T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemenuhan Pendidikan Keagamaan Bagi Penghayat Kepercayaan (Studi Kasus Di Komunitas Sedulur Sikep Kab. Kudus) T2 BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Pemenuhan Hak Dasar atas Pendidikan
Makna pendidikan secara sederhana dapat

diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
masyarakat

dan

kebudayaannya.

demikian,

bagaimanapun

Dengan


sederhananya

peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi
atau

berlangsung

suatu

proses

pendidikan.

Karena itulah sering dinyatakan pendidikan telah
ada sepanjang peradaban umat manusia.
Pendidikan dalam arti sempit diartikan
sebagai proses interaksi belajar mengajar dalam
bentuk formal yang dikenal sebagai pengajaran.
Sedangkan dalam arti luas pendidikan mencakup
seluruh


proses

hidup

dan

segenap

bentuk

interaksi individu dengan lingkungannya, baik
secara formal, non formal maupun informal,
sampai dengan suatu taraf kedewasaan tertentu.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan
usaha

manusia

melestarikan


hidupnya.

Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah
pedagogik yaitu ilmu menuntun anak, orang
Romawi memandang pendidikan sebagai educare,
10

yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan
merealisasikan

potensi

anak

yang

dibawa

dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat

pendidikan sebagai Erzichung yang setara dengan
educare,

yakni

membangkitkan

kekuatan

terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi
anak. Dalam bahasa Jawa pendidikan berarti
panggulawentah

(pengolahan),

mengolah,

mengubah, kejiwaan, mematangkan perasaan,
pikiran dan watak, mengubah kepribadian sang
anak.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia,
pendidikan

berasal

(mendidik),

yaitu

dari

kata

memelihara

dasar
dan

“didik”
memberi


latihan (ajaran pimpinan) mengenai akhlak dan
kecerdasan

pikiran.

pendidikan

adalah

perlindungan

dan

menurut

setiap

Langeveld,


usaha,

pengaruh,

yang

diberikan

bantuan

kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak
itu, atau lebih tepatnya membantu anak agar
cukup

cakap

melaksanakan

sendiri.


Pengaruh

dewasa

dan

itu

ditujukan

tugas

datangnya
kepada

hidupnya

dari

orang


orang

belum

dewasa.
Ki

Hajar

Dewantara

mengartikan

pendidikan sebagai upaya untuk memajukan
11

budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar
dapat


memajukan

kesempurnaan

hidup

dan

menghidupkan anak yang selaras dengan alam
dan

masyarakatnya.

Dewantara

Lebih

menjelaskan

lanjut


bahwa

Ki

Hajar

“Pendidikan

umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak;
dalam

pengertian

Taman

Siswa

tidak

boleh

dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya
kita dapat memajukan kesempurnaan hidup,
yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak
yang

kita

didik

selaras

dengan

dunianya.

(Dewantara, 1977:14).
Lebih

lanjut

menjelaskan

Ki

bahwa

Hajar

Dewantara

pendidikan

harus

mengutamakan aspek-aspek berikut. Pertama,
segala alat, usaha dan cara pedidikan harus
sesuai

dengan

kodratnya

keadaan.

Kedua,

Kodratnya keadaan itu tersimpan dalam adatistiadat

setiap

rakyat,

yang

oleh

karenanya

bergolong-golong merupakan kesatuan dengan
sifat

prikehidupan

sendiri-sendiri,

sifat-sifat

mana terjadi dari bercampurnya semua usaha
dan daya upaya untuk mencapai hidup tertib
damai. Ketiga, adat istiadat, sebagai sifat peri
12

kehidupan atau sifat percampuran usaha dan
daya upaya akan hidup tertib damai itu tiada
terluput dari pengaruh zaman dan tempat.; oleh
karena itu tidak tetap senantiasa berubah.
Keempat,

akan

mengetahui

garis-hidup

yang tetap dari sesuatu bangsa perlulah kita
mempelajari zaman yang telah lalu. Kelima,
pengaruh

baru

diperoleh

karena

bercampur

bangsa yang satu dengan yang lain, percampuran
mana

sekarang

ini

mudah

sekali

terjadi

disebabkan adanya hubungan modern.Haruslah
waspada dalam memilih mana yang baik untuk
menambah kemuliaan hidup kita dan mana yang
akan merugikan.
Menurut Syah dalam Chandra (2009: 33)
dikatakan bahwa pendidikan berasal dari kata
dasar “didik” yang mempunyai arti memelihara
dan

memberi

memerlukan

latihan.
adanya

Kedua

ajaran,

hal

tersebut

tuntunan,

dan

pimpinan tentang kecerdasan pikiran. Pengertian
pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan
perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran

dan

pelatihan.

Dengan

melihat

definisi tersebut, sebagian orang mengartikan
bahwa pendidikan adalah pengajaran karena
13

pendidikan

pada

pengajaran

dan

mendidik.

Secara

umumnya
setiap

membutuhkan

orang

sempit

berkewajiban

mengajar

adalah

kegiatan secara formal menyampaikan materi
pelajaran

sehingga

peserta

didik

menguasai

materi ajar.
Tujuan

pendidikan

menurut

beberapa

tokoh dirangkum oleh Fudyartanta (2010; 10)
antara lain;
Crow and Crow: menuju pertumbuhan dan
perkembangan
Thompson: kebiasaan tingkah laku
Langeveld: menjadi dewasa
Hoogveld: cakap menyelesaikan
Brojonagoro: menjadi dewasa
Ki Hadjar Dewantara: kemajuan hidup lahir
batin
Sedangkan tujuan pendidikan nasional di
Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam
Undang-Undang Sisdiknas dari waktu ke waktu
mengalami perubahan sebagaimana berikut;

14

Tabel perbandingan tujuan pendidikan di Indonesia
beberapa periode

UU No. 4 tahun 1959 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran (pasal 3)
“Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap
dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air”
UU No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (pasal 2)
“Membentuk manusia susila yang berjiwa pancasila dan bertanggung jawab akan
terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materiil dan
spiritual...”
TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan
“Membentuk manusia pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang
dikehendaki oleh Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan isi Undang-Undang
Dasar 1945”
UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 4)
“Mencerdaskan

kehidupan

bangsa

dan

mengembangkan

manusia

Indonesia

seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan”
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 3)
“... bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”

15

Tujuan pendidikan dari tabel di atas dari
tahun ke tahun ke tahun mengalami pergeseran
makna, pada tahun 1950-an ide utama tujuan
pendidikan
bergeser

adalah

ke

“kesusilaan”,

“sosialisme”

di

kemudian

tahun

1960-an.

Setelah peristiwa G 30 S tahun 1965 kata
sosialisme

tidak

dimunculkan

diperkuat

adalah

pancasila

kembali,
sebagai

yang
tujuan

pendidikan nasional. Kemudian di era Soeharto
tahun 1980-an, ide tujuan iman dan takwa
menggantikan

ide

sebelumnya

tentang

kesusilaan, sosialisme dan Pancasila.
Dalam UU Sisdiknas tahun 1989 dan 2003,
Pancasila dan UUD 1945 ditempatkan sebagai
“dasar

pendidikan”.

Istilah

berakhlak

mulia

dalam UU Sisdiknas 2003 adalah baru, yang
tidak ditemukan di UU sebelumnya, karena yang
dipakai

sebelumnya

adalah

“berbudi

pekerti

luhur....” (Suhadi, 2013; 13)

Aturan Pendidikan di Indonesia.
Menurut

UU

No.

20

tahun

2003,

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
16

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan

yang

diperlukan

dirinya,

masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan merupakan tugas yang penting
bagi

warga,

pelaksanaan

dengan

tanggungjawab

kegiatan

pendidikan

utama

berada

di

tangan Pemerintah. Dalam Pembukaan UUD
1945, dinyatakan: “Kemudian daripada itu untuk
membentuk
Indonesia

suatu


Pemerintahan

melindungi

Negara

segenap

bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan

kehidupan

melaksanakan

ketertiban

bangsa,
dunia

dan

...”.

ikut

Sejalan

dengan amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut
di atas, maka para pendiri Negara Kesatuan
Republik Indonesia menetapkan pengaturan lebih
lanjut tentang pendidikan dalam Pasal 31 Ayat (1)
UUD 1945 (sebelum amandemen) bahwa, “Tiaptiap

warga

negara

berhak

mendapatkan

pengajaran.”
Secara
menguraikan

detail

Pasal

hak-hak

31

warga

UUD
Negara

1945
dalam

pendidikan sebagai berikut:
1) Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan;
17

2)

Setiap

warga

pendidikan

dasar

negara
dan

wajib

mengikuti

pemerintah

wajib

membiayai; 3) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan
nasional,

yang

satu

sistem

meningkatkan

pendidikan

keimanan

dan

ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dalam undang-undang;
4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya

dua

puluh

persen

dari

anggaran pendapatan dan belanja negara serta
dari anggaran pendapat dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional;
5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat.
Kewajiban pemerintah dalam pelaksanaan
pendidikan nasional adalah memberikan layanan
dan

kemudahan,

serta

menjamin

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi dan wajib
menjamin

tersedianya

dana

guna

terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
18

belas

tahun.

Hal

tersebut

sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun
2003. Tanggung jawab pemerintah atau negara
dalam

membiayai

pendidikan

dan

menyediakan

sebagai

pelaksanaan

Pasal

dana

konsekuensi

31

UUD

atas

1945,

ternyata

dilaksanakan lain oleh Pasal 46 Ayat (1) UU
Nomor

20

Tahun

2003

yaitu

Pendanaan

pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara

Pemerintah,

masyarakat.

Begitu

Pemerintah
juga

Daerah,

sumber

dan

pendanaan

pendidikan di dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Nomor
20

Tahun

2003

menjadi

tanggung

jawab

pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Pengalokasian anggaran pendidikan di dalam
Pasal 49 Ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 telah
diatur dialokasikan minimal 20% dari APBN
sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD
selain alokasi gaji pendidik dan biaya pendidikan
kedinasan.

Penjelasan

Pasal

49

Ayat

(1)

menyatakan Pemenuhan pendanaan pendidikan
dapat dilakukan secara bertahap.
Dalam perkembangannya, pasal-pasal di
dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 beberapa kali
diajukan

permohonan

Pengujian

UU

ke

Mahkamah Konstitusi. Pada tanggal 5 Oktober
19

2005, MK melakukan pengujian atas Pasal 17
Ayat (1) (2) dan Penjelasan Pasal 49 Ayat (1)
dengan

Nomor

putusannya

11/PUU-III/2005.

atas

memutuskan:

pasal-pasal

(1).

Dalam

tersebut,

Mengabulkan

MK

permohonan

para Pemohon untuk sebagian; (2). Menyatakan
Penjelasan Pasal 49 Ayat (1) Undang-undang
Republik

Indonesia

Nomor

20

Tahun

2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara

Tahun

2003

Nomor

78,

Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4301) bertentangan dengan Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(3). Menyatakan Penjelasan Pasal 49 Ayat (1)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik

Indonesia

mempunyai
Menolak

permohonan

selebihnya;
Putusan

kekuatan

ini

(5).

Nomor

4301)

hukum
para

mengikat;

Pemohon

Memerintahkan

dalam

Berita

tidak

Negara

(4).

untuk

pemuatan
Republik

Indonesia sebagaimana mestinya;
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas
putusan tersebut adalah bahwa pada hakikatnya
20

pelaksanaan ketentuan Konstitusi tidak boleh
ditunda-tunda. UUD 1945 secara expressis verbis
telah menentukan bahwa anggaran pendidikan
minimal 20% harus diprioritaskan yang tercermin
dalam APBN dan APBD tidak boleh direduksi oleh
peraturan perundang-perundangan yang secara
hierarkis berada di bawahnya. Penjelasan Pasal
49 Ayat (1) UU Sisdiknas juga telah membentuk
norma baru yang mengaburkan norma yang
terkandung dalam Pasal 49 Ayat (1) yang ingin
dijelaskannya,
Penjelasan

sehingga

Pasal 49

Ayat

ketentuan
(1)

dalam

tersebut juga

bertentangan dengan prinsip-prinsip dan teori
perundang-undangan yang sudah lazim diterima
dalam ilmu hukum yang kemudian dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang

Pembentukan

Peraturan

Perundang-

undangan (vide Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor

005/PUU-III/2005

dalam

permohonan

pengujian Penjelasan Pasal 59 Ayat (1) UndangUndang

Nomor

32

Tahun

2004

tentang

Pemerintahan Daerah. Terlebih lagi pendidikan di
Indonesia
sudah

sudah

waktunya

sangat

tertinggal,

pendidikan

harus

sehingga
menjadi

prioritas utama pembangunan di Indonesia yang
perwujudannya antara lain adalah pemberian
prioritas di bidang anggaran. Adanya Penjelasan
21

Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas menjadi alasan
bagi Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun
pemerintah daerah untuk tidak memenuhi pagu
20% anggaran pendidikan dalam APBN dan
APBD.

2.2

Kebijakan

Pendidikan

Agama

Di

Indonesia
Di Indonesia peraturan tentang pendidikan
secara umum diatur dalam UU Sisdiknas No. 20
tahun

2003.

Secara

spesifik

pendidikan

keagamaan tersebut dalam pasal 30 ayat 1,
berbunyi:
”Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.

Selanjutnya dalam ayat 2 dinyatakan:
”Pendidikan
keagamaan
berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi
ahli ilmu agama”.

Dalam

ayat

3

disebutkan:

“Pendidikan

keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal”.
Pada ayat 4 berbunyi: ”Pendidikan keagamaan
22

berbentuk

pendidikan

diniyah,

pesantren,

pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain
yang sejenis”. Dan pada ayat 5 juga disampaikan:
”Ketentuan

mengenai

pendidikan

keagamaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah”.
Dari

pasal

12

UU

Sisdiknas

tersebut

kemudian pemerintah mengelularkan kebijakan
tentang pendidikan agama dan keagamaan dalam
Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007. Dalam
pasal-pasal dalam peraturan pemerintah ini, ada
beberapa point yang menjelaskan pendidikan
agama ketika terjadi multi agama dalam satu
sekolah.
Dalam pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa
”Pendidik pendidikan agama pada satuan
pendidikan
yang
diselenggarakan
oleh
Pemerintah atau pemda disediakan oleh
pemerintah atau pemda sesuai kewenangan
masing-masing
berdasarkan
ketentuan
Peraturan Perundang-undangan”.

Pada

ayat

2

diungkapkan:

”Pendidik

pendidikan agama pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat disediakan oleh
satuan pendidikan yang bersangkutan. Pada ayat
3 dinyatakan: ”Dalam hal satuan pendidikan
23

tidak dapat menyediakannya, maka pemerintah
dan/atau pemda wajib menyediakannya sesuai
kebutuhan satuan pendidikan”.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan. Secara kasat mata,
PP ini sebenarnya sudah diskriminatif bagi agama
suku ketika kita dengan teliti bahasan-bahasan
eksplisitnya.
simbol

Termasuk

keagamaan

yang

bahasa-bahasa

serta

digunakannya

pun

sudah sangat condong kepada agama-agama
pemerintah. Contoh paling kentara adalah pada
pasal 9 ayat 1 bahwa (1) Pendidikan keagamaan
meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Peraturan Menteri Agama Nor 16 tahun
2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama di
Sekolah. Dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa
Pendidikan Agama terdiri dari: Pendidikan Agama
Islam, Pendidikan Agama Katolik, Pendidikan
Agama

Kristen,

Pendidikan

Pendidikan

Agama

Buddha

Agama
dan

Hindu,

Pendidikan

Agama Khonghucu.

24

2.3

Penghayat Kepercayaan
Secara

bahasa

arti

dari

kepercayaan

berasal dari kata percaya, menurut A.L. Huxley
(dalam Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
RI, 1992-1994) di dalam bukunya The Parennial
Philosiphy, seseorang pengarang dan ahli filsafat
dari Inggris, menyebutkan empat arti:
a. Percaya/mengandalkan

(kepada

orang

tertentu).
b. Percaya (faith) kepada wibawa (dari para ahli
di suatu bidang ilmu pengetahuan).
c. Percaya (beliefe) kepada dalil-dalil yang kita
sendiri tidak dapat menceknya, apabila kita
mempunyai

kesediaan,

kesempatan,

dan

kemampuan untuk itu.
d. Percaya (beliefe) kepada dalil-dalil, yang kita
ketahui, bahwa kita tidak dapat menceknya,
sekalipun kita menghendakinya.
Huxley berpendapat, bahwa ketiga arti yang
pertama mempunyai peranan yang penting dalam
kehidupan

sehari-hari

dan

dalam

arti

yang

keempat itu dipandangnyasama dengan apa yang
biasa disebut “kepercayaan agamani”.
Aliran-aliran

kepercayaan

merupakan

aliran kerohanian yang sulit didefinisikan secara
25

tepat, sama sulitnya dengan mendefenisikan
agama

serta

lembaga-lembaga

kerohanian

lainnya. As’ad (1982) mengatakan penghayat
adalah suatu cabang dari pada paham yang
rentannya masih berinduk dari salah satu agama
(madzhab, orde, sekte dan lain-lain).
Di Indonesia salah satu masalah yang tak
kunjung menemukan titik temu adalah saat
mengurai

agama

dan

kepercayaan.

Dalam

dokumen internasional kita mengenal religion dan
belief yang sering diterjemahkan dengan kata
“agama” dan “keyakinan.” Dalam pasal 29 kata
“agama”

dan

Perdebatannya

“kepercayaan”
adalah

apakah

muncul.
keduanya

merupakan dua substansi atau satu (Kholiludin:
2008).
Persoalan menjadi tambah pelik karena
yang terjadi kemudian adalah terjadi pemisahan
secara diametral antara agama dan kepercayaan.
Diversifikasi ini, menjadi salah satu cara yang
ampuh untuk mengatakan bahwa kepercayaan
berbeda dengan agama, bahkan bukan agama.
Lebih tegas Tedi Tholiludin (2013) bahwa
pembedaan agama dengan kepercayaan, tidak
ditopang oleh bangunan argumentasi yang kuat
26

secara epistemik maupun metodologis. Besar
kemungkinan yang terjadi adalah pemisahan
kategorial dengan didasarkan atas kepentingan
politis.
enam

Indikasinya,
agama,

negara

sementara

hanya

aliran

mengakui

kepercayaan

dianggap bukan agama. Padahal kalau yang
menjadi

referensi

adalah

bahasan-bahasan

mengenai agama dan kepercayaan dalam tradisi
akademik, pembedaan yang dilakukan negara,
sangatlah tidak tepat.
Sedangkan menurut Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata Definisi Penghayat Kepercayaan
adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini
nilai-nilai

penghayatan

kepercayaan

terhadap

Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan
pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan
Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang
diwujudkan

dengan

perilaku

ketaqwaan

dan

peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
serta pengamalan budi luhur yang ajarannya
bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia.
Jadi Aliran Kepercayaan yang berkembang
di masyarakat adalah sesuatu yang bersumber
kepada budaya luhur bangsa Indonesia yang
27

mengandung

nilai-nilai

luhur

dan

telah

membudaya dalam masyarakat sebagai hasil
penalaran daya cipta, karsa dan rasa manusia,
yang

berbentuk

atau

berwujud

kepercayaan

budaya, meliputi aliran kebathinan, kejiwaan,
kerokhanian atau kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa tidak merupakan agama dan
tidak mengarah kepada pembentukan agama
baru, dalam arti bahwa indentitas tuntunan yang
dianut adalah produk interaksi bebas dalam
menghayati

keterlibatan

atau

keterjalinan

hubungan dan keterkaitan atau ketergantungan
hidup manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2.4

Pendidikan Yang Membebaskan
Pendidikan

sejatinya

adalah

media

mencerdaskan kehidupan bangsa dan membawa
masyarakat kepada era pencerahan, pendidikan
adalah tonggak untuk meberantas kemiskinan,
menyelesaikan

kebodohan

permasalahan

yang

terjadi

sebagai

jalan

Pendidikan
membebaskan

manusia

dan

dari

menuntaskan

di

masyarakat.

dalam
dominasi

rangka
sang

penindas, sehingga yang akan tercipta adalah
bagaimana

pendidikan

bisa

memanusiakan

sesama manusia. Dengan pemahaman begitu
28

tidak akan terjadi diskriminasi, karena sejatinya
pendidikan

adalah

kemudian

hari

proses

belajar

menjadi

untuk

manusia

di

tanpa

penindasan.
Pendidikan
peserta

didik

hendaknya

ke

dalam

tidak

membawa

kesempitan

dalam

memahami sesuatu, tapi membawa keterbukaan
dalam

berfikir

dan

menghargai

sebuah

perbedaan. Pendidikan tidak lagi diajarkan hanya
sebatas

dogmatis,

mengajarkan

antara

dan

indoktrinasi

sesuatu

itu

salah

yang
dan

sesuatu itu benar. Pendidikan gaya konservatif
yang menciptakan murid menjadi robot, murid
hanya dijadikan sebagai objek materi yang tertera
dalam sebuah teks pelajaran. Hal seperti apa
yang diritik Freire tentang pendidikan ‘gaya
bank’, ia menyusun daftar antagonism dalam
gaya terebut:
-

-

Guru mengajar murid belajar.
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apaapa.
Guru berpikir, murid dipikirkan.
Guru bicara, murid mendengarkan.
Guru mengatur, murid diatur.
Guru memilih dan memaksakan pilihan¬nya,
murid menuruti.
Guru
bertindak,
murid
membayangkan
bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan
gurunya.
Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid
menyesuaikan diri.
29

-

-

Guru
mengacaukan
wewenang
ilmu
pengetahuan
dengan
wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya
dengan kebebasan murid.
Guru adalah subjek proses belajar, murid
objeknya (Yamin, 2013; 152).

Tidak

mengherankan

jika

konsep

pendidikan gaya bank menyamakan manusia
sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan
benda

yang

gampang

diatur,

dengan

model

seperti in pendidikan akan melanggengan sistem
relasi penindasan.
Sehingga

pendidikan

yang

seharusnya

diterapkan di masyarakat adalah pendidikan
yang

membaebaskan,

yang

mengantarkan

peserta didik menjadi humanis dan merdeka.
Merujuk

apa

yang

disampaikan

Freire,

pendidikan pembebasan merupakan proses bagi
seorang anak manusia untuk menemukan hal
yang paling penting dalam kehidupannya, yakni
terbebas

dari

segala

hal

yang

mengekang

kemanusiaannya menuju kehidupan yang penuh
dengan kebebasan (Freire, 2007; xx)
Dengan
mebebaskan

demikian
adalah

pendidikan
pendidikan

yang
yang

menumbuhkan kesadaran kritis yang mendorong
kemampuan

peserta

didik

untuk

memiliki

kedalaman menafsirkan persoalan nyata dalam
30

kehidupannya. Bila sudah demikian, pendidikan
yang

membebaskan

kepercayaan

pada

diri

juga

membangun

pesera

didik

untuk

menyikapi keadaan yang terjadi. Oleh karena itu,
proses pendidikan dinilai lebih penting dari pada
dengan hasilnya.
Pendidikan yang membebaskan merupakan
upaya memperoleh pengetahuan dan menjadi
proses transformasi yang diuji dalam kehidupan
antara

peserta

didik

mesti

terjadi

dalam

hubungan timbal balik. Sumbangan pemikiran
menjadi salah satu model pedidikan pembebasan
yang dikembangkan Freire dalam masyarakat
yang cenderung terbelakang dan miskin. Sebuah
kebebasan memiliki batasan-batasan tertentu,
kebebasan tanpa batas akan membentur hak-hak
orang lain dan akhirnya menimbulkan anarki dan
mendistorsi makna pembebasan, terkait dengan
upaya

proses

pendidikan

yang

mengedepankan “kebebasan” sebagai ruh

selalu
spirit

dalam melakukan pemaknaan akan keberadaan
manusia

sebagai

manusia

yang

benar-benar

manusiawi. Kebebasan bukanlah cita-cita yang
letaknya diluar manusia; bukan pula sepotong
gagasan

yang

kemudian

menjadi

mitos.

Kebebasan lebih merupakan syarat yang tak bisa
31

ditawar-tawar lagi agar manusia dapat memulai
perjuangan untuk menjadi manusia utuh.
Yamin

(2013;

154-160)

merangkum

beberapa hal yang signifikan dalam memandang
pendidikan menurut Freire sebagai penyadaran
dan

pembangkit

pendidikan

kesadaran

merupakan

kritis.

sebuah

Pertama,

pendekatan

pemikiran yang berangkat dari asumsi bahwa
pendidikan

adalah

proses

pembebasan

dari

sistem yang menindas. Bagi Freire pendidikan
ialah pembebasan manusia dari ketertutupan
menuju keterbukaan.
Kedua, pendidikan merupakan pembangun
paradigma berfikir yang lebih mengedepankan
realitas sosial terbuka ketimbang sempit maupun
kerdil. Realitas sosial terbuka adalah kondisi
masyarakat yang secara nyata hadir tanpa ada
rekayasa

untuk

menyembunyikan

sebuah

penindasan atau eksploitasi dari kelompok kuat
terhadap kelompok yang lemah, atau mayoritas
terhadap minoritas.
Ketiga, pendidikan bertujuan membangun
kehidupan

yang

demokratis.

Kebebasan

berpendapat adalah sebuah keniscayaan yang
harus

dipraktekkan

di

masyarakat.
32

Demokratisasi pendidikan menuntut pendidik
dan sekolah untuk memberikan ruang selebarlebarnya

pada

anak

didik

untuk

mengaktualisasikan dirinya, begitu pula dengan
pendidik di sekolah.
Keempat,
transformator
bermasyarakat

pendidikan

merupakan

kehidupan

berbangsa,

dan

bernegara,

atau

bisa

diartikan bahwa pendidikan bertujuan untuk
membangun kualitas kehidupan sebuah bangsa.
Dengan pendidikan yang baik sebuah bangsa
bisa

ditata

menjadi

dengan

bangsa

pendidikan
mengajarkan

sedemikian

besar

dan

maju.

merupakan
bagaimana

rupa

media
berbahasa

untuk
Kelima,
untuk
dan

menghargai setiap bahasa yang digunakan oleh
anak-anak didik dalam ruangan kelas, sebab
dalam

pendidikan

diajarkan

untuk

saling

menghargai antar dengan lainnya.

2.5

Penelitian Yang Relevan
Ada banyak penelitian yang dilakukan oleh

beberapa peneliti, tapi mereka tidak terfokus
pada kasus pendidikan. Diantaranya, disertasi
David Samiyono (2010) yang mengakat topik
33

menarik tentang ‘Sedulur Sikep: Struktur Sosial
dan

Agama

Masyarakat

Samin

di

Sukalila’.

Penelitian ini sangat kaya akan data dan lamanya
proses penelitian, karena penelitian ini lebih
bersifat

antrolopogis.

Jadi,

apa

yang

telah

diungkap oleh David Samiyono kiranya bisa
dijadikan data awal keadaan sosial dan antrolpogi
masyarakat penganut aliran kepercayaan yang
berada di Kabupaten Pati.
Selanjutnya,

penelitian

Tedi

Kholiludin

(2008) tentang ‘Agama, Negara dan Hak-hak
Sipil’. Namun Tedi Kholiludin lebih menganalisis
terhadap politik pengakuan negara atas agama di
Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut bisa
dilihat bagaimana kita memandang lebih luas
tentang defiinisi agama, tidak sekadar apa yang
dilabelkan oleh negara atas agama resmi dan
tidak resmi belaka.
Penelitian secara umum tentang aliran
kepercayaan, khususnya warga Samin juga telah
dilakukan oleh Moh Rosyid (2008). Buku tersebut
berjudul ‘Samin Kudus: Bersahaja di Tengah
Asketisme Lokal’. Dalam buku ini dijelaskan
bagaimana warga Samin hidup bersahaja dengan
penuh kesederhaan dan ketenangan tanpa harus
berurusan dengan administrasi pendidikan.
34

Penelitian

yang

membahas

tentang

pendidikan agama telah dilakukan oleh Interfedei
tahun

2007,

mereka

melakukan

penelitian

tentang Problem Pendidikan Agama di Sekolah
tahun 2004 – 2006 di Kota Yogyakarta. Dalam
penelitian

tersebut

diantaranya

merekomendasikan untuk mencari format yang
tepat

dalam

berdasarkan

pengajaran
pada

agama

kemajemukan

di

sekolah

masyarakat

Indonesia khususnya Yogyakarta, yaitu dengan
tidak membedakan kelas dalam pelajaran agama
dengan

mengajar

nilai-nilai

universal

dalam

setiap agama.
Demikian, beberapa penelitian yang telah
ada, maka penulis akan mengkaji lebih spesisifik
lagi tentang pemenuhan pendidikan bagi para
penghayat aliran kepercayaan.

35

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25