BAB II - Ekspresi mRNA mammaglobin pada darah penderita kanker payudara dengan metastase di Kotamadya Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1. Gambaran umum Kanker Payudara

2.1.1. Epidemiologi Kanker payudara

  Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang paling umum pada wanita dan merupakan penyebab kematian no 2 setelah kanker paru-paru (Canda et

  al., 2004 dan Jemal et al., 2007).

  Gambar 1, Anatomi payudara

  Kejadian tahunan kanker payudara di seluruh dunia diperkirakan mencapai angka satu juta kasus dengan sekitar 200,000 kasus di Amerika Serikat (27% dari semua kanker pada wanita) dan sekitar 320,000 kasus di Eropa (31% dari semua kanker pada wanita) (Stewart et al., 2004).

  Di Amerika Serikat, kanker payudara masih merupakan jenis kanker yang paling sering pada wanita, dengan sekitar 212,600 kasus baru didiagnosa setiap tahunnya dan mengakibatkan kematian sebesar 15% dari semua kematian akibat kanker. Sebagian besar kematian ini sebagai akibat dari metastase (Cristofanilli et al., 2005 dan Smigal et al., 2006).

  Pada tahun 2007, diperkirakan ada 178.480 kasus baru kanker payudara invasif terdiagnosis pada wanita. Jumlah kanker payudara baru pada tahun 2007 ini lebih rendah dari perkiraan untuk tahun 2005. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan metode perhitungan yang baru, adanya alat estimasi baru yang lebih akurat dan juga penurunan tingkat kejadian kanker payudara (American Cancer Society, 2008).

  Di Indonesia, kasus kanker payudara dilaporkan oleh Didid Tjindarbumi, 2002 menduduki peringkat kedua setelah kanker leher rahim, dimana angka kesakitan berkisar 18%.

  Kanker payudara pada pria jarang terjadi, adapun jumlah kasusnya hanya 1% dari semua kanker pada pria dan kurang dari 1% dari semua kasus kanker payudara yang terdiagnosa. Etiologi kanker payudara laki-laki tidak jelas, diperkirakan tingkat hormonal mungkin memainkan peranan penting dalam perkembangan penyakit ini (Giordano, 2005).

2.1.2. Faktor-faktor resiko Kanker Payudara

  Etiologi kanker payudara tidak diketahui secara jelas meskipun sejumlah faktor resiko telah diidentifikasikan akan mempengaruhi perkembangan kanker payudara.

  Faktor-faktor ini termasuk riwayat keluarga penderita kanker payudara, predisposisi genetik, status menopause, riwayat menstruasi dan riwayat reproduksi (American

  Cancer Society, 2008).

  Gambar 2, Kanker Payudara. 2.1.2.a. Riwayat Keluarga: Adanya riwayat keluarga merupakan faktor resiko yang paling penting dalam perkembangan kanker payudara. Keturunan dari penderita kanker payudara memiliki resiko peningkatan penyakit ini. Resiko ini meningkat sejalan dengan usia saat terkena. Selain itu, ada kecenderungan individu keturunan tingkat pertama akan beresiko lebih tinggi dibandingkan dengan keturunan tingkat dua (Loman et al., 2003).

  2.1.2.b. Kanker pada payudara Lain:

   Armstrong et al. (2000) mengemukakan bahwa faktor resiko utama untuk

  terkena kanker payudara primer adalah adanya riwayat pribadi kanker sebelumnya pada payudara sisi yang lain. Namun, kanker kedua ternyata juga bisa muncul pada payudara yang sama. Kebanyakan kanker payudara bisa timbul kembali dalam lima tahun pertama setelah pengobatan. Pasien dengan tumor primer yang berdiameter kurang dari 1 cm dan nodul aksila negatif mempunyai tingkat kekambuhan yang rendah.

  2.1.2.c - Penyakit Payudara yang sebelumnya jinak:

  Wanita dengan tumor jinak payudara mempunyai peningkatan resiko terkena kanker payudara. Resiko ini bervariasi sesuai dengan gambaran subkategori histologis seperti proliferatif atipik yang mungkin merupakan pencetus dari kanker payudara (Terry and Rohan, 2002).

  2.1.2.d. Umur: Dewasa ini, wanita Amerika memiliki resiko terkena kanker payudara sebesar 12,3% (1 dari 8 wanita) selama kehidupannya. Sementara pada tahun 1970-an, resiko seumur hidup terdiagnosa menderita kanker payudara adalah 1 dari 11 wanita. Peningkatan ini terjadi karena harapan hidup yang lebih lama, serta penggunaan terapi sulih hormone (HRT-Hormon Replacement Therapy) jangka panjang dan meningkatnya prevalensi obesitas (American Cancer Society, 2008). 2.1.2.e Riwayat Menstruasi dan Status Menopause : Insiden kanker payudara meningkat sejalan dengan bertambahnya usia wanita, tetapi lebih umum terjadi pada wanita pascamenopause (Miksicek et al., 2002).

  Menopause yang tertunda akan mengakibatkan jumlah siklus ovulasi lebih panjang, yang meningkatkan resiko kanker payudara. Pada sisi lainnya, pembedahan yang mencetuskan menopause (ovariektomi atau histerektomi) sebelum usia 35 tahun ternyata menurunkan resiko kanker payudara (Ursin et al., 2005).

  2.1.2.f Riwayat Reproduksi dan Menyusui:

  Meningkatnya usia menarche, usia yang muda pada kelahiran anak pertama dan jumlah paritas yang tinggi mempunyai kaitan yang erat dengan penurunan resiko kanker payudara pada populasi umum (Tryggvadottir et al, 2003). Wanita yang menyusukan bayi selama 12 bulan atau lebih akan berkurang resiko terkena kanker payudara. Namun, wanita yang melahirkan tetapi tidak menyusukan bayinya mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena kanker payudara. Peningkatan resiko juga terjadi pada wanita yang belum pernah hamil (Wrensch et al., 2003). 2.1.2.g - Hormon Eksogen: Estrogen eksogen, baik dalam bentuk kontrasepsi oral kombinasi (COC-

  Combined Oral Contraception) atau terapi sulih hormon (HRT), juga mengakibatkan

  peningkatan resiko kanker payudara, namun hal ini tergantung pada durasi paparan dan apakah estrogen digunakan tunggal atau dalam bentuk kombinasi dengan progesteron (Antoine et al., 2004). Sebuah studi meta-analisis menunjukkan bahwa pasca penggunaan COC selama 10 tahun, ditemukan adanya peningkatan resiko sebesar 24% terkena kanker payudara (Connor dan Stuenkel, 2001). 2.1.2.h Faktor Resiko akibat gaya hidup: h.1 Konsumsi Alkohol : Pöschl dan Seitz (2004) mengemukakan bahwa alkohol dapat bertindak secara tidak langsung melalui metabolitnya yaitu asetaldehida utama, suatu karsinogen yang dapat bertindak sebagai bahan mutagen, dan atau sendiri merupakan promotor tumor, menyebabkan peningkatan aktivasi prokarsinogen. h.2. Obesitas: Peningkatan resiko terkena kanker payudara pada wanita dengan obesitas diakibatkan oleh jumlah estrogen endogen yang lebih tinggi, sebab jaringan adiposa merupakan sumber yang penting dari estrogen (McTiernan et al, 2003).

   h.3. Kebiasaan diet:

  Konsumsi tinggi lemak terutama lemak jenuh dikaitkan dengan peningkatan resiko kanker payudara. Sementara jenis tertentu dari asam lemak tak jenuh ganda (PUFA), omega-3 PUFA, tampaknya menjadi pelindung (Elahi et al., 2004) Di sisi lain, konsumsi buah dan sayuran yang merupakan sumber bahan yang kaya antioksidan alami, terbukti menurunkan resiko kanker secara umum, dan kanker payudara pada khususnya. Efek protektif dilaporkan lebih menonjol pada wanita pasca menopause (American Cancer Society, 2008). h.4. Kurangnya aktivitas fisik: Aktivitas fisik yang dilakukan mulai masa remaja sampai dewasa (12 - 50 tahun) menurunkan angka kesakitan kanker payudara sebesar 27%. Aktivitas fisik dapat mengurangi resiko dengan cara menunda berlangsungnya menarche dan memodifikasi kadar hormon secara biologis (Lee et al., 2001).

   h.5. Penggunaan dan paparan Tembakau:

  Yang terkait dengan tembakau adalah bahan karsinogeniknya (misalnya, hidrokarbon aromatik polisiklik dan amina aromatik), memberikan hubungan yang positif antara merokok dan resiko terkena kanker payudara (American Cancer Society, 2008).

  2.1.2.i Paparan Radiasi Pengion: Di antara korban bom atom dan wanita yang terkena radiasi pengion sebagai bagian dari pengobatan mereka, mempunyai peningkatan resiko terkena kanker payudara bila usia muda telah terkena paparan (Frazier et al, 2003). Hal ini disebabkan setelah usia menopause tercapai, maka terjadi penurunan proliferasi jaringan, dimana sel yang rusak, gagal berkembang menjadi sel kanker setelah terkena paparan. Sebaliknya, ketika seorang gadis usia muda terkena radiasi, ia masih memiliki siklus menstruasi selama beberapa dekade, sehingga lebih mungkin terjangkit semua jenis kanker termasuk kanker payudara

2.1.3. Dasar Genetika Kejadian Kanker Payudara dan Progresivitasnya:

  Karena kanker payudara adalah kanker yang paling sering didiagnosis pada wanita dengan sekitar 7% dari kanker payudara diyakini berkaitan erat dengan faktor keturunan, maka pengetahuan tentang kontrol genetik pertumbuhan sel adalah penting, tidak hanya untuk memahami evolusi tumor tetapi juga untuk diagnosis yang tepat, pengobatan, pemantauan, dan untuk pencegahannya (Ergul and Sazci. 2000).

  2.1.3.a – Mutasi gen pada Kanker Payudara familial. Penelitian klinis agregasi kanker payudara familial mengidentifikasikan setidaknya ada lima sindroma genetik dengan pola dominan autosomal yang berkaitan dengan kanker payudara. Sindrom ini masing-masing memiliki kaitan mutasi genetik yang muncul secara konsisten . Gen-gen yang terlibat termasuk gen BRCA1 dan BRCA2 (sindroma kanker payudara - ovarium 1 dan 2), p53 (Sindroma Li- Fraumeni

  ) , gen ATM (mutasi ataksia telangiectasia), dan PTEN (penyakit Cowden’s) (Ergul and Sazci., 2000 dan Axilbund et al., 2011).

   a.1. BRCA1 dan BRCA2:

  Sebuah analisis yang diterbitkan pada tahun 1990 memperlihatkan bahwa ada gen pada kromosom 17 yang mengakibatkan kanker payudara dalam sebuah keluarga dengan beberapa yang melibatkan payudara dan ovarium. Pemetaan genetik selanjutnya dan studi kloning molekuler mengidentifikasikan adanya gen

  (Kanker Payudara) BRCA1 pada tahun 1994. Identifikasi gen BRCA2 yaitu gen kanker payudara lainnya ada pada kromosom 13, dilaporkan sekitar 1 tahun kemudian.

  (Brekelmans et al., 2001 dan Egul and Sazci., 2000). Meskipun mutasi pada gen BRCAl dan BRCA2 telah dikaitkan dengan tingginya insiden kanker payudara, fungsi yang tepat dari protein ini belum sepenuhnya diketahui. Ada data yang mendukung pendapat bahwa fosforilasi protein (ATM) akan mengaktifkan protein BRCAl sebagai respon atas kerusakan DNA. Selanjutnya, BRCA1 mengalami fosforilasi membentuk kompleks dengan BRCA2 dan RAD 51, mengaktifkan perbaikan DNA oleh rekombinasi homolog (Grebenchtchikov et al.,

  2004).

  Oleh karena itu asosiasi protein BRCAl dan BRCA2 dengan Rad 51 akan mengontrol integritas genomik dan stabilitas ,karena Rad 51 diperlukan untuk rekombinasi mitosis meiosis dan perbaikan kerusakan untaian ganda DNA (de la hoya et al., 2006). a.2. gen p53: Gen P53 (protein 53kDa), terletak di kromosom 17 pada regio p13.1, mengkodekan faktor transkripsi p53, yang merupakan regulator kunci dari pos pemeriksaan Gl dari siklus sel (De Jong et al., 2002) .

  Kerusakan DNA, mengaktifkan p53, yang mengatur regulasi berbagai gen target yang terlibat di dalam: (I) Kontrol siklus sel: Biasanya dengan kerusakan atau stres pada DNA, p53 berakumulasi, mengtransaktivasi gen yang mengkode inhibitor p21 cyclin dependent kinase, sehingga merangsang terjadi penghentian siklus sel. (II) Perbaikan DNA: keberhasilan perbaikan DNA akan memungkinkan sel untuk terus berfungsi secara normal.

  (III) Apoptosis: Sel yang gagal memperbaiki kerusakan DNAnya akan mengalami apoptosis.

  Pada kanker payudara, mutasi p53 berkaitan erat dengan penyakit yang lebih agresif dan memperburuk kelangsungan hidup secara keseluruhan, namun, frekuensi ini lebih rendah pada kanker payudara dibandingkan tumor padat lainnya (Gasco et al., 2002).

  Pada kasus yang jarang, mutasi pada p53 menyebabkan kanker payudara yang didiagnosa pada wanita sebelum usia 35 tahun. Bentuk kanker payudara familial ini dikaitkan dengan sindrom Li-Fraumeni, yang selain terkena kanker payudara, juga memiliki kaitan dengan kanker yang lain, seperti sarkoma jaringan lunak, tumor otak, osteosarkoma, leukemia, dan karsinoma adrenokortikal. Tumor ini sering multipel dan onset awalnya, terjadi pada masa kecil (De Jong et al., 2002 dan Collado et al. 2004).

  :

  Gambar Apoptosis dari

  a.3 Gen telangiectasia Ataksia (ATM) bermutasi:

  Ataksia telangiectasia (AT) adalah gangguan resesif autosomal yang ditandai dengan ataksia cerebellar, telangiektasis, cacat imunitas, dan adanya kecenderungan untuk keganasan. Gen ATM mengkode protein yang terlibat dalam kontrol siklus sel dan perbaikan DNA namun gen tunggal pada 11q dapat menyebabkan penyakit (Ergul and Sazci., 2000 dan Axilbund et al., 2011). a.4. Gen PTEN : Mutasi pada gen PTEN(fosfatase dan homologi TENsin) bertanggung jawab menyebabkan penyakit Cowden, yang di samping kanker payudara tampak adanya beberapa hamartomas di kulit dan saluran pencernaan. Gen PTEN, terletak pada kromosom 10Q, mengkode protein tirosin fosfatase dengan homologi tensin. Mutasi somatik pada gen PTEN jarang terjadi pada kanker payudara (Ergul and Sazci., 2000

  dan Axilbund et al., 2011)

2.1.4. Klasifikasi kanker payudara:

  Kanker payudara dapat diklasifikasikan sesuai dengan jenis histopatologi dan menurut sistem staging TNM.

  2.1.4.a - Histopatologi Jenis Kanker Payudara WHO classification of Carcinoma of the breast

  1. NonInvasive Carcinoma Ductal Carcinoma in situ Lobular Carcinoma in situ

  2. Invasive Carcinoma Invasive ductal carcinoma Invasive lobular carcinoma Mucinous carcinoma Medullary carcinoma Papillary carcinoma Tubular carcinoma Adenoid cyst carcinoma Secretory (juvenile) carcinoma Apocrine carcinoma Carcinoma with metaplasia Inflamatory carcinoma Other (specify)

  3 .1. Paget’s Disease of the Nipple

  (Wood W.C. et al., 2005) 2.1.4.b Klasifikasi TNM : Tumor-node-metastasis (TNM) adalah sistem yang dikembangkan oleh Pierre Denoix pada tahun 1942 dan mewakili upaya untuk mengklasifikasikan kanker berdasarkan atribut morfologi utama tumor ganas yang dianggap mempengaruhi prognosis penyakit: ukuran tumor primer (T), keberadaan dan tingkat keterlibatan kelenjar getah bening regional (N), serta adanya metastasis jauh (M). International Union Against Cancer (IUAC) menyajikan klasifikasi klinis kanker payudara berdasarkan sistem TNM pada tahun 1958, dan American Joint Committee on Cancer (AJCC) menerbitkan sebuah sistem staging kanker payudara berdasarkan TNM dalam manual stadium kanker pertama mereka pada tahun 1977. Dan sejak saat itu, revisi reguler telah dilakukan untuk memperlihatkan kemajuan besar dalam diagnosis dan pengobatan. Dalam revisi tahun 1987, perbedaan antara versi AJCC dan IUAC dari sistem TNM dihapuskan (Singletary and Connolly, 2006).

2.1.5. Staging Kanker Payudara:

  Staging atau stadium kanker payudara bergantung pada kriteria klinis dan patologis dimana hal ini berguna dalam pengobatan dan prognosis penyakit. Metode staging yang digunakan saat ini tergantung pada sistem TNM. Karena sistem TNM merupakan penggabungan dari AJCC dan IUAC (Singletary and Connoly., 2006), maka tidak ada lagi perbedaan di antara keduanya.

  

TNM Staging System for Breast Cancer (American Joint Committee on Cancer

Staging System, 2003)

2.1.6. Diagnosa Kanker Payudara

  Diagnosa kanker payudara didasarkan pada interpretasi atas informasi dari jaringan histologis. Diagnosis dapat dibantu dari sejarah medis, pemeriksaan fisik, mamografi, ultrasonografi, pemeriksaan sitologi dan sejumlah teknik lainnya, tetapi hasil dari masing-masing akhirnya memerlukan konfirmasi dengan pemeriksaan histologis jaringan yang relevan (Margolese et al., 2003). 2.1.6.a. Diagnosa Klinis

  :

  a.1. Riwayat medis: Sebagian besar keluhan tentang payudara bukan terkait kanker. Kondisi jinak jauh lebih sering dari kondisi ganas, tetapi tanda-tanda dan gejala kanker tidak unik sehingga sukar dibedakan dengan kondisi jinak. Untuk alasan ini, setiap gejala yang berkaitan dengan payudara meningkatkan kemungkinan akan adanya kanker (Margolese., 2003). Riwayat medis meliputi evaluasi keluhan yang terkait dengan payudara, ini meliputi:

a. Gejala pada lesi primer: • Massa pada payudara termasuk durasi, perubahan ukuran, dan sensasi nyeri.

  • Puting / areola yang berdarah.
  • Ulkus atau kemerahan pada kulit payudara.

  b. Data informatif lainnya

  • Informasi tentang masalah payudara sebelumnya, aspirasi ataupun biopsy payudara.
  • Jika pasien telah mengalami histerektomi, alasan untuk operasi dan apakah ovarium telah diangkat.
  • Riwayat terapi sulih hormon dan kontrasepsi oral saat ini atau sebelumnya.
  • Riwayat reproduksi, usia menarche dan menopause serta tanggal periode menstruasi terakhir.
  • Riwayat keluarga yang cermat sangat penting, terutama mengenai payudara dan kanker ovarium, ini berkaitan dengan sindrom genetik kanker keluarga yang mempengaruhi kanker payudara. (Margolese et al., 2003) a.2. Pemeriksaan fisik: Pemeriksaan fisik payudara meliputi inspeksi dan palpasi payudara dan dinding dada serta kelenjar getah bening aksila supraklavikula. Ini harus dilakukan secara sistemik dan profesional dengan lingkungan yang nyaman dan santai serta menjamin privasi pasien. Pada wanita premenopause yang terbaik diperiksa adalah satu minggu setelah onset haid terakhir mereka, yaitu ketika kekenyalan dan pembengkakan payudara paling minimal (Winchester., 1992).
Tanda-tanda fisik pada pasien dengan kanker payudara dapat mencakup satu atau beberapa hal berikut: a.2.1. Massa payudara: Terdeteksi adanya massa payudara adalah keluhan yang paling umum yang membuat wanita mencari nasihat medis. Kuadran luar atas payudara adalah tempat lesi kanker yang paling sering. Kekenyalan massa, ketidakteraturan, perlekatannya pada kulit, dan edema atau retraksi dari kulit di atasnya mengarah pada keganasan (Raina et al., 2005).

   a.2.2. Discharge pada puting:

  Discharge puting spontan, baik dari satu payudara saja, dan terbatas pada satu saluran meningkatkan kemungkinan kanker. Discharge akibat kanker biasanya mengandung darah. Perubahan puting terkait dengan kanker berupa retraksi, infiltrasi langsung, atau penyakit Paget. Penyakit Paget pada puting susu terjadi karena sel-sel ganas yang menyerang epidermis puting. (Margolese et al., 2003). a.2.3. Perubahan kulit: Retraksi kulit diakibatkan pemendekan ligamen Cooper karena diinfiltrasi oleh kanker. Lesi kulit lainnya termasuk ulserasi kulit dan edema (peau d'orange) yang mungkin disertai dengan kemerahan. Juga nodul satelit dermal menandakan penyebaran ke kulit (Margolese et al., 2003).

  2.1.6.b. Diagnosa secara radiologis:

  b.1. Mammografi: b.2. USG (sonografi): b.3. Magnetic Resonance Imaging (MRI): 2.1.6.c. Aspirasi Jarum Halus: Aspirasi jarum halus (FNA) dilakukan untuk membedakan kista dengan tumor padat dan untuk memperoleh spesimen sitologi. Jika cairan yang diperoleh, maka kista dievakuasi total. Hilangnya massa yang teraba secara keseluruhan tanpa perdarahan (haemocult-negatif) merupakan indikasi dari kista sederhana (Giard and

  Herman, 1992).

  2.1.6.d. Biopsi: Biopsi dapat berupa

  • . Biopsi kulit:
  • . Biopsi inti:
  • . Biopsi inti dipandu USG:
  • . Biopsi bedah terbuka: 2.1.6.e - Diagnosis Laboratorium:

  Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mendiagnosa kanker payudara biasanya diklasifikasikan sebagai berikut: e.1. Pemeriksaan laboratorium umum: Ini digunakan untuk mengetahui kondisi umum pasien. Pemeriksaan ini termasuk hitung darah lengkap, laju endap darah, fungsi ginjal dan fungsi hati, asam urat, dan penanda tulang seperti kalsium, fosfor dan fosfatase alkali (Margolese et al., 2003). e.2. Tumor marker payudara (Harris et al.,2007) Tabel berikut memuat tumor marker yang lazim diperiksa untuk membantu menegakkan diagnosa pada sangkaan suatu kanker payudara: Tumor Marker kanker payudara Kegunaan klinis

1. CA 15-3 dan CA 27.29 - Skrining, diagnosa dan

  staging awal penyakit

  • Pemantauan setelah terapi primer.
  • Pemantauan rekurensi kanker payudara

  2. CEA - Skrining, diagnose dan staging awal penyakit

  • Tidak untuk pemantauan setelah terapi primer

  3. ER/ PR - Pemantauan reseptor endokrin ER/ PR penderita kanker payudara yang diperkiraan berfaedah bila mendapat terapi endokrin.

  4. HER2/Neu - Pemantauan ekspresi dari setiap kasus tumor invasif, penentu perlu tidaknya terapi dengan anti HER2/Neu.

  • Perkiraan prognosa

  5. P-53 - Marker yang tidak spesifik untuk kanker payudara 6. uPA dan UPA-1 Diperiksa dari jaringan payudara

  Level rendah menggambarkan kemungkinan kecil untuk rekurens Kemoterapi tidak efektif pada level tinggi

  2.1.7. Program penapisan (Skrining):

  Karena kanker payudara adalah kanker yang menyebabkan kematian yang tinggi pada wanita di negara-negara di seluruh dunia, maka program skrining telah diperkenalkan untuk memfasilitasi temuan kasus di kalangan wanita tanpa gejala terutama yang teridentifikasi dengan faktor risiko(Elmore et a.l, 2002. Dan Smigal et

  al., 2006).

  Tujuan dari skrining kanker payudara adalah deteksi dini keganasan pada tahap yang diharapkan dapat menurunkan angka kematian (Autier, 2002).

  2.2. PENANDA TUMOR KANKER PAYUDARA

  2.2.1. Definisi:

  Tumor marker adalah suatu zat yang dapat dideteksi dalam jumlah yang lebih tinggi pada urin, darah atau jaringan dari pasien penderita kanker. Zat ini dapat berupa protein, enzim, bahan biokimia atau antigen (Henry and Hayes, 2006).

  2.2.2. Kepentingan klinis: Tumor marker dapat dihasilkan baik oleh kanker sendiri atau oleh tubuh sebagai respon terhadap kanker. Secara umum, kadar penanda tumor lebih rendah pada tahap awal penyakit (tapi masih lebih tinggi dari normal) dan meningkat pada penyakit tahap lanjut. Selanjutnya, titernya turun sebagai respon terhadap pengobatan dan meningkat kembali ketika kanker berkembang (Henry and Hayes, 2006).

  Namun, Perkins et al. (2003) menyatakan bahwa penanda tumor tidak cukup spesifik untuk digunakan sendiri dalam mendiagnosa kanker. Kadar penanda tumor dapat meningkat pada orang dengan penyakit jinak, selain itu mereka tidak meningkat pada setiap orang dengan kanker, terutama mereka dengan stadium awal penyakit.

  2.2.3. Klasifikasi: Sejumlah besar penanda ada pada kanker payudara .Penanda ini dapat diklasifikasikan ke dalam penanda konvensional, penanda diagnostik, skrining dan penanda prognostik:

  2.2.3.a. Penanda Konvensional:

  Ada beberapa penanda tumor berbasis serum untuk kanker payudara, seperti CA 15-3, CA 27-29, CEA, dan CA 19-9, namun penanda konvensional ini tidak sensitif dan tidak spesifik. Selain itu, mereka tidak dapat digunakan sebagai faktor prognostik independen. Penanda yang paling banyak digunakan adalah CA 15-3 dan CEA (Duffy, 2006). a.1. Carcinoembryonic Antigen (CEA): Antigen Karsino Embrionik diidentifikasi pada tahun 1965 oleh Gold dan Freedman, sebagai antigen pertama manusia yang terkait dengan penyakit kanker, dan merupakan salah satu penanda tumor yang paling banyak digunakan sampai saat ini. Awalnya dianggap spesifik untuk kanker usus besar tetapi penelitian berikutnya membuktikan keragaman fungsinya. Dihasilkan oleh jaringan kanker payudara yang kemudian disekresikan ke dalam darah dan cairan tubuh. Ditemukan juga bahwa CEA konsentrasi tinggi preoperatif, berhubungan dengan prognosa yang buruk pada kanker payudara (Duffy, 2006). a.2. Karbohidrat antigen (CA 15-3): CA 15-3 bernilai rendah untuk deteksi dini kanker payudara karena sensitivitasnya rendah (33%), dengan demikian tidak dapat digunakan untuk tujuan skrining (Guadagni et al., 2001). Meskipun aplikasi utama CA 15-3 adalah untuk memantau dan mendeteksi kekambuhan pada pasien yang didiagnosa dengan kanker payudara, namun American Society of Clinical Oncology (ASCO) tidak membenarkan penggunaan rutin CA 15-3 pada pasien yang sebelumnya terdiagnosis asimtomatik karena kurangnya kepekaan dan efektivitas rendah CA 15-3 untuk deteksi dini kekambuhan (30% dari pasien dengan penyakit berulang ternyata levelnya tidak meningkat, sementara 8% tanpa kekambuhan terdeteksi ada) (Duffy,

  2006)

  CA 15-3 ternyata juga terdeteksi pada pasien dengan kanker saluran pencernaan, kanker paru-paru, kanker ovarium, kanker serviks, kanker prostat dan kanker pankreas. Oleh karena itu, CA 15-3 tidak cukup spesifik sebagai penanda untuk mendeteksi kasus kanker payudara (Jones, 1999).

  2.2.3.b. Penanda Diagnostik: O'Brien (2002) mengemukakan bahwa penanda baru seperti mammaglobin, telah memberikan harapan sebagai penanda tambahan kanker payudara primer dan juga digunakan untuk mendeteksi metastase tersembunyi. Sensitivitasnya mencapai 86%. Deteksi dini sel-sel kanker payudara yang beredar dalam sirkulasi dengan metode morfologi telah ditingkatkan menjadi metode sensitif berbasis PCR (Bae et al.,2000).

  Lacroix (2006) melaporkan bahwa deteksi sel tumor dalam sirkulasi menggunakan kombinasi penanda epigenetik mungkin tidak hanya meningkatkan wawasan tentang perilaku biologis dari tumor primer individu, tetapi juga dapat memberikan informasi prognostik yang berharga yang dapat dengan mudah dipantau sepanjang perjalanan penyakit. Penanda epigenetik, seperti sekuens metilasi DNA, akan memungkinkan deteksi kanker payudara tanpa bantuan mammografi. 2.2.3.c. Penanda prognosis: Penanda prognosis menunjukkan kemungkinan hasil seperti kekambuhan tumor atau kelangsungan hidup pasien, terlepas dari pengobatan yang diterima pasien (Ross et al., 2003.).

   Duffy (2006) menyatakan bahwa fitur kunci dari penanda prognostik yang

  berguna secara klinis termasuk kemudahan dan keandalan pemeriksaan; konfirmasi bahwa jenis perawatan yang digunakan tidak mempengaruhi makna prognostiknya; dan bahwa penanda menyediakan informasi hasil penyakit yang independen dari status faktor klasik lainnya.

  Gen HER-2 diamplifikasi atau diekspresikan sebesar 20-30% dari semua kanker payudara invasif. Amplifikasi atau ekspresi berlebihan umumnya dikaitkan dengan prognose yang buruk (Ross et al., 2003). Penanda lain yang digunakan untuk menentukan prognosis pada kanker payudara adalah reseptor estrogen (ER). Meskipun penggunaan utama dari ER adalah untuk melihat respon hormon pada kanker payudara, namun pasien dengan ER positif cenderung memiliki prognosis yang lebih baik daripada ER-negatif pasien, setidaknya untuk 5-6 tahun pertama setelah diagnosis awal (Duffy, 2006).

  Pasien dengan nodul negatif pada aksila dan dengan UPA dan PAI-1 level rendah, memiliki probabilitas rendah terkena penyakit berulang dan dengan demikian akan dapat mengurangi biaya kemoterapi tambahan. (Harbeck et al., 2002). 2.2.3.d. Penanda prediktif: Sebuah penanda prediktif dapat didefinisikan sebagai faktor yang menunjukkan sensitivitas atau resistensi terhadap pengobatan tertentu. Ada dua jenis penanda prediktif: Penanda yang memprediksi kemungkinan bahwa kanker payudara akan berkembang pada wanita yang saat ini bebas penyakit (penanda predisposisi); dan penanda yang dapat memprediksi apakah suatu kasus baru atau kasus kekambuhan dapat merespon terapi tunggal atau kombinasi (Ross et al, 2003 dan Duffy., 2005). d.1. Penanda predisposisi: Peto (2002) menyatakan bahwa kanker payudara familial meliputi sekitar 25% dari semua kasus penyakit pada wanita yang berusia kurang dari 30 tahun. Kelainan genetik baik BRCA 1 atau BRCA2 tampaknya mengakibatkan sekitar 90-95% dari kasus kanker payudara keluarga dengan sisanya disebabkan oleh lain, terutama gen supresor tumor. d.2. Prediksi respon terhadap terapi: Status HER-2/neu pada kanker payudara yang baru didiagnosa dapat berfungsi baik sebagai faktor prognostik yang berdiri sendiri dan sebagai faktor prediktif untuk respons terhadap terapi trastuzumab (Ross et al., 2003). Antibodi monoklonal yang diarahkan terhadap HER-2. Ketika diberikan dengan kemoterapi untuk kanker payudara lanjut yang HER-2-positif, menunjukkan untuk peningkatan maupun kelangsungan hidup secara keseluruhan (25,1 vs 20,3 bulan, p = 0,046) dibandingkan dengan kemoterapi saja (Slamon et al., 2001). Menurut pedoman Eropa (EGTM) dan Amerika (ASCO), pemeriksaan ER harus dilakukan pada semua pasien dengan kanker payudara (Molina et al, 2005). PR harus diperiksa bersama dengan ER, karena pasien yang memiliki kedua reseptor lebih mungkin menerima manfaat dari terapi hormon dibandingkan mereka yang memiliki ER tapi kurang PR. Juga penemuan modulator respon estrogen dan aromatase inhibitor, telah menambahkan strategi baru untuk mengevaluasi tumor pada terapi.

2.3. Mammaglobin

  Gen mammaglobin manusia (h-MAM) mengkode sekresi protein mammaglobin-

  A, yang berkaitan dengan kanker payudara manusia. Selain itu, ekspresinya juga hanya terbatas pada epitel payudara. Mammaglobin hanya dikonservasi pada manusia dan simpanse dan tidak ada pada genom mamalia lain (Watson et al., 1998).

2.3.1. Gen Mammaglobin manusia:

  Watson dan Fleming tahun 1996, mengidentifikasikan sebuah gen baru yang hanya terdapat dalam jaringan payudara. Gen ini, yang dikenal sebagai mammaglobin (MG), mengkodekan protein dengan 93 asam amino dan massa molekul seberat 10.5kDa (Watson and Fleming, 1996).

  Gen h-MAM dipetakan pada kromosom 11q12.3-q13.1; kromosom yang berkaitan dengan kanker payudara dan mengkode glikoprotein 10,5 kDa. Gen h-

  MAM terdiri dari tiga ekson (119 bp, 188 bp dan 199 bp) dan dua intron (603 bp dan 1888 bp) (Watson et al., 1998 dan Cerveira et al. 2004).

  Gen h-MAM menampilkan dua karakteristik yang menunjukkan bahwa ekspresinya relevan dengan biologi kanker payudara. Pertama, analisa Nothern blot dan analisa RT-PCR menunjukkan bahwa ekspresi gen h-MAM terbatas pada kelenjar air susu. Kedua, kadar mRNA mammaglobin yang tinggi hanya muncul pada sel tumor payudara (Watson et al., 1998. dan Raynor et al., 2002) .

2.3.2. Kimia dari Protein Mammaglobin:

  Mammaglobin-A berukuran sangat kecil, terglikosilasi tinggi,dan secara aktif mensekresi 10,5 kDa glikoprotein. Mammaglobin-A memiliki 93-asam amino urutan polipeptida dan dengan 19 asam amino hidrofobik urutan sinyal peptida (Span et al, 2004).

  Mammaglobin-A adalah anggota dari keluarga protein sekretori epitel, dikenal dengan nama uteroglobin, terletak pada kromosom 11q12.2 (Span et al., 2004). Ada dua fungsi utama uteroglobin dan sekretoglobin lain yang paling sering dipelajari. Fungsi pertama adalah pengikatan ligan, karena mereka dapat mengikat steroid dan fibronektin. Fungsi kedua adalah sifat anti-inflamasi, yang mana kurangnya uteroglobin dikaitkan dengan peningkatan ekspresi sitokin inflamasi seperti interleukin-4 (IL-4) dan IL-13 (Sjödin, 2005).

  Mammaglobin-A alamiah membentuk suatu heterodimer dengan lipophilin-B (anggota keluarga uteroglobin yang diekspresikan dalam jaringan payudara dan jaringan lain), yang dikenal sebagai kompleks protein mammaglobin (mammaglobin / lipophilin-B) dalam suatu ikatan kovalen, dan dimerisasi ini sangat penting untuk stabilisasi protein mammaglobin-A. Lipophilin-B mRNA diekspresikan dalam 70% tumor payudara dan menunjukkan korelasi kuat dengan profil ekspresi mRNA dari mammaglobin (Carter et al., 2003).

2.3.3. Kegunaan klinis:

  2.3.3.a. Mammaglobin-A sebagai Marker untuk Kanker Payudara: Ekspresi Mammaglobin-A merupakan penanda sensitif dan spesifik untuk sel-sel epitel payudara neoplastik dan memberikan bukti yang cukup menjanjikan sebagai penanda molekuler untuk deteksi dini, staging, prognosis, dan/atau pemantauan kekambuhan kanker payudara(El-Sharkawy et al., 2007; Bernstein et al., 2005; Silva

  et al., 2002).

  Ekspresi Mammaglobin merupakan faktor prognostik independen yang kuat untuk kekambuhan atau bebasnya pasien dari kanker payudara primer. (Núñez-Villar

  et al., 2003 dan Span et al., 2004). a.1. Spesifisitas dari Mammaglobin: a.1.a Ekspresi spesifik pada Payudara: Ekspresi gen Mammaglobin tidak terdeteksi pada jaringan epitel rahim, prostat, kolon, paru maupun ovarium. Selain dari kelenjar susu pada payudara, mRNA mammaglobin tidak dapat dideteksi dalam jaringan non neoplastik lainnya. Hasil ini menunjukkan potensi penggunaan ekspresi gen mammaglobin sebagai penanda yang sangat spesifik untuk kanker payudara (Bernstein et al., 2005). Pada tumor payudara primer, peningkatan ekspresi mammaglobin bertepatan dengan kejadian metaplasia. Dalam jaringan payudara jinak dengan epitel apokrin metaplastik, immunoreaktivitas mammaglobin tampak di dalam epitel maupun dalam cairan kista apokrin. Kekhususan pola-pola pewarnaan imunohistokimia (IHC) yang positif didokumentasikan oleh sinyal yang berasal dari spesimen identik yang diinkubasi dengan serum kelinci praimun atau antiserum prainkubasi antimammaglobin (Watson et al., 1999 and Gillanders, 2005). Ada beberapa penelitian yang menggunakan mammaglobin untuk mendeteksi sel-sel metastase tumor payudara dalam darah, kelenjar getah bening, sumsum tulang (Zehentner et al., 2004) dan paru-paru (Koga et al., 2004). Penelitian- penelitian ini menunjukkan hasil yang menjanjikan untuk penggunaan mammaglobin sebagai penanda molekul untuk sel kanker payudara. Ekspresi Mammaglobin yang terbatas pada jaringan payudara menghasilkan ide tentang strategi pengobatan

kanker payudara berbasis mammaglobin, misalnya dengan menargetkan tumor kanker payudara dengan antibodi mammaglobin, imunoterapi dengan target mammaglobin dan terapi vector gen dengan mammaglobin sebagai promotor ekspresi Bax, yang akan membantu apoptosis sel tumor payudara (Sjödin, 2005). a.1.b. Kontrol ekspresi pada subyek sehat dan payudara non-kanker: Penanda molekuler selain h-MAM, terekspresi pada sel-sel normal dalam darah tepi (Peripheral Blood/PB) atau sumsum tulang (Bone Marrow/BM) subyek sehat, dan pada pasien dengan keganasan hematologi. Tidak seperti h-MAM, mereka tampaknya tidak cukup spesifik untuk digunakan untuk mendeteksi sel-sel kanker payudara bekas (Corradini et al., 2001). Transkripsi h-MAM tidak dapat dideteksi dalam sampel PB dari 180 orang wanita sehat, sehingga, ia tidak memiliki hasil positif palsu (spesifisitas 100%) dalam kelompok tersebut. Selain itu, transkripsi h-MAM menunjukkan spesifisitas 97% pada pasien dengan keganasan lain di luar kanker payudara. 3% positif palsu yang tersisa di miliki keganasan limfoid (Leukemia limphobalstik akut, limfoma sel mantel dan karsinoma timus (Grunewald et al., 2000; Silva et al., 2002; Cerveira et al., 2004;

  dan Zehentner et al., 2004.).

  a.2. Sensitivitas mammaglobin: a.2.a. Ekspresi mammaglobin pada kanker payudara primer:

  Menggunakan metode pewarnaan IHC, Watson et al. (1999) menunjukkan bahwa 80% dari karsinoma sel duktal memperlihatkan pewarnaan yang kuat pada protein mammaglobin. Menariknya, hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa pewarnaan dapat membedakan mana tumor yang berdiferensiasi baik (78%), berdifensiasi sedang (67%), dan berdiferensiasi buruk(63%).

  Menggunakan RT-PCR assay, Corradini et al. (2001) mempelajari ekspresi HER-2 dan h-MAM dari tiga puluh spesimen bedah yang diperoleh dari kasus yang didiagnosa secara histologi merupakan kanker payudara primer. Ekspresi penanda yang ada, berkisar 63% untuk HER-2 dan 97% untuk h-MAM, hal mana menunjukkan sensitivitas superior dari h-MAM atas penanda lainnya. a.2.b. mRNA Mammaglobin dalam darah perifer pasien kanker payudara: Insiden terdeteksinya transkripsi mRNA h-MAM sampel darah tepi pasien kanker payudara dipelajari oleh Zach et al. (1999). Hasil positif dicatat dalam 28% pasien pada saat diagnosis, 49% pasien dengan penyakit metastase, dan 6% dari pasien yang terbebas penyakit setelah kemoterapi jangka panjang untuk stadium I hingga

  III. Grunewald et al. (2000) menunjukkan bahwa ekspresi h-MAM berkorelasi secara signifikan dengan status nodul, peningkatan serum CA15-3, dan terjadinya metastase jauh pada saat diagnosis. Sementara ekspresi penanda lainnya seperti

  HER-2 dan CK-19 tidak berkorelasi dengan salah satu fitur klinis atau patologi kanker payudara ini. Dalam konteks spesifisitas diagnostik, transkripsi h-MAM tidak tampak pada sampel darah relawan sehat atau pasien dengan keganasan hematologi. Sebaliknya, HER-2 dan CK-19 yang diperiksa dengan nested RT-PCR memperlihatkan hasil positif palsu yang tinggi. Transkripsi HER-2 dan CK-19 terdeteksi pada 25% dan 10% masing-masing pada pasien dengan keganasan hematologi serta CK-19 ditemukan dari 39% sukarelawan yang sehat.

  Penelitian lebih lanjut juga dilakukan oleh Zehentner et al. (2004). Menggunakan real time RT-PCR, mRNA mammaglobin terdeteksi pada 61% sampel darah perifer (PB) dari pasien yang secara histologis terbukti kanker payudara. Deteksi Mammaglobin tidak berkorelasi dengan usia, paritas, atau status menopause penderita kanker payudara yang diperiksa. a.2.c. Sirkulasi protein Mammaglobin dalam serum pasien kanker payudara: Zehentner et al. (2004) mencatat bahwa protein mammaglobin yang beredar terdeteksi pada 54/142 sampel serum wanita dengan kanker payudara dengan spesifisitas 97% pada kontrol sehat. a.2.d. Ekspresi mammaglobin pada kelenjar getah bening dari pasien kanker payudara:

  Mammaglobin, suatu penanda spesifik mRNA jaringan, terdeteksi lebih dari 60% kelenjar getah bening pasien dengan kanker payudara metastatik, tapi tidak pada kelenjar getah bening normal dari pasien non-kanker (Watson et al., 1999). Hasil biopsi sentinel kelenjar getah bening (SLN) sangat prediktif menunjukkan keterlibatan kelenjar getah bening aksila pada kanker payudara. Analisa SLN saat operasi dapat mengurangi biaya dan komplikasi, namun, metode histopatologi yang ada kurang standar dan menunjukkan kurangnya sensitivitas. Metode molekuler yang cepat dapat meningkatkan diagnose metastase SLN intraoperatif (Backus et al., 2005).

  Backus et al. (2005) mengidentifikasi tujuh penanda untuk mendeteksi metastase kanker payudara. Hasilnya dipakai untuk mengidentifikasi metastase klinis dalam kelenjar getah bening dengan menggunakan analisa RT-PCR pada SLN dari 254 pasien kanker payudara. Kombinasi optimal dua gen, mammaglobin dan cytokeratin 19, terdeteksi secara klinis bermetastase dalam pemeriksaan pada SLN payudara dengan sensitivitas 90% dan spesifisitas 94%. Mereka menyarankan pemeriksaan molekuler intraoperatif menggunakan penanda tersebut yang memiliki potensi secara signifikan mengurangi kebutuhan operasi kedua untuk pasien yang menjalani pembedahan SLN. a.2.e. Ekspresi Mammaglobin dalam sumsum tulang pasien kanker payudara: mRNA Mammaglobin terdeteksi pada 64% dari aspirasi sumsum tulang dari pasien kanker payudara dengan metastase (Corradini et al., 2001 dan Silva et al,

  2002). Ekspresi menggunakan RT-PCR untuk penanda kanker payudara dari aspirasi

  sumsum tulang(BM) berkisar dari 0% untuk CEA dan 63% untuk CK-19. Tidak seperti h-MAM, penanda lainnya menunjukkan hasil positif palsu yang tinggi (Mikhitarian et

  al., 2008).

  a.2.f. Ekspresi Mammaglobin pada efusi serosa: Passebosc-Faure et al. (2005) mengevaluasi panel penanda molekuler untuk deteksi sel kanker pada efusi serosa dan untuk menentukan nilai mereka sebagai penunjang transkripsi RT-PCR pada pemeriksaan sitologi. Pada RT-PCR sebanyak 114 pasien dengan efusi serosa yang berasal dari 71 pasien dengan tumor dan 43 pasien dengan penyakit jinak dinilai ekspresi antigen Carcinoembryonic (CEA), sel epitel molekul adhesi (Ep-CAM), E-kaderin (CDH1), mammaglobin B, musin 1 (MUC1) isoform MUC1/REP, MUC1 / Y dan MUC1 / Z, calretinin (CALB2), dan gen tumor Wilms. CEA dan mammaglobin secara khusus terekspresi pada keganasan epitel, dan mammaglobin terutama terekspresi pada efusi dari payudara karsinoma (spesifitas 97,3%).

  Mereka menyimpulkan bahwa analisa RT-PCR dari CEA, Ep-CAM, dan mammaglobin-B pada efusi serosa bisa menjadi tambahan yang bermanfaat untuk sitologi diagnosa keganasan (Passebosc-Faure et al., 2005).

  2.3.4. Mammaglobin dalam Perbandingan dengan Penanda Kanker Payudara yang digunakan saat ini: Mammaglobin menjadi penanda yang sangat menjanjikan untuk aplikasi pengelolaan kanker payudara. Sangat spesifik untuk jaringan epitel payudara, sementara penanda lain menunjukkan ekspresi dalam jaringan selain payudara (Corradini et al., 2001).

  Overekspresi HER-2 juga ditemukan dalam keganasan yang lain selain payudara, seperti karsinoma ovarium(25-30%), adenokarsinoma duktus pankreas (24%), karsinoma sel skuamosa kepala dan leher(24%), adenokarsinoma lambung (15,2%), dan karsinoma kolorektal (3%) (Hellstrom et al., 2001).

  Namun demikian, penanda di luar mammaglobin diekspresikan secara positif palsu dalam kontrol negatif; karenanya, penggunaannya sebagai penanda untuk kanker payudara masih dipertanyakan, dimana saat ini sangat dibutuhkan penanda khusus payudara untuk aplikasi klinis (Corradini et al., 2001). Mengingat sensitivitas diagnostik, mammaglobin tampaknya juga menjadi penanda yang cukup menjanjikan untuk aplikasi klinis.

2.3.5. Metode Assay:

  2.3.5.a. Pewarnaan pada imunohistokimia (IHC): Analisis imunohistokimia rutin dilakukan melalui sisntesa peptida yang sesuai dengan peptida 16-residu (EVFMQLIYDSSLCDLF) pada urutan protein terminal C mammaglobin yang berkonjugasi pada karier(Carrier) yang kemudian disuntikkan ke kelinci untuk menghasilkan antibodi antimammaglobin pada kelinci poliklonal.

  Reagen ini digunakan dalam survei besar tumor payudara primer dari berbagai kelas dan jenis histologi. Kekhususan dari antibodi yang dihasilkan dikonfirmasi dengan analisis Western blot dari beberapa cell-line tumor payudara manusia dan kanker payudara primer manusia yang diperiksa sebelumnya untuk ekspresi mRNA mammaglobin(Watson et al, 1999 dan Gillanders, 2005). Pola pewarnaan mammaglobin dominan tersebar dalam sel tumor dan sitoplasma, meskipun beberapa sel menunjukkan pewarnaan lokal yang intens berdekatan dengan nukleus. Dalam jaringan payudara nonneoplastik, sel-sel epitel positif terlihat jarang dan tersebar dalam lobulus asinus tipe I dan tipe II dan dalam sel-sel kolumnar dari duktus terminal (Watson et al, 1999 dan Gillanders, 2005). 2.3.5.b. RT-PCR: Cerveira et al. pada tahun 2004 mengevaluasi sensitivitas teknik RT-PCR standar (sintesis cDNA oleh primer acak diikuti amplifikasi dengan nested-PCR tunggal) dengan pendekatan yang lebih lugas: satu langkah RT-PCR(Sintesis cDNA dengan primer spesifik MGB