administrasi pendidikan.
34
Penelitian
yang
membahas
tentang
pendidikan agama telah dilakukan oleh Interfedei
tahun
2007,
mereka
melakukan
penelitian
tentang Problem Pendidikan Agama di Sekolah
tahun 2004 – 2006 di Kota Yogyakarta. Dalam
penelitian
tersebut
diantaranya
merekomendasikan untuk mencari format yang
tepat
dalam
berdasarkan
pengajaran
pada
agama
kemajemukan
di
sekolah
masyarakat
Indonesia khususnya Yogyakarta, yaitu dengan
tidak membedakan kelas dalam pelajaran agama
dengan
mengajar
nilai-nilai
universal
dalam
setiap agama.
Demikian, beberapa penelitian yang telah
ada, maka penulis akan mengkaji lebih spesisifik
lagi tentang pemenuhan pendidikan bagi para
penghayat aliran kepercayaan.
35
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pemenuhan Hak Dasar atas Pendidikan
Makna pendidikan secara sederhana dapat
diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat
dan
kebudayaannya.
demikian,
bagaimanapun
Dengan
sederhananya
peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi
atau
berlangsung
suatu
proses
pendidikan.
Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah
ada sepanjang peradaban umat manusia.
Pendidikan dalam arti sempit diartikan
sebagai proses interaksi belajar mengajar dalam
bentuk formal yang dikenal sebagai pengajaran.
Sedangkan dalam arti luas pendidikan mencakup
seluruh
proses
hidup
dan
segenap
bentuk
interaksi individu dengan lingkungannya, baik
secara formal, non formal maupun informal,
sampai dengan suatu taraf kedewasaan tertentu.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan
usaha
manusia
melestarikan
hidupnya.
Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah
pedagogik yaitu ilmu menuntun anak, orang
Romawi memandang pendidikan sebagai educare,
10
yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan
merealisasikan
potensi
anak
yang
dibawa
dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat
pendidikan sebagai Erzichung yang setara dengan
educare,
yakni
membangkitkan
kekuatan
terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi
anak. Dalam bahasa Jawa pendidikan berarti
panggulawentah
(pengolahan),
mengolah,
mengubah, kejiwaan, mematangkan perasaan,
pikiran dan watak, mengubah kepribadian sang
anak.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia,
pendidikan
berasal
(mendidik),
yaitu
dari
kata
memelihara
dasar
dan
“didik”
memberi
latihan (ajaran pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan
pikiran.
pendidikan
adalah
perlindungan
dan
menurut
setiap
Langeveld,
usaha,
pengaruh,
yang
diberikan
bantuan
kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak
itu, atau lebih tepatnya membantu anak agar
cukup
cakap
melaksanakan
sendiri.
Pengaruh
dewasa
dan
itu
ditujukan
tugas
datangnya
kepada
hidupnya
dari
orang
orang
belum
dewasa.
Ki
Hajar
Dewantara
mengartikan
pendidikan sebagai upaya untuk memajukan
11
budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar
dapat
memajukan
kesempurnaan
hidup
dan
menghidupkan anak yang selaras dengan alam
dan
masyarakatnya.
Dewantara
Lebih
menjelaskan
lanjut
bahwa
Ki
Hajar
“Pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak;
dalam
pengertian
Taman
Siswa
tidak
boleh
dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya
kita dapat memajukan kesempurnaan hidup,
yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak
yang
kita
didik
selaras
dengan
dunianya.
(Dewantara, 1977:14).
Lebih
lanjut
menjelaskan
Ki
bahwa
Hajar
Dewantara
pendidikan
harus
mengutamakan aspek-aspek berikut. Pertama,
segala alat, usaha dan cara pedidikan harus
sesuai
dengan
kodratnya
keadaan.
Kedua,
Kodratnya keadaan itu tersimpan dalam adatistiadat
setiap
rakyat,
yang
oleh
karenanya
bergolong-golong merupakan kesatuan dengan
sifat
prikehidupan
sendiri-sendiri,
sifat-sifat
mana terjadi dari bercampurnya semua usaha
dan daya upaya untuk mencapai hidup tertib
damai. Ketiga, adat istiadat, sebagai sifat peri
12
kehidupan atau sifat percampuran usaha dan
daya upaya akan hidup tertib damai itu tiada
terluput dari pengaruh zaman dan tempat.; oleh
karena itu tidak tetap senantiasa berubah.
Keempat,
akan
mengetahui
garis-hidup
yang tetap dari sesuatu bangsa perlulah kita
mempelajari zaman yang telah lalu. Kelima,
pengaruh
baru
diperoleh
karena
bercampur
bangsa yang satu dengan yang lain, percampuran
mana
sekarang
ini
mudah
sekali
terjadi
disebabkan adanya hubungan modern.Haruslah
waspada dalam memilih mana yang baik untuk
menambah kemuliaan hidup kita dan mana yang
akan merugikan.
Menurut Syah dalam Chandra (2009: 33)
dikatakan bahwa pendidikan berasal dari kata
dasar “didik” yang mempunyai arti memelihara
dan
memberi
memerlukan
latihan.
adanya
Kedua
ajaran,
hal
tersebut
tuntunan,
dan
pimpinan tentang kecerdasan pikiran. Pengertian
pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan
perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran
dan
pelatihan.
Dengan
melihat
definisi tersebut, sebagian orang mengartikan
bahwa pendidikan adalah pengajaran karena
13
pendidikan
pada
pengajaran
dan
mendidik.
Secara
umumnya
setiap
membutuhkan
orang
sempit
berkewajiban
mengajar
adalah
kegiatan secara formal menyampaikan materi
pelajaran
sehingga
peserta
didik
menguasai
materi ajar.
Tujuan
pendidikan
menurut
beberapa
tokoh dirangkum oleh Fudyartanta (2010; 10)
antara lain;
Crow and Crow: menuju pertumbuhan dan
perkembangan
Thompson: kebiasaan tingkah laku
Langeveld: menjadi dewasa
Hoogveld: cakap menyelesaikan
Brojonagoro: menjadi dewasa
Ki Hadjar Dewantara: kemajuan hidup lahir
batin
Sedangkan tujuan pendidikan nasional di
Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-Undang Sisdiknas dari waktu ke waktu
mengalami perubahan sebagaimana berikut;
14
Tabel perbandingan tujuan pendidikan di Indonesia
beberapa periode
UU No. 4 tahun 1959 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran (pasal 3)
“Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap
dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air”
UU No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (pasal 2)
“Membentuk manusia susila yang berjiwa pancasila dan bertanggung jawab akan
terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materiil dan
spiritual...”
TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan
“Membentuk manusia pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang
dikehendaki oleh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan isi Undang-Undang
Dasar 1945”
UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 4)
“Mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
mengembangkan
manusia
Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 3)
“... bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”
15
Tujuan pendidikan dari tabel di atas dari
tahun ke tahun ke tahun mengalami pergeseran
makna, pada tahun 1950-an ide utama tujuan
pendidikan
bergeser
adalah
ke
“kesusilaan”,
“sosialisme”
di
kemudian
tahun
1960-an.
Setelah peristiwa G 30 S tahun 1965 kata
sosialisme
tidak
dimunculkan
diperkuat
adalah
pancasila
kembali,
sebagai
yang
tujuan
pendidikan nasional. Kemudian di era Soeharto
tahun 1980-an, ide tujuan iman dan takwa
menggantikan
ide
sebelumnya
tentang
kesusilaan, sosialisme dan Pancasila.
Dalam UU Sisdiknas tahun 1989 dan 2003,
Pancasila dan UUD 1945 ditempatkan sebagai
“dasar
pendidikan”.
Istilah
berakhlak
mulia
dalam UU Sisdiknas 2003 adalah baru, yang
tidak ditemukan di UU sebelumnya, karena yang
dipakai
sebelumnya
adalah
“berbudi
pekerti
luhur....” (Suhadi, 2013; 13)
Aturan Pendidikan di Indonesia.
Menurut
UU
No.
20
tahun
2003,
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
16
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan
yang
diperlukan
dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan merupakan tugas yang penting
bagi
warga,
pelaksanaan
dengan
tanggungjawab
kegiatan
pendidikan
utama
berada
di
tangan Pemerintah. Dalam Pembukaan UUD
1945, dinyatakan: “Kemudian daripada itu untuk
membentuk
Indonesia
suatu
…
Pemerintahan
melindungi
Negara
segenap
bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan
kehidupan
melaksanakan
ketertiban
bangsa,
dunia
dan
...”.
ikut
Sejalan
dengan amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut
di atas, maka para pendiri Negara Kesatuan
Republik Indonesia menetapkan pengaturan lebih
lanjut tentang pendidikan dalam Pasal 31 Ayat (1)
UUD 1945 (sebelum amandemen) bahwa, “Tiaptiap
warga
negara
berhak
mendapatkan
pengajaran.”
Secara
menguraikan
detail
Pasal
hak-hak
31
warga
UUD
Negara
1945
dalam
pendidikan sebagai berikut:
1) Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan;
17
2)
Setiap
warga
pendidikan
dasar
negara
dan
wajib
mengikuti
pemerintah
wajib
membiayai; 3) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan
nasional,
yang
satu
sistem
meningkatkan
pendidikan
keimanan
dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dalam undang-undang;
4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya
dua
puluh
persen
dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta
dari anggaran pendapat dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional;
5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat.
Kewajiban pemerintah dalam pelaksanaan
pendidikan nasional adalah memberikan layanan
dan
kemudahan,
serta
menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi dan wajib
menjamin
tersedianya
dana
guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
18
belas
tahun.
Hal
tersebut
sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun
2003. Tanggung jawab pemerintah atau negara
dalam
membiayai
pendidikan
dan
menyediakan
sebagai
pelaksanaan
Pasal
dana
konsekuensi
31
UUD
atas
1945,
ternyata
dilaksanakan lain oleh Pasal 46 Ayat (1) UU
Nomor
20
Tahun
2003
yaitu
Pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara
Pemerintah,
masyarakat.
Begitu
Pemerintah
juga
Daerah,
sumber
dan
pendanaan
pendidikan di dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Nomor
20
Tahun
2003
menjadi
tanggung
jawab
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Pengalokasian anggaran pendidikan di dalam
Pasal 49 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 telah
diatur dialokasikan minimal 20% dari APBN
sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD
selain alokasi gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan.
Penjelasan
Pasal
49
Ayat
(1)
menyatakan Pemenuhan pendanaan pendidikan
dapat dilakukan secara bertahap.
Dalam perkembangannya, pasal-pasal di
dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 beberapa kali
diajukan
permohonan
Pengujian
UU
ke
Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 5 Oktober
19
2005, MK melakukan pengujian atas Pasal 17
Ayat (1) (2) dan Penjelasan Pasal 49 Ayat (1)
dengan
Nomor
putusannya
11/PUU-III/2005.
atas
memutuskan:
pasal-pasal
(1).
Dalam
tersebut,
Mengabulkan
MK
permohonan
para Pemohon untuk sebagian; (2). Menyatakan
Penjelasan Pasal 49 Ayat (1) Undang-undang
Republik
Indonesia
Nomor
20
Tahun
2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara
Tahun
2003
Nomor
78,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4301) bertentangan dengan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(3). Menyatakan Penjelasan Pasal 49 Ayat (1)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia
mempunyai
Menolak
permohonan
selebihnya;
Putusan
kekuatan
ini
(5).
Nomor
4301)
hukum
para
mengikat;
Pemohon
Memerintahkan
dalam
Berita
tidak
Negara
(4).
untuk
pemuatan
Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas
putusan tersebut adalah bahwa pada hakikatnya
20
pelaksanaan ketentuan Konstitusi tidak boleh
ditunda-tunda. UUD 1945 secara expressis verbis
telah menentukan bahwa anggaran pendidikan
minimal 20% harus diprioritaskan yang tercermin
dalam APBN dan APBD tidak boleh direduksi oleh
peraturan perundang-perundangan yang secara
hierarkis berada di bawahnya. Penjelasan Pasal
49 Ayat (1) UU Sisdiknas juga telah membentuk
norma baru yang mengaburkan norma yang
terkandung dalam Pasal 49 Ayat (1) yang ingin
dijelaskannya,
Penjelasan
sehingga
Pasal 49
Ayat
ketentuan
(1)
dalam
tersebut juga
bertentangan dengan prinsip-prinsip dan teori
perundang-undangan yang sudah lazim diterima
dalam ilmu hukum yang kemudian dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-
undangan (vide Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor
005/PUU-III/2005
dalam
permohonan
pengujian Penjelasan Pasal 59 Ayat (1) UndangUndang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah. Terlebih lagi pendidikan di
Indonesia
sudah
sudah
waktunya
sangat
tertinggal,
pendidikan
harus
sehingga
menjadi
prioritas utama pembangunan di Indonesia yang
perwujudannya antara lain adalah pemberian
prioritas di bidang anggaran. Adanya Penjelasan
21
Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas menjadi alasan
bagi Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun
pemerintah daerah untuk tidak memenuhi pagu
20% anggaran pendidikan dalam APBN dan
APBD.
2.2
Kebijakan
Pendidikan
Agama
Di
Indonesia
Di Indonesia peraturan tentang pendidikan
secara umum diatur dalam UU Sisdiknas No. 20
tahun
2003.
Secara
spesifik
pendidikan
keagamaan tersebut dalam pasal 30 ayat 1,
berbunyi:
”Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Selanjutnya dalam ayat 2 dinyatakan:
”Pendidikan
keagamaan
berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi
ahli ilmu agama”.
Dalam
ayat
3
disebutkan:
“Pendidikan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal”.
Pada ayat 4 berbunyi: ”Pendidikan keagamaan
22
berbentuk
pendidikan
diniyah,
pesantren,
pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain
yang sejenis”. Dan pada ayat 5 juga disampaikan:
”Ketentuan
mengenai
pendidikan
keagamaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah”.
Dari
pasal
12
UU
Sisdiknas
tersebut
kemudian pemerintah mengelularkan kebijakan
tentang pendidikan agama dan keagamaan dalam
Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007. Dalam
pasal-pasal dalam peraturan pemerintah ini, ada
beberapa point yang menjelaskan pendidikan
agama ketika terjadi multi agama dalam satu
sekolah.
Dalam pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa
”Pendidik pendidikan agama pada satuan
pendidikan
yang
diselenggarakan
oleh
Pemerintah atau pemda disediakan oleh
pemerintah atau pemda sesuai kewenangan
masing-masing
berdasarkan
ketentuan
Peraturan Perundang-undangan”.
Pada
ayat
2
diungkapkan:
”Pendidik
pendidikan agama pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh
satuan pendidikan yang bersangkutan. Pada ayat
3 dinyatakan: ”Dalam hal satuan pendidikan
23
tidak dapat menyediakannya, maka pemerintah
dan/atau pemda wajib menyediakannya sesuai
kebutuhan satuan pendidikan”.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan. Secara kasat mata,
PP ini sebenarnya sudah diskriminatif bagi agama
suku ketika kita dengan teliti bahasan-bahasan
eksplisitnya.
simbol
Termasuk
keagamaan
yang
bahasa-bahasa
serta
digunakannya
pun
sudah sangat condong kepada agama-agama
pemerintah. Contoh paling kentara adalah pada
pasal 9 ayat 1 bahwa (1) Pendidikan keagamaan
meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Peraturan Menteri Agama Nor 16 tahun
2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di
Sekolah. Dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa
Pendidikan Agama terdiri dari: Pendidikan Agama
Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan
Agama
Kristen,
Pendidikan
Pendidikan
Agama
Buddha
Agama
dan
Hindu,
Pendidikan
Agama Khonghucu.
24
2.3
Penghayat Kepercayaan
Secara
bahasa
arti
dari
kepercayaan
berasal dari kata percaya, menurut A.L. Huxley
(dalam Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
RI, 1992-1994) di dalam bukunya The Parennial
Philosiphy, seseorang pengarang dan ahli filsafat
dari Inggris, menyebutkan empat arti:
a. Percaya/mengandalkan
(kepada
orang
tertentu).
b. Percaya (faith) kepada wibawa (dari para ahli
di suatu bidang ilmu pengetahuan).
c. Percaya (beliefe) kepada dalil-dalil yang kita
sendiri tidak dapat menceknya, apabila kita
mempunyai
kesediaan,
kesempatan,
dan
kemampuan untuk itu.
d. Percaya (beliefe) kepada dalil-dalil, yang kita
ketahui, bahwa kita tidak dapat menceknya,
sekalipun kita menghendakinya.
Huxley berpendapat, bahwa ketiga arti yang
pertama mempunyai peranan yang penting dalam
kehidupan
sehari-hari
dan
dalam
arti
yang
keempat itu dipandangnyasama dengan apa yang
biasa disebut “kepercayaan agamani”.
Aliran-aliran
kepercayaan
merupakan
aliran kerohanian yang sulit didefinisikan secara
25
tepat, sama sulitnya dengan mendefenisikan
agama
serta
lembaga-lembaga
kerohanian
lainnya. As’ad (1982) mengatakan penghayat
adalah suatu cabang dari pada paham yang
rentannya masih berinduk dari salah satu agama
(madzhab, orde, sekte dan lain-lain).
Di Indonesia salah satu masalah yang tak
kunjung menemukan titik temu adalah saat
mengurai
agama
dan
kepercayaan.
Dalam
dokumen internasional kita mengenal religion dan
belief yang sering diterjemahkan dengan kata
“agama” dan “keyakinan.” Dalam pasal 29 kata
“agama”
dan
Perdebatannya
“kepercayaan”
adalah
apakah
muncul.
keduanya
merupakan dua substansi atau satu (Kholiludin:
2008).
Persoalan menjadi tambah pelik karena
yang terjadi kemudian adalah terjadi pemisahan
secara diametral antara agama dan kepercayaan.
Diversifikasi ini, menjadi salah satu cara yang
ampuh untuk mengatakan bahwa kepercayaan
berbeda dengan agama, bahkan bukan agama.
Lebih tegas Tedi Tholiludin (2013) bahwa
pembedaan agama dengan kepercayaan, tidak
ditopang oleh bangunan argumentasi yang kuat
26
secara epistemik maupun metodologis. Besar
kemungkinan yang terjadi adalah pemisahan
kategorial dengan didasarkan atas kepentingan
politis.
enam
Indikasinya,
agama,
negara
sementara
hanya
aliran
mengakui
kepercayaan
dianggap bukan agama. Padahal kalau yang
menjadi
referensi
adalah
bahasan-bahasan
mengenai agama dan kepercayaan dalam tradisi
akademik, pembedaan yang dilakukan negara,
sangatlah tidak tepat.
Sedangkan menurut Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata Definisi Penghayat Kepercayaan
adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini
nilai-nilai
penghayatan
kepercayaan
terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan
pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan
Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang
diwujudkan
dengan
perilaku
ketaqwaan
dan
peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
serta pengamalan budi luhur yang ajarannya
bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia.
Jadi Aliran Kepercayaan yang berkembang
di masyarakat adalah sesuatu yang bersumber
kepada budaya luhur bangsa Indonesia yang
27
mengandung
nilai-nilai
luhur
dan
telah
membudaya dalam masyarakat sebagai hasil
penalaran daya cipta, karsa dan rasa manusia,
yang
berbentuk
atau
berwujud
kepercayaan
budaya, meliputi aliran kebathinan, kejiwaan,
kerokhanian atau kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa tidak merupakan agama dan
tidak mengarah kepada pembentukan agama
baru, dalam arti bahwa indentitas tuntunan yang
dianut adalah produk interaksi bebas dalam
menghayati
keterlibatan
atau
keterjalinan
hubungan dan keterkaitan atau ketergantungan
hidup manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2.4
Pendidikan Yang Membebaskan
Pendidikan
sejatinya
adalah
media
mencerdaskan kehidupan bangsa dan membawa
masyarakat kepada era pencerahan, pendidikan
adalah tonggak untuk meberantas kemiskinan,
menyelesaikan
kebodohan
permasalahan
yang
terjadi
sebagai
jalan
Pendidikan
membebaskan
manusia
dan
dari
menuntaskan
di
masyarakat.
dalam
dominasi
rangka
sang
penindas, sehingga yang akan tercipta adalah
bagaimana
pendidikan
bisa
memanusiakan
sesama manusia. Dengan pemahaman begitu
28
tidak akan terjadi diskriminasi, karena sejatinya
pendidikan
adalah
kemudian
hari
proses
belajar
menjadi
untuk
manusia
di
tanpa
penindasan.
Pendidikan
peserta
didik
hendaknya
ke
dalam
tidak
membawa
kesempitan
dalam
memahami sesuatu, tapi membawa keterbukaan
dalam
berfikir
dan
menghargai
sebuah
perbedaan. Pendidikan tidak lagi diajarkan hanya
sebatas
dogmatis,
mengajarkan
antara
dan
indoktrinasi
sesuatu
itu
salah
yang
dan
sesuatu itu benar. Pendidikan gaya konservatif
yang menciptakan murid menjadi robot, murid
hanya dijadikan sebagai objek materi yang tertera
dalam sebuah teks pelajaran. Hal seperti apa
yang diritik Freire tentang pendidikan ‘gaya
bank’, ia menyusun daftar antagonism dalam
gaya terebut:
-
-
Guru mengajar murid belajar.
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apaapa.
Guru berpikir, murid dipikirkan.
Guru bicara, murid mendengarkan.
Guru mengatur, murid diatur.
Guru memilih dan memaksakan pilihan¬nya,
murid menuruti.
Guru
bertindak,
murid
membayangkan
bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan
gurunya.
Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid
menyesuaikan diri.
29
-
-
Guru
mengacaukan
wewenang
ilmu
pengetahuan
dengan
wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya
dengan kebebasan murid.
Guru adalah subjek proses belajar, murid
objeknya (Yamin, 2013; 152).
Tidak
mengherankan
jika
konsep
pendidikan gaya bank menyamakan manusia
sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan
benda
yang
gampang
diatur,
dengan
model
seperti in pendidikan akan melanggengan sistem
relasi penindasan.
Sehingga
pendidikan
yang
seharusnya
diterapkan di masyarakat adalah pendidikan
yang
membaebaskan,
yang
mengantarkan
peserta didik menjadi humanis dan merdeka.
Merujuk
apa
yang
disampaikan
Freire,
pendidikan pembebasan merupakan proses bagi
seorang anak manusia untuk menemukan hal
yang paling penting dalam kehidupannya, yakni
terbebas
dari
segala
hal
yang
mengekang
kemanusiaannya menuju kehidupan yang penuh
dengan kebebasan (Freire, 2007; xx)
Dengan
mebebaskan
demikian
adalah
pendidikan
pendidikan
yang
yang
menumbuhkan kesadaran kritis yang mendorong
kemampuan
peserta
didik
untuk
memiliki
kedalaman menafsirkan persoalan nyata dalam
30
kehidupannya. Bila sudah demikian, pendidikan
yang
membebaskan
kepercayaan
pada
diri
juga
membangun
pesera
didik
untuk
menyikapi keadaan yang terjadi. Oleh karena itu,
proses pendidikan dinilai lebih penting dari pada
dengan hasilnya.
Pendidikan yang membebaskan merupakan
upaya memperoleh pengetahuan dan menjadi
proses transformasi yang diuji dalam kehidupan
antara
peserta
didik
mesti
terjadi
dalam
hubungan timbal balik. Sumbangan pemikiran
menjadi salah satu model pedidikan pembebasan
yang dikembangkan Freire dalam masyarakat
yang cenderung terbelakang dan miskin. Sebuah
kebebasan memiliki batasan-batasan tertentu,
kebebasan tanpa batas akan membentur hak-hak
orang lain dan akhirnya menimbulkan anarki dan
mendistorsi makna pembebasan, terkait dengan
upaya
proses
pendidikan
yang
mengedepankan “kebebasan” sebagai ruh
selalu
spirit
dalam melakukan pemaknaan akan keberadaan
manusia
sebagai
manusia
yang
benar-benar
manusiawi. Kebebasan bukanlah cita-cita yang
letaknya diluar manusia; bukan pula sepotong
gagasan
yang
kemudian
menjadi
mitos.
Kebebasan lebih merupakan syarat yang tak bisa
31
ditawar-tawar lagi agar manusia dapat memulai
perjuangan untuk menjadi manusia utuh.
Yamin
(2013;
154-160)
merangkum
beberapa hal yang signifikan dalam memandang
pendidikan menurut Freire sebagai penyadaran
dan
pembangkit
pendidikan
kesadaran
merupakan
kritis.
sebuah
Pertama,
pendekatan
pemikiran yang berangkat dari asumsi bahwa
pendidikan
adalah
proses
pembebasan
dari
sistem yang menindas. Bagi Freire pendidikan
ialah pembebasan manusia dari ketertutupan
menuju keterbukaan.
Kedua, pendidikan merupakan pembangun
paradigma berfikir yang lebih mengedepankan
realitas sosial terbuka ketimbang sempit maupun
kerdil. Realitas sosial terbuka adalah kondisi
masyarakat yang secara nyata hadir tanpa ada
rekayasa
untuk
menyembunyikan
sebuah
penindasan atau eksploitasi dari kelompok kuat
terhadap kelompok yang lemah, atau mayoritas
terhadap minoritas.
Ketiga, pendidikan bertujuan membangun
kehidupan
yang
demokratis.
Kebebasan
berpendapat adalah sebuah keniscayaan yang
harus
dipraktekkan
di
masyarakat.
32
Demokratisasi pendidikan menuntut pendidik
dan sekolah untuk memberikan ruang selebarlebarnya
pada
anak
didik
untuk
mengaktualisasikan dirinya, begitu pula dengan
pendidik di sekolah.
Keempat,
transformator
bermasyarakat
pendidikan
merupakan
kehidupan
berbangsa,
dan
bernegara,
atau
bisa
diartikan bahwa pendidikan bertujuan untuk
membangun kualitas kehidupan sebuah bangsa.
Dengan pendidikan yang baik sebuah bangsa
bisa
ditata
menjadi
dengan
bangsa
pendidikan
mengajarkan
sedemikian
besar
dan
maju.
merupakan
bagaimana
rupa
media
berbahasa
untuk
Kelima,
untuk
dan
menghargai setiap bahasa yang digunakan oleh
anak-anak didik dalam ruangan kelas, sebab
dalam
pendidikan
diajarkan
untuk
saling
menghargai antar dengan lainnya.
2.5
Penelitian Yang Relevan
Ada banyak penelitian yang dilakukan oleh
beberapa peneliti, tapi mereka tidak terfokus
pada kasus pendidikan. Diantaranya, disertasi
David Samiyono (2010) yang mengakat topik
33
menarik tentang ‘Sedulur Sikep: Struktur Sosial
dan
Agama
Masyarakat
Samin
di
Sukalila’.
Penelitian ini sangat kaya akan data dan lamanya
proses penelitian, karena penelitian ini lebih
bersifat
antrolopogis.
Jadi,
apa
yang
telah
diungkap oleh David Samiyono kiranya bisa
dijadikan data awal keadaan sosial dan antrolpogi
masyarakat penganut aliran kepercayaan yang
berada di Kabupaten Pati.
Selanjutnya,
penelitian
Tedi
Kholiludin
(2008) tentang ‘Agama, Negara dan Hak-hak
Sipil’. Namun Tedi Kholiludin lebih menganalisis
terhadap politik pengakuan negara atas agama di
Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut bisa
dilihat bagaimana kita memandang lebih luas
tentang defiinisi agama, tidak sekadar apa yang
dilabelkan oleh negara atas agama resmi dan
tidak resmi belaka.
Penelitian secara umum tentang aliran
kepercayaan, khususnya warga Samin juga telah
dilakukan oleh Moh Rosyid (2008). Buku tersebut
berjudul ‘Samin Kudus: Bersahaja di Tengah
Asketisme Lokal’. Dalam buku ini dijelaskan
bagaimana warga Samin hidup bersahaja dengan
penuh kesederhaan dan ketenangan tanpa harus
berurusan dengan administrasi pendidikan.
34
Penelitian
yang
membahas
tentang
pendidikan agama telah dilakukan oleh Interfedei
tahun
2007,
mereka
melakukan
penelitian
tentang Problem Pendidikan Agama di Sekolah
tahun 2004 – 2006 di Kota Yogyakarta. Dalam
penelitian
tersebut
diantaranya
merekomendasikan untuk mencari format yang
tepat
dalam
berdasarkan
pengajaran
pada
agama
kemajemukan
di
sekolah
masyarakat
Indonesia khususnya Yogyakarta, yaitu dengan
tidak membedakan kelas dalam pelajaran agama
dengan
mengajar
nilai-nilai
universal
dalam
setiap agama.
Demikian, beberapa penelitian yang telah
ada, maka penulis akan mengkaji lebih spesisifik
lagi tentang pemenuhan pendidikan bagi para
penghayat aliran kepercayaan.
35