BAB II DESKRIPSI TEMA - Penerapan Hasil Interpretasi Bentuk Rumah Tradisional Karo terhadap Perancangan Rumah Tinggal Kontemporer

BAB II DESKRIPSI TEMA

2.1 Pengertian Tema

  Kata Hermeneutika memiliki makna sebagai interpretasi, yang menurut penafsiran adalah “prosesatau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunaka yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan)”.

  Menurut definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika dibutuhkan. Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dll) cukup jelas maknanya, objek tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat

   merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya.

  Didalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat karya Dr. Kaelan M.S. dikatakan bahwa Hermeneutika dapat dijadikan sebuah metode dari sebuah penelitian, yang merupakan metode yang sangat mendasar dalam ilmu-ilmu humaniora, terutama dalam ilmu filsafat. Data yang dikumpulkan dari sumber data dalam penelitian kemudian dianalisa, selain untuk diklasifikasi juga dikelompokkan serta dilakukan display data sehingga kandungan nilai yang ada dapat ditangkap. Analisis dilakukan oleh peneliti sendiri, dan relevan untuk digunakan dalam penafsiran berbagai gejala, peristiwa, simbol dan nilai yang terkandung dalam unsur

   kebudayaan yang muncul pada fenomena kehidupan manusia.

  2.1.1 Hermeneutika, filosofis terhadap arti interpretasi Hermeneutika sebagai sebuah kata kerja Yunani, harmeneuin (menafsirkan) dan

   kata bendanya adalah hermeneia (interpretasi) .

  Martin Heidegger, yang melihat filsafat itu sendiri sebagai “interpretasi”, secara eksplisit menghubungkan filsafat-sebagai-hermeneutika dengan legenda Yunani tentang Dewa Hermes. Hermes diceritakan merupakan pembawa pesan takdir.

  

Herme>neuein berarti mengungkap sesuatu yang membawa pesan, sedangkan

  merupakan kata yang terdapat pada pernyataan-pernyataan

  herme>neeisin ton theon

  pujangga sebperti Sokrates dalam dialog Ion-nya, yang berarti utusan Tuhan. Maka, dengan menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari Hermeneutika dan Hermeneutis mengasumsikan “proses membawa sesuatu untuk dipahami”.

  Mediasi dan proses membawa pesan agar dipahami yang dilakukan oleh Hermes ini terkandung didalam semua tiga bentuk makna dasar dari herme>neuein dan herme>neia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja sebagai berikut: 41 1. Mengungkapkan kata (to say).

  2. Menjelaskan (to explain).

  3. Menterjemahkan (to translate).

  Ketiga makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Dengan demikian interpretasi mengacu kepada tiga persoalan yang berbeda, yaitu: (1) pengucapan lisan; (2) penjelasan yang masuk akal; (3) transliterasi

   dari bahasa lain, yang kesemuanya mengarah pada pemahaman .

  Seiring dengan perkembangan waktu, pada masa modern, Hermeneutika juga mengalami pengembangan definisi, yaitu dalam enam bentuk yang berbeda. Sejak kemunculannya, Hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip- prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan secara kronologisnya sebagai berikut: 1.

  Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel.

  Pemahaman paling awal dari Hermeneutika muncul pada Bibel yang merujuk kepada justifikasi historis karena penggunaannya yang muncul pada buku-buku yang menginformasikan kaidah eksegesis kitab suci (skriptur) di era modern. Peristiwa kemunculan kata tersebut ada di sebuah judul buku karya J.C. Dannhauer, Hermeneutica sacra sive methodus

   43 exponendarum sacrarum litterarum, yang diterbitkan pada 1654.

  2. Hermeneutika sebagai metodologi filologi secara umum.

  Perkembangan rasionalisme, dan bersamaan dengannya, lahirnya filologi klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh besar terhadap Hermeneutika

   Bibel. Disana muncul metode kritik historis dalam teologi; baik pada

  interpretasi Bibel “gramatis’ maupun “historis”, keduanya menegaskan bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat diaplikasikan pada buku yang lain. Misalnya, dalam buku pedoman Hermeneutis dari Ernesti tahun 1761, yang menyatakan bahwa: “pengertian

  verbal kitab suci harus didetermenasikan dengan cara yang sama ketika kita

   mengetahui hal itu pada buku-buku lain .” Lessing juga pernah berkata

  bahwa: “Kebenaran aksidental historis tak pernah bisa menjadi bukti dari

   kebenaran pikiran .” Melalui pernyataan-pernyataan tersebut, dapat ditarik

  kesimpulan bahwa, tantangan interpretasi selanjutnya adalah untuk membuat Bibel relevan dengan pikiran rasional manusia.

  3. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.

  Schleiermacher mempunyai distingsi tentang pemahaman kembali arti kata Hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman. Konsepsi 45 Hermeneutika yang ia lakukan melebihi konsep Hermeneutika sebagai

  Hans-Joachim Kraus, Geshichte der Historisch-kritishen Erfoschung der Alten Testaments von der 46 Reformation bis zur Gegenwart,

chapter 3 h.70-102

  sejumlah kaidah dan berupaya membuat Hermeneutika sistematis-koheren, sebuah ilmu yang mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam sebuah dialog. Hasilnya adalah hermeneutika umum (allgemeine hermeneutik) yang prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai pondasi bagi semua ragam interpretasi teks.

  4. Hermeneutika sebagai Fondasi Metodologi bagi gesteswessenhshaften.

  Wilhelm Dilthey, penulis biografi Scheliermacher dan salah satu pemikir filsafat besar pada akhir abad ke-19, melihat hermeneutika sebagai inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften, yaitu semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi dan tulisan manusia. Untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia, apakah itu berkaitan dengan hukum, karya sastra maupun kitab suci, membutuhkan tindakan pemahaman historis.

  5. Hermeneutika sebagai Fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial.

  Hermeneutika dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu dan kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenchaften, tetapi lebih kepada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Heidegger, seorang filosofis Jerman mengindikasikan bahwa pemahaman dan interpretasi merupakan model fondasional keberadaan manusia. Dengan demikian, Hermeneutika Dasein Heidegger melengkapi, khususnya sejauh ia mempresentasikan ontologi pemahaman, ia meneliti bahwa Hermeneutika bukan hanya isi dari suatu buku atau teks, melainkan sebuah metode yang memberikan pembuktian keberadaan manusia.

  Hermeneutika dibawa selangkah lebih jauh, ke dalam kata linguistik, dengan pernyataan kontroversial Gadamer, bahwa “Ada (Being) yang dapat dipahami, adalah bahasa.” Hermeneutika adalah pertemuan dengan “Ada” melalui bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter linguistik realitas manusia dan Hermeneutika larut kedalam persoalan-persoalan yang sangat filosofis dari relasi bahasa dengan “Ada”, pemahaman, sejarah, eksistensi dan realitas.

6. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi, baik recollective maupun iconoclastic.

  Paul Ricoeur, dalam De’lintretation (1965), mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam Hermeneutika. Berdasarkan dari pernyataannya, “yang kita

  maksudkan dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, adalah sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang

   sebagai sebuah teks .” Psikoanalisa, khususnya interpretasi mimpi, merupakan bentuk yang nyata akan hermeneutika yang dimaksud oleh Ricoeur. Unsur-unsur situasi hermeneutis semuanya terdapat disana: a.

  Mimpi adalah teks, yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik.

  b.

  Psikoanalisa, merupakan alat menginterpretasi untuk menterjemahkan penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna tersembunyi.

  Maka, yang dimaksud oleh Ricoeur bahwa objek interpretasi tidak sebatas dalam teks di buku, tetapi dapat berupa teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos dan simbol yang terdapat dalam masyarakat dan kebudayaan. Hermeneutika yang dimaksud oleh Ricoeur adalah interpretasi yang digunakan manusia untuk meraih makna di

  

  balik mitos dan simbol. Studi Ricoeur membedakan antara simbol univocal dan equivocal. Simbol univocal adalah tanda dengan satu makna yang ditandai, seperti simbol-simbol dalam logika simbol. Sementara simbol equivocal adalah tanda yang memiliki multi-makna (multiple meaning) yang dapat membentuk kesatuan semantik antara makna yang nampak dan memiliki signifikasi mendalam terhadap kandungan yang ada dibalik makna tersebut.

  2.1.2 Metode Hermeneutika dalam proses desain Kaidah dan metode dari Hermeneutika tidak dapat terlepas dari teori yang pertama kali dikemukakan oleh Martin Heidegger dan

  hermeneutic circle,

  Hans-Georg Gadamer, yang menjelaskan bahwa ”hermeneutical circle has to do with

  

the circular relation of the whole and its parts in any event of interpretation. We

cannot understand the meaning of a part of a language event until we grasp the

meaning of the whole; we cannot understand the meaning of the whole until we grasp

   the meaning of the part; understanding is circular”

  Dari teori diatas dapat dilihat bahwa kita tidak akan dapat mengerti maksud dari kata-kata yang membuat suatu kalimat, hingga kita meletakkannya dalam konteks kalimat tersebut secara keseluruhan; dan kita tidak dapat mengerti arti dari keseluruhan kalimat hingga kita mengerti arti dari kata-kata yang terdiri didalamnya.

  Pernyataan ini dikaitkan dalam berarsitektur oleh Profesor University of Sydney, Adrian Snodgrass dan Richard Coyne dalam salah satu jurnal penelitian mereka, ”the

  

meaning of a concept depends on the context (or the horizon) within which it occurs,

   but this context is made up of the concepts to which it gives meaning”

  Perbedaan antara pengaplikasian dari hermeneutic cycle dan metode proyeksi dalam arsitektur telah diperdebatkan oleh arsitek-arsitek Adrian Snodgrass dan Richard Coyne, bahwa “when designing, designers are continually being questioned.

  

They can facilitate that process by laying themselves open to the questions, leaving

50

themselves vulnerable, at risk, by taking the questions as a probing of their

Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson, London, Basil

51 Blackwell, 1962; Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, London, Sheed and Ward, 1975

Snodgrass, Adrian and Richard Coyne (1997) Is Designing Hermeneutical? Architectural

  

prejudgments; or they can proceed in a on-sided manner, asking questions of the

situation, but protecting their pre-established biases by not allowing themselves to be

  

questioned in return.” (Snodgrass, Coyne, 2006:47) . Hal ini berarti jika metode

  proyeksi memiliki tujuan pada hasil produk, maka hermeneutic cyle memiliki tujuan pada prosesnya seperti tergambar pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Perbedaan Tujuan dari Metode Proyeksi dan Hermeneutic Cycle

  \\ Sumber: Jurnal The Interpretation as a Method of Design or the Designer as the

  Interpreter

  Schön mengatakan bahwa desain adalah ”reflection-in-action”, yang mana merupakan percakapan reflektif dengan sebuah situasi. ”The principle is that you

  

work simultaneously from the unit and from the total and then go in cycles- back and

   forth, back and forth...”

  52 Snodgrass, A., Coyne, R. (2006). Interpretation in Architecture: Design as a Way of Thinking, 53 Routledge, London.

  Donald A. Schön, The Reflective Practitioner—How Professionals Think in Action, New York,

  Kita memulai dengan sebuah disiplin, yang mana di dalam hermeneutika, adalah proyeksi dari masa pra-pemahaman. Disiplin proyeksi ini, menurut Schon, adalah sebuah ”apabila”, yang diadopsikan untuk menemukan konsekuensi dan akan selalu bisa berubah nantinya. Seorang desainer akan memulai mendesain dengan membentuk sebuah situasi dalam imajinasinya. Situasi ini nantinya akan ”berbicara kembali” dan desainer akan merespon feedback dari situasi tersebut dengan ”reflection-in-action” baik dari segi problem konstruksi, strategi aksi ataupun model sebagai fenomena. Proses ini akan berkembang dalam sebuah lingkaran, ”back and

  

forth, back and forth”. Pada proses ini pula, seorang desainer bergerak secara sirkular

  bagaikan membentuk jaring yang terdiri dari konsekuensi, implikasi, apresiasi dan langkah kedepan. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Diagram Proses Desain dengan Interpretasi

  Sumber: Jurnal TIMDDI

2.2 Elaborasi Tema

  Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek.

  Untuk dapat membuat interpretasi, lebih dahulu harus memahami atau mengerti. Mengerti dan interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar.

  Hukum Betti tentang interpretasi ”Sensus non est inferendus sed efferendus makna bukan diambil dari kesimpulan tetapi harus diturunkan. Penafsir tidak boleh bersifat pasif tetapi merekonstruksi makna. Alatnya adalah cakrawala intelektual penafsir. Pengalaman masa lalu, hidupnya saat ini, latar belakang kebudayaan dan sejarah yang dimiliki.

  2.2.1 Relevansi Hermeneutika dan arsitektur Menurut penelitian yang dilakukan oleh Moh.Ali Topan, seorang peneliti dari

  Universitas Trisakti, dalam judul jurnalnya, Memahami Metode Hermeneutika dalam Studi Arsitektur, Relevansi Hermeneutika dan Arsitektur terdiri dari 6 poin, sebagai berikut:

1. Mengakui adanya pengaruh faktor-faktor non-fisik, selain faktor-faktor fisik didalam penciptaan arsitektur/kota.

  2. Memberi peluang pemahaman terhadap karya-karya arsitektur kota, khususnya terhadap karya-karya tradisional, dengan demikian memperkaya pemahaman atas makna arsitektur atau kota dalam hubungan dengan masyarakat penghuninya.

  3. Menciptakan dan mendorong terbentuknya arsitektur dan kota yang bermakna yang terkait dengan warisan budaya masyarakat.

  4. Memberi peluang arsitektur/kota tidak bermakna tunggal, sehingga keunikan lokal tetap dapat tergali.

  5. Meningkatkan kesadaran atau sensitifitas akan perbedaan-perbedaan dalam karya arsitektur dan kota.

  6. Mengakui keberadaan arsitektur atau kota tradisional dengan unsur-unsur metaforis, simbolik maupun unsur mistiknya.

  Arsitektur bukan hanya tentang proporsi, komposisi, teknis konstruksi tetapi juga tentang menemukan diri. Budaya membantu manusia menemukan dan memiliki integritas. Dalam dunia saat ini, manusia dituntut berjalan makin cepat, bertindak cepat, berpikir cepat. Tidak ada cukup ruang dan waktu bagi perenungan. Mungkin juga bagi budaya. Perlahan-lahan tapi pasti, kita sedang menyaksikan evolusi pemusnahan budaya yang beragam. Keseragaman (arsitektur) terjadi dari Aceh sampai Papua. Arsitektur tradisional hanya masa lalu yang layak dilestarikan saja tanpa dikembangkan sesuai konteks masa kini, seolah-olah seperti itulah yang terjadi.

2.3 Studi Banding

  Studi banding terdiri dari arsitek dunia Barat dan dunia Timur untuk membandingkan bagaimana cara pikir dari dua arsitek dengan aliran yang berbeda.

  2.3.1 Interpretasi arsitek Barat Metode dalam mendesain telah diperdebatkan sejak tahun 1950-an, dan teori akan metode desain terus berkembang hingga saat itu. Carlo Scarpa menemukan pertanyaan-pertanyaan dari pernyataan Frank Lloyd Wright yang mengatakan bahwa “architecture may be poetry”. Frank mengemukakan bahwa arsitektur adalah ibarat sebuah puisi. Bagi Scarpa, arsitektur hanya sesekali menjadi puisi. Kehidupan sosial tidak selamanya meminta dan membutuhkan puisi. Tidak perlu berpikiran untuk membuat arsitektur yang puitis. Puisi lahir dari sebuah objek dan muncul dari objek itu sendiri. Pertanyaannya adalah, kapan ia harus dibuat dengan puisi dan kapan

   tidak? (Scarpa cit in Dal Co-Mazzariol 1987:283).

  Berpikir lebih lanjut, Carlo Scarpa mengevaluasi semua variabel projeknya sebelum mengoperasikannya, namun tidak dimulai dari ruang, melainkan dari sebuah detail, yaitu bagian dari keseluruhan desain. Dalam kasus dari salah satu proyeknya, Castelvecchio Museum di Verona, Scarpa melakukan berbagai percobaan terhadap pintu masuk dari sebuah museum, dan memutuskan untuk menggunakan satu pintu masuk dan keluar. Bertindak sebagai seorang interpretor, Carlo Scarpa memahami museum tersebut sebagai sebuah organisme, proses proyeksi untuk membuatnya menjadi projek berdasarkan ketidakleluasaan yang memberikan karakter dari proses “Scarpian” sebagai sebuah interpretasi. Dalam pekerjaan Scarpa tersebut, bagian- bagian kecil dari sebuah desain diidentifikasikan sebagai dialog terhadap projek tersebut yang menghasilkan ruang, makna, fungsi, arsitektur dan pemakai.

  Scarpa melakukan sebuah modus operandi, yaitu menginterpretasikan penyesuaian diatas dan mengintegrasikan mereka kedalam sebuah bentuk tanggung jawab dan pengalaman yang dapat dilihat dalam bentuk komposisi bersatunya masa lampau dan masa sekarang. Tidak selalu tertarik dengan proyek yang puitis, namun sebuah proyek yang sempurna untuk digunakan oleh semua. Interior dari museum Castevecchio dapat dilihat pada Gambar 2.3, sedangkan lokasi pintu masuk dari bangunan ini dapat dilihat pada denah Gambar 2.4.

Gambar 2.3 Interior museum Castelvecchio, Vienna, Italia

  Sumber: Dal Co, F., Mazzariol, G. (1987). Carlo Scarpa, 1906- 1978, Edizione Electa, Milan

Gambar 2.4 Denah Museum Castelvecchio dengan satu

  Pintu Keluar dan Masuk Sumber: Dal Co, F., Mazzariol, G. (1987). Carlo Scarpa,

  1906-1978, Edizione Electa, Milan

  2.3.2 Interpretasi arsitek Timur Arsitek Jepang memiliki filosofi kesederhanaan yang juga tidak terlepas dari ajaran kepercayaan yang mereka anut. Untuk mencapai kesederhanaan dalam desain, kreativitas dan imaginasi untuk menghubungkannya dengan konsep arsitektur dilakukan dengan cara proyeksi dari elemen desain seperti kolom, balok dan taman.

  Arsitek Charles Jenks dalam bukunya Modern mouvment en Architecture (1973) mengatakan bahwa paradoks modernitas arsitektur Jepang memberikan sebuah bentuk-bentuk yang baru, ekspresi dari masa kini yang mengedepankan elemen dari desain dan teknologi serta perhatian terhadap detail dan terintegrasi dengan alam.

  Setelah perang dunia kedua, Jepang bereksperimen dengan transformasi, termasuk dalam bidang arsitektur untuk menerima budaya tradisional Jepang (Shinto) dan budaya baru Buddha, yang mana memiliki konsep baru dan modern dan memiliki kesamaan basis, yaitu kesederhanaan. Sebagai bukti dari modernitas yang terjadi di Jepang adalah tidak dipakainya kayu sebagai material pokok, namun menggunakan baja dan beton.

  Hasil interpretasi kesederhanaan dari arsitektur modern Jepang terhadap arsitektur tradisionalnya diterjemahkan dalam tiga bentuk utama, yaitu:

  1. Konsep transparan untuk menguatkan konsep kesederhanaan dengan material modern.

  2. Kejujuran struktur, dimana struktur diekspos dan ditonjolkan sebagai elemen.

  3. Integrasi dengan alam, dimana bangunan tidak berusaha didesain untuk lebih menonjol dibandingkan alam sekitarnya dan memiliki koneksi.

  Salah satu contoh arsitek Jepang yang melakukan proses modernitas arsitektur Jepang dengan metode interpretasi adalah Kenzo Tange. Melalui partisipasinya dalam kompetisi-kompetisi arsitektur, Tange melakukan upaya interpretasi dari arsitektur monumental Jepang dan hubungannya dengan tradisi, kreasi seni, lingkungan dan skala. Prinsip Tange dalam kemonumental-an menunjukkan pengaplikasian filosofi modern. Tange merupakan satu dari arsitek-arsitek pertama yang mengacu kepada teori hermeneutik Heidegger (1936), dengan esai filosofis yang berjudul “Eulogy to

  

Michelangelo: introduction to a study of Le Corbusier ” (1939), dimana dia bertujuan

  memahami kemurnian dari kreasi arsitektural Le Corbusier. Realisasinya adalah bangunan The Greater East Asian Co-Prosperity Sphere Memorial, dikenal dengan Hiroshima Peace Memorial Park yang ia menangkan dalam kompetisi Daitoa

55 Competition , 1942.

  Skema arsitektural Tange untuk Daitoa Memorial mengacu pada arsitektur asli Jepang, dan lebih tepatnya mengacu pada satu bangunan, Kuil Ise, yang hancur dan dibangun kembali setiap 20 tahun, dan merupakan simbol dari keindahan abadi dari Jepang. Dalam catatan keterangan dari kompetisi tersebut, Tange mengkritik monumentalitas barat yang memiliki karakter kuantitatif dengan bentuk-bentuk abstrak yang kehilangan kontak dengan alam.Dalam arsitektur Jepang, penyembahan terhadap alam telah menjadikan sebuah tempat menjadi monumental, dan menjadikannya ruang dengan pengalaman. Hal inilah yang ia terapkan dalam perancangan Daitoa Memorial yang mengambil koneksi bangunannya dengan alam: ia terbuka dengan lanskap disekelilingnya dan terhubung dengan perancangan kota dan jaringan teritorial. Fasade baru dari bangunan ini dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Hiroshima Peace Memorial Park

  Sumber: Benoît Jacquet, A reinterpretation of the Origins of 55 Japanese Architecture in Tange Kenzô’s Monumental Architecture

  Benoît Jacquet, A reinterpretation of the Origins of Japanese Architecture in Tange

  Proses desain dari bangunan ini terintegrasi dalam sebuah tempat dimana manusia bersatu dengan keseluruhan dimensi lingkungannya, sesuai dengan teori dari Heidegger dalam bukunya Quadriparti, 1945, dan arsitektur bukanlah sebuah objek yang terisolir, melainkan sesuatu yang terkoneksi dengan kota dan perencanaan teritorial. (Gledion, Leger, Sert, 1943).