HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL HUMANITER INTERNASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya adalah suatu
keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia dan harus dihindari,
karena akan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan bagi umat manusia. Oleh karena itu
dengan alasan apapun perang sebisa mungkin harus dihindari.
Namun upaya menghapus perang sama sekali dari muka bumi nampaknya sia-sia karena
perang akan selalu terjadi. Karena upaya menghapus perang tidak mungkin dilakukan maka umat
manusia berupaya mengurangi penderitaan akibat perang dengan membuat hukum. Hukum yang
dimaksud pada waktu dulu dikenal dengan istilah hukum perang dan sekarang lebih dikenal
dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut internasional humanitarian law
applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian
berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada
saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter.
Hukum Humaniter Internasional merupakan salah satu cabang dari hukum internasional
yang tertua. Sejarah Hukum Humaniter Internasional itu sendiri telah ada setua perang dan
kehidupan manusia itu sendiri.
Hukum perang dalam bentuknya yang sekarang walaupun baru, memiliki sejarah yang
panjang. Bahkan jauh pada masa dahulu kala, para pemimpin militer kadang-kadang

memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan jiwa musuh yang tertangkap atau terluka,
merawat mereka dengan baik, dan menyelamatkan penduduk sipil musuh dan harta benda
mereka.Manakala permusuhan berakhir, para pihak menyetujui untuk menukarkan tawanan yang
berada di tangan mereka. Selama waktu tersebut, praktek ini dan praktek yang serupa telah
berkembang secara bertahap kedalam seperangkat aturan kebiasaan yang berkaitan dengan
tindakan perang.
Hukum perang pada awalnya hanya berdasarkan pada kebiasaan (custom) yang berlaku
dalam perang. Kebiasaan (custom) ini sangat dipengaruhi oleh agama, asas perikemanusiaan dan
asas kesatriaan. Baru dalam abad ke-19 ada usaha dari beberapa negara untuk mengadakan
perjanjian yang berisi ketentuan tentang perang. Perang merupakan kejadian yang tidak
diinginkan tetapi perang juga tidak dapat dicegah. Maka diusahakan dalam perang meminimalisir
korban dan menciptakan perang yang manusiawi.
Tujuan dari hukum perang adalah: untuk melindungi, baik kombatan maupun nonkombatan, dari penderitaan yang tidak perlu. Menjamin hak-hak asasi manusia yang fundamental
1

bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh, dan mencegah dilakukannya perang secara kejam
tanpa mengenal batas.
Hukum Humaniter Internasional merupakan cabang hukum internasional, maka oleh
karena itu sebagai cabang hukum internasional Hukum Humaniter Internasional mempunyai
sumber yang sama dengan hukum internasional pada umumnya.

Secara umum dapat digambarkan bahwa arti dari Hukum Humaniter Internasional adalah
perangkat ketentuan-ketentuan internasional yang melindungi para korban pertikaian bersenjata
dan mencegah konflik bersenjata itu sendiri agar tidak menggunakan cara dan metode perang
yang membabi buta. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur agar penyerangan ditujukan hanya
terhadap objek-objek militer dan tidak terhadap objek sipil.
Dari pengertian tersebut memunculkan prinsip-prinsip dasar dalam Hukum Humaniter
Internasional, yaitu Prinsip Kemanusiaan (humanity principle), prinsip keterpaksaan (necessity
principle), prinsip proporsionalitas (proportionality principle), prinsip pembedaan (distinction
principle), dan prinsip kesatriaan (chivalry principle).

2

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut :
1. Mengetahui prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter.
2. Mengetahui tentang perlindungan anak-anak dalam daerah konflik bersenjata menurut Hukum
Humaniter Internasional

C. TUJUAN PENULISAN

1. Tujuan Umum
I.
Mengetahui prinsip-prinsip dari Hukum Humaniter Internasional.
II.
Mengetahui tentang perlindungan anak-anak dalam daerah konflik bersenjata
Hukum Humaniter Internasional
2. Tujuan Khusus
I.

Sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Humaniter Internasional.

3

menurut

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) adalah istilah baru
dari Hukum Perang (Law of War). Hukum ini adalah salah satu cabang dari Hukum Internasional

Publik yang membatasi penggunaan kekerasan dalam sengketa ataupun permusuhan bersenjata
(hostilities). Starke mengemukakan bahwa perkembangan yang sangat penting dari Peraturan
Perang adalah “the importation of human right rules and standars into the law of armed
conflict”.
Istilah Hukum Humaniter sendiri dalam kepustakaan Hukum Internasional merupakan
istilah baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of
Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971.
Hukum Humaniter Internasional merupakan bagian dari Hukum Internasional. Hukum
Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum Internasional dapat
ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara yang sering disebut
traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban
hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional
yang terjadi dan diakui.
Tujuan utama hukum humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan
kepada mereka yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang secara aktif turut
serta dalam permusuhan maupun yang tidak turut serta dalam permusuhan.
Sumber hukum humaniter internasional dalam bentuk perjanjian internasional dibagi
menjadi dua, yaitu sumber hukum humaniter utama dan sumber-sumber hukum lain. Sumber
hukum humaniter yang utama, terdiri dari hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.

Konvensi merupakan salah satu sumber hukum humaniter internasional dalam bentuk
perjanjian internasional. Seperti Konvensi Jenewa yang ditandatangan oleh wakil-wakil Kuasa
Penuh dari Pemerintah-pemerintah yang hadir pada Konferensi Diplomatik yang diadakan di
Jenewa dari tanggal 21 April sampai dengan tanggal 12 Agustus 1949 dengan maksud meninjau
kembali Konvensi Den Haag ke-X tanggal 18 Oktober 1906 mengenai Peperangan di Laut.
Ketiga Konvensi Jenewa yang terdahulu direvisi dan diperluas pada tahun 1949, dan pada tahun
itu juga ditambahkan Konvensi Jenewa yang keempat yaitu:
1.

Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan
Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864.

4

2.
3.
4.

Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan
Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906.

Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai Perlakuan Tawanan
Perang, 1929.
Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan
Orang Sipil di Masa Perang, 1949.

B. Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional
Di dalam Hukum Humaniter Internasional terdapat pula prinsip-prinsip yang sangat
fundamental yang mempengaruhi Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag yaitu:

1.

Prinsip kemanusiaan
Mahkamah Internasional PBB mrnafsirkan prinsip kemanusiaan sebagai
ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa adanya diskriminasi kepada kombatan atau
penduduk sipil untuk mengurangi penderitaan dimanapun ditemukan. Prinsip ini
bertujuan untuk melindungi, menjamin penghormatan terhadapn manusia dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.

2.


Prinsip keterpaksaan
Di dalam Hukum Humaniter Internasional telah ditetapkan bahwa yang dapat
dijadikan sasaran serangan hanyalah kombatan yang ikut bertempur dan objek-objek
militer, dengan adanya prinsip keterpaksaan terdapat pengecualian sipil menjadi sasaran
militer apabila memenuhi persyaratan tertentu yaitu:
a. Penduduk sispil member kontribusi efektif bagi tindakan militer pihak musuh
b. Penduduk sipil melakukan penghancuran, penghancuran, atau pelucutan terhadap
objek.
Selanjutnya, tindakan yang telah dijelaskan diatas boleh dilaksanakan terhadap
objek sipil tersebut sebagai tindakan militer apabila:
a. Tujuan politis dari kemenangan hanya bias dicapai melalui tindakan tersebut dengan
mengarahkannya terhadap sasaran militer.
b. Dua kriteria di atas mengenai kontribusi efektif dan perlunya tindakan keras tersebut
memang terpenuhi dalam hal yang berlangsung pada waktu itu.
Berkaitan dengan prinsip keterpaksaan, terdapat pula ketentuan mengenai sasaran
militer yang terdapat dalam Protokol Tambahan I mengenai sasaran militer, ketentuan
tersebut yaitu:

5


“apabila dimungkinkan pilihan antara beberapa sasaran militer untuk memperoeh
keuntungan militer yang sama, maka sasaran yang akan dipilih adalah sasaran yang
apabila diserang dapat diharapkan mengakibatkan bahaya yang paling kecil bagi nyawa
orang-orang sipil dan objek-objek sipil”

3.

Prinsip proporsionalitas
Prinsip proporsionalitas merupakan prinsip mengenai serangan yang tidak
diperbolehkan secara berlebihan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan
langsung yang dimana setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan
tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak menyebabkan korban dari
pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta benda
yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang diharapkan langsung dari
serangan tersebut1.

4.

Prinsip pembedaan
Perlindungan terhadap penduduk sipil ini diatur secara rinci dalam Konvensi

Jenewa IV yang dikenal dengan perlindungan umum karena mengatur perlindungan
terhadap penduduk sipil secara menyeluruh, dan dalam Protokol Tambahan 1977
khususnya dalam bagian IV. Dalam bagian ini diatur perlindungan umum, bantuan
terhadap penduduk sipil (relief in favour of the civilian population), dan perlakuan
terhadap penduduk sipil yang berada dalam kekuasaan pihak yang bersengketa (treatment
of persons in the power of a party to a conflict)2.
Dengan demikian bahwa semua yang di luar kombatan adalah golongan civilians
atau penduduk sipil, dan golongan ini harus dilindungi dalam peperangan. Prinsip
pembedaan memerlukan penjabaran lebih jauh dalam sejumlah asas pelaksanaan
(principle of applications) dalam realisasi perlindungan penduduk sipil, yaitu:
a. Pihak-pihak yang bersengketa harus membedakan antara kombatan dan penduduk
sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil.
b. Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan
objek.
c. Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan
teror terhadap penduduk sipil dilarang.
d. Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang
memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidak-tidaknya untuk
menekan kerugian dan kerusakan yang tidak disengaja.
e. Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.


1 http://www.pelita.or.id/baca.php? id=88924, Diakses tanggal 20 Desember 2016
2 http://rikiseptiawan180991.blogspot.com/2012/05/makalah-konvensi-jenewa-iii.html, Diakses tanggal 20 Desember 2016
6

5.

Prinsip kesatriaan
Asas ini mengandung arti bahwa ketika perang berlangsung, kejujuran merupakan
suatu hal yang sifat nya sangatlah penting. Kejujuran harus diutamakan. Kejujuran yang
dimaksud difokuskan pada penggunaan senjata yang tidak diperkenankan untuk
digunakan, tidak dibenarkan melakukan berbagai ragam tipu muislihat dan tidak
dibenarkan juga melakukan pengkhianatan. Dalam istilah asing asas ini disebut chilvary.

C. Perlindungan anak-anak dalam daerah konflik bersenjata menurut Hukum
Humaniter Internasional
Dalam Hukum Humaniter Internasional, konflik bersenjata dibagi menjadi dua, yaitu
konflik bersenjata internasional (international armed conflict) dan konflik bersenjata non
intternasional (non internasional armed conflict). Konflik bersenjata internasional terjadi apabila
melibatkan dua negara atau lebih, sedangkan konflik bersenjata non internasional merupakan

konflik yang terjadi dalam suatu wilayah negara antara pemerintah dengan warga negara yang
memberontak
Salah satu azas yang menjadi landasan utama Hukum Humaniter Internasional adalah
pembagian penduduk suatu negara yang sedang berperang, bermusuhan, atau terlibat pertikaian
bersenjata ke dalam dua kategori, yaitu kombatan (combatant) dan penduduk sipil (non
combatant atau civilians). Perempuan dan anak masuk dalam kategori penduduk sipil, tetapi
perempuan yang tergabung dalam Kesatuan Angkatan Perang dan dipersenjatai tetap masuk
dalam kategori kombatan. Aspek yuridis dalam aturan ini adalah bahwa penduduk sipil (semua
orang selain kombatan) tidak boleh dijadikan objek kekerasan dan harus dilindungi dari segala
kaitannya dengan peperangan, sedangkan kombatan (anggota angkatan perang) adalah orang
yang terlibat langsung dalam peperangan dan dapat dijadikan objek kekerasan ketika berperang
tetapi tetap harus dilindungi ketika menjadi tawanan perang.
Aspek-aspek pembeda tersebut digunakan untuk menetapkan hak dan kewajiban pihakpihak dalam suatu pertikaian sehingga tujuan pengaturan Hukum Humaniter Internasional dapat
tercapai, yaitu memanusiakan perang sebagai salah satu bentuk kebudayaan manusia yang
beradab. Dari beberapa pembeda tersebut, prinsip perlindungan (protection) memiliki fungsi
yang sangat penting terhadap penduduk sipil.
Masuk ke dalam kategori perlindungan sipil ini adalah wilayah-wilayah sipil, artinya
Hukum Humaniter mengatur tentang daerah-daerah yang tidak boleh diserang. Tempat-tempat
umum yang sangat penting untuk warga sipil, seperti sumber air minum, sumber listrik, sekolah,
pasar, rumah sakit, dan tempat peribadatan, merupakan tempat-tempat yang harus dilindungi.
Oleh karenanya, bila tempat ini diserang, maka dipastikan yang paling menderita adalah anakanak3.
3 Aryuni Yuliantiningsih, “Perlindungan Terhadap Pengungsi Domestik Menurut Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal Dinamika
September 2008, hlm. 21

7

Hukum Vol. 8 No. 3

Penduduk sipil dalam setiap permusuhan atau perang selalu dalam posisi lemah dan
selalu menerima langsung akibat buruk dari perang atau permusuhan. Posisi lemah ini menurut
Hans Peter Gasser, terbentuk dari dua kegiatan dalam setiap permusuhan atau perang, yaitu
bahaya yang disebabkan oleh operasi langsung militer selama permusuhan atau perang dan
ancaman yang bisa membahayakan orang-orang (penduduk sipil) ketika berada dalam kekuasaan
musuh.
Didalam Hukum Humaniter Internasional terdapat prinsip pembedaan yang membadakan
antara penduduk sipil dan kombatan (distinction principle) untuk pertama kali secara
konvensional diatur dalam Konvensi Den Haag (Hague Regulations/HR) tahun 1907 yang
kemudian disempurnakan dalam Peraturan Geneva Conventions 1949. Perubahan terakhir yang
terdapat dalam Protokol I 1977 benar-benar mengubah secara fundamental ketentuan yang
berlaku sebelumnya.
Perlindungan terhadap penduduk sipil ini diatur secara rinci dalam Konvensi Jenewa IV
(Geneva Convention), yang dikenal dengan perlindungan umum karena mengatur perlindungan
terhadap penduduk sipil secara menyeluruh (general principle), dan dalam Protokol Tambahan
1977 khususnya dalam bagian IV. Dalam bagian ini diatur perlindungan umum (general
protection), bantuan terhadap penduduk sipil (relief in favour of the civilian population), dan
perlakuan terhadap penduduk civil yang berada dalam kekuasaan pihak yang bersengketa
(treatment of persons in the power of a party to a conflict). Dengan demikian, prinsip pembedaan
(distinction principle) merupakan aturan dasar normatif yang mengikat semua pihak dari
pelaksanaan prinsip perlindungan terhadap penduduk sipil, dan berfungsi sebagai sarana
pencegah (preventive rules) dari timbulnya kejahatan/pelanggaran terhadap Hukum Humaniter
Internasional.
Orang-orang yang dijamin perlindungan dalam konflik bersenjata adalah orang-orang
yang tidak ikut aktif dalam konflik tersebut, termasuk anggota angkatan perang yang telah
meletakkan senjata karena luka, sakit dan sebab lainnya. Dalam suatu sengketa bersenjata,
orang-orang yang dilindungi termasuk kombatan. Kombatan yang telah berstatus hors de combat
harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh
mendapatkan status sebagai tawanan perang. Perlindungan dalam hal ini adalah perlindungan
terhadap orang-orang yang turut serta dalam konflik bersenjata yang menjadi korban karena
luka, sakit atau tertawan sebagai tawanan perang, seperti diatur dalam Pasal 13 Konvensi Jenewa
I, II dan III 1949 dan Pasal 4 Konvensi Jenewa III. Dengan demikian merupakan kewajiban bagi
pihak-pihak yang berperang untuk melindungi orang-orang tersebut
Perlindungan terhadap penduduk sipil yang diatur dalam Konvensi Jenewa IV adalah
tidak sama dengan “orang yang dilindungi” yang diatur dalam Konvensi Jenewa I, II, dan III
yang perlindungannya ditujukan kepada kombatan atau orang yang ikut serta dalam permusuhan,
sedangkan perlindungan terhadap penduduk sipil, ditujukan bagi orang-orang yang tidak ikut
serta dalam permusuhan (Pasal 27 Konvensi Jenewa IV 1949). Dalam kaitan ini, pihak-pihak
yang bertikai dilarang melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:

8

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Memaksa, baik jasmani atau pun rohani untuk memperoleh keterangan;
Menimbulkan penderitaan jasmani;
Menjatuhkan hukuman kolektif;
Mengadakan intimidasi, terorisme dan perampokan;
Tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil;
Menangkap orang-orang untuk ditahan sebagai sandera.

Larangan tersebut sangat penting dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bertempur, baik
dalam konflik bersenjata internasional dan non internasional. Masalah pelaksanaannya dalam
konflik bersenjata non internasional sangat tergantung kepada kemauan negara dan tindakan
pihak yang bertikai. Padahal korban konflik bersenjata non internasional dewasa ini mencapai
80% dari korban sengketa yang ada. Selain itu ditingkatkan perlindungan terhadap orang-orang
dari tindakan kekerasan, pelecehan atau martabat manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Suhaidi,
yaitu masyarakat internasional terus melakukan usaha dalam perlindungan terhadap martabat
manusia melalui instrumen internasional.
Anak membutuhkan pembedaan yang khusus dan menyerukan perbaikan yang terus
menerus bagi kondisi anak tanpa pembedaan maupun bagi perkembangan dan pendidikan anakanak. Ada beberapa kelompok anak yang memerlukan perlindungan khusus yaitu:
1.
2.
3.

anak yang berada dalam keadaan darurat yaitu pengungsi, anak yang berada dalam
konflik bersenjata;
anak yang mengalami konflik hukum, yang menyangkut soal administratif pengadilan
anak, perenggutan kebebasan anak, pemulihan kondisi fisik dan psikologis anak;
anak dalam situasi eksploitasi anak harus dilindungi dari kegiatan eksploitasi
ekonomi dan pekerjaan yang membahayakan dirinya, pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, ikut dalam kegiatan bersenjata dan
penyalahgunaan narkoba4.

Perlakuan khusus terhadap anak-anak yang diatur dalam Konvensi Jenewa ini kemudian
dilengkapi pula dengan ketentuan baru sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 Protokol I 1977.
Menurut Protokol I, anak-anak berhak atas perawatan dan bantuan yang dibutuhkan sesuai
dengan usia mereka, mereka tidak boleh didaftarkan menjadi anggota angkatan perang sebelum
berusia 15 tahun, dan jika usia tersebut mereka terlibat langsung dalam pertempuran, maka
apabila tertangkap mereka harus menerima perlakuan khusus sesuai dengan usia mereka dan
terhadap mereka yang tertangkap sebelum usia 18 tahun tidak boleh dijatuhi hukuman mati 5.
Para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata dilarang memasukkan atau tidak merekrut
anak-anak di bawah umur dalam angkatan bersenjatanya atau tidak melibatkan anak-anak dalam
konflik bersenjata, sehingga anak-anak tidak menjadi korban dari pekerjaan yang belum cocok
untuknya.
Dengan dijiwai oleh Hukum Humaniter, PBB terus mengusahakan melindungi
perempuan anak-anak dari peperangan, termasuk juga usaha untuk mencegah timbulnya perang
dan mengusahakan perdamaian. Pada tanggal 31 Oktober 2000, Resolusi 1325 (S/RES/1325)
Dewan Keamanan PBB tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan menemukan kata
4

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41118/3/Chapter%20II.pdf

5 Iskandarsyah, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC (International Committee of Red Cross), PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999
9

sepakat untuk untuk disahkan6. S/RES/1325 merupakan satu-satunya resolusi yang disahkan oleh
Dewan Keamanan. Resolusi ini menggambarkan dan mengangkat dampak perang terhadap
perempuan, termasuk menyatakan kekhawatiran yang besar terhadap penduduk sipil, terutama
perempuan dan anak-anak, yang paling rentan terkena dampak perang bersenjata.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perang selalu menimbulkan korban yang besar, dan korban terbesar adalah masyarakat
sipil yang terdiri dari berbagai kelompok rentan dalam peperangan. Kekerasan terhadap anakanak yang dilakukan secara sistematik dan terencana di dalam perang masuk dalam kategori
kejahatan perang.
Pencegahan pertikaian bersenjata tetap menjadi prioritas utama dari kerja sama
internasional, selanjutnya, melindungi hak-hak kemanusiaan di tengah kenyataan perang. Hal
itulah maksud Hukum Humaniter Internasional, dengan prinsip utamanya distinction principle.
Dalam prinsip ini, terdapat seperangkat aturan yang mengatur pembedaan penduduk ketika
perang yang bertujuan sebagai perlindungan terhadap para korban perang, terutama penduduk
sipil, yaitu perempuan dan anak.
Dari mulai di keluarkannya Konvensi Jenewa tahun 1949 sampai saat ini, seperangkat
hukum dan resolusi-resolusi dan kesepakatan-kesepakatan telah dikeluarkan oleh berbagai
negara dan organisasi internasional, terutama PBB sebagai organisasi bangsa-bangsa di dunia.
Akan tetapi, tanpa keinginan dan perjuangan yang teguh untuk menegakannya maka konvensi
dan revolusi tidak akan efektif.
Pihak yang bertikai harus menerapkan hukum humaniter untuk mencegah korban yang
sudah menyerah dan juga orang sipil yang tidak bersalah. Hukum humaniter harus dilaksanakan
secara efektif dan bahkan perlu diratifikasikannya protokol tambahan I dan II/1977 bagi
penguatan hukum dalam rangka menyelamatkan orang-orang dalam konflik, agar tidak
menimbulkan korban orang yang tidak bersalah. Pemberlakuan hukum humaniter mewajibkan
kombatan membedakan secara tegas sasaran tembaknya yang hanya boleh terhadap kombatan
musuh yang bertempur, dan bilamana mereka tidak lagi ikut karena luka dan sakit, maka mereka
harus dilindungi sebagaimana diamanatkan oleh prinsip pembedaan, demikian juga terhadap
orang sipil yang tidak boleh di jadikan sasaran kekerasan. Bilamana tindakan para pihak dalam
konflik atau para kombatan tersebut didasarkan pada prinsip kesatria serta prinsip kemanusiaan
yang mengharuskan bertindak secara kesatria, jujur dan benar, ditunjang dengan sikap atau
6 Intan Innayatun Soeparna, “ Global War on Terror oleh Amerika Serikat dalam Perspektif Hukum Inernasional,” http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ArticleIntan.pdf
Diakses tanggal 20 Desember 2016

10

tindakan yang manusiawi, maka korban terhadap orang-orang yang dilindungi dan yang tidak
bersalah dapat dihindari.

B. Daftar Pustaka
Aryuni Yuliantiningsih, “Perlindungan Terhadap Pengungsi Domestik Menurut Hukum
Humaniter dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8 No. 3 September 2008
http://www.pelita.or.id/baca.php? id=88924,
http://rikiseptiawan180991.blogspot.com/2012/05/makalah-konvensi-jenewa-iii.html,
Intan Innayatun Soeparna, “ Global War on Terror oleh Amerika Serikat dalam Perspektif
Hukum Inernasional,” http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ArticleIntan.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41118/3/Chapter%20II.pdf
Iskandarsyah, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC (International Committee of Red Cross), PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1999

11