Transformasi Bentuk Arsitektural pada Rumah Tinggal Suku Karo

(1)

TRANSFORMASI BENTUK ARSITEKTURAL PADA RUMAH

TINGGAL SUKU KARO

SKRIPSI

Oleh

PHILIP PRUSIHEAN SEMBIRING

110406096

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

TRANSFORMASI BENTUK ARSITEKTURAL PADA RUMAH

TINGGAL SUKU KARO

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik di Departemen Arsitektur

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

PHILIP PRUSIHEAN SEMBIRING

110406096

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(3)

PERNYATAAN

TRANSFORMASI BENTUK ARSITEKTURAL PADA RUMAH

TINGGAL SUKU KARO

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2015


(4)

Judul Skripsi : TRANSFORMASI BENTUK ARSITEKTURAL PADA RUMAH TINGGAL SUKU KARO Nama Mahasiswa : Philip Prusihean Sembiring

Nomor Pokok : 110406096 Program Studi : Arsitektur

Tanggal Lulus : 8 Juli 2015 Koordinator Skripsi,

Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc.

Ketua Program Studi,

Ir. N Vinky Rahman, M.T. Menyetujui

Dosen Pembimbing,


(5)

Telah diuji pada Tanggal : 8 Juli 2015

Panitia Penguji Skripsi

Ketua Komisi Penguji : Dr. Ir. Nelson M. Siahaan, Dipl. T.P., M. Arch. Anggota Komisi Penguji : 1. Salmina Wati Ginting, S.T, M.T.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kegigihan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknik Arsitektur di Departemen Arsitektur, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Penulis juga ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Salmina Wati Ginting, S.T, M.T., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Bapak Dr. Ir. Nelson M. Siahaan, Dipl. T.P., M, Arch. dan Bapak Hajar Suwantoro, S.T., M.T. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan banyak saran yang bermanfaat dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

3. Bapak Ir. N. Vinky Rachman, M.T. selaku Ketua Program Studi Sarjana Teknik Arsitektur dan Bapak Ir. Rudolf Sitorus M.L.A. selaku Sekretaris Program Studi Sarjana Teknik Arsitektur.

4. Ibu Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc., selaku dosen koordinator skripsi, serta seluruh staff pengajar Departemen Arsitektur atas bimbingan selama masa perkuliahan.


(7)

5. Orang tua penulis Ayahanda tercinta Bapak R. Sembiring, S.E. dan Ibunda tercinta Ibu Lianawati, B.Sc. yang telah banyak mendukung mulai dari nasehat, tenaga, perhatian, doa, serta kebutuhan finansial dan juga kasih sayangnya selama perkuliahan sehingga menjadibagiandari motivasi untuk menyelesaikan studi dan skripsi penulis di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

6. Kekasihku tercinta Yuni Arnita Daeli. Terima kasih karena telah memberikan semangat, doa, tenaga dan cinta kasihnya kepada penulis sehingga menjadi bagian dari motivasi dalam meyelesaikan skripsi.

7. Rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan motivasi serta dorongan hingga selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sebagai bahan penyempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi dapat memberikan manfaat yang besar bagi semua pihak.

Medan, Juli 2015 Penulis,

Philip P. Sembiring NIM. 110406096


(8)

Abstrak

Rumah adat Karo sangat terkenal akan keindahan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh dihiasi dengan ornamen - ornamennya yang kaya akan nilai - nilai filosofis. Bentuk, fungsi dan makna rumah adat Karo menggambarkan hubungan yang eratantara masyarakat Karo dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam lingkungannya. Pemilihan bahan untuk membangun rumah adat Karo serta prosespembangunannya yang tanpa menggunakan paku, besi atau pengikat kawat,melainkan menggunakan pasak dan tali ijuk semakin menambah keunikan rumah adat Karo. Pembangunan rumah adat Karo tidak terlepas dari jiwa masyarakat Karo yang tak lepas dari sifat kekeluargaan dan gotong-royong. Rumah adat menggambarkan kebesaran suatu Kuta ( kampung ), karena dalampembangunan sebuah rumah adat membutuhkan tenaga yang besar dan memakanwaktu yang cukup lama. Oleh karena itu pembangunan Rumah Adat dilakukansecara bertahap dan gotong royong yang tak lepas dari unsur kekeluargaan.Kegiatan gotong - royong ini terutama digerakkan oleh sangkep sitelu ( sukut,kalimbubu dan anak beru ) yang dibantu oleh anak Kuta ( masyarakat kampung setempat ). Keunikan Arsitektur Karo pada bangunan Rumah tinggal suku Karo dapat meningkatkan identitas diri Kota Berastagi. Bagi para Turis Lokal maupun Turis Mancanegara yang datang berkunjung ke Kabupaten Karo, dengan adanya tampilan bangunan Rumah tinggal suku Karo, mereka dapat merasakan nuansa budaya Karo yang menjadi ciri khas dari Kabupaten Karo. Dengan adanya elemen-elemen Arsitektur Karo yang diterapkan pada bangunan rumah tinggal suku Karo di masa sekarang ini, maka dapat meningkatkan nilai identitas diri dari Kabupaten Karo. Kemudian menghadirkan nuansa budaya Karo dalam bantuk sebuah bangunan Rumah tinggal suku Karo di kawasan wisata yaitu Kabupaten Karo.


(9)

Abstract

Traditional House of Karo is very famous for its specific, strong and firm that decorated by ornaments with a high philosophy value. The shape, function and the meaning of traditional house of Karo depicts a closed relationship between the ethnic of Karo and the other ones and between human being and environment. The choosing of building material of traditional house of Karo and its construction process without using nail, iron or binding wire but it only use pegas and fibers rope increase the unique of traditional house of Karo. The development of traditional house of Karo is not separated from the life of Karo with the friendship and mutual cooperation. Traditional house indicates the greatness ofKuta (rural village) because the development of the traditional house requires the workers and a long time. Therefore, the development of traditional house must be stepo by step and in mutual cooperation in the kinship system and mutual cooperation that moved by Sangkel sitelu (sukut, kalimbubu and anak beru) that helped by Anak Kuta (local people). the unique of architecture of Karo on traditional house of Karo will increase the identity of Berastagi city. For the local or foreign tourist who visit the Karo regency, the appearance of traditional house of Karo ethnic enable them to feel the cultural value of Karo as special characteristif of Karo Regency. By the elements of Karo Architecture that applied to the house of Karo ethnic in present day will increase the self identity of Regency of Karo. And to present the culture of Karo in a form of house of Karo in the tourism area in Karo Regency.

Keywords : Traditional House of Karo, Architecture of Karo, Culture of Karo, Regency of Karo.


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK... ... iii

DAFTAR ISI... ... v

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Batasan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Berpikir ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Tinjauan Arsitektur Karo ... 7

2.1.1 Pola Kampungan ... 7

2.1.2 Arah Rumah Tradisional ... 7

2.1.3 Tipologi Bangunan rumah Adat Karo ... 8


(11)

2.1.5 Stuktur Rumah Siwaluh Jabu ... 19

2.1.6 Konstruksi Rumah Siwaluh Jabu ... 20

2.2 Transformasi Arsitektur ... 26

2.2.1 Pengertian Transformasi ... 26

2.2.2 Kategori dan Strategi Transformasi Arsitektur ... 29

2.2.3 Proses dan faktor Yang Menyebabkan Transformasi ... 31

2.3 Kajian Literatur Arsitektur dengan Judul Kalangsungan Bentuk Tradisional dari Rumah Batak di Pulau Samaosir ... 33

2.3.1. Dr. Ing. Himasari Hanan (2013), Kelangsungan Bentuk Tradisional Dari Rumah Batak di Pulau Samosir... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1 Jenis Penelitian ... 46

3.2 Variabel Penelitian... 46

3.3 Populasi dan Sampel ... 48

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49

3.5 Obyek Penelitian ... 50

3.5.1 Rumah Tipe 1 di Desa Lingga ... 51

3.5.2 Rumah Tipe2 di Desa lingga ... 52

3.5.3 Rumah Tipe 3 di Desa Lingga julu ... 52

3.5.3 Rumah Tipe 4 di Gurusinga ... 52

3.6 Metode Analisis Data ... 53

BAB IVANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 54


(12)

4.2 Tipe 1 Rumah Karo Keluarga Tarigan ... 58

4.2.1 Kepala Bangunan ... 58

4.2.2 Badan Bangunan ... 60

4.2.3 Kaki Bangunan ... 63

4.2.4 Denah Bangunan Utama ... 66

4.2.5 Bangunan Tambahan ... 70

4.3 Tipe 2 Rumah Karo Keluarga Sinulingga ... 79

4.3.1 Kepala Bangunan ... 79

4.3.2 Badan Bangunan ... 82

4.3.3 Kaki Bangunan ... 86

4.3.4 Denah bangunan ... 88

4.3.5 Bangunan Tambahan ... 92

4.4 Tipe 3 Rumah karo Keluarga Mahmud Ginting ... 101

4.4.1 Kepala Bangunan ... 101

4.4.2 Badan Bangunan ... 104

4.4.3 Kaki Bangunan ... 107

4.4.4 Denah Bangunan ... 110

4.4.5 Bangunan Tambahan ... 114

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN ... 123

5.1 Kesimpulan ... 123

5.2 Saran ... 125


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Variabel Penelitian ... 47 Tabel 4.1 Perbandingan Denah, Bangunan Utama, Bangunan Tambahan


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Diagram Kerangka berpikir ... 6

Gambar2.1 Rangka Atap Rumah Adat Karo ... 9

Gambar 2.2 Aksonometri Rumah Adat Karo ... 10

Gambar 2.3 Nama Nama Dari Omanen Pada Atap Rumah Adat Karo ... 11

Gambar 2.4 Rumah Sianjung anjung ... 15

Gambar 2.5 Jenis Atap Rumah Sianjung-Anjung ... 15

Gambar 2.6 Jenis Atap Rumah Mecu ... 16

Gambar 2.7 Jenis Atap Rumah Mecu ... 15

Gambar 2.8 Rumah Sangka Manuk ... 15

Gambar 2.9 Rumah Sendi ... 17

Gambar 2.10 Detail Struktur Rumah Sendi ... 18

Gambar 2.11 Struktur Rumah Siwaluh Jabu ... 19

Gambar 2.12 Sketsa Pondasi Rumah Adat Karo ... 21

Gambar 2.13 Tangga Rumah Adat Karo ... 21

Gambar 2.14 Serambi (Ture-Naki-naki) ... 22

Gambar 2.15 Dinding Rumah Adat Karo ... 23

Gambar 2.16 Suhi Cuping (sudut dinding) ... 23

Gambar 2.17 Atap pada Rumah Adat Karo ... 24

Gambar 2.18 Ornamen Pada Rumah Adat Karo ... 25

Gambar 2.19 Ornamen Pada Rumah Adat Karo ... 26


(15)

Gambar 2.21 Tipe 1 Huta Siallagan ... 35

Gambar 2.22 Tipe 2 Huta Siallagan ... 36

Gambar 2.23 Tipe 3 Huta Siallagan ... 37

Gambar 2.24 Tipe 4 Huta Siallagan ... 38

Gambar 2.25 Tipe 5 Huta Siallagan ... 39

Gambar 2.26 Tipe 6 Huta Siallagan ... 40

Gambar 3.1 Rumah Tipe 1 di Desa Lingga ... 51

Gambar 3.2 Rumah Tipe 2 di Desa Lingga ... 52

Gambar 3.3 Rumah Tipe 3 di Desa Lingga Julu ... 52

Gambar 3.4 Rumah Tipe 4 di Desa Guru Singa ... 34

Gambar 4.1 Peta Geografis Kawasan Penelitian Desa Lingga Dan Lingga Julu... ... 55

Gambar 4.2 Peta Geografis Kawasan Penelitian Desa lingga Dan Lingga Julu... ... 56

Gambar 4.3 Tipe 1 Tampak Depan Rumah Karo Keluarga Tarigan dan Lingga... ... 58

Gambar 4.4 Rumah Adat Karo Mecu ... 58

Gambar 4.5 Rumah Adat Karo Sianjung-anjung ... 58

Gambar 4.6 Atas Bertingkat Susun Dua Rumah Karo Keluarga Taringan Desa Lingga ... 59

Gambar 4.7 Atap Bertingkat Susun Dua Rumah Karo Tarigan Desa Lingga... ... 59


(16)

Gambar 4.9 Tipe 1 Tampak Dari Depan Rumah Keluarga Tarigan Desa

Lingga... ... 60

Gambar 4.10 Tangga Masuk Pada Tipe 1 Rumah Karo ... 61

Gambar 4.11 Jendela Rumah Pada Tipe 1 ... 62

Gambar 4.12 Pintu Rumah Tipe 1 ... 62

Gambar 4.13 Dinding Rumah Tipe 1 ... 63

Gambar 4.14 DindingRumah Tipe 1 ... 63

Gambar 4.15 Tiang Sokong Pada Rumah Tipe 1 ... 65

Gambar 4.16 Tiang Pondasi Pada Rumah Tipe 1 ... 65

Gambar 4.17 Denah Rumah Karo Keluarga Tarigan Desa Lingga ... 66

Gamabr 4.18 Interior Rumah Karo Keluarga Tarigan Desa Lingga ... 66

Gambar 4.19 Denah Rumah Adat Karo ... 68

Gambar 4.20 Denah Banguna Utam Tipe 1 Rumah Karo Keluarga Tarigan ... . 69

Gambar 4.21 Tipe 1 Tampak Dari Depan Rumah Karo Keluarga Tarigan Desa Lingga ... 70

Gambar 4.22 Rumah Adat Karo ... 70

Gambar 4.23 Denah Tipe 1 Rumah Adat Karo Keluarga Tarigan Desa Lingga... ... 71

Gambar 4.24 Denah Bangunan Tambahan Bangunan Tipe 1 Rumah Karo Keluarga Tarigan Desa Lingga ... 72

Gambar 4.25 Tampak Depan Tipe 1 Pada Rumah Karo Keluarga Tarigan ... 73


(17)

Gambar 4.27 Tampak Samping Kiri Tipe 1 Rumah Karo Keluarga Tarigan 75

Gambar 4.28 Tampak Samping KananTipe 1 Rumah Karo Keluarga Tarigan... ... 76

Gambar 4.29 Tampak Belakang Tipe 1 Rumah Karo Keluarga Tarigan ... 77

Gambar 4.30 Tampak Depan Rumah Karo Keluarga Tarigan Di Desa Lingga... ... 79

Gambar 4.31 Rumah Adat Karo Mecu ... 79

Gambar 4.32 Rumah Adat Sianjung-Anjung ... 79

Gambar 4.33 Atap Betingkat Susun 2 Rumah Karo Keluarga Sinulingga .... 81

Gambar 4.34 Atap Bertingkat Susun Dua Rumah Karo Keluarga Desa Lingga... ... 81

Gambar 4.35 Tipe Dua Tampak Rumah Karo Sinulingga Desa Lingga ... 81

Gambar 4.36 Tampak Depan Rumah Karo Keluarga Sinulingga Di Desa Lingga... ... 81

Gambar 4.37 Tipe 2 Tampak Rumah Karo Keluarga Sinulingga desa Lingga... ... 82

Gambar 4.38 Tipe 2 Tampak Rumah Karo Keluarga Sinulingga desa Lingga... ... 82

Gambar 4.39 Tangga Masuk Tipe 2 Pada Rumah Karo ... 83

Gambar 4.40 Jendela Pada Tipe 2 Pada Rumah Karo ... 84

Gambar 4.41 Pintu Rumah Pada Tipe 2 ... 84

Gambar 4.42 Dinding Rumah Tipe 2 ... 85


(18)

Gambar 4.44 Tiang Sokong Pada Rumah Adat Tipe 2 ... 87

Gambar 4.45 Tiang Pondasi Rumah Pada Tipe 2 ... 87

Gambar 4.46 Denah Rumah Karo Pada Keluarga Sinulingga Desa Lingga .. 88

Gambar 4.47 Interior Rumah Karo Keluarga Sinulingga Desa Lingga ... 88

Gambar 4.48 Denah Rumah Adat Karo ... 90

Gambar 4.49 Denah Bangunan Utama Tipe 2rumah Karo Sinulingga ... 91

Gambar 4.50 Tipe 2 Tampak Dari Depan Rumah Karo Sinulingga Desa Sinulingga ... 92

Gambar 4.51 Rumah Adat Karo ... 92

Gambar 4.52 Denah Tipe 1 Rumah Keluarga Tarigan Di Desa Lingga ... 93

Gambar 4.53 Denah Bangunan Tambahan Tipe 2 Rumah Karo Keluarga Sinulingga ... 94

Gambar 4.54 Tampakdari Depan Tipe Dua Keluaga Sinulingga ... 95

Gambar 4.55 Tampakdari Depan Tipe Dua Keluaga Sinulingga ... 96

Gambar 4.56 Tampak Samping Kiri Tipe 2rumah Keluaga Sinulingga ... 97

Gambar 4.57 Tampak Samping Kanan Tipe 2 Rumah Karo Keluarga Sinulingga... ... 98

Gambar 4.58 Tampak Samping Kanan Tipe 2 Rumah Karo Keluarga Sinulingga... ... 99

Gambar 4.59 Tipe 3 Tamapk Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting Di Desa Lingga ... 101

Gambar 4.60 Rumah Adat Karo Mecu ... 101


(19)

Gambar 4.62 Atap Bertingkat 3 Susun Rumah Karo Keluarga Mahmud

Ginting Desa Lingga Julu ... 102

Gambar 4.63 Atap Bertingkat2 Susun Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting Desa Lingga Julu ... 102

Gambar 4.64 Tampak Depan Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting Desa Lingga Julu ... 103

Gambar 4.65 Tipe 3 Tampak Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting Desa Lingga Julu ... 103

Gambar 4.66 Tampak Belakang Bangunan Tambahan RumahKaro Keluarga Mahmud Ginting Desa Lingga Julu ... 103

Gambar 4.67 Tampak Belakang Bangunan Tambahan Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting Desa Lingga Julu ... 103

Gambar 4.68 Tangga Masuk Tipe 3 Rumah Karo ... 104

Gambar 4.69 Jendela Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting ... 105

Gambar 4.70 Pintu Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting ... 106

Gambar 4.71 Dindingrumah Karo Keluarga Mahmud Ginting ... 107

Gambar 4.72 Dindingrumah Karo Keluarga Mahmud Ginting ... 107

Gambar 4.73 Tiang Sokong Pada Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting ... 109

Gambar 4.74 Tiang Sokong Pada Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting . 109 Gambar 4.75 Denah Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting ... 110

Gambar 4.76 Interior Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting ... 111


(20)

Gambar 4.78 Tipe 3 Tampak Depan Rumah Karo Mahmud Ginting ... 114 Gambar 4.79 Rumah Adat Karo ... 114 Gambar 4.80 Denah Tipe 3Rumah Karo Keluarga Mahmud Ginting ... 115 Gambar 4.81 Denah Bangunan Tambahan Rumah Karo Keluarga

Mahmud Ginting ... 116 Gambar4.82 Tampak Depan Tipe 3 Rumah Karo Keluarga Mahmud

Ginting ... 117 Gambar 4.83 Tampak depan tipe 3Rumah Karo Keluarga Mahmud

Ginting ... 117 Gambar 4.84 Tampak samping kiri tipe 3 Rumah Karo Keluarga

Mahmud Ginting ... 118 Gambar 4.85 Tampak samping kiri tipe 3 Rumah Karo Keluarga

Mahmud Ginting ... 119 Gambar 4.86 Tampak belakangtipe 3 Rumah Karo Keluarga


(21)

Abstrak

Rumah adat Karo sangat terkenal akan keindahan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh dihiasi dengan ornamen - ornamennya yang kaya akan nilai - nilai filosofis. Bentuk, fungsi dan makna rumah adat Karo menggambarkan hubungan yang eratantara masyarakat Karo dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam lingkungannya. Pemilihan bahan untuk membangun rumah adat Karo serta prosespembangunannya yang tanpa menggunakan paku, besi atau pengikat kawat,melainkan menggunakan pasak dan tali ijuk semakin menambah keunikan rumah adat Karo. Pembangunan rumah adat Karo tidak terlepas dari jiwa masyarakat Karo yang tak lepas dari sifat kekeluargaan dan gotong-royong. Rumah adat menggambarkan kebesaran suatu Kuta ( kampung ), karena dalampembangunan sebuah rumah adat membutuhkan tenaga yang besar dan memakanwaktu yang cukup lama. Oleh karena itu pembangunan Rumah Adat dilakukansecara bertahap dan gotong royong yang tak lepas dari unsur kekeluargaan.Kegiatan gotong - royong ini terutama digerakkan oleh sangkep sitelu ( sukut,kalimbubu dan anak beru ) yang dibantu oleh anak Kuta ( masyarakat kampung setempat ). Keunikan Arsitektur Karo pada bangunan Rumah tinggal suku Karo dapat meningkatkan identitas diri Kota Berastagi. Bagi para Turis Lokal maupun Turis Mancanegara yang datang berkunjung ke Kabupaten Karo, dengan adanya tampilan bangunan Rumah tinggal suku Karo, mereka dapat merasakan nuansa budaya Karo yang menjadi ciri khas dari Kabupaten Karo. Dengan adanya elemen-elemen Arsitektur Karo yang diterapkan pada bangunan rumah tinggal suku Karo di masa sekarang ini, maka dapat meningkatkan nilai identitas diri dari Kabupaten Karo. Kemudian menghadirkan nuansa budaya Karo dalam bantuk sebuah bangunan Rumah tinggal suku Karo di kawasan wisata yaitu Kabupaten Karo.


(22)

Abstract

Traditional House of Karo is very famous for its specific, strong and firm that decorated by ornaments with a high philosophy value. The shape, function and the meaning of traditional house of Karo depicts a closed relationship between the ethnic of Karo and the other ones and between human being and environment. The choosing of building material of traditional house of Karo and its construction process without using nail, iron or binding wire but it only use pegas and fibers rope increase the unique of traditional house of Karo. The development of traditional house of Karo is not separated from the life of Karo with the friendship and mutual cooperation. Traditional house indicates the greatness ofKuta (rural village) because the development of the traditional house requires the workers and a long time. Therefore, the development of traditional house must be stepo by step and in mutual cooperation in the kinship system and mutual cooperation that moved by Sangkel sitelu (sukut, kalimbubu and anak beru) that helped by Anak Kuta (local people). the unique of architecture of Karo on traditional house of Karo will increase the identity of Berastagi city. For the local or foreign tourist who visit the Karo regency, the appearance of traditional house of Karo ethnic enable them to feel the cultural value of Karo as special characteristif of Karo Regency. By the elements of Karo Architecture that applied to the house of Karo ethnic in present day will increase the self identity of Regency of Karo. And to present the culture of Karo in a form of house of Karo in the tourism area in Karo Regency.

Keywords : Traditional House of Karo, Architecture of Karo, Culture of Karo, Regency of Karo.


(23)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daerah Kabupaten Karo umumnya didiami oleh suku Karo. Tanah Karo sebagai hunian orang suku Karo memiliki peninggalan masa lalu yang merupakan hasil aktivitas kehidupan warganya, beberapa aspek kehidupan masyarakat Karo pada masa lalu dapat dikenali dari beberapa peninggalan budaya yang berupa objek arkeologis dan historis.

Kabupaten Karo di kenal dengan etnis Batak karo. Ciri khas akan keberadaan suku Karo bisa dilihat pada bahasa yang di gunakan oleh sebagian besar masyarakat yang bermukim di Kabupaten Karo, begitu juga dengan jajakan kulinernya yang khas, serta yang menjadi daya tarik tersendiri bagi Kabupaten Karo adalah pemandangan bangunan-bangunan yang terdapat di Kabupaten Karo kebanyakan memiliki ciri khas Rumah Adat Karo, yang berjejer di hampir setiap pinggir jalan di Kota tersebut, begitu juga dengan bangunan-bangunan pemerintahnya.

Desa Lingga terkenal dengan peninggalan rumah adat karo, melalui rumah adat ini kita akan mengetahui bagaimana kebudayaan masyarakat Karo. Rumah adat Karo sangat terkenal akan keindahan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh dihiasi dengan ornamen - ornamennya yang kaya akan nilai - nilai filosofis. Bentuk, fungsi dan makna rumah adat Karo menggambarkan hubungan yang eratantara masyarakat Karo dengan sesamanya dan antara manusia dengan


(24)

alam lingkungannya. Pemilihan bahan untuk membangun rumah adat Karo serta prosespembangunannya yang tanpa menggunakan paku, besi atau pengikat kawat,melainkan menggunakan pasak dan tali ijuk semakin menambah keunikan rumah adat Karo.

Keunikan Arsitektur Karo pada bangunan Rumah tinggal suku Karo dapat meningkatkan identitas diri Kota Berastagi. Bagi para Turis Lokal maupun Turis Mancanegara yang datang berkunjung ke Kabupaten Karo, dengan adanya tampilan bangunan Rumah tinggal suku Karo, mereka dapat merasakan nuansa budaya Karo yang menjadi ciri khas dari Kabupaten Karo. Dengan adanya elemen-elemen Arsitektur Karo yang diterapkan pada bangunan rumah tinggal suku Karo di masa sekarang ini, maka dapat meningkatkan nilai identitas diri dari Kabupaten Karo. Kemudian menghadirkan nuansa budaya Karo dalam bantuk sebuah bangunan Rumah tinggal suku Karo di kawasan wisata yaitu Kabupaten Karo.

Jika kita telusuri, peninggalan sejarah ditanah Karo hampir sulit ditemukan.Salah satunya rumah adat di tanah Karo hanya tinggal beberapa lagi karenakurangnya kesadaran dan biaya dalam pelestarian rumah adat ini. Ini dibuktikan di Desa Lingga kondisi rumah peninggalan nenek moyang Karo tersebut sangatmemprihatinkan. Dulu di Desa Lingga ini terdapat sekitar 28 rumah adat kini tinggal 2 buah lagi yang layak huni.

Akan tetapi dengan kondisi yang sangat miris melihat bahwa rumah adat Karo yang sudah banyak punah, ada beberapa rumah tinggal suku Karo yang berupaya menerapkan elemen-elemen dari Arsitektur Karo pada bangunannya,


(25)

sehingga keberlanjutan dari rumah adat Karo sedikit banyak masih dapat kita rasakan. Beberapa rumah tersebut tersebar di seluruh Kabupaten Karo, beberapa diantaranya ada di desa Lingga dan desa Lingga Julu. Meskipun beberapa elemen-elemen Arsitektur Karo yang diterapkan pada bangunan rumah tinggal suku Karo ini tidak sepenuhnya sama dengan elemen-elemen Arsitektur Karo pada rumah adat Karo yang aslinya. Pada rumah tinggal suku Karo secara arsitektural telah mengalami transformasi, hal ini disebabkan karena bangunan rumah tinggal suku Karo ini didirikan pada umumnya di masa setelah kemerdekaan, dimana kemajuan teknologi, tingkat ekonomi, status pekerjaan, dan juga agama yang telah masuk di lingkungan penduduk di Kabupaten Karo. Berbeda dengan rumah adat Karo yang aslinya yang didirikan pada masa prasejarah yaitu sekitar tahun 1860an. Pada masa itu pembangunan yang di lakukan masih sangat sederhana dan tradisional, kemudian sarana dan prasaran pendukung dari kegiatan pembangunan juga masih sangat tradisional, serta proses dari pembangunan masih menggunakan kepercayaan nenek moyang pada masa itu karena belum masuknya agama, faktor tingkat ekonomi juga menjadi salah satu dampak bagi proses pembangunan dan bentuk bangunan rumah adat Karo pada masa itu.

Keunikan Arsitektur Karo inilah yang menjadi salah satu dasar penelitian ini. Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali pengetahuan mengenai bangunan Rumah tinggal suku Karo, terlebih lagi untuk mengetahui bangunan rumah tinggal suku Karo yang mengalami transformasi arsitektural yang disebabkan oleh adanya pergeseran budaya. Saat ini, minim sekali kepedulian masyarakat maupun pemerintah mengenai keadaan bangunan yang memiliki nilai kearifan lokal atau


(26)

budaya setempat. Oleh karena itu masyarakat perlu memahami keberadaan bangunan yang memiliki ciri khas dari sebuah budaya adalah sebagai bagian dari pendukung akan pelestarian budaya nusantara.

1.2 Perumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang yang ada, maka rumusan permasalahan pada penelitian ini dapat dijawab dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut : a) Bagaimana transformasi arsitektural yang terjadi pada rumah tradisional

Karo?

b) Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya transformasi arsitektural pada rumah tradisional karo?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain :

a) Untuk mengidentifikasi transformasi arsitektural pada rumah tradisional Karo. b) Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

transformasi arsitektural pada rumah tradisional Karo. 1.4 Batasan Penelitian

Penelitian ini hanya mengidentifikasi transformasi arsitektural pada rumah tinggal suku Karo yang dipengaruhi oleh adanya pergeseran budaya.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini antara lain :

a) Bagi penulis, penelitian ini dapat memberikan pengalaman, sebagai proses pembelajaran dan sebagai suatu kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu yang di dapat dari teori-teori serta ilmu yang dipelajari dalam kegiatan perkuliahan .


(27)

Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan perbandingan antara hal-hal teoritis dan praktis guna menambah wawasan.

b) Bagi akademis, selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan literatur mengenai rumah tinggal suku karo yang telah mengalami transformasi arsitektural akibat pergeseran budaya khususnya di Kabupaten Karo.

c) Bagi pemerintah, data-data dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam upaya pelestarian budaya ke dalam bentuk tampilan bangunan, khusunya pada bangunan rumah tinggal di Kabupaten Karo.


(28)

1.6 Kerangka Berfikir

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Berpikir

Latar Belakang

 Semakin banyaknya rumah tinggal suku karo yang memiliki ciri khas rumah adat karo yang mengalami perubahan arsitektural akibat pergeseran budaya.

 Pergeseran budaya yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan juga tingkat ekonomi serta status pekerjaan menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan arsitektural pada rumah tinggal suku karo

Judul Penelitian

Transformasi Bentuk Arsitektural Pada Rumah Tinggal Suku Karo

Perumusan Masalah

• Bagaimana perubahan

arsitektural yang terjadi pada rumah tradisional Karo?

• Faktor apa saja yang

menyebabkan terjadinya perubahan arsitektural pada rumah tradisional karo? Tujuan Penelitian a)Untuk mengidentifikasi

perubahan arsitektural pada rumah tradisional Karo.

b)Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan arsitektural pada rumah tradisional Karo.

Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis 2. Bagi Akademis 3. Bagi Pemerintah

Studi Literature TRANSFORMASI ARSITEKTUR, Anthony Antoniades, 1990 , Pakpahan, R. (2010)

ARSITEKTUR

KARO, Masri Singarimbun (1975)

M. Nawawiy (2004) STRUKTUR DAN KONSTRUKSI

RUMAH SIWALUH JABU, Ir. Myrtha Soeroto (2003)

Metodologi Penelitian

Jenis Penelitian: Penelitian

deskriptif kualitatif Hasil dan Pembahasan

Data mengenai perubahan arsitektural pada rumah tinggal suku karo akibat pergeseran budaya

Metode Pengumpulan Data: Kualitatif (observasi lapangan, wawancara, sketsa atau menggambar ulang)

Metode Analisa Data: Deskriptif dan analisa perubahan arsitektural pada rumah tinggal suku karo akibat pergeseran budaya


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Arsitektur Karo

2.1.1 Pola Perkampungan

Pola perkampungan karo secara umum mengelompok atau berbaris mengikuti alur sungai sehingga peletakan rumah didasarkan pada aliran sungai, dimana pintu utama atau depan menghadap kehulu sungau dan bagian belakang atau pintu belakang rumah manghadap ke hilir sungai.

2.1.2 Arah Rumah Tradisional

Pada masyarakat karo mereka mengenal mata angin yang disebut “Desa Siwaluh”, pada awalnya rumah dibuat dengan arah kenjahe-jenjulu, sesuai dengan arah pengaliran sungai disuatu kampung, pengertian kenjahe kenjulu berbeda dengan utara selatan, arah hilir disebut kenjahe sering disebut juga kahe-kahe atau

jahe-jahe dan arah kenjulu disebut kolu-kolu atau julu (Masri Singalimbun 1960 : 149 No. 839 & 151 No. 847).

Semua pangkal kayu utama yang digunakan pada rumah tradisional berada disebelah kanjahe, dimana ditempatkan jabu raja, yang dianggap sebagai pangkal atau asal dari rumah. Jabu raja tersebut terletak disebelah kiri pintu hilir (ture jahe), sedang menurut pendapat lain (“Percikan Budaya Karo” hal 2) jabu raha atau jabu benana kayu terletak pada kanan pintu hulu (ture jahe) diarah timur (purba), tempat matahari terbit.


(30)

2.1.3 Tipologi Bangunan Rumah Adat Karo

M. Nawawiy (2004) dalam buku Raibnya Para Dewa, mengatakan, menurut bentuk atap terdapat dua tipologi rumah yaitu rumah biasa dan rumah Raja . Pembagian lain adalah rumah dengan atap (Tersek) tak bertingkat (Rumah Kurung Manik), rumah beratap satu tingkat (Sada Tersek), dan rumah dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (Anjung-anjung).

Secara umum Rumah Karo berbentuk empat persegi panjang dengan dua buah teras (ture) sebagai pintu utama, yaitu pintu yang menuju hulu (Ture Julu)

dan pintu yang menuju hilir (Ture Jahe) sebagai pintu kedua. Bagian-bagian atapnya berbentuk perpaduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segi tiga yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe), dan bagian dinding yang juga berbentuk trapesium yang ditopang oleh dinding papan berbentuk lunas perahu (dapur-dapur) yang terletak diatas beberapa tiang.

Rumah tradisional Karo diperuntukan bagi delapan keluarga (Jabu) yang memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Susunan ruang bagi setiap keluarga diataur sesuai dengan kedudukan dan fungsi setiap keluarga. Jabu diartikan juga sebagai satu bagian ruangan yang terdapat pada rumah Karo.

Kehidupan bersama di dalam rumah tradisional diatur oleh kepercayaan dan adat. Aturan yang terdapat pada rumah yang satu dengan yang lain, mungkin memiliki sedikit perbedaan namun prinsipnya tetap sama. Sanksi yang dikenakan terhadap suatu pelanggaran ketentuan kepercayaan, bergantung kepada besar kecilnya sifat pelanggaran. Seorang yang terlambat pulang pada malam hari dan lupa memasang palang pintu (ngeruk pintun), sehingga terjadi pencurian, akan


(31)

dikenakan sanksi membersihkan halaman dan kolong rumah yang merupakan simbol dunia bawah atau neraka.

Rumah Adat Karo disebut juga Rumah Siwaluh Jabu karena pada umumnya dihuni oleh Waluh Jabu (delapan keluarga), selain rumah si waluh jabu ada juga rumah adat yang lebih besar yaitu Sepuludua Jabu (dua belas keluarga) yang dulu terdapat di kampung Lingga, Sukanalu dan rumah adat yang terbesar adalah Rumah adat Sepuluenem Jabu yang pernah ada di Kampung Juhar dan Kabanjahe, tetapi sekarang rumah adat Sepuludua Jabu dan Sepuluenem Jabu sudah tidak ada lagi. Setiap Jabu (keluarga) menempati posisi di Rumah Adat sesuai dengan struktur sosialnya dalam keluarga. Letak Rumah Adat Karo selalu disesuaikan dari arah Timur ke Barat yang disebur Desa Nggeluh, di sebelah Timur disebut Bena Kayu (pangkal kayu) dan sebelah barat disebut Ujung Kayu. Sistem Jabu dalam Rumah Adat mencercerminkan kesatuan organisasi, dimana terdapat pembagian tugas yang tegas dan teratur untuk mencapai keharmonisan bersama yang dipimpin Jabu Bena Kayu/Jabu Raja.

Gambar 2.1 Rangka Atap Rumah Adat Karo (Sumber : karo.or.id)


(32)

Gambar 2.2 Aksonometri Rumah Adat Karo (Sumber : karo.or.id)

Bagian dalam si waluh jabu baik yang digunakan oleh rakyat biasa (Derip)

maupun oleh bangsawan tidak memiliki pembatas fisik yang memisahkan antara ruang satu keluarga dan keluarga lainnya. Pemisah antara ruang yang berhadapan hanya dapur yang digunakan oleh setiap dua keluarga yang berdekatan. Dengan demikian bangunan ini sepintas hanya terdiri dari satu ruang besar yang ditempati oleh delapan keluarga, yang masing-masing menempati daerah yang berukuran kurang lebih 4,00 x 4,00 m, sehingga merekan dapat saling melihat. Meskipun setiap ruang ditempati oleh satu keluarga, namun pada dasarnya semua ruang dapat digunakan untuk berbagai fungsi secara komunal tergantung dari aktifitas yang sedang dilakukan, seperti untuk tempat makan, temapat tidur, menerima tamu, dan lain sebagainya. Namun pada kenyataannya terdapat pembatas psikologis dan kultural yang sangat tegas diantara ruang tersebut yang disertai dengan berbagai macam tabu yang berlaku diantara keluarga sesuai dengan keyakinan dan adat.


(33)

Gambar 2.3 Nama-nama dari Ornamen pada Atap Rumah Adat Karo (Sumber : karo.or.id)

Menurut Ir. Myrtha Soeroto (2003) dalam buku Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia, Nama, Posisi dan Peran Jabu dalam Rumah Adat Karo (Rumah Siwaluh Jabu):

1. JABU BENA KAYU Merupakan tempat bagi keluarga simanteki Kuta/ Bangsa Taneh (keluarga yang pertama mendirikan Kuta). Jabu Bena Kayu juga disebut Jabu Raja, posisinya sebagai pimpinan seluruh anggota Jabu dalam sebuah Rumah Adat, berperan sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab (baik internal maupun eksternal) untuk segala permasalahan dan pelaksanaan adat menyangkut kepentingan rumah dan seisi penghuni rumah.


(34)

2. JABU UJUNG KAYU Merupakan tempat bagi Anak Beru (pihak perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu ujung Kayu berperan untuk membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga keharmonisan seisi rumah dan mewakili Jabu Bena Kayu dalam menyampaikan perkataan atau nasehat-nasehatnya kepada setiap penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu ujung Kayu adalah pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan dalam rumah maupun di dalam lingkup adat.

3. JABU LEPAR BENA KAYU Merupakan tempat bagi pihak saudara dari Jabu Bena Kayu. Jabu Lepar Bena Kayu disebut juga Jabu Sungkun-Sungkun Berita (Tempat bertanya Kabar/berita). Penghuni Jabu ini masih termasuk golongan bangsa taneh. Jabu Lepar Bena Kayu berperan untuk mengawasi keadaan rumah dan keadaan Kuta (kampung) kemudian memberi kabar kepada Jabu Bena Kayu. Jika ada permasalahan di dalam rumah atau di Kuta seperti terjadi pencurian atau akan terjadi perang, maka Jabu Lepar Bena Kayu harus menyelidikinya terlebih dahulu kemudian mengabarkannya kepada Jabu Bena Kayu.

4. JABU LEPAR UJUNG KAYU Merupakan tempat bagi pihak Kalimbubu (Pihak dari Klan ibu) dari Jabu Bena Kayu. Penghuni Jabu ini sangat dihormati dan disegani karena kedudukannya sebagai Kalimbubu. Kalimbubu dalam masyarakat karo merupakan derajat tertinggi dalam struktur adat. Jabu Lepar Ujung Kayu disebut juga sebagai Jabu Simangan Minem (pihak yang makan dan minum). Jika Jabu Bena Kayu mengadakan pesta adat maka Jabu


(35)

Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut bekerja hanya hadir untuk makan dan minum.

5. JABU SEDAPUREN BENA KAYU Merupakan tempat bagi anak beru menteri dari Jabu Bena Kayu. Jabu Sedapuren Bena Kayu juga disebut Jabu Peninggel-ninggel (Pihak yang mendengarkan). Perannya adalah untuk mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu Runggu (musyawarah) para anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak pendengar, Jabu Sedapuren Bena Kayu juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota Rumah Adat, baik di lingkup rumah maupun di lingkup Kuta.

6. JABU SEDAPUREN UJUNG KAYU Merupakan tempat anak atau saudara dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut juga sebagai Jabu Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan dapat menjadi penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan dan ketentraman bagi seluruh Jabu di Rumah Adat. Jabu arinteneng sering juga ditempati oleh Penggual atau Penarune (pemain musik tradisional, yang terkadang menghibur seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan.

7. JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU Merupakan tempat bagi anak atau saudara penghuni Jabu Ujung Kayu. Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu juga disebut Jabu Singkapuri Belo (penyuguh sirih). Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayu berperan dalam membantu Jabu Bena Kayu dalam menerima dan menjamu tamunya. Jabu Singkapuri Belo secara umum berperan sebagai penerima tamu keluarga di dalam sebuah Rumah Adat dan bertugas menyuguhkan sirih bagi setiap tamu keluarga yang menghuni Rumah Adat.


(36)

8. JABU SEDAPUREN LEPAR UJUNG KAYU Merupakan kedudukan bagi Guru (dukun/ tabib). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu juga disebut Jabu Bicara guru (yang mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu berperan sebagai penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena Kayu, mengumpulkan ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan obat-obatan bagi seisi rumah, menilik hari baik dan buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi seisi rumah, selain itu dia juga berperan dalam pelaksanaan upacara terhadap leluhur (kiniteken pemena) dan upacara-upacara yang menyangkut dengan kepercayaan pada masyarakat karo jaman dahulu. Jadi Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo pada jaman dahulu. 2.1.4 Jenis Rumah Adat Karo

Rumah adat karo dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dan ditinjau dari dua hal, yaitu : a. Bentuk Atapnya

b. Binangunnya (rangka)

Si waluh jabu Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

A. Rumah Sianjung-anjung

Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih, yang dapat juga terdiri atas satu atau dua tersek dan diberi bertanduk.


(37)

Gambar 2.4 Rumah Sianjung-anjung (Sumber : karo.or.id)


(38)

B. Rumah Mecu

Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk.

Gambar 2.6 Jenis Atap Rumah Mecu (Sumber : sorasirulo.net)

Gambar 2.7 Jenis Atap Rumah Mecu (Sumber : karo.or.id)


(39)

Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:

1) Rumah Sangka Manuk

Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-menindih.

Gambar 2.8 Rumah Sangka Manuk (Sumber : karo.or.id)


(40)

2) Rumah Sendi

Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh.

Gambar 2.9 Rumah Sendi (Sumber : karo.or.id)

Gambar 2.10 Detail Struktur Rumah Sendi (Sumber : sorasirulo.net)


(41)

2.1.5 Struktur Rumah Siwaluh Jabu

Rumah adat siwaluh jabu ini berbentuk rumah panggung dengan ketinggian dua meter dari permukaan tanah. Ukuran rata-rata bangunan ini adalah 17×12 m2 dengan ketinggian kurang lebih 12 m. Bangunan ini simetris pada kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya terlihat sama. Rumah adat Batak Karo dibangun dengan 16 tiang yang bertumpu pada batu-batu alam berukuran besar (pondasi). Terdapat pembagian penyaluran beban dari bangunan terhadap pondasinya, dimana delapan dari tiang-tiang ini menyangga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya menyangga lantai saja. Pada bangunan ini masih menggunakan struktur post and lintel, dimana pada bagian atas bangunan (semacam plafon) merupakan suatu penyusunan antar kayu yang dimana balok hanya menumpu pada kolom. Namun sudah ditemukan kemajuan dimana sudah digunakan sistem sendi pada bagian lantai untuk mengikat balok lantainya.

Gambar 2.11 Struktur Rumah Siwaluh Jabu (Sumber : karo.or.id)


(42)

2.1.6 Konstruksi Rumah Siwaluh Jabu

Pembangunan rumah adat ini menggunakan tiga jenis kayu, yaitu kayu ndarasi, ambertuah dan sibernaek. Pada pemasangan tiap-tiap bagiannya tidak digunakan paku sama sekali. Hanya menggunakan pengikatan dengan tali ijuk untuk menyatukan tiap-tiap bangunannya. Terkadang juga digunakan suatu bahan untuk merekatkan bagian yang dibuat dengan bahan-bahan dari hutan.

Beberapa bagian pembentuk konstruksi rumah ini antara lain : 1. Pondasi atau Palas

Palas terbuat dari batu-batuan yang diambil dari gunung ataupun sungai. Batu ini dugunakan sebagai pondasi rumah adat ini. Bebatuan ini akan dilubangi bagian atasnya supaya beberapa bahan yang menurut masyarakat setempat dapat mendukung kekuatan dan kekokohan bangunan ini. Bahan ini antara lain yaitu

belo cawir (sirih), besi mersik, dan ijuk. Hal ini tentu berkaitan dengan lokasinya yang diapit kedua gunung sehingga sering sekali terjadi gempa. Konstruksinya tentu spesifik dengan konstruksi tahan gempa.

Selanjutnya batang-batang kayu yang ujungnya telah diruncingkan, dimasukkan ke dalam bolongan batu dan kemudian digunakan sebagai kolom bangunan ini. Batu palas kemudian dipendam sebagian ke dalam tanah agar tidak mudah bergeser.


(43)

Gambar 2.12 Sketsa Pondasi Rumah Adat Karo (Sumber : karo.or.id)

2. Tangga

Pada bangunan ini dibutuhkan tangga untuk memasukinya karena letaknya yang beradap pada ketingian dua meter dari muka tanah. Tangga terbuat dari bambu berdiameter kurang lebih 15 cm. Terdapat dua buah tangga. Di bagian muka berjumlah tiga sedangkan di bagian belakang berjumlah lima.

Gambar 2.13 Tangga Rumah Adat Karo (Sumber : karo.or.id)


(44)

3. Serambi (Ture – Naki-naki)

Merupakan bagian muka yang tersusun dari rangkaian bayu yang rapat (diameter kurang lebih 10-15cm). Bagian ini merupakan tempat yang pada siang hari digunakan untuk menganyam bagi kaum wanita, dan tempat pertemuan pada malam hari. Penopang serambi ini adalah bayu yang memiliki diameter lebih besar.

Gambar 2.14 Serambi (Ture-Naki-naki) (Sumber : sorasirulo.net)

4. Dinding

Terbuat dari jenis kayu yang sama dengan kolom, yaitu kayu ndrasi yang berbentuk papan atau lembaran. Masing-masing papan ini diikat dengan tali retret yang terbuat dari ijuk atau rotan. Penalian ini menggunakan suatu pola anyaman yang disebut pola cicak. Dinding ini tidak dibentuk lurus, namun memiliki kemiringan sekitar 40° keluar. Dinding ruang bangunan yang miring ini juga sebagai lambang pertemuan dunia tengah yang dipercaya sebagai tempat tinggal manusia dengan langit yang dipercaya sebagai tempat para Dewa bersemayam.


(45)

Gambar 2.15 Dinding Rumah Adat Karo (Sumber : sorasirulo.net)

5. Suhi Cuping (Sudut Dinding)

Terbuat dari kayu yang sudah tua, yang berupa lembar papan yang berukuran 4x30cm. Posisinya terletak pada sudut-sudut dinding yang berfungsi untuk menahan dan memikul dinding. Pemasangannya dengan menggunakan sambungan pen. Cuping ini dibentuk dengan pola ukiran.

Gambar 2.16 Suhi Cuping (Sudut Dinding) (Sumber : sorasirulo.net)


(46)

6. Pintu

Terbuat dari kayu yang sudah tua berupa dua lembaran kayu tebal yang masing-masing berukuran 5 x 40 cm. Tinggi pintu dibuat setinggi orang dewasa dengan posisi kedua pintu menghadap ke arah timur dan barat. Dipasang pada dinding bangunan yang miring, di atas balok bulat yang dipasang mengelilingi bangunan. Balok ini sendiri berfungsi untuk menahan dinding bangunan.

7. Labah – Jendela

Jendela terbuat dari papan yang berukuran 8x30 cm. Dibuat miring 40 cm keluar mengikuti kemiringan dinding. Terdapat 8 buah jendela. 2 di bagian depan, 2 di belakang, dan 4 di kanan kiri bangunan.

8. Atap

Penutup atap rumah adat karo ini terbuat dari ijuk yang bersusun-susun sehingga mencapai tebal 20 cm. Rangkanya sendiri terbuat dari bambu yang di belah sebesar 1 x 3 cm dan di ikat dengan rotan dengan jarak antar bambu 4 cm. Fungsi utama dari bentuk ujung atap yang menonjol ini adalah untuk memungkinkan asap keluar dari tungku dalam rumah.

Gambar 2.17 Atap pada Rumah Adat Karo (Sumber : sorasirulo.net)


(47)

9. Ornamen

Ornamen-ornamen mengandung arti mistik, ini berkaitan dengan kepercayaan pada masa itu Secara umum menggambarkan jati diri, kebersatuan keluarga dan permohonankeselamatan Mengunakan 5 warna : putih, merah, hitam, biru, kuning yang melambangkan jumlah marga di tanah Karo Bahan pewarnanya dibuat dari alam (dah atah taneh)selalu menggambarkan cicak di dinding rumah mereka, baik nampak seperti cicak sebenarnya ataupun bentuk yang menyerupainya Artinya, orang Batak dapat beradaptasi dengan lingkungannya seperti hidup cicak.

Gambar 2.18 Ornamen pada Rumah Adat Karo (Sumber : sorasirulo.net)


(48)

Gambar 2.19 Ornamen pada Rumah Adat Karo (Sumber : sorasirulo.net)

2.2 Transformasi Arsitektur 2.2.1 Pengertian Transformasi

Secara etimologis Transformasi adalah transformasi rupa (bentuk, sifat, fungsi dan sebagainya). Pengertian Transformasi bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dalam kamus ( The New Grolier Webster International Dictionary Of English Language ) adalah menjadi bentuk yang berbeda namun mempunyai nilai-nilai yang sama, transformasi dari satu bentuk atau ungkapan menjadi suatu bentuk yang mempunyai arti atau ungkapan yang sama mulai dari struktur permukaan dan fungsi. Transformasi berarti transformasi menjadi suatu transformasi dapat dianggap sebagai sebuah proses pemalihan total dari suatu bentuk menjadi sebuah sosok baru yang dapat diartikan sebagai tahap akhir dari sebuah proses transformasi sebagai sebuah proses yang dijalani secara bertahap


(49)

faktor ruang dan waktu menjadi hal yang sangat mempengaruhi transformasi tersebut (Webster Dictionary, 1970).

Adapun pengertian Transformasi menurut beberapa ahli, yakni:

• Menurut D’ Arcy Thompson, 1961. Transformasi adalah sebuah proses fenomena transformasi bentuk dalam keadaan yang berubah-ubah, dengan demikian transformasi dapat terjadi secara tak terbatas.

• Menurut Jorge Silvetti, 1977. Transformasi adalah tindakan transformasi yang dilakukan terhadap elemen-elemen ataupun aturan-aturan (codes) yang ada dengan cara penyimpangan, pengelompokan kembali, yang mana mengacu pada keaslian dan diharapkan menghasilkan arti yang baru. Cara-cara ini mampu untuk mempertahankan keasliannya dalam mengahasilkan makna dan wujud yang baru.

• Menurut Anthony Antoniades, 1990. Transformasi adalah sebuah proses transformasi secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, transformasi dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan transformasi dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipat gandakan.

Sebuah karya arsitektur yang memiliki bentuk dan ciri yang spesifikasi terhadap pencerminan jati diri perancangnya, akan lebih mudah dikenali oleh setiap pengamat. Bentuk dan ruang arsitektur merupakan substansi dasar pengadaan yang dapat dijadikan bahan dalam melakukan olah kreativitas terhadap penghadiran sebuah karya arsitektur (Josef Prijotomo, 1995). Pengubahn bentuk


(50)

dan ruang arsitektur akan memerlukan bentuk dasar. Penetapan bentuk dasar dilakukan terlebih dahulu karena pengubahan menyangkut dua kesatuan yang berbeda yaitu sebagai transformasi bentuk arsitektur dan pengubahan ruang arsitektur. Transformasi bentuk atau transformasi bentuk bisa didapat melalui berbagai variasi seperti dengan transformasi dimensi bentuk, pengurangan beberapa bagian dari bentuk awal, dan penambahan beberapa bentuk.

Gambar 2.20 Proses transformasi Sumber: imageshack.com

Kesimpulan akhir bahwa Transformasi Arsitektur adalah suatu transformasi dari satu kondisi (bentuk awal) ke kondisi yang lain (bentuk akhir) dan dapat terjadi secara terus menerus atau berulang kali yang dipengaruhi oleh dimensi waktu yang dapat terjadi secara cepat atau lambat, tidak saja berhubungan dengan transformasi fisik tetapi juga menyangkut transformasi sosial budaya ekonomi politik masyarakat karena, tidak dapat lepas dari proses transformasi baik lingkungan (fisik) maupun manusia (non-fisik). Transformasi fisik


(51)

disebabkan oleh adanya kekuatan non-fisik yaitu transformasi budaya, sosial, ekonomi & politik (Rossi, 1982 dalam sari, 2007).

2.2.2 Kategori dan Strategi Transformasi Arsitektur

Menurut Laseau, 1980 dalam Sembiring, 2006 kategori transformasi dapat dibedakan menjadi empat kategori Transformasi yang memiliki sifat yang berbeda, yakni:

• Transformasi bersifat (geometri) bentuk geometri yang berubah dengan komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama.

• Transformasi bersifat hiasan (ornamental) dilakukan dengan menggeser, memutar, mencerminkan, menjungkirbalikan, melipat, dan lain-lain.

• Transformasi bersifat (kebalikan) pembalikan citra pada figur objek dirubah menjadi citra sebaliknya.

• Transformasi bersifat (merancukan) kebebasan perancangan dalam beraktifitas.

Strategi Transformasi dalam mendisain sebuah karya sangat berkaitan erat dengan munculnya ide-ide baru, setiap ide baru yang muncul pastilah mempertimbangkan akan strategi yang digunakan. Dalam teori Anthony Antoniades tentang transformasi, beliau menggambarkan ada tiga strategi Transformasi Arsitektur, yakni:

• Strategi Tradisional adalah evolusi progresif dari sebuah bentuk melalui penyesuaian langkah demi langkah terhadap batasan – batasan :

-Eksternal : site, view, orientasi, arah angin, kriteria lingkungan -Internal : fungsi, program ruang, kriteria struktural


(52)

-Artistik : kemampuan, kemauan dan sikap arsitek untuk memanipulasi bentuk, berdampingan dengan sikap terhadap dana dan kriteria pragmatis lainnya.

• Strategi Peminjaman (borrowing) adalah meminjam dasar bentuk dari lukisan, patung,obyek benda - benda lainnya, mempelajari properti dua dan tiga dimensinya sambil terus menerus mencari kedalaman interpretasinya dengan memperhatikan kelayakan aplikasi dan validitasnya. Tranformasi pinjaman ini adalah ‘pictorial transferring’

(pemindahan rupa) dan dapat pula diklasifikasi sebagai ‘pictorial metaphora’ (metafora rupa).

• Dekonstruksi atau dekomposisi adalah sebuah proses dimana sebuah susunan yang ada dipisahkan untuk dicari cara baru dalam kombinasinya dan menimbulkan sebuah kesatuan baru dan tatanan baru dengan strategi struktural dalam komposisi yang berbeda.

Transformasi dilakukan terhadap bentuk dan ruang dengan mengeksporasi arti, nilai dan makna objek serta konsep desain dengan pertimbangan fungsi bangunan merupakan cara interpretasi arsitektural tema kedalam obyek desain (Mandey, 2011). Kebebasan perancangan dalam mengolah bentukan bahkan dalam mentransformasikan, perlu mempertimbangkan hal-hal yang menjadi faktor penting yang harus menjadi perhatian dalam merancang sekaligus yang akan digunakan sebagai strategi dalam penerapan tema, selain strategi dari Antoniades, Faktor ini tak lepas dari ketiga jenis strategi yang ada setiap perancang tak


(53)

terlepas dan selalu memperhatikan bagian ini dalam mereka menghasilkan suatu karya desain, antara lain:

• Skala (scale). Bnyak hal dalam transformasi yang berhubungan dengan skala. Pembesaran atau pengurangan (pengecilan) dilakukan dalam komposisi yang benar, agar ukuran yang baru dapat diterima dengan statistik visual.

• Keterkaitan antar bagian (whole vs. parts). Perhatian yang kedua yakni berupa penjelasan dan penyatuan antara bentuk keseluruhan dan sebagainya. Setiap bagian, dalam hal ini ruang dan fungsinya mempunyai peranan dan pengaruh yang penting dalam transformasi bentuk secara keseluruhan.

• Pengaruh eksternal (forced eksternality). Transformasi juga terjadi dengan mempertimbangkan pengaruh atau tekanan dari luar, lingkungan senantiasa tidak bisa dipisahkan dan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi transformasi.

• Semantik (semantic). Perhatian yang terakhir yang sangat esensial yang berpengaruh pada proses transformasi adalah masalah semantik atau bahasa visual. Transformasi didasarkan pada konotasi visual, berupa bentuk, wujud, tipologi, gambaran, tapak, dan bayangan.

2.2.3 Proses dan Faktor yang Menyebabkan Transformasi

Menurut Alexander, 1987 dalam penelitian Pakilaran, 2006 proses transformasi mengandung dimensi waktu dan transformasi sosial budaya


(54)

masyarakat yang menempatinya yang muncul melalui proses panjang yang selalu terkait dengan aktifitas-aktifitas yang terjadi pada saat itu.

Ada 4 proses transformasi yang dikemukan oleh Pakpahan, 2010 dalam penelitiannya “Evaluasi Pasca Huni Perumnas Mandala Medan”, yaitu:

• Transformasi terjadi secara perlahan-lahan atau sedikit demi sedikit.

• Tidak dapat diduga kapan dimulainya dan sampai kapan proses tersebut akan berakhir, tergantung dari faktor yang mempengaruhinya.

• Komprehensif dan kesinambungan.

• Transformasi yang terjadi mempunyai keterkaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam masyarakat.

Ada 7 faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi (Pakpahan, 2010) adalah

• Kebutuhan identitas diri (identification). Pada dasarnya orang ingin dikenal dan ingin memperkenalkan diri terhadap lingkungan

• Transformasi gaya hidup (life style). Transformasi struktur dalam masyarakat, pengaruh kontak dgn budaya lain dan munculnya penemuan-penemuan baru mengenai manusia dan lingkungannya.

• Penggunaan teknologi baru. Timbulnya perasaan ikut mode, dimana bagian yang masih dapat dipakai secara teknis (belum mencapai umur teknis dipaksa untuk diganti demi mengikuti mode) (Habraken, 1976 dalam Pakilaran, 2006).


(55)

• Transformasi sosial. Faktor lingkungan fisik, transformasi penduduk, isolasi dan kontak, struktur masyarakat, sikap dan nilai-nilai, kebutuhan yang dianggap perlu dan dasar budaya masyarakat.

• Transformasi budaya. Budaya sebagai sistem nilai terlihat dalam gaya hidup masyarakat yang mencerminkan status, peranan kekuasaan, kekayaan, dan keterampilan.

• Transformasi ekonomi. Kekuatan yang paling dominan dalam menentukan transformasi lingkungan fisik adalah kekuatan ekonomi.

• Transformasi politik. Peran aspek politis melalui bentuk intervensi non fisik melalui kebijakan pengembangan kawasan (Rossi, 1982, Sari, 2007).

2.3. Kajian Literatur Arsitektur dengan JudulKelangsungan Bentuk Tradisional Dari Rumah Batak Di Pulau Samosir

2.3.1. Dr.-Ing. Himasari Hanan (2013), Kelangsungan Bentuk Tradisional Dari Rumah Batak Di Pulau Samosir, Jurnal Sains.

Metodologi Penelitian

Penelitian lapangan telah dilakukan dalam empat perkampungan tradisional (huta) yang memperlihatkan karakter yang berbeda dari rumah tradisional dan usaha yang dilakukan dalam melestarikan warisan dan menjaga lingkungan rumah tertata dengan baik. Semua perkampungan yang dipilih ini dihuni oleh kelaurga kerabat dan sebagian rumah adalah dalam kondisi yang baik untuk ditempati. Sebagian kecil perkampungan ini ditargetkan sebagai tujuan


(56)

wisatawan tetapi sisanya adalah merupakan rumah tinggal keluarga. Huta Siallagan

diambil sebagai objek inti dan referensi dari penelitian untuk sejumlah alasan, : a) perkampungan ini masih dihuni oleh anggota kerabat,

b) perkampungan ini secara fisik adalah dalam keadaan baik seperti bentuk aslinya, c) pemukiman ini telah dikembangkan sebagai tujuan wisatawan yang penting, d) perkampungan ini adalah perkampungan tradisional khusus dari Batak Toba.

Huta lainnya diteliti adalah daerah sekitar huta Sillagan dengan jarak yang mendekati 20 km (1,2,3). Semua huta yang dipilih memenuhi kriteria yang sama sebagai objek inti, kecuali salah satus ebagai tujuan wisatawan, sehingga perbandingan antara konteks yang berbeda yang telah diuraikan. Rumah yang dipilih adalah sampel dari penelitian yang representatif dari perubahan fisik yang dilakukan dalam perkampungan dimaksud.

Survey lapangan dilakukan untuk mengidentifikasikan dan menganalisa bentuk asli dari rumah dan perubahn fisik yang berlangsung di rumah, yang secara signifikan mempengaruhi citra dan desain keseluruhan dari arsitektur tradisional. Fokus analisis ini adalah untuk mengidentifikasikan kecenderungan dan pola perluaan bangunan dan termasuk komposisi atap yang dapat mengatasi

kelangsungan citra budaya dari rumah Batak. Penelitian ini terbatas pada analisis visual dari penampilan bangunan dan susunan unsur bangunan, yaitu sub struktur, dinding, atap dan bahan bangunan.


(57)

Tipologi perluasan bangunan

Gambar 2.21 Tipe 1 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan meniru gaya bangunan aslinya. Komposisi yang harmonis dalam bagian muka bangunan adalah tetap dipertahankan meskipun posisinya yang tidak tepat pada tingkat yang sama pada bangunan baru dan lama. Bahan yang sama digunakan untuk substruktur, lampiran bangunan dan atap. Berbagai bukaan dinding digunakan tanpa menganggu krakter rumah yang lama. Atap baru merupakan versi yang paling sederhana dari versi yang lama. Orientasi bangunan baru adalah tegak lurus pada bangunan lama dan jenis struktur jembatan yang ada antara bangunan baru dan lama. Pemisahan bangunn baru dari bangunan lama adalah ditunjukan pada warna yang berbeda dan sistem struktur jembatan tetapi penampilan ritme ditetapkan dengan penempatan tangga atau tumpuan batu di pintu masuk rumah.


(58)

Gambar 2.22 Tipe 2 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan dibagian belakang dengan membangun sistem bangunan yang berbeda: bangunan pertukangan,tanpa merujuk pada rumah yang lama. Bagunan baru adalah ditetapkan sebagai bagian yang menempel pada bangunan yang asli, dengan ekspresi yang berbeda. Demikian juga, ini dinyatakan

sebagai subordinasi banguan utama. Struktur bangunan utama tidak ditonjolkan, tetapi inklinasi atapnya tetap dipertahankan. Atap baru adalah dinyatakansebagai perluasan bangunan utama. Massa dari bangunan baru adalah tegak lurus pada bangunan lama, tetapi tidak ada struktur tradisional diantaranya. Struktur batu dan kayu adalah ditempelkan satu sama lain tanpa melihat posisi dan sistemnya. Konfigurasi ruang baru diciptakan di bagian depan dari bangunan baru dengan menempatkan garis untuk menggantung pakaian. Dinding bata akan menghhasilkan ruang sosial dari dua rumah yang bertetangga yang tidak umum dalam pola spasial dari perkampungan tradisional. Ritme repetitif yang ada dari


(59)

rumah tradisional adalah mengacupada kontrast dari unsur dan aktivitas bangunan yang baru.

Gambar 2.23 Tipe 3 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan konstruksi dua lantai. Meskipun bahan yang sama dapat diterapkan untuk ekstensi, tetapi warna kontrast dan skala yang berbeda dari bangunan baru yang menganggu komposisi yang harmonis dari rumah yang lama. Perluasan ini tidak berarti dipadukan ke dalam rumah asli sebagai bagian yang lebih yang berlawanan dengan rumah yang lama. Substruktur dan bentuk arsitektural dari bangunan utama tidak dihargai dan oleh karena itu, bangunan baru didefinisikan sebagai sistem yang lain di rumah. Konsekuensinya, dua bentuk arsitektural terpisah dan ekspresi yang digabungkan tanpa mengacu kepada semuanya. Massa utama dari bangunan baru secara aksial


(60)

Ukuran yang lebih besar dari bangunan baru tidak menghargai rumah lama dan bahkan menganggu karakter dan gaya pemukimannya.

Gambar 2.24 Tipe 4 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

Rumah asli diperluas di bagian belakang dengan membangun rumah batu secara aksial segaris dengan rumah yang lama. Meskipun ruang bangunan ini memiliki sistem yang berbeda namun dinding yang terbuka ini mengadopsi pola rumah tradisional : pintu yang terbuka di bagian depan dan jendela yang membuka ke arah samping. Sistem pembukaan ini adalah menyatakan kembali seni tradisional dalam menempatkan satu bagian yang terbuka untuk setiap sisi bangunan. Struktur atap dan gaya arsitekturalnya tidak berhubungandengan rumah tradisional, dan sistem atap yang digunakan adalah merupakan bangunan perkotaan modern dengan ukuran kecil. Pembukaan jendela dan pintu juga tipikal dari gaya modern dari rumah perkotaan. Bangunan baru tidak menunjukkan perbedaan dari tingkat rumah tradisional yang paling bawah dan paling atas, oleh


(61)

karena itu tidak ada kesatuan diantara bangunan baru dan bangunan lama. Ini adalah murni dua rumah yang berbeda dengan dua ekspresi yang berbeda yang termasuk pada kepemilikan dan keluarga yang ssama.

Gambar 2.25 Tipe 5 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan meniru sistem pembangunannya. Komposisi yang harmonis diciptakan dengan bahan dan ekspresi bangunan yang sama. Garis horizontal di bagian depan bangunan adalah

tetap dipertahankan meskipun posisinya tidak tepat pada level yang sama dalam bangunan baru dan lama. Variasi pembukaan dinding berlaku tanpa merusak karakter rumah yang lama. Atap baru adalah versi yang paling sederhana dari rumah yang lama. Orientasi dari bangunan baru itu adalah tegak lurus dengan

rumah lama dan jenis bagian atap tengah yang telah ditempatkan diantara bangunan baru dan lama. Pemisahan bangunan baru dan lama adalah digaris bawahi oleh sistem atap yang berbeda dan massa bangunan tetapi tangga kayu meniru versi rumah yang lama.


(62)

Gambar 2.26 Tipe 6 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan rumah kayu satu lantai yang secara aksial segaris dengan bangunan aslinya. Ruang bangunan memiliki sistem yang bereda yang mengikuti sistem konstruksi atap. Struktur atap dan gaya arsitekturalnya tidak berkaitan dengan rumah tradisional. Sistem atap yang digunakan adalah tipikal untuk struktur bangunan berukuran kecil dibandingkan dengan bangunan secara inkremental. Pembukaan jendela dan pintu adalah disusun secara acak tanpa korespondensi pada semua dengan pola pembukaan di rumah yang lama. Bangunan baru tidak menunjukkan perbedaan tingkat yang rendah dan atas dari rumah tradisional, olah karena itu tidak ada kesatuan antara bangunan baru dan bangunan lama. Penggunaan bahan yang sama untuk dinding dan atap akan membantu menunjukkan proses pertumbuhan dari rumah.


(63)

Analisis dan Pembahasan

Pengembangan rumah asli diidentifiksikan dan dianalisa dengan melakukan perbandingan terhadap sistem tradisional menurut sistem bangunannya dan gaya arsitektural. Sistem bangunan adalah dibagi ke dalam tiga bagian: substruktur, bangunan utama dan atap, mengikutiklasifikasi sistem bangunan dalam arsitektur tradisional : kepala, tubuh, kaki. Disini, perubahan penampilan fisik terhadap rumah asli dapat diidentifikasikan dengan jelas dan harus dijelaskan.


(64)

Tabel 1. Perbandingan bangunan baru dengan sistem bangunan tradisional.

Sistem bangunan

Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 Tipe 5 Tipe 6

SUBSTRUK TUR

Sistem struktur

Sama Tidak Tidak Tidak Sama Tidak

Bahan Sama Tidak Tidak Tidak Sama Tidak

Pemanfaatan Sama Tidak Tidak Tidak Sama Tidak

BANGUNAN UTAMA Sistem struktur Tiang-pintu Dinding penahan Tiang-pintu Dinding penahan Tiang-pintu Dinding penahan

Bahan Kayu Batu Kayu Batu Kayu Batu

Pemanfaatan Dapur Dapur Dapur Dapur Dapur Dapur

Ekspresi arsitektural

Selaras Tidak Selaras

Tidak Selaras

Tidak Selaras

Selaras Selaras


(65)

Sistem struktur

Bergelo mbang

Tidak Tidak Tidak Bergelom bang

Bergelom bang

Bahan Sama Sma Sama Sama` Sama Sama

Kemiringan Tidak Sasma Tidak Tidak Tidak Tidak

Sisi Atap Tegak Aksial Aksial Aksial Tegak Aksial

Dua tipe rumah secara konsisten akan mengadopsi struktur dan ruang bangunan dari rumah yang asli ke rumah yang baru. Kedua jenis ini membentuk massa bangunan dalam konfigurasi yang tegak lurus terhadap rumah yang lama, sementara ini menetapkan pemahaman baru dari tata letak rumah yang membedakan representatif bagian depan dan belakang yang suportif dari rumah. komposisi rumah pada sudut yang tepat meningkatkan keunikan nobilitas dari aslinya dan menyatakan potensinya sesuai dengan perkembangan dan tantangan baru. Ketidaksamaan dari inklinasi atap mendasari hirarkhi komposisi dan pemanfaatan ruang, dan lebih lanjut membantu memepertahankan nilai tradisional dari rumah asli. Kurangnya substruktur dalam rumah tipe 6, bahkan melalui komponen lain yang terkait dalam kesesuaian, mengilustrasikan bahwa diskontinuitas dalam sistem bangunan tidak dapat dibantah tidak terkonstruktif untuk kelangsungan. Tipologi perluasan rumah Batak Toba mengecualikan berbagai respon orang terhadap tradisi lokal dan nilai tradisional.


(66)

Proses pertumbuhan dari rumah tradisional Batak Toba adalah dilakukan di belakang rumah yang menunjukkan kesadaran dan penghormatan manusia untuk mempertahankan ekspresi simbolik dan keunikan tradisional. Namun demikian, kebutuhan baru dan cara hidup baru dari orang-orang tersebut adalah diakomodasikan dengan menciptakan mekanisme adaptasi yang berbeda dengan sensitivitas dan kesadrannya atas nilai budaya dan juga cara perolehan sumber keuangan mereka.

Dalam kenyataannya, alasan naluri dan fungsional dari ruang ini telah memperkenalkan klasifikasi baru dari mekanisme zona di area perumahan. Bagian depan rumah adalah diidedentifikasikan sebagai milik komunal yang dilestarikan untuk kelangsungan tradisi dan bagian belakang rumah dirancang sebagai zona privat yang merupakan otonomi dieksplorasi menurut kebutuhan dan potensi individu. Kelangsungan, dalam pengertian ini didefinisikan dan dikomprehensifkan

sebagai ruang yang tersedia untuk penentuan dalam tradisi budaya dan kehidupan pribadi para penghuninya.

Bentuk arsitektur baru juga akan merespon perubahan baru melalui proses adaptasi dan transformasi sepanjang waktu. Penghuni memiliki otoritas untuk menerima dan mengeksplorsikan perbedaan tradisi untuk memecahkan masalah praktis atau menekankan identitas dan originalitas. Sebagai substruktur rumah

menyatakan pentingnya kelanjutan yang ditetapkan untuk komposisi rumah yang sebagian modern dan sebagian adalah tradisional. Lebih lanjut perubahan inovatif dapat dilaksanakan melalui bahan yang berbeda dan susunan spasial.


(67)

Kesimpulan

Kelangsungan arsitektur tradisional adalah diatur oleh motivasi pragmatik dan pertimbangan fungsional dari orang yang menghuni rumah. Alasan tentang fakta, keputusan, keyakinan dan nilai terhadap perluasan atau renovasi rumah tradisional adalah tidak dipertimbangkan didasarkan atas otoritas tradisi budaya, tetapi dikaitkan dengan ambisi pribadi, sumber keuangan dan motivasi pragmatik. Juga perlu untuk memfasilitasi arsitektur tradisional dari Batak Toba untuk memiliki hubungan dialektikal dengan penghuni yang memiliki kebutuhan dan otoritas untuk mengungkapkan dan mengekspresikan alasan mereka.

Transformasi dari substruktur ke dalam jenis struktur yang tidak terganggu dari rumah yang diperluas adalah faktor utama dalam mempertahankan karakter trdisional dari rumah asli. Berbagai arsitektur atap tidak mempengaruhi keberadaan asrsitektur tradisional, sejauh menyangkut atap tambahan yang berada di bawah kondisi rumah asli baik dalam skala maupun kemiringan. Secara arsitektural, ruang bangunan dari rumah Batak adalah sangat akomodatif untuk pemahaman baru dan tantangan baru. Kombinasi yang berbeda dari bahan dan metode konstruksi dapat dikembangkan pada solusi yang berbeda terhadap kebutuhan baru, penggunaan baru dan penghuni baru.


(68)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian dengan judul "TransformasiBentuk Arsitektural Pada Rumah Tinggal Suku Karo" ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian deskriptif menurut Sinulingga (2011) adalah penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu objek atau populasi secara sistematis, faktual dan akurat. Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena pada subjek penelitian yang diperoleh dengan cara mendeskripsikan fenomena tersebut ke dalam bentuk kata dan menggunakan berbagai metode alamiah oleh (Moleong, 2005).

Metode penelitian deskriptif kualitatif digunakan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi transformasi arsitektural pada rumah tinggal suku Karo. Melalui metode deskriptif kualitatif, peneliti akan mendeskripsikan transformasi arsitektural pada rumah tinggal suku Karo akibat pergeseran budaya secara menyeluruh.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang mempunyai dan mengambil nilai yang beragam, (Sekaran dalam Sinulingga, 2011). Dalam penelitian ini digunakan metode analisis Arsitektur Karo. Adapun Variabel dalam transformasi arsitektural


(69)

pada penelitian ini adalah variabel yang berkaitan dengan Eksterior bangunan Rumah tinggal suku Karo yang mengalami transformasi arsitektural akibat pergeseran budaya. Variabel pada penelitian ini diperoleh melalui 2 cara. Cara pertama dengan penerapan teori yang diperoleh melalui tinjauan pustaka. Sedangkan cara yang kedua dengan mencermati objek penelitian secara visual Adapun variabel dalam penelitian ini telah dicantumkan pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Variabel Penelitian

Sumber / Teori Variabel Komponen

Masri Singarimbun (1975) The Adat House, Kinship, Descent and Alliance Among the Karo Batak.

Loebis, Nawawi (2004) Raibnya Para Dewa.

Arsitektur Karo  StrukturRumah Adat Karo

 Jenis Rumah Adat Karo

 Material Rumah Adat Karo

Pakpahan, R., (2010).Evaluasi Pasca

Huni Perumnas Mandala, Tesis USU,

Medan

Faktor Penyebab Terjadinya

Transformasi Arsitektur

 Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi Arsitektur


(70)

3.3 Sampel

Dalam penelitian kualitatif, sampling dimaksudkan untuk memilah sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber. Hal ini bertujuan untuk merinci ciri khas yang ada. Maksud kedua dari sampling yaitu untuk mengumpulkan informasi yang akan dijadikan acuan dari rancangan teori. Maka dari itu, dalam penelitian kualitatif tidak ada sampel yang random,yang ada sampel bertujuan (purpossive sampling), oleh (Moleong, 2005).

Sampel dalam penelitian ini dipilih melalui metode purpossive sampling,

yang dimaksud dengan purpossive sampling adalah metode pengambilan sampel yang disengaja atau ditentukan dikarenakan sampel tersebut memenuhi kriteria tertentu yang sebelumnya telah ditentukan (Sinulingga, 2011). Kriteria yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berdasarkan elemen-elemen pembentuk Arsitektur Karo yang sudah mengalami transformasi arsitektural. Keragaman pada elemen-elemen yang terdapat pada bagian eksterior bangunan dilihat berdasarkan kriteria berikut yakni : gaya arsitektur, elemen fasad dan ornamentasinya. Objek pada penelitian ini adalah elemen-elemen pembentuk Arsitektur Karo yang telah mengalami transformasi arsitektural pada bangunan Rumah tinggal suku Karo. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dipilihlah elemen-elemen yang bercirikan Aristektur Karo dan elemen-elemen yang bercirikan Arsitektur Karopada bagian bangunan yang mengalami transformasi yang signifikan yang terdapat di lokasi penelitian.


(71)

3.4 Metode Pengumpulan Data

a) Data primer yaitu data yang didapat peneliti dengan cara mencari data langsung dari sumbernya (Sinulingga, 2011). Adapun metode pengumpulan data primer yang dilakukan dalam penelitian ini :

• Observasi lapangan (survey visual), dilakukan dengan pengambilan gambar pada bagian bangunan rumah tinggal suku Karo melalui kamera. Tujuannya yaitu untuk mendapatkan gambaran umum mengenai bagian bangunan di lokasi penelitian seperti tampilan fasad, langgam arsitektur, dll. Gambar yang diambil adalah fasad bangunan secara keseluruhan, elemen-elemen pada bagian eksterior salah satunya mencakup bagian fasad bangunan seperti jendela, pintu, ornamen dan lainnya dan bagian denah bangunan untuk mengetahui tata letak ruang dalam bangunan.

• Sketsa atau menggambar ulang , pada tahap ini dilakukan penggambaran ulang pada bagian eksterior bangunan rumah tinggal suku Karo. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara detail mengenai elemen-elemen Arsitektur Karo sebagai pembentuk bagian eksterior rumah tinggal suku Karo di lokasi penelitian serta penggambaran ulang bagian denah ruang dalam bangunan. Foto-foto hasil pemotretan dari survey lapangan akan dijadikan acuan untuk penggambaran ulang bagian bangunan rumah tinggal suku Karo seakurat mungkin. Selanjutnya, gambar bagian bangunan rumah tinggal suku Karo pada langkah ini nantinya akan digunakan untuk menganalisa elemen-elemen Arsitektur Karo sebagai pembentuk bagian rumah tinggal suku Karo.


(72)

• Wawancara, dilakukan dengan cara mewawancara narasumber yang dianggap memenuhi syarat. Narasumber dianggap mengetahui dan memahami informasi yang terkait dengan penelitian. Hal ini bertujuan untuk memperoleh data baik secara lisan ataupun tulisan, dokumen, gambar mengenai objek dan kawasan penelitian.

b) Data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti melalui pihak lain yang telah mengumpulkan dan mengolah data tersebut sehingga peneliti tidak perlu mencarinya secara langsung (Sinulingga, 2011). Adapun metode pengumpulan data sekunder yang dilakukan dalam penelitian ini :

• Studi literatur, dilakukan dengan cara mencari informasi mengenai elemen-lemen pembentuk Arsitektur Karo dari literatur mengenai Arsitektur Karo. Langkah selanjutnya adalah menentukan teori, setelah pencarian data dari literatur, maka dipilihlah teori yang dirasa sesuai dengan peneliti untuk diterapkan dalam penelitian.

• Studi penelitian sejenis, dilakukan dengan cara mencari penelitian-penelitian dengan judul serupa untuk dibandingkan dan dijadikan acuan dalam penelitian.

3.5 Obyek Penelitian

Obyek penelitian adalah Rumah tinggal suku Karo yang terletak di desa Lingga, desa Lingga Julu dan desa Gurusinga, Kabupaten Karo. Rumah tinggal suku Karo didirikan dengan menerapkan Arsitektur Karo yang telah mengalami transformasi arsitektural mengingat rumah adat Karo yang unik, kokoh, artistik,


(73)

bersifat religius dan komunal, dan mengingat kenyataan bahwa sekarang rumah adat Karo sudah mulai hilang dalam kenyataan kehidupan sebagai rumah hunian. Rumah tinggal suku Karo merasa perlu melestarikan nilai-nilainya yang agung mengingat salah satu tujuan dari Rumah tinggal suku Karo adalah sebagai sarana untuk mengiklankan sebuah kebudayaan dimana Rumah tinggal suku Karo tersebut dibangun melalui tampilan bangunannya dengan menerapkan nilai kearifan lokal meskipun telah mengalami transformasi arsitektural dari bangunan aslinya yaitu rumah adat Karo.

Berikut adalah foto dari rumah tinggal suku Karo yang mengalami transformasi arsitektural akibat pergeseran budaya di desa Lingga, desa Lingga Julu, desa Gurusinga, Kabupaten Karo;

3.5.1 Rumah Tipe 1 di Desa Lingga

Gambar 3.1 Rumah Tipe 1 di Desa Lingga Sumber: data olahan primer


(74)

3.5.2 Rumah Tipe 2 di Desa Lingga

Gambar 3.2 Rumah Tipe 2 di Desa Lingga Sumber: data olahan primer

3.5.3 Rumah Tipe 3 di Desa Lingga Julu

Gambar 3.3 Rumah Tipe 3 di Desa Lingga Julu Sumber: data olahan primer


(75)

3.6 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Adapun tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu :

• Analisis Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu dan Analisis Transformasi Arsitektur.

Pada tahap ini dipakai metode analisis deskriptif kualitatif untuk menganalisis fasad bangunan Rumah tinggal suku Karo, hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi transformasi arsitektural, dari bentuk Arsitektur Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu.sebagai pembentuk eksterior salah satunya adalah pada bagian fasad Rumah tinggal suku Karo tersebut secara detail. Analisis ini dilakukan dengan menerapkan teori Nawawi Loebis dalam bukunya "Raibnya Para Dewa, Kajian Arsitektur Karo" (2004) mengenai elemen pendukung fasad bangunan. Setelah tahap ini akan teridentifikasi elemen-elemen Arsitektur Karo pada bagian eksterior bagunan termasuk pada bagian fasad bangunan berdasarkan variabel yang sebelumnya telah ditentukan berdasarkan teori. Kemudian identifikasi adanya transformasi Arsitektur pada bangunan rumah tinggal suku karo dengan membandingkan Arsitektur Karo pada bangunan Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu dengan menggunakan teori R. Pakpahan dalam tesisnya yang berjudul "Evaluasi Pasca Huni Perumnas Mandala" (2010).


(76)

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Kawasan Penelitian

Lokasi penelitian dengan objek penelitian rumah tipe 1 dan rumah tipe 2 berada di desa Lingga dan objek penelitian rumah tipe 3 berada di desa Lingga Julu. Desa Lingga dan desa Lingga Julu merupakan desa yang ada di kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Desa Lingga adalah bentuk Pemerintaha Desa yang berada dalam wilayah Geografis hukum kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara, yang letaknya tidak jauh dari ibu kota kecamatan Simpang Empat. Dapat kami jelaskan bahwa jarak antara desa dengan ibu kota kecamatan Simpang Empat, ibu kota Kabupaten Karo dan Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara adalah Sebagai berikut:

1. Jarak ke Ibukota Kecamatan Simpang Empat = 4 Km 2. Jarak ke Ibukota Kabupaten Karo (Kabanjahe) =4,5 Km 3. Jarak ke ibu kota Provinsi Sumatera Utara (Medan) = 73,5 Km

Sedangkan batas-batas wilayah Desa Lingga adalah sebagai berikut; Sebelah Utara berbatasan dengan : Desa Surbakti Sebelah Selatan berbatasan dengan : Desa Kacaribu Sebelah Timur berbatasan dengan : Desa Lingga Julu Sebelah Barat berbatasan dengan : Desa Sirumbia


(77)

Gambar 4.1. Peta Geografis Kawasan Penelitian Desa Lingga dan Desa Lingga Julu


(78)

Gambar 4.2. Peta Geografis Kawasan Penelitian Desa Lingga dan Desa Lingga Julu

(Sumber: Google earth.com)

Lokasi penelitian dengan objek penelitian rumah tipe 4 berada di desa Gurusinga. Desa Gurusinga merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Berastagi merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Jarak Kecamatan ini dengan pusat pemerintahan kabupaten sendiri yakni Kabanjahe adalah 10 km, dengan ibukota provinsi yakni Medan adalah 65 km. Sementara jarak ke desa/kelurahan yang terjauh adalah 9 km. Secara administratif Kecamatan Berastagi terdiri dari 5 desa swasembada yakni Desa Doulu, Desa Sempa Jaya, Desa Rumah Berastagi, Desa Guru Singa dan Desa Raya serta 4 daerah kelurahan yakni Kelurahan Gundaling I, Kelurahan Gundaling II,


(79)

Kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan Kelurahan Tambak Lau Mulgap II. Serta mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang 2. sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe 3. sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat 4. sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tiga Panah

Kecamatan Berastagi terletak di daerah dataran tinggi dengan ketinggian 375 m dari permukaan laut dengan curah hujan berkisar antara 2000-2500/tahun dan suhu maksimumnya adalah 22º Celcius sedangkan suhu minimum adalah 16º Celcius.


(1)

(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Transformasi arsitektural yang terjadi pada rumah tradisional Karo dibandingkan dengan rumah adat Siwaluh Jabu:

1). Transformasi arsitektural yang terjadi pada rumah tradisional Karo tipe 1 dibandingkan dengan rumah adat Siwaluh Jabu terdapat pada denah, pada bangunan utama terdapat pada bagian kepala bangunan, badan bangunan, dan kaki bangunan, kemudian pada bangunan tambahan, memiliki fungsi sebagai rumah tinggal dan gudang hasil panen jagung dan kopi, memiliki material papan setengah dinding keatas dan batu bata setengah dinding kebawah, tidak adanya keselarasan arsitektur bangunan tambahan terhadap bangunan utama.

2). Transformasi arsitektural yang terjadi pada rumah tradisional Karo tipe 2 dibandingkan dengan rumah adat Siwaluh Jabu terdapat pada denah, pada bangunan utama terdapat pada bagian kepala bangunan, badan bangunan, dan kaki bangunan, kemudian pada bangunan tambahan, memiliki fungsi sebagai kamar mandi dan wc, memiliki material batu bata pada seluruh bagian dinding bangunan tambahan, tidak adanya keselarasan arsitektur bangunan tambahan terhadap bangunan utama.

3). Transformasi arsitektural yang terjadi pada rumah tradisional Karo tipe 3 dibandingkan dengan rumah adat Siwaluh Jabu terdapat pada denah, pada


(3)

bangunan utama terdapat pada bagian kepala bangunan, badan bangunan, dan kaki bangunan, kemudian pada bangunan tambahan, memiliki fungsi sebagai ruang dapur dan kamar mandi dan wc, memiliki material batu bata pada seluruh bagian dinding bangunan tambahan, tidak adanya keselarasan arsitektur bangunan tambahan terhadap bangunan utama.

Faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi bentuk arsitektural pada rumah tradisional Karo:

a). Faktor yang menyebabkan terjadinya transformasibentuk arsitektural pada rumah tradisional Karo tipe 1 adalah faktor perubahan gaya hidup (life style), perubahan budaya, dari segi bahan bangunan dan juga bentuk bangunan yang mengalami perubahan tergolongan pada faktor perubahan teknologi dan perubahan ekonomi.

b). Faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi arsitektural pada rumah tradisional Karo tipe 2 adalah faktor perubahan gaya hidup (life style), perubahan budaya. Adanya bangunan tambahan pada rumah tinggal suku Karo tipe 2 disebabkan oleh Faktor perubahan budaya dan perubahan gaya hidup. Sedangkan perubahan pada bagian material bangunan disebabkan oleh faktor perubahan teknologi dan ekonomi.

c). Faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi arsitektural pada rumah tradisional Karo tipe 3 adalah faktor transformasi gaya hidup (life style), transformasi budaya. Adanya bangunan tambahan pada rumah tinggal suku Karo tipe 3 disebabkan oleh Faktor perubahan budaya dan perubahan


(4)

gaya hidup. Sedangkan perubahan pada bagian material bangunan disebabkan oleh faktor perubahan teknologi dan ekonomi.

5.2 Saran

1) Kepada dinas pariwisata dan kebudayaan, agar dapat melestarikan dan menjaga keberadaan baik itu rumah adat Karo maupun rumah yang menyerupai rumah adat Karo dan juga menjaga keberadaan ornamen-ornamen tradisional Karo, agar nilai-nilai kebudayaan tradisional Karo tidak hilang dan memiliki wadah sebagai tempat mengaplikasikannya.

2) Kepada masyarakat Karo khususnya pemerhati budaya, agar melestarikan bangunan-bangunan yang merupakan cerminan dari budaya Karo.

3) Kepada generasi muda agar turut serta dalam pelestarian peninggalan budaya dan pengembangannya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Antoniades, Anthony, (1990). Poetics Of Architecture, Van Nostrand Reinhold, New York.

Budihardjo, Eko. 1991. Jati Diri Arsitektur Indonesia. Bandung. Alumni Mangunwijaya, Y,B. 1992. Watu Citra. Jakarta: Gramedia.

Moleong, Lexy J. 2005. Metologi Penelitian Kualitatif. Bandung : remaja Rosda Karya.

Hanan, Himasari, Dr-ing. 2013. Sustainabilityof the traditional Form Of Batak HouseIn Samosir Island. Jurnal Penelitian SAPPK ITB.

Habraken, N. J. (1998), The Structure of The Ordinary : Form and Control in the BuiltEnvironment, The MIT Press, Massachusetts.

Prijotomo, Josef. 1995. Petungan: Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Loebis, Nawawi, (2004). Raibnya Para Dewa, Kajian Arsitektur Karo, Medan, Penerbit Bina Teknik Press.

Pakpahan, R., (2010). Evaluasi Pasca Huni Perumnas Mandala, Tesis USU, Medan.

Pakilaran, A.U, (2006). Transformasi Bentuk dan Ruang pada Rumah Toko di Kawasan Pecinan Makasar (1970-2005), Tesis ITB, Bandung.

Prinst, Darwan. Adat Karo. Medan: Bina Media Printis, 2004.

Prinst, Darwan. Kamus Karo Indonesia. Medan: Bina Media Printis, 2002. Rossi, Aldo. 1982. The Architecture of The City. The Institute For Architecture


(6)

and Urban Studies. The MIT Press, Massachusetts.

Sekaran, Uma, 2006, Metode Penelitian Bisnis, Edisi 4, Buku I, Salemba, Jakarta Sibeth, Achim. The Batak. New York: Thames and Hudson, Inc., 1991.

Singarimbun, Masri. The Adat House, Kinship, Descent and Alliance Among the Karo Batak. Berkley, Los Angeles, London, 1975.

Sinulingga, Sukaria. 2011. Metode Penelitian. Terbitan pertama. Penerbit USU Press.

Soeroto, Myrtha, (2002). Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia, Jakarta, Penerbit Ghalia Indonesia.

Thompson, D’Arcy. 1961. On Growth and Form. Great Britain: Cambidge University Press.