Masa akir Orde Baru (1)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara
kekuasaanmasa Sukarno (Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang
menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan Gerakan 30 September tahun
1965. Orde baru lahir sebagai upaya untuk : mengoreksi total penyimpangan yang
dilakukan pada masa Orde Lama, penataan kembali seluruh aspek kehidupan
rakyat, bangsa, dan negara Indonesia,melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen dan menyusun kembali kekuatan bangsa untuk
menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Proses kejatuhan Orde Baru telah tampak ketika Indonesia mengalami dampak
langsung dari krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia. Ketika krisis ini
melanda Indonesia, nilai rupiah jatuh secara drastis, dampaknya terus menggerus di
segala bidang kehidupan, mulai dari bidang ekonomi, politik dan sosial. Tidak
sampai menempuh waktu yang lama, sejak pertengahan tahun 1997, ketika krisis
moneter melanda dunia, bulan Mei 1998, Orde Baru akhirnya runtuh. Krisis
moneter membuka jalan bagi kita menuju terwujudnya kehidupan berdemokrasi
yang sehat, yang selama ini terkukung oleh sistem kekuasaan Orde Baru yang serba
menguasai semua sisi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Proses menuju reformasi telah dimulai ketika wacana penentangan politik secara
terbuka kepada Orde Baru mulai muncul. Penentangan ini terus digulirkan oleh
mahasiswa, cendikiawan dan masyarakat, mereka menuntut pelaksanaan proses
demokratisasi yang sehat dan terbebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) yang mucul dampak tidak diimbanginya pembangunan fisik dengan
pembangunan mental (character building) terhadap para pelaksana pemerintahan
(birokrat), aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha/konglomerat).
Mereka juga menuntut terwujudnya rule of law, good governnance serta
berjalannya pemerintahan yang bersih. Oleh karena itu, bagi mereka reformasi
1
merupakan sebuah era dan suasana yang senanatiasa terus diperjuangkan dan
dipelihara.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka Rumusan Masalah yang di klarifikasi
pada makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana jatuhnya Pemerintahan Orde Baru ?
b. Krisis apa saja yang dihadapi oleh Pemerintahan Orde Baru?
c. Apa Pengertian dan Agenda Masa Pemerintahan Reformasi?
d. Apa Latar Belakang terbentuknya Pemerintahan Reformasi?
e.
Apa faktor yang mendorong munculnya Reformasi?
f.
Bagaimana Kronologi Gerakan Reformasi?
1.3 Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini, kami berharap dapat mencapai tujuan yang
diingkan yaitu :
a. Mengetahui Proses Jatuhnya Pemerintahan Masa Orde Baru
b. Mengetahui krisis-krisis yang dihadapi oleh Pemerintahan Orde Baru
c. Mengetahui Pengertian dan Agenda Masa Pemerintah Reformasi
d. Mengetahui Latar belakang terbentuknya Reformasi
e. Mengetahui faktor yang mendorong munculnya Reformasi
f. Mengetahui secara kronologis Gerakan Reformasi
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 AKHIR ORDE BARU
A. Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru
Pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto selam 32 tahun
ternyata tidak konsisten dan konsekuan terhadap tekad awal munculnya orde baru,
yaitu akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kehidupan
politik Indonesia mulai memanas sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang di
rencanakan pada bulan mei 1997. Pemerintahan orde baru yang di dukung oleh
Golkar (Golongan Karya) berusaha mempertahankan kemenangan mutlak yang
telah dicapai dalam lima kali pemilihan umum sebelumnya.
Setelah orde baru memegang kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan,maka
muncul suatu keinginan untuk terus-menerus mempertahankan kekuasaan (status
quo). Oleh karena keinginan mempertahankan kekuasaan tersaebut, menjadikan
semakin jauh dari tekad awal orde baru. Akhirnya berbagai macam penyelewengan
dilakukan oleh pemerintahan orde baru. Penyelewengan dan penyimpangan yang
dilakukan tersebut di rekayasa untuk melindungi kepentingan penguasa, sehingga
hal tersebut di anggap selalu sah dan benar, walaupun merugikan rakyat.
Jatuhnya pemerintahan orde baru di sebabkan oleh beberapa faktor yang di awali
oleh krisis ekonomi dan krisis politik yang berkepanjangan. Kebijakan - kebijakan
orde baru yang menyimpang tersebut memunculkan krisis berbagai bidang
kehidupan masyarakat.
B. Krisis Pada Masa Orde Baru
Bentuk – bentuk krisis yang dihadapi oleh Pemerintah Orde Baru antara lain
sebagai berikut :
1. Krisis Moneter
3
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia
(untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam
50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang
semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal
dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta
pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas,
serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya
untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden
B.J. Habibie, untuk menjadi Presiden ketiga Indonesia.
Pada waktu krisis melanda Thailand, keadaan Indonesia masih baik. Inflasi
rendah, ekspor masih surplus sebesar US$ 900 juta dan cadangan devisa masih
besar, lebih dari US$ 20 B. Tapi banyak perusahaan besar menggunakan
hutang dalam US Dollar. Ini merupakan cara yang menguntungkan ketika
Rupiah masih kuat. Hutang dan bunga tidak jadi masalah karena diimbangi
kekuatan penghasilan Rupiah. Tapi begitu Thailand melepaskan kaitan Baht
pada US Dollar di bulan Juli 1997, Rupiah kena serangan bertubi-tubi, dijual
untuk membeli US Dollar yang menjadi murah. Waktu Indonesia melepaskan
Rupiah dari US Dollar, serangan meningkat makin menjatuhkan nilai Rupiah.
IMF maju dengan paket bantuan US$ 20B, tapi Rupiah jatuh terus dengan
kekuatiran akan hutang perusahaan, pelepasan Rupiah besar-besaran. Bursa
Efek Jakarta juga jatuh. Dalam setengah tahun, Rupiah jatuh dari 2,000 dampai
18,000 per US Dollar.
Di tengah ketegangan politik, bangsa Indonesia menghadapi persoalan
lain,yaitu adanya krisis moneter. Akibat adanya krisis moneter kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto semakin berkurang. Gelombang
demonstrasi mahasiswa semakin tidak dapat dibendung. Pada tanggal 19 mei
1988, mahasiswa dari berbagai kampus yang jumlahnya mencapai puluhan ribu
orang teru berdatangan kegedung MPR/DPR. Mereka mendesak Soeharto
mundur dari kursi Presiden dan menuntut reformasi total. Salah satu penyebab
mundurnya Soeharto adalah melemahnya dukungan politik, yaitu terlihat dari
4
pernyataan politik Kosgoro (salah satu organisasi di bawahGolkar) yang
meminta Soeharto mundur. Pernyataan Kosgoro pada tanggal 16 mei 1998
tersebut diikuti dengan pernyataan Ketua Umum Golkar , Harmoko yang pada
saat itujuga menjabat sebagai ketua MPR/DPR RI meminta Soeharto untuk
mundur. Keroposnya perokonomian Indonesia semakin parah karena tindakan
parakonglomerat yang menyalahgunakan posisi mereka sebagai pelaku
pembangunan ekonomi. Karena berkembangnya budaya KKN, menyebabkan
para konglomerat bisa bertindak dengan leluasa tanpa ada kontrol terjadi pula
di beberapa negara Asia Tenggara seperti di Malaysia, Thailand, Filipina, dan
Indonesia. pelaku spekulan. Meskipun banyak faktor yang menyebabkan krisis
moneter ini, namun salah satu sebab utamanya adalah para spekulan asing yang
telah memborong dolar lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga mata
uang negara ASEAN terpuruk. Spekulan yang terbesar pada era krisis tersebut
adalah George Soros. Pada masa Orde Baru, perekonomian lebih menberikan
kentungan bagikaum modal atau konglomerat. Hal tersebut adalah wujud dari
prakti-praktik KKN yang mengakibatkan rakyat semakin miskin dan tidak
berdaya. Berikut adalah beberapa akibat dari krisis ekonomi :
a. Kurs rupiah terhadap dolar Amerika melemah pada tanggal 1Agustus
1997.
b. Pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997.
c. Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
yang mengawasi empat puluh bank bermasalah.
d. Kepercayaan Internasional terhadap Indonesia menurun.
e. Perusahaan milik negara dan swasta banyak yang tidak dapatmembayar
utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo.
f. Angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat karenabanyak
perusahaan yang melakukan efisisensi atau menghentikan kegiatansama
sekali.
g. Persediaan barang nasional, khususnya sembilan bahanpokok di pasaran
mulai menipis pada akhir tahun 1997.
5
Untuk mengatasi kesulitan moneter tersebut, pemerintah meminta bantuan
dana pembangunan dari institusi nasional, yaitu International Monetory Fund
(IMF). Pada tanggal 15 Januari 1998 di jalan Cendana Jakarta, Presiden
Soeharto menandatangani 50 butir Letter Of Intent ( Lol ) yang disaksikan oleh
Direktur IMF Asia, Michel Camdessus, sebagai sebuah syarat untuk
mendapatkan kucuran dana bantuan luar negeri tersebut. Faktor yang
menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia adalah masalah utang luar negeri,
penyimpangan terhadap pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yang
sentralistik.
a. Utang Luar Negeri Indonesia
Utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang
negara,tetapi sebagian merupak utang swasta. Utang yang menjadi
tanggungan negara hingga 6Februari 1998 mencapai 63,462 miliar dolar
Amerika Serikat, sedangkan utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar
dolar Amerika Serikat. Ketika terjadi krisis moneter tahun1998, nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat merosot tajam, bahkan sempa
tmencapai Rp 16.000,00. akibat dari utang-utang tersebut, maka
kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Para
pedagang luar negeri tidak percaya lagi terhadap importir Indonesia yang
dianggap tidak akan mampu membayar barang dagangan. Hampir semua
negara luar tidak mau menerima Letter Of Credit ( L/C ) dari Indonesia.
b. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah
jauh menyimpang dari sistem perekonomian Indonesia. Dalam pasal 33
UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua untuk semua di bawahpimpinan atau pemilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan
merupakan
kemakmuran orang per orang, melainkan
kemakmuran
seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Perekonomian berdasarkan asas demokrasi ekonomi
6
bertujuan untuk menciptakan kemakmuran bagi semua orang. Oleh karena
itu, cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak harus dikuasai oleh negara. Jika tidak maka akan jatuh ke
tangan orang-orang yang berkuasa dan akan merugikan rakyat.Sistem
ekonomi yang berkembang pada masa Orde Baru adalah sistem ekonomi
kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk.
Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah
jauh menyimpang dari sistem perekonomian Indonesia. Dalam pasal 33
UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan
merupakan kemakmuran orang per orang, melainkan kemakmuran seluruh
masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Perekonomian berdasarkan asas demokrasi ekonomi bertujuan untuk
menciptakan kemakmuran bagi semua orang. Oleh karena itu, cabangcabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak harus dikuasai oleh negara. Jika tidak maka akan jatuh ke tangan
orang-orang yang berkuasa dan akan merugikan rakyat. Sebaliknya, sistem
ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah
sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan
berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan
kolusi.
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan
menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD
1945
yang
murni,
terutama
pelanggaran
pasal
23
(hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt)
dan pasal 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta
untuk menghancur hutan dan sumber alam kita.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai
tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri,
namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat
7
Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan
yang masih rendah.
Adapun bentuk-bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa Orde Baru
meliputi, antara lain :
1) Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan Presiden, sehingga pemerintahan
dijalankan secara otoriter.
2) Berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya,
hanya melayani keinginan pemerintah (Presiden).
3) Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis, pemilu hanya menjadi
sarana untuk mengukuhkan kekuasaan Presiden, sehingga Presiden terus
menerus dipilih kembali.
4) Terjadi monopol penafsiran Pancasila. Pancasila ditafsirkan sesuai
keinginan pemerintah untuk membenarkan tindakan – tindakannya.
5) Pembatasan hak hak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul,
dan berpendapat.
6) Pemerintah campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga
kekuasaan kehakiman tidak merdeka.
7) Pembentukan lembaga lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi,
yaitu Kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas .
8) Terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang luar biasa parahnya sehingga
merusak segala aspek kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis
multidimensi monopoli, oligopoli, dan diwarnai dengan korupsi dan
kolusi.
c. Pola Pemerintahan Sentralistik
Pemerintahan
Orde
Baru
dalam
melaksanakan
sistem
pemerintahanbersifat sentralistis, artinya semua bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara di atur secara sentral dari pusat pemerintah
( Jakarta ), sehingga peranan pemerintah pusat sangat menentukan dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat.Pelaksanaan politik sentralisasi ini
sangat terlihat pada bidang ekonomi,sebagian besar kekayaan daerah
dibawa ke pusat dan pemerintah daerah tidak dapatberbuat banyak karena
8
dominasi pusat terhadap daerah sangat kuat. Hal tersebutmenimbulkan
ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah
pusat.Krisis moneter dan ekonomi semakin meluas dan menjadi
krisismultidimensional. Di tengah situasi yang semakin melemahnya nilai
rupiah, aksi massa,aksi buruh, dan aksi mahasiswa terjadi dimana-mana.
Mereka menuntut agar pemerintah segera mengadakan pemulihan
ekonomi, sehingga harga-harga sembako turun, tidak lagi ada PHK dan
lain-lain.
2. Krisis Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan nmenimbulkan
permasalahan politik. Ada kesan bahwa kedaulatan rakyat berada di tangan
sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Pada
dasarnya secara de jure (secar hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan
oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi ternyata secara de facto
(dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga
sebagian besar anggota MPR tersebut di angkat berdasarkan ikatan
kekeluargaan (nepotisme).
Hal tersebut mengakibatkan suksesi politik pemerintah menjadi tidak
terlaksana dengan baik. Kondisi tersebut memicu munculnya kondisi Status
QUO yang berakibat pada munculnya krisis politik, baik itu dalam tatanan elite
politik
maupun
masyrakat
yang
mulai
mempertanyakan
legitimasi
pemerintahan orde baru.
Begitu mengakarnya budaya KKN dalam tubuh birokrasi pemerintah,
menyebabkan proses pengawasan dan pemberian mandataris kepemimpinan
dari DPR dan MPR kepada presiden menjadi tidak sempurna. Unsur legislatif
yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR dalam membuat dasar-dasar
hukum dan haluan Negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh presiden
Soeharto.
Selanjutnya dengan keadaan seperti itu, mengakibatkan munculnya rasa
tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR dan MPR. Ketidak percayaan
itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi yang di pelopori oleh
9
kalangan mahasiswa. Mahasiswa yang didukung oleh dosen dan rektornya
mengajukan tuntutan untuk mengganti presiden, reshuffle cabinet, dan
menggelar Sidang istimewa MPR serta melaksanakan pemilihan umum
secepatnya.
Gerakan reformasi disamping menuntut dilakukannya reformasi total di
segala bidang juga menuntut agar dilakukannya pembaruan terhadap lima
paket undang-undang politik di anggap menjadi sumber ketidakadilan. Lima
paket undang-undang politik tersebut,antara lain sebagai berikut :
I.
II.
UU No.1 Tahun 1985 tentang pemilihan umum
UU No.2 Tahun 1985 tentang susunan,kedudukan,Tugas dan
wewenag MPR/DPR
III.
UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan golongan karya.
IV.
UU No.5 Tahun 1985 tentang referendum
V.
UU No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Pemerintah orde baru memiliki cara tersendiri untuk menciptakan stabilitas
yang diinginkan,seperti dengan menjadikan Golkar sebagai mesin politik. Ada
tiga jalur dalam tubuh golkaryang menjadi tumpuan kekuatan, yaitu ABRI,
birokrat, dan Golkar. Dengan tiga jalur tersebut maka tidak mengherankan jika
Golkar selalu menjadi pemenang dalam pemilu-pemilu yang diselenggarakan
pada masa orde baru. Keberadaan Golkar yang sebenarnya diperlukan sebagai
sarana dan arena penyaluran aspirasi rakyat, ternyata dijadikan sebagai alat
kekuasaan atau alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.
Kebijakan dari dwifungsi ABRI menimbulkan peran social politik tentara
yang besar dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bidangbidang seharusnya masyarakat berperan lebih besar,ternyata diisi oleh personel
dari TNI dan Polri. Seperti jabatan lurah, walikota, dan gubernur pada masa
orde baru banyak diduduki oleh militer.
Setahun sebelum pemilihan umum yang diselenggarakan pada bulan Mei
1997, kehidupan politik Indonesia mulai memanas. Pemerintah orde baru yang
di dukung oleh Golkar berusaha memenangkan pemilu dan mempertahankan
kemenangan mutlak seperti yang telah di capai dalam lima pemilu sebelumnya.
10
Didalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan
pemerintah terhadap pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat pada
perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau
memberikan
kritik
terhadap
kebijakan-kebijakan
yang
diambil
oleh
pemerintah.
Pada pemilu tahun 1997, Golkar menang mutlak, PPP berhasil menambah
beberapa hasil kursinya di DPR, sedangkan PDI mengalami penurunan secara
drastis. Kemenangan Golkar tersebut diikuti dengan munculnya dukungan
kepada Soeharto untuk menjadi presiden dalam sidang umum MPR 1998.
Percalonan kembali soeharto sebagai presiden tidak dapat dipisahkan dari
komposisi anggota MPR/DPR yang lebih mengarah pada unsur-unsur
Nepotisme. Disamping itu, DPR/MPR belum berfungsi sebagai lembaga
legislatif seperti yang dihrapkan rakyat. Dalam sidang umum MPR bulan
Maret 1998 soeharto terpilih sebagai presiden dan wakil presiden B.J. Habibie.
MPR juga berhasil menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan
kewenangan khusus kepada presiden untuk mengendalikan Negara.
Pada Tanggal 19 Mei 1998, mahasiswa dari berbagai kampus yang
jumlahnya mencapai puluhan ribu orang terus berdatangan ke Gedung
MPR/DPR. Mereka mendesak soeharto mundur dari kursi presiden dan
menuntut reformasi total.
Salah satu penyebab mundurnya soeharto adalah melemahnya dukungan
poliotik, yang terlihat dari pernyataan politik kosgoro (salah satu organisasi di
bawah Golkar) yang meminta soeharto mundur. Pernyataan kosgoro pada
tanggal 16 Mei 1998 tersebut diikuti dengan pernyataan ketua umu Golkar,
Harmoko yang pada saat itu juga menjabat sebagai ketua MPR/DPR RI
meminta soeharto untuk mundur.
3. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan orde baru terdapat banyak
ketidakadilan. Misalnya, kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24
11
UUD 1945 bahwa kehakiman memilki kekuasaan yang merdeka dan terlepas
dari kekuasaan pemerintah(esksekutif). Namun pada kenyataannya kekuasaan
kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu,pengadilan
sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, kerena hakim-hakim harus
melayanikehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat
pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau terjadi rekayasa
dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa,
keluarga kerabat atau para pejabat Negara.
Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan
mahasiswa, masalah hokum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat
menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan
masalah-masalah hukum pada keduudukan atau posisi yang sebenarnya.
Reformasi hukum hendaknya di percepat untuk diakukan,karena merupakan
suatu tuntuta agar siap meyongsong era keterbukaan ekonomi dan globalisasi.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dari kekuasaan pemerintah belum
dapat direalisasikan. Bahkan dalam praktiknya, kekuasaan kehakiman menjadi
pelayan kepentingan para penguasa dan kroni-kroninya. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila seseorang yang dianggap bersalah bebas dari hukuman
dan seseorang yang dianggap tidak bersalah malah harus masuk ke penjara.
Memang harus diakui bahwa sistem peradilan pada masa Orde Baru tidak
dapat dijadikan barometer untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, bersamaan
dengan krisi moneter, ekonomi, dan politik telah terjadi krisis di bidang hokum
(peradilan). Keadaan itulah yang menambah ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Suharto.
Untuk mengatasi krisis multidimensional tersebut, maka satu-satu jalan
adalah melaksanakan reformasi total dalam berbagai bidang kehidupan. Para
mahasiswa sebagai pelopor gerakan reformasi mengajukan berbagai tuntutan.
Misalnya, adili Suharto dan kroni-kroninya, ciptakan pemerintahan yang bersih
dari KKN, tegakkan supremasi hukum. Untuk memenuhi tuntutan mahasiswa,
Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh nasional
12
untuk membentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan tokoh agama dan
tokoh nasional. Tokoh-tokoh tersebut menolak anggilan dan ajakan Suharto
sehingga Presiden Suharto mengundurkan diri.
4. Krisis Kepercayaan
Dalam pemerintahan orde baru berkembang korupsi, kolusi, dan nepotisme
yang dilaksanakan secara terselubung maupun secara terang-terangan.Hal
tersebut mengakibatkan munculnya ketidak percayaan rakyat terhadap
pemerintah dan tidak percayaan luar negeri terhadap Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto
berkurang setelah bangsa Indonesia dilanda krisis multimedia. Kemudian
muncul beberapa aksi damai yang dilakukan oleh para mahasiswa dan
masyarakat.
Para mahasiswa
semakin
gencar
berdemonstrasi
setelah
pemerintah mengumumkan kenaikan Harga BBM dan ongkos angkutan pada
tanggal 4 Mei 1998. Puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998 di universitas
trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai berubah menjadi aksi
kekersan setelah tertembaknya empat mahasiswa trisakti, Yaitu Elang Mulya
Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan sie, dan Hafidhin Royan.
Pada waktu terjadi peristiwa tersebut, Presiden Soeharto sedang berada di
kairo (mesir) dalam rangka menghadiri KTT G-15. Masyarakat menuntut agar
Presiden Soeharto sebagai pemegang kekuasaan pemerintah bertanggung
jawab atas tragedy tersebut. Pada tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto
kembali ke Indonesia. Tuntutan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri
tidak saja dari kalangan mahasiswa atau pihak oposisi saja, tetapi juga datang
dari orang-orang terdekatnya.
5. Krisis Sosial
Pada masa akhir pemerintahan orde baru, indonesia mengalami gejolak
politik yang tinggi, baik di tatanan pemerintahan maupun di tingkat pergerakan
rakyat dan mahasiswa. Suhu politik yang memanas menimbulkan berbagai
potensi perpecahan sosial di masyarakat.
13
Pola transmigrasi yang diterapkan oleh pemerintah tidak diiringi dengan
penanganan solidaritas sosial di daerah tujuan.Pada akhirnya kecemburuan
sosial akibat adanya disparitas tingkat perekonomian tidak dapat di hindari.
Kondisi inilah yang kemudian memicu tuntutan kepada pemerintah pusat untuk
mereformasi pola pembangunan ekonomi. Tuntutan inilah yang kemudian
memunculkan kesadaran masyarakat indonesia akan pentingnya reformasi bagi
kehidupan bangsa.
2.2 AWAL REFORMASI
A. Pengertian dan Agenda Reformasi
Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk atau
perilaku suatu tatanan, karena tatanan tersebut tidak lagi disukai
atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik karena tidak
efisien maupun tidak bersih dan tidak demokratism “Reformasi
atau mati”m Demikian tuntutan yang torehkan oleh para aktivis
mahasiswa pada spanduk-spanduk yang terpampang di kampus
mereka, atau yang mereka teriakan saat melakukan aksi protes
melalui kegiatan unjuk rasa pada akhir April 1998m Tuntutan
tersebut menggambarkan sebuah titik kulminasi dari gerakan aksi
protes yang tumbuh di lingkungan kampus secara nasional sejak
awal tahun 1998m Gerakan ini bertujuan untuk melakukan tekanan
agar pemerintah mengadakan perubahan politik yang berarti,
melalui pelaksanaan reformasi secara totalm
Reformasi merupakan formulasi menuju Indonesia baru dengan tatanan baru.
Buah perjuangan dari reformasi itu tidak dapat di petik dalam waktu yang singkat,
namun membutuhkan proses dan waktu. Bahkan hasil reformasi itu baru dapat di
nikmati oleh masyarakat Indonesia secara bertahap, sehingga perlu adanya agenda
reformasi untuk menpriotaskan mana yang lebih dulu harus di laksanakan. Lebih
lanjut perlu juga dilakukan kontol atas reformasi, agar pelaksanaan reformasi tepat
pada tujuan dan sasarannya. Reformasi yang tidak terkendali akan kehilangan arah
dan bahkan cenderung melanggar norma-norma hukum, sehingga tidak akan
membawa perbaikan dalam kehidupan masa depan masyarakat Indonesia.
14
Masalah yang sangat mendesak adalah upaya untuk mengatsi kesulitan
masyarakat banyak tentang masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga
yang terjangkau oleh rakyat. Pada waktu itu, harga kebutuhan pokok rakyat sempat
melejit tinggi, bahkan warga masyarakat harus antri untuk membelinya.
Sementara itu, melihat situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang
semakin tidak terkendali, rakyat Indonesia menjadi semakin kritis dan menyatakan
bahwa pemerintah orde baru tidak berhasil menciptakan kehidupan masyarakat
yang makmur, adil, dan sejahtera berdasarkan pancasila dan UUD tahun 1945. Oleh
krena itu, munculnya gerakan reformasi bertujuan untuk memperbarui tatanan
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Beberapa Agenda Reformasi yang disuarakan para mahasiswa antara lain
sebagai berikut :
1. Penegakan Supremasi Hukum
Empat tahun setelah reformasi bergulir ternyata penegakan supremasi
hukum masih terkesan jalan di tempat. Sejak pemerintahan Abdurrachman
Wachid sampai pemerintahan Megawati hampir tidak ada kemajuan yang
berarti. Salah satu tolok ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana
penegakan supremasi hukum adalah sejauh mana keberhasilan pemberantasan
KKN dilakukan. Harus diakui, di era reformasi ini telah banyak dihasilkan
perangkat undang-undang baru. Misalnya, ada Ketetapan MPR No. XI/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No.
20 Tahun 2001 (merubah UU NO. 31 Tahun 1999) tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan berbagai
UU lainnya. Selain itu, muncul pula lembaga pengawas baru seperti KPKPN
maupun Komisi Ombudsman, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah
penegakan supremasi hukum.
Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga
menimbulkan rasa ketidakadilan. Fungsi prevensi umum (deterence) dan
prevensi khusus melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi
nihil, bahkan perilaku KKN ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru
15
perilaku KKN hanya merupakan bentuk “perselingkuhan” antara Eksekutif dan
Judikatif, kini tengah berkembang menjadi bentuk “cinta segi tiga” antara
Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.
Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah
dilakukan selama ini agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi
hukum yaitu dengan hanya memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal
pembentukan UU baru tidak serta merta akan menciptakan penegakan hukum
yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu menjelma dalam bentuk
penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana hukum yang baik.
Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of law is not executing. It is tralated in to
reality by man in institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak
otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang.
Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak
dapat lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur,
dan komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini
yang tampaknya masih belum banyak direformasi sehingga penegakan
supremasi hukum masih mengecewakan.
Komponen struktur yang mendukung bekerjanya sistem hukum seperti
Kepolisian, Kejaksaaan, Kehakiman dan Pengacara masih belum banyak
berubah dari pola dan budaya yang diwarisi dari orde baru. Masing-masing
institusi tersebut belum memiliki visi yang sama untuk menegakkan supremasi
hukum, belum tampak komitmen yang kuat diantara mereka untuk menuntaskan
semua pelaku KKN dan kejahatan lainnya sesuai aturan hukum yang berlaku,
sehingga hukum benar-benar dihormati dan mampu melindungi masyarakat.
Para penegak hukum tampaknya masih sibuk cari makan dengan caranya
sendiri-sendiri, sehingga muncul fenomena berupa mafia peradilan, jual beli
kasus, jual beli penangguhan penahanan, jual beli SP3, tawar menawar tuntutan,
pengacara “hitam”, dan praktek-praktek KKN lain yang masih jalan terus.
Jika penegakan supremasi hukum ingin diwujudkan lembaga penegak hukum
harus dilepaskan dari pola dan kultur orde baru yang selama ini telah menjadi
mind set aparat penegak hukum. Di samping itu harus dilakukan upaya
pembersihan dari oknum yang selama ini menggerogoti wibawa dan citra
16
penegak hukum. Sampai saat ini sistem reward and punishment belum
dilaksanakan
dengan
baik,
seharusnya
oknum
yang
jelas
terbukti
menyalahgunakan jabatan, mengesampingkan hukum dan keadilan, atau
melakukan pelanggaran lainnya diberi sanksi yang keras (bila perlu dipecat),
bukan sekedar dimutasi atau justru dipromosikan. Proses pembersihan institusi
hukum harus dimulai dari level atas ke bawah, karena proses pembusukan
institusi
itu
juga
dimulai
dari
atas
dan
merambat
ke
bawah.
Harus diingat bahwa peradilan pidana sebagai bagian dari upaya penegakan
hukum tidak terbatas pada lembaga pengadilan (hakim). Sistem peradilan pidana
merupakan keterpaduan antara sub sistem yang terdiri dari polisi, jaksa,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan (Indriyanto Seno Adji, 2000 : 1).
Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) bertujuan
untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi. Sistem tersebut memiliki tiga tahap :
a. Pra Pengadilan, yaitu mencegah masyarakat menjadi korban;
b. Pengadilan, yaitu menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan
memberi putusan yang sesuai dengan rasa keadilan;
c. Pasca pengadilan, yaitu agar pelaku tidak melakukan kejahatan
atau tidak mengulangi kejahatan tersebut.
2. Pemberantasan KKN
Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Pemberantasan KKN.
Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia,
birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam hubungan antarbangsa.
Di samping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas
menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik,
dan berfungsi melakukukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan
tersebut secara operasional.
Usaha pemberantasan KKN perlu dilihat dalam konteks reformasi
birokrasi, bahkan dalam rangka reformasi sistem administrasi publik secara
keseluruhan. Karena kita ketahui bahwa masalah KKN bukan hanya terjadi dan
terdapat di lingkungan birokrasi tetapi juga berjangkit pula pada sektor swasta,
17
dunia usaha, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umunya. Agenda
utama yang perlu ditempuh adalah terwujudnya kepemerintahan yang baik
(good governance) yang sasaran pokoknya adalah terwujudnya penyelenggaraan
pemerintahan yang profesional, berkepastian hukum, transparan, partisipatif,
akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas KKN, serta mengemban misi
perjuangan
bangsa
mewujudkan
cita-cita
dan
tujuan
bernegara.
Sehingga diharapkan, sebagai stabilisator dalam bidang hukum, administrasi
publik dapat mencegah atau pun memberantas KKN yang sudah mengakar di
Negara Indonesia ini melalui reformasi birokrasi.
KKN yang merupakan penyakit kronis Orde Baru, berkembang menjadi
neo-KKN orde transisi sekarang ini. Pemberantasan KKN telah menjadi agenda
utama
gerakan
reformasi
yang
bergulir
sejak
tahun
1998.
Dalam suatu negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih
adalah merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan
tugas pemerintahan umum dan pembangunan di berbagai bidang. Supremasi
hukum adalah keberadaan hukm yang yang dibentuk melalui proses yang
demokratis dan merupakan landasan berpijak bagi seluruh penyelenggara negara
dan masyarakat luas, sehingga pelaksnaan pembangunan secara keseluruhan
dapat berjalan sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Sedangkan pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang bebas
dari praktik KKN dan perbuatn tercela lainnya. Dengan demikian, supremasi
hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi masyarakat
dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap
pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan merupakan salah satu upaya
reformasi
birokrasi
dalam
rangka
mewujudkan
goog
governance.
Sasaran yang diharapakan dari reformasi birokrasi ini adalah sebagai stabilisator
dalam bidang hukum terutama dalam pemberantasan KKN, Administrasi Negara
dapat mewujudkan good governance. Sehingga, KKN yang telah mendarah
daging di birokrasi Indonesia dapat sedikit demi sedikit tersisih. Bahkan dapat
hilang sama sekali karena tidak ada lagi birokrasi yang dapat mempermudah
kegiatan KKN di negara ini.
18
Birokrasi di Indonesia saat ini mempunyai keberpihakan yang banyak
diarahkan pada kepentingan segelintir orang atau pun kelompok-kelompok
tertentu dalam masyarakat, bekerja dengan lamban, tidak akurat, berbelit-belit,
tidak efisien, serta memberatkan masyarakat. Birokrasi yang tidak netral telah
turut membawa Indonesia pada jurang kekacauan politik, dan birokrasi yang
tidak netral elalu tumbuh bersama dengan kekuatan dan kepentingan politik atau
golongan tertentu, selalu terjebak dalam godaan KKN, dan akhirnya juga
membawa negara kita pada kehancuran ekonomi. Hal semacam itu telah terjadi
pada setiap rezim pmerintahan, dengan akibat dan dampak yang serupa berupa
kelemahan bangunan kelembagaan hukum, dan kehancuran kehidupan ekonomi,
politik, dan sosial.
3. Pengadilan Mantan Presiden Soeharto Dan Kroninya
Oleh karena banyaknya persoalan-persoalan besar dan parah yang
dihadapi negara dan rakyat dewasa ini (antara lain : banjir besar dimana-mana,
gempa di Sumatera, listrik yang digilir, penderitaan yang menyedihkan bagi
korban lumpur panas Lapindo, penyelewengan di Bank Indonesia, tersangkutnya
anggota-anggota DPR dalam soal BLBI, diadilinya mantan Kapolri Rusdihardjo
karena korupsi dll dll dll), maka persoalan besar mengenai tindakan hukum
terhadap Suharto, beserta anak-anaknya dan kroni-kroninya, akhir-akhir ini
kurang menjadi pembicaraan dan perhatian banyak orang.
Padahal, dalam konteks situasi dewasa ini penyelesaian masalah Suharto
beserta anak-anak dan para kroninya, adalah masalah yang tetap penting, karena
ada hubungannya yang erat dengan banyak soal bangsa dan negara kita. Hal-hal
inilah yang diangkat secara baik dalam tulisan wartawan Siprianus Edi Hardum
yang dimuat oleh Suara Pembaruan ‘(25 Februari 2008). Mengingat pentingnya
tulisan ini untuk diteruskannya gugatan atau desakan masyarakat untuk
menuntut keluarga Suharto beserta kroni-kroninya, maka disajikan kembali
tulisan ini, bagi mereka yang tidak sempat membacanya di Suara Pembaruan.
4. Amandemen Konstitusi
19
Upaya amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 jangan hanya
memperjuangkan penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saja, tetapi
bertujuan mewujudkan kedaulatan rakyat. Hal yang perlu dilakukan adalah
mengkaji ulang hasil amandemen ke empat UUD 1945 sehingga perubahan lebih
komprehensif guna mewujudkan cita-cita negara yang ingin dicapai.
Hal itu ditegaskan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan, Persatuan
Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Bambang Triantoro,
saat Forum Dialog Konstitusi di Press Room DPD, Senayan, Jakarta, kemarin.
Ketua Bidang Humas Dewan Harian Nasional Angkatan 45, Soeprapto
berpandangan tidak ada larangan untuk melakukan perubahan UUD Negara RI
Tahun 1945. "Tetapi perubahan harus dilandasi dengan pertimbangan pemikiran
berdasarkan postulat-postulat serta tidak menghilangkan jatidiri bangsa
Indonesia. Perubahan harus bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang
dihadapi bangsa," ujarnya.
Menurutnya, setiap negara merdeka selalu memiliki konstitusi atau
grondwet/Grudgesetz atau udang-undang dasar, sebagai hukum dasar yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban segala unsur yang terlibat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, melindungi warga negara dari segala
tindakan yang merugikan, serta bertujuan menciptakan kesejahteraan dan
keadilan.
5. Penghapusan dwifungsi ABRI
Dwifungsi TNI/Polri sebenarnya membuat sebuah negara di dalam
negara, dengan mendirikan struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa.
Struktur ini membuat militer dapat mengontrol kegiatan politik rakyat. Sebagai
contoh, aksi buruh dipastikan akan diintimidasi dengan aparat kodim terdekat.
Aksi petani pastilah akan diteror oleh koramil dan babinsa di wilayah tersebut.
Begitu juga dengan kaum miskin kota serta elemen-elemen rakyat lainnya.
Bahkan dalam UU Darurat/UU PKB terlihat jelas sebenarnya peranan dari
struktur ini. Struktur ini akan menjalankan fungsi-fungsi negara selama keadaan
darurat mulai dari fungsi hukum sampai fungsi administrasi masyarakat. Dan
dalam kenyataannya sehari-hari, tanpa harus menyatakan keadaan darurat,
20
militer sudah mengatur segala fungsi-fungsi negara. Struktur birokrasi
pemerintahan sampai struktur organisasi masyarakat RT/RW sudah disusupi
oleh perwira-perwira militer. Mulai dari Mendagri, Jaksa Agung, Gubernur,
Bupati, Lurah, Camat, sampai ketua RT/RW bahkan juga direktur-direktur
BUMN. Bahkan masuknya militer ke kekuasaan legislatif (DPRD/DPR/MPR)
sebenarnya tidak terlepas dari pola mereka masuk ke struktur birokrasi tadi.
Untuk mengontrol rakyat Indonesia. Kontrol inilah yang kemudian menghambat
proses demokratisasi. Rakyat menjadi hidup didalam satu nuansa represi dan
intimidasi.
Oleh karenanya, dimensi pertama dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri
adalah pembubaran struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Dimensi
ini bertujuan untuk membebaskan rakyat dari satu represi dan intimidasi yang
kemudian akan memacu partisipasi dan kesadaran demokratik rakyat.
Argumentasi yang diberikan oleh militer bahwa strukturt ini dibutuhkan untuk
menjaga keamanan teritori jelas lemah karena secara riil pembentukkan struktur
ini justru untuk menyempurnakan alat-alat kekuasaan mereka. Apa yang harus
dilakukan untuk mengamankan teritori negara adalah pembentukan milisi-milisi
bela negara yang berbasis pada pengorganisasian perlawanan massa-rakyat.
Apabila TNI tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan tetap mempertahankan
Dwi Fungsi TNI, maka keniscayaan pendelegitimasian TNI adalah hukum
sejarah. Akan tetapi, bila TNI menyerahkan fungsi dan peran sosial politiknya
kepada sipil sepenuh-penuhnya, dan berfungsi sebagai alat pertahanan semata,
maka
pembentukan
milisi
bela
negara
adalah
jalan
yang
terbaik
Selain itu, militer juga membuat lembaga-lembaga ekstrayudisial seperti BIA,
BAKIN atau BAIS dsb. Lembaga yang berada di luar jangkauan kekuasaan
kehakiman dan peradilan. Lembaga tersebut memiliki wewenang yang sangat
luar biasa. Ia dapat menangkap seseorang tanpa ada kejelasan hukum. Bahkan
tindakan-tindakan lembaga tersebut sering kali berbau kriminal seperti
penculikan dan pembunuhan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.
Lembaga ini berfungsi melakukan teror dan penginterogasian terhadap orangorang yang memperjuangkan demokrasi dan hak-hak rakyat. Oleh karenanya,
pembubaran lembaga-lembaga ekstrajudisial menjadi dimensi kedua dari
21
pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri. Hal ini penting untuk mengembalikan prinsip
trias
politika
yang
tegas
dan
penegakkan
hukum
yang
konsisten.
Dimensi Ketiga adalah pembersihan militer dari politik. Harus dipahami bahawa
TNI/Polri adalah fungsi keamanan (TNI) dan ketertiban (polisi) sehingga ia
tidak perlu untuk masuk dalam percaturan politik. Pentingnya Militer
dibersihkan dari lapangan politik adalah untuk tetap menjaga netralitas militer
agar tidak kemudian berpihak pada kekuatan politik lain selain kekuatan politik
rakyat. Posisi militer yang menjadi tiang penyangga pada masa Rejim Orde Baru
yang berlumuran darah tampaknya cukup menjadi contoh tentang pentingnya
militer keluar dari gelanggang politik.
Dimensi Keeempat adalah penghentian dan penyitaan aset-aset ekonomi
militer. Seperti dijelaskan diatas, penguasaan militer atas aset-aset ekonomi
(dalam bahasa kasarnya :militer berbisnis) akhirnya mendorong miter untuk
masuk dalam kekuasaan karena penguasaan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari
kekuasaan. Penyitaan aset-aset ekonomi ini kemudian diserahkan pada negara
untuk dikelola. Penyitaan dan penghentian praktek bisnis militer ini tentunya
harus dengan prasyarat bahwa ada jaminan kesejahteraan minimum bagi para
prajurit (yang kemudian menahan keinginan militer untuk berbisnis) dan
anggaran militer yang cukup oleh negara.
Dimensi terakhir adalah Penegakan hukum dan HAM bagi para perwira
militer pelanggarnya. Seperti diungkapkan dimuka bahwa demokrasi memiliki
aturan-aturan prinsipil dalam pembangunannya yang salah satunya adalah
penegakkan Hak Asasi Manusia, maka penegakkan hukum merupakan unsur
penting bagi pembangunan demokrasi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa militer
Indonesia memiliki peran yang cukup besar atas penindasan yang diterima oleh
rakyat Indonesia selama puluhan tahun. Pertanggungjawaban secara hukum,
politik dan sejarah adalah satu-satunya jalan bagi militer untuk dapat diterima
kembali di masyarakat.
Prinsip dari pencabutan Dwi fungsi TNI/Polri adalah menempatkan
posisi militer sebagai militer yang profesional dan sekaligus sebagai militer
rakyat yang artinya militer yang patuh pada prinsip-prinsip demokrasi
kerakyatan.
22
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah
menetapkan pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan
pemerintahan,
dengan
memberikan
kesempatan
dan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu
dapat disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya.
Dalam pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa “pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam
penjelasan
pasal
tersebut
antara
lain
dikemukakan
bahwa:
“…oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak
akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih
kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau
bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan
ditetapkan dengan undang-undang”.
Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami
perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat
mempertegas, memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara
Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah” (pasal 18 ayat 1). Pemerintah daerah tersebut
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan (pasal 18 ayat 2). Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat
5 UUD 1945).
Secara etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang
berarti sendiri dan “nomos”aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti
mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan
untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi
23
“pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau
perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu
juga pengadilan dan kepolisian sendiri (Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara
itu, dalam UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa
otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. yang berarti
Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan
diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh
pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17)
menyebutkan berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi
urusan pemerintah pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah
daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem
otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung
jawab.
Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas
yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan
rumah tangga daerah. Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya
keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil
keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari
pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat
kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai
lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara
umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kemampuannya
terbatas.
Sementara dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu
persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan,
merupakan urusan pemerintah pusat. Kelemahannya, sistem ini kurang fleksibel
karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah harus dilakukannya
melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Akibatnya, memghambat
kemajuan daerah, karena mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi
24
setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan menjadi terbengkelai, tidak diurus
oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh pemerintah daerah. Sedangkan dalam
sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah
diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih
tinggi tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh
peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan
kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta
pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan
kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam
masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas
atau urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat
diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan dan
keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini
menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat
diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah .
Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU
No.5 tahun 1974 sebagai salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Dalam UU
tentang Pemerintah Daerah yang baru, yaitu UU No. 22 tahun 1999, otonomi
daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan,
serta
perimbangan
keuangan
pusat
dan
daerah.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Di samping itu, keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian, dan evaluasi
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara
kekuasaanmasa Sukarno (Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang
menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan Gerakan 30 September tahun
1965. Orde baru lahir sebagai upaya untuk : mengoreksi total penyimpangan yang
dilakukan pada masa Orde Lama, penataan kembali seluruh aspek kehidupan
rakyat, bangsa, dan negara Indonesia,melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen dan menyusun kembali kekuatan bangsa untuk
menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Proses kejatuhan Orde Baru telah tampak ketika Indonesia mengalami dampak
langsung dari krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia. Ketika krisis ini
melanda Indonesia, nilai rupiah jatuh secara drastis, dampaknya terus menggerus di
segala bidang kehidupan, mulai dari bidang ekonomi, politik dan sosial. Tidak
sampai menempuh waktu yang lama, sejak pertengahan tahun 1997, ketika krisis
moneter melanda dunia, bulan Mei 1998, Orde Baru akhirnya runtuh. Krisis
moneter membuka jalan bagi kita menuju terwujudnya kehidupan berdemokrasi
yang sehat, yang selama ini terkukung oleh sistem kekuasaan Orde Baru yang serba
menguasai semua sisi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Proses menuju reformasi telah dimulai ketika wacana penentangan politik secara
terbuka kepada Orde Baru mulai muncul. Penentangan ini terus digulirkan oleh
mahasiswa, cendikiawan dan masyarakat, mereka menuntut pelaksanaan proses
demokratisasi yang sehat dan terbebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) yang mucul dampak tidak diimbanginya pembangunan fisik dengan
pembangunan mental (character building) terhadap para pelaksana pemerintahan
(birokrat), aparat keamanan maupun pelaku ekonomi (pengusaha/konglomerat).
Mereka juga menuntut terwujudnya rule of law, good governnance serta
berjalannya pemerintahan yang bersih. Oleh karena itu, bagi mereka reformasi
1
merupakan sebuah era dan suasana yang senanatiasa terus diperjuangkan dan
dipelihara.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka Rumusan Masalah yang di klarifikasi
pada makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana jatuhnya Pemerintahan Orde Baru ?
b. Krisis apa saja yang dihadapi oleh Pemerintahan Orde Baru?
c. Apa Pengertian dan Agenda Masa Pemerintahan Reformasi?
d. Apa Latar Belakang terbentuknya Pemerintahan Reformasi?
e.
Apa faktor yang mendorong munculnya Reformasi?
f.
Bagaimana Kronologi Gerakan Reformasi?
1.3 Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini, kami berharap dapat mencapai tujuan yang
diingkan yaitu :
a. Mengetahui Proses Jatuhnya Pemerintahan Masa Orde Baru
b. Mengetahui krisis-krisis yang dihadapi oleh Pemerintahan Orde Baru
c. Mengetahui Pengertian dan Agenda Masa Pemerintah Reformasi
d. Mengetahui Latar belakang terbentuknya Reformasi
e. Mengetahui faktor yang mendorong munculnya Reformasi
f. Mengetahui secara kronologis Gerakan Reformasi
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 AKHIR ORDE BARU
A. Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru
Pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto selam 32 tahun
ternyata tidak konsisten dan konsekuan terhadap tekad awal munculnya orde baru,
yaitu akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kehidupan
politik Indonesia mulai memanas sebelum pelaksanaan pemilihan umum yang di
rencanakan pada bulan mei 1997. Pemerintahan orde baru yang di dukung oleh
Golkar (Golongan Karya) berusaha mempertahankan kemenangan mutlak yang
telah dicapai dalam lima kali pemilihan umum sebelumnya.
Setelah orde baru memegang kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan,maka
muncul suatu keinginan untuk terus-menerus mempertahankan kekuasaan (status
quo). Oleh karena keinginan mempertahankan kekuasaan tersaebut, menjadikan
semakin jauh dari tekad awal orde baru. Akhirnya berbagai macam penyelewengan
dilakukan oleh pemerintahan orde baru. Penyelewengan dan penyimpangan yang
dilakukan tersebut di rekayasa untuk melindungi kepentingan penguasa, sehingga
hal tersebut di anggap selalu sah dan benar, walaupun merugikan rakyat.
Jatuhnya pemerintahan orde baru di sebabkan oleh beberapa faktor yang di awali
oleh krisis ekonomi dan krisis politik yang berkepanjangan. Kebijakan - kebijakan
orde baru yang menyimpang tersebut memunculkan krisis berbagai bidang
kehidupan masyarakat.
B. Krisis Pada Masa Orde Baru
Bentuk – bentuk krisis yang dihadapi oleh Pemerintah Orde Baru antara lain
sebagai berikut :
1. Krisis Moneter
3
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia
(untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam
50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang
semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal
dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta
pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas,
serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya
untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden
B.J. Habibie, untuk menjadi Presiden ketiga Indonesia.
Pada waktu krisis melanda Thailand, keadaan Indonesia masih baik. Inflasi
rendah, ekspor masih surplus sebesar US$ 900 juta dan cadangan devisa masih
besar, lebih dari US$ 20 B. Tapi banyak perusahaan besar menggunakan
hutang dalam US Dollar. Ini merupakan cara yang menguntungkan ketika
Rupiah masih kuat. Hutang dan bunga tidak jadi masalah karena diimbangi
kekuatan penghasilan Rupiah. Tapi begitu Thailand melepaskan kaitan Baht
pada US Dollar di bulan Juli 1997, Rupiah kena serangan bertubi-tubi, dijual
untuk membeli US Dollar yang menjadi murah. Waktu Indonesia melepaskan
Rupiah dari US Dollar, serangan meningkat makin menjatuhkan nilai Rupiah.
IMF maju dengan paket bantuan US$ 20B, tapi Rupiah jatuh terus dengan
kekuatiran akan hutang perusahaan, pelepasan Rupiah besar-besaran. Bursa
Efek Jakarta juga jatuh. Dalam setengah tahun, Rupiah jatuh dari 2,000 dampai
18,000 per US Dollar.
Di tengah ketegangan politik, bangsa Indonesia menghadapi persoalan
lain,yaitu adanya krisis moneter. Akibat adanya krisis moneter kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan Soeharto semakin berkurang. Gelombang
demonstrasi mahasiswa semakin tidak dapat dibendung. Pada tanggal 19 mei
1988, mahasiswa dari berbagai kampus yang jumlahnya mencapai puluhan ribu
orang teru berdatangan kegedung MPR/DPR. Mereka mendesak Soeharto
mundur dari kursi Presiden dan menuntut reformasi total. Salah satu penyebab
mundurnya Soeharto adalah melemahnya dukungan politik, yaitu terlihat dari
4
pernyataan politik Kosgoro (salah satu organisasi di bawahGolkar) yang
meminta Soeharto mundur. Pernyataan Kosgoro pada tanggal 16 mei 1998
tersebut diikuti dengan pernyataan Ketua Umum Golkar , Harmoko yang pada
saat itujuga menjabat sebagai ketua MPR/DPR RI meminta Soeharto untuk
mundur. Keroposnya perokonomian Indonesia semakin parah karena tindakan
parakonglomerat yang menyalahgunakan posisi mereka sebagai pelaku
pembangunan ekonomi. Karena berkembangnya budaya KKN, menyebabkan
para konglomerat bisa bertindak dengan leluasa tanpa ada kontrol terjadi pula
di beberapa negara Asia Tenggara seperti di Malaysia, Thailand, Filipina, dan
Indonesia. pelaku spekulan. Meskipun banyak faktor yang menyebabkan krisis
moneter ini, namun salah satu sebab utamanya adalah para spekulan asing yang
telah memborong dolar lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga mata
uang negara ASEAN terpuruk. Spekulan yang terbesar pada era krisis tersebut
adalah George Soros. Pada masa Orde Baru, perekonomian lebih menberikan
kentungan bagikaum modal atau konglomerat. Hal tersebut adalah wujud dari
prakti-praktik KKN yang mengakibatkan rakyat semakin miskin dan tidak
berdaya. Berikut adalah beberapa akibat dari krisis ekonomi :
a. Kurs rupiah terhadap dolar Amerika melemah pada tanggal 1Agustus
1997.
b. Pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997.
c. Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
yang mengawasi empat puluh bank bermasalah.
d. Kepercayaan Internasional terhadap Indonesia menurun.
e. Perusahaan milik negara dan swasta banyak yang tidak dapatmembayar
utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo.
f. Angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat karenabanyak
perusahaan yang melakukan efisisensi atau menghentikan kegiatansama
sekali.
g. Persediaan barang nasional, khususnya sembilan bahanpokok di pasaran
mulai menipis pada akhir tahun 1997.
5
Untuk mengatasi kesulitan moneter tersebut, pemerintah meminta bantuan
dana pembangunan dari institusi nasional, yaitu International Monetory Fund
(IMF). Pada tanggal 15 Januari 1998 di jalan Cendana Jakarta, Presiden
Soeharto menandatangani 50 butir Letter Of Intent ( Lol ) yang disaksikan oleh
Direktur IMF Asia, Michel Camdessus, sebagai sebuah syarat untuk
mendapatkan kucuran dana bantuan luar negeri tersebut. Faktor yang
menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia adalah masalah utang luar negeri,
penyimpangan terhadap pasal 33 UUD 1945, dan pola pemerintahan yang
sentralistik.
a. Utang Luar Negeri Indonesia
Utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang
negara,tetapi sebagian merupak utang swasta. Utang yang menjadi
tanggungan negara hingga 6Februari 1998 mencapai 63,462 miliar dolar
Amerika Serikat, sedangkan utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar
dolar Amerika Serikat. Ketika terjadi krisis moneter tahun1998, nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat merosot tajam, bahkan sempa
tmencapai Rp 16.000,00. akibat dari utang-utang tersebut, maka
kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Para
pedagang luar negeri tidak percaya lagi terhadap importir Indonesia yang
dianggap tidak akan mampu membayar barang dagangan. Hampir semua
negara luar tidak mau menerima Letter Of Credit ( L/C ) dari Indonesia.
b. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah
jauh menyimpang dari sistem perekonomian Indonesia. Dalam pasal 33
UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua untuk semua di bawahpimpinan atau pemilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan
merupakan
kemakmuran orang per orang, melainkan
kemakmuran
seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Perekonomian berdasarkan asas demokrasi ekonomi
6
bertujuan untuk menciptakan kemakmuran bagi semua orang. Oleh karena
itu, cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak harus dikuasai oleh negara. Jika tidak maka akan jatuh ke
tangan orang-orang yang berkuasa dan akan merugikan rakyat.Sistem
ekonomi yang berkembang pada masa Orde Baru adalah sistem ekonomi
kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk.
Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah
jauh menyimpang dari sistem perekonomian Indonesia. Dalam pasal 33
UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat ditafsirkan bukan
merupakan kemakmuran orang per orang, melainkan kemakmuran seluruh
masyarakat dan bangsa Indonesia berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Perekonomian berdasarkan asas demokrasi ekonomi bertujuan untuk
menciptakan kemakmuran bagi semua orang. Oleh karena itu, cabangcabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak harus dikuasai oleh negara. Jika tidak maka akan jatuh ke tangan
orang-orang yang berkuasa dan akan merugikan rakyat. Sebaliknya, sistem
ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah
sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan
berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan
kolusi.
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan
menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD
1945
yang
murni,
terutama
pelanggaran
pasal
23
(hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt)
dan pasal 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta
untuk menghancur hutan dan sumber alam kita.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai
tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri,
namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat
7
Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan
yang masih rendah.
Adapun bentuk-bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa Orde Baru
meliputi, antara lain :
1) Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan Presiden, sehingga pemerintahan
dijalankan secara otoriter.
2) Berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya,
hanya melayani keinginan pemerintah (Presiden).
3) Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis, pemilu hanya menjadi
sarana untuk mengukuhkan kekuasaan Presiden, sehingga Presiden terus
menerus dipilih kembali.
4) Terjadi monopol penafsiran Pancasila. Pancasila ditafsirkan sesuai
keinginan pemerintah untuk membenarkan tindakan – tindakannya.
5) Pembatasan hak hak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul,
dan berpendapat.
6) Pemerintah campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga
kekuasaan kehakiman tidak merdeka.
7) Pembentukan lembaga lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi,
yaitu Kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas .
8) Terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang luar biasa parahnya sehingga
merusak segala aspek kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis
multidimensi monopoli, oligopoli, dan diwarnai dengan korupsi dan
kolusi.
c. Pola Pemerintahan Sentralistik
Pemerintahan
Orde
Baru
dalam
melaksanakan
sistem
pemerintahanbersifat sentralistis, artinya semua bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara di atur secara sentral dari pusat pemerintah
( Jakarta ), sehingga peranan pemerintah pusat sangat menentukan dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat.Pelaksanaan politik sentralisasi ini
sangat terlihat pada bidang ekonomi,sebagian besar kekayaan daerah
dibawa ke pusat dan pemerintah daerah tidak dapatberbuat banyak karena
8
dominasi pusat terhadap daerah sangat kuat. Hal tersebutmenimbulkan
ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah
pusat.Krisis moneter dan ekonomi semakin meluas dan menjadi
krisismultidimensional. Di tengah situasi yang semakin melemahnya nilai
rupiah, aksi massa,aksi buruh, dan aksi mahasiswa terjadi dimana-mana.
Mereka menuntut agar pemerintah segera mengadakan pemulihan
ekonomi, sehingga harga-harga sembako turun, tidak lagi ada PHK dan
lain-lain.
2. Krisis Politik
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan nmenimbulkan
permasalahan politik. Ada kesan bahwa kedaulatan rakyat berada di tangan
sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para penguasa. Pada
dasarnya secara de jure (secar hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan
oleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi ternyata secara de facto
(dalam kenyataannya) anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga
sebagian besar anggota MPR tersebut di angkat berdasarkan ikatan
kekeluargaan (nepotisme).
Hal tersebut mengakibatkan suksesi politik pemerintah menjadi tidak
terlaksana dengan baik. Kondisi tersebut memicu munculnya kondisi Status
QUO yang berakibat pada munculnya krisis politik, baik itu dalam tatanan elite
politik
maupun
masyrakat
yang
mulai
mempertanyakan
legitimasi
pemerintahan orde baru.
Begitu mengakarnya budaya KKN dalam tubuh birokrasi pemerintah,
menyebabkan proses pengawasan dan pemberian mandataris kepemimpinan
dari DPR dan MPR kepada presiden menjadi tidak sempurna. Unsur legislatif
yang sejatinya dilaksanakan oleh MPR dan DPR dalam membuat dasar-dasar
hukum dan haluan Negara menjadi sepenuhnya dilakukan oleh presiden
Soeharto.
Selanjutnya dengan keadaan seperti itu, mengakibatkan munculnya rasa
tidak percaya kepada institusi pemerintah, DPR dan MPR. Ketidak percayaan
itulah yang menimbulkan munculnya gerakan reformasi yang di pelopori oleh
9
kalangan mahasiswa. Mahasiswa yang didukung oleh dosen dan rektornya
mengajukan tuntutan untuk mengganti presiden, reshuffle cabinet, dan
menggelar Sidang istimewa MPR serta melaksanakan pemilihan umum
secepatnya.
Gerakan reformasi disamping menuntut dilakukannya reformasi total di
segala bidang juga menuntut agar dilakukannya pembaruan terhadap lima
paket undang-undang politik di anggap menjadi sumber ketidakadilan. Lima
paket undang-undang politik tersebut,antara lain sebagai berikut :
I.
II.
UU No.1 Tahun 1985 tentang pemilihan umum
UU No.2 Tahun 1985 tentang susunan,kedudukan,Tugas dan
wewenag MPR/DPR
III.
UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan golongan karya.
IV.
UU No.5 Tahun 1985 tentang referendum
V.
UU No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Pemerintah orde baru memiliki cara tersendiri untuk menciptakan stabilitas
yang diinginkan,seperti dengan menjadikan Golkar sebagai mesin politik. Ada
tiga jalur dalam tubuh golkaryang menjadi tumpuan kekuatan, yaitu ABRI,
birokrat, dan Golkar. Dengan tiga jalur tersebut maka tidak mengherankan jika
Golkar selalu menjadi pemenang dalam pemilu-pemilu yang diselenggarakan
pada masa orde baru. Keberadaan Golkar yang sebenarnya diperlukan sebagai
sarana dan arena penyaluran aspirasi rakyat, ternyata dijadikan sebagai alat
kekuasaan atau alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.
Kebijakan dari dwifungsi ABRI menimbulkan peran social politik tentara
yang besar dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bidangbidang seharusnya masyarakat berperan lebih besar,ternyata diisi oleh personel
dari TNI dan Polri. Seperti jabatan lurah, walikota, dan gubernur pada masa
orde baru banyak diduduki oleh militer.
Setahun sebelum pemilihan umum yang diselenggarakan pada bulan Mei
1997, kehidupan politik Indonesia mulai memanas. Pemerintah orde baru yang
di dukung oleh Golkar berusaha memenangkan pemilu dan mempertahankan
kemenangan mutlak seperti yang telah di capai dalam lima pemilu sebelumnya.
10
Didalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa tekanan
pemerintah terhadap pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat pada
perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau
memberikan
kritik
terhadap
kebijakan-kebijakan
yang
diambil
oleh
pemerintah.
Pada pemilu tahun 1997, Golkar menang mutlak, PPP berhasil menambah
beberapa hasil kursinya di DPR, sedangkan PDI mengalami penurunan secara
drastis. Kemenangan Golkar tersebut diikuti dengan munculnya dukungan
kepada Soeharto untuk menjadi presiden dalam sidang umum MPR 1998.
Percalonan kembali soeharto sebagai presiden tidak dapat dipisahkan dari
komposisi anggota MPR/DPR yang lebih mengarah pada unsur-unsur
Nepotisme. Disamping itu, DPR/MPR belum berfungsi sebagai lembaga
legislatif seperti yang dihrapkan rakyat. Dalam sidang umum MPR bulan
Maret 1998 soeharto terpilih sebagai presiden dan wakil presiden B.J. Habibie.
MPR juga berhasil menetapkan beberapa ketetapan yang memberikan
kewenangan khusus kepada presiden untuk mengendalikan Negara.
Pada Tanggal 19 Mei 1998, mahasiswa dari berbagai kampus yang
jumlahnya mencapai puluhan ribu orang terus berdatangan ke Gedung
MPR/DPR. Mereka mendesak soeharto mundur dari kursi presiden dan
menuntut reformasi total.
Salah satu penyebab mundurnya soeharto adalah melemahnya dukungan
poliotik, yang terlihat dari pernyataan politik kosgoro (salah satu organisasi di
bawah Golkar) yang meminta soeharto mundur. Pernyataan kosgoro pada
tanggal 16 Mei 1998 tersebut diikuti dengan pernyataan ketua umu Golkar,
Harmoko yang pada saat itu juga menjabat sebagai ketua MPR/DPR RI
meminta soeharto untuk mundur.
3. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan orde baru terdapat banyak
ketidakadilan. Misalnya, kekuasaan kehakiman yang dinyatakan pada pasal 24
11
UUD 1945 bahwa kehakiman memilki kekuasaan yang merdeka dan terlepas
dari kekuasaan pemerintah(esksekutif). Namun pada kenyataannya kekuasaan
kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu,pengadilan
sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat, kerena hakim-hakim harus
melayanikehendak penguasa. Bahkan hukum sering dijadikan sebagai alat
pembenaran atas tindakan dan kebijakan pemerintah atau terjadi rekayasa
dalam proses peradilan, apabila peradilan itu menyangkut diri penguasa,
keluarga kerabat atau para pejabat Negara.
Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan
mahasiswa, masalah hokum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat
menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan
masalah-masalah hukum pada keduudukan atau posisi yang sebenarnya.
Reformasi hukum hendaknya di percepat untuk diakukan,karena merupakan
suatu tuntuta agar siap meyongsong era keterbukaan ekonomi dan globalisasi.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dari kekuasaan pemerintah belum
dapat direalisasikan. Bahkan dalam praktiknya, kekuasaan kehakiman menjadi
pelayan kepentingan para penguasa dan kroni-kroninya. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila seseorang yang dianggap bersalah bebas dari hukuman
dan seseorang yang dianggap tidak bersalah malah harus masuk ke penjara.
Memang harus diakui bahwa sistem peradilan pada masa Orde Baru tidak
dapat dijadikan barometer untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Oleh karena itu, bersamaan
dengan krisi moneter, ekonomi, dan politik telah terjadi krisis di bidang hokum
(peradilan). Keadaan itulah yang menambah ketidakpercayaan masyarakat
terhadap pemerintahan Orde Baru pimpinan Presiden Suharto.
Untuk mengatasi krisis multidimensional tersebut, maka satu-satu jalan
adalah melaksanakan reformasi total dalam berbagai bidang kehidupan. Para
mahasiswa sebagai pelopor gerakan reformasi mengajukan berbagai tuntutan.
Misalnya, adili Suharto dan kroni-kroninya, ciptakan pemerintahan yang bersih
dari KKN, tegakkan supremasi hukum. Untuk memenuhi tuntutan mahasiswa,
Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh nasional
12
untuk membentuk Dewan Reformasi yang beranggotakan tokoh agama dan
tokoh nasional. Tokoh-tokoh tersebut menolak anggilan dan ajakan Suharto
sehingga Presiden Suharto mengundurkan diri.
4. Krisis Kepercayaan
Dalam pemerintahan orde baru berkembang korupsi, kolusi, dan nepotisme
yang dilaksanakan secara terselubung maupun secara terang-terangan.Hal
tersebut mengakibatkan munculnya ketidak percayaan rakyat terhadap
pemerintah dan tidak percayaan luar negeri terhadap Indonesia.
Kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto
berkurang setelah bangsa Indonesia dilanda krisis multimedia. Kemudian
muncul beberapa aksi damai yang dilakukan oleh para mahasiswa dan
masyarakat.
Para mahasiswa
semakin
gencar
berdemonstrasi
setelah
pemerintah mengumumkan kenaikan Harga BBM dan ongkos angkutan pada
tanggal 4 Mei 1998. Puncaknya pada tanggal 12 Mei 1998 di universitas
trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang semula damai berubah menjadi aksi
kekersan setelah tertembaknya empat mahasiswa trisakti, Yaitu Elang Mulya
Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan sie, dan Hafidhin Royan.
Pada waktu terjadi peristiwa tersebut, Presiden Soeharto sedang berada di
kairo (mesir) dalam rangka menghadiri KTT G-15. Masyarakat menuntut agar
Presiden Soeharto sebagai pemegang kekuasaan pemerintah bertanggung
jawab atas tragedy tersebut. Pada tanggal 15 Mei 1998 Presiden Soeharto
kembali ke Indonesia. Tuntutan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri
tidak saja dari kalangan mahasiswa atau pihak oposisi saja, tetapi juga datang
dari orang-orang terdekatnya.
5. Krisis Sosial
Pada masa akhir pemerintahan orde baru, indonesia mengalami gejolak
politik yang tinggi, baik di tatanan pemerintahan maupun di tingkat pergerakan
rakyat dan mahasiswa. Suhu politik yang memanas menimbulkan berbagai
potensi perpecahan sosial di masyarakat.
13
Pola transmigrasi yang diterapkan oleh pemerintah tidak diiringi dengan
penanganan solidaritas sosial di daerah tujuan.Pada akhirnya kecemburuan
sosial akibat adanya disparitas tingkat perekonomian tidak dapat di hindari.
Kondisi inilah yang kemudian memicu tuntutan kepada pemerintah pusat untuk
mereformasi pola pembangunan ekonomi. Tuntutan inilah yang kemudian
memunculkan kesadaran masyarakat indonesia akan pentingnya reformasi bagi
kehidupan bangsa.
2.2 AWAL REFORMASI
A. Pengertian dan Agenda Reformasi
Reformasi adalah gerakan untuk mengubah bentuk atau
perilaku suatu tatanan, karena tatanan tersebut tidak lagi disukai
atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik karena tidak
efisien maupun tidak bersih dan tidak demokratism “Reformasi
atau mati”m Demikian tuntutan yang torehkan oleh para aktivis
mahasiswa pada spanduk-spanduk yang terpampang di kampus
mereka, atau yang mereka teriakan saat melakukan aksi protes
melalui kegiatan unjuk rasa pada akhir April 1998m Tuntutan
tersebut menggambarkan sebuah titik kulminasi dari gerakan aksi
protes yang tumbuh di lingkungan kampus secara nasional sejak
awal tahun 1998m Gerakan ini bertujuan untuk melakukan tekanan
agar pemerintah mengadakan perubahan politik yang berarti,
melalui pelaksanaan reformasi secara totalm
Reformasi merupakan formulasi menuju Indonesia baru dengan tatanan baru.
Buah perjuangan dari reformasi itu tidak dapat di petik dalam waktu yang singkat,
namun membutuhkan proses dan waktu. Bahkan hasil reformasi itu baru dapat di
nikmati oleh masyarakat Indonesia secara bertahap, sehingga perlu adanya agenda
reformasi untuk menpriotaskan mana yang lebih dulu harus di laksanakan. Lebih
lanjut perlu juga dilakukan kontol atas reformasi, agar pelaksanaan reformasi tepat
pada tujuan dan sasarannya. Reformasi yang tidak terkendali akan kehilangan arah
dan bahkan cenderung melanggar norma-norma hukum, sehingga tidak akan
membawa perbaikan dalam kehidupan masa depan masyarakat Indonesia.
14
Masalah yang sangat mendesak adalah upaya untuk mengatsi kesulitan
masyarakat banyak tentang masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga
yang terjangkau oleh rakyat. Pada waktu itu, harga kebutuhan pokok rakyat sempat
melejit tinggi, bahkan warga masyarakat harus antri untuk membelinya.
Sementara itu, melihat situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang
semakin tidak terkendali, rakyat Indonesia menjadi semakin kritis dan menyatakan
bahwa pemerintah orde baru tidak berhasil menciptakan kehidupan masyarakat
yang makmur, adil, dan sejahtera berdasarkan pancasila dan UUD tahun 1945. Oleh
krena itu, munculnya gerakan reformasi bertujuan untuk memperbarui tatanan
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Beberapa Agenda Reformasi yang disuarakan para mahasiswa antara lain
sebagai berikut :
1. Penegakan Supremasi Hukum
Empat tahun setelah reformasi bergulir ternyata penegakan supremasi
hukum masih terkesan jalan di tempat. Sejak pemerintahan Abdurrachman
Wachid sampai pemerintahan Megawati hampir tidak ada kemajuan yang
berarti. Salah satu tolok ukur yang cukup signifikan untuk melihat sejauh mana
penegakan supremasi hukum adalah sejauh mana keberhasilan pemberantasan
KKN dilakukan. Harus diakui, di era reformasi ini telah banyak dihasilkan
perangkat undang-undang baru. Misalnya, ada Ketetapan MPR No. XI/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No.
20 Tahun 2001 (merubah UU NO. 31 Tahun 1999) tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan berbagai
UU lainnya. Selain itu, muncul pula lembaga pengawas baru seperti KPKPN
maupun Komisi Ombudsman, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah
penegakan supremasi hukum.
Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga
menimbulkan rasa ketidakadilan. Fungsi prevensi umum (deterence) dan
prevensi khusus melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi
nihil, bahkan perilaku KKN ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru
15
perilaku KKN hanya merupakan bentuk “perselingkuhan” antara Eksekutif dan
Judikatif, kini tengah berkembang menjadi bentuk “cinta segi tiga” antara
Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.
Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah
dilakukan selama ini agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi
hukum yaitu dengan hanya memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal
pembentukan UU baru tidak serta merta akan menciptakan penegakan hukum
yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu menjelma dalam bentuk
penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana hukum yang baik.
Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of law is not executing. It is tralated in to
reality by man in institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak
otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang.
Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak
dapat lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur,
dan komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini
yang tampaknya masih belum banyak direformasi sehingga penegakan
supremasi hukum masih mengecewakan.
Komponen struktur yang mendukung bekerjanya sistem hukum seperti
Kepolisian, Kejaksaaan, Kehakiman dan Pengacara masih belum banyak
berubah dari pola dan budaya yang diwarisi dari orde baru. Masing-masing
institusi tersebut belum memiliki visi yang sama untuk menegakkan supremasi
hukum, belum tampak komitmen yang kuat diantara mereka untuk menuntaskan
semua pelaku KKN dan kejahatan lainnya sesuai aturan hukum yang berlaku,
sehingga hukum benar-benar dihormati dan mampu melindungi masyarakat.
Para penegak hukum tampaknya masih sibuk cari makan dengan caranya
sendiri-sendiri, sehingga muncul fenomena berupa mafia peradilan, jual beli
kasus, jual beli penangguhan penahanan, jual beli SP3, tawar menawar tuntutan,
pengacara “hitam”, dan praktek-praktek KKN lain yang masih jalan terus.
Jika penegakan supremasi hukum ingin diwujudkan lembaga penegak hukum
harus dilepaskan dari pola dan kultur orde baru yang selama ini telah menjadi
mind set aparat penegak hukum. Di samping itu harus dilakukan upaya
pembersihan dari oknum yang selama ini menggerogoti wibawa dan citra
16
penegak hukum. Sampai saat ini sistem reward and punishment belum
dilaksanakan
dengan
baik,
seharusnya
oknum
yang
jelas
terbukti
menyalahgunakan jabatan, mengesampingkan hukum dan keadilan, atau
melakukan pelanggaran lainnya diberi sanksi yang keras (bila perlu dipecat),
bukan sekedar dimutasi atau justru dipromosikan. Proses pembersihan institusi
hukum harus dimulai dari level atas ke bawah, karena proses pembusukan
institusi
itu
juga
dimulai
dari
atas
dan
merambat
ke
bawah.
Harus diingat bahwa peradilan pidana sebagai bagian dari upaya penegakan
hukum tidak terbatas pada lembaga pengadilan (hakim). Sistem peradilan pidana
merupakan keterpaduan antara sub sistem yang terdiri dari polisi, jaksa,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan (Indriyanto Seno Adji, 2000 : 1).
Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) bertujuan
untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas
toleransi. Sistem tersebut memiliki tiga tahap :
a. Pra Pengadilan, yaitu mencegah masyarakat menjadi korban;
b. Pengadilan, yaitu menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan
memberi putusan yang sesuai dengan rasa keadilan;
c. Pasca pengadilan, yaitu agar pelaku tidak melakukan kejahatan
atau tidak mengulangi kejahatan tersebut.
2. Pemberantasan KKN
Reformasi Birokrasi sebagai Syarat Pemberantasan KKN.
Dalam kehidupan berbagai negara bangsa di berbagai belahan dunia,
birokrasi berkembang merupakan wahana utama dalam hubungan antarbangsa.
Di samping melakukan pengelolaan pelayanan, birokrasi juga bertugas
menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik,
dan berfungsi melakukukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan
tersebut secara operasional.
Usaha pemberantasan KKN perlu dilihat dalam konteks reformasi
birokrasi, bahkan dalam rangka reformasi sistem administrasi publik secara
keseluruhan. Karena kita ketahui bahwa masalah KKN bukan hanya terjadi dan
terdapat di lingkungan birokrasi tetapi juga berjangkit pula pada sektor swasta,
17
dunia usaha, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat pada umunya. Agenda
utama yang perlu ditempuh adalah terwujudnya kepemerintahan yang baik
(good governance) yang sasaran pokoknya adalah terwujudnya penyelenggaraan
pemerintahan yang profesional, berkepastian hukum, transparan, partisipatif,
akuntabel, memiliki kredibilitas, bersih dan bebas KKN, serta mengemban misi
perjuangan
bangsa
mewujudkan
cita-cita
dan
tujuan
bernegara.
Sehingga diharapkan, sebagai stabilisator dalam bidang hukum, administrasi
publik dapat mencegah atau pun memberantas KKN yang sudah mengakar di
Negara Indonesia ini melalui reformasi birokrasi.
KKN yang merupakan penyakit kronis Orde Baru, berkembang menjadi
neo-KKN orde transisi sekarang ini. Pemberantasan KKN telah menjadi agenda
utama
gerakan
reformasi
yang
bergulir
sejak
tahun
1998.
Dalam suatu negara hukum, supremasi hukum dan pemerintahan yang bersih
adalah merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan
tugas pemerintahan umum dan pembangunan di berbagai bidang. Supremasi
hukum adalah keberadaan hukm yang yang dibentuk melalui proses yang
demokratis dan merupakan landasan berpijak bagi seluruh penyelenggara negara
dan masyarakat luas, sehingga pelaksnaan pembangunan secara keseluruhan
dapat berjalan sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Sedangkan pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang bebas
dari praktik KKN dan perbuatn tercela lainnya. Dengan demikian, supremasi
hukum dan pemerintahan yang bersih yang didukung oleh partisipasi masyarakat
dan atau lembaga kemasyarakatan untuk melakukan fungsi kontrol terhadap
pelaksanaan pemerintahan umum dan pembangunan merupakan salah satu upaya
reformasi
birokrasi
dalam
rangka
mewujudkan
goog
governance.
Sasaran yang diharapakan dari reformasi birokrasi ini adalah sebagai stabilisator
dalam bidang hukum terutama dalam pemberantasan KKN, Administrasi Negara
dapat mewujudkan good governance. Sehingga, KKN yang telah mendarah
daging di birokrasi Indonesia dapat sedikit demi sedikit tersisih. Bahkan dapat
hilang sama sekali karena tidak ada lagi birokrasi yang dapat mempermudah
kegiatan KKN di negara ini.
18
Birokrasi di Indonesia saat ini mempunyai keberpihakan yang banyak
diarahkan pada kepentingan segelintir orang atau pun kelompok-kelompok
tertentu dalam masyarakat, bekerja dengan lamban, tidak akurat, berbelit-belit,
tidak efisien, serta memberatkan masyarakat. Birokrasi yang tidak netral telah
turut membawa Indonesia pada jurang kekacauan politik, dan birokrasi yang
tidak netral elalu tumbuh bersama dengan kekuatan dan kepentingan politik atau
golongan tertentu, selalu terjebak dalam godaan KKN, dan akhirnya juga
membawa negara kita pada kehancuran ekonomi. Hal semacam itu telah terjadi
pada setiap rezim pmerintahan, dengan akibat dan dampak yang serupa berupa
kelemahan bangunan kelembagaan hukum, dan kehancuran kehidupan ekonomi,
politik, dan sosial.
3. Pengadilan Mantan Presiden Soeharto Dan Kroninya
Oleh karena banyaknya persoalan-persoalan besar dan parah yang
dihadapi negara dan rakyat dewasa ini (antara lain : banjir besar dimana-mana,
gempa di Sumatera, listrik yang digilir, penderitaan yang menyedihkan bagi
korban lumpur panas Lapindo, penyelewengan di Bank Indonesia, tersangkutnya
anggota-anggota DPR dalam soal BLBI, diadilinya mantan Kapolri Rusdihardjo
karena korupsi dll dll dll), maka persoalan besar mengenai tindakan hukum
terhadap Suharto, beserta anak-anaknya dan kroni-kroninya, akhir-akhir ini
kurang menjadi pembicaraan dan perhatian banyak orang.
Padahal, dalam konteks situasi dewasa ini penyelesaian masalah Suharto
beserta anak-anak dan para kroninya, adalah masalah yang tetap penting, karena
ada hubungannya yang erat dengan banyak soal bangsa dan negara kita. Hal-hal
inilah yang diangkat secara baik dalam tulisan wartawan Siprianus Edi Hardum
yang dimuat oleh Suara Pembaruan ‘(25 Februari 2008). Mengingat pentingnya
tulisan ini untuk diteruskannya gugatan atau desakan masyarakat untuk
menuntut keluarga Suharto beserta kroni-kroninya, maka disajikan kembali
tulisan ini, bagi mereka yang tidak sempat membacanya di Suara Pembaruan.
4. Amandemen Konstitusi
19
Upaya amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 jangan hanya
memperjuangkan penguatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saja, tetapi
bertujuan mewujudkan kedaulatan rakyat. Hal yang perlu dilakukan adalah
mengkaji ulang hasil amandemen ke empat UUD 1945 sehingga perubahan lebih
komprehensif guna mewujudkan cita-cita negara yang ingin dicapai.
Hal itu ditegaskan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan, Persatuan
Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Bambang Triantoro,
saat Forum Dialog Konstitusi di Press Room DPD, Senayan, Jakarta, kemarin.
Ketua Bidang Humas Dewan Harian Nasional Angkatan 45, Soeprapto
berpandangan tidak ada larangan untuk melakukan perubahan UUD Negara RI
Tahun 1945. "Tetapi perubahan harus dilandasi dengan pertimbangan pemikiran
berdasarkan postulat-postulat serta tidak menghilangkan jatidiri bangsa
Indonesia. Perubahan harus bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang
dihadapi bangsa," ujarnya.
Menurutnya, setiap negara merdeka selalu memiliki konstitusi atau
grondwet/Grudgesetz atau udang-undang dasar, sebagai hukum dasar yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban segala unsur yang terlibat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, melindungi warga negara dari segala
tindakan yang merugikan, serta bertujuan menciptakan kesejahteraan dan
keadilan.
5. Penghapusan dwifungsi ABRI
Dwifungsi TNI/Polri sebenarnya membuat sebuah negara di dalam
negara, dengan mendirikan struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa.
Struktur ini membuat militer dapat mengontrol kegiatan politik rakyat. Sebagai
contoh, aksi buruh dipastikan akan diintimidasi dengan aparat kodim terdekat.
Aksi petani pastilah akan diteror oleh koramil dan babinsa di wilayah tersebut.
Begitu juga dengan kaum miskin kota serta elemen-elemen rakyat lainnya.
Bahkan dalam UU Darurat/UU PKB terlihat jelas sebenarnya peranan dari
struktur ini. Struktur ini akan menjalankan fungsi-fungsi negara selama keadaan
darurat mulai dari fungsi hukum sampai fungsi administrasi masyarakat. Dan
dalam kenyataannya sehari-hari, tanpa harus menyatakan keadaan darurat,
20
militer sudah mengatur segala fungsi-fungsi negara. Struktur birokrasi
pemerintahan sampai struktur organisasi masyarakat RT/RW sudah disusupi
oleh perwira-perwira militer. Mulai dari Mendagri, Jaksa Agung, Gubernur,
Bupati, Lurah, Camat, sampai ketua RT/RW bahkan juga direktur-direktur
BUMN. Bahkan masuknya militer ke kekuasaan legislatif (DPRD/DPR/MPR)
sebenarnya tidak terlepas dari pola mereka masuk ke struktur birokrasi tadi.
Untuk mengontrol rakyat Indonesia. Kontrol inilah yang kemudian menghambat
proses demokratisasi. Rakyat menjadi hidup didalam satu nuansa represi dan
intimidasi.
Oleh karenanya, dimensi pertama dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri
adalah pembubaran struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Dimensi
ini bertujuan untuk membebaskan rakyat dari satu represi dan intimidasi yang
kemudian akan memacu partisipasi dan kesadaran demokratik rakyat.
Argumentasi yang diberikan oleh militer bahwa strukturt ini dibutuhkan untuk
menjaga keamanan teritori jelas lemah karena secara riil pembentukkan struktur
ini justru untuk menyempurnakan alat-alat kekuasaan mereka. Apa yang harus
dilakukan untuk mengamankan teritori negara adalah pembentukan milisi-milisi
bela negara yang berbasis pada pengorganisasian perlawanan massa-rakyat.
Apabila TNI tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan tetap mempertahankan
Dwi Fungsi TNI, maka keniscayaan pendelegitimasian TNI adalah hukum
sejarah. Akan tetapi, bila TNI menyerahkan fungsi dan peran sosial politiknya
kepada sipil sepenuh-penuhnya, dan berfungsi sebagai alat pertahanan semata,
maka
pembentukan
milisi
bela
negara
adalah
jalan
yang
terbaik
Selain itu, militer juga membuat lembaga-lembaga ekstrayudisial seperti BIA,
BAKIN atau BAIS dsb. Lembaga yang berada di luar jangkauan kekuasaan
kehakiman dan peradilan. Lembaga tersebut memiliki wewenang yang sangat
luar biasa. Ia dapat menangkap seseorang tanpa ada kejelasan hukum. Bahkan
tindakan-tindakan lembaga tersebut sering kali berbau kriminal seperti
penculikan dan pembunuhan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.
Lembaga ini berfungsi melakukan teror dan penginterogasian terhadap orangorang yang memperjuangkan demokrasi dan hak-hak rakyat. Oleh karenanya,
pembubaran lembaga-lembaga ekstrajudisial menjadi dimensi kedua dari
21
pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri. Hal ini penting untuk mengembalikan prinsip
trias
politika
yang
tegas
dan
penegakkan
hukum
yang
konsisten.
Dimensi Ketiga adalah pembersihan militer dari politik. Harus dipahami bahawa
TNI/Polri adalah fungsi keamanan (TNI) dan ketertiban (polisi) sehingga ia
tidak perlu untuk masuk dalam percaturan politik. Pentingnya Militer
dibersihkan dari lapangan politik adalah untuk tetap menjaga netralitas militer
agar tidak kemudian berpihak pada kekuatan politik lain selain kekuatan politik
rakyat. Posisi militer yang menjadi tiang penyangga pada masa Rejim Orde Baru
yang berlumuran darah tampaknya cukup menjadi contoh tentang pentingnya
militer keluar dari gelanggang politik.
Dimensi Keeempat adalah penghentian dan penyitaan aset-aset ekonomi
militer. Seperti dijelaskan diatas, penguasaan militer atas aset-aset ekonomi
(dalam bahasa kasarnya :militer berbisnis) akhirnya mendorong miter untuk
masuk dalam kekuasaan karena penguasaan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari
kekuasaan. Penyitaan aset-aset ekonomi ini kemudian diserahkan pada negara
untuk dikelola. Penyitaan dan penghentian praktek bisnis militer ini tentunya
harus dengan prasyarat bahwa ada jaminan kesejahteraan minimum bagi para
prajurit (yang kemudian menahan keinginan militer untuk berbisnis) dan
anggaran militer yang cukup oleh negara.
Dimensi terakhir adalah Penegakan hukum dan HAM bagi para perwira
militer pelanggarnya. Seperti diungkapkan dimuka bahwa demokrasi memiliki
aturan-aturan prinsipil dalam pembangunannya yang salah satunya adalah
penegakkan Hak Asasi Manusia, maka penegakkan hukum merupakan unsur
penting bagi pembangunan demokrasi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa militer
Indonesia memiliki peran yang cukup besar atas penindasan yang diterima oleh
rakyat Indonesia selama puluhan tahun. Pertanggungjawaban secara hukum,
politik dan sejarah adalah satu-satunya jalan bagi militer untuk dapat diterima
kembali di masyarakat.
Prinsip dari pencabutan Dwi fungsi TNI/Polri adalah menempatkan
posisi militer sebagai militer yang profesional dan sekaligus sebagai militer
rakyat yang artinya militer yang patuh pada prinsip-prinsip demokrasi
kerakyatan.
22
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah
Sehari sesudah merdeka, Negara Kesatuan RI pada dasarnya telah
menetapkan pilihannya secara formal pada dianutnya asas desentralisasi dalam
penyelenggaraan
pemerintahan,
dengan
memberikan
kesempatan
dan
keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Hal itu
dapat disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya.
Dalam pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa “pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam
penjelasan
pasal
tersebut
antara
lain
dikemukakan
bahwa:
“…oleh karena negara Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak
akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih
kecil. Daerah itu bersifat otonom (streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau
bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan
ditetapkan dengan undang-undang”.
Dalam amandemen kedua UUD 1945, ketentuan tersebut mengalami
perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah esensinya, tapi lebih bersifat
mempertegas, memperjelas dan melengkapi. Disebutkan, misalnya, “Negara
Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah” (pasal 18 ayat 1). Pemerintah daerah tersebut
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan (pasal 18 ayat 2). Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat
5 UUD 1945).
Secara etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang
berarti sendiri dan “nomos”aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti
mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan
untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi
23
“pemerintahan sendiri”. Pemerintahan sendiri ini meliputi pengaturan atau
perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu
juga pengadilan dan kepolisian sendiri (Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara
itu, dalam UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa
otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. yang berarti
Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan
diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh
pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17)
menyebutkan berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi
urusan pemerintah pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah
daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem
otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung
jawab.
Dalam sistem residu, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas
yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan
rumah tangga daerah. Kebaikannya terutama terletak pada saat timbulnya
keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dapat dengan cepat mengambil
keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari
pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat
kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai
lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara
umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang kemampuannya
terbatas.
Sementara dalam sistem material, tugas pemerintah daerah ditetapkan satu
persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang telah ditentukan,
merupakan urusan pemerintah pusat. Kelemahannya, sistem ini kurang fleksibel
karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah harus dilakukannya
melalui prosedur yang lama dan berbelit-belit. Akibatnya, memghambat
kemajuan daerah, karena mereka harus menunggu penyerahan yang nyata bagi
24
setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan menjadi terbengkelai, tidak diurus
oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh pemerintah daerah. Sedangkan dalam
sistem formal, daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah
diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih
tinggi tingkatannya. Dengan kata lain, urusan rumah tangga daerah dibatasi oleh
peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Dalam sistem otonomi riil, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan
kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun pemerintah pusat serta
pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Karena pemberian tugas dan
kewajiban serta wewenang ini didasarkan pada keadaan riil di dalam
masyarakat, maka kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas
atau urusan yang selama ini menjadi wewenang pemerintah pusat dapat
diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat kepada kemampuan dan
keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya, tugas yang kini
menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu dapat
diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik kembali dari daerah .
Prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU
No.5 tahun 1974 sebagai salah satu variasi dari sistem otonomi riil. Dalam UU
tentang Pemerintah Daerah yang baru, yaitu UU No. 22 tahun 1999, otonomi
daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan,
serta
perimbangan
keuangan
pusat
dan
daerah.
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Di samping itu, keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian, dan evaluasi