Makna Filosofis Apa yang Kau Lihat

1

Makna Filosofis “Apa yang Kau Lihat, Dengar, dan Rasa adalah Pendidikan”
⃰⃰ Fajri Al-Mughni
Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha dalam mengembangkan potensi-potensi manusiawi
peserta didik baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu
menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah
cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam
keseimbangan, kesatuan, organis, harmonis, dan dinamis guna mencapai tujuan hidup
kemanusiaan.
Al-Ghazali, adalah icon pendidikan di dunia Islam. Sistem pendidikannya sangat
dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, sehingga dijuluki filosof yang
ahli tasawuf (Failasuf al-Mutasawwifin). Ciri khas sistem pendidikan al-Ghazali terletak
pada pengejaran moral relijius dengan tanpa mengabaikan urusan dunia.1
Ma’had Al-jami’ah adalah gudang dimana isi yang ada di dalamnya hanyalah
“pendidikan”. Setidaknya, para mahasantri di Ma’had telah memberikan harapan baru
bagi pengembangan pendidikan di Jambi, dan sebagai generasi al-Ghazali yang akan
melanjutkan sistem pendidikan berbasiskan Islam. al-Ghazali sudah dinobatkan menjadi
guru bagi semua elemen peserta didik bahkan para pendidik.
IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi melahirkan anak kembar, adalah Ma’had

Al-Jami’ah dan ruh pendidikan. Ma’had dilahirkan dalam kondisi kegamangan
pendidikan dan budaya Islami, dimana pada abad ini dunia membutuhkan para
sarjanawan yang bisa “ini-itu” (multi talenta). Multi Talent People bukanlah milik orangorang pilihan. Semua orang punya multi talenta dan semua orang punya kesempatan yang
sama untuk mengembangkan talenta masing-masing. Talenta yang dimaksud disini
bukanlah satu atau dua saja melainkan sebanyak mungkin talenta yang kita punya dan
yang dapat dikembangkan. Ditengah-tengah hidup yang penuh dengan persaingan ini,
"survival of the fittest" menjadi frasa yang paling cocok namun sarkastik untuk
1

Ramayulis, dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Ciputat: Quantum
Teaching, 2010. hal: 5

2

menggambarkan orang-orang yang terus hidup dan tetap sukses di era penuh persaingan
hari-hari ini.
Sejak 2.500 tahun yang lalu, Socrates telah berkata bahwa tujuan yang paling
mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and
smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1.400 tahun yang lalu, Rasulullah Saw juga
menegaskan bahwa misi utama beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak.

Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan utama pendidikan pun masih tetap pada
wilayah yang sama, yaitu pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh
pendidikan Barat seperti Klipatrick dan Lickona kemudian menggemakan kembali gaung
yang disuarakan Socrates dan Rasulullah, bahwa moral atau karakter adalah tujuan yang
tidak bisa dihindarkan dari dunia pendidikan. Marthin Luther King bahkan mengatakan,
“Intelegence plus character, that is the true aim of education”2
Serangan terhadap pendidikan yang bercirikan moral dan budaya Islam di negara
ini sudah dimulai sejak masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Pada masa itu,
pendidikan agama Islam diselenggarakan oleh masyarakat. Sekolah dan tempat latihan
keagamaan Islam didirikan oleh warga masyarakat. Pemerintahan jajahan tidak pernah
mendirikan sekolah Islam yang diberi status negeri. Pendidikan agama banyak
diselenggarakan di institusi pendidikan swasta yang dikenal dengan nama madrasah dan
pesantren (ma’had).3 Thomas Lickona, seorang profesor pendidikan dari Cortland
University, telah mengungkapkan, ada sepuluh tanda zaman yang harus diwaspadai. Jika
kesepuluh tanda tersebut telah ada, sebuah bangsa akan menuju kehancuran. Kesepuluh
tanda tersebut adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja (2) penggunaan
bahasa dan kata-kata yang memburuk (3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindakan
kekerasan (4) maraknya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, (5) semakin
buruknya pedoman moral baik dan buruk (6) menurunnya etos kerja (7) semakin
rendahnya rasa hormat terhadap orang tua dan guru (8) rendahnya tanggung jawab


2
3

Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar NRI 1945, Kajian
Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam masyarakat yang Majemuk, Jakarta
Timur: Sinar grafka, 2012. Hal 203

3

individu dan warga negara (9) membudayanya ketidakjujuran (10) adanya saling curiga
dan kebencian antarsesama.4
Kesepuluh tanda ini dirasa telah merasuki para sarjanawan muslim tanah air
khususnya di Jambi. Sebagai “gudang” yang berisikan pendidikan, Ma’had Al-jami’ah
hadir sebagai solusi terbaik dalam menghadapi hantaman badai keterpurukan moral dan
budaya Islami.
“Apa yang kau Lihat, Dengar, dan Rasa adalah Pendidikan”.
Tidak bisa dipungkiri, pada kenyataannya, alam semesta adalah guru sejati umat
manusia, alam semesta adalah ulama, Ayatullah, pembimbing, pengasuh, pendidik, dan
penuntun bagi para mahasantri Ma’had Al-Jami’ah.

Secara sadar, alam Ma’had telah mengajarkan mahasantri banyak hal. Semua lini
dikuasai, tanpa terkecuali. Dengan keterbatasan yang dimiliki, ungkapan aneh “apa yang
kau lihat, dengar, dan rasa adalah pendidikan” muncul sebagai suplemen dan pencerah.
Ungkapan ini benar-benar merubah pola pikir mahasantri dari non-tercerahkan menjadi
cerah dan tercerahkan. Nafas pendidikan dapat ditemui disetiap sudut Ma’had AlJami’ah. Mahasantri tidak dididik untuk cengeng terhadap kondisi apapun. Semua pintu
pendidikan terbuka di Ma’had, tidak ada doktrin, tidak ada kelas ekslusif, tidak ada kasta
kehidupan yang dibedakan, kebebasan dalam berpikir dan berkarakter Islami adalah ciri
mutlak mahasantri.
Jika di dalam “Madilog”nya Tan Malaka mengatakan bahwa timbul, tumbuh, dan
tumbangnya Indonesia Merdeka di dunia (“besar hendak melindih, lemah makanan yang
kuat, bodoh makanan yang cerdik”) terutama tergantung pada industri. Namun
pendidikan di Ma’had terbebas dari ketergantungan apapun.
Ruh pendidikan yang tertanam dan ungkapan aneh “apa yang kau lihat, dengar
dan rasa adalah pendidikan” dirasa sudah cukup untuk membentengi iman pendidikan
para mahasantri. Jika sebagian dari sarjanawan merasa cemas terhadap serangan liberal,
maka mahasantri di Ma’had sama sekali tidak khawatir dengan hal itu.
4

http://muaddibinstitute.wordpress.com/2012/02/01/menghidupkan-ruh-pendidikan/


4

Dan apabila pendidikan liberal dimaksudkan untuk mempersiapkan anak didik
menjadi aktif, menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tidakkah ini telah
dilakukan pada jenjang SMA? Alat kewarganegaraan yang paling penting datang pada
kita saat usia 18 tahun, yaitu sebelum “persiapan yang layak” dari sebuah pendidikan
pada perguruan tinggi. Dan hanya sekitar 20 % orang Amerika yang menyelesaikan
perguruan tinggi. Apakah kita menolak “persiapan yang layak” bagi kewarganegaraan
untuk mayoritas penduduk? Untuk semua kekakuan dan kelasme, sistem Eropa Barat
setidaknya menetapkan masa depan warga negara dengan apa yang mereka anggap
menjadi “persiapan yang layak” bagi kewarganegaraan sebelum masuk ke perguruan
tinggi dan hanya kebanggaan defensif kita saja yang mencegah kita dari pengakuan
kualitas relatif dari pendidikan tersebut.5
Pertanyaan lain: bagaimana seorang otoritarian pendidikan tinggi, yaitu orang
yang menentukan apa yang para pelajar dewasa itu harus dan tidak harus ambil
mempersiapkan satu kehidupan bagi warga negara yang bebas? Bagaimana cara orang
belajar membuat pilihan ketika orang itu tidak diperbolehkan memilih? Bagaimana orang
belajar memutuskan? Bagaimana orang belajar bertanggung jawab? Mungkin ini yang
menjadi salah satu akar dari masalah: kita tumbuh bersama dengan pilihan pendidikan
kita yang dibuat untuk diri kita sendiri. Dengan cara ini, kita belajar bahwa tidak

seorangpun yang harus dipercaya untuk memutuskan persoalan serius seperti itu, bahwa
keputusan seharusnya diserahkan kepada orang yang profesional, kepada yang
berwenang. Sekarang, dengan otoritas yang kita punya, kita mengirimkan pesan yang
sama kepada anak didik kita sendiri. Semua orang terlalu siap untuk menyerahkan
kebebasan mereka. Kebebasan merupakan beban yang begitu menakutkan.6
Pendidikan adalah bak “perawan”. Watak utama pendidikan adalah "menasehati".
Tidak punya konsep menolak, menyingkirkan atau membuang. Semua mahluk penghuni
kehidupan berhak hidup bersama "si perawan" yang bernama pendidikan, bahkan berhak
memperkosanya; yang melarang memperkosanya bukan si perawan itu sendiri, melainkan
5

C. Ggeorge Boeree, Metode Pembelajaran dan Pengajaran (Kritik dan Sugesti Terhadap
Dunia Pendidikan, Pembelajaran, dan Pengajaran, Alih Bahasa: Abdul Qodir Shaleh,
Jogjakarta, 2009. Hal 35
6
C. Ggeorge Boeree, Metode Pembelajaran dan Pengajaran (Kritik dan Sugesti Terhadap
Dunia Pendidikan, Pembelajaran, dan Pengajaran, 2009. Hal 36

5


"sahabat"nya yang bernama moral dan hukum. Artinya, pendidikan semacam apa yang
harus kita tanamkan? Ungkapn ini pernah dibunyikan oleh guru Ehma Ainu Nadjib yang
memberi pengandaian terhadap demokrasi. Mahasantri telah menjadikan moral dan
hukum ini sebagai sahabat sejati yang selalu membuntuti hari-hari.
Filosofi “apa yang kau lihat, dengar dan rasa adalah pendidikan” tidak hanya
ingin menyampaikan pesan motivasi kosong, akan tetapi merupakan ungkapan yang
bertujuan mendidik para mahasantri untuk menjadi seorang pemimpin handal yang siap
mengubah arah angin. Ungkapan ini bukan hanya bermuatan seni, tetapi ia juga sebagai
disiplin ilmu. Pada dasarnya, tujuan dari pendidikan adalah untuk menjadikan manusia
pempimpin.
Ada beberapa faktor yang menentukan dinamika kepemimpinan efektif. Faktorfaktor dapat dihimpun menjadi dua kategori utama: Kepribadian pemimpin dan
Mekanisme kepemimpinan.7 Indikasi untuk menjadi seorang pemimpin di dalam diri para
mahasantri sudah tertanam sejak mereka menginjakkan kaki di Ma’had Al-Jami’ah.
Mahasantri diajarkan untuk tetap “membumi” walaupun sayap telah menyentuh langit.
Kesederhanaan dalam tingkah tidak lantas membuat luntur ilmu kanuragan moral
mahasantri.
Setiap lembaga pendidikan yang hadir di muka bumi selalu membawa harapan
cita-cita pendidikan yang lebih baik bagi setiap generasi penerus bangsa. Merosot dan
jayanya suatu lembaga pendidikan sangat bergantung pada seberapa besar motivasi dan
keinginan terhadap kemajuan pendidikan yang sesuai dengan cita-cita. Harapan yang

terpenuhi akan semakin memperkuat keinginan dan kepedulian akan pentingnya sebuah
pengetahuan. Sebaliknya, harapan yang “tak terpenuhi” akan meruntuhkan cita-cita luhur
pendidikan.
Islam dengan misi rahmatan lil ‘alamin memberikan rahmat bagi seluruh alam
dengan tidak mendiskriminasikan umatnya karena perbedaan kelamin, suku, warna kulit,
bentuk tubuh, usia, pandangan politik, etnis, ras, agama, orientasi seksual, dan perbedaan7

David J. Lieberman, Agar Siapa Saja Mau Melakukan Apa Saja untuk Anda,
(Kumpulan Taktik Psikologis Terhebat untuk Membuat Segala Sesuatu Berjalan Sesuai
dengan Keinginan Anda), terj: Kurniawan Abdullah. Jakarta, Serambu Ilmu Smesta, 2005.
Hal:157

6

perbedaan lainnya. Dalam melanjutkan cita-cita Islam ini, mahasatri ma’had al-jami’ah
dengan bangga menerapkan sistem pendidikan yang berbasis Islam demi terwujudnya
Islam yang memberi rahmat untuk alam semesta.
Penulis mewawancarai beberapa mahasantri yang telah menghabiskan masa
hukuman dikarenakan melanggar beberapa peraturan ma’had, dan hasil wawancara
menunjukkan bahwa mahasantri merasa ada perubahan lain terhadap mental pendidikan

mereka. Hasil wawancara, mahasantri merasakan: 1) niat mahasantri dalam mencari
pengetahuan kembali diperbaharui setelah menjalani hukuman. 2) tingkat kesadaran
mahasantri terhadap kedisiplinan kian tinggi. 3) kreativitas mahasantri bertambah. Hal ini
disebabkan karena bentuk hukuman yang diberikan merupakan salah satu model
pembelajaran yang dilakukan di ma’had. Misalnya mahasantri diberikan hukuman dengan
menghapalkan nama-nama kota didunia, nama-nama Universitas di dunia, kosa kata dan
kalimat bahasa Arab dan Inggris, dan tak jarang mahasantri diberikan hukuman membuat
perkebunan mini yang hasilnya akan dinikmati oleh mereka sendiri.
Pendidikan sebagai Tujuan
“Jika harga cinta dan persahabatan melebihi harga permata, maka harga pendidikan akan
melebihi harga ketiganya”.
Sudah menjadi ketentuan Tuhan bahwa kemajuan dari semua sistem yang ada di bumi
adalah bersumber dari pendidikan yang maju. Teori pembelajaran sederhana yang
dilakukan di ma’had pada tahun awal berdirinya tidak begitu diperhitungkan, bahkan
mungkin sampai sekarang. Akan tetapi, anggapan itu tidak lantas membuat para pendidik
dan mahasantri ciut dalam mengembangan pendidikan yang maju. Persentase mental
pendidikan mahasantri saat ini sudah hampir mencapai kisaran 65%. Ini terbukti ketika
para mahasantri sudah berani unjuk gigi di even-even internal ma’had dan internasional.
Salah satu even internasional yang sudah diikuti adalah The Firs International
Conference on Jambi Studies yang dihadiri oleh 14 negara termasuk Indonesia, dan

ma’had menyumbangkan dua mahasantrinya sebagai panitia dalam acara tersebut, dan
mereka sebagai koordinator program (acara). Acara ini mendapat sanjungan dari semua

7

Chairperson yang hadir. Satu dari dua mahasantri ini juga rencananya akan mendapat
kehormatan diundang dalam konferensi internasional di Australia.
Ma’had Al-Jami’ah mengajarkan kepada semua mahasantri bahwa tujuan dari pendidikan
adalah proses pendidikan tersebut. Dengan begitu, pintu ijtihad dalam belajar selalu
terbuka lebar sampai bumi ini tutup usia.
Penutup
Mahasantri tidak pernah hidup dalam ketakutan. Tidak sama sekali. Ancaman badai dan
doktrin liberal menjadikan mahasantri sebagai intelejen Tuhan yang tangguh dalam
menghadapi situasi perubahan ini. Jika pada instansi atau lembaga pendidikan lainnya
memberikan tameng dengan cara menjauhi badai, maka mahasantri ma’had al-jami’ah
berlomba-lomba mengarungi badai itu dan kemudian akan berenang dan berselancar ria
bersama badai.
“Apa yang kau Lihat, Dengar, dan Rasa adalah Pendidikan”. Ungkapan aneh yang
bertindak sebagai senjata pamungkas menepis gelombang perobahan kian membantu
mahasantri dalam memantapkan iman dan taqwa, akhlak mulia, amal saleh,

pengembangan ilmu keislaman dan dakwah islamiyah.
Ma’had Al-Jami’ah semakin siap memberikan informasi keislaman dalam mewujudkan
intelektual muslim yang alim, dinamis, kreatif dan sejahtera.

Dokumen yang terkait

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Efek ekstrak biji jintan hitam (nigella sativa) terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diinduksi gentamisin

2 59 75

Makna Kekerasan Pada Film Jagal (The Act Of Killing) (Analisis Semiotika Roland Barthes pada Film Dokumenter "Jagal (The Act of Killing)" tentang Pembunuhan Anti-PKI pada Tahun 1965-1966, Karya Joshua Oppenheimer)

17 109 98

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46

Pengaruh Etika Profesi dan Pengalaman Auditor Terhadap Audit Judgment (Penelitian pada Kantor Akuntan Publik di Wilayah Bandung yang Terdaftar di BPK RI)

24 152 62

Asas asas pemerintahan yang baik

0 38 8

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kualitas Hasil Pemeriksaan

5 23 66

Uji Efek Antibakteri Minyak Jintan Hitam (Nigella Sativa) Dalam Kapsul yang Dijual Bebas Selama Tahun 2012 di Kota Padang Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli Secara In Vitro

0 7 5