PENYELESAIAN PENGADILAN HAM AD HOC INDON

PENYELESAIAN PENGADILAN HAM AD HOC INDONESIA DALAM KASUS
PELANGGARAN HAM TANJUNG PRIOK
Virdatul Anif/ 8111416316
[email protected]
Pendahuluan
Sebut saja, kasus Tanjung Priok misalnya. Berbagai masalah yang
muncul dalam proses peradilan, dugaan suap untuk menuju islah, vonis bebas
bagi sang terdakwa hingga mekanisme kompensasi dan restitusi bagi korban
pelanggaran HAM di Tanjung Priok yang belum menemukan titik terang Untuk
Kasus Pelanggaran HAM Tanjung Priok di pilih kasus Terdakwa Kapten
Artileri Sutrisno Mascung, dkk.
Antara bulan Juli sampai Agustus 1984 kondisi politik di wilayah Kodim
0502 Jakarta Utara cukup Panas, Khususnya di bidang Sosial Budaya dan
agama karena dipicu oleh Penceramah-Penceramah yang menggunakan
sarana agama menghasut jemaahnya dengan ceramah yang cenderung
menghujat kebijakan Pemerintah atau aparat seperti Kodim dan Kepolisian
sehingga terbentuk opini yang melawan kebijakan pemerintahan Era Rezim
Soeharto.
Kebijakan pemerintah yang ditentang oleh Kelompok Jamaah Pengajian
disekitar kelurahan koja adalah Asas Tunggal Pancasila. Pada September 1984,
Tentara Indonesia menembaki masyarakat sipil yang melakukan aksi

demonstrasi di Tanjung Priok dan menewaskan puluhan orang. Lainnya
dihilangkan secara paksa, disiksa, ditangkap dan ditahan secara sewenangwenang, dan menjalani proses peradilan yang tidak adil. Pada tahun 2001, saat
yang sama dengan pembentukan pengadilan untuk Timor, Presiden
menerbitkan Keppres untuk pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kasus
Tanjung Priok. Namun hasilnya sama saja, dari 14 personel militer yang masih
aktif maupun telah pensiun, 12 dinyatakan bersalah, namun kemudian
semuanya bebas dalam tingkat banding.
Peristiwa Tanjung Priok terjadi pada tanggal 12 September 1984.
Peristiwa tersebut diawali dengan penahanan terhadap empat orang pengurus
mesjid di daerah Tanjung Priok, dan kemudian ceramah yang dilakukan oleh
beberapa Mubaligh, di antaranya Amir Biki, yang dihadiri ribuan massa.
Ceramah tersebut mengulas berbagai persoalan sosial politik yang terjadi di
Indonesia, seperti masalah asas tunggal, dominasi China atas perekonomian
Indonesia, pembatasan izin dakwah dan permintaan untuk membebaskan
orang-orang yang ditangkap tersebut. 1
Dalam Kasus Pelanggaran HAM Kasus Tanjung Priok yang terjadi pada 12
September 1984 merupakan Peristiwa lokal, namun secara menyeluruh
peristiwa tersebut merupakan pencerminan dari ketegangan politik yang
timbul ditingkat nasional sehubungan dengan kebijakan Pemerintah Orde Baru
untuk menjadikan Pancasila sebagai satu satunya “Asas Tunggal” dalam

kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang dipahami sebagian
masyarakat sebagai ancaman terhadap agama yang
mereka peluk.
Pemerintahan orde baru Era Soeharto, Selaku yang membuat bkebijakan
pemberlakuan berbagai kebijakan politik seperti pemberlakuan asas tunggal
pancasila, pelarangan penggunaan Jilbab, dan pelaranggan penggunaan KB
yang selalu ditentang oleh masyarakat, khususnya masyarakat islam di tanjung
1

”Sakralisasi Ideologi Memakan Korban” (Sebuah Laporan Investigasi Tanjung Priok), Kontras,
April 2001 dan “Laporan Akhir Tim Pengkajian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Soeharto Pada
Kasus Tanjung Priok”, Komnas HAM, Januari-Maret 2003.

priok, untuk mensosialisasikan dan melaakukan pendekatan persuasive kepada
masyarakat setempat.
Purwodarminto menyebutkan bahwa hak adalah sesuatu yang benar dan
berhubungan dengan milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu
karena ditentukan oleh undang-undang, kekuasaan yang benar atas sesuatu
untuk menuntut sesuatu.2 Dengan demikian hak merupakan unsur normatif
yang melekat pada diri setiap umat manusia yang berfungsi sebagai pedoman

berperilaku, melindungi kebebasan, serta menjamin harkat dan martabat
sesuai kodratnya.3
HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia yang bersifat universal, sehingga harus dihormati dan dilindungi
dalam suatu peraturan perundangan. Di samping HAM, diperlukan adanya
Kewajiban Dasar Manusia (KDM) 4sebagai penyeimbang dalam menjalankan
roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Eksistensi HAM
tidak terlepas dari pengakuan terhadap adanya Hukum Alam yang menjadi
cikal bakal kelahirannya. Marcus G Singer menyebutkan bahwa Hukum Alam
merupakan suatu konsep dari prinsip-prinsip umum moral dan sistem keadilan
dan berlaku untuk seluruh umat manusia.5
Istilah HAM untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Eleanor Roosevelt
selaku ketua Komisi HAM PBB, ketika merumuskan UDHR. 6 Menurut Jean
Pictet, dalam UDHR tersebut mengandung prinsip-prinsip HAM yang berlaku
secara umum yaitu :7Principle of inviolability Principle of non discrimination,
Principle of security, Principle of liberty, Principle of sosial well being.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa HAM bukanlah suatu konsep yang
seratus persen netral, dimana banyak sekali terjadi titik singgung dengan halhal yang universal. 8 Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM,
menyebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap manusia demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat kemanusiaannya. Pengertian HAM dalam
Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM tersebut juga sama
9
dengan pengertian HAM dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian HAM di Indonesia
telah ditetapkan sebagai pengertian yang baku atau standar yang telah
ditetapkan dalam suatu peraturan perundangan yang berlaku.
Pengertian pelanggaran HAM berat terdapat dalam penjelasan Pasal 104
ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang pada dasarnya
2

Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indoensia, Tanpa Penerbit, Jakarta, 1995, hlm. 98.
James W. Nickel, Hak Asasi Manusia : Refeksi Filosofs Atas Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm. 24.
4
Kewajiban Dasar Manusia (KDM) menurut Pasal 1 ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 diartikan
sebagai seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan
terlaksana dan tegaknya HAM

5
Peter Davier, Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1994, hlm. 21.
6
Kartini Sekartadji, Perkembangan HAM dalam Perspektif Global, BP UNDIP, Semarang, 1999,
hlm. 1.
7
Jean Pictet, The Principle of International Humanitarian Law, 1966, hlm. 10.
8
Satjpto Rahardjo, Pembahasan Sosiologis Hak Asasi Manusia, Makalah dalam Seminar
Nasional HAM diselenggarakan Fakultas Hukum UNDIP, 1993, hlm. 5.
9
Lihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan ketentuan
Pasal I ayat (1) UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
3

menyatakan : “Pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan massal (genocide),
pembunuhan
sewenang-wenang
atau

di
luar
putusan
pengadilan
(arbitrary/extra judial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa,
perbudakan, deskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic
descrimination). Pelanggaran HAM Berat yang diatur dalam UU No. 26 Tahun
2000 adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dengan demikian UU No. 26 tahun 2000 memiliki kesamaan dengan Statuta
ICTR 1994 yang hanya mengklasifkasikan genocide dan crimes against
humanity sebagai pelanggaran HAM berat.
Aspek Pasal yang dilanggar dalam Peristiwa Pelanggaran HAM Tanjung
Priok antara lain Pasal 6 ( Hak untuk Hidup ), Pasal 7 ( Hak bebas dari
penyiksaan ), Pasal 8 ayat 1 dan 2 ( hak bebas dari perbudakan dan
diperhamba), Pasal 18 ( hak kebebasan berpikir, memeluk keyakinan dari
agama).
Analisis Aturan Hukum
Dasar aturan Hukum yang digunakAn sebagai dasar untuk memberikan
legal opinion dalam permasalahan ini antara lain
1. Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

2. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
3. UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
4. UU No. 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
( KKR )
5. Kepres No. 53 Tahun 2001 di perbaharui dengan Kepres No. 96 Tahun
2001 tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc atas kasus
Pelanggaran HAM berat Tanjung Priok
6. Kitab Hukum Undang Undang Pidana ( KUHP )
A. UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap manusia demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat kemanusiaannya.
B. UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM merupakan pengadilan
khusus yang berada dibawah peradilan umum,10 dan merupakan lex
specialis dari Kitab Undang Hukum Pidana. Pengadilan ini dikatakan
khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara
spesifk menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan
pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu. Kejahatankejahatan yang merupakan yurisdiksi pengadilan HAM ini adalah

kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang
keduanya merupakan pelanggaran HAM yang berat.
C. UU No. 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
( KKR ), dengan terbentuknya UU KKR ini, penyelesaian penanganan
kasus pelanggaran HAM berat masalalu tidak hanya diselesaikan lewat
pengadilan HAM ad hoc saja, tetapi juga lewat KKR. Dengan landasan
TAP MPR No. V/MPR/2000 dan UU No. 26 tahun 2000 tentang
pengadilan HAM, Pasal 47 ayat (1) dan (2), tetapi belum semapt
komisioner dan mandate dari UU ini dibentuk dan dilaksanakan, UU ini
telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui keputusan No.
006/PUU-IV/2006 setelah sejumlah LSM mengajukan peninjauan
10

Pasal 2 UU No. 26 Tahun 2000

kembali ( Judical Review ) terhadap UU KKR karena dinilai bertentangan
dengan UUD 1945. Salah satu Pasal yang sangat Krusial adalah Pasal
29 ayat 2 UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR, menurut ketentuan
tersebut, walaupun pelaku mengakui kesalahannya dan bersedia
meminta maaf, tetapi dalam hal ini pihak korban atau keluarga

korbanpun harus sama sama bersedia memaafkannya, baru kemudian
KKR dapat memutuskna pemberian rekomendasi secara mandiri dan
objektif.
D. Kepres No. 53 Tahun 2001 di perbaharui dengan Kepres No. 96 Tahun
2001 tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc atas kasus
Pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Hasil dari Rekomendasi DPR RI
memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk mengeluarkan
Keputusan Presiden (Kepres) tentang pembentukan pengadilan HAM ad
hoc atas kasus pelanggaran HAM Timor Timur dan Tanjung Priok, kedua
kasus ini dijadikan satu paket berdasarkan Kepres tersebut.
Uji Syarat
Terjadinya gejolak bentrok bersenjata tajam antara penduduk sipil dan
para aparat kodim Jakarta utara menjadikan bukti nyata kurang sigapnya
Pemerintahan orde Baru menerapkan dan mendeklarasikan Status Hukum
keadaam darurat diwilayah koja, Tanjung Priok. Seharusnya menerapkan
Doktrin Self Preservation versus Self Defence atau juga menggunakan Doktrin
Immediacy , namun Pemerintah orde baru tidak menerapkannya.
Penggunaan Doktrin Self Preservation versus Self Defence , menurut
Doktrin Self defence, Negara dengan sendirinya memiliki kekuasaan “Reserve”
atau cadangan yang sewaktu waktu dibutuhkan dapat digunakan demi

kepentingan umum seluruh rakyatnya sendiri. Dalam Perspektif “Self
Preservation” tersebut, apabila suatu negara menghadapi ancaman yang
membahayakan eksistensi atau kedaulatannya sebagai negara merdeka atau
mebahayakan keselamatan warga negaranya, negara yang bersangkutan
dianggap dapat bertindak apa saja dan dengan cara apa saja, terlepas dari
persoalan legalitas cara yang ditempuh menurut hukum internasional. 11 Bicara
tentang Self Defence dapat digunakan untuk membela diri dan bila perlu
melakukan serangan pamungkas ( Preemptive ) .12
Penggunaan Doktrin Immediacy ( Kemendesakan Waktu ), Menurut Jimly
Asshidiqie didasarkan atas pengertian bahwa tidak boleh ada jarak antara
waktu datangnya serangan bersenjata dengan berlakunya prinsip “Self defence
( Pertahanan )”.13 Dalam keadaan demikian, tentu tidak ada waktu dan
relevansinya sama sekali untuk melakukan pembahasan atau perdebatan
mengenai kebijkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden
selaku kepala negara dan Pemerintahan. Terdapat dua prinsip dalam Doktri
tersebut yaitu prinsip eksternal dan internal. Prinsip eksternal antara lain (i)
adanya “Necessity of self defence” yang perlu dilakukan, (ii) adanya ancaman
yang sifatnya mendadak dan mendesak, (iii) tidak tersedia waktu yang cukup
untuk pembahasan dengan parlemen, dan (iv) tidak tersedia alternative alin
yang lebih baik dan lebih efektif untuk mengatasi keadaan yang bersangkutan.

Sekalipun kondisi pada saat itu dalam keadaan bahaya secara de facto,
harusnya pemerintah sebelum atau selama peristiwa terjadi, dengan
mengambil sikap tegas mendeskripsikan status hukum “Keadaan darurat Sipil”
11

Dr. Binsar Gultom, Op cit, hlm. 17.
Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2005, hlm. 251.
13
Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, PT Raja Grafndo Persada, Jakarta, hlm. 94.
12

dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(PERPU). Dengan diterapkannya status hukum keadaan darurat dengan
tingkatan keadaan darurat sipil diwilayah tanjung priok , setidaknya
pemerintah orde baru tidak akan dituduh bersikap dictator menyelesaikan
suatu masalah. Namun, karena Pemerintah orde baru menutupi status hukum
keadaan darurat di tanjung priok, akan tetapi kemudian pada akhirnya
keadaan darurat ditanjung Priok terkesan menjadi State of Emergency de
facto yang pengawasannya sulit dipantau masyarakat dan dunia internasional.
Akibatnya Pemerintah orde baru dituding melakukan pelanggaran HAM .
Hal ini dapat dibuktikan karena dalam praktik telah terjadi penangkapan dan
penahanan rakyat sipil tanpa surat resmi dan telah terjadi penyiksaan selama
mereka dalam tahanan jeruji besi, serta penguburan massal para korban
ditengah malam tanpa penerangan tanpa sepengetahuan sanak keluarga
mereka. Hal itu juga membuktikan bahwa selain aparat Kodim tidak
professional dalam melaksanakan tugasnya, juga telah terjadi penyalahgunaan
wewenang bertindak. Hal ini jelas sangat mengusik nilai nilai HAM sebagaiman
diatur dalam Pasal 28 I UUD 1945 mengenai non derogable Rights ( hak yang
tidak dapat dikurangi).
Kategori Pelanggaran HAM yang terjadi pada kasus Tanjung Priok 14 yaitu
Pembunuhan secara kilat ( Summary Killing ), Penangkapan dan penahanan
sewenang wenang ( Unlawful arrest and detention ), penyiksaan ( Torture) ,
Penghilangan orang secara paksa ( Enforce or Involuntary dis appearance )
serta pelaku dan penanggung jawab. Dalam pertanggungjawaban, mengacu
pada Prinsip atau Doktrin Pertanggungjawaban Komando ( Command
Responsibilty ) terdapat 2 aspek tindakan yang diabaikan oleha parat militer
sebagai pelaku dan penanggung jawab peristiwa pelanggaran Ham tanjung
priok, yaitu 15 (a) Aspek secara langsung melakukan tindakan yang tidak
memenuhi prosedur baku sebagaimana peristiwa yang terjadi dilapangan.
Akibatnya telah terjadi penghilangan barang bukti, penyiksaan, tindakan terror
dan intimidasi terhadap para korban. (b) tidak mengambil tindakan tindakanm
yang dapat mencegah terjadinya peristiwa tersebut sesuai dengan
kewennagan yang dimiliki berdasarkan jenjang komando. Aspek ini
menyangkut kelalaian aparat yang tidak dapat mengendalikan pasukannya.
Dalam Praktiknya pelanggaran HAM berat Tanjung Priok ditangani oleh
Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ( HAM ), untuk kasus pelanggaran HAM
berat Tanjung Priok, atas nama terdakwa mantan Danru III Yon Arhanudse-06
Kapten Art. Sutrisno Mascung, menurut pertimbangan putusan Majelis Hakim
Agung Kasasi atas nama terdakwa Sutrisno Mascung, mengatakan : “Tuntutan
jaksa Penuntut Ad Hoc pada Kejaksaan Agung RI TIDAK DAPAT DITERIMA”.
dengan alasan penembakan yang dilakukan para terdakwa bersifat sendiri
sendiri tanpa komando yang dilakukan secara spontan, bukan tindakan tang
direncanakan sebelumnya. Terdakwa tetap dianggap bertanggung jawab
secara pribadi ( Individual Responsibility ) bukan Superior Responsibility.
Dengan Demikian, perbuatan para terdakwa bukan merupakan kejahatan
pelanggaran HAM, namun merupakan kejahatan biasa ( Common Crime )
sehingga mengenai adanya kompensasi menjadi tidak jelas, apakah
kewenangan untuk mengadili ( Praejudicieel geschile ) masuk Common Crime
14

A.M. Fatwa, Pengadilan HAM Ad hoc Tanjung Priok, Pengungkapan Kebenaran untuk
Rekonsiliasi Nasional, Dharmapena Publishing, Jakarta, 2005, hlm. 262.
15
Ibid., hlm. 261.

atau pelanggaran HAM berat ( Extra ordinary Crime ) menjadi dubius
( dipertanyakan).16
Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta tingkat yang mengadili kasus
pelanggaran HAM berat Tanjung Priok adalah berdasarkan Kepres No. 53 Tahu
2001 yang diperbaharui dengan Kepres No. 96 Tahun 2001 tentang
pembentukan pengadilan HAM ad hoc atas kasus pelanggaran HAM berat
Tanjung Priok, maka keluarlah “Putusan Sela”. Jika Hakim Kasasi MA
berpendapat bahwa kasus pelanggaran HAM tersebut merupakan “Pidan biasa”
seharusnya hakim kasasi dalam pertimbangannya harus membatalkan terlebih
dahulu “Putusan Sela” pengadilan HAM ad hoc atas terdakwa Sutrisno
Mascung, dkk yang mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM berat Tanjung
Priok bukan merupakan kompetensi kewenangan mengadili pengadilan HAM ad
hoc sekaligus membatalkan Kepres No. 53 yang telah diperbaharui dengan
Kepres No. 96 tahun 2001 tersebut lewat uji materi ( Judical Review ), namun
masih dipertimbangkan oleh MA. Jika menurut pertimbangan majelis kasasi MA
memang terdakwa terbukti melakukan tindak pidana secara individual bukan
komando, mestinya sesuai rasa keadilan et equo et bono.
Adapun pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat para terdakwa
adalah ketentuan-ketentuan mengenai pertanggungjawaban komando (Pasal
42 ayat (1)) dan pertanggungjawaban individual (Pasal 37 UU No. 26 Tahun
2000), berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan para
terdakwa, yaitu berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan, perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fsik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasioanal,
penyiksaan, dan penganiayaan dan penghilangan orang secara paksa ( Enforce
or involuntary dis appearance ).
penggunaan pasal-pasal KUHP. Pasal-pasal dalam KUHP yang digunakan
adalah pasal-pasal yang terdapat dalam Ketentuan Umum (Buku I). Dalam
surat dakwaan terhadap terdakwa Sutrisno Mascung, dkk, pasal KUHP yang
digunakan dalam dakwaan kesatu dan kedua adalah Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP. Dalam surat dakwaan terhadap Sriyanto, pasal-pasal KUHP yang
digunakan adalah Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 53 ayat (1) KUHP.
Putusan Pengadilan dalam kasus Tanjung Priok menghasilkan dua jenis
putusan yang satu sama lain saling bertentangan. Pertama, putusan yang
menyatakan bahwa dalam peristiwa Tanjung Priok telah terjadi kejahatan
terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan dan
penyiksaan sebagaimana yang didakwaan Jaksa Penuntut Umum16. Kedua,
putusan pengadilan yang menyatakan bahwa dalam peristiwa Tanjung Priok
tidak terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam putusan pertama, Majelis
Hakim menyatakan bahwa unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan telah
terbukti secara sah dan meyakinkan. Menurut Majelis Hakim, unsur-unsur yang
terbukti dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa Tanjung Priok
adalah : adanya serangan, ditujukan terhadap penduduk sipil, serangan yang
meluas atau sistematik. Sedangkan dalam putusan model kedua, unsur-unsur
tersebut tidak terpenuhi. Mengenai unsur meluas atau sistematik ini, Majelis
Hakim menyatakan bahwa fakta yang diungkapkan Jaksa Penuntut Umum yang
didasarkan pada bukti-bukti yang ditemukan di persidangan, bukan merupakan
bukti adanya serangan sistematik atau meluas sifatnya yang merupakan unsur
dari kejahatan .
16

Lihat Putusan Kasasi Mahkamah Agung atas nama terdakwa Kapt. Art. Sutrisno Mascung,
dkk., No. 09K/Pid.HAM.Adhoc/2002, tanggal 28 februari 2006, hlm.34-49.

Dalam hal ini Terdakwa Sutrisno Mascung dkk mendapatkan tuntuyan
jaksa 10 tahun penjara ( 9 Juli 2004 ), Vonis Pengadilan Negeri 3 Tahun ( 20
Agustus 2004) dengan mengabulkan kompensasi terhadap korban
Rp.
1.015.500.000, Vonis Putusan Bebas pada 31 Mei 2005, dengan vonis kasasi
tidak dapat diterima. 17 Untuk kasus ini dapat dikategorikan kedalam syarat
alternative karena dalam kasus tersebut melanggar berbagai peraturan hukum
yang ada dalam UU.
Kesimpulan
Dalam Praktik di Indonesia, ketika pengadilan kasus kasus pelanggaran
HAM berat Kasus Tanjung Priok, sebenarnya proses persidangannya telah
berjalan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya Dasar hukumkm
mengadili kasus tersebut adalah UU No. 26 tahun 2000 dan UU No. 39 Tahun
1999. Kasus Tanjung Priok tahun 1984 pada saat itu terjadi dalam keadaan
darurat secara defacto adalah sangat bertentangan dengan prinsip hukum
ketetanagaraan baik nasional dan internasional. Sehingga tindakan Pemerintah
ORBA ketika itu dapat dikualifkasi sebagai peraturan yang emlanggar hukum.
Putusan pelanggaran HAM berat , denagn dibebaskannya terdakwa kasus
pelanggaran HAM oleh pengadilan HAM Indonesia memunculkan kekecewaan
masyarakat Indonesia maupun internaisonal. Disini pemerintah Indonesia
terkesan “tidak mampu” mempertahankan integritasnya untuk menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ashiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara Darurat. Raja Grafndo Persada. Jakarta.
Davier, Peter.1994.Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai.Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.
Fatwa, A.M. 2005. Pengadilan HAM Ad hoc Tanjung Priok, Pengungkapan
Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional. Dharmapena
Publishing. Jakarta.
Gultom, Binsar. 2010.Pelanggaran HAM dalam Hukum keadaan darurat di
Indonesia : mengapa pengadilan HAM ad hoc Indonesia kurang
efektif?. Gramedia. Jakarta
Mulya, Todung Lubis. 2005. Jalan Panjang Hak Asasi Manusia. PT Gramedia.
Jakarta.
Nickel, James W. 1996. Hak Asasi Manusia : Refeksi Filosofs Atas Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Sekartadji, Kartini .1999.Perkembangan HAM dalam Perspektif Global. BP
UNDIP. Semarang.
Pictet, Jean.1996. The Principle of International Humanitarian Law.
Rahardjo, Satjipto.1993.Pembahasan Sosiologis Hak Asasi Manusia, Makalah
dalam Seminar Nasional HAM diselenggarakan Fakultas
Hukum UNDIP
PERUNDANG UNDANGAN
UUD RI TAHUN 1945
UU No. 26 Tahun 2000
UU No. 39 Tahun 1999
UU No. 27 Tahun 2004
KUHP

17

Putusan Pengadilan HAM Ad hoc Jakarta Pusat, Putusan Pengadilan Tinggi HAM DKI Jakarta
dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Tahun 2004-2006.