LEGAL OPINION HUKUM INTERNASIONAL ROMBEL

Nama
: Durotun Nafiah
Nim
: 8111416085
Makul
: Hukum Internasional
Rombel
: 05
LEGAL OPINION KASUS PENYADAPAN AUSTRALIA TERHADAP
INDONESIA
1. Pendahuluan
Politik internasional membahas keadaan-keadaan atau soal-soal politik di
masyarakat internasional dalam arti yang lebih sempit, yaitu dengan
menitikberatkan pada diplomasi dan hubungan antara negara dan satuansatuan politik lainnya. Sedangkan hukum internasional adalah aturan-aturan
yang mengatur kerjasama antar negara.
Setiap negara memilki politik luar negeri yang menjadi dasar untuk
mengadakan hubungan internasional dengan negara lain. Kumpulan dari politik
luar negeri dari masinghubungan internasional antar negara.
Hukum internasional merupakan bagian dari hubungan internasional.
Setelah mengadakan hubungan internasional, masyarakat internasional yang
tergabung dalam organisasi internasional dapat mengadakan hubungan politik

internasional.
Hukum internasional merupakan salah satu unsur dari politik
internasional.Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas
hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara
(hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
Seiring dengan jaman yang semakin berkembang, hukum internasional
tidak saja
mengatur hubungan antar negara, tetapi juga subjek hukum lainnya seperti
organisasi-organisasi internasional, kelompok-kelompok supranasional, dan
gerakan-gerakan pembebasan nasional.
Hukum internasional juga diberlakukan kepada individu-individu dalam
hubungannya dengan negaranegara. Negara sebagai aktor hukum
internasional yang paling berperan dalam membuat hukum internasional baik
partisipasinya dalam hubunganhubungan atau interaksi-interaksi internasional,
maupun perjanjianperjanjian internasional yang dibuat melalui negara atau
subjek hukum internasional lainnya ataupun dalam kaitannya dengan
keputusan dan resolusi organisasi-organisasi internasional.
Dengan kata lain, hukum internasional publik merupakan suatu kaidah
atau norma-norma yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban para
subjek hukum internasional yakni negara, lembaga dan organisasi

internasional, serta individu dalam hal tertentu.
Dalam pasal 1 ayat (3) Piagam PBB menyatakan :
“Mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa berdasarkan
penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak rakyat untuk
menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang wajar
untuk memperteguh perdamaian universal.”
Pasal 2 ayat (1) Piagam PBB menyatakan :
“Organisasi didasarkan pada Prinsip Persamaan Kedaulatan antara semua
anggotanya.”
Kedua pasal yang tercantum dalam Piagam PBB tersebut telah
membuktikan bahwa adanya persamaan kedaulatan diantara seluruh negara
anggota PBB. Suatu negara tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan
negara lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tindakan penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia sudah
termasuk dalam kategori mencampuri urusan dalam negeri hal ini dapat
dibuktikan dengan penyadapan yang dilakukan melalui gedung Kedutaan Besar
Australia di Indonesia Selain itu, Australia menyadap orang-orang penting di
Indonesia.
2. Uji Syarat terhadap kasus

Pada tahun 2007, Badan Intelijen Australia yang bernama Defence
Signals Directorate (DSD) datang ke Bali yang pada saat itu menjadi tuan
rumah dalam acara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni Konferensi
Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa.
DSD yang kemudian berganti nama pada tahun 2013 menjadi Australian
Signals Directorate (ASD) membawa tugas khusus selama berada di Indonesia.
Salah satu tugas khususnya adalah mencari tahu dan mengumpulkan
nomor-nomor telepon yang dipakai pejabat untuk berkomunikasi khususnya
para pejabat khusus dalam bidang pertahanan dan keamanan Indonesia.
DSD tidak bekerja sendiri dalam menjalankan misi tersebut, melainkan
dibantu oleh Amerika Serikat melalui Badan Keamanan Nasional Amerika
Serikat (National Security Agency). Badan keamanan Amerika Serikat ini
membantu DSD dalam hal memperoleh informasi target yang menjadi incaran
mereka Edward Snowden yang adalah mantan kontraktor yang bekerja di NSA,
membocorkan semua informasi ini.
Snowdenn dikenal sebagai orang yang sering membocorkan rahasia dari
intelijen Amerika Serikat (AS) setelah mereka mendapatkan informasi yang
mereka inginkan, mereka memasukkan data-data tersebut ke dalam tim
mereka untuk dimonitor dan diseleksi informasinya dari komunikasi yang
mereka dapatkan.

Snowden menyebutkan DSD memakai seseorang yang ahli dalam
Bahasa Indonesia untuk menerjemahkan informasi dan mengumpulkan data
yang akurat mengenai struktur jaringan dalam keadaan darurat. DSD dengan
usahanya ini hanya mendapatkan satu nomor telepon pejabat yaitu nomor
telepon Irjen Pol. Paulus Purwoko, Kepala Kepolisian Daerah Bali, usaha yang
dilakukan DSD tidak berhenti sampai disana saja.
DSD kembali melakukan aksinya secara intensif dan sistematis di Jakarta,
bahkan mereka membangun jaringan penyadapannya di Indonesia melalui
kantor kedutaan besar yang berada di Jakarta Australia mempunyai pos-pos
diplomatik dan keberadaan pos-pos ini sudah menyebar sangat luas di Asia.
Pos-pos diplomatik milik Australia ini mempunyai fasilitas untuk mencegat lalu
lintas data informasi tentang pertahanan dan keamanan negara
Panggilan
telepon dari pejabat-pejabat penting di negara kawasan Asia tersebut
kemudian diintervensi melalui pos-pos diplomatik ini.
Diplomat Australia yang sedang bekerja di Kedutaan Australia tidak
mengetahui adanya kegiatan pengintaian melalui pos-pos diplomatik ini
dilakukan DSD melalui kedutaan-kedutaan Australia yang berada di kawasan
Asia seperti Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Hanoi, Beijing, Dili, dan Port
Moresby mengumpulkan data-data intelijen yang mereka perlukan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Australia sudah mempunyai daftar negara
sasaran untuk disadap, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Cina,
Timor Leste, dan Papua Nugini. Laporan yang ditulis oleh Snowden mengenai
aksi penyadapan Australia itu adalah bagian dokumen yang membicarakan
mengenai adanya misi spionase, yang dinamakan Lima Mata (5 eyes club),
yang disponsori oleh Amerika Serikat, dan beranggotakan : Australia, Kanada,
Inggris, Amerika Serikat dan New Zealand. Spionase adalah: “the practice of

using spies to collect information about what another government or company
is doing or plans to do”6 Kelima negara tersebut saling berbagi informasi
mengenai data intelijen berdasarkan Australian Secret Intelligent Service dari
Kedutaan Besar Australian di Jakarta dengan tujuan mendapatkan dan
mengumpulkan data intelijen Indonesia.
Dalam dokumen tersebut, Snowden juga menyebutkan bahwa fasilitas
yang mereka gunakan dalam penyadapan seperti antena, biasanya diletakkan
secara tersembunyi dan kerap juga disembunyikan di dalam miniatur
bangunan atau di atap gedung pemeliharaan di beberapa kantor kedutaan
seorang mantan perwira yang bekerja di DSD mengatakan Indonesia terdapat
titik koordinat dalam pengumpulan data-data yang dibutuhkan Australia yakni
di Kedutaan Besar Australia yang berada di Jakarta.

Australia mengumpulkan beberapa informasi diantaranya data politik,
ekonomi, dan intelijen. Kedutaan Besar Australia yang terletak di Jalan Rasuna
Said, Kuningan, Jakarta Selatan, menjadi lokasi dimana Australia
mengumpulkan data-data tersebut.
Australia belum puas sampai disana, Konsulat Jenderal Australia yang
terletak di Jalan Tantular No Pada tahun 2007, Badan Intelijen Australia yang bernama
Defence Signals Directorate (DSD) datang ke Bali yang pada saat itu menjadi tuan rumah dalam
acara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan BangsaBangsa. DSD yang kemudian berganti nama pada tahun 2013 menjadi Australian Signals
Directorate (ASD) membawa tugas khusus selama berada di Indonesia.1 Salah satu tugas khususnya
adalah mencari tahu dan mengumpulkan nomor-nomor telepon yang dipakai pejabat untuk
berkomunikasi khususnya para pejabat khusus dalam bidang pertahanan dan keamanan Indonesia.
DSD tidak bekerja sendiri dalam menjalankan misi tersebut, melainkan dibantu oleh
Amerika Serikat melalui Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (National Security Agency).
Badan keamanan Amerika Serikat ini membantu DSD dalam hal memperoleh informasi
target yang menjadi incaran mereka. Edward Snowden yang adalah mantan kontraktor yang bekerja
di NSA, membocorkan semua informasi ini. Snowden dikenal sebagai orang yang sering
membocorkan rahasia dari intelijen Amerika Serikat (AS) setelah mereka mendapatkan informasi
yang mereka inginkan, mereka memasukkan data-data tersebut ke dalam tim mereka untuk
dimonitor dan diseleksi informasinya dari komunikasi yang mereka dapatkan. Snowden
menyebutkan DSD memakai seseorang yang ahli dalam Bahasa Indonesia untuk menerjemahkan

informasi dan mengumpulkan data yang akurat mengenai struktur jaringan dalam keadaan darurat.
DSD dengan usahanya ini hanya mendapatkan satu nomor telepon pejabat yaitu nomor telepon Irjen
Pol.
Paulus Purwoko, Kepala Kepolisian Daerah Bali, usaha yang dilakukan DSD tidak berhenti
sampai disana saja. DSD kembali melakukan aksinya secara intensif dan sistematis di Jakarta,
bahkan mereka membangun jaringan penyadapannya di Indonesia melalui kantor kedutaan besar
yang berada di Jakarta. Australia mempunyai pos-pos diplomatik dan keberadaan pos-pos ini sudah
menyebar sangat luas di Asia. Pos-pos diplomatik milik Australia ini mempunyai fasilitas untuk
mencegat lalu lintas data informasi tentang pertahanan dan keamanan negara.
Panggilan telepon dari pejabat-pejabat penting di negara kawasan Asia
tersebut kemudian diintervensi melalui pos-pos diplomatik ini. Diplomat
Australia yang sedang bekerja di Kedutaan Australia tidak mengetahui adanya
kegiatan pengintaian melalui pos-pos diplomatik ini dilakukan. DSD melalui
kedutaan-kedutaan Australia yang berada di kawasan Asia seperti Jakarta,
Kuala Lumpur, Bangkok, Hanoi, Beijing, Dili, dan Port Moresby mengumpulkan
data-data intelijen yang mereka perlukan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Australia sudah mempunyai daftar negara
sasaran untuk disadap, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Cina,
Timor Leste, dan Papua Nugini.5 Laporan yang ditulis oleh Snowden mengenai


aksi penyadapan Australia itu adalah bagian dokumen yang membicarakan
mengenai adanya misi spionase, yang dinamakan Lima Mata (5 eyes club),
yang disponsori oleh Amerika Serikat, dan beranggotakan : Australia, Kanada,
Inggris, Amerika Serikat dan New Zealand.
Spionase adalah: “the practice of using spies to collect information about
what another government or company is doing or plans to do” Kelima negara
tersebut saling berbagi informasi mengenai data intelijen berdasarkan
Australian Secret Intelligent Service dari Kedutaan Besar Australian di Jakarta
dengan tujuan mendapatkan dan mengumpulkan data intelijen Indonesia.
Dalam dokumen tersebut, Snowden juga menyebutkan bahwa fasilitas
yang mereka gunakan dalam penyadapan seperti antena, biasanya diletakkan
secara tersembunyi dan kerap juga disembunyikan di dalam miniatur
bangunan atau di atap gedung pemeliharaan di beberapa kantor kedutaan.
Seorang mantan perwira yang bekerja di DSD mengatakan Indonesia
terdapat titik koordinat
dalam pengumpulan data-data yang dibutuhkan
Australia yakni di Kedutaan Besar Australia yang berada di Jakarta. Australia
mengumpulkan beberapa informasi diantaranya data politik, ekonomi, dan
intelijen.
Kedutaan Besar Australia yang terletak di Jalan Rasuna Said, Kuningan,

Jakarta Selatan, menjadi lokasi dimana Australia mengumpulkan data-data
tersebut. Australia belum puas sampai disana, Konsulat Jenderal Australia yang
terletak di Jalan Tantular No. 32, Denpasar, Bali pun juga dipakai Australia
dalam mengumpulkan informasi terkait dengan data intelijen.
International Business Times Australia mengutip terdapat 2 faktor
penyebab Australia menjadikan Jakarta sebagai pusat aksi spionase di
Indonesia Faktor pertama, pertumbuhan jaringan telepon seluler yang pesat di
Indonesia dan Jakarta khususnya. Kedua, elite politik di Jakarta dianggap amat
“cerewet”.
Mantan perwira DSD meengatakan “Jaringan seluler merupakan
anugerah besar, dan elite Jakarta adalah kelompok yang suka berbicara.
Mereka bahkan tetap mengoceh meski merasa agen intelijen Indonesia sendiri
menyadap mereka,” Salah satu data yang diperlukan Australia melalui
penyadapan di Indonesia yaitu data intelijen yang diantaranya terorisme dan
perdagangan manusia serta Terorisme di Indonesia dan para imigran gelap
seringkali datang ke Australia melalui jalur laut Indonesia yang kemudian
diperjual belikan di Australia.
Didasarkan hal tersebut, Indonesia telah menanyakan isu penyadapan
tersebut kepada perwakilan negara Australia, namun jawaban mereka tidak
menghasilkan apapun bahkan mereka tidak dapat menyangkal atau

mengkonfirmasi isu tersebut. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia tidak
dapat menyembunyikan kekesalannya terhadap Australia. Indonesia
bertambah kesal setelah mengetahui pernyataan dari Perdana Menteri
Australia, Tony Abbott yang mengatakan bahwa setiap badan dan agen
intelijen yang bekerja untuk Australia selalu melaksanakan tugasnya sesuai
dengan hukum yang berlaku. Ia tidak dapat memberi kejelasan mengenai isu
penyadapan ini. Pihak Australia kembali tidak mau memberi penjelasan
mengenai isu penyadapan.
Hal ini diketahui setelah Dubes Australia untuk RI yang bernama Greg
Moriaty juga tidak dapat memberi tanggapan atas pemanggilan dirinya oleh
Kementrian Luar Negeri RI terkait spionase yang dilakukan Australia. Ia hanya
mengatakan bahwa pihak Australia hanya mengikuti perkembangan berita di
Indonesia.

Pada akhirnya Australia sedikit terusik dengan adanya ancaman dari
Kementrian Luar Negeri yang akan mengakhiri hubungan kerjasama di bidang
penangkalan terorisme dan perdagangan manusia dengan Australia Moriarty
mengatakan hubungan kerjasama yang terjalin antara Australia dengan
Indonesia selama ini sangat erat. Australia sangat menghormati hubungan
kemitraan yang sudah lama terjalin diantara keduanya, ia juga mengatakan

bahwa hubungan bilateral ini sangat menguntungkan untuk kedua negara dan
Australia berharap kerjasama lainnya terutama di bidang penanggulangan
terorisme dan perdagangan manusia.
Pada tanggal 7 November 2013, Australia melalui menteri pertahanannya
yang bernama David Johnston datang ke Indonesia untuk menghadiri
pertemuan dengan Menteri Pertahanan RI. Australia mengutus Johnston untuk
datang ke Indonesia sebagai bentuk tanggapan atas berbagai pemberitaan di
Indonesia yang menyudutkan Australia.
Pertemuan tersebut tidak menghasilkan sesuatu yang memuaskan bagi
Indonesia. Purnomo Yusgiantoro selaku Menteri Pertahanan RI menyebutkan
kedua negara sepakat untuk melimpahkan isu penyadapan kepada
Kementerian luar negeri Australia dan Indonesia.
4. Analisis Aturan Hukum
Peraturan
internasional
mengenai
cybercrime
terdapat
dalam
Conventiom on Cybercrime 2000. Convention on Cybercrime juga biasa disebut
dengan Budapest Covention. Konvensi ini mencantumkan tindakan apa saja
yang tergolong dalam cybercrime. Yang termasuk cybercrime dalam konvensi
ini adalah Illegal access, Illegal interception, Data interface, System interface,
Misuse of devices, Computer-related forgery, dan Computer-related fraud.
Kemudian dalam UNCLOS 1982 (United Nations Convention Law Of The
Sea) juga terdapat satu pasal mengenai kegiatan pengumpulan informasi yang
merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara. Terdapat pada pasal 19
ayat (2) c mengenai Lintas Damai, pasal 19 ayat (2) c menyatakan “setiap
perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan
bagi pertahanan atau keamanan negara pantai”.
Jika diartikan sepintas pasal ini hanya diperuntukkan kegiatan kapal asing
di perairan negara pantai, namun jika diartikan secara luas, yang dimaksud
perbuatan atau kegiatan mengumpulkan informasi yaitu mengumpulkan
informasi dalam bentuk apapun teramasuk spionase mealalui penyadapan
merupakan kegiatan yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara.
Di beberapa negara juga diatur mengenai spionase, penyadapan dan
cybercrime. German Peraturan mengenai spionase serta spies atau intelejen
serta cybercrime diatur dalam German Criminal Code atau German Penal Code
atau dalam bahasa Jerman peraturan ini disebut dengan Strafgesetzbuches,
dan disingkat menjadi StGB Di Australia peraturan mengenai spionase terdapat
dalam Crimes Act 1995 dan Crimianl Code Amendement (Espionage and
Relaed Matters) Bill 2002. Criminal Code Act 1995 menyebutkan tindakan apa
saja yang termasuk dalam spionase dan hukuman yang dapat dijatuhkan pada
pelaku Sedangkan Criminal Code Amendement Bill 2000 adalah penambahan
peraturan dari peraturan Criminal Code Act 1995 dan Crimes Act 1914.
Berbeda dengan German dan Australia, peraturan mengenai kejahatan
dikodifikasi dalam satu Ciminal Code. Di USA peraturan mengenai spionase
diatur khusus dalam The Espionage Act of 1917 menurut The Espionage Act of
1917 untuk cybercrime, USA mempunyai banyak peraturan dimana tiap
tindakan dikelompokkan, beberapa diantaranya yaitu Computer Software
Privacy and Control Act, Department of Justice - Computer Crime and

Intellectual Property Section, Electronic Communications Privacy Act, Electronic
Communications Privacy Act, Economic Espionage Act (EEA), Communications
Assistance for Law Enforcement Act (CALEA) dan masih banyak lagi.
Sedangkan peraturan mengenai intersepsi atau penyadapan terdapat dalam
Communications Assistance for Law Enforcement Act (CALEA) dan masih banyak lagi
sedangkan peraturan mengenai intersepsi atau penyadapan terdapat dalam Communications Assistance
for Law Enforcement Act of 1994 (CALEA).
Terlepas dari pasal mengenai spies dalam Hague Convention IV 1907,
sama halnya dengan dunia Internasional, di Indonesia pengaturan khusus
mengenai spionase juga tidak ada namun dicantumkan dalam beberapa
Undang-undang, pengaturan sekilas mengenai penyadapan yang bisa
dikatakan sebagai bentuk baru dari spionase dalam perkembangan teknologi
dan informasi sekarang. Undang-undang yang mencantumkan sekilas
mengenai penyadapan in adalah Undang-undang No.36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi dan Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Poin dari kedua Undang-undang tersebut adalah bahwa Penyadapan
merupakan kegiatan yang dilarang. Lain dengan Undang-undang tentang
Telekomunikasi dan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Peraturan Menteri NO: 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan
Terhadap Informasi, merupakan salah satu peraturan yang memperbolehkan
penyadapan.
Penyadapan pada dasarnya hanya dibolehkan bagi petugas yang
berwenang dalam suatu negara guna meningkatkan pengawasan tingkat tinggi
dan dilakukan sepenuhnya untuk kepentingan keamanan negara agar mampu
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan melawan tindakan teror.
Kewenangan penuh untuk menerapkan penyadapan yang sah secara hukum
tersebut dikenal dengan istilah lawful interception.
Pemberitaan media yang merespon paparan informasi dari harian berita
Australia, Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan Sydney Morning
Herald mengenai dokumen penyadapan pejabat tinggi Indonesia menjadi
puncak dari berbagai pemberitaan mengenai negara tetangga di sebelah
tenggara tersebut.
Di Indonesia, Anggota Komisi I DPR Meutya Hafid meminta agar
Pemerintah mengusir Duta Besar Australia Greg Moriarty dari Indonesia. Bukan
tanpa alasan, pengusiran itu bisa dilakukan karena Australia telah melanggar
Pasal 9 Konvensi Wina tahun 1961 mengenai hubungan diplomatik.
Dalam pasal itu disebutkan pengusiran kepada duta besar bisa dilakukan
jika wakil diplomatik itu kepada duta besar bisa dilakukan jika wakil diplomatik
itu melanggar tiga hal. Pertama, duta besar melakukan kegiatan yang subversif
dan merugikan kepentingan nasional. Kedua, kegiatan yang dilakukan oleh
wakil diplomatik melanggar hukum atau perundang-undangan negara
penerima. Ketiga kegiatan yang digolongkan sebagai kegiatan mata-mata atau
spionase yang dapat mengganggu stabilitas keamanan negara penerima.
Menanggapi hal ini, jika terbukti Australia telah melakukan penyadapan
kepada Indonesia dengan tujuan spionase, maka pemeritah perlu menanggapi
dan menangani hal ini dengan cermat. Pertama, kegiatan penyadapan ini
dilakukan di Indonesia. Maka hukum indonesia dapat diberlakukan sesuai
aturannya. Dimana kegiatan penyadapan yang tidak sah atau unlawfull
interception merupakan pelanggaran hukum di Indonesia.
Terlepas dari masalah dalam sisi hubungan diplomatik, tindakan yang
dilakukan Australia memang bertentangan dengan hukum nasional Indonesia.

Selain itu pun dalam konvensi internasional juga dikatakan bahwa illegal
interception merupakan salah satu dari cybercrime. Terkait penyadapan dalam
hukum nasional Indonesia, kegiata ini secara tegas dilarang kecuali dilakukan
oleh pihak yang berwenang. Sesuai dengan bentuk penyadapan dan
cybercrime di Indonesia tindakan Australia dapat dipastikan melanggar hukum
Indonesia. Apabila tindakan penyadapan dilakukan oleh agen tertentu yang
ditugaskan untuk melakukan spionase maka hukum nasional dapat
diberlakukan kepada agen tersebut. Jika tindakan secara langsung dilakukan
oleh wakil diplomatik Australia untuk Indonesia, maka yang dapat dilakukan
adalah pengusiran wakil diplomik.
3.Kesimpulan
Dilihat dari beberapa karakteristik cybercrime terhadap spionase dan
penyadapan, maka spionase melalui penyadapan dapat dikategorikan sebagai
cybercrime. Karakteristik yang pertama Unauthorized acces atau akses tidak
sah, kegiatan spionase merupakan kegiatan yang Non-violance (tanpa
kekerasan), Sedikit melibatkan kontak fisik (minimaze of physical contact),
menggunakan peralatan (equipment), teknologi, dan memanfaatkan jaringan
telematika (telekomunikasi, media dan informatika) global, Perbuatan tersebut
mengakibatkan kerugian material maupun immaterial (waktu, nilai, jasa, uang,
barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih
besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional. Selain itu berdasarkan
bentuk dari cybercrime maka penyadapan dapat masuk di beberapa bentuk
seperti; Unauthorized Acces to Computer System and Service, Cyber
Espionage, Infringements of Privacy, dan Cyber-stalking.
Berdasarkan hukum nasional Indonesia, Undang-undang No.36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi dan Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik tindakan yang dilakukan Australia
melanggar hukum nasional Indonesia. Namun, dalam permasalahan ini tidak
dapat begitu saja menerapkan hukum nasional meskipun tindakan yang
dilakukan tindakan yang dilakukan Australia melanggar hukum nasional
Indonesia.
Namun, dalam permasalahan ini tidak dapat begitu saja menerapkan
hukum nasional meskipun tindakan yang dilakukan Australia adalah melanggar
hukum nasional selain dengan penyelesaian melalui penyelesaian diplomatik.
Persoalan antar negara ini juga dapat diselesaikan melalui Mahkamah
Internasional atau International Court of Justice.
DAFTAR PUSTAKA
Didik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law: Aspek Hukum
Teknologi Informasi, Refka Aditama, Bandung.
Lt. Col. Geoffrey B. Demarest, 1996, Espionage in International Law, 24
Denv. J. Int'l L. & Pol'y 321, https://litigation-essentials.lexisnexis.com (24 Mei
2014)
R. Aj. Rizka F. Prabaningtyas, Indonesia–Australia: Menguji Persahabatan
di Tengah Konflik Penyadapan, Institute of International Studies Universitas
Gadjah Mada, https://www.iis.fisipol.ugm.ac.id (12 Juni 2014)
Teguh Arifiyadi, Langkah Hukum Jika Disadap Negara Tetangga,
http://www.hukumonline.com (4 Mei 2014)