Editing Televisi Apa yang Perlu Diperhat

Editing Televisi, Apa yang Perlu Diperhatikan?
28 Agustus 2013 in Editing | by Diki Umbara | Tinggalkan komentar
Editing Televisi, Apa yang Perlu Diperhatikan?
Diki Umbara
Paska produksi sebagai salah satu bagian penting di penyiaran televisi harus didukung oleh
sumberdaya manusia serta teknologi penunjang sehingga keberlangsungan siaran televisi akan
terjaga dengan baik. Industri yang mensupport baik hardware maupun software terus membuat
inovasi sehingga pengguna akan menjadi dimudahkan.
Industri yang mensupport kebutuhan televisi itu misalnya Sony Electronics, Avid Technology
Miranda, Adobe, dan Quantel. Karenanya saat ini production house atau televisi tinggal
memilih produk mana yang paling cocok untuk menunjang kebutuhan di paska produksi
tersebut.

Ada tiga elemen penting di paska produksi atau post production televisi yakni sumberdaya
manusia, hardware atau piranti keras, serta software atau piranti lunak. Ketiga elemen ini tak bisa
dipisahkan. Secangih apapun hardware dan software yang digunakan jika tidak ditunjang dengan
sumberdaya manusia yang baik maka peralatan serta software editing menjadi tidak akan
berfungsi maksimal dari mulai proses rekruitmen hingga pelatihan yang diberikan pada semua
yang terlibat di proses paska produksi sangatlah penting. Karena tak melulu perihal manusia,
departemen HRD juga tak boleh abai dengan departemen lain misalnya Departemen Tehnik
karena keterkaitan antara 3 hal tadi yakni human resourse, hardware, serta software.


foto: http://
www.colorleasingstudios.com
Semua Tentang Pilihan
Alih-alih menggali sendiri untuk menyesuaikan dengan kebutuhan serta budget yang disediakan,
seringkali production house dan bahkan penyiaran televisi di Indonesia ikut-ikutan ketika dia
memilih produk untuk paska produski yang akan mereka gunakan. Maka industri televisi dunia
biasanya dijadikan kiblat tentang alat apa saja yang mereka gunakan dan adakalanya itu belum
tentu cocok atau kompetibel dengan misalnya peralatan lainnya. Hal lain tentu saja tentang
budgeting yang bisa jadi akan membengkak karena perhitungan yang keliru.
Hingga saat ini ada puluhan software editing televisi. Ada kekurangan dan kelebihan dari
masing-masing software tersebut. Yang paling popular di antaranya Adobe Premiere CS, Final
Cut Pro, Sony Vegas, dan Avid Composer. Sampai sekarang software-sofware ini saling bersaing
ketat. Dan nampaknya Avid Composer dan Final Cut Pro menduduki peringkat paling atas. Lalu
apakah dengan demikian televise atau PH di Indonesia harus menggunakan satu di antara kedua
software paling popular tersebut? Tentu saja tidak. Karena ada juga software yang jauh lebih
murah akan tetapi masih memiliki tools yang cukup mumpuni yang diperlukan oleh editor.

gambar: http://
www.poptent.net/

Legalitas
Perihal legalitas software yang digunakan ini memang masalah lain, tak hanya software editing
saja bahkan software untuk keperluan lainpun nampaknya masih banyak pengguna di Indonesia
yang memakan software illegal. Dengan demikian misalnya berapapun harga software orisinal
Adobe Premiere atau Avid Composer menjadi tak masalah, harga menjadi sama dan murah tak
masuk akal karena bajakan atau illegal tadi. Ini penulis kira harus segera dihentikan karena
bukan tidak mungkin dengan maraknya penggunaan software illegal ini para produsen bisa
menuntut si pengguna. Bahkan mereka bisa melakukan itu saat ini juga, jika mereka inginkan.
Supporting
Software editing tidak berdiri sendiri, ia akan berkaitan dengan hardware serta software
penunjang lainnya. Karenanya tidak bisa begitu saja memilih software editing tanpa melihat hal
penting lainnya itu. Software yang canggih akan tak maksimal jika tidak didukung oleh hardware
yang bagus. Maka spesifikasi hardware yang disyaratkan oleh software editing harus
diperhatikan. Beberapa editor selalu ingin menggunakan software editing versi terkini agar tak
terlihat ketinggalan, namu sayangnya kadang ini tidak dibarengi oleh yang memiliki atau
mengelola departemen paska produksi dimana editing ada di dalmnya. Hal lain tentang Codec,
Codec atau coder-decoder yang mentransfer data satu menjadi data lainnya seringkali diabaikan
editor. Padahal di era digital saat ini tak boleh diabaikan. Resolusi gambar, aspek rasio, serta
sample rate audio semua ada di codec sebagai supporting pada software penyuntingan gambar.
Era Digital

Memang era televisi digital di Indonesia masih beberapa tahun lagi dan sudah ada beberapa
televisi mencoba siaral digital, namun kabar buruknya ialah hampir sebagian besar televisi kita
belum siap dengan era digital ini terutama televisi dengan siaran teresterial. Jika adaptasi tidak
segera dilakukan maka akan keteteran nantinya. Dan kita tidak bisa bersaing dengan televisi
asing. Era digital bukan melulu tentang format digital, bukan tentang skala 4 : 3 berubah menjadi

16 : 9, lebih dari itu akan ada keterkaitan dengan teknologi lainnya bahkan yang diluar teknologi,
seperti aspek estetika misalnya.

gambar:
http://www.live-production.com
Editor, Sekadar Operator
Editor sebagai orang yang sangat penting di departemen paska produksi seringkali dihadapkan
dengan tenggat atau deadline. Maka beberapa PH dan televisi membuat SOP atau standard
operation serta manajemen waktu. Dan seringkali aturan itu berbeda di satu PH atau TV dengan
PH atau TV lainnya. Bahkan di beberapa televisi yang dimiliki oleh grup yang sama. Agak aneh
memang, tapi kenyataanya begitu. Editor itu penyunting gambar, ia yang akan menyusun
serangkaian hasil shooting menjadi satu kesatuan cerita. Tak sekadar potong sambung, ia harus
memiliki kemampuan serta sense sehingga hasilnya tidak asal-asalan. Aspek peenyambungan
gambar seperti spasial, ritmik, tempo, dan ruang itu sebagai syarat utama yang mesti dikpahami

dan dimiliki oleh para editor. Sayangnya ini kerap tidak terjadi, sebagian yang juga disebut editor
nyatanya hanya sebagai operator. Hanya memotong dan sambung tanpa memikirkan kaidahkaidah editing yang baik.

foto:
http://www.cheapfilmmaking.com
Solusi
Penulis yakin selalin beberapa hal yang dipaparkan di atas, masih ada problem lain di paska
produksi televisi ini. Sebagai pintu gerbang sebelum program ditayangkan, semestinya paska
produksi diberi perhatian yang baik. Kalau perlu top management televise dan atau production
house bisa melihat langsung di lapangan. Karena untuk beberpa hal, para supervisor di paska
produksi bahkan head of post production memiliki kekurangan sehingga paska produksi di
banyak ph dan tv di Indonesia menghadapi problem yang beragam.
Saran penulis bagi para editor, belajar bisa dimana saja termasuk dari internet tentu saja. Bisa
juga dengan menonton program luar dan tentu saja amati, banyak sekali acara berskala
internasional yang dari sisi penyuntingan gambanrya bagus sekali. Tak mesti meniru, jadikan
acara tersebut sebagai referensi. Dan referensi tentu saja sebanyak mungkin. Deadline tidak bisa
dihindari, tapi itu semua tidak boleh menjadi penghalang untuk menjadi oarang-orang kreatif di
belakang layar.

Editing Televisi: Linear dan Non Linear

Editing Televisi: Linear dan Non Linear
Oleh Diki Umbara
Editing merupakan penggabungan beberapa shot tunggal menjadi satu rangkaian cerita yang
dipahami oleh penonton. Belum ada definisi yang tepat tentang pengertian shot, namun hingga
saat ini shot diartikan sebagai pengambilan gambar oleh cameraman dari mulai start hingga stop.
Tidak ada batasan seberapa lama durasi sebuah shot. Ribuan shot yang sebelumnya seperti puzle
yang berantakan, disusun oleh editor sehingga puzle tersebut menjadi bidang yang mudah
dipahami bagi siapapun yang melihatnya. Editor, ia seperti chef atau juru masak yang akan

mengubah bahan masakan menjadi hidangan yang lezat. Editing tak hanya berkaitan dengan
estetika, namun ia akan bersentuhan dengan hal teknis yang dengan kecanggihan teknologi ia
bisa dimudahkan. Editing sebagai salah satu hal penting di dalam paska produksi televisi,
memiliki beberapa tahapan yakni:
1. Capturing
2. Assembling
3. RoughCut
4. Fine Cut
5. Mastering

Tahapan ini tidak sepenuhnya sama antara editing yang satu dengan editing lainnya tergantung

dari jenis acara serta alat editing yang digunakan. Dibagi berdasarkan alat yang digunakan, ada
dua jenis sistim editing yakni Linear Editing dan Non Linear Editing. Dua jenis editing inilah
yang menjadi bahasan utama pada tulisan ini.
Editing Linear
Dari sisi penggunaan alat dan instalasi pada sistim linear editing akan berkaitan pada
penggunaan pola Deck to Deck atau VTR to VTR Editing. Salah satu Deck/VTR berfungsi
sebagai sumber gambar dan suara sedangkan Deck/VTR lainnya berfungsi sebagai media
perekam. Peralatan yang terapasang pada linear editing akan melalui proses sinkronisasi sinyal,
bisa melalui sinyal genlock atau word clock.

Setidaknya ada 3 jenis editing linear: On Cam editing, A/Roll, dan A/B Roll. On Cam editing,
editing yang dilakukan “tanpa” menggunakan perlatan editing. Ia menggunakan kamera sebagai
alat editing itu sendiri. Ada dua cara, pertama editing dilakukan oleh cameraman saat
pengambilan gambar atau shooting. Ketika mengambil gambar, seorang cameraman ia mesti
sudah memikirkan hasil shootingnya sebagai hasil editing juga. Jadi, pengambilan gambar
berdasar cerita yang sudah dibuat sebelumnya. Untuk memudahkan konsep ini maka cameraman
harus membuat shot list terlebih dahulu. Dan yang paling penting lagi shooting dilakukan
berdasar ututan cerita. Edit on Cam yang kedua, memang benar-benar menggunakan kamera
sebagai alat penyuntingan gambar. Setelah melakukan pengambilan gambar, cameraman
memilah gambar atau shot yang benar-benar diperlukan, membuang atau mendelete shot yang

tidak diperlukan. Kamera-kamera digital sekarang sudah memungkinkan untuk melakukan Edit
on Cam, ada fasilitas edit di dalamnya. A Roll merupakan editing linear dengan menggunakan
satu deck player dan satu deck recorder. Satu deck berfungsi untuk playback materi yang akan
diedit, satu deck lainnya untuk merekam hasil edit. Editing A Roll biasanya digunakan untuk
editing berita. Ada juga dalam satu alat, seperti laptop yang adalm satu alat tersebut sudah ada
dua deck serta dua monitor. Alat ini cocok untuk editing berita di lapangan. Di Indonesia,
statsiun Metro TV menggunakan alat ini. A/B Roll, beda halnya dengan A Roll pada alat editing
A/B Roll terdapat dua deck yang berfungsi sebagai player serta satu deck berfungsi sebagai
recorder. Jadi pada A/B Roll bisa ada dua materi shooting yang dikontrol untuk digabungkan ke
dalam satu materi editing. Baik pada A Roll maupun A/B Roll bisanya terdapat tombol
jog/shutle yang berfungsi untuk rewind maupun fast forward tape/kaset yang ada pada deck deck
tersebut. Tombol lainnya adalah tombol marking, untuk menandai timecode yang ada pada tape/
kaset yang akan digunakan pada hasil akhir editing.

Editing Non Linear
Editing Non Linear, editing dilakukan tidak secara urut. Editor bisa melakukan penyuntingan
gambar dari mana saja. Penyuntingan gambar tidak selalu mesti dilakukan dari awal. Jika
misalnya, melakukan penyuntingan gambar untuk program televisi materi editing yang lengkap
baru ada di segmen dua, maka editor bisa melakukan penyuntingan gambar segmen dua tersebut.
Hal ini tidak bisa aau sulit jika dilakukan menggunakan editing linear. Editing non linear

menggunakan seperangkat komputer serta deck. Jika dulu editing non linear mesti menggunakan
komputer khusus, saat ini PC biasa dengan spesifikasi tertentu sudah bisa dijadikan alat editing.
Bahkan beberapa laptop dengan software editing sudah bisa digunakan. Banyak software editing
non linear. Yang populer di antarnya Adobe Premiere, Canopus Edius, Avid, dan Final Cut Pro.
Kedua terakhir yang di sebutkan merupakan non linear editing paling banyak digunakan oleh
industri baik televisi maupun di rumah produksi.

Kelebihan lain dari editing non linear adalah proses trimming yang memungkinkan editor
melakukan koreksi in point dan out point pada setiap potongan serta sambungan gambar. Dengan
demikian akurasi penyambungan gambar akan sesuai dengan keinginan si editor. Kesalahan in
point bisa dikoreksi baik dikurangi maupun ditambah, hal ini tidak bisa dilakukan pada mesin
editing linear apalagi misalnya cutting atau shot yang dikoreksi berada di antara shot sebelum
dan setelahnya. Spesial efek baik efek transisi maupun efek dalam video di editing non linear
jauh lebih variatif, beberapa non linear editing memungkinkan mendapat digital video effect
lebih banyak lagi dari software tambahan atau plug ins. Digital video effect pada non linear
editing memiliki fasilitas mengkoreksi warna yang memungkinkan editor mengadjusting warna
yang diinginkan.
Manajemen Data
Pada editing non linear material atau rushes hasil shooting dan hasil editing disimpan di dalam
hardisk. Jadi ketika misalnya suatu saat diperlukan maka editor bisa meretrive/mengambil data

itu kapan saja. Beberapa software editing memiliki manajemen data yang baik, Avid Composer
misalnya ia tak hanya menyimpan data berdasar folder yang yang kita buat tapi memiliki folder
yang diciptakan oleh sistem editing itu sendiri. Ia juga memiliki folder penyimpanan otomatis
“attic” yang berfungsi menyimpan secara autosave yang kita bisa setting waktunya. Jika
misalnya terjadi mati lampu atau komputer hang maka kita bisa meretrive file yang dibuat secara
otomatis tersebut. Hingga saat ini penggunaan kaset atau tape sebagai penyimpanan data video
masih dilakukan. Generasi tapeless belum sepenuhnya mengubah cara konvensional ini. Baik
editing linear maupun non linear ketika hasil akhir menjadi master data baik master untuk tayang
maupun back up masih menggunakan tape sebagai media penyimpanan. Menyimpan data pada
tape atau di dalam hardisk yang tersambung dengan server memiliki kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Belum lama sebuah stasiun televisi nasional mengalami “kecelakaan” dimana
server sempat down, alhasil data-data yang tersimpan disana tidak bisa diakses. Karena tak
memiliki back up konvensional dalam bentuk kaset maka untuk beberapa hari terpaksa stasiun
tersebut menayangkan program secara re-run atau tayang ulang. Begitulah teknologi
komputerisasi, ternyata cara penyimpanan konvensional masih diperlukan utamanya sebagai

back up untuk mengatasi hal yang tidak diinginkan seperti kejadian di atas yang secara tak
langsung memang tak berkaitan dengan sistem editing linear atau non linear.
Mana yang Lebih Bagus?
Tidak serta merta editing non linear itu lebih baik dari editing linear. Kedua jenis editing ini

memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pada editing linear, penyuntingan gambar
dilakukan secara linear atau urut. Ia tak bisa melakukan editing bagian C jika bagian A dan B
belum dilakukan. Kelebihan pada editing linear, pengerjaan penyuntingan gambar akan lebih
cepat karena ada tahapan yang bisa dilewati dalam editing non linear, yakni tahap capturing atau
memindahkan data dari tape/kaset atau data di memory ke dalam komputer.

Editing non linear memiliki kelebihan dimana editor bisa melakukan editing dari bagian mana
yang siap ia kerjakan, koreksi atas hasil editing bisa dilakukan dengan mudah serta manajemen
data yang lebih baik karena data disimpan di dalam bentuk digital yang bisa diretrive kapan saja
untuk kemudian misalnya diambil, ditambah, atau dikurangi. Jadi, pilihannya tergantung dari
kebutuhan masing-masing pengguna apakah memerlukan mesin editing linear atau non linear
atau mungkin memerlukan kedua jenis editing tersebut.
Dari sisi kebutuhan karena beragam jenis acara serta format tayangan maka stasiun televisi akan
memerlukan kedua jenis alat editing ini. Teknologi semakin canggih, beberapa alat editing linear
ditambah dengan fitur-fitur yang sebelumnya hanya ada di editing non linear.

Seni Editing Part 2
3 April 2010 in Editing | by Diki Umbara | 2 komentar

Prinsip Editing Film & TV


Oleh Diki Umbara
Tujuan dari editing film bukan hanya pada kontinyuitas atau kesinambungan cerita saja, jauh dari
itu nilai dramatis tidah boleh diabaikan. Problem editing akan terjadi pada individual shot,
apakah dalam shot tersebut merupakan gambar diam atau bergerak, apakah fokus ada pada
foreground atau background, seberapa dekat subyek di dalam sebuah frame, apakah subyek
berada di tengah atau salah satu sisi frame, bagaimana dengan warna serta cahaya yang ada
dalam shot tersebut? Akan menjadi dramatis ketika shot sudah dijukstaposisi, shot ke dua harus
punya relasi atau hubungan dengan shot sebelumnya. Hubungan antar shot tersebut harus
diperhatikan oleh editor.
Film yang paling sederhana merupakan shot tunggal yang sudah merupakan rangkaian adegan,
misalnya : seorang laki-laki memasuki café lalu duduk dan memesan minuman. Akan tetapi bisa
jadi shot tunggal yang secara waktu merupakan waktu nyata/realtime ini menjadi tidak menarik,
karena tidak ada perubahan komposisi, perubahan sudut pandang, perubahan ritme. Kasus seperti
ini yang menjadi perhatian Griffith untuk mencoba membuat apa yang dinamakan dramatic
time. Waktu nyata atau real time bisa dilanggar dengan dramatic time, dengan menempatkan shot
lain bukan shot tunggal. Editor bisa menempatkan shot
Pemotongan Gambar
Ada dua jenis pemotongan gambar dalam editing, yakni cut dan transisi. Cut berarti perpindahan
dari satu shot ke shot berikutnya secara langsung, tanpa ada transisi sama sekali. Sedangkan
transisi atau effect transition , jenis sambungan yang menggunakan transisi/antara dari satu shot
ke shot berikutnya. Editor bisa menggunakan cut atau transisi tergantung dari dampak atau efek
apa yang diinginkan, karena secara prinsip penggunaan ke dua jenis transisi ini akan berbeda.
Misalnya, durasi film yang sama akan terasa lebih lama jika dalam fim tersebut menggunakan
efek transisi daripada penggunaan cut. Jenis pemotongan cut sendiri dibagi dua, yakni matched
cut dan cut away. Match cut berarti ada kesinambungan antar shot satu dengan cut shot
berikutnya. Sebuah sambungan atau cut dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Penyambungan
Editing tidak boleh membingungkan penonton, ini sebuah prinsip dasar yang harus dimiliki oleh
seorang editor. Ketika shot disambungkan satu sama lain sehingga menjadi satu rangkaian, maka
rangkaian shot tersebut harus dipahami oleh penonton. Barangkali, baiknya editor terlebih
dahulu memahami tentang prinsip penyambungan shot, yang terdiri atas : sequence shot, cutting
to continuity, classical cutting, thematic montage, dan abstract cutting.
Sequence Shot
Film atau adegan dibuat tanpa menggunakan pemotongan sama sekali atau no cut. Awalnya
metode ini dilakukan karena pada awalnya sejarah film, memang belum dikenal dengan
teknologi serta prinsip editing. Satu adegan direkam dalam satu shot, tanpa ada interupsi cutting.
Makanya pada saat itu film belum bisa dibuat dalam durasi yang panjang. Akan tetatpi, saat ini
sepertinya ini dijadikan sebuah model untuk pengambilan gambar secara khusus serta salah satu

metode editing. Satu rangkaian adegan dilakukan dalam satu shot tanpa ada pemotongan gambar
sama sekali. Misalnya saja, dalam sebuah naskah dituliskan sebuah adegan sebagai berikut :
Dalam sebuah kamar kost, Sari mengambil handphone di atas meja, mengambil tas, lalu
bergegas ke luar kamar. Sutradara yang menterjemahkan naskah ke dalam bentuk bahasa visual,
sebetulnya bisa membuat berbagai treatment shot sesuai dengan gagasannya. Contoh adegan di
atas misalnya, sutradara bisa membuat beberapa shot serta bisa jadi beberapa angle atau sudut
pengambilan gambar. Namun, dengan konsep sequence shot, sutradara hanya membuat satu shot
untuk rangkaian adegan tadi. Demikian juga dalam editing, editor tidak usah melakukan
pemotongan atau cutting jika itu dimaksudkan sebagai sequence shot.
Cutting to Continuity
Ketika kita menyambungkan satu shot dengan shot lainnya, seorang editor harus memiliki
motivasi atau tujuan yang jelas. Sebuah cerita atau adegan dirangkai dari beberapa shot. Cutting
to continuity merupakan sambungan atau cut digunakan untuk melanjutkan cerita, cutting to
continue teeling the story. Sebuah cut untuk menyambung scene dengan scene berikutnya.
Misalnya, ada beberapa shot sperti ini : 1. Secangkir kopi 2. CU seorang pria 3. Tangan yang
mengangkat cangkir kopi 4. Meletakan cangkir 5. Menghela nafas. Jika ke lima shot itu
disambung maka akan menghasilkan cerita, misalnya menjadi seorang pria yang sedang
meminum kopi. Dan ini yang dinamakan penyambungan untuk membuat satu cerita.
Classical Cutting
Kalau anda suka menonton sinetron atau film India, maka dipastikan kita akan melihat (baik
disadari atau tidak) satu konsep penyambungan gambar seperti ini, yakni classical cutting. Yakni
sebuah pemotongan untuk memperjelas, mendramatisir atau menggarisbawahi sesuatu (shot),
cutting to clarify, dramatize or underline the previous shot. Hampir sama dengan jenis
sambungan cutting to continuity, bedanya dalam jenis penyambungan ini diharapkan penonton
akan mendapatkan efek yang dramatis akan perpindahan gambar ini. Misalnya ada dua tokoh
yang sedang berantem dengan ekspresi muka yang marah. Editor melakukan penyambungan
beberapa kali pada ke dua tokoh tersebut dengan maksud untuk memperjelas bahwa ada konflik
di antara ke dua tokoh tersebut.
Thematic Montage
Sudah sejak dari jaman awal sinema, para sineas Russia telah mencoba beberapa eksperimen
penyambungan gambar. Dan yang paling polpuler yang mereka lakukan, dan hingga kini masih
berpengaruh pada para sineas dunia yakni metode penyambungan gambar thematic montage.
Yakni sebuah cut untuk menyambung satu cerita dengan cerita lain, sebuah cut untuk
menyambung sebuah tesis (shot) dengan tesis (shot) lain; cutting to connect one story to
another; cutting to argue one thesis to another.
Eksperimen ini dilakukan dengan cara menggabungkan satu cerita dengan cerita lain akan
menghasilkan cerita yang baru. Sineas Russia itu mencoba menggabungkan, satu cerita tentang
tentara dengan perlengkapan perang yang lengkap yang ke luar dari kapal perang. Di satu cerita

lain, petani gandum yang sedang panen. Ketika ke dua scne itu digabungkan, maka seolah-olah
akan terjadi invasi tentara pada petani gandum.
Abstract Cutting
Sebuah cut yang tidak untuk menyambung cerita, tidak untuk memperjelas atau mendramatisasi
atau menggarisbawahi sesuatu, juga tidak untuk menyambung satu cerita dengan cerita lain; juga
tidak untuk menyambung satu thesis dengan thesis lain, maka sebuah sambungan berfungsi
hanya sebagai sambungan belaka; cutting is cutting; cutting as cutting
NOTE: Penjelasan tentang metode penyambungan gambar ini akan saya coba jelaskan dengan
rinci lagi. Tulisan ini merupakan hasil diskusi di Editor Discussion League yang
diselenggarakan oleh AEI (Asosiasi Editor Indonesia) yang saat diskusi tersebut dimoderatori
oleh mas Sastha Sunu, salah seorang editor film serta dosen di IKJ. AEI, memiliki Board of
Director, antara lain: Sastha Sunu, Andhy Pulung Widagdo, W. Ichwandiardono, Aline Jusria,
Diki Umbara, Chandra Sulistiyanto, dan Ahsan Andrian

Seni Editing part 1
15 Desember 2009 in Editing | by Diki Umbara | 5 komentar
Seni Menyambung
Oleh Diki Umbara
Film yang kita tonton sebetulnya merupakan serangkaian ratusan atau bahkan ribuan gambar
yang sebelumnya disusun oleh editor. Gambar atau shot dipilih, dipotong, disambung, menjadi
sebuah adegan atau scene, scene itu digabungkan yang kemudian terbentuklah sebuah cerita
yang utuh. Shot-shot yang sebelumnya berserakan bagaikan sebuah fuzzle yang bisa jadi sulit
untuk dimengerti, ketika disusun terstruktur oleh seorang editor maka akan menjadi satu
tontonan yang menarik.
Memilih, memotong, menyambung, menggabungkan shot, tidak semata urusan teknis mekanis
sinematik, lebih dari itu akan menjadi urusan rasa atau sense. Nah, jika sebuah karya cipta
sudah menggunakan sense maka disadari atau tidak sudah masuk ranah seni. Oleh karena itu
editing sebagai bagian tahap proses pembuatan film penulis namai sebagai seni menyambung.
Tulisan Seni Menyambung ini merupakan artikel serial (sekitar 20 seri) yang diharapkan akan
menjadi sebuah buku sebagai referensi bagi peminat atau calon editor film di Indonesia.
Semoga bermanfaat.

Masa Awal Editing, Edwin S. Porter

Pada awal film pertama kali dibuat tidak mengenal editing, di masa ini film
berdurasi pendek sekitar satu menit. Namun ketika film sudah berdurasi panjang sekalipun,
seperti Méliès yang sudah berdurasi 14 menit belum ada editing di dalamnya. Film baru
merupakan satu shot saja, pada saat itu kamera merekam adegan tanpa ada interupsi pemotongan
shot sama sekali. Editing atau penyuntingan gambar pertama kali dilakukan pada film A Trip to
the Moon, percobaan ini dilakukan oleh Edwin S. Porter. Porter melakukan apa yang dinamakan
sebagai visual continuity, sebuah gagasan luar biasa yang hingga saat ini masih dianut oleh para
penyunting gambar. Dalam filmnya The Life of American Fireman, Porter membuat 20
rangkaian shot menjadi satu rangkaian cerita. Film ini sangat sederhana, seorang pemadam
kebakaran membantu menyelamatkan seorang ibu dan anak yang terjebak di dalam sebuah
gedung yang terbakar. Dengan durasi 6 menit, Porter memperlihatkan adegan menjadi sebuah
rangkaian dramatis penyelamatan ke dua orang itu. Porter melakukan intercut adegan
penyelamatan di dalam ruangan atau interior dengan gambar lain sebuah kebakaran eksterior
gedung. Penggabungan antara interior dengan eksterior tersebut membuat satu rangkaian yang
dinamis. Penonton akan mengira bahwa ibu dan anak tersebut bener-benar terjebak dalam
gedung yang terbakar, padahal eksterior gedung yang terbakar sebetulnya tidak ada ibu dan anak
tadi. Inilah yang dinamakan juxtaposition atau juksta posisi, yakni penempatan atau posisi shot.
Dengan jukstaposisi memungkinkan akan melahirkan nilai dramatis baru dibandingkan dengan
shot yang berdiri sendiri. Percobaan Porter tidak berhenti di situ, dalam film naratif The Great
Train Roberry, Porter melakukan eksplorasi lagi. Porter, memiliki andil cukup besar dalam
perkembangan konsep editing narrative continuity.
D.W. Griffith

Griffith, dialah mbahnya editing film pada masa modern ini dan karenanya
semua editor film pasti mengenalnya. Pengaruh Griffith tidak hanya pada perkembangan editing
di Amerika (baca: Hollywood) bahkan sampai pada Rusia. Kontribusi Griffith adalah editing
kontruksi dramatis, pengaruh variasi shot (extreme long shot, close up, cut away, tracking shot),
pararel cutting, serta langkah variasi. Percobaan yang dilakukan Griffith ini jauh lebih dahsyat
dibandingkan Porter, jika sebelumnya Porter telah menciptakan film secara naratif maka Griffith
benar-benar menyadari betul bagaimana juksta posisi memiliki peran yang sangat penting. Maka
tidak heran jika Griffith lebih populer ketimbang Porter. Dalam filmnya The Greaser’s Gauntlet,

Griffith melakukan penyambungan gambar dengan tipe shot yang berbeda dan penyambungan
tersebut benar-benar match dan ini menjadi titik tolak teori editing populer yakni match-cutting.
Berikutnya Griffith melakukan eksperimen lainnya di film Enoch Arden, shot pertama dia
gunakan long shot, kemudian medium shot dan terakhir close up. Hal ini dia lakukan dengan
alasan mengajak penonton secara emosional melihat secara gradual perubahan komposisi
gambar. Pada film ini juga Griffith mencoba melakukan penyambungan cutaway untuk
menciptakan nilai dramatis yang baru. Dia juga melakukan pararel cutting dengan scene atau
adegan lainnya. Eksperimen pararel cutting ini dia lanjutkan pada film The Lonely Villa. Dia
mencoba mengkontruksi sebuah scene dengan menyambung beberapa gambar dengan durasidurasi yang lebih pendek yang menjadikan scene tersebut menjadi lebih dramatis. Kontribusi
konsepsi editing ini banyak diikuti para film maker dan editor hingga saat ini, terutama setelah
dia berhasil secara dalam feature panjangnya The Birth of Nation, sebuah film epic perang. Inilah
mahakarya Griffith dimana semua gagasan konsepsi editing tercurahkan di sini.
Perkembanganpun terus berlanjut, pengaruh Griffith hamper sampai ke seluruh pelosok dunia,
salah seorang yang melanjutkan konsep Griffith adalah Pudkovin asal Russia.
Vsevolod I. Pudkovin

Pengaruh Griffith sampai juga pada filmmaker Rusia, akan tetapi ada inovasi
lain yang dilakukan oleh Pudkovin. Dia mencoba cara lain dari intuisi classical cuttingnya
Griffith, dalam bukunya Pudkovin menulis :
The film director [as compared to the theater director], on the other hand, has as his material,
the finished, recorded celluloid. This material from which his final work is composed consists
not of living men or real landscapes, not of real, actual stage-sets, but only of their images,
recorded on separate strips that can be shortened, altered, and assembled according to his will.
The elements of reality are fixed on these pieces; by combining them in his selected sequence,
shortening and lengthening them according to his desire, the director builds up his own “filmic”
time and “filmic” space. He does not adapt reality, but uses it for the creation of a new reality,
and the most characteristic and important aspect of this process is that, in it, laws of space and
time invariable and inescapable in work with actualitybecome tractable and obedient. The film
assembles from them a new reality proper only to itself.
Waktu dalam film dan ruang dalam film, menjadi cukup populer hingga kini. Saat itu Pudkovin
melakukan eksperimen bersama temannya Lev Kuleshov, dia mencoba shot yang sama untuk
juksta posisi dengan shot lainnya, dan ternyata memberikan pengaruh lain pada audiens. Pada
eksperimen ini dia menggunakan aktor Ivan Mosjukin, shot sang aktor dengan ekspresi yang
sama dicoba disambungkan dengan 3 shot berbeda yakni dengan : semangkuk soup di atas meja,
sebuah shot seorang mayat wanita dalam peti mati, dan gadis kecil yang sedang bermain dengan

mainannya. Dengan eksperimen ini ternyata penonton memaknai berbeda pada ekspresi Ivan
Mosjukin tadi, pertama dia terlihat seperti orang yang sedang sangat lapar karena berhadapan
dengan makanan, kedua dia kelihatan seperti suami yang sedang bersedih, dan ke tiga seperti
seorang ayah yang bahagia dengan anaknya.
Shot yang sama jika ditempatkan atau dijuktaposisi dengan shot yang berbeda ternyata
menghasilkan “ekspresi yang berbeda” dihadapan penonton, dan ini penting sekali. Jadi, ketika
editor melakukan penempatan satu shot dengan shot lainnya, dia harus memikirkan apa dampak
yang akan dihasilkan ketika shot tersebut disambungkan.
Sergei Eisenstein

Eisenstein adalah orang kedua yang berpengaruh dalam perfilman di Rusia, dia
merupakan sutradara besar. Dia sudah menjadi sutrdara di usia yang sangat muda saat itu. Latar
belakang Eisentein adalah teater dan desain, dia mencoba menerjemahkan konsepnya Griffith
dan Karl Marx. Percobaan pertama dia lakukan pada film Strike, Eisenstein menemukan lima
komponen teori penting dalam editing yakni : metric montage, rhythmic montage, tonal
montage, overtonal montage, dan intellectual montage. Eksposisi yang ditawarkan Eisenstein ini
dipaparkan secara detail oleh Andrew Tudor dalam bukunya yang terkenal Theories on Film.
Bersambung ke “Seni Menyambung Part 2″

Editing Part 2
10 Mei 2009 in Editing | by Diki Umbara | 3 komentar
Kontinyuitas Editing
Oleh Diki Umbara
Editor adalah seseorang yang melakukan penyuntingan gambar pada saat paska produksi. Jadi
editor, bekerja setelah proses produksi selesai. Namun kini, editor sudah dilibatkan bahkan
sebelum produksi dimulai. Oleh produser dan sutradara, editor diminta untuk memaparkan
konsep editing apakah yang akan digunakan pada saat nanti akan melakukan penyuntingan
gambar. Sebelum memaparkan konsep editing pada film yang akan dieditnya, seorang editor
harus memahami teori editing.
Editing atau menyunting adalah tehnik penggabungan beberapa shot tunggal menjadi satu
kesatuan cerita yang utuh. Editor menyusun shot-shot tersebut sehingga menjadi sebuah scene,

kemudian dari penyusunan scene-scene tersebut akan tercipta sequence sehingga pada akhirnya
akan tercipta sebuah film yang utuh. Seperti yang sudah saya jelaskan pada artikel sebelumnya,
yang dinamakan satu shot yakni dari mulai perekaman (ketika cameraman menekan tombol start)
sampai perekaman itu dihentikan, yakni sampai cameraman menekan tombol stop, tanpa
interupsi. Sedangkan scene artinya adalah adegan, yakni satu adegan dalam satu tempat atau
lokasi serta waktu yang sama. Dan sequence merupakan kumpulan dari beberapa scene, atau bisa
juga satu sequence merupakan satu scene juga.
Hal yang paling esensi atau mendasar yang dilakukan seorang editor ketika menyunting gambar
adalah bagaimana agar cerita dalam film tersebut bisa dipahami oleh penonton. Ini berarti
berkaitan dengan telling the story, bagaimana editor menceritakan kembali cerita yang sudah
ditulis oleh seorang script writer serta serta divisualkan oleh seorang sutradara. Editor
membangun rangkaian shot-shot ini menjadi satu kesatuan cerita yang berkesinambungan. Teori
ini dinamakan editing continuity, kontinyuitas editing ini berkaitan dengan kontinyuitas
pemotongan gambar atau cutting to continuity.
Editing Continuity
Metode editing continuity merupakan konsep editing cukup populer di kalangan editor, disadari
atau tidak bahkan banyak dilakukan oleh editor yang belajar dengan otodidak sekalipun. Secara
sederhana konsep editing dibagi dua yakni visible cutting dan invisible cutting. Editing
continuity masuk pada kategori invisible cutting. Dengan invisible cutting, penonton tidak
“melihat” atau merasakan adanya sambungan antar shot. Inilah dasar konsep editing continuity,
selain cutting untuk melanjutkan cerita juga bagaimana agar ada kesinambungan/matching antar
shot. Match atau kesinambungan antar shot inilah yang ditemukan oleh para leluhur film editing
semisal Edwin S. Porter serta Pudkovin yang melanjutkan kiprah G.W. Griffith sebelumnya. Dia
menemukan formula agar terjadi kesinambungan antar shot. Teori ini dinamakan three match
cut, yakni:
1. Matching The Look
2. Matching The Position
3. Matching The Movement
Matching The Look
Ini berkaitan dengan ruang dan bentuk, shot yang satu disambungkan ke shot berikutnya dengan
memperhatikan bentuk dan ruang. Ketika bentuk atau ruang tidak memiliki kesamaan, maka
hampir dipastikan sambungan tersebut akan terlihat. Dan ini yang dinamakan jumping,
sambungan menjadi visible atau terlihat.
Matching The Position
Kesinambungan secara posisi antara shot sebelum dengan shot sesudahnya. Editor harus melihat
apakah msalnya posisi subyek pada satu shot terdapat kesamaan dengan shot berikutnya atau
tidak. Jika tidak ada kesamaan maka sambungan antar shot akan terganggu, ini artinya
sambungan tersebut tidak match, tidak cocok.

Matching The Movement
Sambungan satu shot dengan shot berikutnya dilakukan jika ada kesinambungan secara
pergerakannya. Yang dimaksud pergerakkan di sini yakni pergerakkan subyek, pergerakkan
kamera, atau pergerakkan kedua-duanya.
Pada intinya, dengan memahami kaidah three match cut di atas maka penonton secara tidak
sadar akan merasakan kesinambungan cerita, penonton tidak akan merasakan adanya cut atau
sambungan antar shot. Agar setiap sambungan dibuat sehalus mungkin, usahakan agar ketika
melakukan penyuntingan gambar posisikan editor sebagai penonton, demikian saran Sastha Sunu
seorang Senior Film Editor yang juga diamini Cesa David dalam satu diskusi di EDL (Editor
Discussion League). EDL merupakan diskusi yang terbuka untuk umum yang dimotori oleh AEI
(Asossiasi Editor Indonesia), sayangnya diskusi ini sudah lama belum diselenggarakan lagi. AEI
dinaungi oleh Board of Director terdiri dari Sastha Sunu, Aline Jusria, Ahsan Adrian, Diki
Umbara,W. Ichwandiardono, Andhy Pulung, dan Chandra Sulistiyanto
Teori Lainnya
Hemmm….jadi editing itu ada teorinya ya? Yup tentu saja, dengan berbekal teori ini akan
memudahkan editor bagaimana merangkai shot-shot menjadi satu rangkaian cerita yang bisa
merekontruksi emosi penonton. Masih banyak lagi teori editing lainnya, misalnya tentang
juxtaposition yakni tentang penempatan posisi shot, itu akan berpengaruh pada cerita yang
dibangun oleh editor. Ada juga aliran atau teori Montange atau biasa juga disebut Sovyet
Montage. Yang ini tidak kalah seru, menurut teori ini ketika shot A digabung dengan shot B,
belum tentu menghasilkan cerita shot A + shot B tapi menjadi cerita shot C. Lainnya ada teori
New Wave, Andre Bazin, serta Lev Kuleshov. Menarik bukan? tentang teori yang lain akan saya
bahas di serial artikel editing berikutnya.