NAFKAH WANITA Dan Hak Nafkah Ana

KONSEP KERJA
KELUARGA

DAN

PERAN

MAJEMUK

WANITA(ISTRI)

DALAM

MEMBANTU

SUAMI

MENAFKAHI

Posted on 13/05/2012 by BantuanHukumFakhrazi
wordpress.com

Dengan kata lain, hak dan kewajiban yang timbul sebagai konsekwensi dari suatu perkawinan yang harus diterima dan ditunaikan
sebagaimana mestinya oleh kedua belah pihak ( Suami-Istri ). Apa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak yang harus
diterima istri, begitu pula sebaliknya, apa yang menjadi kewajiban dari istri itu merupakan hak yang harus diteriman suami, dan
diantara kewajiban suami terhadap istri adalah memberi nafkah, denga bekerja untuk mencukupi segala kebutuhan istri dan anakanaknya.[1]
Namun pada saat sekarang tidak sedikit ditemukan bahwa kaum wanitalah yang bekerja diluar rumah mencari penghidupan
seperti halnya kaum laki-laki bahkan tidak sedikit dari mereka yang berhasil bahkan menjadi penopang hidup utama keluarganya
dan menggantikan posisi suami.
Meski bukan fenomena baru, namun masalah wanita bekerja ( Berkarir ), nampaknya sampai saat ini masih menjadi perdebatan,
bagaimanapun, masyarakat masih memandang bahwa keluarga ideal adalah keluarga yang dinafkahi melalui hasil kerja suami
yang bekerja diluar rumah sedangkan istri dirumah dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan masih dianggap wanita yang
bekerja diluar rumah adalah bukan kodratnya, maka dari itu menarik jika karya ilmiyah ini sedikit membahas tentang konsep kerja
dan peran majemuk perempuan dalam membantu suami menafkahi keluarga yang seharusnya menjadi hak seorang istri dari hasil
perkawinan dan menjadi tanggung jawab dari seorang suami.
1. B. Pengertian Nafkah dan Dasar Hukumnya
Secara etimologi kata Nafkah berasal dari kata ”Nafaqa-yanfiku” yang berarti ( laku, lari ) atau ( habis dan Musnah) adapun kata
Nafkah adalah kata benda ”Nafaqah” bentuk ism dari kata Infaq yang berarti harta yang dinafkahkan, kata nafkah juga berarti
bekal, maka dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa nafkah berarti sesuatu yang berikan terhadap istri oleh suami baik
berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya
Adapun secara terminologi kata nafkah diartikan oleh para ulama dengan rumusan yangberbeda :
1. Menurut Imam Malik bin Anas, pelopor Madzhab Maliki, Nafkah adalah sesuatu berupa makanan yang biasa mencukupi

keadaan ( kebutuhan ) manusia dengan tidak melampaui batas.
2. Menurut Al-Khatib al-Syarbini, Pengikut Madzhab Sayafi’i, Nafkah adalah pengeluaran seseorang berupa perbekalan
bagi orang yang nafkahnya wajib ditanggungnya, seperti roti, lauk pauk, pakaian,tempat tinggal, dan apa-apa yang serupa
dengannyaseperti air, minyak, lampu, dan sebagainya.
Dari dua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Nafkah adalah segala kebutuhan manusia yang
mencakup tiga aspek penting yang terdiri dari sandang, pangan, dan papan, serta hal-hal yang berkaitan dengannya.
Adapun dasar hukum nafkah sebagai kewajiban suami kepada istri mendapat legitimasi dari teks-teks Al-Qur’an dan Al-hadits
bahkan dari Ijma’ serta dalil-dalil dari ilmu perundang-undangan. Ini menandakan bahwa persoalan nafkah dalam keluarga
mendapatkan perhatian oleh agama dan juga dimata undang-undang.
v Al-Qur’am Surat Al-Baqarah (2) : 233
Artinya :
”Dan ibu hendaklah menyusuhkan anak-anaknya selama dua tahun penuh,yaitu bagi ibu yang ingin menyempurnakan
penyusuannya, dan seorang yang berkewajiban memberi makan dan pakaian para ibu dengan cara yang ma’ruf ( sesuai dengan
kebutuhan ) seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah, karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih ( sebelum dua tahun ) dengan kerelaan keduannya dengan permusyawaratan, maka tidak ada dosa buat keduanya dan
jika kamu ingin anakmu disusuhkan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut, bertaqwalah kepada Allah Maha apa yang kamu kerjakan”[2]
Dari ayat diatas dapat dilihat kandungan bahwasanya Allah SWT memerintahkan kepada sang ibu untuk melengkapi
persususannya selama dua tahun penuh jika kedua orang tuanya menghendaki, dan bagi ayah hendaklah memenuhi segala

kebutuhan sang istri ( Ibu ) yang sedang menyusui anaknya agar dapat menjalankan tugas dengan baik. Adapun nafkah diberikan
kepada istri sesua dengan cara yang ma’ruf dan sesuai dengan kemampuan suami, sebab Allah Ta’ala tidak akan membebani
hambanya kecuali dengan kesanggupannya.
Hadits Riwayat Muslim

ُ ‫ي فَقُ ْل‬
‫ت أَنَا ُم َح َم ُد بْنُ َعلإى ب إْن ُح َسي إْن فَأ َ ْه َوى بإيَ إد إه إإلَى‬
َ َ‫ع َْن َج ْعفَ إر ب إْن ُم َح َم ٍد ع َْن أَبإ ْي إه قَا َل َد َخ ْلنَا َعلَى َجابإ إر ْب إن َع ْب إداإ فَ َسأ َ َل َع إن ْالقَوْ إم َحتَى إإ ْنتَهَى إإل‬
َ
ُْ‫اش ْئتَ فَ َسأَلَته‬
َ
َ
َ ‫َر ْأ إس ْي فَنَ َز َع إز ِرى ْالَ ْعلَى ثُ َم نَ َز َع زَ رِ ى ْالَ ْسفَ إل ثُ َم َو‬
‫ي َوأَنَا يَوْ َمئإ ٍذ ُغلَ ٌم َشابٌ فقا َل َمرْ َحبًا بإكَ يَااإب إْن أ إخى َسلْ َع َم إ‬
َ ‫ض َع َكفَهُ بَ ْينَ ثَ ْديإ‬
َ
َ
َ
ُ ‫ فَقُ ْل‬.. ‫َوه َُو أَ ْع َمى‬
َ ‫صلى اُ َعلَ ْي إه َو َسل َم َم َك‬

‫ث تإ ْس َع إسنإ ْينَ لَ ْم‬
َ ‫صلَى اُ َعلَ ْي إه َو َسل َم فَقَا َل بإيَ إد إه فَ َعقَ َد تإ ْسعًا إإ َن َرسُوْ َل اإ‬
َ ‫ت أَ ْخبإرْ نإى ع َْن ُح َج إة َرسُوْ إل اإ‬
ْ َ‫اس فإى ْال َعا إش َرة … فَأَتَى ب‬
ْ َ‫ … فَاتَقُوْ ا اَ فإى النِ َسا إء فَإإنَ ُك ْم أ‬: ‫ب النَاس َوقَا َل‬
‫ان اإ َوا ْستَحْ لَ ْلتُ ْم‬
َ َ‫ط َن ْال َوا إدى فَ َخط‬
‫خَذتُ ُموْ ه َُن بإأ َ َم إ‬
‫يَ ُح َج ثُ َم أَ َذنَ فإى النَ إ‬
ْ
َ
ُ
ُ
‫ضرْ بًا َغيَر ُمبَرِ إء َولَه َُن َعلَ ْي ُك ْم إر ْزقه َُن َو إكس َْوتُه َُن‬
َ ‫فُرُوْ ُجه َُن بإ َكلإ َم إة اإ َولَ ُك ْم َعلَ ْي إه َن أ ْن لَ ي ُْؤ إط ْئنَ ف ُر َس ُك ْم اَ َح ًد تَ ْك َرهُوْ نَهُ فَإ إ ْن فَ َعلنَ َذلإكَ فَاضْ إربُوْ ه َُن‬
(‫ف )رواه مسلم‬
‫بإ ْال َم ْعرُوْ إ‬

Dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya berkata :
”Kami menemui Jabir bin Abdillah dan dia bertanya tentang sesuatu kaum sampai pada akhirnya aku mengatakan bahwa aku

adalah Muhammad bin Ali bin Husain, lalu dia ( Jabir bin Abdillah ) meletakan tangannya diatas kepalaku, kemudian dia
melepaskan kancing bajuku bagian atas setelah itu bagian bawah dan meletakkan kedua telapak tangannya diantara kedua
dadaku, sedangkan aku ketika itu masih remaja, lalu berkata : ”selamat datang wahai anak saudaraku, tanyalah apa saja yang
hendak kau tanyakan, kemudian aku bertanya kepadanya sementara dia adalah seorang yang buta” aku bertanya : ceritakanlah
kepadaku tentang haji Rasulullah Saw. Dia menjawab sambil menunjukan sembilan jarinya dan berkata : sesungguhnya
Rasulullah Saw telah menetap ( di Makkah ) selama sembilan tahun dan beliau belum melaksanakan haji lalu beliau mengijinkan
( para sahabat ) untuk berhaji pada tahun kesepuluh hijriyah ( dan ketika beliau sedang haji ) beliau mendatangi sebuah lembah

dan menyampaikan khutbah kepada ummat dan mengatakan : ”hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dalam urusan
permepuan, karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan kalimat Allah. Wajib bagi mereka ( istri-istri ) untuk
tidak memasukan kedalam rumahmu orang yang tidak kamu sukai, jika mereka melanggarnya maka pukullah mereka tetapi
jangan sampai melukai dab mereka berhakmendapatkan belanja dari kamu dan pakaian dengan cara yang ma’ruf ( baik )” [3]
Secara umum hadits diatas menceritakan tentang kisah haji wada’ Rasulullah Saw bersama sahabat sahabatNya dimana ketika itu
beliau menyampaikan khutbah yang isinya antara lain untuk selalu menjaga hak-hak kaum wanita serta memberinya
wasiat/wejangan dan mempergaulinya dengan baik, hal ini dikarenakan seorang laki-laki telah berjanji diatas nama Allah telah
jadikan wanita itu halal baginya. Hadits diatas juga mencakup kewajiban bagi suami untuk memberikan nafkah dan pakaian
kepada istri.
v Dalam KHI ( Kompilasi Hukum Islam ) di Indonesia telah telah mengatur hak dan kewajiban suami-istri yang harus dipenuhi
bersama antara lain telah ditetapkan dalam KHI pasal 77 adalah sebagai berikut :
1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang

menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat
2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada
yang lain.
3. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak mereka, baik mengenai pertumbunhan jasmani,
rohani maupun kecerdasanya dan pendidikan agamanya.
4. Suami istri wajib memelihara kehormatan.
5. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama
1. C. Sebab – Sebab yang Mewajibkan Nafkah
Adapun diantara sebab-sebab yang mewajibkan nafkah kepada orang lain ada tiga sebab yakni : pertama. Hubungan perkawinan.
kedua. Hubungan kekerabatan. Ketiga. Hubungan kepemilikan.
Namun dalam hal ini penulis hanya akan membahas sebab pemberian nafkah dikarenakan perkawinan, untuk menciptakan dan
membangun keluarha sakinah dan harmonis lagi bahagia. Syariat islam telah menetapkan aturan –aturan berupa hak dan
kewajiban yang harus ditaati dan dan dilaksanakan oleh setiap pasangan suami-istri. Apa yang menjadi kewajiban suami
merupakan hak yang harus diterima sang istri dan begitu pulah apa yang menjadi kewajiban istri menjadi hak yang harus diterima
oleh suami.[4]
Adapaun penulis sedikit membahas secara singkat implikasi nafkah dari suami, yakni adanya adanya kepemimpinan dalah
keluarga sebagai tanggung jawab suami kepada istri dan menimbulkan wibawanya didepan sang istri, juga menunjukan bahwa
seorang suami layak dijadikan pemimpin, baik dalam rumah tangga maupun pemimpin negara yang akan menjalankan kemudi
kapal.panglima yang memutuskan kebijakan-kebijakan.[5] Namun demikian kaum feminis mengatakan bahwa kewajiban atas
nafkah keluarga harus dibebankan kepada kedua suami-istri, mengingat kedua jenis gender tersebut sama-sama dianjurkan untuk

melakukan perbuatan amar ma’ruf nahyi mungkar.
Dalam hal itulah kewajiban suami menafkahi suami dapat diambil peranannya dengan yang akan berimplikasi dalam rumah
tangga bila seorang wanita dapat mengambil peranan lelaki sebagi yang menafkahi keluarga meski dalam kerelaan dan keridhoan
seorang suami dianggap akan mempengaruhi kepemimpinanya dalam rumah tangga.dan juga dalam hal tersebut juga seorang
suami mempunya kewenangan dalam mendapatkan hak-haknya,salah satunya hak seksual, artinya ketika suami tidak memenuhi
kewajiban maka istri berhak untuk menahan tidak berhubungan dengan suami.
Dalam hal pembebanan nafkah mayoritas ulama telah sepakat bahwa nafkah untuk istri tidak wajib hanya dengan akad
perkawinan nikah saja tetapi harus disertai dengan adanya penyerahan diri dengan menghilangkan hal yang dapat menghalangi
tercapainya kenikmatan seksual.
Dalam pandangan islam bekerja atau berkari merupakan sesuatu kewajiban kemanusiaan yang tak pernah telepas dari kehidupan
manusia sehari hari. Banyak ayat Al-qur’an yang megupas tentang kewajiban untuk bekerja berusaha mencari nafkah, adapun
isyarat Alqur’an yang menunjukan bahwa wanita diberikan hak-hak untuk mengusai hartanya yang telah diusahakan nya secara
independen iyalah pada Surat An-Nisa Ayat : 4
Artinya
” Berikanlah mas kawin ( Mahar ) kepada wanita yang kau nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati. Maka makanlah (Ambilla) pemberian itu
( sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
Ayat diatas mengandung perintah untuk memberikan mahar sebagai kewajiban seorang suami namun apabila memperbolehkan
memanfaatkan mahar tersebut dengan lapang dan senang hati tanpa adanya unsur kekerasan dari pihak suami maka suami boleh
mempergunakannya. Pada ayat ini juga pada dasarnya syari’at islam telah memberikan kepada kaum wanita kekbebasan

sepenuhnya dan menganugerahkan hak-hak yang sama dan kaum lelaki dalam bekerja dan mencari penghidupan namun
kenyataanya terdapat persepsi masyarakat yang telah tertanam sejak alam bahwa jika seorang mempunyai atribut biologis sebagai
lelaki atau perempuan adan berdampak pada perbedaan peran dalam kehidupan sosial.
1. D. Seputar Pekerjaan dan Peran Wanita
Secara historis, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman, kecuali dalam masyarakatmasyarakat matriarkhal, yang jumlahnya tidak seberapa. Perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki, mereka tidak cocok
memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki, karena itu, dianggap tidak setara dengan laki-laki.
Laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya. Hak perempuan
dibatasi di rumah dan di dapur, hidupnya dibatasi oleh dinding dan rutinitas kegiatannya hanya di sekitar rumah, dia dianggap
tidak mampu mengambil keputusan di luar wilayahnya.[6]
Seiring dengan semakin majunya teknologi dan semakin berkembangnya masyarakat, kaum wanita seharusnya sudah tampil ke
depan dan mereka sudah banyak memasuki berbagai profesi karena keahliannya, mereka bekerja di luar rumah yang pada
akhirnya semakin sempit lapangan kerja bagi kaum pria. Pada masa kini, apalagi di masa-masa yang akan datang, kemungkinan
laki-laki tinggal di rumah dan perempuan bekerja di luar, menjadi pencari nafkah keluarga. Nah, bagaimana pandangan Islam

dalam hal ini, karena laki-laki itu sebenarnya yang berkewajiban memberi nafkah kepada keluarga atau rumah tangganya. Wanita
diperbolehkan untuk memberi nafkah kepada suami, anak, atau rumah tangganya dari hasil jerih payahnya, meskipun manafkahi
keluarga itu merupakan kewajiban mutlak bagi si suami, asal wanita tersebut rela dalam hal ini. Dalam surat an-Nisa’ ayat 4
dijelaskan: “Apabila wanita rela memberikan sebagaimana maharnya kepada suaminya, maka suaminya boleh memakannya.”
Kalau mahar itu sebagai pemberian yang wajib dari pihak suami kepada istri boleh dimakan oleh suami sebagiannya karena
kerelaan istri, maka boleh pula istri menafkahi suami, anak-anak, dan rumah tangganya, karena masalah itu tergolong dalam hal

yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk tolong menolong dan bantu membantu dalam mengerjalan kebaikan (QS. 5/al-Maidah:
ayat 2) dengan catatan dalam memberikan nafkah kepada suami yang keadaan susah, tidak ada perceraian, dan ini termasuk
perbuatan yang sangat baik. Kalau suami istri dapat saling mewarisi setelah meninggal salah satunya, mengapa si suami tidak
dapat saling mewarisi setelah meninggal salah satunya, mengapa si suami tidak harus dibantu bila hidupnya susah. Oleh sebab itu,
istri atau ibu yang menafkahi keluarganuya (suami/anak-anaknya) tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan keadilannya.[7]
Wanita boleh memasuki berbagai profesi, asal tugas-tugasnya diselaraskan dengan sifat-sifat dan kodrat mereka serta tidak
meninggalkan kewajiban-kewajiban sebagai ibu rumah tangga, bila ia sebagai seorang yang bersuami atau seorang ibu. Ia juga
harus tetap memperhatikan hukum-hukum yangh ditentukan oleh agama, misalnya tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang
bukan muhrimnya dan menutup aurat dengan busana yang sesuai dengan ajaran Islam.
Meski wanita pekerja itu mempunyai peran ganda, dalam wilayah domestik rumah tangga ia mempunyai peran dan tanggung
jawab dalam menciptakan keluarga sakinah, dan ini sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari peran dan tanggung jawab pria.
Tidak dapat dikatakan yang satu dominan dan lebih menentukan, sedang yang lain sekedar pelengkap, keduanya saling
melengkapi dan saling mendukung. Pria dan wanita adalah team work, atau team-mate dalam menciptakan keluarga sakinah
ditambah dengan peran-peran edukatif dan sosialisasi positif dari lingkungan yang lebih luas. Selanjutnya dalam pembahasan
berikut akan dipaparkan tentang seputar wanitia yang bekerja, dan peran wanita pekerja dalam menciptakan keluarga yang
harmonis.
Tanggung jawab wanita secara umum adalah menjadi istri dan ibu rumah tangga. Tetapi bila ada wanita yang bekerja di luar
rumah, bukan berarti ia lari dari tanggung jawabnya. Wanita yang bekerja pun masih merasa dirinya adalah seorang istri dan ibu
dari anak-anakanya. Semua yang ia lakukan itu demi keluarga. Bila seorang wanita dihadapkan dua pilihan, antara bekerja di luar
rumah dan mengurus rumah tangga, akhirnya ia merasaa serba kerepotan. Mana yang lebih berat? Pada dasarnya semua itu berat.

Karier juga berat karena semata-mata demi keluarga, menjadi ibu rumah tangga, tidak mau meninggalkan rumah pun di rasa
penting, singkatnya antara pekerja dan mengendalikan rumah tangga itu sama-sama pentingnya.
Bila seorang wanita berkehendak untuk memainkan peran gandanya di atas, maka yang perlu diperhatikan adalah ia menyadari
bahwa itu bukanlah hal yang mudah. Karena tugas utama baginya adalah sebagai istri dan ibu. Istri yang baik dapat menjadi
pendamping suami yang berhasuil, sedangkan ibu yang baik akan menghasilkan generasi yang handal untuk keluarganya, bangsa,
dan umat. Dan harus difahami bagi wanita karier bahwa umumnya karier itu mempersyaratkan persiapan pendidikan dan mental
jika dibandingkan dengan pekerjaan yang tidak memerlukan persyaratan khusus. Seorang wanita karier berarti memiliki pekerjaan
khusus di luar rumah dalam rangka mengaktualisasikan diri dan menekuni suatubidang pekerjaan tertentu.[8]
Adapun pengertian wanita pekerja/karier adalah wanita yang digaji seseorang, instansi, atau suatu lembaga untuk melaksanakan
tugas pada waktu dan tempat tertentu, menjadi pekerja atau karyawan.[9] Untuk itu seorang wanita yang bekerja harus pandaipandai mengatur waktu dan memposisikan dirinya antara kepentingan tumah tangganya dan kariernya.
Ada beberapa pertimbangan kebutuhan yang mungkin mendorong seorang wanita untuk mengembangkan karier. Mungkin
kebutuhan itu kebutuhan materi, yaitu terdesak masalah keuangan, atau berupa kebutuhan psikologis, yaitu ingin menyalurkan
hobi atau bakat, atau ingin mengaplikasikan keilmuan yang selama ini dimilikinya, serta ingin memanfaatkan waktu luang.
Di luar yang disebutkan di atas, yang lebih mulia adalah bila kebutuhan untuk mengembangkan karier dilatarbelakangi oleh niat
mengabdi dan ibadah. Dalam ajaran agamapun disebutkan bahwa manusia wajib berusaha dan bekerja, bahwa apa yang ada di
dunia ini tidak ada yang gratis, sehingga bekerja merupakan tugas umat manusia di dunia.
Sebagai rasa syukur, memang seseorang tidak terkcuali wanita, perlu mengamalkana pendidikan dan pengetahuan, baik yang
didapat melalui pendidikan formal maupun informal yang diperoleh selama ini. apapun pekerjaan yang ditekuninya, dikerjakan
sebagai sebuah ibadah. Pekerjaan seseorang ibu rumah tangga, yang mengayomi anak-anaknya dan menjaga kerukunan dan
keutuhan keluarga adalah bentuk pengabdian kepada sang Pencipta.[10]

Jika tekad sudah bulat, hendaknya sudah dipastikan bahwa tujuan wanita untuk mengembangkan diri dalam kerjaannya tidak
sekedar untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk memberi manfaat untuk pihak lain, yaitu keluarganya, suami, dan anakanaknya, serta lingkungan di sekitarnya. Wanita sesungguhnya merupakan sumber daya ekonomi yang tidak kalah penting
dibandingkan dengan pria. Keberadaan wanita dalam rumah tangga bukan sekedar memberi pelengkap fungsi reproduksi saja,
namun lebih dari itu wanita terbukti memberikan sumbangsih yang besar bagi kelangsungan ekonomi dan kesejahteraan rumah
tangga serta masyarakat.
1. E. Beberapa Persyaratan Bagi Wanita yang Bekerja
Mengenai pekerjaan wanita ini, M. Quraish Shihab merumuskannya bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama
pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut. Dan selama pekerjaan tersebut
dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut
terhadap diri dan lingkungannya.[11]
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa berbagai macam perubahan yang berdampak positif dan negatif. Hal
ini berpengaruh juga dalam kehidupan wanita yakni bagaimana kaum wanita berperan, baik selaku isteri dan ibu rumah tangga,
bekerja mencari nafkah dan fungsi social. Dihadapkan pada kenyataan tersebut, ternyata pandangan terhadap peran wanita adalah
memberikan peluang kepadanya untuk memberi subyek bagi tindakannya, memahami cita-cita wanita yang mengembangkan diri,
dan mengembangkan sikap pembela hak-hak wanita secara lebih tuntas.[12]
Kaitannya dengan pekerjaan wanita ini Zakiah Daradjat menyatakan bahwa dalam sebuah lapangan kerja yang cocok dengan
kudratnya, wanita juga dituntut untuk aktif bekerja. Banyak lapangan pekerjaan yang cocok dengan wanita, hanya saja wanita
harus selalu ingat bahwa kewanitaannya itu tetap melekat pada dirinya. Artinya, kodrat fisik dan ciri kewanitaannya tetap

berbahaya bagi dirinya dan terhadap orang lain, jika ia tidak sadar atau menjaga dirinya. Bahkan, untuk kepentingan keselamatan
jiwanya, kaum wanita harus gesit bekerja. Jika seseorang tidak bekerja atau diam saja, maka ia akan melamun, berkhayal,
memikirkan atau mengenai hal-hal yang dalam kenyataan tidak dialami atau tidak dirasakan.[13]
Kaidah ushul menetapkan wajibnya memperhitungkan seberapa besar kebutuhan dan kepentingan ketika akan menghindarkan
sesuatu yang dapat menimbulkan mudlorot atau kerugian. Sehubungan dengan masalah ini Ibnu Taimiyah mengatakan.
1. Di samping melihat seberapa besar kerugian yang ditimbulkan sehingga perlu dilarang, maka perlu juga dipertimbangkan
bentuk kebutuhan yang mendesak agar suatu perkara diperbolehkan, dianjurkan atau dianggap positif
2. Tidak satupun perkara yang dilarang dengan alasan sadududz Dzari’ah kecuali hal itu dilakukan demi kemaslahatan yang
lebih kuat, seperti larangan berduaan dengan wanita ajnabi, bepergian bersama, atau memandangnya, dimana akan
menimbulkan akibat negatif. Begitu juga larangan bepergian terhadap wanita tanpa didampingi suami atau muhrim.
Semua itu tidak dilarang melakukan kecuali karena dikhawatirkan akan berakibat negatif. Jika hal itu dilakukan yang
lebih kuat, berarti hal itu tidak akan menimbulkan sesuatu yang negatif.[14]
1. F. Peran Majemuk Wanita
Menjadi wanita pekerja, memang dituntut meiliki mental dan disiplin yang tinggi. Wanita bekerja apabila telah berumah tangga
akan menambah peran bagi dirinya, ia harus bersikap yang menyenangkan suami, penuh perhatian kepada anak-anaknya, di
samping ia menekuni kerjaan itu sendiri. Sebagai seorang ibu juga dituntut untuk menciptakan suasana kekeluargaan,
persahabatan dengan keluarga-keluarga lain disekitarnya. Hal tersebut berangkat dan tujuan supaya tercipta dan terbina keluarga
yang bahagia dan sejahtera, sehingga tercapai tujuan pendidikan Islam di dalam keluarga yang harmonis. Karena itu di dalam
pembehasan ini akan diarahkan pada tindakan-tindakan wanita pekerja yang berkaitan dengan fungsinya sebagai seorang istri, ibu
rumah tangga dan anggota masyarakat,
v Hubungan Wanita Dengan Suami
1. Ketaatan dan Kesetiaan Wanita Pekerja Kepada suami
Seorang istri dikatakan dalam adogium jawa sebagai “garwa” artinya sigarane nyowo atau belahan jiwa suami, yakni seperti
sebuah jiwa, dimana sebagian separuh milik suami dan separuh bagian milik istri. Dengan demikian seorang wanita karier
hendaknya memiliki sikap ketaatan, kepatuhan dan kesetiaan pada suami.
Ketaatan dalam hal positif, bukan dalam hal sebaliknya . dan ketaatan pada suami, yakni bahwa dirinya milik dan hanya diabdikan
kepada orang lain (dalam cinta kasih), serta kesetiaan kepada harta bendanya, yakni menjaga dan membelanjakannya secara
bikjaksana.
Seorang wanita pekerja yang telah melanggar kesetiaan pada suaminya, ia akan seenaknya mengabaikan tugas-tugas rumah
tangga. Kalau kesucian telah ternodai, maka dengan mudahnya ia akan melakukan tindak penyelewengan yang lain, tidak jujur
kepada diri sendiri, tidak jujur kepada suami dan pada harta bendanya, bahkan tidak jujur kepada anak sendiri akan dilakukan.
Seorang istri yang tidak dapat dipercaya, ibarat pencuri di dalam rumah selalu dicurigai oleh suami karena adanya kekhawatiran.
Karena itu seorang wanita yang bekerja harus mampu menanamkan kepercayaan kepada suami, bahwa dirinya setia dan dapat
dipercayai.
Di antara hal yang bisa merusak kesetiaan ialah berhias diri secara berlebihan. Biasanya seorang wanita pekerja ingin tampil lebih
prima, ia ingin tampil lebih unggul di mata bawahanya, ingin pula dihargai oleh atasannya. Penampilan yang berlebihan
menimbulkan kecurigaan. Karena itu hendaklah wanita karier berhias diri hanya untuk suami, tabarruj, yakni perbuatan
kemaksiatan, seperti menampakkan kecantikan ddengantujuan memikat laki-laki lain, tanpa rasa malu, memang dilarang dalam
Islam. Perhiasan yang berlebihan batas, atau pakaian yang mengundang maksiat, sebaiknya ditinggalkan untuk diganti dengan
perhiasan dan pakaian yang mengandung ibadah.
Adapun salah satu penyebab dari terjadinya hubungan-hubungan yang tidak wajar atau penyimpangan-penyimpangan seksual dari
seorang yang berkeluarga adalah karena ketidakpuasan istri/suami dalam hubungan seksual dengan suami istri karena merasa
tidak puas, maka ia mencari kepuasan itu ditempat lain. Seorang wanita pekerja dapat berkencang dengan pekerjaannya bila ia
mau. Akan tetapi peralihan semacam itu bukan sesuatu yang diijinkan oleh Allah. Islam melarang, bahkan kalau ketahuan keras
dihukum. Hukumannya dihukum cambuk, hukum puluk, hukum dera.[15]
Apabaila kesetiaan dilanggar, tidak saja ketenangan dan ketentraman sulit dicapai, akan tetapi keluarga itu akan terpecah dan akan
menimbulkan perceraian, tidak saja kebahagiaan akan porak poranda, tetapi tujuan pendidikan Islam dalam keluargpun tidak
mungkin lagi tegak.
1. Kerelaan Suami Terhadap Pekerjaan Istri
Al-Qur’an mengisahkan, bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Karena diantara kelebihan kaum laki-laki
ialah menanggung nafkah bagi kaum wanita (di dalam hubungan suami istri). Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ /4: 39 yang
Artinya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menakahkan sebagian besar harta merka, “ (QS. An-Nisa’ /4 :
39).[16]
Ayat tersebut menjelaskan bahwa pemimpin laki-laki (suami) memiliki tanggung jawab menanggung nafkah kepada kaum wanita
(istri) dengan demikian seorang wanita bekerja, hanya dalam rangka membantu mencukupi kebutuhan hidup keluarga, jangan
sampai pekerjaannya mengorbankan martabat dan harga diri, pribadi dan keluarga. Pekerjaan bukanlah satu-satunya jalan meraih
kesuksesan dan kebahagiaan hidup, jauh lebih bahagia kalau ia mampu menjadi partner, tetapi alat untuk meraih kebahagiaan
hidup bersama seluruh anggota keluarga.
Karena itu wanita bekerja adalah untuk keluarga. Bukan bekerja untuk karier sendiri. Sebab jika mereka mengajar karier di luar
rumah tangga. ada dorongan yang sangat kuat bagi seorang istri untuk melepaskan kedudukannya yang sangat kuat bagi seorang
istri untuk melapaskan kedudukannya sebagai anggota keluarga. Seorang perempuan kerja secara ekonomis sangat mandiri.
hingga tidak bergantung pada nafkah dari suaminya. Jika kemandirian ini dimaksudkan sebagai jalan untuk melepaskan kewajiban
selaku istri, maka ia berlawanan dengan fitrah. Karena itu Islam membolehkan seorang istri bekerja di luar rumah atas izin
suaminya dan semata-mata untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga.

1.

G.

Penutup
1. Wanita bekerja tidak dilarang oleh syari’at Islam, selama tugas dan tanggung jawab domestik rumah tangga
tidak terbengkelaikan, dan dipersyaratkan bagi wanita bekerja untuk memperhatikan nilai etika atau akhlakul
karimah.
2. Wanita dibolehkan bekerja untuk membantu menafkahi keluarga diluar rumah harus berdasarkan pada izin dan
kerelaan suami dengan melihat kondisi suami yang sedang sulit dan untuk mencari kemaslahatan sesuai denga
kaidah fiqhiyah yang sebagai berikut :

‫اَ ْل َم َشقَةُ تَجْ لإبُ التَ ْي إس ْي ُر‬

Artninya : “Suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan”
1. Peran wanita yang bekerja dalam menciptakan keluarga yang sakinah bisa terwujud apabila; Pertama: Menjaga
keharmonisan dan keutuhan hubungan bersuami istri, pekerjaannya diperuntukan bagi kepentingan keluarga dan
kebahagiaan rumah tanggannya. Kedua: harus berperan aktif dalam membimbing anak-anaknya, karena ia lebih dekat
dan sayang kepada anaknya; dan pandai memanfaatkan waktu ketika bersama anak dan keluarganya sebaik mungkin

[1] Dr. Imarah Najib,Al-Usrah Al-Mitsli fi Dhau’Al kitab wa As-Sunnah, hlm 182
[2] Departemen Agama RI, Al Qur’an Terjemah, Pelita III, Jakarta, 1991-1992
[3] HR Muslim
[4] Dr. Imarah Najib Op.cit, hlm, 183
[5] Dr. Mustafa Abdul Wahab, Al-Usrah fi Al-Islam, hlm 71
[6] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Asegaf, (Yogyakarta : Yayasan Benteng Budaya, 1994), 55.
[7] bn Hasan, al-Muhalla, (Kairo :al-Mathba’ah al-Muniriyah, tt), 97.
[8] Sitoresmi Syukri Fadholi, Sosok Wanita Muslimah, Pandangan Seorang Artis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), 56.
[9] Nancy Van Vuuren, Wanita dan Karier, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 9.
[10] Tatty S. B. Amran, Kiat Wanita Karier, seri No. 2 (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1994), 3
[11] Quraisy, Membumikan, 275.
[12] Dewi Motik Pramono, Wanita Karier dan Rumah Tangga Ideal Menurut Islam, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1989), 40-41.
[13] Zakiah Daradjat, Islam dan Peranan Wanita, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 22-23.
[14] Abdul Halim Abu Syuqqah, kebiasaan Wanita, (Jakarta : GIP, 1997), 444
[15] Zakiyah Darajat, Kesehatan Mental Dalam keluarga, (Jakarta : Pustaka Antara, 1992), 187
[16] Depag RI, Al-Qur’an , 34

Istri Menafkahi Suami yang Menganggur
Fikih Muslimah
Friday, 06 June 2014, 13:00 WIB
Seseorang yang memasuki gerbang rumah tangga otomatis diikuti dengan hak dan kewajiban masing-masing. Di antara kewajiban
seorang suami adalah memberi nafkah lahir dan batin. Kewajiban sang suami juga menjadi hak seorang istri.
Pada era modern, khususnya di Indonesia, wanita mendapat akses penuh dalam pendidikan dan pekerjaan. Hasilnya istilah wanita
karier sudah sangat akrab di telinga kita. Saat menjumput takdir menikah, hak seorang wanita dibatasi oleh hak lelaki yang
menjadi suaminya. Tuntutan bekerja tidak lagi wajib bagi seorang wanita. Seorang laki-laki mengambil tanggung jawab itu
selepas akad nikah terucap.
Namun, karena situasi dan kondisi, seperti PHK, pendidikan rendah, atau bahkan faktor kemalasan, suami memilih tidak bekerja
pada saat istri mapan dalam mencari nafkah. Bolehkah peran suami-istri tersebut ditukar?
Kewajiban suami dalam mencari nafkah tetap tidak berubah. Allah SWT berfirman dalam surah an-Nisaa’ ayat 34, “Kaum lakilaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita). Dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian harta mereka...”
Dalam ayat ini jelas disebutkan jika kewajiban memberi nafkah ada di pundak laki-laki. Seorang suami harus berusaha sekuat
kemampuannya untuk memberi nafkah kepada istrinya. Meski kondisi sedang sulit, kewajiban ini tidak lantas gugur dengan
sendirinya. Bahkan, jika ia sengaja tidak bekerja maka beberapa ulama menggolongkan perbuatannya masuk dosa besar.
Rasulullah SAW bersabda, “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa jika menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang
menjadi tanggungannya.” (HR Muslim).
Di sisi lain baik seorang laki-laki itu bekerja atau tidak, ia tetap pemimpin dari istrinya. Artinya meski memiliki penghasilan,
seorang wanita tidak boleh merendahkan atau menolak taat kepada suaminya. Sepanjang perintah sang suami tidak dalam bentuk
kemaksiatan.
Harta yang dihasilkan dari pekerjaan istri sepenuhnya milik istri. Jika ia menggunakannya untuk menafkahi keluarga maka itu
termasuk sedekah dan kemuliaan. “Apabila seorang Muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala
darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR Bukhari)
Mengenai hukum wanita bekerja, Syekh Yusuf Qaradhawi memandang hukumnya diperbolehkan. Bahkan, bisa menjadi sunah
atau wajib jika wanita tersebut membutuhkannya. Seperti dalam kondisi ia seorang janda, sedangkan tidak ada anggota
keluarganya yang mampu menanggung kebutuhan ekonomi.
Selain itu, dalam sebuah keluarga, kadang diperlukan seorang wanita membantu ekonomi suaminya yang masih kekurangan,
menghidupi anak-anak atau ayahnya yang telah tua renta. Seperti dalam cerita yang termaktub dalam surah al-Qashash ayat 23.
“...kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu
memulangkan ternaknya, sedang bapak kami termasuk orang tua yang lanjut umurnya.”
Juga kisah Asma’ binti Abu Bakar biasa membantu suaminya, Zubair bin Awwam, mengurus kuda, menumbuk biji-bijian untuk
dimasak, kadang ia memanggulnya di atas kepala dari kebun yang jauh dari Madinah.
Meski diperbolehkan bekerja, ada beberapa syarat, menurut Syekh Qaradhawi, yang wajib dipenuhi. Pertama, pekerjaan tersebut
tidak melanggar syariat, seperti bekerja di bar-bar yang menghidangkan minuman keras, bekerja melayani lelaki bujang, atau

pekerjaan yang mengharuskan ia berkhalwat dengan laki-laki.
Kedua, seorang wanita mestilah menaati adab-adab ketika keluar rumah jika pekerjaannya mengharuskan ia bepergian. Ia harus
menahan pandangan dan tidak menampakkan perhiasaan (QS an-Nur [24]:31).
Terakhir, ia tidak boleh mengabaikan tugas utamanya untuk mengurus keluarga. Jangan sampai kesibukan bekerja menyebabkan
suami dan anak-anaknya telantar.
Dr Abd al-Qadr Manshur mengatakan bahwa wanita yang bekerja mestilah memperhatikan faktor fisik. Wanita dianjurkan tidak
melakukan pekerjaan berat maupun yang berisiko.
Hal ini bukan untuk menghalangi atau membatasi. Anjuran itu terkait pula dengan tugas alamiah wanita, seperti melahirkan,
menyusui, dan menjaga keluarga.
Bidang pekerjaan wanita akan menjadi haram jika mengandung tiga hal. Yakni, berduaan dengan laki-laki, terbukanya aurat, serta
ada persentuhan anggota badan dengan laki-laki dan wanita. Namun, hukum haram ini tidak berlaku untuk mereka yang
berprofesi sebagai tenaga kesehatan. ed:hafidz muftisani
Guntara Nugraha Adiana Poetra, Lc. MA. 12/11/14 | 19:04
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/11/12/59894/istri-menafkahi-keluarga-suami-menjaga-anak/#ixzz4KC4poLlz
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
dakwatuna.com – Dalam kehidupan nyata banyak kita temukan sepasang suami istri sepakat melakukan pembagian kerja yang
mereka anggap menguntungkan bagi kedua belah pihak, suami menjaga anak-anak di tanah air, sementara istri bekerja sebagai
TKW di negeri orang. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kesepatakan (suami-istri) ini sesuai dengan ajaran Islam?
Dalam kehidupan bersosial manusia tidak lepas dari hak dan kewajiban, sebagai contoh saat seseorang menjadi pelajar
maka baginya memiliki hak dan kewajiban sebagai seorang pelajar, kewajibannya membayar iuran sekolah perbulan atau
persemester sedangkan haknya adalah mendapat pendidikan yang layak dan mendapatkan ijazah ketika lulus ujian akhir.
Contoh lainnya yaitu saat kita terjun ke dunia organisasi maka kita akan mendapat hak dan kewajiban sebagai anggota
atau pengurus organisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di organisasi.
Begitu juga saat seseorang bekerja tentu mempunyai hak dan kewajiban, haknya adalah mendapat jaminan dari
tempatnya bekerja berupa gaji pokok dan tunjangan adapun kewajibannya adalah bekerja dengan baik sesuai aturan yang berlaku
di tempatnya bekerja, sehingga tidak ada istilah “memakan gaji buta”.
Begitu juga dalam ajaran Islam tidak memaksakan orang lain yang bukan beragama Islam untuk memeluk agama Islam,
ajaran Islam sejatinya penuh dengan toleransi, karena bagimu agamamu dan bagiku agamaku, begitulah prinsip yang terkandung
dalam ajaran Islam mengenai toleransi beragama, dengan demikian tidak berlaku hak dan kewajiban bagi non Islam kepada ajaran
Islam untuk berislam.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[[1]] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah
ayat 256)
Namun bagaimana jika seseorang sudah beragama Islam atau menyatakan diri sebagai seorang muallaf, apakah berlaku
baginya hak dan kewajiban terhadap ajaran Islam?
Ya, berlaku baginya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai seorang muslim, seorang muslim mempunyai
kewajiban dengan melaksanakan perintah Allah Ta’ala seperti shalat, puasa Ramadhan, membayar zakat, pergi haji bagi yang
mampu dan ini hanya berlaku bagi muslim bukan pada non muslim. Adapun bagi muallaf mereka senantiasa mendapatkan bagian
dari zakat karena Islam memuliakan mereka dengan membantu secara ekonomi. Sedangkan hak seorang muslim yaitu mendapat
pahala di sisi Allah Ta’ala dan mendapat kebaikan berupa surga kelak dengan izin dan rahmat-Nya.
Lalu bagaimana dengan kehidupan berumah tangga, apakah terdapat hak dan kewajiban bagi suami istri?
Dalam keluarga tentu terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi satu sama lainnya, hak dan kewajiban suami istri tertulis
dengan jelas sebagai sebuah kesepatakan antara keduanya di buku akta pernikahan saat mereka mengikat sebuah perjanjian yang
kokoh di hadapan penghulu, saksi, para tamu undangan dan Allah Ta’ala.
Berikut saya coba kutip beberapa penggal kata atau nasehat yang ada di buku nikah Kementerian Agama Republik Indonesia:
“Untuk mewujudkan keluarga sakinah, kedua pihak hendaknya menjunjung tinggi hak dan kewajiban masing-masing, saling cinta
dan kasih, saling menghormati dan memuliakan, serta saling mengingatkan untuk selalu taat dan beribadah kepada Allah SWT.”
Untuk lebih jelasnya apa saja hak dan kewajiban yang tertera di buku nikah, alangkah baiknya bagi anda yang sudah menikah
untuk membukanya kembali sambil membaca dan merenunginya.
Jika kita renungi, seorang wanita atau istri yang bekerja di dalam negeri saja, mereka harus berjuang untuk tetap memenuhi hak
dan kewajibannya dalam keluarga dan dalam memberikan kasih sayang serta pendidikan terhadap anak-anaknya.
Betapa tidak mudahnya seorang istri yang bekerja siang malam di luar rumah, menguras pikiran seharian, lalu letih saat kembali
ke rumah, belum lagi hari-harinya habis dengan orang lain daripada dengan keluarganya sendiri kecuali akhir pekan itupun jika
tidak ada lembur atau urusan mendadak soal pekerjaan. Ya inilah konsekuensi wanita pekerja.
Berpisah dalam waktu yang cukup lama dengan bekerja melanglangbuana hingga ke luar negeri sebagai TKW, apakah semua hak
dan kewajiban dalam keluarga dapat terpenuhi?, wanita yang bekerja di dalam negeri saja masih berjuang untuk tetap memenuhi
hak dan kewajiban karena hal ini tidak mudah, maka tak jarang mereka menitipkan anak-anak mereka kepada pengasuh atau
pembantu rumah tangga.
Lalu apakah bedanya antara membujang dengan berumah tangga kalau hak dan kewajibannya tidak dipenuhi bahkan sering
dilanggar?
Adakah jaminan kesetiaan antara suami istri yang terpisahkan oleh jarak, ruang dan dinding waktu yang begitu lama?
Apakah hanya dengan materi dan kemapanan, kebutuhan batiniah dan psikologis seseorang bisa terpenuhi?

Anak-anak merupakan tanggung jawab suami istri yang harus diperhatikan. Jangan sampai karena alasan ekonomi/duniawi,
seorang anak menjadi “yatim” atau ‘piatu” lantaran ditinggal oleh ibunya dalam waktu cukup lama. Kasih sayang ibu adalah hak
anak paling asasi dan amat fundamental dalam pembentukan kepribadiannya.
Salman Al-Farisi berkata pada Abu Darda: “Sesungguhnya Tuhanmu itu mempunyai hak atasmu, dirimu juga mempunyai hak
atasmu dan keluargamu juga mempunyai hak atasmu.” Kemudian perkataan ini dilaporkan kepada Nabi SAW. “Benar sekali apa
yang dikatakan Salman,” komentar Nabi SAW. (HR.Tirmidzi)
Dalam pengamatan saya selama berada di tanah Arab, banyak menemukan fenomena sosial terkait tenaga kerja khususnya wanita,
sebagian besar mereka meninggalkan suami dan anak-anaknya di tanah air.
Sayapun mendapati begitu banyak tenaga kerja wanita bekerja di luar negeri khususnya negara-negara Arab dan negara di
kawasan teluk, setiap kali hendak bepergian ke timur tengah atau hendak transit di kawasan negara teluk, biasanya pesawat yang
kita tumpangi dipenuhi oleh tenaga kerja wanita yang jumlahnya lebih banyak dari tenaga kerja pria, hal ini menjadi
pemandangan yang lumrah bagi mereka yang suka bepergian ke timur tengah atau bagi petugas imigrasi.
Tak heran setiap kali terjadi perbincangan dengan para tenaga kerja, pertanyaan yang terlontar pertama kali adalah, “Anda bekerja
di negara mana?” bukan “Anda sedang belajar di negara mana?”
Teringat dalam perjalanan pulang ke tanah air dari Riyadh-Arab Saudi di akhir tahun 2012, saya duduk bersampingan dengan
seorang TKW dan seorang ibu yang baru selasai umrah, selama perjalanan saya dan seorang ibu mendengar kisah memilukan dari
seorang TKW yang sudah bertahun-tahun belum pulang ke tanah air, singkat cerita dia membicarakan perihal kurangnya ikatan
emosional dengan anaknya dan juga menceritakan ketidakharmonisan keluarganya karena sang suami mempunyai idaman hati
lain.
Melihat banyaknya fenomena yang menimpa tenaga kerja di luar negeri, saran saya jika seorang wanita yang bekerja di luar
negeri ingin mendapat ketentraman dan keharmonisan seyogyanya mereka memboyong keluarganya untuk ikut mendampinginya,
akan tetapi hal ini tidak mudah karena terkendali biaya dan prosedur birokrasi yang sulit.
Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub selaku imam besar masjid Istiqlal ketika ditanya perihal seorang istri yang bekerja di luar negeri
menjawab:
“Memenuhi hak dan kewajiban dengan sebaik-baiknya merupakan ajaran Islam yang wajib ditaati. Dan seorang yang telah
menikah, maka ia akan menjadi multi fungsi sebagai istri atau suami, sebagai ayah, ibu, guru dan panutan bagi anak-anaknya,
sebagai anak bagi mertuanya dan seterusnya. Masing-masing fungsi mempunyai hak dan kewajiban yang wajib dipenuhi.”
Ditambahkannya lagi: “Kalau masalah ekonomi yang menjadi sentral “perpisahan” antara suami dan istrinya atau antara ibu
dengan anaknya, sehingga menyebabkan terbengkalainya hak dan kewajiban, maka berusahalah mengais rezeki di tanah air saja,
dengan meyakinkan diri kalau rezeki sudah ditentukan porsinya masing-masing oleh Allah Ta’ala.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Wahai para umat manusia, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam mengais rezeki! Sesungguhnya seseorang
tidak akan meninggal hingga semua ketentuan rezekinya diberikan.” (HR. Ibnu Majah)
Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub juga menegaskan perihal seorang istri yang menafkahi keluarga dengan mengatakan sekiranya ada
wanita (istri) yang memberi nafkah keluarga karena berbagai sebab dan ia rela, maka itu tidak ada masalah baginya. Tapi andai ia
tak rela, maka hukum Islam memberikan jalan keluar. Ia dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama, karena ia tidak
mendapat nafkah dari suami. Dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah “Khulu” yaitu gugatan cerai yang dilayangkan oleh
seorang istri kepada suami.
Dan tampaknya, wanita yang menafkahi keluarga itu hanya kasus yang seyogyanya tidak terjadi, karenanya itu tidak dapat
mengubah aturan dalam Islam, artinya hak-hak dan kewajiban suami istri tetap seperti semula dengan membebankan kewajiban
untuk nafkah keluarga kepada suami.
“dan kewajiban ayah (yang dianugerahi putra) memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma’ruf.” (QS. AlBaqarah ayat 233)
Petunjuk Alquran ini tentu harus dipahami dan diikuti oleh umat Islam (khususnya para lelaki) agar mereka memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Karenanya hikmah Allah Ta’ala menghendaki fisik lelaki diciptakan lebih kuat
dari fisik para wanita, tiada lain agar para lelaki bisa bekerja keras, bersaing, bertanggung jawab, tahan cuaca untuk menafkahi
keluarga, menjadikan istrinya sebagai ratu dalam rumah tangga dan bukan menjadikan istrinya bak buruh.
Dan memang faktanya seribu banding satu ada suami yang lebih menginginkan istrinya menjadi IRT, sebagian besar mengizinkan
bahkan mendorong para istrinya bekerja dengan alasan kondisi ekonomi yang kurang mengizinkan, kenapa demikian?
Karena di era modern kita seringkali kesulitan membedakan antara kebutuhan primer dan sekunder, tanpa disadari kita sering
terjebak dengan urusan-urusan sekunder yaitu kebutuhan yang bersifat hasrat duniawi yang kadang memberatkan pikiran dan
pundak kita, dibutuhkan sedikit saja sudut pandang yang luas dalam menatap dunia yang sebenarnya amatlah sempit. Anehnya
banyak manusia yang senang dengan hal-hal yang mereka kira sulit padahal itu sangatlah mudah.
Keluar Dari Rumah dan Bekerja
Banyak wanita pada zaman sekarang lebih memilih untuk berada di luar rumah, alasannya beragam ada dari mereka yang karena
terpaksa, ada yang karena keadaan atau kebutuhan, bekerja dan ada yang sebaliknya mereka senang berada di luar rumah.
Padahal Alquran telah mengajarkan kepada para wanita untuk senantiasa tetap berada di dalam rumahnya kecuali ada alasan atau
keperluan mendesak yang diperbolehkan oleh syariat dan mendapat izin keluarga atau suami bagi yang sudah menikah dengan
memperhatikan batasan-batasan seperti:
1. Tidak keluar sendirian apalagi pulang hingga larut malam
2. Kalaupun keluar sendiri senantiasa pandai melihat kondisi yang tidak membahayakan dirinya
3. Berpakaian rapi dan sopan (menutup aurat).
4. Tidak memamerkan perhiasan yang bisa mengundang tindakan kriminal
5. Tidak berlebihan dalam bersolek dan dalam memakai wangi-wangian
6. Menundukkan pandangan terhadap lawan jenis
7. Memperhatikan batasan pergaulan dengan lawan jenis dan menjaga perilaku

8.
9.

Bertutur kata yang bijak/sopan guna menghindari fitnah dari lawan jenis
Bersikap secara proporsional sehingga bisa menjauhkan dirinya dari tindakan yang kurang menyenangkan dari lawan
jenis.
10. Dan yang paling penting adalah berusaha menjaga kehormatan diri serta keluarganya.
Allah Ta’ala berfirman di dalam surat Al-Ahzab ayat 32-33.
“Maka janganlah kamu tunduk [ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik
terhadap mereka] dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya [Yang dimaksud dengan
dalam hati mereka ada penyakit Ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina] dan
ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.”
Jika kita perhatikan secara seksama banyak fenomena yang sering kita lihat dan pemberitaan negatif yang sering kita dengar
menimpa kaum hawa, hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya lebih banyak mudharat/efek negatif yang akan menimpa wanita jika
bekerja di luar rumah dibandingkan dengan manfaatnya, antara lain:
 Sering terjadinya kemungkaran, seperti ; bercampur dengan lelaki, berkenalan, bebas mengobrol dan bertatap muka
dengan yang diharamkan, memakai minyak wangi berlebihan, tak jarang banyak yang memperlihatkan aurat kepada
selain mahramnya, sehingga bisa menyeret pada kasus perselingkuhan dan perzinahan.
 Kurang bisa melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik atau maksimal.
 Keluar dari fitrahnya dengan meremehkan urusan rumah tangga yang seharusnya menjadi bidangnya wanita.
 Mengurangi hak-hak anak dalam banyak hal, seperti dalam kasih sayang, perhatian, pendidikan agama dan lain
sebagainya.
 Membuat cepat lelah dan penat fisik serta pikiran sehingga bisa mempengaruhi jiwa serta syaraf yang tidak sesuai
dengan tabiat wanita.
 Mengurangi makna hakiki tentang kepemimpinan suami dalam rumah tangga di hati wanita.
 Hasratnya tertuju pada pekerjaan, sedangkan jiwa, pikiran dan perasaannya menjadi sibuk, lupa dan bertambah jauh dari
tugas-tugasnya yang alami, yaitu keharusan membina kehidupan suami istri, mendidik anak-anak dan mengatur urusan
rumah tangga.
Tabiat dan kepribadian wanita sejatinya memiliki kekhususan tersendiri sebagaimana dijelaskan oleh nabi dalam hadistnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
‫ت زَ وْ إجهَا َو َم ْسئُولَةٌ ع َْن َر إعيَتإهَا‬
‫اعيَةٌ إفي بَ ْي إ‬
‫َو ْال َمرْ أَةُ َر إ‬
“Dan seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR Al Bukhari)
Wanita Boleh Bekerja dengan Syarat
Dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Peran wanita di era modern” sekaligus sebagai bahan analisa saya, ada dari wanita yang
menanyakan perihal boleh tidaknya wanita berkarir di luar rumah.
“Memangnya tidak boleh ya, kalau wanit