Dominasi Teknologi Informasi Pada Masyar

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
Televisi : Dominasi Teknologi Informasi Pada Masyarakat
Modern
Oleh: Puji Laksono
(Pascasarjana Sosiologi Universitas Sebelas Maret)
Para Kapitalis seperti mucikari, menggunakan segala terik untuk
mengkomersialkan setiap rangsangan libido demi memperoleh nilai tambah.
Mereka mengeksploitasi kegairahan secara tanpa batas.
(Jean Francois Lyotard)

Abstrak :
Masyarakat modern dengan kekuatan rasionalitasnya telah melejit
jauh menuju peradapan digital yang mutahir. Manusia dengan ilmu
pengetahuan tengah berada pada puncak kekuasaanya atas alam.
Teknologi informasi merupakan alat ampuh untuk menundukan alam,
dengan teknologi informasi manusia mampu mengontrol kehidupan.
Namun pada akhirnya manusia yang berharap kesejahteraan serta
kebebasan dengan teknologi informasi, kini justru teknologi tersebut
yang berbalik mengkontrol kehidupan manusia. Salah satu teknologi
informasi yang mendominasi dan mengntrol kehidupan masyarakat

modern adalah televisi. Televisi telah berkembang menjadi sosok
fasisme, dewa penentu kehidupan masyarakat modern, ia
mengendalikan, menguasai, dan mendikte kehidupan sosial
masyarakat modern.
Key words : Televisi, Dominasi, Masyarakat Modern.

Pendahuluan
Peradapan manusia seketika berubah tatkala suatu masa yang disebut
dengan aufklarung hadir. Peristiwa abad ke 18 tersebut telah membawa membawa
dampak besar terhadap ilmu pengetahuan modern, peristiwa itu mengantarkan
manusia pada peradapan yang mutahir. Aufklarung atau yang biasa kita sebut
pencerahan adalah pintu masuk bagi manusia untuk membuka selubung misteri
alam raya. Manusia dengan adanya pencerahan itu telah menelanjangi misteri
jagat raya yang sebelumnya terlihat mengerikan dan menakutkan hingga tak
1

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
berani menjamahnya. Melalui pencerahan manusia dengan rasionya telah berhasil
membuka selubung misteri jagad raya. Manusia mematahkan selubung mistis

yang membelenggu dirinya. Manusia mulai mengontrol jagat raya dengan akal
budinya dan penelitian empiris. Manusia menundukkan Alam dengan angkaangka dengan kalkulasi yaitu secara matematis ilmu pasti.
Manusia mendaulatkan diri sebagai penguasa alam, memang benar kiranya
bahwa alam raya ini diciptakan untuk manusia, itu sebabnya kenapa Adam
dilempar ke dunia ini. Sang rasul aliran rasionalisme Rene Descartes dengan
lantang berkikrar bahwa “Cogito ergo sum” (aku berfikir maka aku ada), jika
ditafsirkan bahwasanya betapa berkuasanya akal pikiran manusia untuk mengatur
diri dan dunia di sekelilingnya. Lalu disusul sang rasul aliran empirisme Hobbes
yang mengatakan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh hanya melalui
pengamatan empiris. Manusia bisa melakukan apapun terhadap alam bahkan
menerjang kehendak Tuhan. Seakan tiada sabda yang tak terbantahkan, semua
bisa dijadikan objek untuk dimanipulasi.
Menurut Adorno dan Horkheimer, pencerahan itu telah menelanjangi
misteri alam raya yang sebelumya menakutkan dan membuat manusia tidak berani
menyentuhnya dengan pengetahuan rasionalnya. Justru melalui pencerahan,
pengetahuan manusia membuka selubung misteri itu. Dewa-dewi, roh, jin, dan
berbagai bentuk kekuatan gaib lainya, sebagaimana yang diceritakan dalam mitos,
tak lain sebagai usaha manusia untuk memehami alam dan masyarakat. akan
tetapi, dengan pemahaman mistis seperti itu manusia justru membelenggu dirinya
sendiri. Melalui pencerahan, belenggu itu dipatahkan dan sebagai gantinya rasio

manusia bangkit memerintah alam. Begitu momok mitologis dijauhkan dari alam,
alam menjadi barang yang netral dan bersamaan dengan itu manusia mampu
menghadapinya sebagai objek yang dimanipulasi . Rasionlitas menjadi adalah
masyarakat modern dalam menhadapi kehidupanya.1
Perdapan manusia berkembang begitu mutahir, diawali dengan revolusi
industri yaitu beralihnya sistem pertanian ke sistem industri, kemudian hingga
1 F. Budi Hardiman. 2008. Kritik Ideologi : Menyingkap Pengetahuan dan Kepentingan Bersama
Jurgen Hebermas. Kanisius : Yogjakarta. Hlm 68.

2

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
saat ini muncul ciber society yang merupakan perwujudan dari teknologi canggih
seperti handphone, komputer, televisi, internet yang pada akhirnya menciptakan
dunia tanpa sekat yang disebut globalisasi. Kalau dulu bulan hanya dianggap
sebagai bulatan cahaya yang jauh di atas sana maka sekarang manusia dengan
pengetahuanya dapat menapakan kakinya di sana, bahkan rencananya manusia
bakal migrasi kesana kalau bumi kelak akan hancur. Peradapan manusia tidak
berhenti sampai disini, permainan menjadi Tuhan pun dimulai dengan mencoba

mereproduksi ras manusia dengan teknologi cloning walaupun belum digunakan
untuk manusia. Sungguh manusia telah menjadi manusia yang berdaulat penuh
atas alam. Disini Tuhan seakan-akan sedang sekarat, bahkan telah dibunuh oleh
Nietzsche, di mana konsep tetang Tuhan dianggap tidak mampu lagi untuk
berperan sebagai sumber dari semua aturan teleologi. Manusia diposisikan sebagai
manusia purna dengan kehendak berkuasa dan mencintai kehidupan.
Masyarakat modern dengan pemujaan atas rasionalitas, telah berhasil
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian jauh, hingga
Teknologi Informasi saat ini telah mendominasi semua elemen kehidupan
masyarakat. salah satu kemajuan teknologi yang dihasilkan masyarakat modern
adalah televisi. Televisi adalah salah satu sarana hiburan yang paling banyak di
pakai oleh masyarakat di dunia. selain sebagai sarana hiburan Televisi juga
sebagai salah satu sarana penyampai informasi di dunia. Dengan Televisi kita bisa
mengaetahui kejadian yang terjadi di daerah bahkan di Negara lain secara
langsung.
Televisi adalah sumber daya yang terbuka bagi semua orang dalam
masyarakat industry, dan semakin mengalami pertumbuhan di Negara-negara
berkembang. Ia juga merupakan sumber bagi pengetahuan popular tentang dunia
dan semakin membuat kita menjalin kontak, meskipun melalui perantara, dengan
cara hidup orang selain yang tinggal di tempat kita dilahirkan. Televisi berdampak

pada ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di
mana kita mepersepsikan dunia realitas yang dijalani orang lain, dan secara
imajiner menrekonstruksi kehidupan mereka dan kehidupan kita melalui dunia

3

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
secara keseluruhan yang dapat difahami. (Hall dalam Becker) 2. Di sinilah televisi
yang awalnya dimaksudkan untuk mensejahterakan manusia, di mana ia
merupakan hasil dari kekuatan rasional masyarakat modern pada akhirnya
teknologi berbalik menguasai manusia. Ia mengendalikan, mengontrol dan
mendominasi kehidupan masyarakat modern.
Makalah ini mencoba untuk membahas tentang dominasi teknologi
informasi dari perspektif teori kritis. Teori kritis yang tergabung dalam kelompok
Frankfurt School adalah kelompok intelektual yang pertama kali melihat gejala
akan dominasi teknologi informasi pada masyarakat modern. Televise meruapak
salah contohnya, dengan mengambil contoh televisi sebagai salah satu media yang
sangat familiar dalam masyarakat. Televisi telah berkembang menjadi alat kontrol
tersendiri bagi masyarakat modern. Melalui tayangan-tayangan yang disajikan ia

telah mengkontruksi realitas sosial masyarakat. Masyarakat modern dengan
hukum positivistik, di mana segala sesuatu dapat dikalkulasikan telah
memunculkan kapitalisme sebagai dewa-dewa pencipta realita dengan hukum
komoditi. Kapitalisme menciptakan industri budaya massa melalui tayangantayangan televisi yang merupakan penipuan massa. Iklan menjadi salah satu
bagaimana masyarakat modern dikontrol oleh kebutuhan-kebutuhan semu.
Televisi menjadi media hiburan yang paling digemari oleh masyarakat.
dengan keunggulan melalui visual (gambar) dan audio (suara) memberikan kesan
realistic (kesan nyata). Televisi mempunyai karakteristik khusus yaitu kombinasi
gambar, suara dan gerak. Oleh karena itu pesan yang disampaikan sangat menarik
perhatian penonton. Dengan perkembangan teknologi informasi, yaitu dengan
didukung oleh grafis komputer yang canggih, televisi menjadi hidup. Hal itulah
yang membawa masyarakat tenggelam dalam dominasi televisi memalui program
tayangan, iklan yang pada akhirnya menyeret masyarakat pada pengorganisasian
secara umum dalam industry budaya yang penuh manipulasi. Oleh karena latar
belakang di atas, makalah ini mengambil permasalah tentang bagaimana dominisi
teknologi informasi yang terjadi terhadap masyarakat modern.

2 Barker, Chris. 2011. Cultural Studies :Teori dan Praktek. Kreasi wacana : Yogyakarta. Hlm 275.

4


Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
Kritik Frankfurt School Atas Masyarakat Modern
Sebelum membahas bagaimana dominasi teknologi terhadap masyarakat
modern, terlebih dahulu perlu kita ketahui tentang teori kritik dari kelompok
Frankfurt School. Kelompok ini sangatlah aktif dalam mengkritisi perkembangan
masyarakat modern. Teori kritis adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu
yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan
sejawatnya di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh
Habermas. Secara umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat
Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih
khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang
dilahirkan di Frankfurt.
Sekelompok intelektual yang kemudian dikenal sebagai anggota Mazhab
Frankfurt adalah teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam
masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari teori klasik Marx.
Mereka yang bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Horkheimer, Theodor
Adorno, Herbert Marcuse dan Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan awal tahun
30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat karena tekanan Nazi, para anggota

Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup
film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu,
produksi media hiburan dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada
campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang
merupakan ciri masyarakat kapitalis dan, kemudian, menjadi fokus studi budaya
kritis. Horkheimer dan Adorno mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut
”industri kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan
komersialisasi budaya di bawah hubungan produksi kapitalis.
Teoritisi kritis pada permulaanya memusatkan perhatian terhadap filsafat
yang diagungkan oleh masyarakat modern, yaitu positivistime. Failsafat yang
mendukung rasionalitas masyarakat modern dalam melakukan penelitian ilmiah.
Aliran kritis menentang positivisme karena berbagai alasan. Pertama, positivisme
cenderung melihat kehidupan sosial sebagai proses alamiah. Teoritisi kritis lebih
5

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
menyukai memusatkan perhatian pada aktifitas manusia maupun pada cara-cara
aktivitas tersebut mempengaruhi struktur sosial yang lebih luas. Singkatnya
positivisme dianggap mengabaikan aktor, menurunkan aktor ke derajad yang pasif

yang ditentukan oleh kekuatan alamiah. Karena mereka yakin akan kekhasan sifat
aktor, teoritisi kritis tak dapat menerima gagsan bahwa hukum umum sains dapat
diterapkan terhadap tindakan manusia begitu saja. Positivisme diserang karena
berpuas diri hanya dengan menilai alat untuk mencapai tujuan tertentu, dan karena
tak membuat penilaian serupa terhadap tujuan. Kritik ini mengarah ke pandangan
bahwa positivisme berwatak konservatif, tak mampu menantang sistem yang ada.
Ilmu pengetahuan dengan wujudnya yaitu teknologi memang telah
menimbulkan dampak positif yang luar biasa bagi peradapan manusia akan tetapi
ketika semua peradapan itu diawali dengan berkuasanya akal pikiran manusia,
maka sampailah kita pada akal pikiran yang mulai kehilangan kontrolnya.
Manusia justru dikendalikan oleh ilmu pengetahuan teknologi. Melihat kondisi
seperti ini Herbert Marcuse dalam One Dimensional man bahwasanya manusia
tidak lagi ditindas oleh manusia lainya namun manusia ditindas oleh sistem
teknologi. Hukum teknologi telah mencengkram kuat yang mengatur dan
memaksa manusia untuk tuntutan ekonomis dan politis kepada manusia 3. Marcuse
juga mengkritik masyarakat modern yang hanya bersifat One Dimensional dan hal
ini tampak dalam semua aspek, yakni ilmu pengetahuan, seni, filsafat, pemikiran
sehari-hari, sistem politik, ekonomi dan teknologi. Manusia modern kehilangan
daya dan prinsip kritis. Masyarakat modern, baik manusia maupun benda
direduksi menjadi sesuatu yang fungsional saja, terlepas dari substansi dan

otonomi. Prinsip kritis tersebut diambil dari konsep-konsep filsafat yang
memungkinkan orang memahami kebebasan, keindahan, akal budi, kegembiraan
hidup dan lain sebagainya .
Meski kehidupan modern kelihatan rasional, aliran kritis memandang
masyarakat modern penuh dengan ketidakrasionalan. Gagasan ini dapat diberi
nama “irasionalitas dari rasionalitas formal”. Menurut pandangan marcuse, meski
tampaknya

rasionalitas

diwujudkan, masyarakat ini secara keseluruhan.

3 Loc Cit. hlm 73

6

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
Masyarakat adalah tak rasional karena dunia rasional merusak individu, serta
kebutuhan dan kemampuan mereka, bahwa perdamaian dipertahankan melalui

ancaman terus menerus dan bahwa meski sarana yang ada sudah cukup, rakyat
tetap miskin, tertindas, tereksploitasi dan tak mampu memenuhi kebutuhan hidup
mereka sendiri. Aliran kritis terutama memusatkan perhatian pada satu bentuk
rasionalitas formal teknologi modern, misalnya mengecam keras tehnologi
modern setidaknya seperti yang digunakan dalam kapitalisme. Sebenarnya ia
memandang tehnologi modern berperan penting sebagai metode pengendalian
eksternal terhadap individu yang baru, lebih efektif, dan bahkan lebih
menyenangkan.
Sistem kapitalisme di mata Marcuse cenderung bersifat represif dan
totaliter. Sistem kapitalisme dalam detailnya memang terkesan serba rasional,
menawarkan kemakmuran dan kehidupan yang makin enak bagi para warganya,
memberikan kekuasaan yang lebih besar, serta pengaturan yang lebih efektif,
efisiensi dan produktif. Tetapi bila dipandang secara keseluruhan, menurut
Marcuse kihidupan masyarakat industri modern sesungguhnya irrasional, penuh
dengan kepalsuan, dan manipulasi4. Di mata teoritisi kritis, perkembangan industri
kebudayaan yang melahirkan produk-produk industry budaya dan budaya massa
atau budaya popular, bukan hanya dinilai sebagai hasil rekayasa kekuatan
komersial yang kapitalistik, tetapi juga berdampak mengendalikan, menciptakan
yang serba palsu dari pada sesuatu yang riil. Menurutnya industri-industri
kebudayaan merupakan organ-organ penipu massa yang memanipulasi individuindividu untuk menerima pengorganisasian masyarakat secara umum. Dalam
pandangan mereka, industri kebudayaan sedang melibatkan diri dalam bentuk
indoktrinasi ideologi yang canggih dengan menggunakan hiburan untuk
mempermanis penindasan sambil menggerogoti standart kebudayaan dengan
tujuan menekansetiap bentuk ekspresi yang menentang tatanan yang ada5.
Televisi : Dominasi Teknologi Pada Masyarakat Modern
4 Bagong Suyanto dan M. Khusna Amal.2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Aditya
Media : Malang. Hlm 122.
5 Ibid. hlm 123.

7

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
Kemajuan teknologi televisi dewasa ini berkembang begitu cepat. Televisi
telah menjadi jendala dunia, televisi telah menjadi media yang menembus ruang
dan waktu. Dunia ibarat daun kelor, menjadi sempit karena adanya teknologi
televisi. Dengan memanfaatkan teknologi satelit, saat ini televisi dapat digunakan
di rumah-rumah, saat ini telah diproduksi juga televisi mobil yang bisa dibawa
kemana-mana, dengan demikian orang dapat menyaksikan siaran televisi di
manapun berada. Produksi seperti ini seperti televisi yang ada pada handphone,
televisi genggam, televisi mobil. Selain televisi satelit, sekarang ini juga sudah
berkembang televisi kabel yang juga digunakan di rumah-rumah dengan teknologi
digital. Televisi jenis ini sudah melampaui teknologi televisi anolog yang sudah
dianggap ketinggalan zaman. Saat ini televisi sudah dapat digabungkan dengan
internet. Sehingga televisi sudah mengalami perkembangan yang begitu canggih,
tidak lagi menggunakan teknologi satelit dan radio.
Televisi yang membawa kepada kemajuan teknologi informasi pada
manusia. Ia menjadi semacam pencapaian tertinggi dalam peradapan manusia.
Televisi memberikan informasi, hiburan kepada masyarakat. Tetapi di balik segala
kemajuan yang ditawarkan televisi, di satu sisi televisi membawa manusia pada
ketertundukan demi kepentingan ekonomi. Keterpihakan media massa termasuk
televisi kepada kapitalisme, telah membawa masyarakat modern hidup dalam
dominasi teknologi. Televisi digunakan untuk kekuatan-kekuatan kapital yang
menjadikanya sebagai mesin penghasil uang dan pelipatgandaan modal.
Keperpihakan media terhadap kapitalisme tersebut menyebabkan televisi hanya
memberikan keterpihakan semu kepada masyarakat. Keterpihakan semu tersebut
adalah rasa simpati dan empati yang pada ujung-ujungnya untuk kepentingan
ekonomi dengan menjual siaran. Keterpihakan televisi kepada kapitalisme ini
pada akhirnya menjadikanya sebagai alat penundukan dan dominasi yang ampuh
dalam masyarakat.
1. Narasi Fasisme Pada Layar Kaca
Teknologi dalam wujudnya media telah menjadi imperealis baru.
Schiller (1969), mengulas kasus bahwa media cocok dengan sistem kapitalisme
8

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
dunia dengan menyediakan dukungan ideologis bagi kapitalisme, dan korporasi
transnasional khususnya. Media dilihat sebagai kendaraan bagi pemasaran
korporat, memanipulasi penonton dan menjadikan mereka sebagai pemasang
iklan. Ini beriringan dengan pengakuan atas efek ideologis secara umum di
mana pesan-pesan media menciptakan dan memaksa keterikatan penonton
pada status quo6. Masyarakat modern secara sosial-politik dalam pandangan
teoritis kritis, cenderung mengarah kepada bentuk totaliterisme, di mana
teknologi manjadi alat pengendalian sosial, bahkan menjadi alat penindas yang
ampuh.
Sistem kapitalisme di mata Marcuse cenderung bersifat represif dan
totaliter. Sistem kapitalisme dalam detailnya memang terkesan serba rasional,
menawarkan kemakmuran dan kehidupan yang makin enak bagi para
warganya, memberikan kekuasaan yang lebih besar, serta pengaturan yang
lebih efektif, efisiensi dan produktif. Tetapi bila dipandang secara keseluruhan,
menurut Marcuse kehidupan masyarakat industri modern sesungguhnya
irrasional, penuh dengan kepalsuan, dan manipulasi.7 Di mata teoritisi kritis,
perkembangan industry kebudayaan yang melahirkan produk-produk industri
budaya dan budaya massa atau budaya popular, bukan hanya dinilai sebagai
hasil rekayasa kekuatan komersial yang kapitalistik, tetapi juga berdampak
mengendalikan, menciptakan yang serba palsu dari pada sesuatu yang riil.
Menurutnya industri-industri kebudayaan merupakan organ-organ penipu
massa yang memanipulasi individu-individu untuk menerima pengorganisasian
masyarakat secara umum. Dalam pandangan mereka, industri kebudayaan
sedang melibatkan diri dalam bentuk indoktrinasi ideologi yang canggih
dengan menggunakan hiburan untuk mempermanis penindasan sambil
menggerogoti standart kebudayaan dengan tujuan menekan setiap bentuk
ekspresi yang menentang tatanan yang ada8.

6 Loc cit. Bekcer Cris. Hlm 275.
7 Loc Cit. Bagong Suyanto. Hlm 122.
8 Ibid. Bagong Suyanto. Hlm 123.

9

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
Televisi sebagai wujud dari teknologi informasi telah menjadi satu alat
pengendalian

masyarakat.

Iklan

sebagai

alat-alat

kapitalisme

telah

mengendalikan masyarakat dalam budaya konsumerisme. Televisi menunjukan
sifat-sifat fasismenya, sosok fasisme dalam diri kapitalisme cenderung
menciptakan kebudayaan massa berdasarkan mekanisme kekuasaan totaliter.
Di mana masyarakat dikomando dalam budaya konsumerime. Adalah Adorno
yang menyamakan sitem kapitalisme dan fasisme tersebut. Keduanya menurut
Adorno memiliki kesamaan yaitu merayakan insting primitif, penolakan akal
sehat dan pesona akan tanda-tanda kemegahan. Hal ini identik dengan fasisme
yang diamalkan oleh Hitler dan Mussolini.
Sebagai sosok fasisme dalam layar kaca, kapitalisme seakan
mengontrol masyarakat secara totaliter melalui budaya konsumerisme. Dalam
pemahamanya konsumerisme adalah paham, aliran atau ideologi di mana
seseorang, kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau
pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak
sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Bisa juga disebut konsumtif dan
gampangnya lagi apabila konsumtif tersebut dijadikan sebagai gaya hidup.
Kemudian sangat ironis, bahwasanya konsumerisme cenderung mewabah di
negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kapitalisme melalui televisi ini terjadi akibat derasnya persaingan
industri pertelevisian dewasa ini. Kompetisi tersebut memiliki imbas ke
khalayak (konsumen) ketika kemudian khalayak dibentuk oleh televisi (baca:
industri) menjadi segmen-segmen yang kemudian akhirnya dijual kepada
advertiser. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa kebebasan yang dimiliki
oleh khalayak pada awal tumbuhnya televisi sifatnya menjadi semu, terutama
karena justru posisi publik menjadi “terkontrol” oleh kepentingan dalam
bentuk lain yang lebih kompleks yaitu ekonomi politik. 9 Masyarakat modern
menurut mereka, merupakan masyarakat yang irrasional. Dalam masyarakat
seperti ini, produksi sebenarnya tidak diciptakan untuk memenuhi kebutuhan
9 Setyo Budi H. 2004. Industri Televisi Swasta Dalam Prespektif Ekonomi Politik. FISIP
Universitas Atmajaya : Yogjakarta. Hlm 3.

10

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
manusia, malainkan kebutuhan manusia yang diciptakan, dimanupulasi dan
diproduksi.
Melalui televisi, kapitalisme memanfaatkan hasrat manusia yang tanpa
batas. Iklan sepeda motor merupakan contoh yang bagus sebagai penjelasaan
nyata tentang apa yang sedang menjangkit dalam masyarakat kita. Hampir
setiap rumah dipastikan sudah memiliki televisi. Dalam setiap tayangannya
televisi selalu menayangkan iklan dengan pengulangan yang begitu padat.
Aktis Koming menjadi familiar dengan iklan sepeda motor Jupiter karena ia
bisa muncul berkali-kali setiap hari. Ia menawarkan tentang suatu produk
sepeda motor yang ideal bagi masyarakat terkini. Beberapa bulan kemudian ia
muncul dengan iklan yang lain tetapi masih dengan produk yang sama. Di sini
mayarakat setiap harinya dijejali dengan iklan-iklan yang terus menjajah dan
mengeksploitasi masyarakat. Belum selesai produk yang awal, sudah muncul
lagi produk yang baru.
Iklan menawarkan berbagai kebutuhan-kebutuhan semu, kebutuhan
yang diciptakan, dibuat seakan-akan masyarakat memang membutuhkan
produk tersebut. Masyarakat dibuat harus meng-up date kebutuhanya, ketika
produk-produk yang terbaru muncul dengan keungulan-keungulan terbaru.
Meskipun produk yang lama masih memadai untuk dipakai. Seperti juga
kegilaan masyarakat akan handphone. Belum habis apa yang ditawarkan oleh
Dedy Corbuzer tentang handphone merk Mito yang terdahulu, sudah muncul
lagi produk-produk yang terbaru yang menuntut konsumer untuk segera
membelinya, karena kebutuhan itu dibuat seakan-akan menjadi kebutuhan
yang mendesak. Kata “ketinggalan zaman” menjadi momok yang menakutkan
bagi masyarakat modern. Kita dibuat seakan-akan ketinggalan zaman jika kita
tidak memiliki produk-produk terbaru dengan keunggulan yang terbaru juga.
Hal ini menciptakan suatu kebutuhan semu. Kebutuhan yang tidak didasarkan
atas nilai guna (use value) tetapi lebih kepada nilai tanda (sigh value).

11

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2

Gambar 1. Iklan yang ditayangkan berulang-ulang, dengan model-model produk terbaru,
membuat penonton berada dalam tekanan psikis kebutuhan palsu

Hasrat manusia adalah sasaran ampuh, ia menjadi bidikan kapitalisme
melalui iklan. Dewa baru yang dipuja namanya “wellness”. Industri
mensugestikan bahwa kita berhak atas perasaan “well”, berhak atas
kebahagiaan, lalu kita dimanipulasi untuk merasa butuh produk-produk agar
bisa bahagia. Hal ini oleh Franz Magnis Susesno disebut semacam fancy desire
(keinginan

yang

bukan-bukan)10.

Kebudayaan

konsumerisme

yang

dikendalikan sepenuhnya oleh hukum komoditi, yang menjadikan konsumer
sabagai raja, yang menghormati nilai-nilai individu, yang memenuhi
selengkapnya dan sebaik-baiknya kebutuhan, aspirasi, keinginan hasrat, telah
memberi peluang bagi setiap orang untuk asik dengan dirinya sendiri. Maka di
sini masyarakat modern telah teramanipulasi dan tertindas secara psikis oleh
teknologi informasi televisi.
2. Nyanyian “Nina Bobo” Yang Melelapkan
Masih berlanjut tentang sosok fasisme di layar kaca yang menawarkan
yaitu merayakan insting primitif (kesenangan hasrat), penolakan akal sehat dan
pesona akan tanda-tanda kemegahan (komsumerisme). Dalam bidang sosiopolitik, terjadi penundukan atas para oposan yang menjadikanya oposan yang
hidup “dalam status quo”. Televisi memiliki wajah ganda, di satu sisi ia
10 Magniz-Suseno, Franz. 2008: Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan. Kanisius : Yogyakarta.
Hlm 20-21

12

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
menawarkan tentang kesejahteraan, di sisi yang lain justru menjerumuskan
masyarakat kepada mindset dari media televisi dan kepentingan ekonomi
politiknya yang hegemonik.
Televisi menjadi alat kontrol yang ampuh terhadap segala bentuk
perlawanan-perlawanan akan realitas sosial yang ada. Televisi seperti yang
telah dipaparkan di atas dengan berbagai bujuk rayu iklan yang disajikan telah
membuat satu generasi yang pasif/pragmatis. Budaya industri kapitalisme yang
disuguhkan kapitalisme televisi melahirkan komsumerisme-hedonisme telah
menciptakan massa diam (the silent mayority). Di mana ketika massa sudah
terbuai dalam budaya konsumerisme-hedonisme, maka masa hanya akan
berdimensi tunggal (Meminjam istilah Adorno), dimensi yang lainya_dimensi
kritis/perlawanan_ menjadi hilang. Segala jenis hiburan serta kesenangankesenangan yang ditawarkan oleh televisi, menyebabkan tumpulnya satu
generasi idealis. Mereka telah terbuai dalam kehidupan yang menyenangkan
dan cenderung pragmatis.
Hal ini menjadi nyanyian“nina bobo” bagi para oposan (baca :
kekritisan). Televisi menjadi alat kekuasaan di mana, “status quo”
dipertahankan. Terjaminya konsumsi produk/jasa para kapitalis, yang nota bene
juga menjadi bagian kepemilikan saham di media televisi, maupun juga bentuk
hegemoni baru dari penguasa dalam membentuk komunitas masyarakat “baru”
yang bersifat konsumtif, hedonis, dan barangkali apolitis, yang sangat mungkin
diposisikan untuk tidak mengganggu kepentingan ekonomi politik penguasa.
Di sisi lainnya televisi menjadi alat ampuh untuk menundukan bibit-bibit
perlawanan terhadap kekuasaan.
Herbert Marcuse dalam tulisanya “A Criticque of Pure Tolerance”
(Kritik Toleransi Murni, 1965), melukiskan bagaimana kebebasan dapat
menjadi alat dominasi. Dalam bidang politik, masyarakat menempatkan dirinya
sebagai masyarakat toleran. Di dalamnya tersedia kebebasan mimbar,
kebebasan pers, kebebasan berkumpul, kebebasan beroposisi atau bahkan
kebebasan seks. Dengan demikian masayarakat menujukan sifat yang bebas
13

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
dan toleran. Akan tetapi, menurut Marcuse, di bawah hukum yang keseluruhan
represif, kebebasan dapat dibuat menjadi alat dominasi yang kuat. 11 Kontrol
teknologi seperti televisi yang menyugukan kebebasan berekspresi ternyata
berbalik menjadi alat dominasi, di mana kekuatan perlawanan pada akhirnya
kehilangan sifatnya, malah kemudian membela status quo.
Televisi melalui bentuk kehadiranya sendiri, merupakan kontrol sosial
yang ampuh. Situasi sebagaimana ia hadir lebih efisien dari seorang intel
pemerintah dalam mengawasi dan mengontrol kehidupan pribadi orang.12
Televisi memiliki kekuasaan mengontrol seseorang untuk memastikan jadwal
kegiatan mereka sehari-hari. Ia mengendalikan manusia lewat penjadwalan
program-program yang dibuat. Inilah yang membuat bagaimana seseorang bisa
betah bertahan berjam-jam di depan televisi. Hal tersebut bisa mematikan
simpul sikap kritis seseorang, membuat malas, sehingga seseorang cenderung
asyik dengan kesenangannya sendiri.
Sikap kesenangan yang disuguhkan televisi ini membuat seseorang
tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, atau lupa untuk melakukan hal-hal
yang lebih penting dari sekedar melihat tontonan televisi. Konsumerismehedonisme yang disosialisasikan oleh televisi, yang dijejalkan setiap hari, di
mana pemenuhan hasrat menjadi utama sehingga seorang individu akan lupa
dengan saudara-saudaranya yang kekurangan. Sikap individulistik yang kian
marak pada akhirnya mematikan sikap sosial kita, sikap di mana kita dibuat
untuk tidak peduli dengan yang lain, yang berarti di sini kita turut
melanggengkan kemiskinan (status quo).
Sikap konsumerisme-hedonisme yang dijejalkan televisi ini yang
kemudian membuat suatu generasi menjadi pragmatis. Maraknya perilaku
korupsi ini juga disinyalir karena tuntutan gaya hidup mewah tersebut. Gaya
hidup yang lebih mengutamakan kesenangan tersebut membuat orang akan
melakukan apa saja untuk memenuhi hasrat tentang kesenangnya, antara lain
11 Loc. Cit .F Budi Hardiman. Hlm 76.
12 Yasraf Amir Piliang. 2011. Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Matahari : Bandung. Hlm 167.

14

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
dengan cara korupsi. Pada kasus-kasus korupsi, bisa kita lihat betapa para
pelaku kesemuanya adalah orang-orang yang berselera tinggi, orang-orang
yang mendewakan “wellness”. Generasi muda juga tak luput dari perilaku
pragmatis ini, bagaimana gaya hidup konsumerisme-hedonisme yang
disuguhkan televisi pada akhirnya mempengaruhi psikis mereka untuk suatu
tuntutan bergaya hidup. Sehingga hal ini membuat dimensi kekritisan tentang
kenyataan sosial (ketidakadilan, kemiskinan, dominasi, keserakahan) menjadi
tumpul, serta individualisme yang semakin tinggi. Sehingga televisi hanya
meyuguhkan nyanyian “nina bobo” bagi para oposan, untuk ikut larut dalam
dunia penuh bujuk rayu. Serangkaian tontonan yang disuguhkan oleh media
massa kapitalisme menurut Baulldirad telah menjadikan individu-individu
sebagai massa yang diam, massa yang tertunduk pada hasrat kesenangan.
Pada kasus politik-kekuasaan bisa kita lihat, bagaimana ketika televisi
dimiliki oleh politikus. Ambilah contoh TV ONE, salah satu televisi swasta di
Negara kita yang dimiliki oleh seorang politikus bernama Abu Rizal Bakrie.
Nampak bahwa persinggungan antara media dan politik telah menghasilkan
kontrol kekuasaan pada masyarakat. Maka televisi semacam ini sebagai media
massa ia tidak akan bisa menjadi netral. Ia akan berkembang menjadi alat
dominasi kekuasaan, yang mengontrol dan mengendalikan massa kritis untuk
dinyanyikan “nina bobo” agar mereka terdiam dan terlelap sehingga tidak
mengganggu jalannya kekuasaan. Bibit-bibit pengganggu itu semisal kelompok
korban Lapindo akan di tundukkan melalui pemberitaan. Masih segar dalam
ingatan kita tentang peristiwa seorang korban Lapindo bernama Hari Suwandi,
yang malakukan aksi jalan kaki Sidorajo-Surabaya untuk menuntut keadilan.
Akan tetapi sungguh mengejutkan beberapa hari kemudian setelah sampai di
Jakarta, justru ia berbalik mengingkari tuntutanya dan meminta maaf atas
perbuatanya kepada Abu Rizal Bakrie.
Berita itu disiarkan berulang-ulang oleh stasiun televisi TV One.
Sehingga membuat massa percaya bahwa Abu Rizal Bakrie memang bersih
adanya. Kemudian tentang pemberitaan lumpur Lapindo, TV One cenderung
men-setting situasi bahwa PT. Lapindo Brantas tidak bersalah dalam kasus
15

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
tersebut. Pemberitaan tentang Lumpur lapindo mem-frame bahwa masalah itu
sudah diselesaikan dengan baik. Satu catatan bahwa pemberitaan tentang
lumpur lapindo oleh TV One tidak pernah menyebut “Lumpur Lapindo” tetapi
“Lumpur Sidoarjo”. Hal ini memberikan kesan bahwa bencana tersebut tidak
ada sangkut pautnya dengan PT. Minarak Lapindo Jaya. Di sini berarti televisi
telah menjadi “nyanyian nina bobo” untuk oposan, yang pada akhirnya tetap
memertahankan status quo.
3. Dewa Pencipta Realitas Sosial
Televisi disyarati oleh muatan-muatan makna ideologis tersembunyi,
yang menurut Theodore Adorno muncul semata-mata melalui cara suatu acara
atau iklan memandang manusia. Pemirsa dalam hal ini, diundang untuk melihat
satu karakter dengan cara yang sama ia melihat dirinya, tanpa menyadari
bahwa sebenarnya telah terjadi indoktrinasi.13 Televisi dengan visualisinya
teknologi garfis yang sempurna, telah menjadikan suatu realitas semu seakanakan menjadi nyata. Hal ini yang disebut oleh Bauldillard sebagai hiperreality.
Penonton dibuat percaya bahwa apa yang ditampilkan di televisi merupakan
realita sosial yang ada dalam kehidupan mereka.
Realitas sosial yang dimaksud adalah sebuah konstruksi pengetahuan
dan/atau wacana dalam dunia kognitif yang hanya hidup dalam pikiran
individu dan simbol-simbol masyarakat, namun sebenarnya tidak ditemukan
dalam dunia nyata. Refeleksi realitas sosial itu baru terlihat saat individu
menidentifikasikan dirinya dengan lingkungan sosialnya, dalam bentuk-bentuk
yang lebih kongkret terlihat di saat mereka menentukan pilihan-pilihan mereka
terhadap sebuah produk untuk dicapai. Koridor inilah yang dimaksud dengan
realitas yang dicitrakan media, artinya realitas citra itu hanya ada dalam
media14.

13 Idi Subandy Ibrahim.1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas
Indonesia. Jalasutra : Yogjakarta. Hlm 180.
14 Burhan Bungin. 2006. Sosiologi Kominukasi ; Teori Paradigma dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat. Kencana : Jakarta. Hlm 214.

16

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
Kita bisa lihat gejala mimesis (peniruan) yang dilakukan anak muda
terhadap para akris yang tampil ditelevisi. Ambillah contoh tentang sebuah film
drama anak muda yang menyuguhkan cerita cinta, kemewahan, kesenangan
yang diperankan oleh aktris-aktrisnya. Diperankan bahwa seorang mahasiswa
atau bahkan anak SMA pergi ke kampus dengan mobil mewah. Di kampus
hanya menceritakan seputar cinta remaja, shoping mall, serta gaya hidup lainya
yang jauh dari kenyataan sosial anak muda di masyarakat kita. Hal inilah yang
kemudian mengkontruksi suatu realita sosial tentang anak muda. Seakan
televisi muncul sebagai Dewa pencerahan, yang berbicara dan menyampaikan
suatu sabda kepada penontonya bahwa ”Hai anak muda beginilah seharusnya
kalian hidup sehari-hari, beginilah kehidupan yang ideal bagi kalian”.Atau
mungkin iklan-iklan yang ditayangkan berulang-ulang, menyuguhkan berbagai
produk dengan memakai aktris yang tampan atau pun cantik. Iklan susu L-Men
memberikan kesan bahwa tubuh seorang laki-laki itu harus kekar, perut
berbentuk, macho dan gagah. Iklan pelangsing tubuh perempuan memberikan
kesan bahwa tubuh perempuan itu harus seksi, berpayudara membuncang
tinggi, perut langsing, kaki tinggi nan ramping. Kembali televisi di sini akan
muncul sebagai Dewa, mongkonstruksi suatu realitas sosial tentang fisik yang
ideal, dan seakan ia berbicara dan menyampaikan sabdanya bahwa “Hai lakilaki tubuh yang bagus itu seperti ini lo atau hai perempuan, tubuh yang bagus
ini seperti ini lo”.

17

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
Gambar 2. Iklan di televisi mengkonstruksikan tentang realitas sosial tubuh laki-laki yang
ideal

Pada akhirnya dengan tayangan-tayangan yang disuguhkan oleh televisi
tersebut, secara bersamaan ia menjadi Dewa pencipta konstruksi realita sosial
yang secara nyata jauh dari kehidupan masyarakat. Relaitas semu tersebut pada
akhirnya membuat masyarakat terbawa arus untuk bergaya hidup seperti yang
digambarkan oleh televisi. Suatu realita semu yang dibumbuhi dengan
kesenangan-kesenangan, sehingga akan diiukuti serta merta oleh penotonnya.
Selain perilaku remaja, perilaku anak-pun bisa dibentuk malaui televisi ini.
Televisi yang menyuguhkan berbagai film kartun atau film-film anak-anak
yang terkadang syarat akan kekerasan juga menjadikan suatu yang negatif
terhadap perkembangan anak. Ketika film kartun yang popular seperti Naruto
ditayangkan, ia akan menarik penggemarnya tersendiri. Si-anak akan
melakukan peniruan akan sifat-sifat kekerasan yang diperagakan dalam film
laga tersebut. Jika si-anak dibiarkan melihat tontonan televisi tanpa bimbingan,
tentu itu akan berbahaya bagi perkembangan perilaku anak-anak.
Televisi telah menjadi berhala yang disembah oleh masyarakat
tontonan. Berbagai acara yang penuh akan pesona yang memabukkan hasrat,
kesenangan, kecabulan hingga kekerasan disugguhkan oleh televisi. Berbagai
acara reality show, acara musik, olahraga, film-film menjadi terik tersendiri
bagi perusahaan pertelevisian untuk menjaring pemirsa. Masyarakat disuguhi
akan realita semu yang terus merengsek ke dalam sendi-sendi kehidupan.
Tontonan gossip yang mengumbar aib para artis, tontonan relity show seperti
Silet yang menyuguhkan realita secara berlebihan, acara musik seperti Dhasyat
yang menyuguhkan bagaimana seharusnya dunia sosial anak muda. Semua
disajikan penuh manipulasi dan pembohongan masal demi keuntungan
ekonomis kapitalis. Ketika realita sosial yang dikonstruksikan televisi baik
film, tontonan maupun lainya sudah teresap dalam pemikiran massa, maka
otomatis keuntungan ekonomi juga akan mereka raup. Di sini televisi telah
menjadi semacam alat indokrinasi, semacam alat yang menanamkan suatu
kehidupan yang bersifat semu.
18

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
Televisi telah memanipulasi suatu realita sosial dengan mengeksploitasi
moment yang sedang terjadi. Kemudian menyakinkan penonton bahwa apa
yang dilihatnya merupakan suatu kenyataan sosial yang harus diikuti. Seperti
yang dikatakan Schlesinger, Berita televisi bukanlah cerminan relitas,
melainkan meletakkan realitas secara bersama-sama. Maksudnya berita bukan
merupakan “jendela dunia” yang tanpa perantara, melainkan suatu representasi
hasil seleksi dan konstruksian yang membentuk realitas. Pemilihan berbagai
hal yang akan dimasukan ke dalam berita dan cara-cara khusus di mana suatu
berita telah dipilih, maka cerita yang hasil konstruksi itu tidak pernah netral
lagi. Berita itu merupakan versi tertentu dari suatu peristiwa 15. Dalam dunia
pers, dikenal istilah “Bad News and Good News”. Good News di sini berarti
adalah pemberitaan yang cenderung baik atau dibaik-baikan, dengan
menimbulkan kesan kebaikan dari sesuatu yang diberitakan. Kemudian Bad
News berarti kebalikanya, yaitu berita yang cenderung dijelek-jelekan, atau
menimbulkan kesan kejelekan pada sesuatu yang diberitakan.
Istilah ini sering dipakai oleh para wartawan untuk mencari berita atau
memberitakan sesuatu. Tuntunan dalam mencari berita adalah “Bad News Is
Good News”, sehingga pemberitaan lebih condong kepada pemberian bumbubumbu tentang kejelekan. Berita tentang kriminal misalnya, maka akan
memberikan kesan atau citraan yang sejelek-jeleknya. Meskipun mungkin
objek yang menjadi pemberitaan tidak sejelek yang digambarkan, namun
karena “Bad news is Good news” menjadi daya tarik berita, maka wartawan
akan cenderung memperparah kesan jelek yang melekat pada perilaku kriminal
tersebut. Seorang John Key yang tertangkap dan tertuduh dalang pembunuhan,
maka yang disorot berita adalah kesan jeleknya. Untuk menambah kesan
menyakinkan kepada pemirsa, maka televisi membentuk suatu realita sosial
dengan gambar visual yang meyakinkan dengan diiringi bumbu-bumbu
dramatisasi.
Berbeda halnya dengan prinsip “Bad News Is Good News”, televisi
juga membentuk realita sosial secara “Good News”. Seperti iklan, dengan
15 Barker, Chris. 2011. Cultural Studies. Kreasi wacana : Yogyakarta. Halm 276.

19

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
segala cara maka televisi akan menimbulkan kesan yang bagus-bagus menurut
pesanan pemasan iklan. Televisi akan menayangkan sebaik mungkin citra baik
dari iklan tersebut. Karena iklan merupakan sumber penghasilan dari televisi
tersebut. Dari kedua perbandingan tersebut, terlihat jelas bahwa televisi
menampilkan suatu realitas sosial yang telah tersetting, termanipulasi untuk
suatu kepentingan tertentu. Sehingga realitas sosial yang ditampilkan oleh
televisi tidak bisa netral. Televisi berusaha menggambarkan suatu realita yang
menyakinkan kepada khalayak bahwa hal tersebut merupakan suatu realitas
sosial yang nyata.
Penutup
Masyarakat modern dengan pengagungan atas rasionalitasnya, telah
membawanya pada peradapan yang mutahir. Hal itu ditandai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Berbagai teknologi
dikembangkan untuk menundukkan alam, mengeksploitasi untuk kepentingan
manusia. Dengan kecanggihanya teknologi masyarakat modern berharap pada
suatu kesejarteraan hidup. Teknologi informasi berkembang secara pesat di abad
ini, mulai dari ditemukanya komputer, televisi, radio, internet dan lainya yang
merupakan tingkat kemutahiran manusia dalam teknologi informasi.
Perkembangan peradapan yang pada awalnya diperuntukan untuk
kesejahteraan manusia, di mana manusia mampu mentahklukan hambatanhambatan kehidupanya dengan mengendalikannya melalui teknologi. Akan tetapi
sampailah manusia pada titik nadir yang oleh para teoritisi kritis disebut sebagai
“irrasionalitas masyarakat rasional”,yang mana masyarakat modern yang
menyatakan dirinya sebagai manusia rasional, dianggap kembali kepada
irrasionlitas. Manusia mulai dikuasai oleh hasil ciptaanya sendiri, yaitu teknologi.
Salah satun wujudnya adalah televisi. Televisi sebagai media massa telah menjadi
alat dominasi pada masyarakat modern. Manusia mulai kehilangan kekritisanya
dan cenderung di dominasi oleh teknologi itu sendiri. Hukum positivistik
memnciptkan daya nalar manusia dengan serba kalkulasi. Kehidupan ditundukan
dengan angka-angka, sehingga melahirkan suatu system dengan hukum komoditi
20

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
yang disebut “kapitalisme”. Masyarakat modern dengan kuasa kapitalisme telah
mengembangkan apa yang disebut ”industri kebudayaan” yang merupakan
sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya di bawah hubungan
produksi kapitalis.
Televisi sebagai teknologi informasi telah mengendalikan masyarakat
modern secara ekomi-politik. Televisi memiliki wajah ganda, di satu sisi ia
menawarkan tentang kesejarteraan, di sisi yang lain justru menjerumuskan
masyarakat kepada mindset dari media televisi dan kepentingan ekonomi
politiknya yang hegemonik. Televisi berkembang menjadi semacam kekuasaan
Fasisme, yaitu faham yang menawarkan insting primitive , penolakan akal sehat
dan pesona akan tanda-tanda kemegahan (konsumerisme-hedonisme). Dengan
iklan ia mengendalikan manusia melalui eksploitasi dan manipulasi hasrat
kesenangan. Kemudian televisi juga telah menjadi nyanyian “nina bobo” bagi
bibit-bibit oposisi. Manusia yang seharusnya kritis terhadap lingkungan
kehidupanya, menjadi tumpul karena gaya hidup yang ditawarkan televisi.
Kemudian televisi menjadi semacam “Dewa” yang menciptakan realitas sosial
pada masyarakat modern. Realitas sosial semu yang ditampilkan televisi, yang
tidak sesuai dengan realitas nyata, menjadi masyarakat modern irrasional dalam
rasionalitasannya.

Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies : Teori dan Praktek. Kreasi wacana :
Yogyakarta.

21

Universitas Sebelas Maret Surakarta 201
Pascasarjana Sosiologi 2
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi ; Teori Paradigma dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana : Jakarta.
Budi H, Setyo. 2004. Industri Televisi Swasta Dalam Prespektif Ekonomi Politik.
FISIP Universitas Atmajaya : Yogjakarta.
Hardiman, F. Budi. 2008. Kritik Ideologi: Menyingap Pengetahuan dan
Kepentingan Bersama Jurgen Hebermas . Kanisius : Yogjakarta
Ibrahim, Idi Subandy.1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia. Jalasutra : Yogjakarta.
Magniz-Suseno, Franz. 2008: Etika Kebangsaan, Etika Kemanusiaan. Kanisius :
Yogyakarta.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia Yang Dilipat : Tamasya Melampaui Batasbatas Kebudayaan. Matahari : Bandung.
Suyanto , Bagong dan Amal , M. Khusna .2010. Anatomi dan Perkembangan
Teori Sosial. Aditya Media : Malang.

22

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65