Efektivitas brief pain management dalam meningkatkan self efficacy dan mereduksi distress terkait nyeri pada penderita kanker payudara

EFEKTIVITAS BRIEF PAIN MANAGEMENT DALAM MENINGKATKAN SELF
EFFICACY DAN MEREDUKSI DISTRESS TERKAIT NYERI PADA PENDERITA
KANKER PAYUDARA
Luh Putu Suta Haryanthi1 ; Rizki Edmi Edison2 ; Muhammad Fathul Ihsan2 ; Siti Nur
Hasanah2 ; Marlin Baidillah2 Amalia Putri Suherman3;
Diah Rianti Rahayu3; Fitria Nurjanah3; M. Nursyaifuddin3 ;
Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta1
CTECH Labs Edwar Technology2
Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta3
Suta.haryanthi@uinjkt.ac.id ; rizkiedmiedison@c-techlabs.com

ABSTRAK
Nyeri yang dialami penderita kanker payudara berdampak menurunkan kualitas
hidup secara signifikan karena memiliki konsekuensi fisik, psikologis, dan sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas intervensi berupa brief pain
management dalam meningkatkan self efficacy dan mereduksi distress terkait nyeri
pada penderita kanker payudara yang menggunakan ECCT (Electro-Capacitive
Cancer Therapy). Untuk menilai efektivitas tersebut, kami menggunakan dua
parameter; aktivitas otak yang direkam dengan 4D Brain ECVT (Electrical
Capacitance Volume Tomography), skala Elkins Distress Inventory (EDI) serta
skala Pain Management and Self Efficacy Questionnaire (PMSEQ), yang

dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Penelitian pendahuluan melibatkan 100
orang penderita kanker payudara yang disajikan skala PSEQ dan EDI. Terdapat
20% partisipan yang memenuhi kriteria penelitian yaitu yang memiliki skor self
efficacy rendah dan distress tinggi terhadap nyeri kanker. Penelitian ini tergolong
studi kasus yang melibatkan 1 orang subjek penderita kanker payudara. Analisis
data dilakukan secara kualitatif berdasarkan hasil observasi, wawancara, lembar
evaluasi pelaksanaan intervensi dan membandingkan skor skala PSEQ dan EDI
sebelum dan sesudah intervensi. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan
skor self efficacy serta penurunan distress terhadap nyeri dan aktivitas rekaman
otak menunjukkan setelah sesi intervensi otak lebih tahan dengan stimulus terkait
nyeri kanker. Hasil ini didukung dengan analisis individu yang menunjukkan
bahwa brief pain management efektif dalam meningkatkan self efficacy dan
mereduksi distress terkait nyeri kanker pada subjek penelitian.
Kata kunci: brief pain management, self efficacy, distress penderita kanker
payudara, ECCT (Electro-Capacitive Cancer Therapy), 4D Brain ECVT (Electrical
Capacitance Volume Tomography)
1

PENDAHULUAN


Kanker adalah penyakit urutan kedua setelah penyakit jantung yang menyebabkan
kematian di United States dan kebanyakan Negara berkembang (Taylor, S.E., 2013).
Berdasarkan data dari American Cancer Society (dalam Taylor, S.E., 2013), kasus kanker
berdasarkan jenis kelamin dan lokasi kankernya, dideskripsikan bahwa penderita kanker
berjenis kelamin laki-laki terdapat sekitar 25% mengalami kanker prostat, 15% mengalami
kanker paru-paru dan sekitar 10% mengalami kanker usus dan rectum. Dari sumber data yang
sama, penderita kanker berjenis kelamin perempuan, terdapat sekitar 27% mengalami kanker
payudara, 14% mengalami kanker paru-paru serta sekitar 10% mengalami kanker usus dan
rectum. Jenis kanker penyebab kematian tertinggi di United States baik pada laki-laki sekitar
30% dan perempuan sekitar 26% adalah kanker paru-paru. Pada urutan kedua yang
menyebabkan kematian terdapat sekitar 9% laki-laki penderita kanker prostat dan 15%
perempuan mengalami kanker payudara (Taylor, S.E.,2013). Menurut data Riset Kesehatan
Dasar atau Riskesdas (Depkes RI,2013), kanker sebagai jenis penyakit tidak menular kedua
setelah penyakit kardiovaskular yaitu jantung dan stroke. Prevalensi penyakit kanker yang
tertinggi terdapat di D.I. Yogyakarta (sekitar 4,1%), diikuti Jawa Tengah (2,1%), Bengkulu
dan DKI Jakarta masing-masing sekitar 1.9%. Prevalensi kanker pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki (Riskesdas, 2013).
Kami melakukan penelitian di Klinik Riset Kanker C-Care (CTECH Lab Edwar
Teknologi) yaitu suatu payung penelitian untuk mengembangkan alat pembunuh kanker yang
diciptakan oleh Dr. Warsito Purwo Taruno, yang berlokasi di daerah Alam Sutera Tangerang.

Terapi kanker di klinik ini berbasis teknologi ECCT (Electrical Capacitive Cancer Treatment)
yaitu terapi kanker dengan medan listrik untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh sel
kanker. Dengan teknik ini sel kanker yang telah mati dapat dikeluarkan dengan berbagai cara
selain operasi yaitu melalui metabolisme tubuh seperti feses, urine, gas buangan, dan keringat.
Peneliti mengadakan studi pendahuluan terhadap 19 orang penderita kanker yang
menggunakan alat ECCT pada bulan Juli 2014 untuk menggali permasalahan yang dihadapi
dalam penyesuaian diri terhadap penyakit kanker. Permasalahan psikologis yang umum
ditemukan saat wawancara adalah stres terkait dengan efek samping pengobatan yang dijalani,
perkembangan penyakit serta penyesuaian diri akibat keterbatasan fisik. Disamping itu,
permasalahan psikologis lain adalah timbulnya kecemasan terhadap kondisi kesehatan dan
harapan terhadap masa depan. Hal tersebut senada dengan penelitian yang dilakukan oleh
Montgomery (dalam Moorey dan Greer, 2012) bahwa terdapat sekitar 30% pasien yang
menjalani terapi radiasi mengalami hambatan dalam beradaptasi dengan penyakit, mengalami
kecemasan bahkan depresi. Sedangkan pada penderita kanker payudara yang menjalani
kemoterapi tampak adanya gejala kecemasan dan depresi, dimana hal tersebut berkaitan
dengan penilaian terhadap situasi. Ancaman yang muncul akibat situasi kanker dipersepsikan
menakutkan dan berdampak serius pada kondisi fisik dan sosialnya (Moorey dan Greer, 2012).
Permasalahan lain yang muncul pada responden yang diwawancarai adalah ketidaknyamanan
2


saat tidur saat penggunaan alat serta kekhawatiran terhadap makanan yang menyebabkan
asupan makanan kurang memadai dan berpengaruh pada metabolisme tubuhnya.
Permasalahan non psikologis yang tampak adalah kekurangnyamanan terhadap efek samping
penggunaan alat yang dikeluarkan melalui metabolisme tubuh serta beberapa responden
mengemukakan masalah terkait sensasi nyeri pada bagian kanker terutama pada saat
peradangan.
Dari beberapa masalah yang muncul tersebut, peneliti memfokuskan pada masalah nyeri
kanker. Pada pertengahan bulan Agustus 2014, kami melakukan Focus Group Discussion
(FGD) pada 5 orang responden penderita kanker payudara untuk memahami lebih dalam nyeri
kanker yang dialami. Responden memiliki pandangan bahwa nyeri menyertai kanker payudara
yang diderita, terutama bilamana terjadi peradangan. Kelima responden memaparkan
bahwasanya sensasi nyeri lebih dirasakan sensasinya pada saat menghadapi situasi stres,
terdapat penilaian yang negatif terhadap suatu situasi contoh terkait dengan makanan yang
dikonsumsi, kemacetan, saat merasa cemas atau lebih emosional serta saat mengalami
kelelahan fisik. Pikiran yang menyertai saat mengalami nyeri beberapa responden
mengungkapkan mengalihkan pikiran dengan melakukan aktivitas lainnya misalnya pekerjaan,
tugas pengasuhan, terdapat responden yang melakukan evaluasi diri serta pasrah kepada
Tuhan. Responden menggambarkan bentuk sensasinya seperti denyutan, rasa nyeri saat
ditekan serta ada yang merasakan sensasi panas. Gejala fisik yang teramati ada warna
kemerahan, saat diraba cenderung terasa keras dan ada perubahan ukuran serta suhu badan

panas. Perasaan yang menyertai saat kondisi nyeri tersebut beberapa orang memaparkan
khawatir, menjadi tidak tenang namun beberapa orang diantaranya pasrah. Strategi yang
dilakukan untuk mengatasi sensasi nyeri tersebut berupa melakukan tindakan yang aktif
seperti pemeriksaan ke dokter, berkonsultasi dengan fismed terkait dengan penggunaan alat
ECCT, mengkonsumsi herbal yang membantu meredakan nyeri, mengkonsumsi makanan
yang bergizi dan mengandung antioksidan tinggi, mengurangi aktivitas dan lebih banyak
beristirahat. Sejauh ini, responden memaparkan bahwa dukungan pasangan, keluarga dan
sosialnya baik dan sangat penting untuk mampu menghadapi situasi tersebut. Disamping itu
faktor yang terpenting adalah keyakinan diri sendiri terutama pengelolaan emosi dan pikiran
dalam mengatasi nyeri tersebut.
Secara umum nyeri adalah suatu fenomena rasa tidak nyaman yang unik untuk masingmasing individu, terbentuk oleh pengalaman sensorik yang meliputi aspek kekuatan, ruang,
waktu, emosi, kognisi, dan motivasi. Nyeri dapat berdampak menurunkan kualitas hidup
secara signifikan, memiliki konsekuensi fisik, psikologis dan sosial yang merugikan,
menurunkan mobilitas dan meningkatkan disabilitas, serta menyebabkan kehilangan kekuatan
fisik. Selain itu, dapat menurunkan daya tahan tubuh, mempengaruhi kemampuan untuk
berkonsentrasi, makan, tidur, dan berhubungan sosial, meningkatkan durasi penyakit, dan
menurunkan kepatuhan terhadap perawatan penyakit yang dimiliki (Sherly dalam
Fourianalistyawati, 2011).
3


Pada studi pendahuluan, peneliti menyebarkan skala Pain Self Efficacy Questionnaire
(PSEQ) dan Elkins Distress Inventory (EDI) pada 100 orang responden penderita kanker
payudara di klinik C-Care CTECH Labs Edwar Technology. Berdasarkan data demografi yaitu
usia responden terdapat sekitar 26 orang responden yang tergolong dewasa awal dengan
kisaran usia 20-40 tahun, 61 orang dewasa madya yang berusia 40-60 tahun dan 9 orang
dewasa akhir dengan kisaran usia diatas 60 tahun, dan 4 orang responden tidak mencantumkan
usianya. Intensitas nyeri yang digambarkan dengan angka dari 1 (Tidak nyeri sama sekali)
hingga angka 10 (Nyeri luar biasa) dalam 1 bulan terakhir, maka diperoleh gambaran bahwa
terdapat 30% merasakan nyeri dengan intensitas sangat rendah, 41% mengalami intensitas
nyeri rendah, 13% mengalami intensitas nyeri sedang, 11% mengalami nyeri dengan intensitas
tinggi dan 6% merasakan sensasi nyeri dengan intensitas sangat tinggi. Ditinjau dari lama
pengobatan menggunakan alat ECCT, terdapat gambaran yang bervariasi dari 1 bulan hingga
diatas 2 tahun. Berdasarkan data studi pendahuluan tersebut, kami memperoleh hasil bahwa
terdapat korelasi antara self efficacy dan distress pada penderita kanker payudara pengguna
ECCT dengan nilai signifikansi (p = 0,000 < 0,05) dan arah korelasinya negatif. Artinya
bahwa semakin tinggi self efficacy terhadap nyeri maka semakin rendah distress yang dialami
penderita kanker payudara. Dari total 100 responden tersebut terdapat 20% responden yang
distressnya tinggi dan self efficacy terhadap nyeri pada kategori rendah.
Permasalahan pada penelitian ini adalah “bagaimana efektivitas brief pain
management dalam meningkatkan self efficacy dan mereduksi distress terkait nyeri kanker

pada penderita kanker payudara pengguna ECCT?’. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran efektivitas brief pain management dalam meningkatkan self efficacy
dan mereduksi distress terkait nyeri kanker.
Tinjauan Teoritis
Pendekatan biopsikososial memaparkan bahwa nyeri berdampak tidak hanya secara
fisik, emosional dan sosial (Gartner, A.M., 2011). Pada kasus nyeri kronis, penderita bahkan
mengalami distress psikologis. Nyeri kronis progresif adalah nyeri yang menetap lebih dari 6
bulan dan cenderung meningkat keparahannya, salah satu jenisnya adalah penyakit berbahaya
atau degeneratif seperti kanker dan rematik arthritis (Taylor, S.E., 2013). Studi pendahuluan
menjelaskan bahwa afek negatif yang berasal dari nyeri akut maupun kronis dapat menetap
meskipun gejala nyeri secara fisiknya telah hilang (Hummel et al, dalam Gartner, A.M., 2011).
Secara umum, nyeri kronis dapat berpengaruh pada kualitas hidup penderita. Riset
menunjukkan bahwa nyeri kronis berdampak pada pola tidur hingga terjadi gangguan tidur,
kelelahan, mempengaruhi aktivitas keseharian, meningkatkan depresi dan kecemasan serta
hubungan yang buruk secara sosial (Miaskowski, dalam Gartner, A.M., 2009). Penyakit fisik
dapat berdampak negatif pada kualitas hidup penderita, dimana distress psikologis dapat
secara negatif mempengaruhi kondisi fisiknya misalnya pada fungsi imun tubuh dan tingkat
keparahan penyakit. New York Presbyterian Hospital (dalam Taylor, S.E., 2013), memaparkan
4


bahwa mayoritas penderita kanker pada stadium sedang hingga lanjut menderita nyeri pada
tingkat sedang hingga berat.
Salah satu sumber distress pada penderita kanker payudara adalah gejala fisik yang
berhubungan dengan aspek psikologisnya seperti kelelahan, nyeri, ketegangan otot,
menurunnya nafsu makan (Manne, S.L., dan Ostroff, J.S., 2008). Menurut Taylor (2013),
nyeri merupakan masalah yang sering ditemukan pada penderita kanker, terutama pada
stadium lanjut. Waddell dan Turk (dalam Gartner, A.M., 2011), menjelaskan bahwa
pengalaman nyeri seseorang merupakan hubungan timbal balik antara faktor biologis, medis,
psikologis dan sosial. Keyakinan penderita terhadap nyeri yang dialami, termasuk diantaranya
kecenderungan untuk memperbesar sensasi nyeri, merenungkan nyeri yang dialami atau
memandang nyeri sebagai bentuk ketidakberdayaan akan mempengaruhi afek terhadap nyeri
dan berpengaruh pada tingkat ketidakmampuan dan perubahan perilaku akibat nyeri yang
dialami.Oncologist mengidentifikasi terdapat sekitar 36% penderita kanker yang mengalami
distress (Sollner dalam Gartner, A.M., 2011). Gejala distress ditunjukkan dengan peningkatan
kerentanan, khawatir, ketakutan terhadap masa depan, fokus pada penyakitnya, perasaan
sedih, marah dan ketidakberdayaan, mengalami gangguan tidur dan penurunan nafsu makan
(Vitek et al dalam Gartner, A.M., 2011). Pada penderita kanker payudara, 49.6% diidentifikasi
mengalami kecemasan dan sekitar 37.2% mengalami depresi.
Crichton, P. dan Moorey, S (dalam Turk, D.C. & Gatchel, R.J, 2002) mendeskripsikan
tentang model multifactorial nyeri kanker yaitu interaksi antara faktor fisik, emosi, kognitif,

perilaku, respon interpersonal pada stress internal dan lingkungan. 1) Faktor fisik, sensasi
nyeri yang berasal dari kanker dan nyeri yang terjadi sebagai efek pengobatan; 2) Faktor
emosi, distress emosi dapat sebagai penyebab maupun akibat dari nyeri. Kecemasan
meningkatkan efek nyeri karena peningkatan kerja syaraf simpatis yang menyebabkan otot
menegang, meningkatkan tekanan darah dan debar jantung. Distress akibat efek pengobatan,
strategi pemecahan masalah kurang efektif, keyakinan yang rendah terhadap kemampuan diri
dalam mengelola nyeri; 3) Faktor kognitif, memiliki pengaruh yang kuat tentang bagaimana
pengalaman nyeri serta interpretasi terhadap nyeri tersebut. Cara mengatasi nyeri (Coping),
keyakinan terhadap penyakit kanker dan kemampuan dalam mengelola nyeri serta atensi
dengan sensasi nyeri yang dialami; 4) Faktor perilaku, tindakan yang dilakukan saat
mengalami nyeri. Apakah terjadi penguatan perilaku tertentu, contoh menghindari aktivitas
dll; 5) Faktor Sosial, bagaimana respon orang terdekat saat penderita kanker mengalami nyeri,
apakah terlalu berlebihan atau sebaliknya kurang dukungan sosial; 6) Faktor lingkungan,
situasi stress dapat meningkatkan dan memperpanjang sensasi nyeri misalnya perceraian,
pengasuhan anak, pekerjaan dll. Stress berdampak mengurangi kemampuan toleransi terhadap
nyeri.
Model biopsikososial menitikberatkan penyakit sebagai suatu interaksi timbal balik
antara faktor biologis, psikologis dan sosial budaya yang membentuk respon seseorang
terhadap nyeri (Turk et al, dalam Turk & Okifuji, 2002). Perubahan fisik seperti otot,
persendian atau syaraf yang memberikan sensasi pada nosiseptif dan dipersepsikan otak

5

sebagai nyeri. Persepsi melibatkan interpretasi dari nosiseptif dan mengidentifikasi tipe nyeri
seperti tekanan, nyeri tajam, terbakar. Penilaian mencakup pemaknaan terhadap nyeri serta
perilakunya. Penilaian tersebut akan dipengaruhi oleh keyakinan individu yang berkembang
sepanjang kehidupannya. Berdasarkan atas keyakinannya dan proses penilaian, seseorang
dapat memilih untuk mengabaikan nyeri dan tetap melakukan pekerjaannya, bersosialisasi
atau aktivitas lainnya atau memilih untuk meninggalkan pekerjaan, menahan diri dari
aktivitasnya serta fokus dengan sakit yang dialami.
Medikasi merupakan metode yang paling umum ditemukan untuk mengatasi nyeri,
penelitian terbaru ditemukan metode non medikasi untuk mengatasi dan mereduksi nyeri.
Beberapa teknik kognitif dapat menurunkan nyeri dan meningkatkan toleransi nyeri. Teknik
tersebut mencakup fokus pada sensori dari stimulus, atensi, teknik pernafasan dan relaksasi,
meningkatkan relasi sosial dan relaksasi otot (Kiel, K.J., 1997). Turk et al (dalam Kiel, K.J.,
1997) menyatakan bahwa proses kognitif untuk membedakan antara toleransi nyeri rendah dan
tinggi adalah self efficacy. Self efficacy didefinisikan sebagai keyakinan individu untuk
mengontrol perilakunya (Bandura dalam Taylor S.E., 2013). Keyakinan dalam mengontrol dan
kesadaran tentang efikasi diri akan lebih mudah melakukan adaptasi, contoh penderita kanker
yang yakin bahwa mereka dapat mengontrol penyakitnya memiliki penyesuaian yang lebih
baik terhadap penyakit dibandingkan yang memiliki efikasi diri rendah (Taylor, S.E., 2013).

Self efficacy merupakan hal yang penting dalam mengontrol nyeri, beradaptasi dengan fungsi
psikologis, disabilitas, dan tujuan pengobatan (Turk & Okifuji, 2002). Self efficacy memiliki
nilai prediktif dalam tingkat performansi atau tugas fisik seseorang, meningkatkan level
latihan selama pengobatan. Self efficacy memegang peranan penting dalam persepsi dan
penyesuaian terhadap nyeri maupun disabilitas. Terdapat empat mekanisme psikologis yang
dikaitkan dengan self efficacy dan perilaku yang tampak yaitu a) Self efficacy dinilai dapat
menurunkan kecemasan seiring dengan rangsangan fisiologis, penderita akan mendekati tugas
yang potensi distressnya secara fisik rendah ; b) Seseorang dengan efikasi diri yang tinggi
akan mampu mendistraksi atensinya dari sensasi fisiologis yang mengancam; c) Seseorang
dengan efikasi diri yang memadai merasa distress pada sensasi fisik, namun berupaya untuk
menghadapinya; d) Sensasi fisik yang diabaikan maupun menimbulkan distress, individu
dapat memaknai dengan mengubah interpretasinya (Cioffi dalam Turk & Okifuji, 2002).

METODE
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah penderita kanker di klinik Riset Kanker Edwar dengan
kategori sebagai berikut :
1. Penderita kanker payudara dengan skor self efficacy terhadap nyeri pada kategori
rendah dan skor distress tinggi.
6

2. Penderita pada kategori usia dewasa muda (20-40 tahun) serta dewasa madya (40-50
tahun).
3. Menjalani treatmen berbasis teknologi ECCT atau alat penghancur sel kanker.
4. Berdomisili di area Jabodetabek.
Desain
Model penelitian ini adalah penelitian studi kasus, peneliti bertujuan menjelaskan
efektivitas brief pain management dalam meningkatkan self efficacy dan mereduksi distress
terkait nyeri pada penderita kanker payudara.
Prosedur
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, Focus Group
Discussion (FGD) dan memberikan skala PSEQ dan skala EDI. Instrumen yang digunakan
pada penelitian ini adalah Pain Self Efficacy Questionnaire (PSEQ) terdiri atas 10 item yang
dikembangkan oleh M.K. Nicholas untuk mengukur efikasi diri pada penderita nyeri kronis.
Terdapat tiga dimensi pada skala ini yaitu a) Magnitude, adalah keyakinan terhadap
kemampuan diri yang memiliki pandangan, penerimaan dan keyakinan diri sendiri terhadap
tingkat kesulitan tugas yang dihadapi; b) Generality, yaitu keyakinan terhadap kemampuan
diri mengenai kuat lemahnya atau ketahanan dan keuletan menghadapi tantangan; c) Strenght,
yaitu keyakinan terhadap kemampuan diri dalam menghadapi situasi sosial. Pada skala PSEQ,
peneliti melakukan modifikasi respon menjadi 5 kategori yaitu Sangat Tidak Yakin, Tidak
yakin, Cukup, Yakin dan Sangat Yakin. Skor bergerak dari (1) untuk sangat tidak yakin
hingga (5) untuk sangat yakin.
Skala PSEQ diberikan pada 100 penderita kanker payudara di klinik Edwar CTECH
Technology dan diuji menggunakan confirmatory factor analysis (CFA) dengan software
Lisrel 8. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan pada skala ini, ternyata tidak fit, denganChiSquare=229.56, df=35, P-value=0.00000, RMSEA=0.237. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
modifikasi terhadap model, di mana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi-Square=24.24,
df=21, P-value=0.28135, RMSEA=0.040, yang artinya model pengukuran self efficacy cocok
dengan data (fitted) yang diperoleh. Selanjutnya, untuk melihat apakah signifikan item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan
faktor, dan hasilnya semua item signifikan (t value > 1.96). Setelah melakukan analisis
menggunakan CFA selanjutnya item dianalisis kembali dengan menggunakan pendekatan item
respons theory dengan bantuan software Quest untuk melihat kualitas item dan skor subjek.
Dari hasil uji IRT, terdapat 2 item yang tidak fit karena indeks infit meansquare item tersebut
berada di luar garis titik vertikal dalam peta item fit model (tidak berada pada rentangan 0.721.33) yaitu item nomor 1 dan 9 sehingga harus didrop.
7

Skala kedua yang digunakan adalah Elkins Distress Inventory (EDI) yaitu suatu alat
asesmen singkat yang bertujuan untuk mengukur gejala distress psikologis, yaitu depresi,
kecemasan, ketidakberdayaan dan kemarahan. Terdapat 19 item pada skala EDI dengan 5
respon jawaban (1= Sangat tidak setuju; 2=Tidak Setuju; 3=Netral; 4=Setuju dan 5=Sangat
Setuju). Dari hasil analisis CFA yang dilakukan pada skala ini, ternyata tidak fit dengan ChiSquare=742.12, df=152, P-value=0.00000, RMSEA=0.198. Oleh sebab itu, perlu dilakukan
modifikasi terhadap model, di mana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi-Square=135.32,
df=111, P-value=0.05814, RMSEA=0.047, yang artinya model pengukuran distress cocok
dengan data (fitted) yang diperoleh. Selanjutnya, untuk melihat apakah signifikan item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur, sekaligus menentukan apakah item tersebut
perlu di-drop atau tidak, maka dilakukan pengujian hipotesis nihil tentang koefisien muatan
faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t ( t > 1.96) bagi setiap
koefisien muatan faktor dan 19 item signifikan. Dalam analisis skala distress terdapat tiga
item yang tidak fit yaitu item nomor 7,10 dan 17 yang memiliki nilai infit meansquare tidak
berada pada rentangan 0.72-1.33. Ketiga Item yang tidak fit ini berarti item tersebut
berperilaku tidak konsisten dengan apa yang diharapkan dengan model IRT.
Perlu diketahui bahwa data yang akan diolah dalam pengujian hipotesis ini adalah theta
estimate yang diperoleh dari analisis dengan pendekatan Rasch model. Theta (indeks
kemampuan) ini kemudian dikonversikan menjadi t-score dengan rumus: T- score = 50 +
10(θ). Tujuan dari konversi ini agar skor estimasi kemampuan yang negatif dapat
ditransformasi ke skala T yang semuanya positif, dengan mean = 50 dan sd = 10. Dengan
menggunakan standar deviasi dari T ini maka dapat ditetapkan norma seperti yang tertera pada
tabel berikut ini:
Tabel 1
Pedoman Penyusunan Norma
Norma
Interpretasi
X < Mean

Rendah

X > Mean

Tinggi

Penentuan partisipan yang akan dilibatkan dalam sesi intervensi berdasarkan skor pada
skala PSEQ dan EDI. Secara teoritik diperoleh hubungan dua variable yang bertolak belakang
artinya jika subjek memiliki skor self efficacy rendah maka skor distressnya tinggi. Terdapat
20% dari 100 responden yang dapat diikutsertakan dalam sesi intervensi Brief Pain
Management.

8

Intervensi
Intervensi Brief Pain Management dirancang dalam tiga sesi dengan uraian sebagai
berikut :
a) Intervensi Brief Pain Management berdurasi 90 menit per sesi dan berjarak sekitar 1
minggu antar sesinya. Penelitian dirancang secara berkelompok yang menitiberatkan pada
agenda pertemuan dan komitmen subjek penelitian. Pemilihan subjek berdasarkan
kategori skor self efficacy nyeri pada kategori dan skor distress pada kategori tinggi
ditawarkan pada penderita kanker yang berminat mengikuti penelitian ini.
b) Memberikan pre test berupa Skala PSEQ; Skala EDI dan perekaman aktivitas otak
dengan menggunakan 4D Brain EVCT (Electrical Capacitance Volume Tomography).
Pada perekaman aktivitas otak ini, subjek disajikan 10 stimulus berupa kata-kata terkait
dengan nyeri kanker seperti kanker, benjolan, nyeri, peradangan, cemas, luka, darah,
pikiran negatif, meringis dan obat anti nyeri. Kata-kata terkait nyeri kanker tersebut
disajikan per 5 detik, dan pada awal, diantara 2 slide kata dan diakhir disajikan slide yang
netral seperti gambar pemandangan alam per 15 detik.
c) Sesi 1: Orientasi partisipan pada kelompok, mempercepat koneksi antar partisipan,
melakukan analysis functional terkait situasi saat mengalami nyeri kanker, memfasilitasi
mengekspresikan emosi antar partisipan. Pada sesi 1, partisipan diberikan psikoedukasi
tentang aspek psikologis nyeri kanker. Partisipan diberikan latihan deep breath dan
progressive relaxation. Tugas yang harus dilakukan selama satu minggu adalah melatih
progressive relaxation 2 kali dalam sehari dan memonitor sensasi nyeri yang dialami serta
dituangkan dalam pain diary.
d) Sesi 2: Mengevaluasi pain diary, memberikan sesi acceptance commitment therapy
(ACT) dan latihan guided imagery. Partisipan diberikan penugasan selama 1 pekan untuk
melatih guided imagery dan mengisi pain diary sesi 2.
e) Sesi 3: Mengevaluasi pain diary sesi 2, merancang tujuan yang spesifik untuk mereduksi
distress terkait nyeri dan memberikan sesi behavioral activation. Penugasan selama 1
pekan dengan aktivasi perilaku yang disesuaikan kondisi fisik serta mengisi pain diary III.
f) Memberikan post test setelah 1 minggu menjalani intervensi Brief Pain Management.
Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif berdasarkan hasil observasi, wawancara, lembar
evaluasi sesi intervensi serta hasil pengukuran skor pada skala PSEQ dan EDI serta
menganalisa hasil tampilan aktivitas otak pada yang dilakukan sebelum dan sesudah
intervensi.

9

ANALISIS & HASIL
Gambaran Umum Subjek Penelitian
Subjek pada awal penelitian ini berjumlah 2 orang penderita kanker payudara yaitu ibu
DM dan ibu DS. Namun pada sesi kedua, ibu DS di drop karena tidak dapat mengikuti sesi
selanjutnya. Ibu DM berusia 38 tahun, telah menjalani pengobatan ECCT selama 9 bulan dan
aktivitas keseharian sebagai ibu rumah tangga.
Hasil Penelitian
Penelitian ini menggunakan 2 parameter yaitu skala Pain Self Efficacy Questionnaire
(PSEQ) dan skala Elkins Distress Inventory (EDI), serta gambaran rekaman aktivitas otak
melalui 4D Brain EVCT sebelum dan sesudah intervensi. Pada saat pretest, skor skala PSEQ =
42.80 (X < 50) yang artinya self efficacy terhadap nyeri pada kategori rendah. Skor EDI =
55.21 (X > 50) yang artinya distress pada kategori tinggi. Sedangkan pada saat posttest, skor
skala PSEQ = 55.21 (X > 50) yang artinya self efficacy terhadap nyeri pada kategori tinggi.
Skor EDI = 32.36 (X < 50), yang artinya distress pada kategori rendah.
Hasil Pre-Post 4D Brain EVCT

Deskripsi Grafik
Tabel merah menunjukkan aktivitas otak di fase tasking atau saat subjek disajikan stimulus
berupa kata-kata terkait nyeri kanker, sedangkan tabel biru adalah fase resting saat disajikan
stimulus netral. Karena perubahan permitivitas itu bersifat relatif, maka tampak ada perbedaan
antara fase tasking dan resting. Jika dibandingkan antara pre dan post intervensi tampak ada
penurunan respon otak terhadap stimulus yang disajikan. Dapat disimpulkan bahwa intervensi
brief pain management membuat otak lebih tahan terhadap stimulus terkait nyeri.
10

Gambaran Sesi Intervensi
Intervensi Brief Pain Management berlangsung dalam tiga sesi, yang dilaksanakan
tanggal 19 dan 26 September serta 3 Maret 2014 di klinik riset kanker C-Care (CTECH Lab
Edwar Technology). Berikut ini adalah gambaran singkat terkait sesi intervensi :
Sesi 1: Functional Analysis; Psikoedukasi Aspek Psikologis Nyeri & Relaksasi Progresif
Tujuan sesi ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang kaitan antara aspek
psikologis dan sensasi nyeri, meningkatkan kesadaran tentang pengalaman nyeri ditinjau dari
situasi, pikiran dan perasaan yang menyertai, tindakan untuk mengatasi nyeri baik dari diri
sendiri maupun respon lingkungan serta konsekuensi dari tindakan tersebut, serta melatih
relaksasi progresif.
a) Ibu DM mengalami situasi nyeri pada saat berada di rumah maupun saat
berkendara. Sensasi nyeri yang dirasakan pada saat ibu DM sedang berada sendiri
kadang kala saat bersama anak-anak. Hal yang beliau pikirkan saat mengalami nyeri
adalah kekhawatiran penyebaran kanker ke bagian tubuh lainnya. Perasaan yang
menyertai saat mengalami nyeri adalah kecemasan. Gejala fisik ditandai dengan
adanya sensasi nyeri pada area bahu dan lengan kiri serta bagian panggul kanan.
Tindakan yang ibu DM lakukan saat mengalami nyeri adalah berbaring dan duduk
namun kadang kala tetap melanjutkan aktivitas sehari-hari. Reaksi setelah 1 – 2 jam
cenderung masih ada sensasi sakit, bilamana posisinya sambil berdiri. Ibu DM
berupaya untuk menahan sensasi nyeri, namun saat ia meringis kesakitan biasanya
orang lain menanyakan kondisinya serta menyarankan untuk lebih banyak berdzikir,
dan sensasi nyerinya berangsur menghilang.
b) Evaluasi proses sesi 1: Dalam setiap sesinya, ibu DM diberikan tugas selama
sepekan untuk memonitor diri saat mengalami nyeri dan menuangkannya dalam
diari nyeri. Selain itu ibu DM diminta untuk mempraktekkan relaksasi progresif 2
kali sehari, tujuannya adalah untuk lebih merilekskan otot-otot yang menegang. Ibu
DM melatih relaksasi progresif setelah menuntaskan pekerjaan rumah tangga dan
sebelum tidur secara rutin selama sepekan. Dalam diari nyeri, ibu DM
mengungkapkan intensitas nyeri berada pada kategori sedang (skor 5) dan tidak ada
perubahan intensitas nyeri. Sensasi nyeri dirasakan pada bagian bahu dan lengan
kiri pada saat bangun tidur, sedang mengendarai motor dan saat mendampingi anak
belajar. Sedangkan sensasi nyeri di bagian panggul kanan biasanya muncul pada
saat bergerak atau aktivitas fisik yang berat. Nyeri pada bagian leher muncul saat
ibu DM tidak beraktivitas. Pada saat mengalami nyeri tersebut, ibu DM tetap
beraktivitas diselingi istirahat sejenak. Intensitas nyeri setelah 1 hingga 2 jam
menghilang. Selama sepekan tidak ada pikiran negatif yang menyertai, sedangkan
emosi negatif seperti kesal muncul pada saat merasakan sensasi nyeri di bagian
11

leher. Perubahan secara bertahap yang muncul adalah ibu DM mampu mengelola
pikiran negatifnya dan reaksi emosi negatif mengalami penurunan.
Sesi 2: Acceptance Commitment Therapy (ACT)
Tujuan sesi ini adalah meningkatkan kesadaran, penerimaan diri terhadap penyakit, dan
komitmen dalam perubahan perilaku ke arah yang positif. Pada tahap akhir, partisipan
diajarkan untuk latihan guided imagery.
a) Ibu DM menyadari sensasi nyeri dengan melakukan pengamatan keseharian, yaitu
pada bagian panggul kanan saat beraktivitas berat serta bahu dan lengan kiri
terutama saat berkendara dan aktivitas fisik yang dilakukan sambil berdiri. Pikiran
yang masih muncul belum bisa menerima kondisi sakit yang dialami, sehingga
timbul perasaan kesal. Nilai yang dianggap penting saat ini adalah 1) Ibadah, 2)
Mendidik anak, dan 3) Kesehatan. Perilaku yang sudah dilakukan saat ini untuk
mencapai nilai tertinggi adalah menjalankan ibadah.
b) Ibu DM diberikan guided imagery yang harus dilatih selama sepekan yang bertujuan
untuk meningkatkan penerimaan diri dan komitmen. Serta menuliskan diari nyeri
dan intensitas nyerinya.
c) Evaluasi sesi 2 : Intensitas nyeri pada skor 5 yaitu pada kategori sedang. Ibu DM
melatih guided imagery sehari sekali disertai dengan relaksasi progresif secara rutin
2 kali sehari setelah aktivitas rumah tangga tuntas. Melalui diari nyeri tampak
bahwa pada saat ibu DM lebih banyak melakukan aktivitas fisik, maka sensasi nyeri
frekuensinya lebih sering muncul. Tidak ada pikiran negatif yang muncul namun
masih ada emosi kesal saat sensasi nyeri masih dirasakan setelah 1 hingga 2 jam.
Perubahan yang tampak adalah ibu DM lebih menerima kondisi sakit yang
dialaminya.
Sesi 3: Behavioral Activation
Tujuan pada sesi ini adalah agar partisipan lebih meningkatkan aktivitas yang diminati,
ada keseimbangan dengan kondisi fisik dan berdampak meningkatkan suasana hati. Ibu DM
melakukan pencatatan pada pengamatan aktivitas selama sepekan yang diarahkan sesuai
dengan kondisi fisik namun aktivitas tersebut diminati beliau. Rata-rata nilai produktivitas
setelah intervensi ketiga adalah 8 artinya produktivitasnya tinggi seperti melakukan aktivitas
rumah tangga, beribadah, interaksi dengan anak, pemeriksaan kesehatan serta aktivitas sosial.
Suasana hati ibu DM pada skor 7 hingga 8 artinya suasana hati beliau baik dalam menjalani
aktivitas tersebut.

12

Tabel 2. Evaluasi Proses Per Sesi Brief Pain Management
Deskripsi

Minggu Pertama

Rata-rata
Intensitas
Nyeri

Skor 5 (kategori sedang)

Skor
5
sedang)

Bahu, lengan kiri, leher
dan
panggul
bagian
kanan
Tidak ada pikiran negatif
yang muncul
Perasaan kesal terhadap
diri sendiri
Sensasi nyeri pada saat
aktivitas fisik yang berat

Bahu, lengan kiri,
panggul bagian kanan
dan seluruh badan
Tidak ada pikiran
negatif
Masih ada perasaan
kesal
Aktivitas fisik 3 hari
terakhir melelahkan

Lokasi
Nyeri
Pikiran
Emosi
Sinyal
tubuh

Minggu Kedua

Minggu Ketiga

(kategori Skor 5 (kategori sedang)

Panggul kanan

Pikiran positif dengan
aktivitas yang produktif
Suasana hati positif dan
lebih tenang

Secara umum, intervensi brief pain management mereduksi distress terkait nyeri sehingga beliau
lebih mampu mengelola pikiran secara positif, mengurangi kecemasan dan kekhawatiran serta kondisi
emosi menjadi lebih tenang.

DISKUSI
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perubahan skor pada skala pain self efficacy
questionnaire (PSEQ) dan Elkins Distress Inventory (EDI). Terjadi peningkatan self efficacy
dan penurunan distress terkait nyeri kanker yang dialami. Hasil penelitian ini diperkuat
dengan gambaran aktivitas otak antara sebelum dan setelah sesi intervensi yaitu tampak ada
penurunan respon otak terhadap stimulus berupa kata-kata terkait nyeri kanker. Berdasarkan
analisa proses untuk menguji efektivitas intervensi, tampak ada perubahan secara bertahap dari
awal proses hingga sesi posttest. Intensitas nyeri yang dialami ibu DM masih konsisten pada
skor 5 artinya intensitas nyeri yang dirasakan pada kategori sedang. Perubahan yang tampak
terkait dengan pengelolaan pikiran dan emosi yang lebih positif.
Gambaran pada analysis functional menggambarkan bahwa ibu DM mengalami nyeri
pada bagian bahu dan lengan kiri serta bagian panggul kanan. Aspek psikologis yang
menyertai adalah pikiran negatif berupa kekhawatiran penyebaran sel kanker serta perasaan
cemas. Ia mengungkapkan adanya ketakutan untuk bergerak dan responnya adalah sangat
membatasi pergerakan. Pada awal sesi, Ibu DM diberikan psikoedukasi tentang aspek
psikologis nyeri yang hubungannya bisa timbal baik, artinya nyeri dapat mengakibatkan
munculnya pikiran dan emosi negatif sebaliknya pikiran dan emosi negatif dapat
memperparah kondisi penyakit. Crichton, P. dan Moorey, S (dalam Turk, D.C. & Gatchel,
R.J, 2002) mendeskripsikan tentang model multifactorial nyeri kanker yaitu interaksi antara
faktor fisik, emosi, kognitif, perilaku, respon interpersonal pada stress internal dan lingkungan.
13

Tujuan pada sesi psikoedukasi adalah memberikan pemahaman dan insight agar subyek
lebih mampu mengamati sinyal di tubuh serta bagaimana mengelola aspek psikologisnya.
Kecemasan meningkatkan efek nyeri karena peningkatan kerja syaraf simpatis yang
menyebabkan otot menegang, meningkatkan tekanan darah dan debar jantung (Turk, D.C. &
Gatchel, R.J, 2002). Pada sesi ini subjek diajarkan untuk melatih relaksasi otot melalui teknik
relaksasi progresif dan diberikan tugas untuk menerapkannya secara intensif 2 kali sehari.
Setelah dilakukan evaluasi pada sesi 1, tampak ada perubahan yaitu pikiran negatif subjek
pada saat mengalami nyeri tidak muncul, meskipun intensitas nyeri masih pada skor 5
(kategori sedang).
Pada sesi kedua, ibu DM diberikan sesi acceptance commitment therapy (ACT), yang
menekankan pada penerimaan, strategi mindfulness bersamaan dengan memperkuat
komitmennya. Pada teknik ACT, subjek dilatih untuk mengamati dirinya baik melalui sinyal
tubuh atau sensasi nyeri dan menyadari pikiran, perasaan, sensori lainnya. Terapi perilaku ini
berorientasi pada apa yang menjadi nilai. Prinsip dasar ACT ini dijadikan landasan
penanganan penerimaan, kesadaran diri dan efikasi pada terapi yang dijalani (Sakti, H., 2011).
Nilai yang dianggap penting saat ini oleh ibu DM adalah 1) Ibadah, 2) Mendidik anak dan 3)
Kesehatan. Ibu DM memaparkan bahwa dirinya belum sepenuhnya menerima kondisi
kankernya sehingga sering timbul perasaan kesal pada dirinya sendiri. Pada sesi ini, subjek
dilatih melalui teknik guided imagery untuk secara bertahap menerima kondisi apa adanya dan
menekankan pada nilai yang dianutnya. Ia melatih guided imagery secara rutin 1 kali sehari
dibarengi dengan relaksasi progresif. Saat dievaluasi secara bertahap ia merasakan emosi
kesalnya mulai berkurang dan ia lebih mampu mengelola emosi saat menghadapi perilaku
anak-anaknya yang berdampak pengelolaan nyeri lebih baik.
Pada sesi ketiga, subjek diberikan teknik behavioral activation yaitu mengaktivasi klien
pada perilaku yang spesifik yang berdampak positif bagi klien (Martell, C.R. et al, 2010).
Tujuan metode behavioral activation secara spesifik adalah pertama, melibatkan klien pada
aktivitas yang membawa kesenangan dan kepuasan terhadap diri sendiri, meskipun situasinya
telah berubah. Yang menjadi komponen utama dalam metode behavioral activation adalah
bagaimana pasien dapat mengaktivasi kembali perilakunya yang utama sehingga diharapkan
individu mampu meningkatkan kualitas hidupnya (Kanter, dalam Puspitasari, A.J., 2011). Ibu
DM diajak untuk merancang aktivitas yang sesuai dengan kondisi kesehatannya dan fokus
dengan nilai yang dianggap penting saat ini. Rata-rata nilai produktivitas setelah intervensi
ketiga adalah 8 artinya produktivitasnya tinggi seperti melakukan aktivitas rumah tangga,
beribadah, interaksi dengan anak, pemeriksaan kesehatan serta aktivitas sosial. Suasana hati
ibu DM pada skor 7 hingga 8 artinya suasana hati beliau baik dalam menjalani aktivitas
tersebut. Faktor perilaku berpengaruh pada nyeri yaitu apakah tindakan yang dilakukan saat
mengalami nyeri, apakah terjadi penguatan perilaku tertentu, contoh menghindari aktivitas dll
(Turk, D.C. & Gatchel, R.J, 2002), sehingga diperlukan aktivitas yang diminati agar dapat
mendistraksi atensinya pada kebosanan atau fokusnye terhadap nyeri.
14

SIMPULAN & SARAN

Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan skor Pain Self Efficacy Questionnaire
(PSEQ) dan Elkins Distress Inventory (EDI) antara sebelum dan sesudah diberikan intervensi.
Artinya intervensi brief pain management meningkatkan skor self efficacy dan menurunkan
skor distress terhadap nyeri pada subjek penelitian yang sedang menjalani treatmen ECCT di
klinik CTECH Lab Edwar Technology. Hal tersebut diperkuat dengan rekaman aktivitas otak
yang menurun aktivitasnya saat disajikan stimulus berupa kata-kata terkait nyeri kanker.

Saran
1. Secara teoritis: pada penelitian selanjutnya dipertimbangkan untuk mereplikasi
penelitian ini pada sample yang lebih besar; atau pada penderita nyeri kronis lainnya.
2. Secara praktis : pengembangan metode brief pain management dengan modifikasi
teknik lainnya sehingga semakin dirasakan manfaatnya lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar: Laporan Nasional 2007. Jakarta; Badan Penelitian
& Pengembangan Kesehatan RI.
Fouriananlistyawati, E. (2011). Teknik Release untuk Mengatasi Rasa Nyeri Pecandu Narkoba
di Unitra BNN. Paper Konferensi Nasional Pain Management and Quality of Life.
Jakarta : Fakultas Psikologi Yarsi.
Gartner, A.M. (2011). The Elkins Distress inventory : Development of a Brief
Biopsychosocial Battery for the Assessment of Pain and Psychological Distress in
a Chronic Pain Population. Department of Psychology and Neuroscience Baylor
University. Proquest : United Stated.
Kiel, K.J. (1997). Effects of Self Efficacy Sources on Pain Tolerance in a Cold Pressor Test.
Nebraska Wesleyan University. Journal of Psychology Inquiry Volume 2.
Manne, S.L.: Ostroff, J.S. (2008). Coping with Breast Cancer : A Couples Focused Group
Intervention – Therapist Guide. New York : Oxford University Press.
Martell, C.R.; Dimidjian, S.; Dunn, R.H. 2010. Behavioral Activation for Depression : A
Clician’s Guide. New York : The Guildford Press.

15

Moorey, S.: Greer,S. (2012). CBT for People with Cancer Second Edition. New York : Oxford
University Press.
Puspitasari, A.J. 2011. Training Module : Behavioral Activation. Milwaukee : University of
Wisconsin.
Sakti, H. (2011). Efektivitas program psikologis asa terhadap efikasi diri dan komitmen
kesehatan serta kadar interferon gamma (IFN-y) penderita tuberkulosis. Tesis.
Semarang. Universitas Diponegoro.
Taylor, S. E. (2013). Health Psychology, Eighth Edition. New York: The McGraw-Hill
Companies.
Turk, D.C. ; Gatchel, R.J. (2002). Psychological Approaches to Pain Management : A
Practitioner’s Handbook. Second Edition. The Gioldford Press : New York
Turk, D.C ; Okifuji, A. (2002). Psychological Factors in Chronic Pain : Evolution and
Revolution. Journal of Consulting and Clinical Psychology Vol 70 No 3

16