BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi dan Pengembangan Wilayah - Resistensi Supir Angkutan Kota Terhadap Relokasi Terminal Sukadame Kota Pematang Siantar (Study Deskriptif Pada Supir Angkutan Kota dan Dinas Perhubunghan Kota Pematang Siantar)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Transportasi dan Pengembangan Wilayah

  Pembangunan transportasi yang baik dapat mempermudah pergerakan bahan baku mencapai lokasi pemrosesan atau mempermudah konsumen dalam menjangkau kebutuhan akan barang-barang. Dengan adanya transportasi, maka peningkatan aktivitas produksi pada suatu wilayah akan terdorong (siagian, 1991). Penataan transportasi yang baik dapat membentu karakteristik wilayah sesuai dengan pergerakan penduduk dan barang. Demikian pula sebaliknya, terjadinya peningkatan aktivitas sosial-ekonomi masyarakat dapat pula mempengaruhi permintaan akan tranportasi.

  Pembangunan transportasi selanjudnya akan membentuk integrasi ruang bagi suatu wilayah, meliputi integrasi ke dalam dan integrasi keluar. Integrasi ruang inilah yang mengakibatkan transportasi mampu menjadi pendorong pembangunan wilayah. Oleh karena itu, jika suatu wilayah terdapat masyarakat yang miskin kendatipun wilayah tersebut memiliki sumberdaya alam yang cukup, hal ini di sebabkan oleh kurangnya perkembangannya kondisi transportasi yang ada pada wilayah tersebut. (Purnama, 2000).

  Tamin (2000), menghatakan pada dasarnya, sistemprasarana transportasi mempunyai dua peran utama. Pertama, sebagai alat bantu mengarahkan pembangunan di daerah perkotaan. Kedua, sebagai perasarana bagi pergerakan manusia dan /atau barang yang timbul akibat adanya kegiatan di daerah perkotaan tersebut.

  Secara umum dikatakan bahwa peranan perencanaan transportasi sebenarnya adalah untuk dapat memastikan bahwa kebutuhan akan pergerakan dalam bentuk pergerakan manuasia, barang atau kendaraan dapat ditunjang oleh sistem prasarana transportasi yang ada dan harus beroperasi di bawah kapasitasnya.

  Kebutuhan akan pergerakan itu sendiri mempunyai ciri yang berbeda-beda, seperti perbedaan tujuan perjalanan, moda transportasi yang digunakan, dan waktu terjadinya pergerakan. Sistem prasarana transportasinya sendiri terbentuk dari: pertama, sistem prasarana (penunjang), misalnya sistem jaringan jalan raya atau jalan rel termasuk terminal. Kedua, sistem manajemen trasnportasi, misalnya undang- undang, peraturan, dan kebijakan. Ketiga, beberapa jenis moda transportasi denagan berbagai macam opratornya.

  Menurut Kamaluddin (1987), setiap bentuk transportasi terdapat empat unsur, yaitu: jalan; alat angkutan; tenaga penggerak dan terminal. Pada dasarnya pemindahan barang dan penumpang dengan transportasi adalah dengan maksud untuk dapat mencapai tempat tujuan dan menciptakan atau menaikkan kegunaan(utilitas) dari barang yang diangkut. Utilitas yang dapat diciptakan oleh transportasi khususnya untuk barang yang diangkut ada dua macam, yaitu: utilitas tempat dan utilitas waktu.

  Sinulingga (1999), berpendapat bahwa suatu transportasi dikatakan baik apabila : pertama, waktu perjalanan cukup cepat. Kedua, frakuensi pelayanan cukup.

  Ketiga, aman (bebas dari kemungkinan kecelakaan) dan kondisi pelayanan yang nyaman. Untuk mencapai kondisi yang ideal seperti ini, sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang menjadi komponen transportasi, yaitu kondisi prasarana (jalan) dan kondisi sarana (kendaraan).

2.2 Persfektif Resistensi Terhadap Perubahan Sosial Dan Kebijakan Pemerintah

  Pandangan mainstream memisahkan secara tegas antara subyek dan obyek, organisasi-individu dan organisasi-lingkungan eksternal. Ada beberapa implikasi dari pandangan ini. Pertama, adanya subyek(pemko) sebagai agen yang berperan aktif dan obyek(sopir) yang menjadi agen pasif yang dikenai tindakan. Kedua, pandangan ini menjelaskan tindakan, hubungan dan hasil perubahan dengan mengacu pada karakter entitas subyek atau obyek. Ketiga, subyek diasumsikan yang menciptakan realitas sosial. Subyek adalah pihak yang mengetahui dan mempengaruhi “yang lain” sebagai obyek yang dapat diketahui dan dibentuk (Hosking, D.M., 2004, diakses dari situs htt p://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/197108171998021 S ARDIN/resistensi_perubahan_sosial_dari_berbagai_aspek_13_. ).

  Perubahan merupakan proses perpindahan dari keadaan stabil yang satu menuju keadaan stabil yang lain (unfreeze-move-refreeze). Pemimpin atau agen perubahan berusaha melakukan perubahan berdasarkan analisis rasional-empiris tentang apa yang akan dicapai, memproduksi pengetahuan tentang bagaimana harus menjalakan perubahan, sebagai dasar dalam mempengaruhi, membentuk ulang, obyek perubahan (Hosking & Morley, 1991 dalam Hosking,2004).

  Pandangan adanya realitas tunggal dan homogen mengakibatkan pengetahuan diukur dari dimensi tunggal dan itu berarti bersifat benar/salah. Pemimpin perubahan, sebagai pihak yang menciptakan realitas, mempunyai kekuasaan terhadap obyek, anggota organisasi. Pandangan perubahan organisasi sebagai realitas tunggal membuat setiap resistensi terhadap perubahan itu merupakan tindakan yang tidak masuk akal. Pemimpin perubahan harus mempengaruhi, mendidik dan melakukan negosiasi terhadap anggota organisasi lain agar meyakini perubahan yang diyakini pemimpin perubahan (Hosking, 2004).

  Pemimpin perubahan harus melakukan upaya agar anggota organisasi menyadari akan realitas tunggal perubahan organisasi serta mau dan mampu menjalankan perubahan. Pendekatan sosial konstruksionis berpandangan tidak ada realita yang homogen bagi setiap orang. Pengertian resistensi terhadap perubahan tidak mengacu pada sebuah obyek atau sebuah karakteritik dari realitas obyektif, tetapi sebuah fungsi dari konstruksi realitas dimana orang hidup. Pendekatan konstruksionis menyatakan bahwa realitas itu diinterpretasikan, dikonstruksikan melalui interaksi sosial.

  Resistensi terhadap perubahan kemudian bukan ditemukan dalam individu, tetapi dalam realitas yang dikonstruksikan oleh individu. Partisipan yang mempunyai perbedaan realitas yang dikonstruksikan akan mempunyai sense yang berbeda terhadap diri mereka dan dunianya. Hasilnya, mereka akan menempuh tindakan yang berbeda, dan menunjukkan bentuk resistensi yang berbeda, tergantung pada realitas dimana mereka hidup. Resistensi kemudian dipahami sebagai sebuah respon terhadap suatu inisiatif perubahan, suatu respon hasil percakapan yang membentuk realitas dimana individu hidup (Ford, 1999, Ford dkk, 2001).

  Dalam konteks ini, resistensi adalah sebuah realitas yang dikonstruksikan, oleh dan melalui percapakan. Hal ini menempatkan resistensi dalam pola percakapan dibandingkan dalam diri individu. Lebih lanjut, resistensi adalah fungsi dari tingkat persetujuan yang hadir untuk melakukan perubahan. Resistensi terhadap perubahan, kemudian, dapat dipandang sebagai sebuah fungsi dari latar belakang atau konteks percakapan. Dalam suatu konteks dan percakapan, maka segala sesuatunya adalah tepat. Ini berarti sangat sulit menantang sebuah realitas dari cara pandang yang berbeda. Sejumlah tantangan, mengasumsikan resistensi hadir secara terpisah dari percakapan yang membentuknya, dan respon terhadap resistensi itu tetaplah terpisah dari konteksnya (Ford dkk, 2001).

  Dalam setiap percakapan yang mengajukan suatu perubahan organisasi terdapat sejumlah perbedaan konteks yang mengkontekstualisasikan, mewarnai dan memberi karakter terhadap perubahan organisasi itu. Mengacu pada Ford ddk. (2001), terdapat tiga tipe generik latar belakang percakapan yang menghasilkan perbedaan tipe resistensi terhadap perubahan. Tiga konteks tersebut adalah:

  Konteks Kepuasan

  Suatu konteks kepuasan adalah konstruksi yang didasarkan pada keberhasilan masa lalu: organisasi telah berhasil, entah dengan inovasi atau dengan gigih bertahan.

  Salah satu ungkapan yang muncul adalah “Kita akan sukses di masa depan, dengan cara kita di masa lalu”. Orang mengacu pada kesuksesan di masa lalu guna membenarkan kesuksesan itu akan berlanjut atau mereka akan dengan mudah mengulangnya jika kita “membiarkan segala sesuatu apa adanya”.

  Dalam realitas ini, sukses masa lalu dipandang sebagai kenyataan yang memadai dan orang menghindar membuat “perubahan yang merusak”. Konteks ini melahirkan sindrom ketakutan akan kegagalan yang merusak kesuksesan. Percakapan dalam konteks ini menggambarkan tema “sesuatu yang berbeda atau yang baru tidak dibutuhkan”. Ada percakapan tentang kenyamanan relatif dan kepuasan akan cara melakukan sesuatu dan kecenderungan meneruskan cara itu untuk memastikan kesuksesan di masa depan. Orang mengekspresikan kepuasan dengan ungkapan seperti “jika itu tidak rusak, jangan diperbaiki”, “Mengapa mengacaukan kesuksesan?”, serta “Jangan goyang perahunya” dan mengatribusikan kesuksesan pada atribut, kapabilitas dan perilaku individu atau kelompok. Akibatnya, setiap upaya menginspirasi atau menghasilkan sebuah perubahan akan dipandang tidak penting dan mengancam keberhasilan masa depan.

  Konteks Menyerah

  Konteks Menyerah terkonstruksikan karena kegagalan sejarah, daripada kesuksesan. Dalam organisasi dimana “sesuatu” telah berjalan salah, percakapan akan membentuk latar belakang menyerah yang terakumulasi dalam tema “Ini mungkin juga salah”. Tema dalam percakapan tersebut merefleksikan ketiadaan harapan pada orangorang untuk melakukan perubahan atas sesuatu itu. Secara normal, ketika orang terlibat dalam suatu kesalahan, mereka akan menyalahkan faktor diluar diri mereka sebagai penyebab kesalahan. Dalam konteks menyerah, percakapan yang menyalahkan diri sendiri begitu dominan, dan individu menyalahkan diri atau organisasinya atas ketidakmampuan mencapai kesuksesan. Dalam kenyataan, orang mungkin akan berkata “Posisi saya tidak memberi saya kekuasaan apapun”, “Saya tidak mempunyai keterampilan, latar belakang atau keberuntungan”, “Kami tidak pernah mendapat dukungan yang kami butuhkan”, “Kelompok kami tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan besar”. Percakapan dalam konteks menyerah ini diwarnai oleh nada apatis, putus asa, tertekan, dan sedih.

  Pengajuan sebuah usulan perubahan dalam konteks menyerah ini akan menghasilkan resistensi yang ditandai dengan tindakan setengah hati, dan merefleksikan rendahnya motivasi dan ketidakmauan berpartisipasi. Orang-orang sulit mendengarkan dan enggan merespon usulan perubahan, sebagaimana mereka menghindari area yang mereka merasa tidak mempunyai kekuasaan.

  Konteks Sinisme

  Konteks Sinisme terkonstruksi, sebagaimana Konteks Menyerah, dari kegagalan masa lalu secara langsung ataupun melalui cerita pengalaman orang lain.

  Akan tetapi percakapan mengenai penyebab kegagalan membedakan konteksi ini, yaitu penyebab kegagalan adalah realitas eksternal, orang dan kelompok lain.

  Pernyataan seperti, “Mereka bergurau, tidak ada yang dapat menjalankan”, “Saya tidak tahu mengapa mereka khawatir, itu tidak berjalan dengan benar”, dan “Itu merupakan sesuatu yang sama saja” mengilustrasikan konteks sinisme. Percakapan ini menguatkan suatu realitas bahwa tidak ada yang dapat melakukan perubahan. Konteks sinisme merupakan sebuah konteks pesimistis yang ditandai dengan frustasi dan ketidaksetujuan. Tidak ada yang dapat merubah sampai saatnya berubah dengan sendirinya. Dalam konteks ini, tercakup juga tindakan serangan terhadap orang lain, serta menggambarkan orang yang melakukan perubahan sebagai tidak mampu dan malas, tidak jujur, mementingkan kepentingan diri sendiri, dan tidak dapat dipercaya.

  Tiga konteks percakapan tersebut menunjukkan resistensi terhadap perubahan sebagai suatu kumpulan percakapan mengenai subtansi, makna dan penyebab kesuksesan dan keberhasilan masa lalu, daripada sebagai sebuah respon terhadap kondisi aktual dan situasi yang melingkupi usulan perubahan itu sendiri. Resistensi terhadap perubahan tidak hanya berkaitan dengan apa yang terjadi saat ini, tetapi juga mencakup apa yang telah terjadi dan pemaknaan akan kemungkinan di masa depan.

2.3 Pertukaran Dan Kekuasaan Dalam Kehidupan Sosial

  Peter M Blau memandang bahwa tidak semua perilaku manusia dibimbing oleh pertimbangan pertukaran soial, tetapi dia berpendapat kebanyakan memang demikian. Dia mengetengahkan dua persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial : (1) perilaku tersebut “harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain”, dan (2) perilaku “harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaiaan tujuan-tujuan tersebut” (Blau, 1964:5). Tujuan yang diinginkan itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik (seperti uang, barang-barang, atau jasa-jasa) atau interistik (status, dan kehormatan). Prilaku manusia, yang dibimbing oleh proinsip-prinsip pertukaran soial, mendasari pembentukan struktur serta lembaga-lembaga sosial.

  Blau juga mengakui bahwa tidak semua transaksi soaial bersifat simetris dan berdasarkan pertukaran soaial seimbang. Hal ini dapat terlihat, bahwa hubungan- hubungan antar pribadi dapat bersifat timbal balik atau sepihak. Dalam hal terjadi hubungan yang bersifat simetris dimana semua anggota menerima ganjaran yang sesuai dengan apa yang diberikannya, maka kit adapt menyebut hal demikian sebgai hubungan pertukaran.

  Didalam hubungannya dengan masalah stratifikasi, kita dapat bebicara tetang pertukaran sejauh hubungan-hubungan itu menguntungkan bagi para anggota yang berkedudukan tinggi dan rendah. Suatu hubungan kekuasaan yang bersifat memaksa merupakan hubungan terdapat pertukaran tidak seimbang yang di pertahankan melalui sangsi-sangsi negatif.

  Diferensiasi Kekuasaan

  Blau (1964: 117) member batasan kekuasaan sesuai dengan pengertian Weberian, yaitu”kemampuan orang atau kelompokmemaksakan kehendaknya pada pihak lain, walaupun terdapat penolakan melalui perlawanan, baik dalam bentuk pengurangan pemberian ganjaran secara teratur maupun dalam bentuk penghukuman, sejauh kedua hal itu ada, dengan memperlakukan sangsi negatif’. Dengan demikian kekuasaan hanya dapay dilihat sebagi pengendalian melalui sangsi-sangsi negative, dimana kekerasan fisik atau ancamannya merupakan bagian dari kekuasaan.

  Untuk menjelaskan hubungan-hubungan ketergantungan kekuasaan (power dependence), Blau (1964:118)mengutip skema Richard Emerson, sebagai dasar untuk menganalisa ketimpangan kekuasaan yang terdapat didalam dan di antara kelompok- kelompok. Individu yang membutuhkan pelayanan orang lain harus memberikan alternative berikut ini: 1.

  Mereka dapat member pelayanan yang sangat ia butuhkan sehingga cukup untuk membuat orang tersebut memberikan jasanya sebagai imbalan, walau hanya apabila mereka memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk itu; hal ini akan menjurs pada pertukaran timbal balik.

  2. Mereka dapat memperoleh pelayanan yang dibutuhkan itu di mana-mana (dengan asumsi bahwa ada penyedia alternative), yang menjurus pada pertukaran timbal balik, sekalipun dalam bentuk hubungan yang berbeda.

  3. Mereka dapat memaksa seseorang menyediakan pelayanan (dengan asumsi orang tersebut mampu melakukannya). Bilamana pemaksaan yang demikan terjadi, maka mereka mampu memperoleh pelayanan tersebut menciptakan dominasi terhadap penyedia (supplier).

  4. Mereka dapat belajar menari diri tanpa mengharap pelayanan atau menentukan beberapa pengganti pelayanan serupa itu.

  Ke empat alternatif itu menunjukkan kondisi-kondisi ketergantungan sosial dari mereka yang membutuhkan pelayanan tertentu. Bilamana orang-orang yang menginginkan pelayanan itu tidak mampu memenuhi salah satu dari alternatif tersebut (yang oleh karena itu menunjukan kebebasan penyedia) maka mereka tidak mempunyai pilihan kecuali menuruti kehendak dari penyedia “sebab keterlangsungan persediaan pelayanan yang dibutuhkan tersebut hanya dapat diperoleh sesuai dengan kepatuhan mereka” (Blau, 1964: 118). Ketergantungan ini menempatkan penyedia pada posisi kekuasaan. Agar dapat mempertahankan posisinya penyedia ini harus tetap bersikap wajar terhadap keuntungan yang diperoleh atas pertukaran pelayanan itu dan harus merintangi penyedia lain dalam kegiatan pelayanan yang sama (M.Poloma:85).

  Gambaran Blau tentang orang mungkin lebih dekat dengan Parson atau Merton daripada dengan Homans. Walaupun Blau melihat motif-motif ekonomis dalam pengertian keuntungan atau laba secara tradisional. Homans secara tak langsung menyatakan bahwa semua tindakan rasional perdefinisi adalah “ekonomis” dan model ekonomi sesuai bagi semua perilaku. Sebagai mana dengan Parson dan Merton, Blau percaya bahwa setiap orang mencapai tujuan secara rasional tetapi tujuan-tujuan itu dirintangi oleh berbagi kendala dalam struktur sosial. Sebagaimana yang kita lihat, kekuasaan adalah suatu fenomena yang harus mendapat pertimbangan khusus dan tidak dapat diredusir ke dalam model pertukaran yang murni. Orang

  

bebas memilih tujuan-tujuan mereka, tetapi hanya diantara alternative-alternatif

yang telah ditentukan secara structural

  (M.Poloma : 99). Adapun Kajian yang dapat mendukung penelitian ini adalah penelitian yang

dilakuakn oleh Trica Vidi Prasetyo(2010) dalam jurnal Tata Kota dan Daerah Volume

  2, Nomor 1, Juli 2010 yang berjudul SKENARIO PENGEMBANGAN TERMINAL DAN PASAR GONDANGLEGI. Dalam jurnalnya mengatakan Kecamatan Gondanglegi memiliki prasarana transportasi berupa terminal penumpang tipe C serta fasilitas perdagangan dan jasa berupa pasar tradisional . Keberadaan terminal dan pasar yang berdekatan seharusnya dapat saling menguntungkan, tetapi dalam perkembangannya peningkatan fungsi dan aktivitas dari masing-masing fasilitas tersebut tidak disertai dengan daya tampung yang memadai. Kondisi demikian mengakibatkan adanya rencana pemindahan terminal, dan lokasi yang akan dijadikan pilihan adalah satu diantara tiga lokasi yang terdapat di Kecamatan Gondanglegi.

  Keberadaan terminal penumpang di Kecamatan Gondanglegi merupakan jenis pelayanan terminal tipe C, dimana sebagian besar angkutan penumpang yang beredar, beroperasi melayani pengangkutan antar desa dalam lingkup kecamatan maupun luar kecamatan. Terminal penumpang di Kecamatan Gondanglegi secara tidak langsung membantu bergeraknya roda perekonomian di wilayah Malang Selatan dengan pusat wilayah pengembangannya di Kecamatan Gondanglegi dengan subpusatnya adalah Kecamatan Gedangan, Kecamatan Pagelaran, dan Kecamatan Bantur1. Peran dari keberadaan terminal bagi keberlangsungan perekonomian wilayah pengembangan Kecamatan Gondanglegi adalah adanya penyaluran distribusi hasil pertanian maupun industri dari desa-desa yang tersebar di seluruh kecamatan tersebut.

  Secara lokasi, terminal penumpang di Kecamatan Gondanglegi bersebelahan dengan Pasar Gondanglegi yang memiliki lingkup pelayanannya mencapai hampir seluruh satu wilayah kecamatan dan sebagian kecamatan lainnya. Dengan lokasi yang bersebelahan dengan pasar maka hal ini menguntungkan berbagai pihak, pertama dari segi perdagangan pasar, yaitu menguntungkan para pedagang/penjual dan para pembeli/konsumen, karena proses berdagang/jual-beli lebih cepat karena dimudahkan dengan adanya angkutan yang telah tersedia setelah mereka melakukan proses transaksi berdagan, sedangkan keuntungan lokasi terminal bersebelahan dengan pasar yaitu dari segi perangkutan, mereka dengan mudah memperoleh banyak keuntungan finansial karena banyak penumpang yang manggunakan jasa angkutan mereka.

  Keadaan ini telah berlangsung cukup lama, dan seiring perkembangan waktu dimana bertambahnya jumlah penduduk dan bertambah pula tingkat kebutuhan maka semakin banyak orang yang melakukan pergerakan dengan menggunakan jasa angkutan, hal ini yang mengakibatkan keterbatasan kapasitas terminal Kecamatan Gondanglegi, sehingga mengakibatkan munculnya dampak yang kurang baik bagi keberadaan pasar maupun terminal. Dengan keadaan yang seperti dijelaskan di atas maka pemerintah Kabupaten Malang dalam Peraturan Daerah Nomor 24 tahun 1 993 tentang RUTRK/RDTRK IKK Gondanglegi, dalam dokumen rencana akan mela kukan upaya relokasi/pemindahan Terminal Gondanglegi (terminal penumpang tipe C) tersebut ke tempat yang lain.

  Penelitian lain yang dilakukan oleh OA Sulaeman, D Widiyanto - Jurnal Bumi Indonesia, 2012 - lib.geo.ugm.ac.id yang berjudul KAJIAN PEMANFAATAN TERMINAL INDIHIANG TERKAIT DENGAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA TASIKMALAYA. Dalam jurnalnya menjelaskan strategi dan kebijakan pengembangan wilayah di Kota Tasikmalaya dengan upaya menempatakan prasarana transportasi terminal ini pada kenyataannya sulit untuk diterapkan dengan baik di lapangan. Perkembangan wilayah di sekitar Terminal Indihiang cenderung tidak terlalu pesat.Hal ini dapat diamati dari perkembangan fisik wilayah sekitar Terminal Indihiang cenderung lambat.Fungsi yang dijalankan oleh keberadaan Terminal Indihiang sebagai pelayanan publik serta sumber pendapatan daerah belum tercapai secara maksimal. Hal ini dapat diindikasikan dari kebanyakan angkutan umum tidak masuk ke dalam terminal untuk menurunkan maupun menaikan penumpang, tetapi dilakukan di pinggir-pinggir jalan utama atau persimpangan jalan masuk ke terminal.

  Fenomena ini berdampak pada minimnya sumber pendapatan dari kendaraan umum yang masuk terminal (retribusi). Belum optimalnya dari fungsi pemanfaatan Terminal Indihiang sebagai fasilitas pelayanan publik yaitu tempat untuk menurunkan maupun menaikkan penumpang membuat perkembangan aktifitas dan kegiatan yang ada di sekitar terminal kurang berjalan dengan baik, bangunan ruko serta gerai dagangan yang menjual berbagai produk khas Tasikmalaya dan lainnya sepi pembeli bahkan ada beberapa juga yang sudah tutup. Hal tersebut apabila terus dibiarkan begitu saja, selain menjadi permasalahan di dalam kondisi terminal itu sendiri juga akan berdampak pada pengembangan wilayah Kota Tasikmalaya.

  Bila melirik dari masalah penolakan supir terhadap relokasi terminal dengan menggunakan sudut pandang teori pertukaran, terlihat relevan dengan keadaan yang ada. Hal ini dapat terlihat dari setiap elemen yang menjalankan fungsi sosialnya seperti pemerintah kota khususnya dinas perhubungan kota pematang siantar sebagai pemangku kekuasaan menberikan suatu kebijakan untuk merelokasi terminal suka dame. Pemerintah mengaanggap relokasi terminal di kota itu penting, guna membenahi infrastruktur kota untuk mencapai visi Kota Pematang siantar yaitu “Sebagai Kota Perdagangan dan Jasa Yang Maju, Indah, Nyaman dan Beradap”. Artinya Kota Pematang Siantar diharapkan dimasa mendatang semakin memiliki peranan penting dalam perdagangan dan jasa.Untuk itu di perukan penataan dan rekontruksi pembangunan yang berwawasan lingkungan.

  Namun kebijakan pemerinmtah tersebut tidak mendapat respon yang baik dari supir angkutan kota sebagai efek dari pertukaran yang tidak seimbang antara pemerintah dan supir angkutan, yang merupakan elemen penting dari berjalannya transportasi kota. Para supir angkutan kota menilai kebijakan pemerintah tersebut timpang kepada mereka sehingga mempengaruhi aspek ekonomi para supir angkutan umum. Hal ini dikeluhkan para supir angkutan yang sulit untuk mencari penumpang dan letak terminal sarantama yang dianggap jauh oleh para supir sehingga hiungga kini terminal sarantama tidak optimal beroprasi.