Sepuluh Kesalahan Pemahaman tentang Tamb
Sepuluh Kesalahan Pemahaman
tentang Tambo Minangkabau
Senarai Isi
Kaganti Rokok nan Sabatang
1. Transkripsi vs Tuturan Tambo
A. Dalam Duo Tangah Tigo
B. Nan Satitiak Bapantang Hilang
2. Tambo “Melayu Tinggi”
A.
Rapat Papat Samuhanya
B.
Kolofon Membuka Peran Para Meneer
C.
Alih (Paksa) Bahasa
3. Pengarang Tambo (?)
A. 92 Naskah 92 Penulis
B. Penulis Transkripsi atau Pengarang?
C. Penyadur, Mengoesahakan Boekoe Adat
4. Sumber dan Nara Sumber Tambo
A. Dari Mana Transkripsi itu?
B. Para Guru
C. Breeding Ground Janang Adat
D. Pewarisan di Galanggang Adat
5. Meragukan Keislaman Tambo
A. Jejak Islam dalam Naskah
B. Islam dalam Tuturan Tambo
6. Dua Persen Sejarah
A. Karena Onggang, si Penjarah
B. Keluar dari Penjara Klaim Penjarah
C. Mengembalikan Pinang ke Tampuknya
D. Bak Mancaliak Putiak dalam Bungo
7. Dongeng Sebelum Tidur
A. Baramulo Kaba
B. Fungsi Sastra Lisan
C. Media Pewarisan yang Hilang
8. Tambo Batele-tele
A. Tingga Karabang
B. Formula Tambo
C. Kehilangan Mata Air
9. Tambo Tidak Logis
A. Debat Bak katiak Ula
B. Jawaban dari Rajo Sipatokah
10.
Hanya Satu Tambo (?)
A. Apologi Tambo Asli
B. Tiga Tingkatan Tuturan Tambo
C. Tidak Satu Versi Tambo
D. Variasi Tema antar Masa
Tabel Khulasah
Tentang Penulis
Kaganti Rokok nan Sabatang
Gulamo mudiak ka hulu
Mati disemba ikan tilan
Kanailah anak bada balang
Pusako niniak nan daulu
Lai babuhue bakanakkan
Kini manjadi undang-undang
Pusako niniak nan daulu:
Nan dibalun sabalun kuku
Nan dikambang saleba alam
Walau sagadang bijo labu
Bumi langik ado di dalam
Siapapun orang Minangkabau pasti pernah mendengar bunyi sepotong kata pusako niniak
nan dahulu, yang disebut: “Tambo”. Mungkin juga pernah mengucapkan, mengutip bagiannya,
atau bahkan berbicara panjang lebar perihal tambo. Tambo adalah kosa kata yang sangat
familiar, sangat dikenal. Tapi, sebenar-benarnyakah setiap orang Minangkabau mengenali dan
memahami apa sebenarnya tambo tersebut?
Ada sekeranjang pertanyaan yang perlu dijawab. Rangkaian panjang pertanyaan yang saling
berkulindan, yang akan membosankan, manakala jawaban yang diperoleh meragukan. Terdapat
pula segerobak keraguan ketika seseorang mengatakan pemahamannya tentang tambo.
Keraguan yang timbul karena banyaknya “keraguan” dari para pembicara itu sendiri.
Buku pertama ini mengajak pembaca mengenali kekeliruan yang telah berlangsung berabadabad. Kekeliruan karena tindakan dan perlakuan terhadap tambo. Tindakan dan perlakukan
tersebut menimbulkan sebuah dimensi baru, menimbulkan eksistensi baru, wujud baru tambo.
Akhirnya terjadi pemahaman baru terhadap tambo.
Arus pemahaman lama tetap berjalan menurut jalur tradisi. Sementara itu, arus pemahaman
baru mengalami berbagai transkripsi dan diskursus yang kemudian memporakporandakan
pemahaman semula. Lahirlah pemahaman-pemahaman baru yang menjadi sangat jauh dari
pemahaman awal. Lahir pula tradisi-tradisi baru dari pemahaman baru tersebut.
Dimensi dan eksistensi baru tambo merubah semua dimensi dan eksistensi tambo awal.
Terjadilah rangkaian kekeliruan pemahaman. Buku kecil ini memaparkan secara sederhana
sepuluh butir kesalahan pemahaman terhadap dimensi dan eksistensi Tambo Minangkabau.
Bermula dari tindakan penulisan tambo menggunakan bahasa Melayu Tinggi. Sebagian besar
penulis adalah orang yang diperintahkan atau ditugaskan oleh raja, tokoh adat, atau oleh
pejaabat Hindia Belanda. Tulisan-tulisan atau transkripsi tersebut kemudian dianggap sebagai
tambo. Akhirnya tulisan atau transkripsi tersebut membawa Tambo Minangkabau menjadi
sesuatu yang sangat sulit dipahami bahkan oleh orang Minangkabau sendiri.
Terjadilah rangkaian pemahaman dan tafsiran, termasuk tafsiran konyol yang kemudian
menjatuhkan vonis bahwa Tambo Minangkabau adalah rimba fiksi yang berisi 98% khayalan
absurd dan hanya 2% sejarah. Lebih konyol lagi, setelah diakui hanya berisi 2% data sejarah,
masih saja tetap dirujuk sebagai sumber sejarah.
Buku ini merupakan bagian pertama dari rangkaian buku-buku mengenai Tambo
Minangkabau, ditulis berdasarkan pencarian selama belasan tahun dan dilanjutkan secara
intensif melalui penelitian program strata-tiga, sebagai disertasi program doktor di Universitas
Negeri Padang.
Pertanyaan-pertanyaan awam, semula menggumpal perihal bagaimana memahami tambo.
Pada ujung pencarian akhirnya menggelinding menjadi rangkaian, rentetan pertanyaanpertanyaan ilmiah dan filosofis tentang eksistensi, substansi, dimensi, sampai kepada
epistemologi dan aksiologi tambo di tengah masyarakat Minangkabau sepanjang masa.
Pencarian terhadap eksistensi tambo dilakukan terhadap sumber asli tuturan sastra lisan dari
pelaku adat dan guru-guru adat di nagari-nagari seluruh wliayah Minangkabau.
Mudah-mudahan buku kecil ini membawa pembaca untuk mengenali kembali secara utuh
Tambo Minang kabau dari sumber mata air aslinya.
Selamat membaca.
***
Jawaban dari Rajo Sipatokah
Debat tersebut terjadi hanya (dan hanya) karena satu kesalahan pemahaman yang dianggap
sebagai kebenaran, lalu dijadikan rujukan, bahkan oleh masyarakat akademis, para sejarawan.
Kesalahan pemahaman tersebut terjadi karena menjadikan kaba sebagai sejarah!
Bagaimana mengurai dan menjelaskan kekeliruan, kesalahan pemahaman yang sudah
mendarah daging pada seluruh masyarakat tersebut? Sangat sulit dan bukan pekerjaan yang
dapat dilakukan sembarang orang. Hanya orang yang memahami apa substansi kaba, apa
sebenarnya ruh kaba, yang akan mampu membuka kesadaran orang banyak, bahwa itu semua
kesalahpahaman.
Alhamdulillah, untuk penyadaran terhadap kekeliruan tersebut sudah ada masterpiece dari
Maestro Kaba Modern, Yus Dt Perpatih. Jawaban dan penjelasan terhadap kesalahpahaman
tersebut dapat diperoleh, jika dengan sungguh-sungguh mendengarkan dan meresapi karyanya
Kaba Rajo Sipatokah, Longsor ka Paralon. Dengarlah dan resapilah! Maka akan ditemukan
semua jawaban kesalahpahaman tersebut.
Sekedar pengantar dapat dijelaskan disini, bahwa kaba tersebut bercerita tentang sebuah
kerajaan bernama Indo nan Asa, yang tidak berhubungan dengan Indopuro ataupun Indogiri.
Kisa bermula dari Rajo Tuo nan bagala Datuak Karono. Pada suatu masa terjadi pergolakan
yang menyebabkan kerajaan Indo nan Asa kehilangan tujuah panglima karajaan karano diculik
dan dibunuh oleh prajurik Untuang. Kekacauan negeri kemudian menyebabkan Rajo Tuo
Datuak Karono memberi perintah kepada Suhardin mengamankan pusat kerajaan. Singkat
cerita, akhirnya, dengan surat perintah itu Suhardin mengambil alih kerajaan Indo nan Asa.
Cerita besarnya adalah tetang pemerintahan Rajo Mudo Suhardin selama 32 tahun, sampai
Suhardin menjadi Rajo Sipatokah, akronim dari Sipat Pangua Nyato Sarakah, dengan
Permaisuri Sutinah, dan cerita lima orang anaknya, serta semua gonjang-ganjing
pemerintahannya yang berisi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kaba mencapai klimaks dengan
terjadinya reformasi yang memaksa Rajo Sipatokah Longsor ka Paralon, diganti oleh
Habibullah.
Mereka yang mengetahui konteks ceritanya, tidak ada yang akan menganggap kaba Rajo
Sipatokah tersebut sebagai sebuah cerita atau kaba khayal. Kaba tersebut adalah kabar yang
sesungguhnya, sebenar-benarnya kaba. Kaba tersebut adalah kejadian yang sesungguhnya pada
sebuah kerajaan yang nyata, otentik.
Itulah contoh sastra lisan. Itulah contoh kaba sesungguhnya. Data yang sebenarnya, data
yang hakiki, hanya ADA DALAM PIKIRAN penutur dan pendengar yang mengerti. Data yang
sebenarnya TIDAK PADA TEKS.
Adalah pekerjaan yang salah kaprah mencari kerajaan Indo nan Asa tersebut dalam buku
sejarah atau dalam peta dunia. Pasti tidak ada! Tidak akan ditemukan dalam sejarah manapun
seorang raja bernama Datuak Karono dan penggantinya Suhardin, dan Suhardin kemudian
digantikan oleh Habibullah. Tapi, bagi penutur dan pendengar kaba yang mengerti, SEMUA
ITU FAKTA YANG NYATA.
Mendengarkan dan meresapi kaba Rajo Sipatokah adalah mendengarkan sejarah konkrit
dengan pola sastra lisan. Pendengar akan dibuat tertawa terpingkal-pingkal tanpa dapat
ditunjukkan lelucon mana yang ada pada teks tuturan. Semua tuturan disampaikan dengan
sangat serius, dengan irama prosa liris kaba yang teratur. Tanpa ada ungkapan atau kalimat yang
berusaha melucu.
Maka penjelasan yang paling logis tentang Raja Iskandar Zulkarnain, Maharajo Dirajo
adalah tokoh-tokoh protagonis dalam sejarah Minangkabau, yang BUKAN NAMA ASLINYA,
karena begitulah hakikat, ruh dari kaba, yang menyembunyikan fakta dan data asli di dalam
pikiran penutur dan pendengarnya.
Masih logiskan perdebatan yang menganggap Iskandar Zulkarnain dan Maharajo Dirajo,
adalah nama tokoh dari data sejarah?
Masih logiskah perdebatan yang mengaitkan tahun-tahun Alexander the Great dengan Nabi
Syis dan topan Nabi Nuh segala macam?
Semua perdebatan tersebut dapat dikembalikan kepada kemampuan memahami kaba,
sebagaimana memahami Kaba Rajo Sipatokah. Dimanakah kerajaan Indo nan Asa? Siapakah
Rajo Tuo Datuak Karono? Suhardin, Sutinah, Habibullah? Hanya pikiran yang jernih, dan
orang yang mengerti, yang dapat menemukan fakta sesungguhnya ada di dalam pikirannya
sendiri.
Begitulah logika kaba. Sebagaimana dinyatakan para ahli, bahwa salah satu ciri sastra lisan
adalah sifatnya yang pralogis, mempunyai logikanya sendiri, atau melangkahi, bahkan
melanggar logika umum.
Kesalahan pemahaman terhadap tambo Minangkabau adalah sikap dan tindakan
pemaksaan logika umum (dan logika sejarah) terhadap logika sastra lisan, lalu menyatakan
logika kaba amburadul, tidak logis.
Tidak Satu Versi Tuturan Tambo
Tambo Minangkabau adalah tuturan tentang alam dan adat Minangkabau. Tuturan lengkap
Tambo Minangkabau tidak pernah satu versi, karena sangat longgar berdasarkan kemampuan
hafalan para penutur.
Dalam naskah transkripsi Tambo Minangkabau dibagi menjadi dua bagian: Tambo Alam
Minangkabau, dan Tambo Adat Minangkabau, atau Undang-Undang Minangkabau. Pembagian
seperti itu tidak terdapat dalam tuturan tambo di galanggang adat. Tambo Alam dan Tambo Adat
tidak pernah dipisahkan dalam tuturan. Keduanya dituturkan secara berkulindan, kadang
bersambung dan berselang-seling antar bagian Tambo Alam dan Tambo Adat.
Semua janang adat hapal dan tahu seluruh tuturan Tambo Minangkabau. Tapi tidak satupun
pengetahuan tersebut yang persis sama, karena tuturan tambo tidak pernah dilakukan sampai
selesai pada sebuah momen. Pemenggalan, penyingkatan atau usaha meringkas dan memotong
bagian-bagian tambo selalu terjadi pada setiap tutura tambo di galanggang adat. Maka selalu
terjadi variasi yang luar biasa dari berbagai segi. Terdapat variasi panjangnya tuturan, variasi
tema, variasi sampiran, dan seterusnya. Termasuk di dalam variasi tersebut penonjolan
hubungan nagari bersangkutan dengan luhak dan dengan Minangkabau secara keseluruhan.
A. Variasi Tema Antar Masa
Tema-tema pada naskah-naskah Jamaris yang “hilang” selama 100-150 tahun adalah tema
“Undang-undang nan Sambilan Pucuak”, “Perang dengan Belanda di Tiku Pariaman,” dan tema
“Nur Muhammad” yang kemudian menjadi implisit, tidak dituliskan secara nyata.
Terdapat tema-tema yang “baru” pada naskah-naskah yang lebih kemudian dari Sangguno,
Tuah dan Madjo Indo. Tema-tema baru tersebut adalah: “Seluk-beluk Dakwa dan Jawabnya,”
dan tema “Kedatangan Adityawarman.”
Tema “terbaru” yang kemudian menjadi terkenal adalah tema “Kerajaan Pasumayan Koto
Batu”, dan tema “Undang-Undang Si Gamak-Gamak, Si Lamo-Lamo, Si Mumbang Jatuah,
yang diganti dengan Undang-undang Tariak Baleh. Dua tema ini terkenal setelah Datuk Nagari
Basa menulis naskah “Tambo dan Silsilah Adat Minangkabau.”
Dua tema ini dikenal lebih banyak di kalangan akademisi dan sastrawan, tetapi tidak begitu
terkenal di masyarakat adat yang menuturkan tambo, baik di galanggang baselo tempat latihan
pasambahan, maupun dalam upacara-upacara adat.
Naskah tambo Datuk Nagari Basa adalah naskah tambo “termuda” dari seluruh naskah
tambo tertulis yang menjadi rujukan, khususnya di dunia akademik. Ada perubahan-perubahan
tema dan hilang atau munculnya tema-tema yang berbeda. Jika perubahan atau hilang dan
munculnya tema tersebut disusun berdasarkan urutan waktu penulisan naskah, dan ditambah
dengan data terakhir tambo lisan, maka dapat dilihat bahwa tema-tema tertentu memang
berubah berdasarkan suasana atau situasi zaman. Berikut ini analisis tentang hilang atau
munculnya tema pada tambo tertulis, sampai tambo lisan mutakhir.
Terdapat faktor-faktor tertentu yang ditengarai menjadi penyebab tema-tema tersebut
hilang atau muncul. Berikut ini tema-tema yang muncul dan hilang pada berbagai versi naskah
tambo, dan pada tambo lisan, berikut dengan analisis kemungkinan penyebabnya.
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat Minangkabau pada dasarnya tetap menuturkan
tema-tema tambo Minangkabau yang sama sejak lama. Banyak tema-tema tambo yang
dipertahankan dan masih terus dituturkan oleh para penutur tambo sampai saat sekarang.
Dengan asumsi bahwa tema-tema dalam naskah tambo dituturkan pada masa naskah itu
ditulis, maka beberapa tema yang hilang dan muncul terjadi karena berbagai pengaruh eksternal
dan internal masyarakat penutur. Periode naskah tua (Jamaris) masih dipengaruhi oleh
pemikiran tarekat dan membenci Belanda. Periode berikutnya justru tambo ditulis oleh penulis
naskah yang dibayar oleh pemerintah Hindia-Belanda, atau setidaknya mereka tidak lagi
memusuhi Belanda. Datuk Sangguno Diradjo adalah seorang Jurutulis Demang di afdeling
Batipuh/ Batusangkar. Datuk Toeah adalah penulis yang terpengaruh oleh Datuk Sangguno
Diradjo.
Kesadaran sejarah tentang Adityawarman sudah mulai muncul pada periode Datuk
Sangguno, tapi tidak dinyatakan secara eksplisit. Hanya ditulis dengan kiasan ”Datang
Rusa/Enggang dari Laut.” Kisah ini tidak terdapat pada naskah-naskah tua (Jamaris),
kemungkinan besar mereka menolak memasukkan kisah Adityawarman ke dalam tambo. Pada
periode berikutnya, penulis naskah (Datuk Madjo Indo dan Datuk Nagari Basa) tambo lebih
“sportif” mengakui keberadaan Adityawarman, dan memasukkan kisah kedatangan
Adityawarman tersebut sebagai tema tambo.
Jika diasumsikan bahwa naskah tambo merupakan transkripsi dari tambo lisan pada
zamannya, maka dapat dinyatakan bahwa telah terjadi perubahan-perubahan tema tambo lisan
pada setiap zaman. Terdapat tema baru yang muncul pada suatu masa, dan tema pada masa
tertentu dapat hilang pada masa berikutnya. Terdapat pula tema-tema yang bertahan atau tetap
ada pada semua tambo pada semua masa.
Kesalahan pemahaman terhadap Tambo Minangkabau terjadi ketika ada asumsi dan
apologi tentang “nasskah tambo asli”. Kesalahan tersebut dilanjutkan dengan pemikiran bahwa
hanya ada satu tambo yang benar di setiap masa.
Tabel Khulasah
Sepuluh Kesalahan itu adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Anggapan bahwa Tambo
Berbahasa Melayu Tinggi
berbentuk buku
Ada pengarangnya
Ada buku induk sumber
Produk jahiliyah/pra-Islam
Adalah sejarah
Hanya hiburan
Bahasanya bertele-tele
Tidak logis
Satu tambo asli
Sebenarnya
Berbahasa Minangkabau
Tuturan lisan
Hanya pencatat tuturan
Sumber: guru adat, penutur
100% karya orang Islam
Kaba, sastra lisan
Sistem pewarisan nilai
Ada formula sastra lisan
Pralogis, melompati logika
Tiga jenis, ribuan versi
tentang Tambo Minangkabau
Senarai Isi
Kaganti Rokok nan Sabatang
1. Transkripsi vs Tuturan Tambo
A. Dalam Duo Tangah Tigo
B. Nan Satitiak Bapantang Hilang
2. Tambo “Melayu Tinggi”
A.
Rapat Papat Samuhanya
B.
Kolofon Membuka Peran Para Meneer
C.
Alih (Paksa) Bahasa
3. Pengarang Tambo (?)
A. 92 Naskah 92 Penulis
B. Penulis Transkripsi atau Pengarang?
C. Penyadur, Mengoesahakan Boekoe Adat
4. Sumber dan Nara Sumber Tambo
A. Dari Mana Transkripsi itu?
B. Para Guru
C. Breeding Ground Janang Adat
D. Pewarisan di Galanggang Adat
5. Meragukan Keislaman Tambo
A. Jejak Islam dalam Naskah
B. Islam dalam Tuturan Tambo
6. Dua Persen Sejarah
A. Karena Onggang, si Penjarah
B. Keluar dari Penjara Klaim Penjarah
C. Mengembalikan Pinang ke Tampuknya
D. Bak Mancaliak Putiak dalam Bungo
7. Dongeng Sebelum Tidur
A. Baramulo Kaba
B. Fungsi Sastra Lisan
C. Media Pewarisan yang Hilang
8. Tambo Batele-tele
A. Tingga Karabang
B. Formula Tambo
C. Kehilangan Mata Air
9. Tambo Tidak Logis
A. Debat Bak katiak Ula
B. Jawaban dari Rajo Sipatokah
10.
Hanya Satu Tambo (?)
A. Apologi Tambo Asli
B. Tiga Tingkatan Tuturan Tambo
C. Tidak Satu Versi Tambo
D. Variasi Tema antar Masa
Tabel Khulasah
Tentang Penulis
Kaganti Rokok nan Sabatang
Gulamo mudiak ka hulu
Mati disemba ikan tilan
Kanailah anak bada balang
Pusako niniak nan daulu
Lai babuhue bakanakkan
Kini manjadi undang-undang
Pusako niniak nan daulu:
Nan dibalun sabalun kuku
Nan dikambang saleba alam
Walau sagadang bijo labu
Bumi langik ado di dalam
Siapapun orang Minangkabau pasti pernah mendengar bunyi sepotong kata pusako niniak
nan dahulu, yang disebut: “Tambo”. Mungkin juga pernah mengucapkan, mengutip bagiannya,
atau bahkan berbicara panjang lebar perihal tambo. Tambo adalah kosa kata yang sangat
familiar, sangat dikenal. Tapi, sebenar-benarnyakah setiap orang Minangkabau mengenali dan
memahami apa sebenarnya tambo tersebut?
Ada sekeranjang pertanyaan yang perlu dijawab. Rangkaian panjang pertanyaan yang saling
berkulindan, yang akan membosankan, manakala jawaban yang diperoleh meragukan. Terdapat
pula segerobak keraguan ketika seseorang mengatakan pemahamannya tentang tambo.
Keraguan yang timbul karena banyaknya “keraguan” dari para pembicara itu sendiri.
Buku pertama ini mengajak pembaca mengenali kekeliruan yang telah berlangsung berabadabad. Kekeliruan karena tindakan dan perlakuan terhadap tambo. Tindakan dan perlakukan
tersebut menimbulkan sebuah dimensi baru, menimbulkan eksistensi baru, wujud baru tambo.
Akhirnya terjadi pemahaman baru terhadap tambo.
Arus pemahaman lama tetap berjalan menurut jalur tradisi. Sementara itu, arus pemahaman
baru mengalami berbagai transkripsi dan diskursus yang kemudian memporakporandakan
pemahaman semula. Lahirlah pemahaman-pemahaman baru yang menjadi sangat jauh dari
pemahaman awal. Lahir pula tradisi-tradisi baru dari pemahaman baru tersebut.
Dimensi dan eksistensi baru tambo merubah semua dimensi dan eksistensi tambo awal.
Terjadilah rangkaian kekeliruan pemahaman. Buku kecil ini memaparkan secara sederhana
sepuluh butir kesalahan pemahaman terhadap dimensi dan eksistensi Tambo Minangkabau.
Bermula dari tindakan penulisan tambo menggunakan bahasa Melayu Tinggi. Sebagian besar
penulis adalah orang yang diperintahkan atau ditugaskan oleh raja, tokoh adat, atau oleh
pejaabat Hindia Belanda. Tulisan-tulisan atau transkripsi tersebut kemudian dianggap sebagai
tambo. Akhirnya tulisan atau transkripsi tersebut membawa Tambo Minangkabau menjadi
sesuatu yang sangat sulit dipahami bahkan oleh orang Minangkabau sendiri.
Terjadilah rangkaian pemahaman dan tafsiran, termasuk tafsiran konyol yang kemudian
menjatuhkan vonis bahwa Tambo Minangkabau adalah rimba fiksi yang berisi 98% khayalan
absurd dan hanya 2% sejarah. Lebih konyol lagi, setelah diakui hanya berisi 2% data sejarah,
masih saja tetap dirujuk sebagai sumber sejarah.
Buku ini merupakan bagian pertama dari rangkaian buku-buku mengenai Tambo
Minangkabau, ditulis berdasarkan pencarian selama belasan tahun dan dilanjutkan secara
intensif melalui penelitian program strata-tiga, sebagai disertasi program doktor di Universitas
Negeri Padang.
Pertanyaan-pertanyaan awam, semula menggumpal perihal bagaimana memahami tambo.
Pada ujung pencarian akhirnya menggelinding menjadi rangkaian, rentetan pertanyaanpertanyaan ilmiah dan filosofis tentang eksistensi, substansi, dimensi, sampai kepada
epistemologi dan aksiologi tambo di tengah masyarakat Minangkabau sepanjang masa.
Pencarian terhadap eksistensi tambo dilakukan terhadap sumber asli tuturan sastra lisan dari
pelaku adat dan guru-guru adat di nagari-nagari seluruh wliayah Minangkabau.
Mudah-mudahan buku kecil ini membawa pembaca untuk mengenali kembali secara utuh
Tambo Minang kabau dari sumber mata air aslinya.
Selamat membaca.
***
Jawaban dari Rajo Sipatokah
Debat tersebut terjadi hanya (dan hanya) karena satu kesalahan pemahaman yang dianggap
sebagai kebenaran, lalu dijadikan rujukan, bahkan oleh masyarakat akademis, para sejarawan.
Kesalahan pemahaman tersebut terjadi karena menjadikan kaba sebagai sejarah!
Bagaimana mengurai dan menjelaskan kekeliruan, kesalahan pemahaman yang sudah
mendarah daging pada seluruh masyarakat tersebut? Sangat sulit dan bukan pekerjaan yang
dapat dilakukan sembarang orang. Hanya orang yang memahami apa substansi kaba, apa
sebenarnya ruh kaba, yang akan mampu membuka kesadaran orang banyak, bahwa itu semua
kesalahpahaman.
Alhamdulillah, untuk penyadaran terhadap kekeliruan tersebut sudah ada masterpiece dari
Maestro Kaba Modern, Yus Dt Perpatih. Jawaban dan penjelasan terhadap kesalahpahaman
tersebut dapat diperoleh, jika dengan sungguh-sungguh mendengarkan dan meresapi karyanya
Kaba Rajo Sipatokah, Longsor ka Paralon. Dengarlah dan resapilah! Maka akan ditemukan
semua jawaban kesalahpahaman tersebut.
Sekedar pengantar dapat dijelaskan disini, bahwa kaba tersebut bercerita tentang sebuah
kerajaan bernama Indo nan Asa, yang tidak berhubungan dengan Indopuro ataupun Indogiri.
Kisa bermula dari Rajo Tuo nan bagala Datuak Karono. Pada suatu masa terjadi pergolakan
yang menyebabkan kerajaan Indo nan Asa kehilangan tujuah panglima karajaan karano diculik
dan dibunuh oleh prajurik Untuang. Kekacauan negeri kemudian menyebabkan Rajo Tuo
Datuak Karono memberi perintah kepada Suhardin mengamankan pusat kerajaan. Singkat
cerita, akhirnya, dengan surat perintah itu Suhardin mengambil alih kerajaan Indo nan Asa.
Cerita besarnya adalah tetang pemerintahan Rajo Mudo Suhardin selama 32 tahun, sampai
Suhardin menjadi Rajo Sipatokah, akronim dari Sipat Pangua Nyato Sarakah, dengan
Permaisuri Sutinah, dan cerita lima orang anaknya, serta semua gonjang-ganjing
pemerintahannya yang berisi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kaba mencapai klimaks dengan
terjadinya reformasi yang memaksa Rajo Sipatokah Longsor ka Paralon, diganti oleh
Habibullah.
Mereka yang mengetahui konteks ceritanya, tidak ada yang akan menganggap kaba Rajo
Sipatokah tersebut sebagai sebuah cerita atau kaba khayal. Kaba tersebut adalah kabar yang
sesungguhnya, sebenar-benarnya kaba. Kaba tersebut adalah kejadian yang sesungguhnya pada
sebuah kerajaan yang nyata, otentik.
Itulah contoh sastra lisan. Itulah contoh kaba sesungguhnya. Data yang sebenarnya, data
yang hakiki, hanya ADA DALAM PIKIRAN penutur dan pendengar yang mengerti. Data yang
sebenarnya TIDAK PADA TEKS.
Adalah pekerjaan yang salah kaprah mencari kerajaan Indo nan Asa tersebut dalam buku
sejarah atau dalam peta dunia. Pasti tidak ada! Tidak akan ditemukan dalam sejarah manapun
seorang raja bernama Datuak Karono dan penggantinya Suhardin, dan Suhardin kemudian
digantikan oleh Habibullah. Tapi, bagi penutur dan pendengar kaba yang mengerti, SEMUA
ITU FAKTA YANG NYATA.
Mendengarkan dan meresapi kaba Rajo Sipatokah adalah mendengarkan sejarah konkrit
dengan pola sastra lisan. Pendengar akan dibuat tertawa terpingkal-pingkal tanpa dapat
ditunjukkan lelucon mana yang ada pada teks tuturan. Semua tuturan disampaikan dengan
sangat serius, dengan irama prosa liris kaba yang teratur. Tanpa ada ungkapan atau kalimat yang
berusaha melucu.
Maka penjelasan yang paling logis tentang Raja Iskandar Zulkarnain, Maharajo Dirajo
adalah tokoh-tokoh protagonis dalam sejarah Minangkabau, yang BUKAN NAMA ASLINYA,
karena begitulah hakikat, ruh dari kaba, yang menyembunyikan fakta dan data asli di dalam
pikiran penutur dan pendengarnya.
Masih logiskan perdebatan yang menganggap Iskandar Zulkarnain dan Maharajo Dirajo,
adalah nama tokoh dari data sejarah?
Masih logiskah perdebatan yang mengaitkan tahun-tahun Alexander the Great dengan Nabi
Syis dan topan Nabi Nuh segala macam?
Semua perdebatan tersebut dapat dikembalikan kepada kemampuan memahami kaba,
sebagaimana memahami Kaba Rajo Sipatokah. Dimanakah kerajaan Indo nan Asa? Siapakah
Rajo Tuo Datuak Karono? Suhardin, Sutinah, Habibullah? Hanya pikiran yang jernih, dan
orang yang mengerti, yang dapat menemukan fakta sesungguhnya ada di dalam pikirannya
sendiri.
Begitulah logika kaba. Sebagaimana dinyatakan para ahli, bahwa salah satu ciri sastra lisan
adalah sifatnya yang pralogis, mempunyai logikanya sendiri, atau melangkahi, bahkan
melanggar logika umum.
Kesalahan pemahaman terhadap tambo Minangkabau adalah sikap dan tindakan
pemaksaan logika umum (dan logika sejarah) terhadap logika sastra lisan, lalu menyatakan
logika kaba amburadul, tidak logis.
Tidak Satu Versi Tuturan Tambo
Tambo Minangkabau adalah tuturan tentang alam dan adat Minangkabau. Tuturan lengkap
Tambo Minangkabau tidak pernah satu versi, karena sangat longgar berdasarkan kemampuan
hafalan para penutur.
Dalam naskah transkripsi Tambo Minangkabau dibagi menjadi dua bagian: Tambo Alam
Minangkabau, dan Tambo Adat Minangkabau, atau Undang-Undang Minangkabau. Pembagian
seperti itu tidak terdapat dalam tuturan tambo di galanggang adat. Tambo Alam dan Tambo Adat
tidak pernah dipisahkan dalam tuturan. Keduanya dituturkan secara berkulindan, kadang
bersambung dan berselang-seling antar bagian Tambo Alam dan Tambo Adat.
Semua janang adat hapal dan tahu seluruh tuturan Tambo Minangkabau. Tapi tidak satupun
pengetahuan tersebut yang persis sama, karena tuturan tambo tidak pernah dilakukan sampai
selesai pada sebuah momen. Pemenggalan, penyingkatan atau usaha meringkas dan memotong
bagian-bagian tambo selalu terjadi pada setiap tutura tambo di galanggang adat. Maka selalu
terjadi variasi yang luar biasa dari berbagai segi. Terdapat variasi panjangnya tuturan, variasi
tema, variasi sampiran, dan seterusnya. Termasuk di dalam variasi tersebut penonjolan
hubungan nagari bersangkutan dengan luhak dan dengan Minangkabau secara keseluruhan.
A. Variasi Tema Antar Masa
Tema-tema pada naskah-naskah Jamaris yang “hilang” selama 100-150 tahun adalah tema
“Undang-undang nan Sambilan Pucuak”, “Perang dengan Belanda di Tiku Pariaman,” dan tema
“Nur Muhammad” yang kemudian menjadi implisit, tidak dituliskan secara nyata.
Terdapat tema-tema yang “baru” pada naskah-naskah yang lebih kemudian dari Sangguno,
Tuah dan Madjo Indo. Tema-tema baru tersebut adalah: “Seluk-beluk Dakwa dan Jawabnya,”
dan tema “Kedatangan Adityawarman.”
Tema “terbaru” yang kemudian menjadi terkenal adalah tema “Kerajaan Pasumayan Koto
Batu”, dan tema “Undang-Undang Si Gamak-Gamak, Si Lamo-Lamo, Si Mumbang Jatuah,
yang diganti dengan Undang-undang Tariak Baleh. Dua tema ini terkenal setelah Datuk Nagari
Basa menulis naskah “Tambo dan Silsilah Adat Minangkabau.”
Dua tema ini dikenal lebih banyak di kalangan akademisi dan sastrawan, tetapi tidak begitu
terkenal di masyarakat adat yang menuturkan tambo, baik di galanggang baselo tempat latihan
pasambahan, maupun dalam upacara-upacara adat.
Naskah tambo Datuk Nagari Basa adalah naskah tambo “termuda” dari seluruh naskah
tambo tertulis yang menjadi rujukan, khususnya di dunia akademik. Ada perubahan-perubahan
tema dan hilang atau munculnya tema-tema yang berbeda. Jika perubahan atau hilang dan
munculnya tema tersebut disusun berdasarkan urutan waktu penulisan naskah, dan ditambah
dengan data terakhir tambo lisan, maka dapat dilihat bahwa tema-tema tertentu memang
berubah berdasarkan suasana atau situasi zaman. Berikut ini analisis tentang hilang atau
munculnya tema pada tambo tertulis, sampai tambo lisan mutakhir.
Terdapat faktor-faktor tertentu yang ditengarai menjadi penyebab tema-tema tersebut
hilang atau muncul. Berikut ini tema-tema yang muncul dan hilang pada berbagai versi naskah
tambo, dan pada tambo lisan, berikut dengan analisis kemungkinan penyebabnya.
Dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat Minangkabau pada dasarnya tetap menuturkan
tema-tema tambo Minangkabau yang sama sejak lama. Banyak tema-tema tambo yang
dipertahankan dan masih terus dituturkan oleh para penutur tambo sampai saat sekarang.
Dengan asumsi bahwa tema-tema dalam naskah tambo dituturkan pada masa naskah itu
ditulis, maka beberapa tema yang hilang dan muncul terjadi karena berbagai pengaruh eksternal
dan internal masyarakat penutur. Periode naskah tua (Jamaris) masih dipengaruhi oleh
pemikiran tarekat dan membenci Belanda. Periode berikutnya justru tambo ditulis oleh penulis
naskah yang dibayar oleh pemerintah Hindia-Belanda, atau setidaknya mereka tidak lagi
memusuhi Belanda. Datuk Sangguno Diradjo adalah seorang Jurutulis Demang di afdeling
Batipuh/ Batusangkar. Datuk Toeah adalah penulis yang terpengaruh oleh Datuk Sangguno
Diradjo.
Kesadaran sejarah tentang Adityawarman sudah mulai muncul pada periode Datuk
Sangguno, tapi tidak dinyatakan secara eksplisit. Hanya ditulis dengan kiasan ”Datang
Rusa/Enggang dari Laut.” Kisah ini tidak terdapat pada naskah-naskah tua (Jamaris),
kemungkinan besar mereka menolak memasukkan kisah Adityawarman ke dalam tambo. Pada
periode berikutnya, penulis naskah (Datuk Madjo Indo dan Datuk Nagari Basa) tambo lebih
“sportif” mengakui keberadaan Adityawarman, dan memasukkan kisah kedatangan
Adityawarman tersebut sebagai tema tambo.
Jika diasumsikan bahwa naskah tambo merupakan transkripsi dari tambo lisan pada
zamannya, maka dapat dinyatakan bahwa telah terjadi perubahan-perubahan tema tambo lisan
pada setiap zaman. Terdapat tema baru yang muncul pada suatu masa, dan tema pada masa
tertentu dapat hilang pada masa berikutnya. Terdapat pula tema-tema yang bertahan atau tetap
ada pada semua tambo pada semua masa.
Kesalahan pemahaman terhadap Tambo Minangkabau terjadi ketika ada asumsi dan
apologi tentang “nasskah tambo asli”. Kesalahan tersebut dilanjutkan dengan pemikiran bahwa
hanya ada satu tambo yang benar di setiap masa.
Tabel Khulasah
Sepuluh Kesalahan itu adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Anggapan bahwa Tambo
Berbahasa Melayu Tinggi
berbentuk buku
Ada pengarangnya
Ada buku induk sumber
Produk jahiliyah/pra-Islam
Adalah sejarah
Hanya hiburan
Bahasanya bertele-tele
Tidak logis
Satu tambo asli
Sebenarnya
Berbahasa Minangkabau
Tuturan lisan
Hanya pencatat tuturan
Sumber: guru adat, penutur
100% karya orang Islam
Kaba, sastra lisan
Sistem pewarisan nilai
Ada formula sastra lisan
Pralogis, melompati logika
Tiga jenis, ribuan versi