BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Penerapan Informed Consent Di Bagian SMF Bedah dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat, berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009.

  Rumah sakit sebagai pelayanan publik memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan.

  Menurut Panitia Etik Rumah sakit (PERS), salah satu pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit adalah pelayanan kamar operasi atau bedah, baik pelayanan bedah umum, bedah tulang, maupun bedah kandungan, dan bedah lainnya (Notoadmodjo, 2010).

  Dalam memberikan pelayanan kepada pasien, setiap rumah sakit tentunya harus memiliki standar prosedur dalam setiap tindakan sebagai pedoman acuan.

  Upaya untuk mewujudkan kinerja pelayanan publik di lingkungan unit kerja pemerintahan yang terukur dan dapat dievaluasi keberhasilannya, pemerintah daerah

  1 perlu memiliki dan menerapkan prosedur kerja yang standar. Sebagai suatu instrumen manajemen, prosedur standar berlandaskan pada sistem manajemen kualitas (Quality

  Management System ), yakni sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-

  praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk (barang dan/atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu.

  Sistem manajemen kualitas berfokus pada konsistensi dari proses kerja. Hal ini mencakup beberapa tingkat dokumentasi terhadap standar-standar kerja. Sistem ini berlandaskan pada pencegahan kesalahan, sehingga bersifat proaktif, bukan pada deteksi kesalahan yang bersifat reaktif. Secara konseptual, standar prosedur merupakan bentuk konkret dari penerapan prinsip manajemen kualitas yang diaplikasikan untuk organisasi pemerintahan, dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses pelayanan di seluruh unit kerja pemerintahan dapat terkendali dan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Atmoko, 2010).

  Salah satu standar prosedur dari pelayanan bedah yang akan dilakukan adalah termasuk memberikan penjelasan atau informasi yang selengkap-lengkapnya tentang rencana tindakan yang akan diberikan kepada pasien. Dengan alasan bahwa semua tindakan medis (diagnostik, terapeutik, ataupun paliatif) memerlukan informed

  

consent secara lisan ataupun tertulis. Setiap tindakan yang mengandung risiko cukup

  besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya.

  Hubungan dokter-pasien merupakan fondasi dalam praktek kedokteran dan juga etika kedokteran, bahwa memang ada landasan hukum yang mengatur tentang hubungan antara dua pihak yang bersepakat untuk mencapai suatu tujuan. Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan di bidang pengobatan saja, tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif, maupun promotif, sehingga persetujuan ini disebut persetujuan terapeutik atau transaksi terapeutik. Dalam bidang pengobatan, para dokter dan masyarakat menyadari bahwa tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai yang diinginkan pasien atau keluarga, yang dapat diberikan dokter adalah upaya maksimal ( Hanafiah dan Amir, 2012).

  Doktrin “ The Right of Self Determination “ oleh para ahli dijadikan sebagai landasan bagi tenaga kesehatan untuk tidak sekehendak hati melakukan tindakan terhadap pasien. Pasien memiliki hak dasar yang bersifat hakiki untuk menentukan segala sesuatu terhadap tubuhnya sehingga setiap tindakan (baik berupa diagnostik maupun terapeutik) harus selalu atas persetujuan pasien. Tanpa persetujuan tersebut, tenaga kesehatan dianggap melanggar hukum dan harus bertanggungjawab atas semua kerugian yang terjadi.

  Izin pasien diperlukan karena hasil tindakan medis penuh ketidakpastian dan tidak dapat diperhitungkan secara matematis karena dipengaruhi oleh faktor lain di luar kekuatan dokter, seperti virulensi penyakit, kualitas obat, kepatuhan pasien, dan lain lain (Ta’adi, 2013).

  Selain itu, tindakan medis memiliki risiko (possibility of bad consequence) atau bahkan tindakan medis tertentu selalu diikuti oleh akibat (what follows logically

  or effectively from some casual action or condition) yang tidak menyenangkan.

  Resiko yang bersifat baik ataupun buruk yang menanggung adalah pasien. Atas dasar inilah persetujuan pasien mutlak diperlukan pada setiap tindakan medis, pasien harus diberi informasi terlebih dahulu mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan tindakan medis yang akan dilakukan (Ta’adi, 2013).

  Achadiat (2004) dalam Erdiansyah (2011) mengatakan bahwa kemajuan teknologi bidang biomedis disertai dengan kemudahan dalam memperoleh informasi dan komunikasi pada era globalisasi ini memudahkan pasien untuk mendapatkan

  

second opinion dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, yang

  pada akhirnya bila dokter tidak hati-hati dalam memberikan penjelasan kepada pasien, akan berakibat berkurangnya kepercayaan pasien kepada para dokter tersebut.

  Masyarakat awam sudah mulai mampu belajar kritis tentang dunia kesehatan dan dunia hukum yang didapat melalui media massa yang secara bebas bisa di akses oleh siapa saja dan dimana saja oleh siapapun yang ingin mengetahui penanganan medis tentang suatu penyakit, dimana dapat kita lihat dari banyaknya pembahasan di media massa mengenai masalah dunia kedokteran yang dihubungkan dengan persoalan hukum.

  Seorang dokter dikatakan telah melakukan praktek yang buruk manakala ia tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam kode etik kedokteran, standar profesi, dan standar pelayanan medik (Yunapto, 2009).

  Beberapa tahun terakhir ini sering kita dengar dan dibahas tentang praktik tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik medis, sehingga banyak masyarakat yang mengajukan tuntutan hukum. Fenomena semacam ini adalah bagus kalau dilakukan secara proporsional, sebab fenomena ini menunjukkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum kesehatan. Di samping itu, fenomena ini juga menunjukkan adanya kesadaran masyarakat, terutama pasien tentang hak-haknya, atau hak-hak pasien (Notoadmojo, 2010).

  Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya terlihat superoritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis ; hanya ada kegiatan pihak dokter, sedangkan pasien tetap pasif. Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena merupakan suatu pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap lainnya. Kedudukan dokter yang selama ini dianggap lebih “tinggi” dari pasien disebabkan karena dokter dianggap yang paling tahu mengenai keadaan kesehatan pada diri pasien. Sehingga pasien seringkali menerima saja perlakuan dokter sehingga sulit menilai secara cermat pelayanan dokter.

  Dengan semakin berkembangnya pengetahuan masyarakat, hubungan tersebut perlahan-lahan mengalami perubahan. Oleh karena hubungan dokter-pasien merupakan hubungan antar manusia, lebih dikehendaki hubungan yang mendekati persamaan hak antar manusia. Jadi hubungan dokter yang semula bersifat paternalistik akan bergeser menjadi hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan saling ketergantungan antara ke dua belah pihak yang ditandai dengan suatu kegiatan aktif yang saling mempengaruhi. Dokter dan pasien akan berhubungan lebih sempurna sebagai “ partner” (Wiradharma, 1996).

  Hubungan dokter dan pasien, secara hukum umumnya terjadi melalui suatu perjanjian atau kontrak, dengan tanya jawab (anamnesis) antara dokter dan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik, akhirnya dokter menegakkan suatu diagnosis. Diagnosis ini dapat merupakan suatu “working diagnosis” atau diagnosis sementara, bisa juga merupakan diagnosis yang definitif. Setelah itu dokter biasanya merencanakan suatu terapi dengan memberikan resep obat atau suntikan, atau operasi atau tindakan lain, dan disertai dengan nasihat-nasihat yang perlu diikuti agar kesembuhan lebih segera dicapai oleh pasien (Wiradharma, 1996).

  Model tradisional asuhan pasien yang selama ini sudah berjalan adalah dokter merupakan pusat dari asuhan (doctor centered), sehingga ada 2 kubu yang menjadi perhatian di managemen rumah sakit, yakni dokter dan pasien. Namun tujuan utama pelayanan kesehatan rumah sakit pada masa belakangan ini diharapkan menjadi pelayanan atau asuhan yang berfokus kepada pasien (patient centered care).

  Percepatan perkembangan secara pesat rumah sakit saat ini membuat pasien bisa lebih leluasa mencari perbandingan pelayanan yang lebih memuaskan dari rumah sakit serta tenaga medis yang memberikan asuhan, dan juga prinsip mencari keuntungan bagi rumah sakit, membuat prinsip pelayanan yang berfokus kepada pasien sangatlah diharapkan untuk menunjang keamanan, kenyamanan, serta akan meningkatkan mutu asuhan atau mutu pelayanan rumah sakit.

  Pelayanan yang berfokus pada pasien ini adalah sebagai asuhan yang menghormati dan responsif terhadap pilihan, kebutuhan dan nilai-nilai pribadi pasien , serta memastikan bahwa nilai-nilai pasien menjadi panduan bagi semua keputusan klinis.

  Profesional pemberi asuhan yang salah satunya terdiri dari dokter, berserta pemberi asuhan lainnya diposisikan mengelilingi pasien, menghormati dan responsif terhadap pilihan, kebutuhan dan nilai-nilai pribadi pasien atau dapat dikatakan secara kolaboratif melakukan sintesa dan integrasi asuhan pasien dalam posisi yang setara, sehingga disebut “Interdisciplinary team” dengan Kolaborasi Interprofesional. Dokter adalah “Team Leader / Coach”. Pasien memperoleh asuhan yang terbaik dan bermanfaat bagi pasien

  Inti dari konsep pelayanan berorientasi pada pasien ada beberapa hal yakni : 1. Martabat dan Respek.

  • Profesional pemberi asuhan mendengarkan, menghormati dan menghargai pandangan serta pilihan pasien dan keluarga.
  • Pengetahuan, nilai-nilai, kepercayaan, latar belakang kultural pasien dan keluarga dimasukkan dalam perencanaan pelayanan dan pemberian pelayanan kesehatan 2. Berbagi informasi.
  • Profesional pemberi asuhan mengkomunikasikan dan berbagi informasi secara lengkap pasien dan keluarga.
  • Pasien dan keluarga menerima informasi tepat waktu, lengkap, dan akurat

3. Partisipasi.

  Pasien dan keluarga didorong dan didukung utk berpartisipasi dalam

  • asuhan dan pengambilan keputusan / pilihan mereka 4. Kolaborasi / kerjasama.

  Pimpinan pelayanan kesehatan bekerjasama dengan pasien dan keluarga

  • dalam pengembangan, implementasi dan evaluasi kebijakan dan program.

  Kondisi yang diperlukan agar tercapai persetujuan yang benar adalah komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien. Pasien dan tenaga kesehatan merupakan para pihak yang terlibat dalam suatu pelayanan kesehatan. Di satu pihak pasien menaruh kepercayaan terhadap kemampuan profesional tenaga kesehatan. Di lain pihak karena adanya kepercayaan tersebut sekiranya tenaga kesehatan memberikan pelayanan kesehatan menurut standar profesi dan berpegang teguh pada kerahasiaan profesi. Hal tersebut yang menciptakan hubungan ataupun ikatan antara pasien dengan tenaga kesehatan.

  Agar dapat menanggulangi masalah secara proporsional dan mencegah kelalaian profesi atau apa yang dinamakan malpraktik di bidang kedokteran, perlu diungkapkan hak dan kewajiban pasien. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban pasien diharapkan akan meningkatkan sikap serta tindakan yang cermat dan hati-hati tenaga kedokteran.

  Kesepakatan antara pasien atau keluarganya dengan pihak dokter dalam hal pengobatan atau tindakan kedokteran ditujukan dengan adanya pernyataan persetujuan dari pasien atau keluarganya. Dengan adanya persetujuan tersebut berarti pasien telah bersedia untuk mengikuti pengobatan atau tindakan medik (kedokteran) yang akan dilakukan kepadanya dengan berbagai risiko ataupun segala kemungkinan yang mungkin terjadi.

  Persetujuan antara pihak pasien dengan pihak dokter dalam rangka pengobatan atau penanganan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara tersirat atau dianggap telah diberikan yang disebut Implied consent dan ada yang dinyatakan secara lisan ataupun tulisan, yang disebut expressed consent. Mengenai

  

informed consent telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan yang

  memiliki kekuatan hukum tetap dengan diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan No 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

  Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan No 290 tahun 2008 dinyatakan bahwa : “ Persetujuan Tindakan Kedokteran (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien”. Jika dilihat dari isi Pasal 1 angka 1 Permenkes tersebut, dapat dinyatakan bahwa tanpa persetujuan dari pasien atau keluarga pasien tersebut, maka pemeriksaan atau penanganan medik yang dilakukan oleh dokter tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum serta tidak sah.

  Seorang dokter dalam melakukan pemeriksaan maupun penanganan medik harus menghormati hak-hak pasien serta bekerja menurut standar profesi kedokteran.

  Hal tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan ketentuan sesuai prosedur dalam pemberian informed consent, sehingga dokter dianggap telah melaksanakan kewajibannya memberikan informasi kepada pasien atau keluarga pasien dan mendapat persetujuan dari mereka.

  Seorang dokter dalam melakukan penanganan medik dituntut kehati-hatian dan tanggung jawab dan profesional dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasiennya sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dimilikinya. Pada tingkat ini sekalipun, seorang dokter sebagaimana umumnya manusia biasa terkadang melakukan kesalahan ataupun penyimpangan terhadap ketentuan yang diharuskan. Penyimpangan tersebut dapat disebabkan oleh adanya tindakan dokter yang secara langsung (tanpa melakukan persetujuan) melakukan penanganan medik kepada pasien atau karena adanya kelalaian atau kesalahan. Hal ini tentu akan menjadi masalah karena ada kondisi yang rancu tentang adanya pelanggaran hukum, terlepas dari pasien tersebut selamat atau tidak dalam suatu proses penanganan medik.

  Selain itu juga sering terjadinya kealpaan atau kelalaian yang merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan merupakan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Jadi dalam kealpaan ini tidak ada niat jahat dari pelaku. Kealpaan atau kelalaian dan kesalahan dalam melaksanakan tindakan medis menyebabkan terjadinya ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan sesuai profesi kedokteran. Kealpaan dan kesalahan tersebut menyebabkan kerugian berada pada pihak pasien (Erdiansyah, 2011).

  Banyaknya kasus kelalaian medik membuat penataan sistem kesehatan yang mengutamakan keselamatan pasien perlu segera dilakukan. Dugaan kelalaian medik bisa dipicu kurangnya komunikasi, rendahnya kompetensi tenaga kesehatan, buruknya manajemen fasilitas layanan kesehatan, hingga lemahnya pengawasan pada tahun 2012. Desakan tersebut mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komisi IX DPR RI dengan Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Konsil Kedokteran Indonesia (selanjutnya disebut KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (selanjutnya disebut MKDKI), keluarga korban, dan pengelola rumah sakit (RS) tempat dugaan kelalaian medik terjadi.

  Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nova Riyanti Yusuf yang memimpin rapat tersebut mengatakan bahwa kasus kelalaian medik yang terungkap umumnya melibatkan pasien dari kelompok ekonomi menengah atas. Pasien miskin lebih banyak pasrah. Sementara Anggota Komisi IX DPR RI Endang Agustini Syarwan Hamid (F-PG) menyatakan perlunya dokter dan RS mengedepankan empati pada pasien korban dugaan kelalaian medik. Ketua MKDKI-KKI Ali Baziad mengatakan, pada tahun 2006- tahun 2012 ada 183 pengaduan dugaan kelalaian medik. Namun, hanya 88 pengaduan yang dapat diproses dan melibatkan 121 dokter, hal ini terjadi sering dikarenakan oleh kurangnya komunikasi dokter dengan pasien sehingga memunculkan banyak ketidakpuasan (Buletin Parlementaria, 2013).

  Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Nusa Tenggara Timur (NTT) Marthen L Mullik juga mengatakan bahwa kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dipicu oleh buruknya manajemen rumah sakit. Karena itu,rumah sakit tempat terjadinya pelanggaran juga perlu mendapat sanksi dan pembinaan. Dugaan kelalaian medik yang dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum adalah kasus RAP (10) di RS Medika Permata Hijau, Jakarta. Setelah menjalani operasi usus buntu yang dilakukan secara mendadak tanpa pendapat kedua (second opinion) dari dokter lain, 22 September 2012, pasien kini tak bisa melihat, bicara, mendengar, ataupun merespon. Pengelola rumah sakit mengatakan, pasien mengalami alergi obat sehingga denyut jantung sempat terhenti.

  Kasus lain menimpa EMD (10 bulan) di RS Ibu danAnak Dedari, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah operasi kasus invaginasi usus (masuknya bagian pangkal usus ke ujung usus), korban mendapat transfusi darah langsung ke vena. Setelah itu, fungsi napas pasien turun dan akhirnya meninggal akibat perdarahan di seluruh organ tubuh.

  Kasus lain terjadi pada MS (52) di RS Santa Elisabeth, Medan, Sumatera Utara. Setelah dikuret karena pendarahan di luar menstruasi dan dugaan adanya kista, kandung kemih pasien tersayat hingga kencing tak bisa dikontrol. Setelah dirawat di RS lain, kini pasien harus kencing melalui kateter yang dipasang permanen di ginjal. MKDKI memutuskan ada kelalaian medik dan KKI sudah mencabut surat tanda registrasi (STR) dokter yang pertama melakukan operasi selama dua bulan (Buletin Parlemeteria, 2013).

  Dari beberapa permasalahan yang diadukan merupakan yaitu masalah kompetensi yang mengakibatkan meninggal dunia, ingkar janji mengakibatkan cacat, penelantaran, komunikasi dan pembiayaan mengakibatkan kerugian pada pasien. Marius Widjajarta, ketua Yayasan Perlindungan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Jum’at 18 januari 2013 Jakarta Selatan, mengatakan tingkat dugaan kelalaian hingga saat ini sangat tinggi, namun masyarakat tidak megetahui jalur apa yang akan ditempuh apabila mendapatkan masalah kesehatan, hanya pasrah terhadap nasib yang diterima.

  Kejadian seperti ini menimbulkan kekhawatiran dimasyarakat, kemungkinan menurunannya tingkat pengaduan yang masuk di MKDKI, menandakan kejenuhan masyarakat melaporkan adanya dugaan pelanggaran malapraktek, karena tidak adanya tindak lanjut apalagi efek jera yang dihasilkan MKDKI dalam pencegahan malpraktek, hal seperti ini menandakan keadaan yang buruk dalam pembangunan kesehatan (Alim, 2013).

  Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk Pakam adalah rumah sakit pemerintah daerah kelas B Non Pendidikan yang merupakan pusat rujukan pelayanan kesehatan di daerah Deli Serdang yang memberikan berbagai pelayanan, di antaranya adalah pelayanan bedah, baik bedah umum, bedah tulang, maupun bedah kandungan, dimana sesuai dengan standar profesinya, tenaga dokter dalam pelaksanaan tindakan medis harus memberikan informed consent kepada pasien-pasien yang akan direncanakan tindakan pembedahan.

  Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR, bahwa kalangan masyarakat miskin lebih pasrah terhadap kasus-kasus kelalaian medis dan tidak tahu melaporkan ketidakpuasan pelayanan medis yang dihadapinya, hal inilah yang banyak terjadi yang diamati oleh peneliti di dalam beberapa kasus bedah yang pernah terjadi di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam, yang tidak sampai kepada kasus hukum.

  Kasus bedah kandungan yang dialami pasien Jampersal (P) 30 tahun yang dibawa oleh bidan yang membantu persalinan di klinik kebidanan yang mengalami kegawatan sehingga harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut, namun dokter kandungan segera melakukan operasi pada pasien tanpa memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang kegawatan janin, sehingga pada saat bayi selesai di operasi dan dibawa ke ruang perinatologi beberapa saat kemudian meninggal.

  Pihak keluarga tidak menerima kejadian tersebut karena dari awal akan diadakan operasi para pihak keluarga tidak bertemu dengan dokter yang akan melakukan tindakan operasi dan tidak diberikan informasi apapun tentang keadaan ibu dan janinnya, dan keluarga menuntut penjelasandari pihak rumah sakit (Digital News Terdepan, 2012). Ada banyak tindakan dan pelayanan medik yang dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktik yang dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum (Erdiansyah, 2011).

  Ada beberapa hal yang membuat peneliti ingin melakukan analisa bagaimana penerapan informed consent terlaksana di rumah sakit ini. Menurut literatur yang ada, Permenkes RI Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi : “Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (2), dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat/paramedis lainnya sebagai saksi”.

  Penandatanganan persetujuan harus mengikut sertakan perawat sebagai saksi yang apabila terjadi sengketa, pihak dokter maupun rumah sakit menjadi pihak yang lemah akibat ketiadaan salah seorang saksi dari perawat yang menguatkan keterangan dokter, namun yang sering terjadi perawat tidak pernah ikut serta dalam penandatanganan sebagai saksi.

  Yang menandatangani informed consent adalah pasien sendiri yang memiliki hak untuk menyetujui tindakan bedah yang akan dilakukan kepada tubuhnya sendiri, namun ada pengecualian pada beberapa pasien yang kita dapat bedakan menurut diagnosa ataupun keadaan penyakitnya sehingga penandatanganan diwakilkan kepada keluarga, namun yang sering terjadi, walaupun pasien dalam keadaan baik, pasien tidak pernah menandatangani informed consent yang diperlukan untuk persiapan tindakan operasi.

  Format informed consent yang ada di rumah sakit yang selama ini di isi untuk melengkapi syarat sebelum dilakukan operasi ada 2 bagian, yakni informed consent dan surat persetujuan tindakan medis. Hanafiah dan Amir (2012) mengatakan bahwa dahulu informed consent ini lebih dikenal sebagai surat izin operasi, namun saat ini disesuaikan oleh rumah sakit atau dokter yang merancang surat tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan satu format saja yaitu informed consent.

  Kemudian jika dilihat dari bentuk format informed consent yang ada, format baku yang disediakan merata atau sama untuk segala jenis tindakan operasi atau tindakan invasif. Format ini tidak menyediakan tempat untuk dokter menuliskan tambahan-tambahan keterangan atau informasi untuk setiap kasus yang berbeda, sementara informasi yang harus diberikan kepada setiap kasus pasti akan berbeda- beda. Dalam akreditasi rumah sakit, hal ini dinyatakan sesuai dengan UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 45 dan Permenkes N0. 290/Menkes/III/2008.

  Menurut Appelbaum yang dikutip Guwandi (1993) menyatakan informed

  

consent bukan sekedar formulir persetujuan yang didapat dari pasien, melainkan

  merupakan proses komunikasi. Tercapainya kesepakatan antara dokter - pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang informed consent (Hanafiah dan Amir, 2012).

  Selama ini, perawat yang bertugas mempersiapkan pasien untuk tindakan operasi, yang meminta tanda tangan sebagai tanda bukti persetujuan dari pihak keluarga. Sutanto dalam Guwandi (1990) mengatakan bahwa Informed consent sering disalahartikan sebagai tandatangan pasien pada formulir. Tanda tangan pasien yang dibubuhkan pada formulir persetujuan memang merupakan suatu bukti (proof) bahwa pasien telah memberikan persetujuannya, tetapi seringkali dikatakan belum merupakan bukti dari persetujuan karena pasien belum tentu betul-betul telah mengerti (valid consent) (Sutanto, dkk, 2009). Untuk itulah sebaiknya persetujuan diberikan oleh keluarga atau pasien setelah diberikan penjelasan oleh dokter yang akan melakukan tindakan.

  Dalam setiap perencanaan tindakan operasi, setelah diberikan penjelasan atau informasi, keluarga dihadapkan pada keputusan menyetujui atau menolak tindakan yang akan dilakukan oleh dokter, untuk itulah rumah sakit harus menyediakan format persetujuan dan juga format penolakan tindakan medis, namun selama ini yang dijalankan adalah penolakan tindakan medis tidak memiliki format seperti halnya persetujuan, namun hanya dituliskan pada salah satu bagian lembaran status pasien.

  Pada survey pendahuluan yang dilakukan di RSUD Deli Serdang, pada bulan April 2014 yang sedang berjalan, ada 99 operasi bedah umum, bedah tulang, dan bedah kandungan. Dari data yang di dapat, ada 8 surat izin operasi yang tidak ditandatangani oleh dokter spesialis yang melakukan operasi, ada 6 nama dokter yang tidak dicantumkan pada tanda tangan dokter spesialis, ada 6 nama jenis tindakan operasi yang tidak disebutkan, ada 34 ditandatangani saksi keluarga, dan 99 surat izin operasi tersebut tidak ada yang ditandatangani oleh pihak perawat sebagai saksi dari pihak rumah sakit.

  Menurut Jacobalis (2005), penjelasan tentang informed consent menjelang operasi umumnya masih kurang dilakukan para dokter kita di Indonesia.

  Penyebabnya bisa dikarenakan oleh berbagai alasan yang salah satunya dikarenakan terlalu banyak pasien yang dilayani sehingga waktu untuk berkonsultasi sedikit.

  Begitu juga hal ini hendaknya mendapat perhatian dari pihak manajemen rumah sakit untuk menghindari tanggung gugat dan meningkatkan tanggung jawab oleh dokter spesialis yang akan melakukan tindakan bedah. Untuk itulah masalah- masalah ini menjadi hal yang menarik bagi peneliti untuk melihat bagaimana penerapan informed consent di bagian bedah umum, bedah tulang, dan bedah kandungan di RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.

1.2. Permasalahan

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu : Bagaimana penerapan informed consent di bagian bedah umum, bedah tulang, dan bedah kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.

  1.3. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa penerapan informed

  

consent di bagian bedah umum, bedah tulang, dan bedah kandungan RSUD Deli

Serdang Lubuk Pakam.

  1.4. Manfaat Penelitian

  1.4.1. Bagi Rumah Sakit

  Memberikan masukan bagi RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam untuk meningkatkan ketegasan penerapan informed consent oleh tenaga dokter dalam pelayanan bedah.

  1.4.2. Bagi Dokter

  Diharapkan menjadi masukan bagi tenaga dokter yang melakukan pelayanan kesehatan dalam memberikan informed consent diharapkan mengikuti standar prosedur yang berlaku.

  1.4.3. Bagi Akademisi

  Hasil penelitian penelitian ini tentunya bermanfaat sebagai kontribusi untuk memperkaya khasanah keilmuan pada umumnya dan pengembangan penelitian sejenis di masa yang akan datang.

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Penilaian Kinerja RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan Menggunakan Pendekatan Balanced Scorecard

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Amputasi - Mekanisme Koping Klien Pasca Amputasi Tungkai Bawah di Kota Medan

0 0 34

Penilaian MPV dan Agregasi Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Penilaian MPV dan Agregasi Trombosit pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Onikomikosis - Uji Diagnostik Polymerase Chain Reaction –Restriction Fragment Length Polymorphism Dalam Menegakkan Diagnosis Onikomikosis.

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bakteri - Perbandingan Aktivitas Antibakteri Antara Ekstrak Etanol dari Serbuk dan Serbuk Nano Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) Terhadap Strain Bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus

1 1 16

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan - Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan Di Propinsi Sumatera Utara Berdasarkan Data Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)

0 1 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Persepsi Pengguna Jalan Terhadap Jalur Pejalan Kaki Di Jalan Gatot Subroto Medan

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN - Persepsi Pengguna Jalan Terhadap Jalur Pejalan Kaki Di Jalan Gatot Subroto Medan

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perjanjian Terapeutik 2.1.1. Pengertian Perjanjian Terapeutik - Analisis Penerapan Informed Consent Di Bagian SMF Bedah dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

0 1 31