2.1 Maloklusi Klas II - Perubahan Nilai Indeks Probabilitas Gramling pada Pasien Maloklusi Klas II yang Dirawat dengan Pencabutan dan Tanpa Pencabutan Di RSGMP FKG USU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Maloklusi adalah keadaan yang menyimpang dari oklusi normal dengan

  susunan gigi yang tidak harmonis secara estetik mempengaruhi penampilan seseorang dan mengganggu keseimbangan fungsi pengunyahan maupun fungsi bicara. Maloklusi bukan merupakan proses patologis tetapi proses penyimpangan dari

  1,2,5

  perkembangan normal. Graber (1962) membagi faktor etiologi maloklusi menjadi faktor umum dan faktor lokal. Faktor umum terdiri dari herediter, kelainan bawaan, malnutrisi, kebiasaan buruk, postur tubuh, trauma dan faktor lokal terdiri dari kelainan jumlah, bentuk dan ukuran gigi, premature loss, prolonged retention dan

  1,3,7,16 karies gigi desidui.

  Maloklusi Klas II merupakan maloklusi yang paling sulit dalam perawatan ortodonti yang ditandai dengan prognasi maksila dan mandibula normal, retrognasi mandibula dan maksila normal, ataupun kombinasi dari keduanya. Profit mengatakan bahwa sekitar 80% dari ras Kaukasia pada pasien maloklusi Klas II memiliki

  1,2,5-7 mandibula yang retrognasi, sedangkan sekitar 20% maksila yang prognasi.

2.1 Maloklusi Klas II

  Menurut klasifikasi Angle, maloklusi Klas II ditandai dengan tonjol mesio bukal molar pertama permanen maksila letaknya lebih ke mesial daripada bukal

  

groove molar pertama permanen mandibula. Sering dikenal dengan istilah distooklusi atau mandibula dengan lengkung giginya terletak lebih ke distal terhadap maksila

  1,2,6,11,16,17 (Gambar 1).

  6,11 Gambar 1: Klas II Angle.

  Relasi skeletal dari maloklusi Klas II ditandai dengan mandibula pada

  18 keadaan oklusi, terletak lebih ke distal daripada maksila. (Gambar 2).

  11,18 Gambar 2: Klas II skeletal.

  2-6,18

2.2 Etiologi maloklusi Klas II

  Kemungkinan akan sulit untuk menentukan secara pasti faktor etiologi dari setiap tipe maloklusi, faktor yang mungkin berperan terhadap terjadinya maloklusi Klas II dibagi menjadi 4 bagian yaitu: faktor pre-natal, faktor natal, faktor post natal

  16 dan faktor fungsional.

  • Faktor pre-natal.

  1. Genetik dan kongenital : Penelitian yang dilakukan pada orang tua dan anaknya yang memiliki tipe maloklusi yang sama menunjukkan bahwa dimensi wajah pada dasarnya ditentukan secara herediter melalui gen. Dengan demikian dimensi tulang basal yang berperan pada maloklusi Klas II skeletal merupakan hal yang diwariskan.

  2. Obat-obatan tertentu yang diberikan saaat kehamilan dapat menyebabkan perkembangan yang abnormal yang mengarah pada maloklusi Klas II.

  3. Terapi radiasi selama masa kehamilan dapat menjadi faktor penyebab maloklusi Klas II.

  4. Posisi janin pada saat dalam kandungan misalnya tangan yang diletakkan didepan wajah janin tampaknya akan mempengaruhi pertumbuhan kraniofasial terutama bila terjadi pada mandibula.

  • Faktor Natal Aplikasi forceps yang tidak tepat saat melahirkan dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur dari kondilus sehingga terjadi pendarahan pada area sendi dan mungkin dapat menjadi ankilosis atau fibrosis pada daerah temporo mandibular joint yang mengarah pada terhambatnya pertumbuhan mandibula.
  • Faktor Post Natal Kondisi-kondisi tertentu yang dapat mempengaruhi perkembangan normal kraniofasial adalah

  1. Kebiasaan tidur dapat mempengaruhi pertumbuhan normal dari rahang.

  2. Kebiasaan buruk seperti mengisap jari dan menggigit bibir bawah juga dapat menjadi penyebab maloklusi Klas II.

  3. Trauma saat bermain. Setiap trauma pada mandibula yang dapat menyebabkan kerusakan pada daerah kondilus memiliki potensi untuk menghambat pertumbuhan mandibula.

  4. Terapi radiasi jangka panjang.

  5. Penyakit-penyakit tertentu seperti Rheumatoid arthritis juga dapat mempengaruhi pertumbuhan mandibula.

  6. Penyakit-penyakit lain yang dapat menjadi presdiposisi yang mungkin dapat mempengaruhi pertumbuhan normal termasuk tonsilitis akut, rhinitis alergi dan polip nasal.

  7. Anomali gigi geligi juga dapat menyebabkan terjadinya maloklusi Klas II, misalnya kehilangan gigi secara kongenital, malformasi bentuk gigi, kehilangan dini gigi desidui, dan persistensi.

  8. Pada maloklusi Klas II divisi 2, mandibula tidak dapat berkembang karena retroklinasi insisivus maksila.

  • Faktor Fungsional Berdasarkan teori fungsional matriks ada hubungan antara bentuk anatomis dan fungsi fisiologis, sehingga kelainan pada hubungan tersebut terutama selama masa pertumbuhan dapat menjadi faktor yang berperan pada terjadinya suatu
maloklusi, misalnya bila terjadi kerusakan pada fungsi yang normal seperti fungsi pernafasan, pola penelanan, posisi lidah dan posisi bibir dapat berperan pada terjadinya maloklusi.

  16

2.2 Klasifikasi Maloklusi Klas II

  Berdasarkan inklinasi insisivus maloklusi Klas II dibagi atas maloklusi Klas II divisi 1 dan maloklusi Klas II divisi 2.

2.3.1 Maloklusi Klas II divisi 1

  Gambaran khas maloklusi Klas II divisi 1 ditandai dengan hubungan distooklusi disertai dengan proklinasi insisivus maksila dan retroklinasi insisivus mandibula.

  1-3,6,7,

A. Karakteristik gambaran klinis maloklusi Klas II divisi 1

  • Insisivus maksila protrusi
  • Mandibula dalam posisi distal sehingga terdapat overjet yang menyolok.
  • Adanya gigitan dalam
  • Lengkung maksila yang sempit dan palatumnya tinggi.
  • Gigi insisivus mandibula yang supraversi, dan jika dalam keadaan oklusi sentrik terlihat gigi-gigi insisivus mandibula mengenai gingiva di bagian palatinal dari gigi insivus maksila.
  • Relasi bibir yang ditandai dengan keadaan bibir atas terangkat.
  • Curve of Spee dalam.
  • Bentuk wajah biasanya mesofasial sampai dolicofasial.
  • Profil wajah cembung.

  Relasi molar pertama permanen biasanya Klas II.

  • Relasi kaninus permanen Klas II.
  • B. Gambaran Sefalometri Maloklusi Klas II divisi 1

  Maloklusi Klas II divisi 1 ditandai dengan posisi mandibula yang lebih posterior (retrognasi) dan maksila normal atau maksila yang lebih anterior ( prognasi)

  18,19

  atau kombinasi keduanya sedangkan mandibula normal. Pertumbuhan maksila berlebihan atau prognasi ditandai dengan sudut SNA yang lebih besar dari 82°. Pada Klas II, mandibula kurang berkembang atau retrognasi dengan sudut SNB lebih kecil dari 80° dan sudut ANB lebih besar dari 4°. Selain penyimpangan rahang, maloklusi Klas II divisi 1 memiliki kondisi gigi insisivus yang khas berupa proklinasi insisivus maksila, retroklinasi insisivus mandibula yang dilihat pada pengukuran sudut dan garis dari I-NA dan I-NB serta sudut interinsisal. Besar sudut I-NA lebih besar dari 22° dan pengukuran linier I-NA memiliki nilai lebih besar dari 4mm. Sedangkan pada insisivus mandibula sudut I-NB lebih kecil dari 25° serta pengukuran linier I-NB

  4 lebih kecil dari 4mm. Sudut interinsisal memiliki nilai lebih kecil dari 130°.

2.3.2 Maloklusi Klas II divisi 2

  Gambaran maloklusi Klas II divisi 2 yaitu insisivus sentral atas retroklinasi sedangkan insisivus lateral bisa retrokliniasi ataupun proklinasi.

A. Karakteristik gambaran klinis maloklusi Klas II divisi 2

  • Gummy smil e.
  • Overjet kecil.

  • Gigitan dalam.
  • >Bibir biasanya kompeten dengan garis bibir bawah yang lebih tin
  • Relasi bibir tertutup.
  • >Bentuk lengkung maksila besar dan biasanya berbentuk o
  • Bentuk wajah biasanya brachifasial.
  • Profil wajah cenderung lurus sampai sedikit cembung.

  B. Gambaran Sefalometri Maloklusi Klas II divisi 2

  Maloklusi Klas II divisi 2 memiliki diskrepansi skeletal ringan ditandai dengan sudut FMA yang kecil dan dihubungkan dengan pola pertumbuhan horizontal. Pada arah vertikal tinggi wajah bagian bawah rendah, sudut nasolabial

  5,16 besar, dan rotasi mandibula berlawanan jarum jam.

2.4 Penatalaksanaan maloklusi Klas II

  Penanganan maloklusi Klas II dapat dilakukan dengan cara modifikasi pertumbuhan yaitu menghambat pertumbuhan maskila dan disaat yang sama merangsang pertumbuhan mandibula. Perawatan ini hanya dapat dilakukan pada masa pertumbuhan dengan piranti fungsional. Pada pasien dewasa diskrepansi skeletal dapat dikamuflase dengan pergerakan gigi secara ortodonti dengan atau tanpa pencabutan. Pada kasus dengan diskrepansi yang sangat berat, pilihan perawatan

  5 terbaik adalah kombinasi perawatan ortodonti dengan bedah ortognatik.

  30 Kamuflase Maloklusi Klas II dapat dilakukan dalam 2 bentuk:

  1. Dengan pencabutan: Pencabutan dibutuhkan untuk retraksi insisivus maksila yang protrusi. Ini biasanya dicapai dengan pencabutan kedua premolar pertama

  20

  maksila untuk menggerakkan gigi anterior ke posterior. Keputusan klinisi untuk melakukan pencabutan dalam perawatan ortodonti adalah: adanya crowding, insisivus yang proklinasi, dibutuhkan perubahan profil wajah, adanya anomali ukuran gigi,

  21 pergeseran garis median, overjet yang besar, dan kestabilan hasil perawatan.

  Pencabutan premolar menyebabkan perubahan profil jaringan lunak, dalam beberapa kasus perubahan ini meningkatkan estetik wajah tetapi di lain pihak hal yang tidak

  22 diinginkan juga dapat terjadi pada wajah.

2. Tanpa pencabutan: Dapat dilakukan dengan cara pergeseran gigi di kedua lengkung yaitu distalisasi gigi geligi maksila dan mesialisasi gigi geligi mandibula.

  Dalam perawatan dengan pesawat cekat, hal ini dicapai melalui pemakaian headgear,

  

distal jet maupun alat distalisasi lainnya. Dalam perawatan tanpa pencabutan, dapat

  juga dibantu dengan pemakaian elastik Klas II. Respons tipikal dari elastik Klas II atau ekuivalennya, adalah sedikit retraksi lengkung maksila pergeseran lengkung mandibula ke depan, flaring insisivus bawah, elongasi insisivus atas dan molar bawah serta rotasi bagian anterior searah jarum jam dan bagian posterior berlawanan

  4,8 jarum jam.

  Ada dua masalah utama dengan melakukan hal tersebut, yaitu hasilnya mungkin tidak stabil atau tidak dapat diterima secara estetis. Pertama, menggerakkan lengkung mandibula ke depan akan menempatkan insisivus dalam posisi tidak stabil, sehingga pasien harus memakai retainer seumur hidup atau akan mudah terjadi relaps. Kedua, pergerakan gigi cenderung memperjelas penampilan tak berdagu pasien, karena bibir bawah bergerak ke depan tetapi jaringan lunak dagu biasanya bergerak ke belakang saat mandibula berotasi ke bawah dan ke belakang. Ketiga, ekstrusi insisivus atas akibat pemakaian elastik Klas II akan menyebabkan rotasi maksila ke

  . 3,7,9,20

  bawah dan ke belakang sehingga mengakibatkan gummy smile Berdasarkan alasan tersebut di atas, pemakaian elastik Klas II hampir tidak pernah memberikan hasil yang baik. Selain hasilnya tidak stabil, cara ini gagal menyamarkan deformitas yang mendasarinya dan dapat menyebabkan deformitas semakin jelas. Penerapan genioplasti untuk menggerakkan dagu ke depan terkadang

  30 diperlukan agar perawatan dapat lebih baik secara estetis.

2.5 Indeks Probabilitas Gramling

  Indeks adalah sebuah angka atau bilangan yang digunakan sebagai indikator untuk menerangkan suatu keadaan tertentu. Probabilitas adalah kemungkinan.

  Dengan menggunakan suatu indeks dapat dinilai beberapa hal yang menyangkut maloklusi, misalnya prevalensi, keparahan maloklusi dan hasil perawatan. Indeks maloklusi mencatat keadaan maloklusi dalam suatu format kategorik atau numerik

  5 sehingga penilaian suatu maloklusi bisa objektif.

  Merrifield dan Gebbeck (1989) mengemukakan penelitiannya pada perawatan maloklusi Klas II skeletal, bahwa tinggi wajah anterior (AFH) dan tinggi wajah posterior (PFH) berhubungan erat dengan respons mandibula selama perawatan. Respons mandibula menentukan keberhasilan atau kegagalan perawatan maloklusi Klas II. Horn (1992) dalam penelitiannya pada perawatan maloklusi Klas II skeletal didapat bahwa tinggi wajah posterior dan tinggi wajah anterior berhubungan dengan reaksi mandibula yang terjadi selama perawatan. Reaksi mandibula akan mempengaruhi perubahan dimensi vertikal wajah. Oleh karena itu Horn memperkenalkan indeks tinggi wajah (FHI) dalam perawatan ortodonti sebagai upaya untuk menetapkan hubungan antara AFH dan PFH. Indeks ini juga dapat menggambarkan besarnya sudut FMA (Frankfort Mandibular Angle) yang dapat

  9,13,23,24 digunakan untuk membantu perencanaan maupun evaluasi perawatan.

  Gramling mengumpulkan banyak sampel dari maloklusi Klas II yang berhasil dirawat dan yang tidak berhasil dirawat dan dibandingkan.Tujuannya untuk mencari suatu metode dalam memprediksi keberhasilan atau kegagalan pada perawatan maloklusi Klas II serta evaluasi hasil perawatan. Gramling mengembangkan suatu indeks yang dinamakan Indeks Probabilitas yang bertujuan untuk meningkatkan suatu diagnosis dan prognosis serta evaluasi hasil perawatan berdasarkan pada pengamatan dan perhitungan terperinci dari radiografi sefalometri. Penelitian ini menggunakan lima pengukuran sefalometri kranial dan dental (Gambar 3). Lima sudut tersebut

  13-15 yaitu 1. FMA; 2. ANB; 3. OCC PL; 4. FMIA; 5, SNB.

  Gambar 3. Sudut-sudut yang digunakan pada Indeks Probabilitas Gramling

  1,5,8

2.6 Titik dan garis yang digunakan pada Indeks Probabilitas Gramling

  Beberapa titik yang dijadikan referensi dalam gambaran sefalometri. Titik- titik referensi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

  4,18-20

  • S (Sella): titik tengah ruang sella tursika.
  • N (Nasion): titik paling anterior dari sutura fronto nasalis atau sutura antara ruang frontal dan tulang nasal.
  • Or (Orbitale): titik terendah pada tepi rongga mata.
  • Po (Porion): titik paling superior dari meatus acusticus eksternus .
  • titik A (Subspinal): titik paling cekung pada kontur premaksila di antara spina nasalis anterior dan gigi insisivus maksila.
  • titik B (Submentale): titik paling cekung dari lengkung yang dibentuk antara infra dental dan pogonion.
  • Me (Menton): titik paling bawah pada dagu.
  • mandibula.

  Go (Gonion): titik persimpangan antara garis singgung ramus dan korpus

  Gambar 4. Titik-titik referensi pada sefalogram lateral yang digunakan pada Indeks

  4,18-20 Probabilitas Gramling.

  Pada umumnya garis-garis referensi dibuat dengan menghubungkan titik-titik pada gambaran sefalometri lateral. Garis-garis referensi tersebut dapat dilihat pada

  4,18-20 Gambar 5.

  Garis basis kranium (SN) : garis yang menghubungkan Sella dan Nasion

  • Garis Frankfort (FHP) : garis yang menghubungkan Porion dan Orbita.
  • Garis Oklusal (OCC PL) : adalah garis yang melalui oklusi dari gigi molar
  • pertama dan gigi insisivus maksila dan mandibula.

  Garis mandibula (MP) : Garis yang menghubungkan Gonion dan Menton.

  Gambar 5. Bidang pada sefalogram Lateral yang digunakan pada Indeks

  7,18,19 Probabilitas Gramling.

2.7 Sudut yang digunakan dalam pengukuran Indeks Probabilitas Gramling

2.7.1 FMA (Frankfort - Mandibular Angle)

  Sudut pertama adalah FMA yaitu sudut yang dibentuk dari perpotongan antara garis Frankfort dan garis mandibula yang dikenal sebagai salah satu kriteria sefalometri terpenting dalam diagnosis, prognosis dan perencanaan perawatan (Gambar 6). Sudut ini mengindikasikan arah pertumbuhan wajah bawah, baik

  7

  horizontal dan vertikal. Nilai normal untuk sudut ini adalah 22 ˚ - 28˚. FMA di atas nilai normal menunjukkan pertumbuhan vertikal yang lebih besar, sementara FMA di bawah nilai normal mengindikasikan pertumbuhan vertikal yang kecil. Sudut ini merupakan parameter yang baik dari kontrol vertikal selama mekanoterapi sehingga harus diperhatikan dengan baik selama perawatan . Peningkatan FMA yang terjadi selama perawatan pada pasien dengan nilai FMA yang sedang sampai besar akan menunjukkan rotasi ke bawah dan ke belakang yang merupakan suatu proses yang

  4,7,13 kurang baik dari sistem gaya ortodonti yang tidak terkontrol. Gambar 6. FMA ( Frankfort Mandibular Angle ), FMIA (Frankfort Mandibular Incisor Angle), IMPA

  7 (Incisor Mandibular Plane Angle ).

2.7.2 ANB

  Sudut kedua adalah sudut ANB, yang juga merupakan kriteria yang telah dikenal ortodontis. ANB adalah sudut yang secara spesifik mengklasifikasikan suatu maloklusi dan merupakan indikator yang digunakan untuk mengkaji disharmoni hubungan antara maksila dan mandibula yang didapat dari sudut SNA dikurangi

  3,4,13,18-20 sudut SNB .

  ANB menunjukkan hubungan langsung anteroposterior dari maksila terhadap mandibula. Nilai ANB berkisar 1 ˚ - 5˚ (Gambar 7). Nilai ANB lebih besar dari 10° biasanya membutuhkan kombinasi perawatan bedah sebagai tambahan untuk

  4,7,13,18-20 mendapatkan perawatan yang tepat.

  7,19 Gambar 7. Nilai normal sudut ANB 1° - 5°.

  2.7.3 FMIA ( Frankfort - Mandibular Incisor Angle )

  Sudut ketiga adalah sudut Frankfort - insisivus mandibula, yaitu sudut yang diambil dari perpotongan garis Frankfort dan garis aksis insisvus mandibula (Gambar 8). Sudut ini merupakan sudut yang paling penting yang menggambarkan protrusi insisivus mandibula. FMIA tidak hanya menggambarkan hubungan protrusi insisivus mandibula terhadap mandibula, namun juga menghubungkan protrusi

  13,16,19 insisivus mandibula terhadap wajah.

  Nilai normal FMIA adalah 68 ˚ dengan FMA 22˚ - 28˚. Jika nilai FMIA 65˚ diharapkan nilai FMA 30

  ˚ atau lebih. Tweed mengatakan bahwa nilai FMIA mengindikasikan derajat keseimbangan dan harmonisasi di antara wajah bawah dan batas anterior dari pertumbuhan gigi, sehingga bila nilai FMIA berada dikisaran

  8,14,15,19,20 normal akan terdapat hubungan wajah yang baik ideal.

  Gambar 8. FMIA. Tweed menggunakan FMIA sebagai

  7 indikator keseimbangan wajah.

  2.7.4 OCC PL ( Occlusal Plane )

  Garis oklusal yang diukur terhadap garis Frankfort telah lama dianggap sebagai penentu atas kualitas gaya ortodonti, dan merupakan sudut keempat dalam Indeks Probabilitas Gramling. Sudut ini juga penting sebagai penentu kesulitan dari suatu koreksi ortodonti karena maloklusi dikoreksi di sepanjang garis oklusal. Dalam penelitian pada 150 maloklusi Klas II didapat bahwa maloklusi Klas II dengan sudut

  3,4,13,18-20 dataran yang tinggi terbukti paling sulit dikoreksi.

  Nilai normal dari garis OCC PL ke garis FH adalah 8°-12° ± 2° pada pasien laki-laki dan perempuan. Kecuraman rata-rata pada OCC PL laki-laki dan perempuan adalah 9° dan 11° (Gambar 9). Nilai di atas dan di bawah rentang normal mengindikasikan tingkat kesulitan dalam perawatan. Peningkatan kecuraman OCC PL selama perawatan mengindikasikan kehilangan kontrol vertikal dan kecenderungan untuk memperoleh hasil perawatan yang kurang stabil karena sudut

  7,13,18-20 OCC PL menentukan keseimbangan otot, terutama otot-otot mastikasi.

  Gambar 9. Nilai normal OCC PL 8°-12°±2°.

  Rata-rata kecuraman OCC PL pada

  19 laki-laki 9° dan perempuan 11°.

2.7.5 SNB Sudut kelima yang digunakan dalam Indeks Probabilitas adalah sudut SNB.

  Sudut ini paling tepat dalam menggambarkan hubungan anteroposterior mandibula terhadap basis kranium anterior (Gambar 10). Nilai 78°-82 ° menyatakan posisi anteroposterior mandibula yang normal. Nilai yang kurang dari 74° menyatakan retrognasi mandibula mengindikasikan bahwa bedah ortognati akan menjadi sangat

  7,13,18-20 bermanfaat untuk perawatan.

  19 Gambar 10. Nilai normal SNB 78°-82°.

  Gramling melakukan pengelompokan berdasarkan nilai normal masing- masing sudut, dimana jika lebih besar atau pun lebih kecil dari nilai normal akan memberikan prediksi keberhasilan atau kegagalan perawatan. Namun setelah dianalisis sudut-sudut tersebut memiliki nilai prediktif yang rendah dan tidak valid bila masing-masing dinilai secara terpisah. Jika kelima sudut diukur secara bersamaan dan digabungkan maka hasil pengukuran tersebut ditemukan memiliki kemampuan prediktif dalam menentukan apakah suatu kasus sesuai untuk perbaikan Klas II.

  Dari latar belakang tersebut Gramling memformulasikan suatu Indeks Probabilitas. Yaitu dengan cara menetapkan faktor kesulitan dan diberikan nilai spesifik dari titik-titik untuk setiap variabel dengan tujuan (1) meningkatkan prosedur diagnostik, (2) panduan prosedur perawatan, (3) memprediksi kemungkinan keberhasilan perawatan atau gagal. Hal ini diharapkan indeks akan menjadi nilai yang memisahkan maloklusi Klas II yang membutuhkan prosedur perawatan alternatif dari kasus-kasus yang membutuhkan koreksi bedah untuk mencapai oklusi yang baik.

  Indeks Probabilitas Gramling menyatakan bahwa kontrol kelima sudut yaitu FMA, ANB, FMIA, OCC PL dan SNB adalah kunci apakah koreksi ortodonti maloklusi

13 Klas II sukses atau gagal.

  Tabel 1. Indeks Probabilitas Gramling.

  Faktor kesulitan Hasil sefalometri Indeks Probabilitas

  FMA 20°-30°

  5 ANB 6 atau kurang

  15 FMIA 60° atau lebih

  2 OOC PL 7° atau kurang

  3 SNB 80° atau lebih

  5 Total Tabel diatas menunjukkan nilai kisaran dimana keberhasilan perbaikan maloklusi Klas II muncul ketika nilai sudut jatuh pada kisaran tersebut. Nilai rerata untuk keberhasilan perawatan tersebut yaitu FMA harus memiliki nilai 20-30°; ANB 6° atau kurang; OCC PL 7° atau kurang; FMIA 60° atau lebih dan SNB 80° atau lebih.

  Tabel 2. Kriteria Indeks Probabilitas Gramling.

  

> 100 tidak mungkin berhasil tanpa bedah

  90 – 99 sangat buruk 80 - 89 buruk 70 – 79 sedang 60 – 69 baik

  50 < sangat baik Tabel 3. Contoh perhitungan Indeks Probabilitas Gramling.

  Faktor kesulitan Hasil sefalometri Indeks Probabilitas

  FMA 20°-30°

  5

  35

  25 ANB 6 atau kurang

  15

  8

  30 FMIA 60° atau lebih

  2

  54

  12 OOC PL 7° atau kurang

  3

  10

  9 SNB 80° atau lebih

  5

  75

  25 Total 101 Tabel 3 di atas menunjukkan contoh dari pemakaian Indeks Probabilitas untuk sampel maloklusi Klas II. Cara perhitungannya sangat sederhana, jika sudut FMA 35° maka nilai di luar kisaran indeks adalah 5°, kemudian 5° dikalikan dengan 5, maka Indeks Probabilitas untuk FMA adalah 25. Variabel lainnya dikalkulasikan dengan cara yang sama dan dijumlahkan. Pada contoh ini menghasilkan Indeks Probabilitas sebesar 101, artinya kasus maloklusi Klas II ini memiliki nilai >100. Dengan demikian kasus tersebut termasuk dalam kategori prognosis tidak mungkin berhasil

  13 tanpa pembedahan (Tabel 2).

  Gramling menyimpulkan Indeks Probabilitas tidak hanya berguna dalam memprediksi hasil perawatan suatu maloklusi Klas II, namun juga bermanfaat dalam mengevaluasi kinerja ortodontis dalam perawatan ortodonti Klas II. Singkatnya, semakin besar pengurangan Indeks Probabilitas dari suatu maloklusi Klas II, semakin

  13 baik metode perawatannya.

2.8 Kerangka Teori

  Perawatan Maloklusi Klas II Modifikasi pertumbuhan Kamuflase

  Pencabutan Tanpa pencabutan

  Bedah ortognatik Penilaian tingkat keberhasilan perawatan dengan menggunakan Indeks Probablitias Gramling

2.9 Kerangka Konsep

  Perawatan Maloklusi Klas II Pencabutan

  Tanpa pencabutan pengukuran sefalometri sebelum dan pengukuran sefalometri sebelum dan sesudah perawatan sesudah perawatan

  FMA, ANB, FMIA, FMA, ANB, FMIA, OOC PL, SNB

  OOC PL, SNB Indeks Probabilitas

  Indeks Probabilitas sebelum dan sesudah sebelum dan sesudah perawatan perawatan

  Faktor kesulitan Hasil sefalometri Indeks Probabilitas

  FMA 20°-30°

  5 ANB 6° atau kurang

  15 FMIA 60 ° atau lebih

  2 OOC PL 7° atau kurang

  3 SNB 80° atau lebih

  5 Total

  > 100 tidak mungkin berhasil tanpa bedah

  90 – 99 sangat buruk 80 - 89 buruk 70 – 79 sedang 60 – 69 baik

  50 < sangat baik dibandingkan dan dilihat Indeks Probabilitas sebelum dan sesudah perawatan pada kasus pencabutan dan tanpa pencabutan

Dokumen yang terkait

Penilaian MPV dan Agregasi Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Penilaian MPV dan Agregasi Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Onikomikosis - Uji Diagnostik Polymerase Chain Reaction –Restriction Fragment Length Polymorphism Dalam Menegakkan Diagnosis Onikomikosis.

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bakteri - Perbandingan Aktivitas Antibakteri Antara Ekstrak Etanol dari Serbuk dan Serbuk Nano Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) Terhadap Strain Bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus

1 1 16

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan - Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan Di Propinsi Sumatera Utara Berdasarkan Data Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)

0 1 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Persepsi Pengguna Jalan Terhadap Jalur Pejalan Kaki Di Jalan Gatot Subroto Medan

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN - Persepsi Pengguna Jalan Terhadap Jalur Pejalan Kaki Di Jalan Gatot Subroto Medan

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perjanjian Terapeutik 2.1.1. Pengertian Perjanjian Terapeutik - Analisis Penerapan Informed Consent Di Bagian SMF Bedah dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

0 1 31

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Penerapan Informed Consent Di Bagian SMF Bedah dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

0 0 18

Perubahan Nilai Indeks Probabilitas Gramling pada Pasien Maloklusi Klas II yang Dirawat dengan Pencabutan dan Tanpa Pencabutan Di RSGMP FKG USU

0 0 27