Deskripsi Umum Bambu Betung

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Bambu Betung

  Bambu dengan nama botani Dendrocalamus asper Backer Ex. Heyne di Indonesia dikenal dengan nama bambu betung. Di berbagai daerah, bambu yang termasuk jenis ini dikenal dengan nama buluh ketong, buluh swanggi, bambu batueng, tering betung, betong, bulalotung, awi beitung, jajang betung, pring petung, pereng petong, tiing petung, au petung, bulo paturig dan awo petung.

  Bambu betung termasuk dalam famili Graminae dan banyak terdapat di Asia tropika. Jenis bambu betung dapat tumbuh dengan baik di tempat mulai dataran rendah sampai daerah dataran dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut (mdpl). Jenis ini dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan tanah yang cukup subur, terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering (PPHH, 2000).

  Perbanyakan bambu betung umumnya dilakukan dengan pemotongan pembuluh atau rantingnya, jarang sekali diperbanyak dengan potongan rimpangnya. Hal ini disebabkan pemotongan rimpang dapat merusak rumpunnya. Perbanyakan dengan biji belum pemah dilakukan, karena jenis ini jarang sekali menghasilkan biji (PPHH, 2000).

  Jenis bambu ini mempunyai rumpun yang agak sedikit rapat. Warna batang hijau kekuning-kuningan. Ukurannya lebih besar dan lebih tinggi dari jenis bambu yang lain. Tinggi batang mencapai 20 m dengan diameter batang sampai 20 cm. Ruas bambu betung cukup panjang dan tebal, dan panjangnya antara

  40-60 cm. Jenis bambu ini dapat ditemui di dataran rendah sampai ketinggian 2.000 mdpl. Bambu ini akan tumbuh baik bila tanahnya cukup subur, terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering. Bambu betung sifatnya keras dan baik untuk bahan bangunan karena seratnya besar-besar serta ruasnya panjang. Berikut ini adalah klasifikasi bambu betung (Dendrocalamus asper Backer) : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotiledonae Ordo : Graminales Famili : Graminae Genus : Dendrocalamus Spesies : Dendrocalamus asper Backer Ex. Heyne (Kemenhut, 2012).

  Menurut Rahayu dan Berliana (1995) dikutip oleh Widianto (2006), bambu betung dikenal bersifat keras dan baik untuk bahan bangunan karena seratnya besar-besar dan ruas-ruasnya panjang. Bambu betung dapat dimanfaatkan sebagai saluran air, penampungan air aren yang disadap, dinding rumah yang dianyam dan berbagai jenis barang kerajinan. Bambu mempunyai bentuk tidak prismatis, ukuran diameter serta jarak ruas tidak seragam sepanjang batang, sehingga hal ini menjadikan bambu sangat unik dan artistik, tetapi aplikasi bambu sebagai batang struktural menjadi sulit.

  Sifat Fisis dan Mekanis Bambu

  Bambu termasuk zat higroskopis, artinya bambu mempunyai afinitas terhadap air, baik dalam bentuk uap maupun cairan. Kayu atau bambu mempunyai kemampuan mengabsorpsi atau desorpsi yang tergantung dari suhu dan kelembaban. Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) kadar air batang bambu merupakan faktor penting dan dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanisnya.

  Menurut Liese (1980) dalam Pathurahman (1998) kandungan air dalam batang bambu bervariasi baik arah memanjang maupun arah melintang. Hal itu tergantung dari umur, waktu penebangan dan jenis bambu. Pada umur satu tahun batang bambu mempunyai kandungan air yang relatif tinggi, yaitu kurang lebih 120 hingga 130%, baik pada pangkal maupun ujungnya. Pada bagian ruas, kandungan air lebih rendah daripada bagian nodia. Kadar air dinyatakan sebagai kandungan air yang berada dalam bambu. Sedangkan menurut Sharma dan Mehra (1970), kadar air pada bambu bervariasi menurut jenis, posisi dalam batang, umur batang dan musim. Kadar air cenderung bertambah dari bawah ke atas pada bambu yang berumur 1-3 tahun dan lebih banyak persentasenya saat musim penghujan dibanding saat musim kemarau. Disamping itu Pujirahayu (2012) juga menyatakan bahwa kandungan air dalam tiap jenis bambu berbeda tergantung dari banyak faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah tebal bilah masing- masing bambu tersebut. Semakin tebal dinding/bilah bambu maka makin tinggi air yang dapat dikandung bambu tersebut. Bambu betung memiliki tebal bilah 10- 25 mm.

  Pada umumnya jika bambu sudah berumur lebih dari tiga tahun akan mengalami penurunan kadar air. Pada batang bambu muda penurunan kadar air berkisar antara 50-90%, sedang pada bambu tua berkisar antara 12-18% (Dransfield dan Widjaja, 1995).

  Berat jenis dan kerapatan kayu atau bambu merupakan faktor-faktor yang akan menentukan sifat-sifat fisika dan mekanikanya. Menurut Liese (1980) dalam Samsudin (1997) berat jenis bambu berkisar antara 0,5 sampai 0,9 gr tiap sentimeter kubik. Variasi berat jenis bambu terjadi baik pada arah vertikal maupun horizontal. Batang bambu bagian luar mempunyai berat jenis lebih tinggi daripada bagian dalam. Sedangkan dalam arah memanjang, berat jenis meningkat dari pangkal ke ujung. Berat jenis mempunyai hubungan terbalik dengan kadar air. Semakin tinggi berat jenis bambu, semakin kecil kadar airnya.

  Menurut Janssen (1981) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan bambu adalah: a.

  , MOE pada buku 103 kg/cm

  

2

  dan 587 kg/cm

  2

  , dan keteguhan tekan pada buku dan tanpa buku adalah sebesar 548 kg/cm

  2

  dan tanpa buku 216 kg/cm

  2

  2

  Kandungan air. Kekuatan tarik bambu akan menurun dengan meningkatnya kandungan air.

  untuk bagian buku dan bagian tanpa buku sebesar 2.065 kg/cm

  2

  Bambu betung memiliki nilai MOR sebesar 1.236 kg/cm

  Ada tidaknya nodia. Di dalam inter-nodia sel-selnya berorientasi ke arah sumbu aksial sedang di dalam nodia sel-selnya mengarah pada sumbu transversal. Oleh karena itu, batang-batang yang bernodia mempunyai kekuatan yang lebih rendah daripada batang-batang yang tidak bernodia.

  c.

  Kekuatan tarik maksimum yang besar diiringi oleh persentase serabut sklerenkim yang besar pula.

  Bagian arah melintang bahan. Kekuatan tarik maksimum bagian luar batang bambu paling besar dibandingkan dengan bagian-bagian yang lain.

  b.

  . Sifat mekanis bambu tanpa buku lebih besar dibandingkan bambu dengan bukunya (Idris, 1980). Nilai Modulus Elastisitas berkaitan dengan regangan, defleksi, dan perubahan bentuk yang terjadi. Besarnya nilai defleksi dipengaruhi oleh besar dan lokasi pembebanan, panjangnya, ukuran penampang, dan nilai MOE. Hubungan antara MOE dengan defleksi yaitu apabila semakin tinggi MOE suatu balok, maka semakin berkurang defleksinya dan semakin tahan terhadap perubahan bentuk (Haygreen dan Bowyer, 2003).

  Sifat Anatomi dan Kandungan Kimia Bambu Betung

  Buluh bambu betung terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat, 10% sel penghubung (pembuluh dan sievetubes) (Dransfield dan Widjaja, 1995 dikutip oleh PPHH, 2000). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari kolom, sedangkan serat lebih banyak ditemukan pada bagian luar, sedangkan susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya berkurang.

  Dalam penelitiannya, Manuhuwa dan Loiwatu (2007) menghasilkan nilai dimensi dan proporsi sel pada bambu betung seperti pada tabel 1 dibawah ini:

  Tabel 1. Dimensi dan proporsi sel bambu betung Diameter Diameter Tebal Sel Sel Sel Panjang Serat Lumen Dinding Sel Parenkim Serat Pori

  Serat (mm) (Mikron) (Mikron) (Mikron) (%) (%) (%) 3,90 4,91 3,10 0,90 54,79 32,64 12,58

  Menurut Manuhuwa dan Loiwatu (2007) kandungan holoselulosa (73,63%), lignin (27,37%) dan tebal dinding sel serat (0,90 mikron) bambu betung lebih banyak dari bambu sero (71,96%; 26,18%; 0,80 mikron) dan bambu tui (72,77%; 26,05%; 0,77 mikron). Ketebalan dinding sel akan sangat mempengaruhi penyusutan. Semakin tebal dinding sel, maka akan semakin besar pula penyusutan yang akan terjadi. Selain faktor ketebalan dinding sel, faktor lain yang berhubungan dengan kandungan air dalam bambu adalah jumlah sel pori. Sel pori mengandung air yang lebih banyak dibandingkan dengan sel serat.

  Dalam penelitiannya, Wenwei dan Taihui (1995) menunjukkan bagaimana bentuk morfologi dari vascular bundle untuk beberapa genus bambu, salah satunya merupakan genus Dendrocalamus (gambar 1). Sementara itu, Espiloy (2000) menyatakan bahwa Perbedaan panjang serat dan frekuensi vascular bundle juga menunjukkan korelasi positif terhadap nilai kekuatan mekanis bambu.

  Selain sifat anatomi, Manuhuwa dan Loiwatu (2007) juga meneliti kandungan kimia bambu betung, seperti pada tabel 2 berikut ini.

  Tabel 2. Komponen kimia bambu betung Ekstraktif Ekstraktif Ekstraktif

Larut Larut Larut Alfa-Selulosa Holo-Selulosa Lignin

Air Dingin Air Panas Alkohol Bz (%) (%) (%)

  (%) (%) (%)

3,59 5,70 3,49 45,65 72,77 26,05

Gambar 1. Morfologi vascular bundle pada genus dendrocalamus

  Teknologi Laminasi

  Teknologi laminasi adalah teknik penggabungan bahan dengan bantuan perekat. Bahan bangunan berukuran kecil dapat direkatkan membentuk komponen bahan sesuai keperluan. Teknik laminasi juga merupakan cara penggabungan bahan baku yang tidak seragam atau dari berbagai kualitas (Prayitno, 1996).

  Sebagai contoh kayu yang berkualitas rendah digabungkan dengan kayu berkualitas tinggi disesuaikan dengan distribusi gaya beban yang akan diterima oleh produk tersebut. Dengan demikian teknik laminasi merupakan teknik penggabungan bahan yang sangat efisien untuk menghasilkan produk bahan bangunan yang efektif. Akhirnya teknik laminasi mampu menggunakan semua bahan baku yang ada untuk tujuan penggunaan yang lebih besar sehingga mampu mendukung program pemerintah untuk memberi waktu kepada hutan untuk bernafas kembali dan berubah menjadi hutan yang ideal kembali. Dengan kata lain teknik laminasi mampu mendukung konservasi hutan atau kelestarian hutan yang diinginkan masyarakat Indonesia maupun internasional.

  Menurut Gunawan (2007), produk laminasi pada umumnya menghasilkan produk bahan bangunan dengan sifat-sifat sebagai berikut: a)

  Bentuk seragam pada bidang tertentu sesuai dengan tujuan pembuatannya dan mempunyai kekuatan tinggi. Hal ini lebih baik dibandingkan kayu utuh atau bambu utuh yang selalu dipengaruhi oleh posisi aksial dan radial batang.

  b) Deformasi akan lebih sedikit karena setiap komponen laminasi akan menerima beban sesuai dengan kemampuannya. Defleksi produk dapat diatur dalam desain struktur bangunan. c) Mutu produk laminasi dapat diatur dengan mutu lapisan lamina yang digunakan sehingga mampu menghasilkan laminasi yang sesuai dengan tuntutan dan efisien.

  d) Cacat bahan pada laminasi dapat dihilangkan karena titik lemah tersebut diatur kembali sehingga tidak menampakkan pengaruh yang signifikan.

  e) Bentuk laminasi dapat dibuat sesuai selera pengguna seperti balok laminasi lurus, melengkung atau kubah, trapesium dan bentuk lain.

  Dalam penelitiannya, Gunawan (2007) juga menjelaskan bahwa disebabkan ukuran bahan baku laminasi jauh lebih kecil daripada dimensi bahan bangunan yang dikehendaki, maka banyak faktor yang harus diteliti dalam pembuatan laminasi yaitu sebagai berikut: a) Jenis perekat yang digunakan dalam laminasi.

  b) Banyaknya perekat yang digunakan untuk penggabungan.

  c) Jenis bambu yang digunakan dalam laminasi

  d) Ukuran bilah bambu berupa galar atau bilah yang digunakan dalam laminasi.

  e) Jenis dan posisi sambungan yang dipakai dalam penyambungan laminasi.

  f) Ukuran bahan bangunan dengan titik lemah (kegagalan) lentur atau geser merupakan kelemahan balok laminasi

  Pada produk laminasi, kualitas perekatan ditentukan oleh kualitas perekat, kualitas sirekat, proses perekatan dan kondisi penggunaan produk hasil perekatan.

  Kualitas perekat dipengaruhi oleh viskositas, kandungan resin padat, pH perekat,

  

working life dan sebagainya. Kualitas sirekat dipengaruhi oleh kadar air,

  kehalusan permukaan, keterbasahan, kadar zat ekstaktif, pH kayu, struktur anatomi kayu dan lain-lain. Proses perekatan berkaitan dengan teknik perekatan dan pengempaan dari dari produk perekatan. Produk hasil perekatan digunakan sesuai dengan tujuan penggunaan produk, jenis perekat dan jenis sirekat (Ruhendi dan Sucipto, 2012).

  Laminasi Bambu

  Menurut Widjaja (1995), balok laminasi adalah balok yang dibuat dari lapis-lapis papan yang diberi perekat secara bersama-sama pada arah serat yang sama. Balok laminasi memiliki ketebalan maksimum yang diizinkan sebesar 50 mm. Dengan mengikuti konsep tersebut di atas, laminasi diperoleh dari pengolahan batang yang dimulai dari pemotongan, perekatan dan pengempaan sampai diperoleh bentuk lamina dengan ketebalan yang diinginkan. Untuk beberapa hal, sifat-sifat lamina tidak berbeda jauh dengan sifat batang aslinya. Sifat akhir akan banyak dipengaruhi oleh banyaknya ruas yang ada pada satu batang tersebut dan banyaknya perekat yang digunakan. Selain itu, Breyer (1988)

  dalam Budi (2007) juga memaparkan bahwa ketebalan maksimum laminasi kayu

  satu lapis adalah 50 mm (2 in) dan tebal nominal kayu laminasi yang biasa dibuat adalah 25-50 mm (1-2 in).

  Proses laminasi dan penyambungan sangat terkait dengan proses perekatan. Dalam proses perekatan bambu ada tiga aspek utama yang mempengaruhi kualitas hasil perekatan, yaitu aspek bahan yang direkat (bambu), aspek bahan perekat dan aspek teknologi perekatan. Aspek bahan yang direkat (bambu) meliputi struktur dan anatomi bambu (susunan sel, arah serat) dan sifat fisika (kerapatan, kadar air, kembang susut dan porositas). Aspek perekatan meliputi jenis, sifat dan kegunaan perekat. Aspek teknologi perekatan meliputi komposisi perekat, berat laburan, pengempaan dan kondisi kerja (durasi, suhu, cara pelaksanaan) (Budi, 2007).

  Menurut Anshari (1996) dalam Manik (1997) untuk menghasilkan suatu balok kayu laminasi yang memenuhi standar struktur pada proses perancangan juga harus memperhatikan proses pengempaan. Proses pengempaan ini ditujukan untuk menghasilkan garis perekat setipis mungkin, bahkan mendekati ketebalan molekul bahan perekat karena kekuatan meningkat seiring berkurangnya tebal garis rekatan. Pengempaan yang terlalu rendah menyebabkan cacat perekatan, seperti melepuh, perekat tebal dan pecah muka.

  Pengempaan terlampau tinggi juga menyebabkan terjadi cacat perekatan seperti kurang perekat atau tembus akibat penetrasi berlebih. Pemberian tekanan pengempaan yang terlalu besar juga dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan perekatan yang berupa proses keluarnya perekat yang berlebihan (starved glue

  line ) dan rusaknya lapisan permukaan vinir secara mekanis sehingga menurunkan kekuatan perekatan yang dihasilkan (Widjaja, 1995).

  Perekat PVAc

  Pembuatan balok laminasi mutlak memerlukan perekat sebagai bahan pengikat bagian kayu lamina yang satu dengan yang lainnya. Menurut Manik (1997), perekat digunakan untuk merekatkan lapisan antar papan dengan papan sehingga terjadi pertemuan antara serat kayu dengan perekat yang membentuk satu kesatuan konstruksi yang lebih kaku dan kuat.

  Menurut Ruhendi dan Hadi (1997), polivinil asetat diperoleh dari polimerisasi vinil asetat dengan cara polimerisasi massa, polimerisasi larutan maupun polimerisasi emulsi. Yang paling banyak digunakan adalah polimerisasi emulsi. Reaksinya dimulai dan dikontrol dengan penggunaan radikal bebas atau katalisionik, sedangkan untuk tujuan percobaan dapat dilakukan dengan metode katalis, termasuk katalis redoks atau aktivasi dengan cahaya.

  Kelebihan polivinil asetat yaitu mudah penanganannya, storage life-nya tidak terbatas, tahan terhadap mikroorganisme, tidak mengakibatkan bercak noda pada kayu serta tekanan kempanya rendah. Kekurangan polivinil asetat yaitu sangat sensitif terhadap air sehingga penggunaannya untuk interior saja, kekuatan rekatnya menurun cepat dengan adanya panas dan air serta viscoelastisitasnya tidak baik (Ruhendi dkk, 2007).

  Perekat PVAc tidak memerlukan kempa panas dan dalam penggunaan secara luas dapat menghasilkan keteguhan rekat yang baik, dengan biaya yang relatif rendah (Hakim, 2003).

  Jumlah Lapisan Pada Produk Laminasi Menurut Panshin dan Forsmith (1952) dalam Mahdie dan Rinaldi (2007),

  kayu lamina (glue-laminated-timber; glulam) merupakan produk yang dibuat dengan merekatkan dua atau lebih lapisan bahan menjadi satu. Sari dan Praja (2006) menjelaskan bahwa jumlah lapisan akan berpengaruh terhadap sifat mekanis dari suatu produk lamina yang dihasilkan. Hal ini diduga berhubungan dengan luas bidang rekat yang meningkat seiring dengan banyaknya jumlah lapisan pada suatu produk lamina. Semakin luas bidang rekat maka kekuatan ikat yang dibentuk akan semakin kuat untuk menahan beban yang diterima dan dengan banyaknya jumlah lapisan maka tahan-menahan tiap lapisan juga akan semakin banyak. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Sinaga (1994) dalam Sari dan

  Praja (2006) yaitu pada tiap-tiap lapisan papan lamina terdapat suatu ikatan yang mengikat.

  Posisi Pengujian

  Jenis balok laminasi terdiri dari dua atas dasar arah kerja pembebanan yaitu balok laminasi horisontal dan balok laminasi vertikal. Salah satu sifat balok laminasi adalah lemah terhadap kuat lentur dengan tipe keruntuhan geser. Sebagai solusi masalah maka lamina bambu disusun secara vertikal agar kerusakan geser yang terjadi pada balok laminasi berkurang sehingga meningkatkan kekuatan geser (Gunawan, 2007). Kemampuan suatu bahan dalam menahan beban akan berbeda tergantung dari banyak faktor, diantaranya adalah jenis bahan, ukuran, maupun arah kerja pembebanan. Janssen (1981) dikutip oleh Sulistijo (1988) menyatakan bahwa keteguhan lentur bambu dipengaruhi oleh tebal batang dan ada tidaknya buku.