Tugas Perkembangan Peserta Didik Lengkap

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan,

dimana aspek yang menjadi subjek sekaligus objek yang penting dalam hal ini adalah peserta
didik. Pendidikan yang diberikan tidak hanya dalam lingkup akademik namun mendidik
disini dimaksudkan untuk membentuk kepribadian yang sesuai dengan norma hukum dan
agama. Setiap peserta didik bersifat khas dan unik karena setiap peserta didik berbeda-beda.
Dalam

pendidikan

dan

pembelajaran

diperlukan


suatu

pengetahuan

akan

perkembangan-perkembangan yang terjadi pada peserta didik. Dimana aspek-aspek
perkembangan peserta didik cukup banyak seperti perkembangan fisik, perkembangan
intelektual, perkembangan moral, perkembangan spiritual atau kesadaran beragama dal lain
sebagainya. Setiap aspek-aspek tersebut dapat dikaji berdasarkan fase-fasenya untuk
membantu dalam memahami cara belajar dan tentunya sikap maupun tingkah laku peserta
didik. Selain itu, aspek pembelajaran yang diberikan kepada para peserta didik juga berupa
pendidikan moral dan spirituall untuk membentuk pribadi-pribadi yang sesuai dengan
harapan bangsa yang dituliskan pada tujuan pendidikan bangsa Indonesia.

B.

Rumusan Masalah


Dalam makalah ini dapat di rumuskan beberapa masalah, yaitu :
1. Bagaimana perkembamngan moral peserta didik.?
2. Bagaimana perkembangan spiritual peserta didik.?
3. Bagaiman implikasi perkembangan moral dan spiritual terhadap pendidikan.?

1

BAB II
PEMBAHASAN

Definisi Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos, moris (adat, istiadat,
kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak).
Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilainilai dan prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral ini antara lain, seruan untuk berbuat baik
kepada orang lain, atau larangan untuk tidak berbuat kejahatan kepada orang lain. Jadi dapat
disimpulkan bahwa moral merupakan tingkah laku manusia yang berdasarkan atas baik-buruk
dengan landasan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Seseorang dikatakan bermoral apabila ia mempunyai pertimbangan baik dan buruk
yang ditunjukkan melalui tingkah lakunya yang sesuai dengan adat dan sopan santun.
Sebaliknya seseorang dikatakan memiliki perilaku tak bermoral apabila perilakunya tidak

sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial
atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Selain itu ada perilaku amoral atau
nonmoral yang merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang lebih
disebabkan karena ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran
sengaja terhadap standar kelompok.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain
(Santrock, 2002). Perkembangan moral juga merupakan perubahan-perubahan perilaku yang
terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tata cara, kebiasaan, adat, atau standar nilai
yang berlaku dalam kelompok sosial. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral
(imoral) akan tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan.
Melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (orang tua, saudara, teman sebayak
atau guru), anak belajar memahami tingkah laku mana yang buruk atau tidak boleh dilakukan
dan mana yang baik atau boleh dilakukan sehingga terjadi perkembangan moral anak
tersebut.

2

A.


Teori perkembangan moral menutut Kholberg
a) Aspek perkembangan moral pada fase perkembangan anak-anak
1. Fase Prasekolah (usia taman kanak-kanak)
Anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6
tahun. Anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai laki-laki atau
perempuan, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan beberapa
hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya). Sedangkan untuk
perkembangan moralnya adalah sebagai berikut :
Pada masa ini anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas
terhadap kelompok sosialnya (orang tua, saudara dan teman sebaya). Melalui
pengalaman berinteraksi dengan orang lain (orang tua, saudara dan teman
sebaya) anak belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku mana yang
baik ataupun buruk. Berdasarkan pemahaman itu, maka pada masa ini anak
harus dilatih dibiasakan mengenai bagaimana dia harus bertingkah laku
(seperti mencuci tangan sebelum makan).
Pada saat mengenalkan konsep baik-buruk atau menanamkan disiplin
pada anak orang tua atau guru hendaknya memberikan penjelasan tentang
alasannya (seperti mengapa sebelum makan harus cuci tangan). Penanaman
disiplin disertai dengan alasan diharapkan akan mengembangkan self
control atau self

discipline (kemampuan
mengendalikan
diri
atau
mendisiplinkan diri berdasarkan kesadaran sendiri) pada anak. Apabila
penanaman disiplin ini tidak disertai penjelasan tentang alasannya atau bersifat
doktriner biasanya akan melahirkan sikap disiplin buta, apalagi jika disertai
dengan perlakuan kasar.
Dalam rangka membimbing perkembangan moral anak pra sekolah ini,
sebaiknya orang tua atau guru-guru TK, melakukan upaya berikut :
a. Memberikan contoh atau teladan yang baik dalam berperilaku atau
bertutur kata.
b. Menanamkan kedisiplinan kepada anak dalam berbagai aspek kehidupan
seperti memelihara kebersihan atau kesehatan, tata krama.
c. Mengembangkan wawasan tentang nilai-nilai moral kepada anak baik
melalui pemberian informasi atau melalui cerita, seperti tentang : riwayat
orang-orang yang baik (para nabi dan pahlawan).
2. Fase Anak Sekolah (Usia Sekolah Dasar)
Fase ini dimulai sejak anak-anak berusia 6-12 tahun atau sampai
seksualnya matang. Kematangan seksual ini sangat bervariasi baik antara jenis

kelamin maupun antarbudaya yang berbeda. Anak-anak sudah lebih menjadi
mandiri. Pada masa inilah anak paling peka dan siap untuk belajar dan dapat
memahami pengetahuan serta selalu ingin bertanya. Sedangkan untuk
perkembangan moralnya adalah sebagai berikut :

3

Anak mulai mengenal konsep moral pertama kali dari lingkungan
keluarga. Pada mulanya mungkin anak tidak mengerti konsep moral ini, tetapi
lambat laun anak akan memahaminya. Usaha menanamkan moral sejak usia
dini merupakan hal yang seharusnya karena informasi yang diterima mengenai
benar-salah atau baik-buruk akan menjadi pedoman tingkah lakunya kemdian
hari.
Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mengikuti pertautan atau
tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak
sudah memahami alasan yang mendasari suatu peraturan. Di samping itu, anak
sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk perilaku dengan konsep benarsalah atau baik-buruk. Misalnya, dia menilai bahwa perbuatan nakal, berdusta,
dan tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu yang salah atau buruk.
Sedangkan perbuatab jujur, adil dan sikap hormat kepada orang tua dan guru
merupakan sesuatu yang benar atau baik.

b) Aspek perkembangan moral pada fase perkembangan remaja

Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat
penting yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga
mampu bereproduksi. Remaja merupakan fase perkembangan individu sekitar 1320 tahun. Perkembangan moral remaj adalah sebagai berikut :
Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru,
teman sebaya atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih
matang jika dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal
tentang nilai-nilai moral atau konsep-konseo moralitas.
Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan yang dapat
dinilai baik oleh orang lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi
kepuasan fisiknya tetapi psikologisnya (rasa puas dengan peneriamaan dan
penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya).
Dikaitkan dengan perkembangan moral dari Lawrence Kolhberg, menurut
Kusdwirarti Setiono (Fuad Nashori, Suara Pembaharuan,7 Maret 1997) pada
umunya remaja berada dalam tingkatan konvensional atau berada dalam tahap
ketiga (berperilaku sesuai dengan tuntutan dan harapan kelompok) dan keempat
(loyalitas terhadap norma).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmara (Mahasiswa PPB
FIP IKIP Bandung) terhadap siswa kelas II SMA Negeri 22 Bandung, pada tahun

1995 ditemukan bahwa tingkatan moral mereka itu bersifat menyebar yaitu pada
tingkat pra-konvensional (14 %), konvensional (38 %), dan pasca-konvensional
(48 %). Jumlah respondennya adalah sebanyak 120 orang.
Dengan masih adanya siswa SMU (remaja) pada tingkat pra-konvensional
atau konvensional maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak
yang melakukan dekadensi moral atau pelecehan nilai-nilai seperti tawuran,
tindak criminal, minum minuman keras dan hubungan seks di luar nikah.
4

Keragaman tingkat moral remaja disebabkan oleh factor penentunya yang
beragam juga. Salah satu penentu atau yang mempengaruhi perkembangan moral
remaja adalah orang tua. Menurut Adam dan Gullotta (183 : 172-173) terdapat
beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua mempengaruhi
moral remaja, yaitu sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja
dengan tingkat moral orang tua.
2. Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi
dalam tahapan nalar moralnya daripada ibu-ibu yang nakal; dan remaja yang
tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya
daripada remaja yang nakal.

3. Terdapat dua factor yang dapat meningkatkan perkembangan moral
remaja yaitu:
a. Orang tua yang mendorong anaknya untuk berdiskusi secara
demokratik dan terbuka mengenai isu.
b. Orang tua menerapkan didiplin terhadap anak dengan teknik
berfikir induktif.
Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan
terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap yaitu:
1. Tingkat Satu : Penalaran Prakonvesional
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori
perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan
internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah)
dan hukuman ekternal.
1. Tahap 1 : Orientasi hukuman dan ketaatan ialah tahap pertama dalam
teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini perkembangan moral didasarkan
atas hukuman. Anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk
taat.
2. Tahap 2: Individualisme dan tujuan adalah tahap kedua dari teori ini.
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan pada imbalan dan kepentingan diri sendiri.
Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan

terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang
dianggap menghasilkan hadiah.

2 Tingkat Dua: Penalaran Konvensional
Penalaran konvensional adalah tingkat kedua atau tingkat menengah dari teori
perkembangan moral Kohlberg. Internalisasi individu pada tahap ini adalah
5

menengah. Seorang mentaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak
mentaati standar-standar (internal) orang lain, seperti orangtua atau masyarakat.
3. Tahap 3: Norma-norma interpersonal, pada tahap ini seseorang
menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan pada orang lain sebagai landasan
pertimbangan-pertimbangan moral. Anak anak sering mengadopsi standar-standar
moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oelh orangtuanya
sebagai seorang perempuan yang baik atau laki-laki yang baik.
4. Tahap 4: Moralitas sistem sosial. Pada tahap ini, pertimbangan moral
didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
3. Tingkat Tiga: Penalaran Pascakonvensional
Penalaran pascakonvensional adalah tingkat tertinggi dari teori perkembangan
moral Kohlberg. Pada tingkat ini, moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak

didasarkan pada standar-standar orang lain. Seorang mengenal tindakan moral
alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu
kode moral pribadi.
5. Tahap 5: Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual, pada tahap ini
seseorang mengalami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan
bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Seseorang menyadari
hukum penting bagi masyarakat, tetapi nilai-nilai seperti kebebasan lebih penting dari
pada hukum.
6. Tahap 6: Prinsip-prinsip etis universal, pada tahap ini seseorang telah
mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang
universal. Bila menghadapi konflik secara hukum dan suara hati, seseorang akan
mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin melibatkan resiko pribadi.
Adapun tingkat dan tahap perkembangan moral yang dikenal diseluruh dunia
yang di kemukakan oleh kohlberg (1958) sebagai berikut:
Tingkat
Tahap
1. Pr1. Akonvensional
1. Orientasi
Terhadap
Kepatukan
dan
Pada tingkat ini aturan berisi Hukuman
aturan moral yang dibuat berdasarkan
Pada tahap ini anak hanya
otoritas. Anak tidak melanggar aturan mengetahui bahwa aturan-aturan ini
moral karana takut ancaman atau ditentukan oleh adanya kekuasaan yang
hukuman dari otoritas. Tingkat pra- tidak bisa diganggu gugat. Anak harus
konvensional dari penalaran moral menurut, atau kalau tidak, akan mendapat
umumnya ada pada anak-anak,
hukuman.

6

2. Konvensional
2.
Semua perbuiatan dianggap baik
oleh anak sesuai dengan otoritas teman
sebaya.
3. Pasca Konvensional
3.
Aturan
dan
institusi
dari
masyarakat tidak dipandang sebagai
tujuan akhir tetapi diperlukan sebagai
4.
subjek. Anak menaati aturan karena takut
hukuman kata hati.

Orientasi hedonistic adalah suatu perbuatan
dinilai baik jika berfungsi sebagai alat
pemenuh kebutuhan dan kepuasan diri
Orientasi anak yang baik, tindakan dinilai
baik jika menyenangkan bagi orang lain
Orientas keteraturan dan perilaku baik
dengan
menunaikan
kewajiban,
menghormati otoritas dan memelihara
ketertiban social

5. Organisasi
control
social
legalistic,
perbuatan dinilai baik jika sesuai perundang
– undangan

6. Orientasi kata hati, kebenaran ditentukan
dengan kata hati

Lawrence Kohlberg mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang
dimunculkan kedalam enam tahap perkembangan moral yang berbeda. Keenam
tahapan tersebut dibagi kedalam tiga tingkatan: prakonfensional, konvensional, dan
pascakonvensional. Karakteristik untuk masing-masing tahapan perkembangan moral
yang dimaksud disajikan dalam tabel berikut ini.

No
1

Tingkat

Umur

Tingkat 1

0-9
thn

Tahap 1
Tahap 2
2

Tingkat 2
Tahap 3

9-15
thn

Nama

Karakteristik

Prakonvensional
Moralitas heteronomi
(orientasi kepatuhan dan
hukuman)
Individualisme/
instrumentalisme
(orientasi minat pribadi)
Konvensional

Melekat pada aturan

Reksa interpersonal
(orientasi keserasian
interpersonal dan
konformitas (sikap anak

Mengharapkan hidup yang
terlihat baik oleh orang lain
dan kemudian telah
menganggap dirinya baik.

Kepentingan nyata individu.
Menghargai kepentingan
oranglain

7

baik)).
Sistem sosial dan hati nurani
(orientasi otoritas dan
pemeliharaan aturan sosial
(moralitas hukum dan
aturan))

Tahap 4

3.

B.

Tingkat 3

Diatas
15 thn

Memenuhi tugas sosial untuk
menjaga sistem sosial yang
berlangsung.

Pascakonvensional

Tahap 5

Kontrak sosial

Relatif menjungjung tinggi
aturan dalam memihak
kepantingan dan kesejahteraan
untuk semua.

Tahap 6

Prinsip etika universal

Prinsip etis yang dipilih
sendiri, bahkan ketika ia
bertentangan dengan hukum

Perkembangan Spiritual Peserta Didik
1.

Pengertian spiritual
Spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas atau udara,

spirit memberikan hidup, menjiwai seseorang. Spiritual meliputi komunikasi dengan
Tuhan (fox 1983), dan upaya seseorang untuk bersatu dengan Tuhan (Magill dan Mc
Greal 1988), spiritualitas didefinisikan sebagai suatu kepercayaan akan adanya suatu
kekuatan atau suatu yang lebih agung dari dirisendiri (Witmer 1989).
Perkembangan spiritual didasarkan pada ayat-ayat alquran dan hadist yang
menjelaskan tentang fitrah beragama. Dalam perkembangannya, firtrah beragama ini
ada yang berjalan secara alamiah dan ada juga yang mendapat bimbingan dari para
rasul Allah SWT, sehingga fitrahnya itu berkembang sesuai kehendak Allah SWT.
Keyakinan bahwa manusia itu mempunyai fitrah atau kepercayaan kepada Tuhan
didasarkan pada firman Allah:
1.

Surat Al-‘araf ayat 172 yang artinya:
“dan ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak

adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): ‘bukankah aku ini tuhanmu?’ mereka menjawab: ‘betul
(engkau tuhan kami). Kami menjadi saksi (kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan tuhan).”
2.

Surat ar-rum ayat 30, yang artinya:
8

“maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama allah,
(tetaplah atas) fitrah allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Ituah agam lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”
3.

Surat Asy-syamsu ayat 8 yang artinya:
“maka

allah

mengilhamkan

kepada

jiwa

itu

kefasikan

dan

ketakwaannya.”
Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang
mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk berkembang. Namun, mengenai
arah dan kualitas perkembangan beragama anak sangat bergantung kepada proses
pendidikan yang diterimanya. Hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan oleh nabi
Muhammad Saw: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena keadaan
orangtuanyalah, anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi.” Hadis ini
mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan (terutama orangtua) sangat berperan dalam
mempengaruhi perkembangan fitrah keberagamaan anak. Jiwa beragama merujuk
kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang
direfleksikan ke dalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat habluminallah dan
hablumminannas.
2. Karakteristik spiritual
Karakteristik spiritual yang utama meliputi perasaan dari keseluruhan dan
keselarasan dalam diri seorang, dengan orang lain, dan dengan Tuhan atau kekuatan
tertinggi sebagai satu penetapan. Orang-orang, menurut tingkat perkembangan
mereka, pengalaman, memperhitungkan keamanan individu, tanda-tanda kekuatan,
dan perasaan dari harapan. Hal itu tidak berarti bahwa individu adalah puas secara
total dengan hidup atau jawaban yang mereka miliki. Seperti setiap hidup individu
berkembang secara normal, timbul situasi yang menyebabkan kecemasan, tidak
berdaya, atau kepusingan.Karakteristik kebutuhan spiritual meliputi:
a.

Kepercayaan

b. Pemaafan
c.

Cinta dan hubungan

d. Keyakinan, kreativitas dan harapan
e.

Maksud dan tujuan serta anugrah dan harapan.

9

Karakteristik dari kebutuhan spiritual ini menjadi dasar dalam menentukan
karakteristik dari perubahan fungsi spiritual yang akan mengrahkan individu dalam
berperilaku, baik itu kearah perilaku yang adaptif maupun perilaku yang maladaptif.
perkembangan aspek spiritual berdasarkan tumbuh-kembang manusia. Perkembangan
spiritual pada anak sangatlah penting untuk diperhatikan.
a.

Individu yang berusia antara 0-18 bulan, Bayi yang sedang dalam proses

tumbuh kembang, yang mempunyai kebutuhan yang spesifik (fisik, psikologis, sosial,
dan spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa. Anak adalah individu yang masih
bergantung pada orang dewasa dan lingkungan, artinya membutuhkan lingkungan
yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar
mandiri. Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa perkembangan bayi.
Haber (1987) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual bayi merupakan dasar
untuk perkembangan spiritual selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral untuk
mengenal arti spiritual. Keluarga yang spiritualnya baik merupakan sumber dari
terbentuknya perkembangan spiritual yang baik pada bayi.
b. Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa kanakkanak awal (18 bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami peningkatan kemampuan
kognitif. Anak dapat belajar membandingkan hal yang baik dan buruk untuk melanjuti
peran kemandirian yang lebih besar. Tahap perkembangan ini memperlihatkan bahwa
anak-anak mulai berlatih untuk berpendapat dan menghormati acara-acara ritual
dimana mereka merasa tinggal dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak
dapat dimulai dari kebiasaan yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan
berdoa sebelum makan, atau cara anak memberi salam dalam kehidupan sehari-hari.
Anak akan lebih merasa senang jika menerima pengalaman-pengalaman baru,
termasuk pengalaman spiritual.
c.

Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun)

berhubungan erat dengan kondisi psikologis dominannya yaitu super ego. Anak usia
pra sekolah mulai memahami kebutuhan sosial, norma, dan harapan, serta berusaha
menyesuaikan dengan norma keluarga. Anak tidak hanya membandingkan sesuatu
benar atau salah, tetapi membandingkan norma yang dimiliki keluarganya dengan
norma keluarga lain. Kebutuhan anak pada masa pra sekolah adalah mengetahui
filosofi yang mendasar tentang isu-isu spiritual. Kebutuhan spiritual ini harus
diperhatikan karena anak sudah mulai berfikiran konkrit. Mereka kadang sulit
menerima penjelasan mengenai Tuhan yang abstrak, bahkan mereka masih kesulitan
membedakan Tuhan dan orang tuanya.
d. Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami
peningkatan kualitas kognitif pada anak (6-12 tahun). Anak usia sekolah (6-12 tahun)
10

berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat menggunakan konsep abstrak untuk
memahami gambaran dan makna spriritual dan agama mereka. Minat anak sudah
mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak dapat diajak berdiskusi dan menjelaskan
apakah keyakinan. Orang tua dapat mengevaluasi pemikiran sang anak terhadap
dimensi spiritual mereka.
e.

Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti

dan tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan
saat ini dan yang akan datang. Kepercayaan berkembang dengan mencoba dalam
hidup. Remaja menguji nilai dan kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak
atau menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung ketika menemukan perilaku
dan role model yang tidak konsisten. Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok
paling tinggi perannya daripada keluarga. Tetapi keyakinan yang diambil dari orang
lain biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun mereka protes dan memberontak
saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas
otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul
konflik orang tua dan remaja.
f.

Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses

perkembangannya dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan
untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-kanak dan
berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan
merupakan perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup
walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa.
g. Dewasa pertengahan (25-38 tahun). Dewasa pertenghan merupakan tahap
perkembangan spiritual yang sudah benar-benar mengetahui konsep yang benar dan
yang salah, mereka menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari
sistem nilai. Mereka sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah
dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritual.
h. Dewasa akhir (38-65 tahun). Periode perkembangan spiritual pada tahap
ini digunakan untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan
intraspeksi ini sama baik dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut.
Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan ritual spiritual meningkat.
i.

Lanjut usia (65 tahun sampai kematian). Pada tahap perkembangan ini,

menurut Haber (1987) pada masa ini walaupun membayangkan kematian mereka
banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama
sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang lain.
Riset membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan
melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang agamanya tidak baik
11

menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai,
ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia
tidak takut mati dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika merasa
cemas terhadap kematian disebabkan cemas pada proses bukan pada kematian itu
sendiri. Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam kehidupan
manusia. Karena setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun dengan
tingkat pengalaman dan pengamalan yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan
keyaninan mereka yang mereka percaya. Setiap fase dari tahap perkembangan
individu menunjukkan perbedaan tingkat atau pengalaman spiritual yang berbeda.

C.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral dan
Spiritual Peserta Didik
Berbagai aspek perkembangan pada peserta didik dipengaruhi oleh interaksi
atau gabungan dari pengaruh internal dan faktor eksternal. Begitu pula dengan
perkembangan moral dan spiritual dari peserta didik. Meskipun kedua aspek
perkembangan tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal yang hampir
sama tetapi kadar atau bentuk pengaruhnya berbeda.
Pada perkembangan moral peserta didik faktor internal meliputi faktor genetis
atau pengaruh sifat-sifat bawaan yang ada pada diri peserta didik. Selanjutnya sifatsifat yang mendasari adanya perkembangan moral dikembangkan atau dibentuk oleh
lingkungan. Peserta didik akan mulai melihat dan memasukkan nilai-nilai yang ada di
lingkungan sekitarnya baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat yang
dapat meliputi para tetua yang mungkin menjadi teladan di masyarakat, para tetangga,
teman maupun guru yang ada di lingkungan sekolah. Semua aspek di atas memiliki
peran yang penting dalam perkembangan moral peserta didik yang kadarnya tau
besarnya pengaruh bergantung pada usia atau kebiasaan dari peserta didik itu sendiri
(Baharuddin, 2011).
Meskipun faktor eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar pada
perkembangan moral peserta didik, peserta didik tetap mampu menentukan hal-hal
atau nilai-nilai yang akan dianut atau digunakan sebagai pembentuk jati diri. Hal
tersebut tentunya dipengaruhi oleh pengetahuan peserta didik akan nilai-nilai moral
yang tentunya pertama kali akan dilihat dari sosok atau jati diri orang tua.
Meskipun terkadang orang tua tidak secara formal memberikan nilai-nilai
moral tersebut, peserta didik tetap mampu menginternalisasi atau memasukkan nilainilai tersebut ke dalam jati dirinya yang diwujudkan dengan sikap dan tingkah laku
peserta didik. Oleh karena itu,para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri
mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Dimana dalam usaha
12

membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu tersebut,
banyak faktor yang mempengaruhinya diantaranya yaitu:
1. Tingkat harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2.

Banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-

orang yang terkenal dan hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai gambarangambaran ideal.
3. Lingkungan meliputi segala segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh,
yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang
langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai
tertentu.
4. Tingkat penalaran, dimana perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut
Kohlberg, dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh
piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menrut tahap-tahap perkembangan
piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
5. Interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan
menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan
dalam pergaulan dengan orang lain (Yusuf, 2011).
Beberapa sikap orang tua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
perkembangan moral anak sebagai berikut :
1. Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam
melarang atau memperbolehkan tingkah laku tertentu kepada anak.
2. Sikap orang tua dalam keluarga
Secara tidak langsung sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah
terhadap ibu, atau sebaliknya dapat mempengaruhi perkembangan moral anak
yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orang tua yang otoriter
cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak. Sikap yang sebaiknya
dimiliki oleh orang tua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah,
dan konsisten.
3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orang tua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini
panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan
iklim yang religious dengan member bimbingan tentang nilai-nilai agama
kepada anak maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.
4. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma
Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong maka mereka
harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong. Apabila orang tua
mengajarkan kepada anak agar berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan,
bertanggung jawab atau taat beragama tetapi orang tua sendiri menampilkan

13

perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, bahkan
mungkin dia akan berperilaku seperti orang tuanya.
Perkembangan spiritual juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal
pula. Faktor internal pada perkembangan spiritual juga berupa faktor keturunan yaitu
berupa pembawaan dimana faktor ini merupakan karakteristik dari orang itu sendiri,
dasar pemikiran dari individu berdasarkan kepercayaan dan budaya yang dimilikinya.
Faktor eksternal dapat berupa keluarga yang sangat menentukan pula dalam
perkembangan spiritual anak karena orang tua memiliki peran yang sangat penting
sebagai pendidik atau penentu keyakinan yang mendasari anak. Kemudian pendidikan
keagamaan yang diterapkan di sekolah juga dapat menjadi faktor penentu
perkembangan spiritual anak, karena dengan adanya pendidikan anak akan mulai
berpikir secara logika dan menentukan apa yang baik dan tidak bagi dirinya dan kelak
akan menjadi karakter dari peserta didik. Selain itu, adanya budaya yang berkembang
di masyarakat akan mempengaruhi perkembangan spiritual peserta didik pula.
Baik perkembangan yang menuju arah yang baik (positif) atau menuju ke arah
yang buruk (negatif), itu semua tergantung pada bagaimana cara anak berinteraksi
dengan masyarakat tersebut (Baharuddin, 2009).

D.

Dampak Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik pada
Pendidikan
Manusia pada umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya.
Ketika individu memasuki usia sekolah, yakni antara tujuh sampai dengan dua belas
tahun, individu tersebut disebut sebagai peserta didik yang akan berhubungan dengan
proses pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan.
Cara pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan perkembangan anak,
yakni memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.

programnya disusun secara fleksibel dan tidak kaku serta memperhatikan

perbedaan individual anak;
2.

tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui banyak

aktivitas; dan
3.

melibatkan

penggunaan

berbagai

media

dan

sumber

belajar

sehingga

memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan berbagai proses
perkembangannya (Syamsuddin, 2007).

14

Aspek-aspek perkembangan peserta didik yang berimplikasi terhadap proses
pendidikan melalui karakteristik perkembangan moral dan religi akan diuraikan seperti di
bawah ini.
1.

Implikasi Perkembangan Moral
Purwanto (2006) berpendapat bahwa moral bukan hanya memiliki arti

bertingkah laku sopan santun, bertindak dengan lemah lembut, dan berbakti kepada
orang tua saja, melainkan lebih luas lagi dari itu. Selalu berkata jujur, bertindak
konsekuen, bertanggung jawab, cinta bangsa dan sesama manusia, mengabdi kepada
rakyat dan negara, berkemauan keras, berperasaan halus, dan sebagainya, termasuk
pula ke dalam moral yang perlu dikembangkan dan ditanamkan dalam hati sanubari
anak-anak. Adapun perkembangan moral menurut Santrock yaitu perkembangan yang
berkaitan dengan aturan mengenai hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
interaksinya dengan orang lain (Desmita, 2008).
Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, salah
satunya melalui pendidikan langsung. Pendidikan langsung yaitu melalui penanaman
pengertian tentang tingkah laku yang benar-salah atau baik-buruk oleh orang tua dan
gurunya. Selanjutnya pada usia sekolah dasar anak sudah dapat mengikuti tuntutan
dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak dapat memahami
alasan yang mendasari suatu bentuk perilaku dengan konsep baik-buruk. Misalnya,
dia memandang bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua
merupakan suatu hal yang buruk. Sedangkan perbuatan jujur, adil, dan sikap hormat
kepada orang tua merupakan suatu hal yang baik. (Yusuf, 2011).
Selain itu berdasarkan teori Piaget (Hurlock, 1980) memaparkan bahwa pada
usia lima sampai dengan dua belas tahun konsep anak mengenai moral sudah berubah.
Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang
tua, menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di
sekitar pelanggaran moral. Misalnya bagi anak usia lima tahun, berbohong selalu
buruk. Sedangkan anak yang lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi,
berbohong dibenarkan. Oleh karena itu, berbohong tidak selalu buruk.
Selain lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan juga menjadi sarana yang
kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan moral peserta didik. Untuk itu,
sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan
sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan moral dan segala aspek
kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan moral di kelas hendaknya dihubungkan
dengan kehidupan yang ada di luar kelas. Dengan demikian, pembinaan
perkembangan moral peserta didik sangat penting karena percuma saja jika mendidik

15

anak-anak hanya untuk menjadi orang yang berilmu pengetahuan, tetapi jiwa dan
wataknya tidak dibangun dan dibina (Hartono, 2002).
2.

Implikasi Perkembangan Spiritual
Anak-anak sebenarnya telah memiliki dasar-dasar kemampuan spiritual yang

dibawanya sejak lahir. Untuk mengembangkan kemampuan ini, pendidikan
mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, untuk melahirkan manusia
yang ber-SQ tinggi dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada
perkembangan aspek IQ saja, melainkan EQ dan SQ juga.
Zohar dan Marshall (Desmita, 2008) pertama kali meneliti secara ilmiah
tentang kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai, yang menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Purwanto (2006) mengemukakan bahwa pendidikan yang dilakukan terhadap
manusia berbeda dengan “pendidikan” yang dilakukan terhadap binatang.
Menurutnya, pendidikan pada manusia tidak terletak pada perkembangan biologis
saja, yaitu yang berhubungan dengan perkembangan jasmani. Akan tetapi, pendidikan
pada manusia harus diperhitungkan pula perkembangan rohaninya. Itulah kelebihan
manusia yang diberikan oleh Allah SWT sebagai tuhan semesta alam, yaitu
dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal penciptanya, yang
membedakan antara manusia dengan binatang. Fitrah ini berkaitan dengan aspek
spiritual.
Perkembangan spiritual membawa banyak implikasi terhadap pendidikan dan
diharapkan muncul manusia yang benar-benar utuh dari lembaga-lembaga
pendidikan. Untuk itu, pendidikan agama nampaknya harus tetap dipertahankan
sebagai bagian penting dari program-program pendidikan yang diberikan di sekolah
dasar. Tanpa melalui pendidikan agama, mustahil SQ dapat berkembang baik dalam
diri peserta didik (AKBIN, 2010).

E.

Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan
Beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guru disekolah dalam
membantuperkembangan moral dan spiritual peserta didik, yaitu :
1. Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kerikulum
tersembunyi, yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara
keseluruhan. Atmoisfer disini termasuk peraturan sekolah dan kelas, sikap terhadap
kegiatan akademik dan ekstrakurikuler, orientasi moral yang dimiliki gura dan
pegawai serta materi teks yang digunakan. Terutama guru dalam hal ini harus mampu
16

menjadi model tingkah laku yanmg mencerminkan nilai-nilai moral dan agama.
Tanpa adanya model tingkah laku yang baik dari guru, maka pendidikan moral dan
agama yang diberikan disekolah tidak akan efektif menjadi peserta didik yang moralis
dan religious.
2. Memberikan pendidikan moral langsung, yakni pendidikan moral dengan
pendekatan pada nilai dan juga sifat selama jangka waktu tertenyu, atau menyatukan
nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut kedalam kurikulum. Dalam pendekatan ini, intruksi
dalam konsep moral tertentu dapat mengambil bentuk dalam contoh dan definisi,
diskusi kelas dan bermain peran, atau member penghargaan kepada siswa yang
berperilaku secara tepat.
3. Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, yaitu
pendekatan moral tidak langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa
memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk
dicari. Dalam klarifikasi nilai, siswa diberikan pertanyaan dan mereka diharapkan
untuk member tanggapan, baik secara individual maupun secara kelompok.tujuannya
adalah untuk menolong siswa menentukan nilai mereka sendiri dan menjadi peka
terhadap nilai yang di dapat oleh orang lain.
4. Menjadikan pendidikan sebagai wahana yang kondusif bagi peserta didik
untuk menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis tetapi penghayatan
yang benr-benar dikontruksi dari pengalaman keberagamaan. Oleh sebab itu,
pendidikan agama yang dilangsungkan disekolah harus lebih menekankan pada
penempatan peserta didik untuk mencari pengalaman keberagamaan. Dengan
demikian maka yang ditonjolkan dalam pendidikan agama adalah ajaran dasar agama
yang asarta dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas seperti kedamaian dan
keadilan.
5. Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui
pendekatan spiritual parenting, seperti :
a.

Memupuk hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui do’a setiap hari

b. Menanyakan kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya
sehari-hari
c.

Memberikan kesadaran kepada anak bahwa Tuhan akan membimbing kita

apabila kita meminta
d. Menyuruh anak merenungkan bahwa Tuhan itu ada dalam jiwa mereka
dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri
merekatumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa
semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun.

17

A. Contoh kasus perkembangan moral pada fase perkembangan anak
Perkembangan pada anak tidak sedik dipengaruhi oleh lingkungan
disekitarnya. Di usianya yang masih muda mereka sudah mulai mencontoh tingkah
laku para orang dewasa seperti cara berbicara para orang dewasa. Terkadang para
orang dewasa mengatakan kata-kata yang tak pantas di katakan atau dapat dikatakan
kata-kata kasar. Kata-kata kasar itu ditiru oleh para anak kecil karena mereka tidak tau
mana yang baik dan tidaknya untuk diucapakan dan semua itu menggangu
perkembangan moral pada fase anak-anak. Semakin sering kata-kata itu didengar oleh
anak kecil maka mereka akan berfikir bahwa kata-kata itu biasa dan boleh diucapkan
bahkan tidak sedikit yang terbawa sampai fase-fase selanjutnya.
Hal terjadi kerana kurangnya perhatian dari orang tua dan pengawasan pada
pola perkembangan anaknya. Selain itu adanya oknum-oknum yang secara tidak sadar
mengajari anak-anak untuk berkata-kata kasar. Dan banyak faktor lain yang
mempengaruhi.
Para orang tua harus lebih mengawasi dan memperhatikan anaknya agara
pola-pola perkembangan yang tidak baik dapat dicegah dan ditanggulangi. Selain itu
pendidik formal juga dapat membantu memberikan pengarahan mana kata-kata yang
pantas dan tidak untuk diucapkan.
B. Contoh kasus perkembangan moral pada fase perkembangan remaja
Seiring dengan perkembangan zaman satu persatu mulai bermunnculan sosoksosok yang menjadi wabah dan idola para remaja salah satunya adalah demam korea.
Para remaja mulai mengagumia mereka mulai dari tata rias, cara berpakain, hingga
kehidupan para idola itu. Dengan mewabahnya demam korea para remaja mulai
mengikuti apa yang menjadi budaya di korea itu hingga apa pun yang dilakukan
idolanya itu menjadi daya tarika utuk ditiru bahkan menjadi transcenter. Demam
korea ini dapat mengganggu perkembangan moral pada fase remaja karena mereka
bisa saja melupakan budaya yang ada di Indonesia dan mnganut budaya-budaya luar
yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Tak sedikit remaja yang memakai pakaian yang bermodelkan korea style
tanpa perduli apakah pakaian itu pantas di gunakan, dan cocok dengan budaya di
Indonesia. Hal ini berawal dari banyaknya remaja yang kurang mengerti budaya di
Indonesia dan juga kurangnya bimbingan dari orang tua masing-masing.
Pengaruh-pegaruh budaya luar ini dapat di kurangi dengan adanya
pengarahan dari para orang tua menganai apa yang boleh digunakan dan tidak. Selain
itu adanya penyaringan budaya-budaya luar yang masuk ke Indonesia dan disesuaikan
dengan budaya yang ada di Indonesia.

18

BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan makalah di atas dapat di simpulkan sebagai berikut :
1. Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santroch,
1995).
2. Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan
terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap yaitu: Penalaran
Prakonvesional, Penalaran Konvensional, Penalaran Pascakonvensional
3. spiritualitas didefinisikan sebagai suatu kepercayaan akan adanya suatu kekuatan atau
suatu yang lebih agung dari dirisendiri (Witmer 1989).
4. Karakteristik

kebutuhan

spiritual

meliputi:

Kepercayaan, Pemaafan, Cinta

dan

hubungan,Keyakinan, kreativitas dan harapan, Maksud dan tujuan serta anugrah dan harapan.
5. Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan diantaranya sebagai
berikut : Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kerikulum, Memberikan
pendidikan moral langsung, Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi
nilai, Menjadikan pendidikan sebagai wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk
menghayati agamanya, Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui
pendekatan spiritual parenting.

Saran
Dengan mengucap syukur alhamdulillah pada Allah SWT penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan tentunya masih jauh dari harapan, oleh karena itu penulis masih
perlu kritik dan saran yang membangun serta bimbingan, terutama dari Dosen. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis, terutamanya :
1. Bagi remaja hendaknya mengetahui dan mempelajari tugas-tugas perkembangan
dengan baik. Sehingga bisa menerapkan tugas-tugas perkembangan tersebut dengan
sebaik-baiknya.
2. Bagi orang tua dan , hendaknya mengontrol tugas-tugas perkembangan anak yang
belum diselesaikan dan membimbing, mengarahkan serta mengantarkan ke arah yang
lebih positif.
3. Masyarakat hendaknya menjadi kontrol sosial bagi para remaja yang mengalami
degradasi moral

19

DAFTAR PUSTAKA
http://www.psikologizone.com/teori-perkembangan-moral-kohlberg/06511736
http://id.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg
http://yuanitaresti.blogspot.com/2011/01/bab-i-pendahuluan.html
Desmitha,2010.Psikologi perkembangan peserta didik.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Baharuddin. 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Baharuddin. 2009. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Desmita. 2010. PSikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Hartono, Agung. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta
Pengurus Besar Asosisi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). 2010. Jurnal
Bimbingan dan Konseling ISSN 1411-5026. Bandung: AKBIN
Syamsuddin, Abin. 2007. Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda Karya
Yusuf, Syamsu. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali Pers
Hurlock, Elisabeth B. 1991. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Diterjemahan oleh Istiwidayanti, dkk. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santrock, J. W. 2002. Life-Span Development. Perkembangan Masa Hidup.Diterjemahkan
oleh Juda Damanik, Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangga
Triyono, dkk. 2012. Perkembangan Peserta Didik. Malang: FIP UM

20