Chapter II Efek Madu Alami terhadap Penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren Tipe Minor pada Pasien RSGMP USU
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stomatitis Aftosa Rekuren
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi pada
mukosa mulut dengan tanda khas berupa adanya ulser oval rekuren tanpa adanya
penyakit lain.15 SAR mempunyai nama lain ulser aftosa dan canker sores.1,6,8
2.1.1 Etiologi
Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui secara pasti. SAR terjadi
bukan disebabkan oleh satu faktor saja tetapi multifaktorial. Faktor-faktor yang
diduga dapat memicu terjadinya SAR antara lain defisiensi nutrisi, trauma, alergi,
merokok, faktor herediter dan imunologi.1,7-10
1. Defisiensi Nutrisi
Pasien yang mengalami defisiensi nutrisi memiliki hubungan dengan
terjadinya SAR. Sebagian penderita SAR diperkirakan mengalami defisiensi vitamin
B1, B2, B6 dan B12.9-10 Laporan kasus oleh Volkov (2005) terhadap tiga pasien SAR
dengan defisiensi vitamin B12 menyatakan bahwa terjadinya SAR bisa disebabkan
karena kurangnya asupan nutrisi dari produk hewani seperti daging yang
menyebabkan rendahnya kadar serum vitamin B12, tetapi hal ini masih diragukan
karena mekanisme terjadinya SAR dengan defisiensi vitamin B12 masih belum jelas,
para ahli memperkirakan bahwa ada hubungannya dengan adanya penekanan
imunitas seluler (cell-mediated immunity) pada sel mukosa.16
2. Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah-daerah bekas luka. Hal tersebut biasanya
dapat menyebabkan terjadinya ulser pada permukaan rongga mulut. Umumnya ulser
terjadi karena tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk seperti bruksism, mengunyah,
akibat perawatan gigi, dan memakan makanan atau minuman yang terlalu panas.17
Universitas Sumatera Utara
3. Alergi
Alergi adalah perubahan respon imun tubuh terhadap bahan yang ada dalam
lingkungan hidup sehari-hari.18 SAR dapat terjadi karena sensitivitas jaringan mulut
terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik,
permen karet, bahan gigi tiruan atau bahan tambalan, serta bahan makanan. Setelah
kontak dengan beberapa bahan yang menyebabkan sensitifitas terhadap mukosa,
maka mukosa akan meradang. Gejala ini disertai rasa panas, kadang timbul gatal,
dapat juga didahului dengan bentukan vesikel yang sifatnya sementara kemudian
akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang
menjadi SAR.19
Teori membuktikan terdapat hubungan antara SAR dengan reaksi autoimun
(hipersensitivitas tipe IV) salah satunya adalah terlihat adanya kerusakan jaringan
pada pemeriksaan histologi jaringan SAR yang menunjukkan bahwa adanya ulserasi
nonspesifik yang didahului oleh infiltrasi limfosit dan terdapat respon imun yang
diperantarai sel (cell-mediated).1
4. Genetik
Faktor genetik cenderung mempengaruhi pasien SAR. Lebih dari 40% dari
individu yang mengalami SAR memiliki orangtua yang pernah mengalami SAR.
Stomatitis aftosa rekuren mungkin berhubungan dengan human leukocyte antigen
(HLA) haplotipe B51 (juga umum pada sindrom Behçet), Cn7, A2, B12, dan DR5.6
Hubungan antara haplotipe HLA spesifik dan SAR telah diselidiki, tetapi tidak ada
hubungan yang konsisten yang bisa dibuktikan oleh para ahli, kemungkinan besar
karena tidak adanya dasar immunogenetik pada SAR.20
Menurut penelitian Safadi (2009), dari 684 pasien yang diteliti terdapat 408
(66,4%) penderita SAR yang mempunyai riwayat keluarga yang pernah mengalami
SAR.21 Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda
dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.19 SAR juga sering
terjadi pada kembar identik.9
Universitas Sumatera Utara
5. Stres
Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak
langsung terhadap SAR.19 Stres dapat menyebabkan trauma pada jaringan lunak
rongga mulut dikaitkan dengan kebiasaan parafungsional seperti menggigit bibir atau
mukosa pipi dan trauma ini dapat menyebabkan mukosa rongga mulut rentan
terhadap terjadinya ulserasi.22
Penelitian yang dilakukan oleh Farmaki et al (2008) menyimpulkan bahwa
kecemasan bisa menjadi faktor penyebab terjadinya SAR. Pasien yang sering merasa
cemas memiliki tingkat serum kortisol yang tinggi pada saat menderita SAR.23
6. Hormonal
Keadaan hormonal wanita yang sedang menstruasi dapat dihubungkan dengan
terjadinya SAR.24 Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan
progesteron.19 Pada sebagian wanita SAR dilaporkan bisa lebih parah terjadi selama
fase luteal dari siklus menstruasi, yang terkait dengan peningkatan tingkat
progestogen dan menurunnya estrogen.9 Penurunan estrogen mengakibatkan
terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun
yang menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga
mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang
berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah
terjadi SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel
mukosa mulut.19
7. Infeksi Mikroba
Beberapa teori menyatakan bahwa ada hubungan antara SAR dan beberapa
agen mikrobial seperti bakteri Streptococcus, Helicobacter pylori, varicella zoster
virus (VZV), cytomegalovirus (CMV), human herpes virus (HHV)-6 dan HHV-7,
tetapi tidak terdapat teori dan penjelasan yang cukup kuat mengenai data yang
berhubungan dengan SAR dan mikroba yang lebih spesifik.15
8. Defisiensi Hematologi
Penelitian menyebutkan bahwa 20-30% pasien yang mengalami SAR
disebabkan karena defisiensi hematologi (terutama zat besi, vitamin B12 dan asam
Universitas Sumatera Utara
folat).6,9,24
Oleh
karena
itu,
pertimbangan
adanya
defisiensi
hematologi
mengharuskan pasien menjalani pemeriksaan hitung darah lengkap serta perkiraan
kadar vitamin B12, dan memperbaiki seluruh folat darah dan ferritin seperti Totally
Iron Binding Capacity (TIBC) atau kapasitas pengikatan zat besi secara total dari zat
besi serum.10
9. Penyakit Sistemik
Pasien yang mengalami SAR terus-menerus harus dipertimbangkan adanya
penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian lebih
lanjut oleh dokter spesialis. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan
keberadaan ulser di rongga mulut adalah Behcet’s disease, penyakit disfungsi
neutrofil, penyakit gastrointestinal (Chron’s disease, Celiac disease, dan kolitis
ulseratif), HIV-AIDS, dan Sweet’s syndrome.19
2.1.2 Gambaran Klinis dan Klasifikasi
Ulser dimulai dengan rasa terbakar selama 2-48 jam sebelum ulser muncul
dan terlihat kemerahan, selanjutnya akan muncul bentukan papula dan ulser
membesar.15 SAR ditandai dengan adanya ulser bulat dan dangkal.3,10 Ulser tertutup
pseudomembran kuning keabu-abuan, berbatas tegas dan dikelilingi pinggiran halo
eritematus.3,25-26 Stomatitis aftosa rekuren sering ditemukan pada daerah yang tidak
berkeratin seperti mukosa bibir dan dasar mulut.10,18
Tidak semua SAR mempunyai gambaran klinis yang sama. Terlihat adanya
variasi pada ukuran, kedalaman, dan rentang terjadinya ulser. Maka dari itu, SAR
dibagi menjadi tiga tipe yaitu tipe minor, mayor dan herpetiformis:15
1. SAR Tipe Minor (MiRAS)
Stomatitis aftosa rekuren tipe minor (Mikulicz’s aphtae) merupakan jenis
SAR yang paling sering terjadi pada populasi dengan prevalensi 75-85%. SAR tipe
ini memiliki diameter 10 mm. SAR tipe mayor biasanya sangat sakit dan sering muncul
pada bibir, palatum lunak dan pangkal tenggorokan. SAR tipe mayor terjadi beberapa
minggu hingga bulanan. Pasien SAR tipe mayor biasanya disertai dengan gejalagejala seperti demam karena dehidrasi, serta disfagia dan malaise karena asupan
nutrisi kurang akibat pasien merasa sakit sewaktu ingin makan dan minum.27
Gambar 2. Stomatitis aftosa rekuren tipe mayor28
Universitas Sumatera Utara
3. SAR Tipe Herpetiformis (HeRAS)
Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis paling sedikit dijumpai pada
populasi dengan prevalensi 5-10%. Ulser biasanya terdiri dari 5 sampai 100 ulser
dengan diameter antara 1-3 mm dengan bentuk kecil, bulat, dan sakit.27 SAR tipe
herpetiformis tejadi selama 40-50 hari. SAR tipe herpetiformis bisa mengenai hampir
semua mukosa rongga mulut. Simtom yang menyertainya biasanya lebih banyak dari
tipe minor dan beberapa pasien mengalami pola kontinu dari ulserasi.7
Gambar 3. Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis28
2.1.3 Diagnosis
Diagnosis SAR pada umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis (riwayat
penyakit), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Perhatian khusus harus
ditujukan pada umur terjadinya, lokasi, lama (durasi) serta frekuensi ulser. Setiap
hubungan dengan faktor hormon, stres, dan alergi harus dicatat.10 Gambaran klinis
SAR yang terjadi di rongga mulut terlihat dalam bentuk ulser kecil, bulat atau oval,
batas margin yang jelas, dasar abu-abu atau kekuningan dan sering terjadi berulang.3
Pada pasien dengan SAR yang dicurigai ada kaitan dengan penyakit sistemik,
diperlukan pemeriksaan penunjang.8 Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya
pemeriksaan darah lengkap seperti ferritin, vitamin B12 dan asam folat dianjurkan
bagi pasien SAR dengan defisiensi hematologi.9
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Perawatan
Saat ini, perawatan SAR hanya berupa perawatan simtomatis. Tidak ada
penatalaksanaan spesifik terhadap SAR. Tujuan perawatan SAR adalah untuk
menghilangkan gejala, mengurangi jumlah dan ukuran SAR dan mencegah
rekurensi.27 Obat yang dapat digunakan untuk perawatan SAR antara lain amlexanox,
chlorhexidine, colchicine, dapsone, tetrasiklin, thalidomide, vitamin dan suplemen
mineral digunakan sebagai pengobatan SAR.9
Untuk kasus ringan dengan dua atau tiga ulser kecil dipakai protective agent
seperti Orabase atau Zilactin yang berperan sebagai anestesi dengan sediaan topikal.
Pada kasus yang lebih parah digunakan golongan steroid topikal dengan dosis yang
lebih tinggi seperti fluocinonide, betamethasone atau clobetasol yang dioleskan
langsung pada lesi. Untuk kasus berat seperti SAR tipe mayor yang tidak sembuh
dengan menggunakan terapi topikal, penggunaan terapi sistemik sangat dianjurkan.
Obat yang dilaporkan bisa mengurangi jumlah ulser pada beberapa kasus adalah
prednisone. Obat-obatan tersebut harus dipertimbangkan sebelum diberikan kepada
pasien bahwa keuntungan yang didapat harus lebih besar dari resiko efek samping
yang ditimbulkan.15
Obat yang paling sering digunakan oleh dokter gigi untuk perawatan SAR
adalah golongan kortikosteroid dengan sediaan topikal yaitu triamsinolon acetonide.2
Obat ini dapat membatasi proses inflamasi yang terjadi pada pasien SAR dengan
menginduksi
fosfolipase
A2
penghambat
protein
(lipocortin).
Selain
itu,
triamcinolone acetonide ini juga memiliki efek vasokonstriksi dan antipruritis.29
Selain menggunakan obat berbahan kimia, SAR juga bisa diobati dengan
menggunakan obat tradisional salah satunya dengan menggunakan madu. Perlu
diperhatikan bahwa madu yang dipergunakan sebagai bahan pengobatan SAR adalah
madu alami karena mengandung kadar madu asli (100%) tanpa campuran bahan lain
yang biasa terdapat pada madu yang sudah diolah.11
Universitas Sumatera Utara
2.2 Madu Alami
2.2.1 Definisi
Madu alami adalah madu yang diperoleh dari sarang lebah madu Apis
mellifera dan spesies lainnya yang telah dimurnikan dengan pemanasan 70°C. Bentuk
madu alami berupa cairan kental seperti sirup dengan warna bening atau kuning pucat
sampai coklat kekuningan. Rasa madu alami biasanya khas, yaitu dengan aroma yang
enak dan segar. Jika dipanaskan, aromanya menjadi lebih kuat dengan bentuk yang
tidak berubah. Bobot madu alami per ml berkisar antara 1,352 gram sampai 1,358
gram.30
2.2.2 Komposisi
Komposisi madu alami terdiri dari 70% gula, 20% air, dan selebihnya terdiri
dari karbohidrat (oligosakarida), protein, asam dan mineral. Gula sebagai komponen
terbesar madu alami terdiri dari glukosa, fruktosa, monosakarida (gula sederhana) dan
disakarida yang terdiri dari maltosa, sukrosa, kojibiosa, turanosa, isomaltosa, dan
maltulosa. Hal tersebutlah yang membuat madu alami memiliki rasa manis karena
sebagian besar komposisinya adalah berbagai jenis gula.31
Gambar 4. Madu alami31
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Kegunaan Madu dalam Bidang Medis
Madu merupakan salah satu bahan alami yang sering digunakan dalam
pengobatan. Mandal (2011) dalam penelitiannya menyatakan pentingnya pengobatan
menggunakan madu telah didokumentasikan dalam kepustakaan medis tertua di
dunia, dan sejak zaman kuno madu telah dikenal memiliki antimikroba yang dapat
menyembuhkan luka, baik luka bakar, ulser, maupun luka terbuka. Sifat
penyembuhan dari madu tersebut ditimbulkan karena adanya aktivitas antimikroba,
mempertahankan kelembaban luka dan viskositas yang kental dari madu yang dapat
mencegah timbulnya infeksi.12
Subrahmanyam
(1998)
dalam
penelitiannya
menyimpulkan
bahwa
penggunaan madu dapat meredakan inflamasi dan kontrol infeksi yang baik pada luka
bakar. Selain itu, madu tersebut menunjukkan kontrol infeksi yang lebih baik serta
memiliki efek penyembuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan perawatan
dengan menggunakan silver sulfadiazine.13 Selain sebagai kontrol infeksi, penelitian
Vardi et al (1998) juga menyimpulkan bahwa madu sangat bermanfaat dalam
perawatan luka paska bedah yang terinfeksi dan tidak memberikan respon terhadap
perawatan antibiotik lokal dan sistemik secara konvensional.32
Mohamed et al (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa madu
merupakan akselerator yang baik dalam penyembuhan luka. Madu alami dapat
meningkatkan proses penyembuhan dan perbaikan jaringan karena memiliki
kandungan nutrisi. Madu memiliki aktivitas antiinflamasi dan antioksidan sehingga
dapat digunakan sebagai bahan alami dalam proses penyembuhan. Sifat asam dan
osmolaritas dari madu berperan penting dalam proses penyembuhan. Kandungan
antioksidan dalam madu berperan penting dalam penyembuhan luka dan membantu
mengurangi infeksi mikroba. Madu sangat efektif karena mempunyai sifat
antimikroba dan dapat memelihara kelembaban luka dan viskositas yang tinggi pada
madu dapat membentuk satu lapisan pelindung dalam mencegah terjadinya infeksi.14
Universitas Sumatera Utara
2.3 Mekanisme Penyembuhan SAR dengan Madu Alami
1. Antiinflamasi
Inflamasi yang terjadi pada ulser menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan
meningkatkan pergerakan cairan ke jaringan lunak yang
terinflamasi, kemudian meningkatkan kadar eksudat pada
permukaan ulser dan
menimbulkan rasa sakit. Madu alami berperan sebagai antiinflamasi yang relatif cepat
mengurangi rasa nyeri, edema, dan mengurangi produksi eksudat, mempertahankan
kelembaban lingkungan sekitar ulser, mengurangi peradangan, dan menyeimbangkan
pergerakan cairan.33-34
2. Antimikroba
Aktivitas antimikroba dalam madu alami disebabkan oleh karena adanya
enzim hidrogen peroksidase.34 Hal tersebut dihubungkan dengan pH madu alami
yang relatif rendah dan kadar gula yang tinggi (osmolaritas yang tinggi) yang dapat
mencegah pertumbuhan mikroba pada ulser. Madu alami menyerap toksin yang
terdapat pada membran mukosa dan membentuk protein, sehingga eksudat inflamasi
diserap oleh madu alami. 12,14
3. Covering Agent
Madu alami sebagai covering agent melindungi lapisan jaringan di bawah
ulser sehingga mempercepat proses penyembuhan dan proses epitelisasi jaringan
yang rusak. Viskositas madu alami yang tinggi (kental) memungkinkan madu untuk
melekat pada ulser. Mekanisme tersebut akan mencegah terjadinya infeksi sekunder
pada ulser dan mencegah ulser berkontak dengan mikroba dan unsur kemis lain.12,14
Madu alami memiliki kemampuan untuk merangsang pertumbuhan jaringan pada
ulser untuk mempercepat penyembuhan dan memulai proses penyembuhan yang
lebih cepat pada luka yang telah lama tidak sembuh.33
4. Antioksidan
Madu alami juga berperan sebagai antioksidan dengan bantuan aktivitas
nonperoksida untuk memaksimalkan kerja madu alami sebagai antimikroba dan
antiinflamasi. Aktivitas antimikroba yang terdapat dalam madu alami dibantu oleh
aktifnya enzim katalase untuk menghambat aktivitas H2O2. Madu alami memiliki
Universitas Sumatera Utara
tingkat aktivitas nonperoksida yang sangat tinggi. Sedangkan aktivitas antiinflamasi
dimulai dengan terbentuknya oksigen radikal bebas yang terlibat aktif terhadap
terjadinya peradangan yang akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan jaringan.33
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kerangka Teori
Stomatitis Aftosa Rekuren
Minor
Mayor
Herpetiformis
Perawatan
Modern
Tradisional
Triamcinolone acetonide
Antiinflamasi
Madu Alami
Antimikroba
Antiinflamasi
Antioksidan
Covering Agent
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep
Penyembuhan SAR Tipe
Minor
-
Madu Alami
Eritema Halo
Ukuran Ulser
Rasa Sakit
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stomatitis Aftosa Rekuren
Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi pada
mukosa mulut dengan tanda khas berupa adanya ulser oval rekuren tanpa adanya
penyakit lain.15 SAR mempunyai nama lain ulser aftosa dan canker sores.1,6,8
2.1.1 Etiologi
Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui secara pasti. SAR terjadi
bukan disebabkan oleh satu faktor saja tetapi multifaktorial. Faktor-faktor yang
diduga dapat memicu terjadinya SAR antara lain defisiensi nutrisi, trauma, alergi,
merokok, faktor herediter dan imunologi.1,7-10
1. Defisiensi Nutrisi
Pasien yang mengalami defisiensi nutrisi memiliki hubungan dengan
terjadinya SAR. Sebagian penderita SAR diperkirakan mengalami defisiensi vitamin
B1, B2, B6 dan B12.9-10 Laporan kasus oleh Volkov (2005) terhadap tiga pasien SAR
dengan defisiensi vitamin B12 menyatakan bahwa terjadinya SAR bisa disebabkan
karena kurangnya asupan nutrisi dari produk hewani seperti daging yang
menyebabkan rendahnya kadar serum vitamin B12, tetapi hal ini masih diragukan
karena mekanisme terjadinya SAR dengan defisiensi vitamin B12 masih belum jelas,
para ahli memperkirakan bahwa ada hubungannya dengan adanya penekanan
imunitas seluler (cell-mediated immunity) pada sel mukosa.16
2. Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah-daerah bekas luka. Hal tersebut biasanya
dapat menyebabkan terjadinya ulser pada permukaan rongga mulut. Umumnya ulser
terjadi karena tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk seperti bruksism, mengunyah,
akibat perawatan gigi, dan memakan makanan atau minuman yang terlalu panas.17
Universitas Sumatera Utara
3. Alergi
Alergi adalah perubahan respon imun tubuh terhadap bahan yang ada dalam
lingkungan hidup sehari-hari.18 SAR dapat terjadi karena sensitivitas jaringan mulut
terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik,
permen karet, bahan gigi tiruan atau bahan tambalan, serta bahan makanan. Setelah
kontak dengan beberapa bahan yang menyebabkan sensitifitas terhadap mukosa,
maka mukosa akan meradang. Gejala ini disertai rasa panas, kadang timbul gatal,
dapat juga didahului dengan bentukan vesikel yang sifatnya sementara kemudian
akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang
menjadi SAR.19
Teori membuktikan terdapat hubungan antara SAR dengan reaksi autoimun
(hipersensitivitas tipe IV) salah satunya adalah terlihat adanya kerusakan jaringan
pada pemeriksaan histologi jaringan SAR yang menunjukkan bahwa adanya ulserasi
nonspesifik yang didahului oleh infiltrasi limfosit dan terdapat respon imun yang
diperantarai sel (cell-mediated).1
4. Genetik
Faktor genetik cenderung mempengaruhi pasien SAR. Lebih dari 40% dari
individu yang mengalami SAR memiliki orangtua yang pernah mengalami SAR.
Stomatitis aftosa rekuren mungkin berhubungan dengan human leukocyte antigen
(HLA) haplotipe B51 (juga umum pada sindrom Behçet), Cn7, A2, B12, dan DR5.6
Hubungan antara haplotipe HLA spesifik dan SAR telah diselidiki, tetapi tidak ada
hubungan yang konsisten yang bisa dibuktikan oleh para ahli, kemungkinan besar
karena tidak adanya dasar immunogenetik pada SAR.20
Menurut penelitian Safadi (2009), dari 684 pasien yang diteliti terdapat 408
(66,4%) penderita SAR yang mempunyai riwayat keluarga yang pernah mengalami
SAR.21 Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda
dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.19 SAR juga sering
terjadi pada kembar identik.9
Universitas Sumatera Utara
5. Stres
Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak
langsung terhadap SAR.19 Stres dapat menyebabkan trauma pada jaringan lunak
rongga mulut dikaitkan dengan kebiasaan parafungsional seperti menggigit bibir atau
mukosa pipi dan trauma ini dapat menyebabkan mukosa rongga mulut rentan
terhadap terjadinya ulserasi.22
Penelitian yang dilakukan oleh Farmaki et al (2008) menyimpulkan bahwa
kecemasan bisa menjadi faktor penyebab terjadinya SAR. Pasien yang sering merasa
cemas memiliki tingkat serum kortisol yang tinggi pada saat menderita SAR.23
6. Hormonal
Keadaan hormonal wanita yang sedang menstruasi dapat dihubungkan dengan
terjadinya SAR.24 Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan
progesteron.19 Pada sebagian wanita SAR dilaporkan bisa lebih parah terjadi selama
fase luteal dari siklus menstruasi, yang terkait dengan peningkatan tingkat
progestogen dan menurunnya estrogen.9 Penurunan estrogen mengakibatkan
terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun
yang menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga
mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang
berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah
terjadi SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel
mukosa mulut.19
7. Infeksi Mikroba
Beberapa teori menyatakan bahwa ada hubungan antara SAR dan beberapa
agen mikrobial seperti bakteri Streptococcus, Helicobacter pylori, varicella zoster
virus (VZV), cytomegalovirus (CMV), human herpes virus (HHV)-6 dan HHV-7,
tetapi tidak terdapat teori dan penjelasan yang cukup kuat mengenai data yang
berhubungan dengan SAR dan mikroba yang lebih spesifik.15
8. Defisiensi Hematologi
Penelitian menyebutkan bahwa 20-30% pasien yang mengalami SAR
disebabkan karena defisiensi hematologi (terutama zat besi, vitamin B12 dan asam
Universitas Sumatera Utara
folat).6,9,24
Oleh
karena
itu,
pertimbangan
adanya
defisiensi
hematologi
mengharuskan pasien menjalani pemeriksaan hitung darah lengkap serta perkiraan
kadar vitamin B12, dan memperbaiki seluruh folat darah dan ferritin seperti Totally
Iron Binding Capacity (TIBC) atau kapasitas pengikatan zat besi secara total dari zat
besi serum.10
9. Penyakit Sistemik
Pasien yang mengalami SAR terus-menerus harus dipertimbangkan adanya
penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian lebih
lanjut oleh dokter spesialis. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan
keberadaan ulser di rongga mulut adalah Behcet’s disease, penyakit disfungsi
neutrofil, penyakit gastrointestinal (Chron’s disease, Celiac disease, dan kolitis
ulseratif), HIV-AIDS, dan Sweet’s syndrome.19
2.1.2 Gambaran Klinis dan Klasifikasi
Ulser dimulai dengan rasa terbakar selama 2-48 jam sebelum ulser muncul
dan terlihat kemerahan, selanjutnya akan muncul bentukan papula dan ulser
membesar.15 SAR ditandai dengan adanya ulser bulat dan dangkal.3,10 Ulser tertutup
pseudomembran kuning keabu-abuan, berbatas tegas dan dikelilingi pinggiran halo
eritematus.3,25-26 Stomatitis aftosa rekuren sering ditemukan pada daerah yang tidak
berkeratin seperti mukosa bibir dan dasar mulut.10,18
Tidak semua SAR mempunyai gambaran klinis yang sama. Terlihat adanya
variasi pada ukuran, kedalaman, dan rentang terjadinya ulser. Maka dari itu, SAR
dibagi menjadi tiga tipe yaitu tipe minor, mayor dan herpetiformis:15
1. SAR Tipe Minor (MiRAS)
Stomatitis aftosa rekuren tipe minor (Mikulicz’s aphtae) merupakan jenis
SAR yang paling sering terjadi pada populasi dengan prevalensi 75-85%. SAR tipe
ini memiliki diameter 10 mm. SAR tipe mayor biasanya sangat sakit dan sering muncul
pada bibir, palatum lunak dan pangkal tenggorokan. SAR tipe mayor terjadi beberapa
minggu hingga bulanan. Pasien SAR tipe mayor biasanya disertai dengan gejalagejala seperti demam karena dehidrasi, serta disfagia dan malaise karena asupan
nutrisi kurang akibat pasien merasa sakit sewaktu ingin makan dan minum.27
Gambar 2. Stomatitis aftosa rekuren tipe mayor28
Universitas Sumatera Utara
3. SAR Tipe Herpetiformis (HeRAS)
Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis paling sedikit dijumpai pada
populasi dengan prevalensi 5-10%. Ulser biasanya terdiri dari 5 sampai 100 ulser
dengan diameter antara 1-3 mm dengan bentuk kecil, bulat, dan sakit.27 SAR tipe
herpetiformis tejadi selama 40-50 hari. SAR tipe herpetiformis bisa mengenai hampir
semua mukosa rongga mulut. Simtom yang menyertainya biasanya lebih banyak dari
tipe minor dan beberapa pasien mengalami pola kontinu dari ulserasi.7
Gambar 3. Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis28
2.1.3 Diagnosis
Diagnosis SAR pada umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis (riwayat
penyakit), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Perhatian khusus harus
ditujukan pada umur terjadinya, lokasi, lama (durasi) serta frekuensi ulser. Setiap
hubungan dengan faktor hormon, stres, dan alergi harus dicatat.10 Gambaran klinis
SAR yang terjadi di rongga mulut terlihat dalam bentuk ulser kecil, bulat atau oval,
batas margin yang jelas, dasar abu-abu atau kekuningan dan sering terjadi berulang.3
Pada pasien dengan SAR yang dicurigai ada kaitan dengan penyakit sistemik,
diperlukan pemeriksaan penunjang.8 Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya
pemeriksaan darah lengkap seperti ferritin, vitamin B12 dan asam folat dianjurkan
bagi pasien SAR dengan defisiensi hematologi.9
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Perawatan
Saat ini, perawatan SAR hanya berupa perawatan simtomatis. Tidak ada
penatalaksanaan spesifik terhadap SAR. Tujuan perawatan SAR adalah untuk
menghilangkan gejala, mengurangi jumlah dan ukuran SAR dan mencegah
rekurensi.27 Obat yang dapat digunakan untuk perawatan SAR antara lain amlexanox,
chlorhexidine, colchicine, dapsone, tetrasiklin, thalidomide, vitamin dan suplemen
mineral digunakan sebagai pengobatan SAR.9
Untuk kasus ringan dengan dua atau tiga ulser kecil dipakai protective agent
seperti Orabase atau Zilactin yang berperan sebagai anestesi dengan sediaan topikal.
Pada kasus yang lebih parah digunakan golongan steroid topikal dengan dosis yang
lebih tinggi seperti fluocinonide, betamethasone atau clobetasol yang dioleskan
langsung pada lesi. Untuk kasus berat seperti SAR tipe mayor yang tidak sembuh
dengan menggunakan terapi topikal, penggunaan terapi sistemik sangat dianjurkan.
Obat yang dilaporkan bisa mengurangi jumlah ulser pada beberapa kasus adalah
prednisone. Obat-obatan tersebut harus dipertimbangkan sebelum diberikan kepada
pasien bahwa keuntungan yang didapat harus lebih besar dari resiko efek samping
yang ditimbulkan.15
Obat yang paling sering digunakan oleh dokter gigi untuk perawatan SAR
adalah golongan kortikosteroid dengan sediaan topikal yaitu triamsinolon acetonide.2
Obat ini dapat membatasi proses inflamasi yang terjadi pada pasien SAR dengan
menginduksi
fosfolipase
A2
penghambat
protein
(lipocortin).
Selain
itu,
triamcinolone acetonide ini juga memiliki efek vasokonstriksi dan antipruritis.29
Selain menggunakan obat berbahan kimia, SAR juga bisa diobati dengan
menggunakan obat tradisional salah satunya dengan menggunakan madu. Perlu
diperhatikan bahwa madu yang dipergunakan sebagai bahan pengobatan SAR adalah
madu alami karena mengandung kadar madu asli (100%) tanpa campuran bahan lain
yang biasa terdapat pada madu yang sudah diolah.11
Universitas Sumatera Utara
2.2 Madu Alami
2.2.1 Definisi
Madu alami adalah madu yang diperoleh dari sarang lebah madu Apis
mellifera dan spesies lainnya yang telah dimurnikan dengan pemanasan 70°C. Bentuk
madu alami berupa cairan kental seperti sirup dengan warna bening atau kuning pucat
sampai coklat kekuningan. Rasa madu alami biasanya khas, yaitu dengan aroma yang
enak dan segar. Jika dipanaskan, aromanya menjadi lebih kuat dengan bentuk yang
tidak berubah. Bobot madu alami per ml berkisar antara 1,352 gram sampai 1,358
gram.30
2.2.2 Komposisi
Komposisi madu alami terdiri dari 70% gula, 20% air, dan selebihnya terdiri
dari karbohidrat (oligosakarida), protein, asam dan mineral. Gula sebagai komponen
terbesar madu alami terdiri dari glukosa, fruktosa, monosakarida (gula sederhana) dan
disakarida yang terdiri dari maltosa, sukrosa, kojibiosa, turanosa, isomaltosa, dan
maltulosa. Hal tersebutlah yang membuat madu alami memiliki rasa manis karena
sebagian besar komposisinya adalah berbagai jenis gula.31
Gambar 4. Madu alami31
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Kegunaan Madu dalam Bidang Medis
Madu merupakan salah satu bahan alami yang sering digunakan dalam
pengobatan. Mandal (2011) dalam penelitiannya menyatakan pentingnya pengobatan
menggunakan madu telah didokumentasikan dalam kepustakaan medis tertua di
dunia, dan sejak zaman kuno madu telah dikenal memiliki antimikroba yang dapat
menyembuhkan luka, baik luka bakar, ulser, maupun luka terbuka. Sifat
penyembuhan dari madu tersebut ditimbulkan karena adanya aktivitas antimikroba,
mempertahankan kelembaban luka dan viskositas yang kental dari madu yang dapat
mencegah timbulnya infeksi.12
Subrahmanyam
(1998)
dalam
penelitiannya
menyimpulkan
bahwa
penggunaan madu dapat meredakan inflamasi dan kontrol infeksi yang baik pada luka
bakar. Selain itu, madu tersebut menunjukkan kontrol infeksi yang lebih baik serta
memiliki efek penyembuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan perawatan
dengan menggunakan silver sulfadiazine.13 Selain sebagai kontrol infeksi, penelitian
Vardi et al (1998) juga menyimpulkan bahwa madu sangat bermanfaat dalam
perawatan luka paska bedah yang terinfeksi dan tidak memberikan respon terhadap
perawatan antibiotik lokal dan sistemik secara konvensional.32
Mohamed et al (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa madu
merupakan akselerator yang baik dalam penyembuhan luka. Madu alami dapat
meningkatkan proses penyembuhan dan perbaikan jaringan karena memiliki
kandungan nutrisi. Madu memiliki aktivitas antiinflamasi dan antioksidan sehingga
dapat digunakan sebagai bahan alami dalam proses penyembuhan. Sifat asam dan
osmolaritas dari madu berperan penting dalam proses penyembuhan. Kandungan
antioksidan dalam madu berperan penting dalam penyembuhan luka dan membantu
mengurangi infeksi mikroba. Madu sangat efektif karena mempunyai sifat
antimikroba dan dapat memelihara kelembaban luka dan viskositas yang tinggi pada
madu dapat membentuk satu lapisan pelindung dalam mencegah terjadinya infeksi.14
Universitas Sumatera Utara
2.3 Mekanisme Penyembuhan SAR dengan Madu Alami
1. Antiinflamasi
Inflamasi yang terjadi pada ulser menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan
meningkatkan pergerakan cairan ke jaringan lunak yang
terinflamasi, kemudian meningkatkan kadar eksudat pada
permukaan ulser dan
menimbulkan rasa sakit. Madu alami berperan sebagai antiinflamasi yang relatif cepat
mengurangi rasa nyeri, edema, dan mengurangi produksi eksudat, mempertahankan
kelembaban lingkungan sekitar ulser, mengurangi peradangan, dan menyeimbangkan
pergerakan cairan.33-34
2. Antimikroba
Aktivitas antimikroba dalam madu alami disebabkan oleh karena adanya
enzim hidrogen peroksidase.34 Hal tersebut dihubungkan dengan pH madu alami
yang relatif rendah dan kadar gula yang tinggi (osmolaritas yang tinggi) yang dapat
mencegah pertumbuhan mikroba pada ulser. Madu alami menyerap toksin yang
terdapat pada membran mukosa dan membentuk protein, sehingga eksudat inflamasi
diserap oleh madu alami. 12,14
3. Covering Agent
Madu alami sebagai covering agent melindungi lapisan jaringan di bawah
ulser sehingga mempercepat proses penyembuhan dan proses epitelisasi jaringan
yang rusak. Viskositas madu alami yang tinggi (kental) memungkinkan madu untuk
melekat pada ulser. Mekanisme tersebut akan mencegah terjadinya infeksi sekunder
pada ulser dan mencegah ulser berkontak dengan mikroba dan unsur kemis lain.12,14
Madu alami memiliki kemampuan untuk merangsang pertumbuhan jaringan pada
ulser untuk mempercepat penyembuhan dan memulai proses penyembuhan yang
lebih cepat pada luka yang telah lama tidak sembuh.33
4. Antioksidan
Madu alami juga berperan sebagai antioksidan dengan bantuan aktivitas
nonperoksida untuk memaksimalkan kerja madu alami sebagai antimikroba dan
antiinflamasi. Aktivitas antimikroba yang terdapat dalam madu alami dibantu oleh
aktifnya enzim katalase untuk menghambat aktivitas H2O2. Madu alami memiliki
Universitas Sumatera Utara
tingkat aktivitas nonperoksida yang sangat tinggi. Sedangkan aktivitas antiinflamasi
dimulai dengan terbentuknya oksigen radikal bebas yang terlibat aktif terhadap
terjadinya peradangan yang akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan jaringan.33
Universitas Sumatera Utara
2.4 Kerangka Teori
Stomatitis Aftosa Rekuren
Minor
Mayor
Herpetiformis
Perawatan
Modern
Tradisional
Triamcinolone acetonide
Antiinflamasi
Madu Alami
Antimikroba
Antiinflamasi
Antioksidan
Covering Agent
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep
Penyembuhan SAR Tipe
Minor
-
Madu Alami
Eritema Halo
Ukuran Ulser
Rasa Sakit
Universitas Sumatera Utara