Paradoksal Indonesia Kom Pemb dan Glob
PARADOKSAL INDONESIA
Kebijakan Importasi Beras
TUGAS MATA KULIAH
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN DAN GLOBALISASI MEDIA
OLEH:
AZWANIL FAKHRI
ARDI TAMBUNAN
ERNAWATI KOTO
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2016
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia adalah surga dunia. Kalimat ini sering kita dengar.
Bahkan berulang-ulang, meski dalam ruang dan waktu yang
berbeda. Negeri kita amat kaya. Keanekaragaman sumberdaya
yang dimiliki negeri ini idealnya mampu membesarkan namanya di
kancah dunia. Tapi kini tidak. Seakan-akan demikian keadaannya,
padahal tidak begitu. Paradoks atau paradoksal akut melanda
negeri ini.
Jika kita baca di Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam
jaringan, maka paradoks diartikan sebagai pernyataan yang seolaholah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau
kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat
paradoks.
Perdebatan
soal
paradoks
pembangunan,
dalam
dua
dasawarsa terakhir tampak mengemuka dan menjadi kajian serius
para pemikir dan praktisi pertanian. Diskursus antara pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dengan semakin membengkaknya angka
pengangguran
penggugatan
dan
kemiskinan
terhadap
proses
massa,
melahirkan
pembangunan
yang
beragam
dilakukan.
Termasuk di dalamnya yang terkait dengan paradoks di bidang
pembangunan pertanian itu sendiri.
Di negara kita, istilah “paradoks pembangunan pertanian”
seringkali muncul menjadi topik pembahasan hangat. Esensi dari
paradoks tersebut antara lain; sumberdaya pertanian yang dimiliki
sangat melimpah, namun seiring dengan itu jumlah petani miskin
1 | Page
pun tetap tinggi. Lalu muncul pertanyaan mengapa kita tidak
mampu melepaskan diri dari paradoks yang demikian?
Padahal
pembangunan
pertanian
bukan
hanya
sebatas
bagaimana memproduksi produk pertanian untuk penyediaan
pangan nasional, tetapi juga memiliki peran cukup besar dan
berkontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), penyediaan
lapangan kerja, sumber pendapatan dan perekonomian nasional
maupun regional serta penyediaan bahan baku bagi industri olahan
berbasis pangan.
Membangkitkan sektor pertanian nasional tentunya bukan
perkara mudah. Terlebih, dinamika global dan regional juga turut
mempengaruhi. Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia (PERHEPI) Bayu Krisnamurti misalnya mengingatkan,
bahwa
penetapan
Asean
Masyarakat
Ekonomi
konsekuensi
pada
Economic
Asean
(MEA)
pembangunan
Community
akan
ekonomi
(AEC)
membawa
nasional,
atau
banyak
termasuk
pembangunan pertanian. “Persoalannya, begitu banyak produk
petani
keluar
dari
lahannya,
petani
menghadapi
berbagai
tantangan. Di antaranya kualitas infrastruktur yang buruk, regulasi
yang tidak sepenuhnya mendukung upaya mereka mendapatkan
harga jual yang baik dan peluang untuk meningkatkan nilai tambah
produk,” bebernya. Semua itu, lanjutnya, membuat daya saing
produk petani Indonesia menjadi rendah dan kalah dibandingkan
negara-negara Asean lainnya.1
Selain itu, ada 7 faktor yang juga bisa menjadi penghambat
pembangunan sektor pertanian, yaitu: (1) Perubahan iklim, (2)
Kondisi perekonomian global, (3) Gejolak harga pangan global, (4)
1 http://www.piyunganonline.org/read/presiden-jokowi-serius-benahipertanian.html (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
2 | Page
Bencana alam, (5) peningkatan jumlah penduduk, (6) Aspek
distribusi dan (7) Laju urbanisasi.2
Sebagai bangsa yang besar dengan karunia alam yang subur
dan
tradisi
agraris
yang
sudah
sedemikian
mengakar
di
masyarakat, Indonesia seharusnya bisa menjadi kawasan yang
mampu mengekspor berbagai produk pertanian. Namun yang
terjadi justru sebaliknya. Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia
malah menjadi salah satu negara pengimpor yang cukup besar
pada beberapa produk pertanian yang seharusnya bisa diproduksi
oleh kita sendiri. Situasi yang paradoks ini tentu saja cukup ironis
dan harus dibalikkan.
Pemerintah cenderung mengambil cara gampang ketika
dihadapkan
pada
situasi
kekurangan
stok
beberapa
produk
pertanian yang mengancam kenaikan harga komoditas tersebut.
Ketika
stok
beras,
jagung,
atau
kedelai
menipis,
misalnya,
pemerintah terkesan tergesa-gesa dan tidak mau repot dan lantas
mengimpor dengan tanpa mempertimbangkan situasi yang tengah
dihadapi para petani. Entah sudah berapa kali terjadi, pemerintah
membuka kran impor suatu komoditas justru di saat petani kita
akan menghadapi panen pada komoditas yang sama. Akibatnya,
ketika panen tiba, petani lokal mengalami kerugian karena jatuhnya
harga akibat kelebihan ketersediaannya.
Lihat saja produk hortikultura, misal sayuran dan buahbuahan yang dijual di pasar-pasar modern maupun pasar-pasar
tradisional. Tidak sulit untuk menjumpai sayuran dan buah-buahan
impor dengan harga kompetitif. Dengan kemasan yang lebih bagus
dan kualitas produk yang, sebagian terstandarisasi, keberadaan
2 idem
3 | Page
sayuran dan buah-buahan impor sedemikian mencolok dan bahkan
mulai menggeser produk-produk hasil petani lokal.
Paradoksal
kondisi
ini
terjadi
di
tengah-tengah
gema
pembangunan pertanian berkelanjutan yang selalu digaungkan oleh
pemerintah sendiri. Rasanya cukup wajar jika sebagian kalangan
menilai bahwa pemerintah tidak memiliki visi dan political will yang
kuat dalam membangun kekuatan pertanian kita. Jangankan bicara
ekspor skala luas, untuk memenuhi keperluan sendiri saja kita
masih kesulitan. Padahal kita memiliki semua persyaratan untuk
menjadi sebuah negara agraris yang menjadi lumbung pangan
utama dunia. Oleh karena itu, visi pertanian yang berorientasi
ekspor harus mulai diperkuat dan dikembangkan dengan serius
agar kita mampu menjadi salah satu pemain utama dalam produsen
komoditas pertanian di pasar internasional.
Pangan (baca: beras), secara harfiah bukan persoalan politik.
Dalam kehidupan sehari-hari, pangan diperlakukan sebagai bahanbahan yang diperlukan jasmani agar badan manusia bisa bertahan
hidup. Sebenarnya terlalu banyak unsur alami di bumi yang segera
dapat dikelola untuk “sekadar” menjadi bahan pangan pengganjal
perut
lapar.
Namun,
disinilah
pangkal
persoalannya.
Karena
merupakan kebutuhan jasmani yang tak terelakkan yang, dalam
istilah antropolog Melville J. Herskovitas, merupakan the primary
determinants of survival bagi umat manusia, pangan menjadi
barang langka saat dihadapkan dengan sistem ekonomi dan politik
yang lebih luas.
4 | Page
BAB II PARADOKS KEBIJAKAN IMPORTASI
Padi (baca: beras) adalah bahan pangan paling utama di
Indonesia. Karenanya ia menjadi komoditas ekonomi sekaligus
politik strategis. Kondisi dan dinamika supply-demand komoditi
beras amat mempengaruhi kondisi politik negeri kita. Sebab
kedudukan beras sebagai sumber utama karbohidrat, nyaris 100%,
penduduknya
belum tergantikan hingga kini.
Bagi
penduduk
Indonesia, beras bukan hanya bahan pangan, tapi juga menjadi
simbol
budaya
yang
amat
kuat
dan
salah
satu
indikator
kesejahteraan hingga hari ini.3
Pada sebagian besar penduduk yang tinggal di perdesaan
hingga kini masih banyak terdapat lumbung. Lumbung ini adalah
bangunan tradisonal yang berfungsi sebagai gudang tempat
penyimpanan
padi.
Lumbung
padi
ini
juga
menjadi
simbol
terjaminnya ketersediaan pangan (beras) bagi suatu keluarga atau
kelompok masyarakat perdesaan. Ini menjadi semacam penguat
simpulan bahwa hampir mustahil memisahkan penduduk kita dari
beras. Ini juga yang menjadi faktor kenapa ketersediaan beras
sebagai
komponen
ketahanan
pangan
menjadi
amat
sangat
penting.
Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah krusial.
Pangan merupakan basic human need, kebutuhan dasar bagi setiap
manusia yang wajib dipenuhi. Namun, Indonesia merupakan negara
yang mempunyai masalah dalam pangan khususnya beras. Padahal
jika dilihat dari luasan wilayah dan budaya sebagai negara agraris,
3 Natawidjaja & Rum. Food Security Situation and Policy in Indonesia (Pusat Studi
Kebijakan Pangan dan Agribisnis Universitas Padjadjaran, 2013)
5 | Page
yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai
petani, sangat tidak mungkin mempunyai permasalahan pangan.
Namun kenyataannya permasalahan tersebut melanda Indonesia.
Permasalahan pangan yang terjadi di Indonesia terdiri dari
dua
bentuk
yaitu,
permasalahan
secara
berkala
(transitory/
occasional food insecurity) dan kronis (chronic food insecurity).
Permasalahan secara berkala terjadi karena misalnya ada bencana
alam, konflik sosial dan fluktuasi harga. Sedangkan permasalahan
kronis adalah, krisis yang terjadi berulang dan terus menerus. Krisis
ini terjadi karena terbatasnya akses terhadap ketersedian pangan
disertai harga bahan pangan yang melambung tinggi.
1. Konsumsi dan Produksi Beras
Sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwa beras bukan
hanya sumber pangan utama, tapi juga simbol budaya. Sebagai
simbol budaya yang melekat erat dengan kehidupan, maka beras
mempunyai peran penting. Dalam tiap-tiap acara atau parade
budaya, maka beras sering hadir di sana. Selain hadir dalam bentuk
sajian makanan, beras juga digunakan pada fungsi yang berbeda.
Pada ritual budaya tepung tawar misalnya, maka beras menjadi
sesuatu yang tak terpisahkan.
Selain itu, melekat pula sesuatu yang menjadi pola pikir
sebagian besar masyarakat kita. Adagium “Kalau belum makan nasi
itu artinya belum makan” benar-benar telah tertanam lama.
Sekalipun beras hadir dalam bentuk pangan lain, misalnya lontong,
tapi bagi sebagian kita itu masih belum makan. Untuk itulah,
keakurasian angka konsumsi menjadi sering dibahas pada forum-
6 | Page
forum ilmiah yang membahas beras dan kebijakan perberasan
pemerintah.
Pengukuran konsumsi harian per kapita menjadi titik penting
untuk menghitung angka kecukupan stok ketersediaan beras bagi
seluruh penduduk. Angka inilah yang nantinya menjadi acuan untuk
menggenjot produksi lokal atau menambal kebutuhannya melalui
importasi.
Dengan dasar itu, pada 2015 pemerintah telah mengukur
konsumsi beras harian Indonesia untuk mengetahui takaran ratarata konsumsi per kapita terhadap komoditas itu. pengukuran
tersebut
dilakukan
guna
menyesuaikan
data
jumlah
takaran
konsumsi beras perkapita yang digunakan di beberapa kementerian
dan
institusi
Perdagangan,
seperti
dan
Kementerian
Badan
Pusat
Pertanian,
Statistik.
Dalam
Kementerian
pengukuran
tersebut digunakan empat takaran beras dengan jumlah berbeda
yang dimasak di penanak nasi elektronik dengan takaran air
masing-masing setengah buku jari telunjuk diatas permukaan
beras.
Jumlah takaran tersebut antara lain yang pertama dari Survei
Sosial
Ekonomi
Nasional
(Susenas)
rumah
tangga
ukuran
87,63kg/tahun atau 240gr/hari, kedua dari BPS/Kemendag rumah
tangga+rumah makan 114kg/tahun atau 312gr/hari. Lalu yang
ketiga yaitu takaran data neraca beras Kementan 124kg/tahun atau
340gr/hari dan yang keempat dari Badan Pusat Statistik 139kg/hari
atau 380gr/hari. Dari hasil pengukuran ini didapatlah angka 114
kg/kapita/tahun. Angka ini adalah angka stabil yang telah diukur
secara cermat dalam kurun waktu tiga tahun, yakni mulai 2013
7 | Page
sampai dengan 2015. Dengan menggunakan angka tersebut, maka
konsumsi beras tingkat nasional mencapai sekitar 27 juta ton.4
Masih berdasarkan informasi dari sumber yang sama, data ini
telah divalidasi oleh BPS. Artinya, angka konsumsi beras per kapita
terkoreksi menjadi lebih rendah dari tiga tahun sebelumnya, yakni
dari 124kg/kapita/tahun (versi Kementan) dan 139kg/kapita/tahun
(versi BPS).
Pada tahun 2015 itu juga, BPS telah merilis angka produksi
padi pada 2015 mencapai 75,40 juta ton gabah kering giling (GKG),
yang mengalami kenaikan 6,42 persen atau 4,55 juta ton jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada penetapan angka
tetap (ATAP) 2015, kenaikan produksi padi tersebut terjadi karena
kenaikan luas panen 0,32 hektare atau mencapai 2,31 persen
menjadi 14,1 hektare dan peningkatan produktivitas 2,06 kuintal
per hektare atau 4,01 persen. Kenaikan produksi padi yang relatif
besar pada 2015 terjadi di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatera Selatan, dan Aceh. Sedangkan penurunan produksi yang
relatif besar terjadi di Provinsi Jawa Barat, Jambi, dan Kalimantan
Barat.5 Berikut dipaparkan angka produksi padi 2010-2014.
4 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/03/21/nlihft-berapa-tingkatkonsumsi-beras-secara-nasional (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
5 https://m.tempo.co/read/news/2016/07/01/090784762/bps-produksi-padi-2015tembus-75-4-juta-ton (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
8 | Page
Angka-angka di atas menunjukkan kecenderungan produksi
yang terus meningkat, kecuali pada tahun 2014 yang menunjukkan
penurunan akibat kegagalan panen petani sebagai dampak dari
fenomena el nino yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia.
Fenomena el nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut
yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (Sea
surface temperature – SST) di Samudera Pasifik sekitar ekuator
(aquatorial pasific) khususnya bagian tengah dan timur (sekitar
pantai Peru). Karena lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang
saling terhubung, maka kondisi penyimpangan kondisi laut ini
menyebabkan terjadinya penyimpangan kondisi atmosfer yang
pada akhirnya berakibat terjadinya penyimpangan iklim. 6 Inilah
yang menjelaskan kenapa terjadi penurunan produksi pada tahun
2014.
Namun demikian, meskipun terjadi penurunan sebenarnya
angka produksi tetap bisa memenuhi kebutuhan konsumsi dalam
negeri. Sebabnya, bahwa angka produksi yang dirilis oleh BPS
seringkali lebih rendah dari angka produksi yang sebenarnya.
Pada 1956, Leon Mears dari Universitas Wisconsin, Amerika
Serikat, menulis buku tentang ekonomi beras atas permintaan
Bulog. Begitu penting buku ini hingga pada 1981 ditulis ulang.
Catatan terpenting yang perlu dikemukakan dari buku itu ialah
bahwa berdasarkan hasil survei Mears, produksi beras yang
dilaporkan Kantor Pusat Statistik, nama dulu untuk Badan Pusat
Statistik (BPS) sekarang, lebih rendah sekitar 9,5 persen dari angka
aktual dan faktor konversi dari gabah menjadi padi lebih tinggi 5
persen dari yang sesungguhnya. Gabungan koreksi keduanya
6 Supari. Sejarah Dampak El Nino di Indonesia (BMKG, 2014).
9 | Page
memberikan hasil akhir data produksi beras yang dilaporkan
melampaui estimasi sekitar 8 persen.7
Dari catatan di atas menyebutkan bahwa BPS mencatat angka
produksi padi (baca: beras) selalu di bawah angka aktual atau
angka yang sebenarnya. Akibat dari pada ini adalah munculnya
asumsi seolah-olah produksi dalam negeri tak cukup. Ini yang
mungkin menjadi acuan kenapa pemerintah selalu mengambil
kebijakan impor dari dulu hingga kini.
2. Distribusi
Kolh dan Uhl dalam Purwono dkk (2013) menyebutkan
distribusi
adalah
kegiatan
yang
dapat
memperlancar
proses
penyaluran barang atau jasa dari titik produsen ke titik konsumen.
Secara umum, berikut ini alur distribusi perberasan di Indonesia.
7 Makmun Syadullah. Politik Perberasan
(http://regional.kompas.com/read/2011/09/21/02283280/.Politik.Perberasan.)
diakses tanggal 08 Oktober 2016
10 | P a g e
3. Kebijakan Importasi Beras
“Rakyat padang pasir bisa hidup, masak kita tidak bisa
hidup! Rakyat Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup, masak
kita tidak bisa membangun satu masyarakat adil-makmur
gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kertaraharja, di mana si
Dullah cukup sandang, cukup pangan, si Sarinem cukup
sandang,
cukup
pangan!
Kalau
kita
tidak
bisa
menyelenggarakan sandang-pangan di tanah air kita yang
kaya ini, maka sebenarnya kita Beograd yang tolol, kita
Beograd yang maha tolol.” (Pidato Bung Karno pada
Konferensi Colombo Plan di Yogyakarta 1953)8
Hubungan pangan dan politik berangkat dari asumsi bahwa
seluruh kehidupan manusia dapat secara dramatis direduksi hanya
pada
perburuan
makanan.
kebiasaan,
dan
selera
kebutuhan
pangan
Lepas
dari
masing-masing
merupakan
cara
berbagai
kelompok
paling
cara,
gaya,
masyarakat,
esensial
untuk
mempertahankan hidup. Pangan menjadi kebutuhan permanen
yang tidak pernah hilang. Karena itu, kecukupan pangan menjadi
hal yang tidak bisa ditawar. Pangan harus tersedia setiap saat
dalam jumlah cukup, saat panen atau paceklik, dan dengan harga
yang terjangkau siapa pun.
Fungsi pangan sebagai komoditas hajat hidup orang banyak
inilah yang melahirkan unsur politik. Seseorang atau lembaga yang
menguasai sumber-sumber pangan akan mempunyai posisi tawar
dan posisi politik tertentu. Kekuatan tawar dan politik kian mekar
manakala mereka juga menguasai organisasi pengolahan pangan,
distribusi,
sekaligus
fasilitas-fasilitas
publik
dalam
proses
produksinya.9
8 http://lipi.go.id/berita/single/Ketergantungan-Impor-dan-KedaulatanPangan/8949 (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
9 Khudori. Ironi Negeri Beras (Insist Press, 2008)
11 | P a g e
Indonesia merupakan negara dengan tingkat ketahanan
pangan yang fluktuatif. Impor beras dan pangan penting lainnya
seperti kedelai, daging, dan susu sering memunculkan pertanyaan
mengapa pertanian kita tidak berjaya. Bahkan, garam pun terpaksa
diimpor, padahal kita memiliki lautan yang mahaluas. Bila bahan
pangan-pangan penting masih terus mengandalkan impor, gejolak
pangan di pasar internasional bisa memunculkan ketidakstabilan
ekonomi ataupun politik.10
Impor beras pada mulanya dilakukan swasta. Sejak tahun
1957 JUBM (Jajasan Urusan Bahan Makanan) mengimpor beras
dengan kontrak P ke P, pemerintah ke pemerintah. Perubahan
prosedur impor masih menimbulkan banyak masalah, antara lain
kualitas beras impor yang rendah dan risiko politik apabila terjadi
kelangkaan beras di pasar. Faktanya sekarang ini ketergantungan
Indonesia pada impor beras sudah begitu tinggi.11
Permasalahan
pangan
yang
terjadi
di
Indonesia
juga
merupakan dampak dari kebijakan pemerintah mengenai hasil
pangan. Saat ini, masyarakat tidak lagi mempunyai kedaulatan atas
pangan, baik kekuatan dalam mengatur produksi, maupun distribusi
dan
konsumsi
di
sektor
pangan.
Sehingga,
mereka
sangat
bergantung pada mekanisme yang dikuasai oleh segelintir pihak
swasta. Akibatnya, Indonesia pada saat ini mengalami masalah
krisis
pangan,
ketidakmampuan
di
mana
krisis
masyarakat
pangan
dalam
merupakan
memenuhi
suatu
kebutuhan
pangannya. Permasalahan krisis pangan ini sering ditandai dengan
kelangkaan stok dan melambungnya harga pangan. Kelangkaan
10 Ali Khomsan. Ironi Negeri Agraris (http://lampost.co/berita/ironi-negeri-agraris)
diakses tanggal 08 Oktober 2016
11 Makmun Syadullah. Politik Perberasan
12 | P a g e
stok
pangan
tersebut
menyebabkan
berbagai
gejolak
dan
keresahan sosial.
Padahal mestinya, dalam urusan pangan ini pemerintah
idealnya punya kendali penuh pada tiap-tiap rantai tata kelola
perberasan nasional. Agus Saifullah (2001) menyatakan bahwa
campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan antara lain
dilakukan melalui lembaga pangan yang bertugas melaksanakan
kebijakan pemerintah di bidang perberasan baik yang menyangkut
aspek pra produksi, proses produksi, serta pasca produksi. Salah
satu
lembaga
pangan
yang
diberi
tugas
pemerintah
untuk
menangani masalah pasca produksi, khususnya dalam bidang
harga, pemasaran dan distribusi adalah Badan Urusan Logistik
(Bulog).12
Dalam Undang-Undang nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
sudah diatur soal kedaulatan pangan yang diartikan sebagai hak
negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem
Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Kemudian juga ditegaskan soal Kemandirian Pangan yang diartikan
sebagai kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi
pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di
tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya
alam,
manusia,
sosial,
ekonomi,
dan
kearifan
lokal
secara
bermartabat.
12 Riyono. Impor Beras; Politik Beras atau Beras Politik
(http://news.detik.com/kolom/1686683/impor-beras-politik-beras-atau-beraspolitik) diakses tanggal 08 Oktober 2016
13 | P a g e
Dengan demikian sangat dibutuhkan perlindungan negara
kepada produksi pangan bagi rakyat dan kedaulatan negara.
Sebagai hak dasar, maka pangan merupakan hak asasi manusia di
mana
negara
memiliki
kewajiban
(state
obligation)
untuk
menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi
(to fulfill) hak atas pangan masyarakat bukannya justru menjadikan
pangan sebagai komoditas dagang. Dalam konteks penghormatan,
pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia menuntut peranan
negara yang maksimal, apalagi hak atas pangan adalah hak yang
paling asasi.
Hak menguasai negara bukan dalam makna negara memiliki,
tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan
(beleid),
melakukan
pengaturan
(regelendaad),
melakukan
pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (behersdaad),
dan
melakukan
pengawasan
(toezichtthoundendaad).13
Perkembangan ekonomi politik akhir-akhir ini justru menunjukkan
bagaimana kekuatan-kekuatan bisnis telah mengambil banyak
keuntungan dari mekanisme regulasi pangan. Hal ini dapat kita lihat
bagaimana maraknya impor beras secara gelap dan praktek bisnis
makanan yang tidak layak lagi. Seharusnya upaya pemenuhan hak
atas pangan adalah tanggungjawab negara sebagai organisasi
kekuasaan rakyat kepada setiap individu warga negara Indonesia.
Menjadi
negara
pengimpor
bahan
pangan
tentu
saja
mencederai simbol negara agraris. Kendati demikian, apalah arti
sebuah simbol tatkala hanya untuk melenakan rakyatnya agar tetap
diam meski terjerembab dalam kebodohan dan ketertindasan. Krisis
pangan yang sering diangkat berbagai media hanyalah sebuah
13 http://pejuang-pertanian.blogspot.co.id/2012/03/kemandirian-pertanianindonesia-menuju.html (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
14 | P a g e
tradisi pemberitaan bak angin lalu media. Tentu saja itu bukan
pernyataan yang berlebihan. Enam puluh tujuh tahun merdeka,
dengan
pengalaman
sejarah
dinamika
pangan
Indonesia,
kecerdasan pemerintah hanya mampu memilih alternatif kebijakan
pragmatis.
Di bawah ini terdapat beberapa negara pemasok beras ke
Indonesia. Impor Beras Menurut Negara Asal Utama, 2010-2014
(pemutakhiran data terakhir pada september 2015)
Negara Asal
Vietnam
Thailand
Tiongkok
1
India
2010
2011
2012
2013
2014
467 369,60
1 778 480,60
1 084 782,80
171 286,60
306 418,1
209 127,80
938 695,70
315 352,70
94 633,90
366 203,5
3 637,40
4 674,80
3 099,30
639,80
1 416,7
601,30
4 064,60
259 022,60
107 538,00
90 653,8
Pakistan
4 992,10
14 342,30
133 078,00
75 813,00
61 715,0
Amerika Serikat
1 644,10
2 074,10
2 445,50
2 790,40
1 078,6
0,00
5 000,00
0,00
1 240,00
840,00
10,80
1 506,50
22,50
0,50
0,00
Lainnya
198,40
1 637,60
12 568,90
18 722,50
15 838,0
Jumlah
687 581,50
2 750 476,20
1 810 372,30
472 664,70
844 163,7
Taiwan
Singapura
Myanmar
1
Berdasarkan Keppres No.12/2014 tentang penggunaan kata Tiongkok untuk menggantikan
kata Cina
Diolah dari dokumen kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai (PEB dan PIB)
data dikutip dari Publikasi Statistik Indonesia
Pemerintah memilih melaksanakan impor yang jelas-jelas
merusak
harapan
para
petani.
Padahal
data-data
produksi
menunjukkan tren kenaikan. Namun, ini justru sering jadi senjata
kementerian lain yang mengurusi perdagangan. Masih ingatkah kita
dengan saling silang pendapat perihal data produksi beras? Masih
hangat dalam ingatan ketika Januari 2016 lalu ada tuduhan bahwa
15 | P a g e
Kementerian
Pertanian
membesar-besarkan
angka
produksi
pertanian.14 Sebelumnya, seorang pejabat pemerintah senior yang
tidak disebutkan namanya mengatakan kepada kantor berita
Reuters kalau pejabat Kementerian Pertanian membesar-besarkan
data produksi beras demi memberikan gambaran bagus kepada
pemerintah dan mendapatkan alokasi dana subsidi.
Walau kabar ini sudah dibantah oleh Kementerian Pertanian,
tapi tetap saja menjadi pembenaran bagi Kementerian Perdagangan
dan Bulog untuk menyusun rencana importasi beras. Padahal, pada
akhir tahun 2015 BPS telah mengeluarkan angka tetap (ATAP)
produksi gabah kering 2015 mencapai 75,40 juta ton gabah kering
giling (GKG), yang mengalami kenaikan 6,42 persen atau 4,55 juta
ton jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan konsumsi
beras
nasional
sekitar
33,35
juta
ton,
maka
pemerintah
mengumumkan surplus beras sebesar 10,25 juta ton.
Namun
impor
tetaplah
impor.
BPS
misalnya
pernah
mengeluarkan data impor beras Juni 2015 yang melonjak 130
persen
dari
bulan
sebelumnya.
Hal
ini
mengundang
reaksi
Kementerian Pertanian (Kementan). Kementan menegaskan tak
mengeluarkan rekomendasi impor beras konsumsi atau beras
medium (umum).15 Di luar produksi, ada variabel lain yang
menentukan besar kecilnya penyerapan beras oleh Bulog, yaitu
situasi pasar. Jika harga gabah/beras di pasar di atas HPP, Bulog
akan
kesulitan
mendapatkan
gabah/beras.
Situasi
ini
sudah
14
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/01/160125_indonesia_beras
(diakses tanggal 08 Oktober 2016)
15 http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/07/21/kementan-produksi-berasnasional-2015-mencapai-target (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
16 | P a g e
berlangsung beberapa tahun. Masalahnya, pemerintah belum
menyediakan jalan keluar dari situasi sulit ini.
Pemerintah
mestinya
menata
ulang
total
tata
niaga
perberasan nasional. Kebijakan ini penting untuk memberikan sinyal
yang
jelas
kepada
pedagang
agar
mereka
tidak
main-main
mempermainkan harga beras di pasar dengan cara melakukan
spekulasi. Kita harus menghentikan paradoksal berpikir seolah
impor beras menjadi sebuah keharusan untuk menstabilkan harga
sekeligus mendukung stok beras yang aman.
17 | P a g e
KEPUSTAKAAN
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan (daring)
Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
Badan Pusat Statistik. 2015. Indonesia dalam Angka - Publikasi
Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta
http://www.piyunganonline.org/read/presiden-jokowi-serius-benahipertanian.html (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/03/21/nlihftberapa-tingkat-konsumsi-beras-secara-nasional (diakses
tanggal 08 Oktober 2016)
https://m.tempo.co/read/news/2016/07/01/090784762/bps-produksipadi-2015-tembus-75-4-juta-ton (diakses tanggal 08 Oktober
2016)
http://lipi.go.id/berita/single/Ketergantungan-Impor-dan-KedaulatanPangan/8949 (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
http://pejuang-pertanian.blogspot.co.id/2012/03/kemandirianpertanian-indonesia-menuju.html (diakses tanggal 08
Oktober 2016)
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/01/160125_ind
onesia_beras (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/07/21/kementan-produksiberas-nasional-2015-mencapai-target (diakses tanggal 08
Oktober 2016)
Khomsan, Ali. “Ironi Negeri Agraris”(artikel). sumber:
http://lampost.co/berita/ironi-negeri-agraris (diakses tanggal
08 Oktober 2016)
Khudori. 2008. Ironi Negeri Beras. Insist Press. Jakarta
18 | P a g e
Natawidjaja, Ronnie S. & Irlan A. Rum. 2013. Food Security Situation
and Policy in Indonesia. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan
Agribisnis Universitas Padjadjaran. Bandung
Riyono. “Impor Beras; Politik Beras atau Beras Politik” (artikel).
Sumber: http://news.detik.com/kolom/1686683/impor-beraspolitik-beras-atau-beras-politik (diakses tanggal 08 Oktober
2016)
Supari. 2014. Sejarah Dampak El Nino di Indonesia. Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta
Syadullah, Makmun. “Politik Perberasan” (artikel). Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2011/09/21/02283280/.Polit
ik.Perberasan. (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
19 | P a g e
Kebijakan Importasi Beras
TUGAS MATA KULIAH
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN DAN GLOBALISASI MEDIA
OLEH:
AZWANIL FAKHRI
ARDI TAMBUNAN
ERNAWATI KOTO
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2016
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia adalah surga dunia. Kalimat ini sering kita dengar.
Bahkan berulang-ulang, meski dalam ruang dan waktu yang
berbeda. Negeri kita amat kaya. Keanekaragaman sumberdaya
yang dimiliki negeri ini idealnya mampu membesarkan namanya di
kancah dunia. Tapi kini tidak. Seakan-akan demikian keadaannya,
padahal tidak begitu. Paradoks atau paradoksal akut melanda
negeri ini.
Jika kita baca di Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam
jaringan, maka paradoks diartikan sebagai pernyataan yang seolaholah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau
kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat
paradoks.
Perdebatan
soal
paradoks
pembangunan,
dalam
dua
dasawarsa terakhir tampak mengemuka dan menjadi kajian serius
para pemikir dan praktisi pertanian. Diskursus antara pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dengan semakin membengkaknya angka
pengangguran
penggugatan
dan
kemiskinan
terhadap
proses
massa,
melahirkan
pembangunan
yang
beragam
dilakukan.
Termasuk di dalamnya yang terkait dengan paradoks di bidang
pembangunan pertanian itu sendiri.
Di negara kita, istilah “paradoks pembangunan pertanian”
seringkali muncul menjadi topik pembahasan hangat. Esensi dari
paradoks tersebut antara lain; sumberdaya pertanian yang dimiliki
sangat melimpah, namun seiring dengan itu jumlah petani miskin
1 | Page
pun tetap tinggi. Lalu muncul pertanyaan mengapa kita tidak
mampu melepaskan diri dari paradoks yang demikian?
Padahal
pembangunan
pertanian
bukan
hanya
sebatas
bagaimana memproduksi produk pertanian untuk penyediaan
pangan nasional, tetapi juga memiliki peran cukup besar dan
berkontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), penyediaan
lapangan kerja, sumber pendapatan dan perekonomian nasional
maupun regional serta penyediaan bahan baku bagi industri olahan
berbasis pangan.
Membangkitkan sektor pertanian nasional tentunya bukan
perkara mudah. Terlebih, dinamika global dan regional juga turut
mempengaruhi. Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia (PERHEPI) Bayu Krisnamurti misalnya mengingatkan,
bahwa
penetapan
Asean
Masyarakat
Ekonomi
konsekuensi
pada
Economic
Asean
(MEA)
pembangunan
Community
akan
ekonomi
(AEC)
membawa
nasional,
atau
banyak
termasuk
pembangunan pertanian. “Persoalannya, begitu banyak produk
petani
keluar
dari
lahannya,
petani
menghadapi
berbagai
tantangan. Di antaranya kualitas infrastruktur yang buruk, regulasi
yang tidak sepenuhnya mendukung upaya mereka mendapatkan
harga jual yang baik dan peluang untuk meningkatkan nilai tambah
produk,” bebernya. Semua itu, lanjutnya, membuat daya saing
produk petani Indonesia menjadi rendah dan kalah dibandingkan
negara-negara Asean lainnya.1
Selain itu, ada 7 faktor yang juga bisa menjadi penghambat
pembangunan sektor pertanian, yaitu: (1) Perubahan iklim, (2)
Kondisi perekonomian global, (3) Gejolak harga pangan global, (4)
1 http://www.piyunganonline.org/read/presiden-jokowi-serius-benahipertanian.html (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
2 | Page
Bencana alam, (5) peningkatan jumlah penduduk, (6) Aspek
distribusi dan (7) Laju urbanisasi.2
Sebagai bangsa yang besar dengan karunia alam yang subur
dan
tradisi
agraris
yang
sudah
sedemikian
mengakar
di
masyarakat, Indonesia seharusnya bisa menjadi kawasan yang
mampu mengekspor berbagai produk pertanian. Namun yang
terjadi justru sebaliknya. Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia
malah menjadi salah satu negara pengimpor yang cukup besar
pada beberapa produk pertanian yang seharusnya bisa diproduksi
oleh kita sendiri. Situasi yang paradoks ini tentu saja cukup ironis
dan harus dibalikkan.
Pemerintah cenderung mengambil cara gampang ketika
dihadapkan
pada
situasi
kekurangan
stok
beberapa
produk
pertanian yang mengancam kenaikan harga komoditas tersebut.
Ketika
stok
beras,
jagung,
atau
kedelai
menipis,
misalnya,
pemerintah terkesan tergesa-gesa dan tidak mau repot dan lantas
mengimpor dengan tanpa mempertimbangkan situasi yang tengah
dihadapi para petani. Entah sudah berapa kali terjadi, pemerintah
membuka kran impor suatu komoditas justru di saat petani kita
akan menghadapi panen pada komoditas yang sama. Akibatnya,
ketika panen tiba, petani lokal mengalami kerugian karena jatuhnya
harga akibat kelebihan ketersediaannya.
Lihat saja produk hortikultura, misal sayuran dan buahbuahan yang dijual di pasar-pasar modern maupun pasar-pasar
tradisional. Tidak sulit untuk menjumpai sayuran dan buah-buahan
impor dengan harga kompetitif. Dengan kemasan yang lebih bagus
dan kualitas produk yang, sebagian terstandarisasi, keberadaan
2 idem
3 | Page
sayuran dan buah-buahan impor sedemikian mencolok dan bahkan
mulai menggeser produk-produk hasil petani lokal.
Paradoksal
kondisi
ini
terjadi
di
tengah-tengah
gema
pembangunan pertanian berkelanjutan yang selalu digaungkan oleh
pemerintah sendiri. Rasanya cukup wajar jika sebagian kalangan
menilai bahwa pemerintah tidak memiliki visi dan political will yang
kuat dalam membangun kekuatan pertanian kita. Jangankan bicara
ekspor skala luas, untuk memenuhi keperluan sendiri saja kita
masih kesulitan. Padahal kita memiliki semua persyaratan untuk
menjadi sebuah negara agraris yang menjadi lumbung pangan
utama dunia. Oleh karena itu, visi pertanian yang berorientasi
ekspor harus mulai diperkuat dan dikembangkan dengan serius
agar kita mampu menjadi salah satu pemain utama dalam produsen
komoditas pertanian di pasar internasional.
Pangan (baca: beras), secara harfiah bukan persoalan politik.
Dalam kehidupan sehari-hari, pangan diperlakukan sebagai bahanbahan yang diperlukan jasmani agar badan manusia bisa bertahan
hidup. Sebenarnya terlalu banyak unsur alami di bumi yang segera
dapat dikelola untuk “sekadar” menjadi bahan pangan pengganjal
perut
lapar.
Namun,
disinilah
pangkal
persoalannya.
Karena
merupakan kebutuhan jasmani yang tak terelakkan yang, dalam
istilah antropolog Melville J. Herskovitas, merupakan the primary
determinants of survival bagi umat manusia, pangan menjadi
barang langka saat dihadapkan dengan sistem ekonomi dan politik
yang lebih luas.
4 | Page
BAB II PARADOKS KEBIJAKAN IMPORTASI
Padi (baca: beras) adalah bahan pangan paling utama di
Indonesia. Karenanya ia menjadi komoditas ekonomi sekaligus
politik strategis. Kondisi dan dinamika supply-demand komoditi
beras amat mempengaruhi kondisi politik negeri kita. Sebab
kedudukan beras sebagai sumber utama karbohidrat, nyaris 100%,
penduduknya
belum tergantikan hingga kini.
Bagi
penduduk
Indonesia, beras bukan hanya bahan pangan, tapi juga menjadi
simbol
budaya
yang
amat
kuat
dan
salah
satu
indikator
kesejahteraan hingga hari ini.3
Pada sebagian besar penduduk yang tinggal di perdesaan
hingga kini masih banyak terdapat lumbung. Lumbung ini adalah
bangunan tradisonal yang berfungsi sebagai gudang tempat
penyimpanan
padi.
Lumbung
padi
ini
juga
menjadi
simbol
terjaminnya ketersediaan pangan (beras) bagi suatu keluarga atau
kelompok masyarakat perdesaan. Ini menjadi semacam penguat
simpulan bahwa hampir mustahil memisahkan penduduk kita dari
beras. Ini juga yang menjadi faktor kenapa ketersediaan beras
sebagai
komponen
ketahanan
pangan
menjadi
amat
sangat
penting.
Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah krusial.
Pangan merupakan basic human need, kebutuhan dasar bagi setiap
manusia yang wajib dipenuhi. Namun, Indonesia merupakan negara
yang mempunyai masalah dalam pangan khususnya beras. Padahal
jika dilihat dari luasan wilayah dan budaya sebagai negara agraris,
3 Natawidjaja & Rum. Food Security Situation and Policy in Indonesia (Pusat Studi
Kebijakan Pangan dan Agribisnis Universitas Padjadjaran, 2013)
5 | Page
yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai
petani, sangat tidak mungkin mempunyai permasalahan pangan.
Namun kenyataannya permasalahan tersebut melanda Indonesia.
Permasalahan pangan yang terjadi di Indonesia terdiri dari
dua
bentuk
yaitu,
permasalahan
secara
berkala
(transitory/
occasional food insecurity) dan kronis (chronic food insecurity).
Permasalahan secara berkala terjadi karena misalnya ada bencana
alam, konflik sosial dan fluktuasi harga. Sedangkan permasalahan
kronis adalah, krisis yang terjadi berulang dan terus menerus. Krisis
ini terjadi karena terbatasnya akses terhadap ketersedian pangan
disertai harga bahan pangan yang melambung tinggi.
1. Konsumsi dan Produksi Beras
Sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwa beras bukan
hanya sumber pangan utama, tapi juga simbol budaya. Sebagai
simbol budaya yang melekat erat dengan kehidupan, maka beras
mempunyai peran penting. Dalam tiap-tiap acara atau parade
budaya, maka beras sering hadir di sana. Selain hadir dalam bentuk
sajian makanan, beras juga digunakan pada fungsi yang berbeda.
Pada ritual budaya tepung tawar misalnya, maka beras menjadi
sesuatu yang tak terpisahkan.
Selain itu, melekat pula sesuatu yang menjadi pola pikir
sebagian besar masyarakat kita. Adagium “Kalau belum makan nasi
itu artinya belum makan” benar-benar telah tertanam lama.
Sekalipun beras hadir dalam bentuk pangan lain, misalnya lontong,
tapi bagi sebagian kita itu masih belum makan. Untuk itulah,
keakurasian angka konsumsi menjadi sering dibahas pada forum-
6 | Page
forum ilmiah yang membahas beras dan kebijakan perberasan
pemerintah.
Pengukuran konsumsi harian per kapita menjadi titik penting
untuk menghitung angka kecukupan stok ketersediaan beras bagi
seluruh penduduk. Angka inilah yang nantinya menjadi acuan untuk
menggenjot produksi lokal atau menambal kebutuhannya melalui
importasi.
Dengan dasar itu, pada 2015 pemerintah telah mengukur
konsumsi beras harian Indonesia untuk mengetahui takaran ratarata konsumsi per kapita terhadap komoditas itu. pengukuran
tersebut
dilakukan
guna
menyesuaikan
data
jumlah
takaran
konsumsi beras perkapita yang digunakan di beberapa kementerian
dan
institusi
Perdagangan,
seperti
dan
Kementerian
Badan
Pusat
Pertanian,
Statistik.
Dalam
Kementerian
pengukuran
tersebut digunakan empat takaran beras dengan jumlah berbeda
yang dimasak di penanak nasi elektronik dengan takaran air
masing-masing setengah buku jari telunjuk diatas permukaan
beras.
Jumlah takaran tersebut antara lain yang pertama dari Survei
Sosial
Ekonomi
Nasional
(Susenas)
rumah
tangga
ukuran
87,63kg/tahun atau 240gr/hari, kedua dari BPS/Kemendag rumah
tangga+rumah makan 114kg/tahun atau 312gr/hari. Lalu yang
ketiga yaitu takaran data neraca beras Kementan 124kg/tahun atau
340gr/hari dan yang keempat dari Badan Pusat Statistik 139kg/hari
atau 380gr/hari. Dari hasil pengukuran ini didapatlah angka 114
kg/kapita/tahun. Angka ini adalah angka stabil yang telah diukur
secara cermat dalam kurun waktu tiga tahun, yakni mulai 2013
7 | Page
sampai dengan 2015. Dengan menggunakan angka tersebut, maka
konsumsi beras tingkat nasional mencapai sekitar 27 juta ton.4
Masih berdasarkan informasi dari sumber yang sama, data ini
telah divalidasi oleh BPS. Artinya, angka konsumsi beras per kapita
terkoreksi menjadi lebih rendah dari tiga tahun sebelumnya, yakni
dari 124kg/kapita/tahun (versi Kementan) dan 139kg/kapita/tahun
(versi BPS).
Pada tahun 2015 itu juga, BPS telah merilis angka produksi
padi pada 2015 mencapai 75,40 juta ton gabah kering giling (GKG),
yang mengalami kenaikan 6,42 persen atau 4,55 juta ton jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada penetapan angka
tetap (ATAP) 2015, kenaikan produksi padi tersebut terjadi karena
kenaikan luas panen 0,32 hektare atau mencapai 2,31 persen
menjadi 14,1 hektare dan peningkatan produktivitas 2,06 kuintal
per hektare atau 4,01 persen. Kenaikan produksi padi yang relatif
besar pada 2015 terjadi di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sumatera Selatan, dan Aceh. Sedangkan penurunan produksi yang
relatif besar terjadi di Provinsi Jawa Barat, Jambi, dan Kalimantan
Barat.5 Berikut dipaparkan angka produksi padi 2010-2014.
4 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/03/21/nlihft-berapa-tingkatkonsumsi-beras-secara-nasional (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
5 https://m.tempo.co/read/news/2016/07/01/090784762/bps-produksi-padi-2015tembus-75-4-juta-ton (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
8 | Page
Angka-angka di atas menunjukkan kecenderungan produksi
yang terus meningkat, kecuali pada tahun 2014 yang menunjukkan
penurunan akibat kegagalan panen petani sebagai dampak dari
fenomena el nino yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia.
Fenomena el nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut
yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (Sea
surface temperature – SST) di Samudera Pasifik sekitar ekuator
(aquatorial pasific) khususnya bagian tengah dan timur (sekitar
pantai Peru). Karena lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang
saling terhubung, maka kondisi penyimpangan kondisi laut ini
menyebabkan terjadinya penyimpangan kondisi atmosfer yang
pada akhirnya berakibat terjadinya penyimpangan iklim. 6 Inilah
yang menjelaskan kenapa terjadi penurunan produksi pada tahun
2014.
Namun demikian, meskipun terjadi penurunan sebenarnya
angka produksi tetap bisa memenuhi kebutuhan konsumsi dalam
negeri. Sebabnya, bahwa angka produksi yang dirilis oleh BPS
seringkali lebih rendah dari angka produksi yang sebenarnya.
Pada 1956, Leon Mears dari Universitas Wisconsin, Amerika
Serikat, menulis buku tentang ekonomi beras atas permintaan
Bulog. Begitu penting buku ini hingga pada 1981 ditulis ulang.
Catatan terpenting yang perlu dikemukakan dari buku itu ialah
bahwa berdasarkan hasil survei Mears, produksi beras yang
dilaporkan Kantor Pusat Statistik, nama dulu untuk Badan Pusat
Statistik (BPS) sekarang, lebih rendah sekitar 9,5 persen dari angka
aktual dan faktor konversi dari gabah menjadi padi lebih tinggi 5
persen dari yang sesungguhnya. Gabungan koreksi keduanya
6 Supari. Sejarah Dampak El Nino di Indonesia (BMKG, 2014).
9 | Page
memberikan hasil akhir data produksi beras yang dilaporkan
melampaui estimasi sekitar 8 persen.7
Dari catatan di atas menyebutkan bahwa BPS mencatat angka
produksi padi (baca: beras) selalu di bawah angka aktual atau
angka yang sebenarnya. Akibat dari pada ini adalah munculnya
asumsi seolah-olah produksi dalam negeri tak cukup. Ini yang
mungkin menjadi acuan kenapa pemerintah selalu mengambil
kebijakan impor dari dulu hingga kini.
2. Distribusi
Kolh dan Uhl dalam Purwono dkk (2013) menyebutkan
distribusi
adalah
kegiatan
yang
dapat
memperlancar
proses
penyaluran barang atau jasa dari titik produsen ke titik konsumen.
Secara umum, berikut ini alur distribusi perberasan di Indonesia.
7 Makmun Syadullah. Politik Perberasan
(http://regional.kompas.com/read/2011/09/21/02283280/.Politik.Perberasan.)
diakses tanggal 08 Oktober 2016
10 | P a g e
3. Kebijakan Importasi Beras
“Rakyat padang pasir bisa hidup, masak kita tidak bisa
hidup! Rakyat Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup, masak
kita tidak bisa membangun satu masyarakat adil-makmur
gemah ripah loh jinawi, tata tenteram kertaraharja, di mana si
Dullah cukup sandang, cukup pangan, si Sarinem cukup
sandang,
cukup
pangan!
Kalau
kita
tidak
bisa
menyelenggarakan sandang-pangan di tanah air kita yang
kaya ini, maka sebenarnya kita Beograd yang tolol, kita
Beograd yang maha tolol.” (Pidato Bung Karno pada
Konferensi Colombo Plan di Yogyakarta 1953)8
Hubungan pangan dan politik berangkat dari asumsi bahwa
seluruh kehidupan manusia dapat secara dramatis direduksi hanya
pada
perburuan
makanan.
kebiasaan,
dan
selera
kebutuhan
pangan
Lepas
dari
masing-masing
merupakan
cara
berbagai
kelompok
paling
cara,
gaya,
masyarakat,
esensial
untuk
mempertahankan hidup. Pangan menjadi kebutuhan permanen
yang tidak pernah hilang. Karena itu, kecukupan pangan menjadi
hal yang tidak bisa ditawar. Pangan harus tersedia setiap saat
dalam jumlah cukup, saat panen atau paceklik, dan dengan harga
yang terjangkau siapa pun.
Fungsi pangan sebagai komoditas hajat hidup orang banyak
inilah yang melahirkan unsur politik. Seseorang atau lembaga yang
menguasai sumber-sumber pangan akan mempunyai posisi tawar
dan posisi politik tertentu. Kekuatan tawar dan politik kian mekar
manakala mereka juga menguasai organisasi pengolahan pangan,
distribusi,
sekaligus
fasilitas-fasilitas
publik
dalam
proses
produksinya.9
8 http://lipi.go.id/berita/single/Ketergantungan-Impor-dan-KedaulatanPangan/8949 (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
9 Khudori. Ironi Negeri Beras (Insist Press, 2008)
11 | P a g e
Indonesia merupakan negara dengan tingkat ketahanan
pangan yang fluktuatif. Impor beras dan pangan penting lainnya
seperti kedelai, daging, dan susu sering memunculkan pertanyaan
mengapa pertanian kita tidak berjaya. Bahkan, garam pun terpaksa
diimpor, padahal kita memiliki lautan yang mahaluas. Bila bahan
pangan-pangan penting masih terus mengandalkan impor, gejolak
pangan di pasar internasional bisa memunculkan ketidakstabilan
ekonomi ataupun politik.10
Impor beras pada mulanya dilakukan swasta. Sejak tahun
1957 JUBM (Jajasan Urusan Bahan Makanan) mengimpor beras
dengan kontrak P ke P, pemerintah ke pemerintah. Perubahan
prosedur impor masih menimbulkan banyak masalah, antara lain
kualitas beras impor yang rendah dan risiko politik apabila terjadi
kelangkaan beras di pasar. Faktanya sekarang ini ketergantungan
Indonesia pada impor beras sudah begitu tinggi.11
Permasalahan
pangan
yang
terjadi
di
Indonesia
juga
merupakan dampak dari kebijakan pemerintah mengenai hasil
pangan. Saat ini, masyarakat tidak lagi mempunyai kedaulatan atas
pangan, baik kekuatan dalam mengatur produksi, maupun distribusi
dan
konsumsi
di
sektor
pangan.
Sehingga,
mereka
sangat
bergantung pada mekanisme yang dikuasai oleh segelintir pihak
swasta. Akibatnya, Indonesia pada saat ini mengalami masalah
krisis
pangan,
ketidakmampuan
di
mana
krisis
masyarakat
pangan
dalam
merupakan
memenuhi
suatu
kebutuhan
pangannya. Permasalahan krisis pangan ini sering ditandai dengan
kelangkaan stok dan melambungnya harga pangan. Kelangkaan
10 Ali Khomsan. Ironi Negeri Agraris (http://lampost.co/berita/ironi-negeri-agraris)
diakses tanggal 08 Oktober 2016
11 Makmun Syadullah. Politik Perberasan
12 | P a g e
stok
pangan
tersebut
menyebabkan
berbagai
gejolak
dan
keresahan sosial.
Padahal mestinya, dalam urusan pangan ini pemerintah
idealnya punya kendali penuh pada tiap-tiap rantai tata kelola
perberasan nasional. Agus Saifullah (2001) menyatakan bahwa
campur tangan pemerintah dalam ekonomi perberasan antara lain
dilakukan melalui lembaga pangan yang bertugas melaksanakan
kebijakan pemerintah di bidang perberasan baik yang menyangkut
aspek pra produksi, proses produksi, serta pasca produksi. Salah
satu
lembaga
pangan
yang
diberi
tugas
pemerintah
untuk
menangani masalah pasca produksi, khususnya dalam bidang
harga, pemasaran dan distribusi adalah Badan Urusan Logistik
(Bulog).12
Dalam Undang-Undang nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
sudah diatur soal kedaulatan pangan yang diartikan sebagai hak
negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem
Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Kemudian juga ditegaskan soal Kemandirian Pangan yang diartikan
sebagai kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi
pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di
tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya
alam,
manusia,
sosial,
ekonomi,
dan
kearifan
lokal
secara
bermartabat.
12 Riyono. Impor Beras; Politik Beras atau Beras Politik
(http://news.detik.com/kolom/1686683/impor-beras-politik-beras-atau-beraspolitik) diakses tanggal 08 Oktober 2016
13 | P a g e
Dengan demikian sangat dibutuhkan perlindungan negara
kepada produksi pangan bagi rakyat dan kedaulatan negara.
Sebagai hak dasar, maka pangan merupakan hak asasi manusia di
mana
negara
memiliki
kewajiban
(state
obligation)
untuk
menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi
(to fulfill) hak atas pangan masyarakat bukannya justru menjadikan
pangan sebagai komoditas dagang. Dalam konteks penghormatan,
pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia menuntut peranan
negara yang maksimal, apalagi hak atas pangan adalah hak yang
paling asasi.
Hak menguasai negara bukan dalam makna negara memiliki,
tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan
(beleid),
melakukan
pengaturan
(regelendaad),
melakukan
pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (behersdaad),
dan
melakukan
pengawasan
(toezichtthoundendaad).13
Perkembangan ekonomi politik akhir-akhir ini justru menunjukkan
bagaimana kekuatan-kekuatan bisnis telah mengambil banyak
keuntungan dari mekanisme regulasi pangan. Hal ini dapat kita lihat
bagaimana maraknya impor beras secara gelap dan praktek bisnis
makanan yang tidak layak lagi. Seharusnya upaya pemenuhan hak
atas pangan adalah tanggungjawab negara sebagai organisasi
kekuasaan rakyat kepada setiap individu warga negara Indonesia.
Menjadi
negara
pengimpor
bahan
pangan
tentu
saja
mencederai simbol negara agraris. Kendati demikian, apalah arti
sebuah simbol tatkala hanya untuk melenakan rakyatnya agar tetap
diam meski terjerembab dalam kebodohan dan ketertindasan. Krisis
pangan yang sering diangkat berbagai media hanyalah sebuah
13 http://pejuang-pertanian.blogspot.co.id/2012/03/kemandirian-pertanianindonesia-menuju.html (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
14 | P a g e
tradisi pemberitaan bak angin lalu media. Tentu saja itu bukan
pernyataan yang berlebihan. Enam puluh tujuh tahun merdeka,
dengan
pengalaman
sejarah
dinamika
pangan
Indonesia,
kecerdasan pemerintah hanya mampu memilih alternatif kebijakan
pragmatis.
Di bawah ini terdapat beberapa negara pemasok beras ke
Indonesia. Impor Beras Menurut Negara Asal Utama, 2010-2014
(pemutakhiran data terakhir pada september 2015)
Negara Asal
Vietnam
Thailand
Tiongkok
1
India
2010
2011
2012
2013
2014
467 369,60
1 778 480,60
1 084 782,80
171 286,60
306 418,1
209 127,80
938 695,70
315 352,70
94 633,90
366 203,5
3 637,40
4 674,80
3 099,30
639,80
1 416,7
601,30
4 064,60
259 022,60
107 538,00
90 653,8
Pakistan
4 992,10
14 342,30
133 078,00
75 813,00
61 715,0
Amerika Serikat
1 644,10
2 074,10
2 445,50
2 790,40
1 078,6
0,00
5 000,00
0,00
1 240,00
840,00
10,80
1 506,50
22,50
0,50
0,00
Lainnya
198,40
1 637,60
12 568,90
18 722,50
15 838,0
Jumlah
687 581,50
2 750 476,20
1 810 372,30
472 664,70
844 163,7
Taiwan
Singapura
Myanmar
1
Berdasarkan Keppres No.12/2014 tentang penggunaan kata Tiongkok untuk menggantikan
kata Cina
Diolah dari dokumen kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai (PEB dan PIB)
data dikutip dari Publikasi Statistik Indonesia
Pemerintah memilih melaksanakan impor yang jelas-jelas
merusak
harapan
para
petani.
Padahal
data-data
produksi
menunjukkan tren kenaikan. Namun, ini justru sering jadi senjata
kementerian lain yang mengurusi perdagangan. Masih ingatkah kita
dengan saling silang pendapat perihal data produksi beras? Masih
hangat dalam ingatan ketika Januari 2016 lalu ada tuduhan bahwa
15 | P a g e
Kementerian
Pertanian
membesar-besarkan
angka
produksi
pertanian.14 Sebelumnya, seorang pejabat pemerintah senior yang
tidak disebutkan namanya mengatakan kepada kantor berita
Reuters kalau pejabat Kementerian Pertanian membesar-besarkan
data produksi beras demi memberikan gambaran bagus kepada
pemerintah dan mendapatkan alokasi dana subsidi.
Walau kabar ini sudah dibantah oleh Kementerian Pertanian,
tapi tetap saja menjadi pembenaran bagi Kementerian Perdagangan
dan Bulog untuk menyusun rencana importasi beras. Padahal, pada
akhir tahun 2015 BPS telah mengeluarkan angka tetap (ATAP)
produksi gabah kering 2015 mencapai 75,40 juta ton gabah kering
giling (GKG), yang mengalami kenaikan 6,42 persen atau 4,55 juta
ton jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan konsumsi
beras
nasional
sekitar
33,35
juta
ton,
maka
pemerintah
mengumumkan surplus beras sebesar 10,25 juta ton.
Namun
impor
tetaplah
impor.
BPS
misalnya
pernah
mengeluarkan data impor beras Juni 2015 yang melonjak 130
persen
dari
bulan
sebelumnya.
Hal
ini
mengundang
reaksi
Kementerian Pertanian (Kementan). Kementan menegaskan tak
mengeluarkan rekomendasi impor beras konsumsi atau beras
medium (umum).15 Di luar produksi, ada variabel lain yang
menentukan besar kecilnya penyerapan beras oleh Bulog, yaitu
situasi pasar. Jika harga gabah/beras di pasar di atas HPP, Bulog
akan
kesulitan
mendapatkan
gabah/beras.
Situasi
ini
sudah
14
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/01/160125_indonesia_beras
(diakses tanggal 08 Oktober 2016)
15 http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/07/21/kementan-produksi-berasnasional-2015-mencapai-target (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
16 | P a g e
berlangsung beberapa tahun. Masalahnya, pemerintah belum
menyediakan jalan keluar dari situasi sulit ini.
Pemerintah
mestinya
menata
ulang
total
tata
niaga
perberasan nasional. Kebijakan ini penting untuk memberikan sinyal
yang
jelas
kepada
pedagang
agar
mereka
tidak
main-main
mempermainkan harga beras di pasar dengan cara melakukan
spekulasi. Kita harus menghentikan paradoksal berpikir seolah
impor beras menjadi sebuah keharusan untuk menstabilkan harga
sekeligus mendukung stok beras yang aman.
17 | P a g e
KEPUSTAKAAN
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan (daring)
Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
Badan Pusat Statistik. 2015. Indonesia dalam Angka - Publikasi
Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta
http://www.piyunganonline.org/read/presiden-jokowi-serius-benahipertanian.html (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/03/21/nlihftberapa-tingkat-konsumsi-beras-secara-nasional (diakses
tanggal 08 Oktober 2016)
https://m.tempo.co/read/news/2016/07/01/090784762/bps-produksipadi-2015-tembus-75-4-juta-ton (diakses tanggal 08 Oktober
2016)
http://lipi.go.id/berita/single/Ketergantungan-Impor-dan-KedaulatanPangan/8949 (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
http://pejuang-pertanian.blogspot.co.id/2012/03/kemandirianpertanian-indonesia-menuju.html (diakses tanggal 08
Oktober 2016)
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/01/160125_ind
onesia_beras (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/07/21/kementan-produksiberas-nasional-2015-mencapai-target (diakses tanggal 08
Oktober 2016)
Khomsan, Ali. “Ironi Negeri Agraris”(artikel). sumber:
http://lampost.co/berita/ironi-negeri-agraris (diakses tanggal
08 Oktober 2016)
Khudori. 2008. Ironi Negeri Beras. Insist Press. Jakarta
18 | P a g e
Natawidjaja, Ronnie S. & Irlan A. Rum. 2013. Food Security Situation
and Policy in Indonesia. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan
Agribisnis Universitas Padjadjaran. Bandung
Riyono. “Impor Beras; Politik Beras atau Beras Politik” (artikel).
Sumber: http://news.detik.com/kolom/1686683/impor-beraspolitik-beras-atau-beras-politik (diakses tanggal 08 Oktober
2016)
Supari. 2014. Sejarah Dampak El Nino di Indonesia. Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta
Syadullah, Makmun. “Politik Perberasan” (artikel). Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2011/09/21/02283280/.Polit
ik.Perberasan. (diakses tanggal 08 Oktober 2016)
19 | P a g e