Dan Fenomena Presiden Penyair Daerah seb

Dan Fenomena Presiden Penyair Daerah sebagai Dagelan Populer?
Nurel Javissyarqi
Tentu kita tahu sebutan presiden penyair Indonesia tersemat dari-padanya Sutardji Calzoum Bachri.
Kredonya yang fenomenal itu meluas mempengaruhi banyak penyair serta kritikus (… dengan
kredonya yang terkenal itu, Sutardji memberikan suatu aksentuasi baru kepada daya cipta atau
kreativitas, Ignas Kleden endosemen di buku Isyarat, lalu lihat buku Raja Mantra Presiden Penyair,
2007). Sehingga di puncak ketenarannya, SCB tidak segan-segan menyelewengkan ayat-ayat suci; Qs.
Asy-Syu’ara, 224-227 (baca buku saya MTJK SCB, 2011). Sampailah, kita mendengar adanya
presiden penyair Surabaya, presiden penyair Lampung, presiden penyair Cirebon dan sebangsanya.
Dari sini terpancang jelas pengaruh Sutardji di belantika kepenyairan Tanah Air, atau dengan label
presiden penyair memudahkan seseorang berbuat semaunya tanpa halangan berarti pun dari para
kritikus; mereka tidak lagi obyektif mengkaji suatu karya, sebab tertutupi titel yang sudah terlanjur
mentereng?
Dan saat penobatan dirinya sendiri kurang menguntungkan dalam perjalanannya sebagai sastrawan
atau tidak memberikan angin segar sesuai harapannya, maka gelar yang sudah melekat ditanggalkan
begitu saja sebagai kenang-kenangan atau masa lalu belaka. Seperti kisah baru saja saya ketahui pagi
ini, saat hendak menyegarkan tulisan kembali, tiba-tiba menemukan artikel berjudul “Belajar dari
Kisah Burung Botak” berikut kutipannya: Abdul Hadi Wiji Muthari, penyair yang pernah menobatkan
dirinya sebagai wakil presiden penyair Indonesia itu, hanya tersenyum sejenak ketika diminta
bercerita tentang kiprahnya sebagai penyair. “Ah, itu masa lalu saya yang tak perlu digembargemborkan lagi,” katanya merendah. (Dewi Sri Utami, Majalah Gatra, No: 41, 27 Agustus 2001).
Lantas, apakah maknawi wewarna di atas dalam kaitannya dengan pribadi seorang penyair?

Penyair tulen merupakan sosok yang menyerap berbagai rupa pengaruh, lalu mengolaborasikan
dengan kualitas pribadinya atas pengelanaan sedari pencarian jati dirinya, lantas mengungkapkan
kembali (berkarya) secara kreatif sekaligus mapan mempuni. Senada deringan umum bahasa istilah
yang dipakai Sutardji; melupa dan mengingat (Menulis adalah upaya untuk melupa dan mengingat,
Pengantar Penulis buku Isyarat, SCB halaman ix). Ini semacam proses menghindari keterpengaruhan
dari karya-karya lama, atau pada saat itu juga menghapusnya melalui kreativitas tersendiri dalam
bentuk karya ‘yang bisa jadi lebih kokoh dari karya yang mempengaruhi?’ Itulah sejenis kedirian
penyair, dinaya pada pergolakan hayatnya di kancah penerimaan pula penolakan (perlawanan)?
Namun alangkah sayang, keberhasilannya yang semu menumbuhkan tekat kelewat melunjak
bertingkah ‘melupa dan mengingat’ dengan sangat ugal-ugalan menyulap “Kun Fayakun” dijelmakan
(dirombaknya) membentuk kata-kata “Jadi maka Jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!” (Bukan
-Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000- oleh SCB, yang terbit di “Bentara” Kompas,
Jumat 11 Januari 2003, dan Sambutan SCB Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA,
Bandar Seri Begawan, 14 Maret 2006)?
***
Berbeda dengan penyair agung, presiden penyair raja mantra palsu atau bahkan para epigon serta
gerombolan pembebek, kerap kali mengungkapkan keterpengaruhannya dengan cara-cara
serampangan dan mentah. Selama kreativitasnya sebatas menjiplak, sependek itulah greget karyanya;
sekadar meniru tanpa berusaha mengolahnya lebih subur dengan kesabaran yang tangguh. Akibatnya,
karya-karyanya mustahil menjadi karya menumental, sebab menempatkan dirinya di bawah bayang-


bayang keagungan semu atau bersembunyi dalam ketiak plakat presiden penyair. Itu sekerdil-kerdilnya
jiwa penyair; puas dengan julukannya, berbangga atas kekeliruannya, atau mereka sudah pada
amnesia?
Dalam konteks kultural, kekerdilan tersebut representasi dari sosok pecundang yang nyaman oleh
kelebatan bayangan yang diciptakannya sendiri. Dan bermunculannya presiden penyair daerah
menguatkan cita-cita luhur-nya (pun mereka); meski tidak mampu menggapainya tetap bergembira
dengan embel-embel lokalitas yang menyertai, yakni kata-kata presiden penyair. Mereka berbahagia
sebagai epigon, dan bukan pelopor walaupun sama kentir juga. Lalu yang merasa sebagai pelopor kian
riang girang terkekeh, sehingga hasilnya tidak terbendung menyerupai bentuk-bentuk kesurupan pun
jadi, lantaran menurutnya seorang penyair tidak harus bertanggungjawab pada karya-karyanya, maka
lahirlah sulapan kelas pertama dalam perpuisian di Indonesia.
Ternyata dunia sastra Indonesia tidak lepas dari perihal lelucon. Ketika dilihatnya ada yang ‘sukses’
memakai umbul-umbul tertentu, lainnya ikut-ikutan, padahal nenek moyang kita pernah memberikan
wejangan; ‘usaha bisa dicontoh, namun nasib tidaklah dapat’ atau semakin sial saja. Jika penyontekan
tersebut terus berhembus kencang dalam wilayah intelektual kepenyairan di bumi pertiwi, cocoknya
para pembebek dinamakan gerobak kosong yang bobrok. Lebih menggelikan lagi, mereka mengunyah
betul kenyamanan hidup di bawah bayang-bayang. Padahal baju yang dipakainya tidak lain adalah
kepecundangan, sebab yang ikut grubyuk mengklaim dirinya presiden penyair pun tidak melakukan
pemberontakan (perombakan ke arah yang baik), mungkin takut gagal seperti pendahulunya. Itu

ekspresi mental kerdil yang cepat puas dengan menghirup nafas hidupnya dalam ruang seolah-olah.
Saya kira itulah rupa-rupa pelepasan dari kepuasan konyol (putus-asa), karena para pecundang tidak
mungkin melebihi pioner, meski pun hanya pioner-pioneran.
Seorang penyair seharusnya memiliki semangat membaja, tidak tunduk membara senantiasa atau
ketidakpuasan menjadikan bara api perjuangan yang selalu menyala. Ketika puas sedikit saja,
mentalitas jiwanya dalam berkarya pastilah tergerus dan hilang amblas ditelan bumi dinaya
kreativitasnya. Lebih tepat pamornya tidak sesegar atau segarang sedia kala, dikarena keterlenaan
merasa sebagai ‘orang yang telah menjadi.’ Adalah niscaya presiden penyair bayangan, tidak mungkin
berani memberontak kepada presiden penyair lainnya, sebab sama-sama anggota kelompok pelawak,
namun tidak mungkin setenar Srimulat.
Kalau balada ayam sayur yang kumprung ini diteruskan jadi tradisi, tentu menyusul adanya wakil
presiden penyair lainnya, atau penggantian presiden penyair, tersebab masanya sudah habis dan
seterusnya. Padahal wujud ini merupakan kamuflase sedari model birokrasi, sekadar gagah-gagahan
ingin disebut penyair. Untuk menghentikan budaya yang tidak mendidik mentalitas berbangsa serta
berbahasa (bersastra), kita seharusnya bersatupadu bikin paduan suara atau beramai-ramai tertawa.
Saya rasa perasaan sungkan bisa menghentikan lelucon yang tidak bermutu tersebut, guna langkah
mereka berbalik tidak menerima baju kebesaran semu. Lewat berkarya terus demi membuktian dirinya
bisa hadir cemerlang, tanpa embel-embel pangkat presiden penyair daerah misalnya.
Saya raba-raba jika mengaku-ngaku saja, yang tidak tahu-menahu dunia tulis-menulis bisa menyebut
dirinya Superman. Dan untuk mengaku sebagai presiden penyair daerah lebih gampang, daripada

mengatakan dirinya Satria Baja Hitam ataupun Si Buta dari gua hantu. Itulah tubuh mentalitas yang
bobrok, korengan sangat parah yang harus segera diamputasi sebelum menjalar ke organ lainnya; ke

jantung pengetahuan bersastra dan berbudaya di bumi Nusantara. Sungguh, bayangan kefrustrasian
begitu kelam menguntit jasad-jasad rapuh mereka, serupa kayu arang melempem tersiram air hujan,
tanpa hadirnya bara api dalam kelam. Seperti watak pembungkusan dari keterpengaruhan lugu, atau
seorang anak tersedot cerita Superhero yang memakai baju impiannya, lantas jadilah Super-ho-ho.
Manakala sikap kepenyairan diibaratkan sosok kenabian, maka para epigon tidak bisa mengelak ketika
dikutuk menjadi bebek yang keok-keok terperdaya ukuran profan, lalu celakalah yang mengikuti
pandangan sempit serta keblinger dari mereka. Apa gunanya yang dipetik dari pemilik jengger lebar,
tidak lain keterbelengguan jiwa-jiwa yang membosankan. Saya bayangkan mereka berkarya, tidak
berangkat dari kedirian murni paling dalam; dirinya memakai baju birokrat kepenyairan, lalu berusaha
menulis sajak. Itulah awal penipuan yang bermula dari peniruan, sikap turunan yang tidak patut
dijadikan teladan, atas apa pun yang terpantul darinya.
Jiwa-jiwa yang tidak mampu membebaskan dirinya sebagaimana kepompong menjelma kekupu, tidak
sanggup menformulasikan pribadinya mengepakkan sayap-sayap pencerahan. Andai terlintas cahaya,
hanya kerlap-kerlip lampu pesta tengah malam atau nafas-nafasnya kembang-kempis dirangsek
sesuatu yang tidak membahagiakan (memerdekakan). Mending kunang-kunang tidak menganggap
dirinya lintang, mendingan gemintang tidak mengaku sebagai rembulan. Jangan-jangan mereka tak
bisa membedakan malam dan siang, yang bukan bermakna peristiwa terbebasnya dari ruang dan

waktu, tapi ketololan menyukai satu keadaan yakni dekaden.
Tidakkah tindakan mengamini itu cerminan dari pembonsaian diri? Tumbuh-tumbuhan begitu menarik
diprekes menjadi bonsai, tetapi sangat dagelan jika yang tertanam dalam ruh bernama watak.
Pengerdilan ke-aku-an sama persis bunuh diri perlahan-lahan. Andai disuru meloncat dari ketinggian
gedung kemandirian, tentunya tidak berani. Jiwa-jiwa nyaman di kamar sempit akan grogi keluar
kandang, jika tidak menyelimuti tubuhnya atas mantel tebal atau jas hujan. Saya sebut orang-orang
penakut menunggu redanya hujan, seperti menanti-nanti datangnya petir saat hendak berlari dalam
lebatnya kegelapan malam.
Kepribadian yang takut gelap, tidak mungkin menghadirkan cahaya. Andai bertarung tentu beraninya
main kroyokan, atau tidak mungkin memiliki mentalitas pembalap dalam lintasan sirkuit pancaroba,
mereka jera disuruh berjalan paling depan, sebab hayatnya telah membonsai. Fenomena ini boleh saja,
namun bagi pemilik jiwa muda haruslah waspada terhadap mental-mental kepecundangan. Mental
jago kandang, teriak lawan namun lempar batu sembunyi tangan, ini solokoto bin kumprung. Maka
meskipun berdarah-darah, tidaklah realis di dalam menerjuni kehidupan yang lapang melintang
secahaya kemanusiaan.
Hidup di awang-awang tiada kepastian turunnya hujan semisal awan keraguan, andai melangit tidak
mampu, sebab kalbunya telah tercukupi bentuk-bentuk kepuasan. Atau hatinya tercerabut dari akar
keyakinan, karena tidak menyunggui dirinya sebagai sosok pemampu memikul beban. Padahal salah
satu ‘syarat kenabian’ di dunia kepenyairan ialah membelot, memberontak, mengkudeta hal-hal lapuk
jahiliah yang tampak di depan mata yang mengungkungi anak jamannya. Maka sikap pembodohan

(pengkerdilan) diri, bisa (secara) otomatis berimbas kepada masyarakat, karena kedunguan sama
pengertiannya dengan penipuan, dan golongan tertipu persis seperti kaum merugi di dalam kancah jual
beli nilai pengetahuan, atau pada pertukarkan kasih damai kemerdekaan.

Jika ‘kerugian’ demi menyokong jalannya hikayat kebudayaan sebagai wujud peribadatan, tidaklah
masalah, tetapi jikalau kebangkrutan berakar dari ketololan, maka sangat kumprung. Kalau diniatkan
sekadar dagelan, mungkin berguna untuk mengendorkan urat-urat syaraf bagi yang sungguh-sungguh,
sebab dalam kehidupan pun ada namanya banyolan. Namun bentuk mencontek tetaplah kegagalan,
dan para presiden penyair gadungan adalah sosok-sosok pecundang, mengkarbit dirinya agar dikiranya
matang. Sekali lagi berhati-hatilah memakan buah yang tidak masak dari tangkainya, bisa-bisa sakit
perut berimbas keracunan. Atau jangan-jangan sebentar lagi akan terbit antologi puisi para presiden
penyair serta wakil-wakilnya di Indonesia? Maka mari persiapkan tertawa…
Jakarta-Yogyakarta-Lamongan, 18 November 2008 / 21 Agustus 2017.