A 38 Years Old Man with Pterygium Temporalis Grade 3 Os

ToniLaki-laki 38 Tahun dengan Pterigium Temporalis Grade 3 OS

Laki-laki 38 Tahun dengan Pterigium Temporalis Grade 3 OS
Toni Alie Ngena Pinem
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan
invasif yang ditandai dengan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing dan mungkin menimbulkan
astigmatisme atau obstruksi aksis visual yang akan memberikan keluhan gangguan penglihatan. Etiologi pasti pterigium
masih belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma
kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Laki-laki, 38 tahun, datang dengan keluhan mata merah sejak 10 tahun yang
lalu. Keluhan disertai mata berair dan perih ketika terkena angin dan seperti ada yang mengganjal. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum baik, compos mentis, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 88 x/menit, pernafasan 22 x/menit.
Pada status oftalmologis oculi dextra didapatkan visus 6/6, konjungtiva bulbi hiperemi (-) tampak selaput berwarna putih
kemerahan berbentuk segitiga dari temporal dan apex melewati limbus dan tepi pupil. Pasien didiagnosis sebagai pterigium
stadium III oculi sinistra, dengan penatalaksanaan non-medikamentosa dilakukan edukasi agar lindungi mata dari sinar
matahari, debu, dan udara kering, dan dilakukan tindakan operatif. Prognosis pasien ini secara umum baik.
Kata kunci: oculi sinistra, Ptregium

A 38 Years Old Man with Pterygium Temporalis Grade 3 Os
Abstract

Pterygium is a disorder of the conjunctiva bulbi, conjunctival fibrovascular growth which is degenerative and invasive that
marked by eye complaints irritating, itchy, red, foreign body sensation and may cause astigmatism or obstruction of the
visual axis that will provide visual disturbance complaint. The etiology of pterygium is still not known certainty. Some risk
factors for pterygium include ultraviolet exposure, chronic micro trauma to the eye, microbial or viral infection. Male, 38
years old, came with red eyes since 10 years ago. The complain accompanied with watery eyes, sore when exposed to wind
and uncomfort sensation in the eye. On physical examination found a good general condition, compos mentis, blood
pressure 120/70 mm Hg, pulse 88 x/min, breathing 22 x/min. At the ophthalmological status oculi sinistra 6/6 on vision,
conjunctival hyperemia bulbi (-) appear reddish white membrane of the temporal and triangular apex passing the limbus
and the edge of the pupil. Patients diagnosed as pterygium temporalis grade III oculi sinistra, the management of nonmedical education is education in order to protect the eyes from sunlight, dust, dry air, and operative action. The prognosis
of these patients is generally good.
Keywords: oculi sinistra, pterygium
Korespondensi: Toni Alie Ngena Pinem, S.Ked, e-mail tonipinem@yahoo.com

Pendahuluan
Pterigium
merupakan
suatu
pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan
ini biasanya terletak pada celah kelopak

bagian nasal ataupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea. Diduga
penyebab pterigium adalah exposure atau
sorotan berlebihan dari sinar matahari yang
diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA
ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini.
Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktorfaktor lain seperti zat alergen, kimia, dan
pengiritasi lainnya. Secara geografis, pterigium
paling banyak ditemukan di negara beriklim
tropis. Karena Indonesia beriklim tropis,
penduduknya memiliki risiko tinggi mengalami
pterigium.1,2,3

Di daerah tropis seperti Indonesia,
dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko
timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi
dibandingkan daerah non-tropis dengan
prevalensi untuk orang dewasa > 40 tahun
adalah 16,8 %; laki-laki 16,1 % dan perempuan
17,6 %. Hasil survei morbiditas oleh

Departemen Kesehatan Republik Indonesia
pada tahun 1993-1996 angka kejadian
pterigium sebesar 13,9 % dan menempati
urutan kedua penyakit mata di Indonesia.2
Pterigium
masih
menjadi
permasalahan yang sulit karena tingginya
frekuensi pterigium rekuren. Recurrence rate
pascaoperasi pterigium di Indonesia adalah
35–52 %. Dari hasil penelitian di RS Cipto
Mangunkusumo didapatkan bahwa recurrence

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|165

ToniLaki-laki 38 Tahun dengan Pterigium Temporalis Grade 3 OS

rate pada pasien berusia kurang dari 40 tahun
adalah 65 % dan pada pasien berusia lebih
dari 40 tahun adalah 12,5 %. Selain itu,

pterigium menimbulkan masalah kosmetik
dan berpotensi mengganggu penglihatan
bahkan berpotensi menjadi penyebab
kebutaan pada stadium lanjut. Penegakan
diagnosis dini pterigium diperlukan agar
gangguan
penglihatan
tidak
semakin
memburuk dan dapat dilakukan pencegahan
terhadap komplikasi.2,3

normal. Tes sondase serta pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan patologi
anatomi tidak dilakukan.
Diagnosis kerja pada pasien adalah
pterigium lateralis stadium 3 okuli sinistra.
Penatalaksanaan
non-medikamentosa
lindungi mata dari sinar matahari, debu, dan

udara kering, Medikamentosa tetes mata
campuran antiobiotik dan antiinflamasi 6 kali
sehari selama 5-7 hari dan Operatif yaitu
autograf konjungtiva. Prognosis pasien ini
secara umum baik.

Kasus
Pria usia 38 tahun, datang ke poli
mata RSAM dengan keluhan mata merah.
Mata merah telah dirasakan 3 minggu
sebelum masuk RS. Sebelumnya pasien
mengatakan mata pasien timbul selaput pada
mata kanan dan kiri pada 10 tahun yang Lama
kelamaan selaput makin melebar dan sampai
ke tengah mata. Tiga minggu SMRS keluhan
bertambah, os mengeluh penglihatan mata
kiri kabur, perih (+), berair (+), silau saat
melihat (+). Os mengatakan matanya tidak
pernah luka atau tergores, os keseharian
selalu menggunakan motor dan sering

terpapar debu dan cahaya matahari ditambah
lokasi rumah di dekat pantai sehingga selalu
terkena angin dan mata os semakin perih. Lalu
os datang ke poliklinik mata RSUD H. Abdul
Moeloek dan disarankan untuk operasi.
Pasien datang dengan kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 120/70 mmHg,
laju nadi 88 x/menit, pernafasan 22 x/menit,
suhu afebris. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pada status generalis tidak
didapatkan kelainan. Pada status oftalmologis
oculi sinistra didapatkan visus 6/6, palpebra
superior: tidak edem, tidak ada spasme,
palpebra inferior: tidak edem, tidak ada
spasme, gerak bola mata baik ke segala arah,
bulbus oculi ortoforia, eksoftalmus (-)
endoftalmus (-), konjungtiva bulbi hiperemi (-)
tampak selaput berwarna putih kemerahan
berbentuk segitiga dari temporal dan apex
melewati limbus dan tepi pupil, konjungtiva

fornix hiperemi (-), konjungtiva palpebra
hiperemi (-), sikatrik (-), sklera siliar injeksi (-),
kornea jernih infiltrat (-) ulkus (-), kamera oculi
anterior kedalaman cukup, bening, iris kripta
(+) berwarna coklat, pupil bulat, regular,
sentral, ± 3 mm, refleks cahaya (+), lensa
jernih, tensio oculi dalam batas normal, sistem
kanalis lakrimalis diperiksa secara digital
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|166

Pembahasan
Pterigium adalah kelainan pada
konjungtiva bulbi berupa pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pterigium berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau
di daerah kornea. Gejala yang timbul adalah
mata merah, gatal, panas, perih dan mata
kabur pada satu mata atau kedua mata,
timbulnya bentukan daging yang menjalar ke

kornea.
Pada kasus ini pasien laki-laki usia 38
tahun, dari anamnesis didapatkan gejala
subjektif berupa mata perih dan nyeri hal ini
dapat terjadi karena iritasi pada permukaan
mata akibat terpapar oleh benda asing dari
lingkungan seperti asap, debu, atau angin
kencang. Pada anamnesis diketahui bahwa
pasien sering terpapar debu dan sinar
matahari karena sering menggunakan sepeda
motor saat bepergian. Hal ini sesuai dengan
salah satu faktor resiko dari pterigium. Etiologi
pasti pterigium masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa faktor resiko pterigium antara
lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma
kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus.
Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi
lakrimal baik secara kuantitas maupun
kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi
vitamin A, fenomena iritatif akibat

pengeringan dan lingkungan dengan banyak
angin,penuh sinar matahari, berdebu dan
berpasir.
Dan
berdasarkan
penelitian
menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan autosom
dominan.
Mata kabur dapat disebabkan oleh
kelainan yang timbul mulai dari bagian mata
anterior, mata posterior, dan jaras visual
neurologik. Jadi, harus dipertimbangkan
terjadinya pengeruhan atau gangguan pada

ToniLaki-laki 38 Tahun dengan Pterigium Temporalis Grade 3 OS

media, perdarahan dalam vitreus, gangguan
fungsi retina, nervus optikus atau jaras visual
intrakranial atau pembentukan fibrovaskular.

Pada pasien tidak ada ditemukan lensa yang
keruh, TIO yg tinggi, perdarahan. Pada pasien
hanya ditemukan adanya pembentukan
fibrovaskular. Disini dapat dilihat bahwa
pasien ini mengalami pterigium dimana
penyakit ini bisa membuat penglihatan kabur
apabila pertumbuhan fibrovaskularnya sudah
mencapai kornea (zona optik).
Perasaan yang mengganjal bisa
diakibatkan adanya peradangan di palpebra,
adneksa,ataupun segmen anterior. Pada
pasien tidak ditemukan adanya edema pada
palpebra dan adneksa, ataupun peradangan
pada konjungtiva. Tidak ditemukan adanya
secret yang berlebih. Pada pasien ditemukan
adanya penebalan konjungtiva bulbi hingga
kornea dimana hal ini dapat mengakibatkan
ada rasa ganjalan pada mata saat berkedip.
Pertumbuhan
jaringan

pada
konjungtiva bulbi bisa diakibatkan oleh suatu
penyakit akibat pinguekula, pseudopterigium,
dan pterigium. Pinguekula dapat disingkirkan
karena pinguekula tidak bisa tumbuh hingga
kornea, sedangkan pada pasien ditemukan
pertumbuhan jaringan hingga kornea.
Sedangkan pseudopterigium terjadi akibat
adanya tukak kornea. Pterigium merupakan
diagnosis yang tepat pada pasien ini karena
Tampak penebalan pada konjungtiva bulbi
dari arah temporal yang berbentuk segitiga
dengan bagian puncak pterigium hampir
melewati pinggi r pupil. Tampakan klinis
ini merupakan gambaran khas dari Pterigium,
yang pertumbuhannya biasanya dari arah
nasal (paling sering) dan dari arah temporal
dengan apex atau puncaknya tumbuh ke arah
sentral (ke arah kornea).
Pasien didiagnosa sebagai pterigium
stadium 3. Karena pada pemeriksaan fisik
didapatkan
selaput
berwarna
putih
kemerahan berbentuk segitiga dari nasal dan
apex melewati limbus dan tepi pupil. Derajat
pterigium berdasarkan perkembangannya
adalah derajat I jika hanya terbatas pada
limbus kornea, derajat II jika sudah melewati
limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea, derajat III jika telah melebihi
derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam
keadaan normal sekitar 3-4 mm), dan derajat
IV jika pertumbuhan pterigium sudah

melewati pupil
penglihatan

sehingga

mengganggu

Gambar 1. Stadium pterigium.15

Pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk memastikan diagnosis adalah dengan
pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan
ini dilakukan untuk melihat sel pada jaringan
yang diambil setelah dilakukan operasi.
Pemeriksaan tersebut dapat menghasilkan
dan menjelaskan apakah sel tersebut ganas
atau tidak, sehingga diagnosis dapat lebih jelas
apakah ke arah keganasan atau bukan.
Diagnosis pterigium dapat ditegakkan
dengan anamnesis lengkap dan pemeriksaan
fisik. Pada kasus ini, anamnesis dan gambaran
klinis yang ditemukan jelas mengarah pada
tanda-tanda pterigium. Selain itu diduga pula
penyebab paparan matahari dan debu sebagai
pemicu timbul nya rasa mengganjal di mata,
tidak ada riwayat terkena bagan kimia
ataupun trauma. Pada inspeksi mata
didapatkan bahwa pada konjungtiva bulbi
dextra bagian nasal tampak selaput berwarna
putih kemerahan berbentuk segitiga dari nasal
dan apex melewati limbus dan tepi pupil,
namun pada kasus ini tidak dilakukan tes
sondase, dimana tes ini dapat menentukan
apakah sebelumnya terdapat erosi pada
kornea atau tidak untuk membedakan antara
pterigium dan pseudopterigium. Jadi diagnosis
ditegakkan berdasarkan temuan klinis yang
mengarah ke pterigium grade 3 dapat
ditegakkan sebagai diagnosis pada kasus.
Diagnosis banding yang mungkin adalah
pseudopterigium, karsinoma sel skuamosa,
pinguekula dan memilki gejala yang sama
dengan pterigium. Pinguekula terlihat
berbentuk kecil, meninggi, kekuningan
berbatasan dengan limbus pada konjungtiva
bulbi, lebih sering terjadi pada iklim sedang
dan iklim tropis, angka kejadian pada laki-laki
dan perempuan sama, dan paparan dari sinar

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|167

ToniLaki-laki 38 Tahun dengan Pterigium Temporalis Grade 3 OS

matahari bukan faktor resiko penyebab
pinguekula. Sedangkan pada pseudopterigium
terbentuk jaringan parut fibrovaskular yang
timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea,
penyebabnya
adalah
akibat
inflamasi
permukaan okular sebelumnya seperti
trauma, trauma kimia, trauma bedah atau
ulkus perifer kornea, dan konjungtivitis
sikatrikal. 11,17,12,4
Penatalaksanaan pada pasien ini
dinilai
sudah
tepat,
dimana
terapi
medikamentosa di tujukan untuk mengurangi
gejala yang muncul, sehingga diberikan obat
antiinflamasi dan antibiotik jika diperlukan.
Pada pterigium yang ringan tidak perlu
diobati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan
obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 6 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid
tidak
dibenarkan
pada
penderita dengan tekanan intraokular tinggi
atau mengalami kelainan pada kornea.20,13,4,7
Teknik pembedahan pterigium dapat
dilkukakan dengan beberapa cara yaitu Bare
sclera berupa tidak adanya jahitan dan benang
absorabable
yang
digunakan
untuk
melekatkan konjungtiva ke supervisial sclera
didepan insersi tendon rectus, Simple closure
berupa tepi konjungtiva yang bebas dijahit
bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva
sangat kecil), Sliding flap berupa suatu insisi
berbentuk L dibuat di sekitar luka kemudian
flap konjungtiva digeser untuk menutup
defek, Rotational flap berupa insisi berbentuk
U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah
konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya,
Conjungtiva graft berupa suatu free graft
biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi
sesuai dengan besar luka dan kemudian
dipidahkan dan dijahit, Amnion membran
transplantasi yaitu mengurangi frekuensi
rekuren dan mengurangi fibrosis, Lamellar
keratoplasty berupa terapi baru dengan
menggunakan gabungan angiostatik dan
steroid. Teknik yang dapat digunakan adalah
teknik bare sclera karena pada teknik operasi
ini tidak perlu dilakukan pejahitan meskipun
tingkat rekuren masih sekitar 40-50 %.24,25,13,16
Pada pasien ini dilakukan tindakan
bedah yaitu autograf konjungtiva berupa
avulsi pterigium yang dinilai paling baik untuk
pasien usia dewasa muda. Setelah avulsi
pterigium maka bagian konjungtiva bekas
J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|168

pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok
konjungtiva yang diambil dari konjugntiva
bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik
secara kosmetik, mengupayakan komplikasi
seminimal mungkin, angka kekambuhan yang
rendah. Pada pasien ini tidak diberikan
mitomycin C karena penggunaan Mitomycin C
(MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium
yang rekuren, mengingat komplikasi dari
pemakaian MMC juga cukup berat.23,12,4,7
Faktor risiko yang mempengaruhi
antara lain usia (banyak ditemui pada usia
dewasa), pekerjaan (pertumbuhan pterigium
berhubungan dengan paparan yang sering
dengan sinar UV), tempat tinggal (gambaran
yang paling mencolok dari pterigium adalah
distribusi geografisnya), jenis kelamin (tidak
terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan
perempuan), herediter (pterigium dipengaruhi
faktor herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan), dan infeksi (Human
Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai
faktor penyebab pterigium). Faktor risiko
lainnya antara lain kelembaban yang rendah
dan mikrotrauma karena partikel-partikel
tertentu seperti asap rokok, pasir merupakan
salah
satu
faktor
risiko
terjadinya
13,14,15
pterigium.
Komplikasi yang muncul baik sebelum
dilakukan insisi adalah merah, iritasi, dapat
menyebabkan diplopia. Sedangkan jika sudah
dilakukan insisi adalah dapat terjadi infeksi,
diplopia, scar cornea, perforasi bola mata, dan
komplikasi yang terbanyak adalah rekurensi
pterigium post operasi.26,7,12
Prognosis dari pasien adalah quo ad
vitam: Bonam, quo ad fungsionam: dubia ad
bonam, dan quo ad sanationam: bonam.
Sedangkan secara keseluruhan prognosis pada
pasien baik. Didukung oleh kepustakaan yang
mengatakan bahwa kebanyakan kasus
kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi
operasi dan sitotastik tetes mata atau beta
radiasi.7
Simpulan
Pasien pria usia 38 tahun didiagnosis
sebagai pterigium temporalis stadium 3 okuli
sinistra dan diberi tatalaksana lindungi mata
dari sinar matahari, debu, dan udara kering
dan terapi yang paling tepat untuk pasien
adalah dilakukannya tindakan operatif.

ToniLaki-laki 38 Tahun dengan Pterigium Temporalis Grade 3 OS

Daftar Pustaka
1.
Bruce J, Chris C, Anthony B. Lecture
Notes Oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta:
Erlangga; 2006.
2.
Hartono. Buku Saku Ringkasan Anatomi
dan Fisiologi Mata. Yogyakarta: FK
UGM; 2007.
3.
Chanda DW, dkk. Effctiveness of
subconjunctival mitomycin-C compared
with
subconjunctival
tiamcinolon
acetonide on the recurrence of
progresive primary pterigium which
underwent Mc Reynolds method.
Berkala Ilmu Kedokteran. 2007;
39(4):186-19.
4.
Ilyas S, Mailangkay HBB, Taim HS,
Simarwata R, Widodo MPS, editors.
Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter
Umum dan Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta: Sagung Seto; 2010.
5.
Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ.
Conjunctiva. Dalam: Riordan-Eva P,
WhitcherJP,
editors.
Vaughan
&Asburry’s General Opthalmology. Edisi
ke-17. USA: McGraw.
6.
Voughan, Asbury. Oftalmologi Umum.
Edisi 17. Jakarta: EGC; 2010.
7.
Komaratih E, Nurwasis.
Pedoman
Diagnosis dan Terapi. Bagian Ilmu
Penyakit Mata. Edisi ke-III. Surabaya:
Penerbit Airlangga; 2006.
8.
Gazzard G, Saw SM, Farook M, Koh D,
Widjaja D, Chia SE, dkk. Pterigium in
indonesia: prevalence, severity and risk
factors. Br J Ophthalmol. 2005; 86:13416.
9.
Ardalan A, Ravi S, David L. Management
of Pterigium: Opthalmic Pearls. 2010.
10. Tan THD, dkk. Pterigium clinical
Ophtalmology- An Asian Perspective,
Chapter 3.2. Singapore: Saunders
Elsevier. 2005. hlm. 207-214.
11. Chui J, Coroneo TM, Tat LT, Crouch R,
Wakefield D, Girolamo ND. Ophtalmic
Pterigium A Stem Cell Disorder With
Premlignant Features. The American
Journal Of Pathology. 2011; 178(2):81727.
12. Ikatan Dokter Indonesia. Buku Panduan
Praktis Klinis Bagi Dokter Pelayanan
Primer. Edisi ke-1. Jakarta: IDI; 2013.
13. James B, Chris C, Anthony B.
Konjungtiva, Kornea, Sklera. Dalam:
Oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta:

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

Erlangga Medical Science.; 2006. hlm.
66-7.
Amadi A, dkk. Common Ocular
Problems in Aba metropolis of Albia
State, Eastern Nigeria. Federal Medical
Center Owerri [Internet]. 2009; 6(1):3235.
Saerang, Josefien. Vascular Endothelial
Growth Factor Air Mata Sebagai Faktor
Resiko Tumbuh Ulang Pterigium.
Journal Indonesian medical Association.
2013; 7(4):139-143.
Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. 2Current
Concepts and Techniques in Pterigium
Treatment. Curr Opin Ophthalmol.
2006.
Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A
Systematic Approach; Edisi ke-6.
Philadelphia: Butterworth Heinemann
Elsevier; 2006. hlm. 242-244.
American Academy of Opthalmology.
External Disease and Cornea Section 11.
San Fransisco: MD Association; 2006.
American Academy of Ophtalmology.
Basic and Clinical Science Course section
8 External Disease and Cornea. 20072008. hlm. 344, 405.
Skuta, Gregory LC, Louis BW, Jayne S.
Clinical Approach to Depositions and
Degenerations of the Conjungtiva,
Cornea, and Sclera. Dalam: External
Disease and Cornea. San Fransisco:
American Academy of Ophtalmology;
2008. hlm. 8-13, 366.
Tasman W, Jaeger EA. Pathology of
Conjungtiva.
Dalam:
Duane’s
Ophtalmology. New York: Lippincott
William and Wilkins; 2007.
Dzunic B, Jovanovic P, Veselinovic D,
Petrovic AS, Stefanofic I, Kovacevic I.
Analysis
Of
Pathohistological
characteristiics Of Pterigium. Bosnian
Journal Of Basic Medical Science. 2010;
10(4):308-13.
Suhardjo, Hartono. Ilmu Kesehatan
Mata. Yogyakarta: Bagian Ilmi Penyakit
Mata FK UGM.
D Gondhowiardjo T, Simanjuntak WS G.
Ptrygium: Panduan Manajemen Klinis
Perdami. Jakarta: CV Ondo; 2006. hlm.
56-58.
Khurana AK. Community Ophtalmology
in comprehensive Ophtalmologu. Edisi

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|169

ToniLaki-laki 38 Tahun dengan Pterigium Temporalis Grade 3 OS

26.

ke-4. New Delhi: New Age International
Limitid publisher; 2007. hlm. 443-57.
Tortora GJ, Derrickson BH. The Special
Sense. Dalam: Tortora, Gerard J.

J Medula Unila|Volume 4|Nomor 2|Desember 2015|170

Principles of anatomy and Physiology.
Edisi ke-12. New York: Jhon Wiley &
Sons Inc; 2009. hlm. 605-11.