BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perbedaan Kontrol Diri Pada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Keluarga Bercerai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrol Diri

1. Definisi Kontrol Diri

  Kontrol diri menurut Averill merupakan variabel psikologis yang mencakup kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu untuk memilih salah satu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini (dalam, Ghufron & Risnawati, 2011). Sedangkan menurut Contrada & Goyal, 2004 (dalam Sarafino, 2010) kontrol diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk membuat keputusan, bertindak secara efektif terhadap apa yang dibutuhkan dan menolak melakukan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Goldfried dan Merbaum (dalam Lazarus, 1976) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif.

  Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah keyakinan serta kemampuan seseorang untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan pikiran, perilaku dan keputusannya dalam melakukan sesuatu dengan mempertimbangkan kebutuhan dan konsekuensi yang akan dihasilkan.

  2. Fungsi Kontrol Diri

  Fungsi kontrol diri di usia remaja menurut Messina & Messina antara lain adalah sebagai berikut: a.

  Membatasi perhatian remaja terhadap orang lain b. Membatasi keinginan remaja untuk mengendalikan orang lain dan lingkungan c.

  Membatasi tingkah laku individu agar sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku (Gunarsa, 2003).

  3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri

  Secara garis besar, (Ghufron& Risnawati, 2011) menyatakan bahwa kontrol diri dipengaruhi oleh faktor internal (dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (dari luar diri individu).

  a.

  Faktor Internal Salah satu faktor internal kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin baik kemampuan kontrol diri seseorang tersebut.

  b.

  Faktor Eksternal Faktor eskternal antara lain adalah lingkungan keluarga yang secara khusus mengacu pada orangtua. Pada penelitian ini keluarga difokuskan pada struktur keluarga. Karena hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur keluarga mempengaruhi kontrol diri seorang remaja (Phytian, 2008). Faktor lain yang mempengaruhi kontrol diri menurut (Darity, 2008) adalah sosialisasi orangtua, kedekatan, status sosioekonomi dan temperamen.

4. Strategi Kontrol Diri

  Hoch dan Loewenstein (1991) menyebutkan terdapat tiga strategi kontrol diri yang dapat membatasi keinginan sebagai berikut: a.

  Penghindaran (Avoidance) yang berarti membatasi keinginan dengan cara menghindari situasi yang cenderung meningkatkan keinginan tersebut.

  b. Postponement and distraction ), merupakan Penundaan dan Selingan ( usaha membatasi keinginan dengan cara menunda pilihan sampai masa mendatang, sementara dalam kasus selingan yang dilakukan adalah mencoba untuk memikirkan hal lain.

  c.

  Pengganti (Substitution) merupakan cara membatasi keinginan dengan cara memberikan reward pada diri segera setelah diri sendiri mampu menolak dorongan atas keinginannya.

5. Aspek-Aspek Kontrol Diri

  Averill menyatakan terdapat tiga aspek dalam kontrol diri yaitu, kontrol: perilaku yang mengacu pada cara melakukan sesuatu, kognitif untuk serangkaian proses berpikir, dan keputusan (dalam Ghufron dan Risnawati).

  a.

  Kontrol Perilaku (Behavior Control) Merupakan suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau mengubah kondisi suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang dapat membawa seseorang ke dalam keadaan stress. Kontrol perilaku merupakan keyakinan dan kepercayaan seseorang bahwa ada tindakan yang dapat dilakukan untuk mengubah suatu situasi yang tidak menyenangkan.Kontrol perilaku dibagi ke dalam dua komponen, yaitu kemampuan mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi atau mengubah stimulus (Stimulus

  Modifiability ). Kemampuan untuk mengatur pelaksanaan merupakan

  kemampuan individu untuk menentukan siapa yang akan mengendalikan situasi atau keadaan. Kemampuan tidak lepas dari mempertanyakan kemampuan individu sendiri, apakah individu tersebut dapat melakukannya sendiri atau membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk dapat mengendalikan situasi tersebut. Individu dengan kontrol diri yang baik akan mampu mengatur suatu situasi atau keadaan dengan menggunakan kemampuannya sendiri. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui kapan suatu stimulus dan situasi yang tidak dikehendaki akan terjadi dan bagaimana harus mempersiapkan diri dan menghadapi situasi tersebut. Cara yang dapat dilakukan dalam mengatur stimulus adalah dengan cara mencegah atau menjauhi stimulus, membatasi atau menunda stimulus, serta menghentikan suatu stimulus.

  b.

  Kontrol Kognitif (Cognitive Control) Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang diinginkan atau tidak diinginkan. Cara yang dapat dilakukan untuk melakukan kontrol kognitif adalah dengan cara melakukan interpretasi terlebih dahulu, melakukan penilaian atau menghubungkan suatu kejadian dengan kejadian lain dalam suatu kerangka kognitif sebagai langkah untuk melakukan penyesuaian secara psikologis guna mengurangi tekanan yang ada. Menurut Cohen (Dalam Sarafino, 2010) kontrol kognitif berarti kemampuan seseorang untuk menggunakan proses dan strategi berpikir untuk memodifkasi dampak dari stress dengan cara memikirkan dampak positif sebuah kejadian atau berpikir secara netral terhadap sesuatu.

  Aspek ini terbagi lagi menjadi dua komponen yaitu, perolehan informasi (information gain) dan penilaian (Appraisal). Hal yang dilakukan ketika berada dalam proses pemerolehan informasi adalah individu dapat melakukan antisipasi terhadap suatu keadaan yang diketahui tidak menyenangkan. Ketika sudah diketahui bahwa terdapat kemungkinan terjadinya kondisi yang tidak menyenangkan, maka individu dapat melakukan antisipasi.

  Kontrol secara kognitif dapat semakin meningkat dengan cara meningkatkan pemahaman seseorang tentang suatu peristiwa atau situasi tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan pemahaman tentang konsekuensi yang akan terjadi. Misalnya, pasien yang akan menjalani operasi diberitahu terlebih dahulu apa yang akan terjadi selama perawatan di rumah sakit. Jika informasi yang dibagikan benar-benar berguna, maka hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan kontrol seseorang atau mengubah persepsi orang tersebut (Veitch, 1996).

  Sedangkan penilaian dapat dilakukan dengan cara menilai dan menafsikan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi positif secara subjektif. Kontrol kognitif, salah satunya dapat dilakukan dengan cara menafsirkan kemampuan dan potensi diri sendiri apakah memiliki kontrol diri yang cukup atau tidak untukmengahadapi suatu peristiwa (Rothbaum, Weisz, & Snyder, 1982).

  c.

  Kontrol Keputusan (Decisional Control) Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau tindakan berdasarkan pada sesuatu yang disetujui atau diyakini. Kontrol keputusan sangat berperan dalam membantu seseorang mengatasi masalahnya ketika berada dalam kondisi stres (Shanahan 2010). Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan.

  Banyak ahli dan teori yang meyakini bahwa kontrol yang dirasakan seseorang berfungsi sebagai prediktor yang lebih kuat daripada kontrol yang sebenarnya (Skinner, 1996). Keyakinan diri akan kontrol yang dimiliki menjadi pendorong yang kuat bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Skinner, 1996).

  Kemampuan mengontrol diri tergantung dari ketiga aspek di atas, kontrol diri ditentukan oleh seberapa jauh aspek itu mendominasi atau terdapat kombinasi dari beberapa aspek dalam mengontrol diri.

B. Struktur Keluarga

  Keluarga adalah rumah tangga yang terbentuk karena hubungan darah atau perkawinan yang menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan (Lestari, 2012). Keluarga merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat subsistem. Subsistem yang dimaksud antara lain adalah subsistem orangtua dan anak, subsistem suami dan istri serta subsistem antar saudara (Santrock, 2009).

  Kondisi satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Begitu juga dengan remaja. Perilaku orangtua dapat mempengaruhi perilaku remaja secara langsung dan tidak langsung. Salah satu contoh hubungan tidak langsung adalah konflik yang terjadi antara orangtua akan mempengaruhi efektifitas orang tua dalam melakukan fungsinya (Santrock, 2003).

  Menurut Koerner dan Fitzpatrick, keluarga dapat didefinisikan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional, dandefinisi interaksional. Secara struktural, keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti kehadiran orangtua, anak dan kerabat lainnya (Lestari, 2012).

  Keluarga jika dilihat dari kelengkapan strukturnya terbagi menjadi dua jenis, yaitu keluarga utuh dan keluarga bercerai. Berikut ini merupakan penjelasan kedua jenis keluarga tersebut.

1. Keluarga Utuh

  Menurut Ahmadi (1991), keluarga utuh merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Keluarga dikatakan utuh apabila anak-anak dalam keluarga tersebut dapat merasakan kehadiran kedua orangtuanya, yang mana anak merasa aman dan terlindungi berada dalam keluarga tersebut.

  Orientasi keluarga utuh timbul dari komitmen antara suami-istri dan komitmen mereka dengan anak-anaknya. Keluarga inti terdiri dari orang tua dan anak yang merupakan kelompok primer yang terikat satu sama lain karena hubungan keluarga ditandai oleh kasih sayang, perasaan yang medalam, saling mendukung, dan kebersamaan dalam kegiatan-kegiatan pengasuhan. Suami istri yang selanjutnya menjadi ayah-ibu merupakan anggota keluarga yang paling penting dalam membentuk keluarga yang utuh dan sejahtera (Gunarsa, 2003). Pada dasarnya keluarga yang utuh dan berada dalam perkawinan yang sah menurut Lestari (2012) lebih menjamin kesejahteraan anak.

  Keluarga yang utuh menunjukkan salah satu ciri keluarga yang harmonis. Keharmonisan di dalam suatu keluarga sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak-anaknya terutama remaja yang berada pada masa transisi. Karena masa tersebut perkembangan jiwa anak belum stabil, mereka tengah mengalami banyak konflik batin dan kebingungan (Kartono, 2008). Gunarsa (2009) menambahkan bahwa anak dari keluarga harmonis lebih memiliki benteng dalam mencegah perilaku agresif anak.

2. Keluarga Bercerai

  Struktur keluarga tidak utuh atau bercerai mengarah kepada perpisahan atau perceraian anak terhadap orang tua, oleh karena itu, anak tinggal dengan salah satu orang tua biologisnya.Keluarga yang memiliki struktur keluarga tidak utuh atau bercerai menunjukkan hubungan keluarga yang buruk. Hubungan keluarga yang buruk mengakibatkan bahaya psikologis pada setiap usia, terlebih pada masa remaja karena pada saat ini anak laki-laki dan anak perempuan tidak percaya pada diri sendiri dan bergantung pada keluarga untuk memperoleh rasa aman (Hurlock, 1999). Perubahan struktur keluarga akibat perceraian tentunya menghasilkan stress pada orangtua (Papalia, 2009).

C. Remaja

  Remaja diartikan sebagai masatransisi atau peralihan antara masa anak ke masa dewasa (Hurlock, 1999). Masa remaja dimulai sekitar 10-13 tahun dan berakhir di usia 18-21 tahun. Masa remaja dibagi lagi menjadi masa remaja awal (berada pada masa sekolah menengah pertama, mulai dari 12-15 tahun) dan masa remaja akhir (mulai usia 15 hingga 21 tahun) (Santrock, 2003).

  Havighgurst menyebutkan beberapa tugas perkembangan di masa remaja sebagai berikut; mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita; mencapai peran sosial baik pria maupun wanita; menerima keadaan fisik dan menggunkan tubuhnya secara efektif; mengaharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab; mencapai kemandirian emosional; mempersiapkan karier ekonomi;mempersiapkan perkawinan dan keluarga; memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku (Hurlock, 1999). Secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, dalam artian remaja sudah berada dalam tingkatan yang sama dengan orang yang sudah dewasa (Hurlock, 1999).

  Masa remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak- kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif dan psikososial. Periode ini merupakan periode yang berisiko. Sebagian remaja mengalami masalah dalam menghadapi perubahan yang terjadi secara bersamaan dan membutuhkan bantuan orang dewasa khususnya orangtua dalam mengtasi bahaya saat menjalani masa ini. Perilaku berisiko menunjukkan belum matangnya pemikiran remaja (Papalia, 2009).

  Remaja yang pada dasarnya berada pada masa tekanan dan stres sangat membutuhkan peran orangtua untuk membantu mereka menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Hubungan yang dekat antara remaja dan orangtua sangat penting, karena hubungan antara remaja dan orangtua akan mempengaruhi bagaimana remaja dapat menjalankan hubungan baru dengan orang lain di masa selanjutnya (Santrock, 2003). Pada masa remaja, remaja dihadapkan pada dunia baru, sudah dipercayakan untuk memilih dan menentukan keputusan, untuk menjalankan semuanya remaja butuh kontrol diri, yang membatasi remaja agar tidak sampai melakukan perilaku menyimpang.

  Pada awal masa remaja, kebanyakan individu tidak dapat menentukan keputusan yang tepat dalam semua sisi kehidupannya (Santrock, 2003). Orangtua berperan sebagai sosok yang memberikan dukungan dan dorongan bagi anak remajanya agar dapat menjalankan peran sosial yang lebih luas dan lebih baik .

  Hubungan remaja dengan orangtua sangat dipengaruhi oleh kondisi orangtua itu sendiri, baik kondisi pekerjaan, status sosioekomi dan juga status pernikahan (Santrock, 2009). Status pernikahan berkaitan dengan struktur keluarga, baik utuh dan bercerai. Penjelasan tentang bagaimana keadaan remaja yang berasal dari keluarga dengan orangtua bercerai dengan orangtua utuh

1. Remaja dari Keluarga Utuh

  Remaja yang berasal dari keluarga utuh maksudnya adalah remaja yang merupakan anak dari sebuah keluarga, tinggal dalam keluarga yang memiliki kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan remaja sebagai anak. Sebuah keluarga dimana anak tinggal dalam suatu kesatuan dengan kedua orang tua biologisnya.

  Keluarga yang utuh memungkinkan orangtua mengetahui hal-hal mendasar tentang perkembangan remaja, secara lebih efektif mengawasi kehidupan anak remaja, dan menyesuaikan tingkah laku mereka ketika anak remaja semakin tumbuh dan semakin matang (Santrock, 2003).

  Orangtua memiliki fungsi dan peranan yang sangat mendasar dalam perkembangan remaja. Melalui keluarga remaja memperoleh bimbingan, pendidikan dan pengarahan untuk mengembangkan dirinya sendiri sesuai dengan kapasitasnya (Gunarsa, 2009). Keutuhan keluarga membuat anak merasakan dan memahami arahan orangtua walaupun mereka tidak hadir secara fisik di hadapannya. Anak yang dibimbing dengan baik dan searah membuat anak memiliki pedomnan hidup yang kuat. Dengan pedoman yang kuat, anak mengetahui arah hidupnya dan tidak mudah dipengaruhi oleh pergaulan yang buruk (Gunarsa, 2009). Remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang utuh dengan suasana keluarga yang positif, yang dalam artian keluarga khususnya orangtua tidak bermasalah akan cenderung dapat menjalani masa remajanya tanpa menghadapi masalah yang serius (Papalia, 2009).

  Sikap dan perilaku remaja yang berasal dari keluarga utuh tidak selamanya dan mutlak akan berkembang ke arah positif, karena terdapat faktor lain yang tentunya berperan terhadap perkembangan remaja seperti teman sebaya. Pergaulan yang buruk, pengaruh soioekonomi, kualitas lingkungan dan kebiasaan yang buruk dapat memberikan pengaruh buruk bagi remaja, yang salah satunya adalah ikut terlibat dalam kenakalan remaja (Santrock, 2003).

  Meskipun begitu, hubungan dengan kedua orangtua sangat penting bagi perkembangan remaja, karena remaja akan mencapai titik dimana mereka memerlukan dukungan yang memadai untuk pendidikan dan kasih sayang dari orangtua yang pada akhirnya menjadi salah satu sumber kenyamanan bagi remaja(Santrock, 2003). Skaggs dan Jodl mengungkapkan bahwa remaja yang tinggal di keluarga utuh lebih kompeten, secara sosial lebih bertanggung jawab dan kurang mengalami masalah perilaku daripada remaja yang tinggal di keluarga bercerai yang memiliki masalah kompleks.

2. Remaja dari Keluarga Bercerai

  Remaja dari keluarga bercerai maksudnya adalah remaja yang tinggal dengan salah satu orangtua biologis yang diakibatkan oleh adanya perceraian atau perpisahan diantara orangtua. Struktur keluarga yang berubah akibat perceraian tidak hanya mempengaruhi kehidupan remaja pada masa perceraian itu sedang berlangsung, namun juga setelahnya.

  Perceraian orangtua yang memiliki anak remaja meningkatkan risiko seperti perilaku antisosial, kesulitan dengan figur otoritas dan keluar dari sekolah (Papalia, 2009). Perilaku kenakalan lebih tinggi kemungkinannya berasal dari keluarga dengan orangtua bercerai berbeda dengan keluarga yang orangtuanya utuh atau tetap bersama. Selain itu mereka juga memiliki perasaan sedih, khawatir atau penyesalan yang berkepanjangan.Menurut (Dacey & Kenny, 1997), remaja awal yang mengalami perceraian orang tua lebih memungkinkan untuk mempunyai masalah sekolah, termasuk prestasi yang lebih rendah dan perilaku yang menggangu.

  Usia yang dianggap paling bermasalah ketika perceraian terjadi adalah pada usia remaja awal. Mereka akan cenderung membedakan dan membandingkan dirinya dengan teman yang tetap tinggal dalam keluarga utuh. Remaja tersebut pada umumnya tetap menimpan kemarahan dalam hatinya. Perceraian yang terjadi ketika seseorang memasuki remaja awal lebih memungkan remaja tersebut terlibat dengan perilaku kenakalan remaja (Santrock, 2003). Perubahan secara struktur akan mempengaruhi perubahan fungsional.

  Pengaruh perceraian terhadap perkembangan remaja dapat dijelaskan berdasarkan dua model utama yang berperan. Dua model yang dimaksud adalah model struktur keluarga (family structure model) dan model faktor ganda (multiple factor model). Model struktur keluarga menyatakan bahwa semua perbedaan remaja yang berasal dari keluarga bercerai semata-mata hanya disebabkan oleh perubahan struktur keluarga, seperti ketidakhadiran ayah atau ibu dalam suatu keluarga secara fisik. Sedangkan model faktor berganda menyatakan bahwa perbedaan remaja dari keluarga bercerai tidak hanya dari segi struktur tetapi juga kerumitan masalah selama proses perceraian terjadi (Santrock, 2003).

  Perceraian orangtua diketahui memiliki banyak dampak negatif seperti anak remaja yang merasa diabaikan, bingung, resah, kenakalan remaja, rasa tidak percaya, lenyapnya kontrol diri, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang buruk, mengembangkan kesadaran yang salah, dll (Kartini, 2008).

  Pengaruh perceraian lainnya terhadap kehidupan anak antara lain adalah rendahnya subjective well-being (Dewi & Muhana, 2013).

  Umumnya anak korban perceraian merasa malu karena mereka merasa berbeda (Hurlock, 1999). Papalia (2009) mengungkapkan selain rasa malu, dampak perceraian lainnya adalah anak menunjukkan kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri, kesulitan dalam belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial, yang mana perasaan ini termanifestasi dalam bentuk perilaku yang suka marah, menjadi kasar, agresif serta prestasi sekolah menurun. Anak-anak yang tinggal bersama satu orangtua akibat perceraian cenderung tertinggal secara sosial dan pendidikan dibandingkan dengan teman sebaya mereka yang tinggal bersama orangtua yang utuh.

  Amato dan Keith (dalam Kail & Cavanaugh, 2002) menyatakan bahwa perceraian paling berbahaya bagi mereka yang masih berada pada masa anak- anak dan remaja. Selain itu mereka juga menyatakan bahwa perceraian memiliki dampak yang sama baik itu terhadap remaja laki-laki maupun perempuan.

  Terlepas dari semua dampak negatif yang telah dipaparkan, ternyata tidak selamanya anak dari keluarga bercerai memiliki kecenderungan untuk mengembangkan diri ke arah yang negatif, karena sebagaian dari remaja yang berasal dari keluarga bercerai justru lebih mandiri (Lestari, 2012). Hal ini dikarenakan, remaja dihadapkan pada tugas dan peran yang lebih banyak dan berat untuk menggantikan peran dan tanggung jawab yang hilang dari salah satu orangtua.

  Meskipun demikian remaja akan memperoleh banyak sekali manfaat bila kedua orangtuanya memiliki keterlibatan yang tinggi dalam mendidik dirinya memberikan kehangatan dan pengasuhan, membantu remaja mengembangkan kendali terhadap dirinya sendiri dan menyediakan lingkungan yang meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan (Santrock, 2003).

D. Perbedaan Kontrol Diripada Remaja yang Berasal dari Keluarga Utuh dan Bercerai

  Sebagian remaja dapat menyesuaikan, membimbingan dan mengarahkan perilakunya dengan baik ke arah yang positif, sesuai dengan apa yang norma sosial harapkan, namun sebagian lagi tidak mampu menyesuaiakan diri dengan baik terhadap perubahan yang terjadi (Kartono, 2008). Hal ini dibuktikan dari banyaknya remaja yang perilakunya menyimpang dari nilai dan norma sosial yang ada di masyarakat. Perilaku remaja yang menyimpang dipandang sebagai perilaku negatif (Santrock, 2003).

  Remaja dengan perilaku yang tidak sesuai seperti yang telah disebutkan di atas mempunyai sifat kepribadian khas, salah satunya adalah mereka kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri (Kartono, 2008). Tanpa kontrol diri itu, remaja dapat menjadi pribadi yang lebih agresif dan tidak bisa diarahkan oleh orang dewasa. Selanjutnya muncullah kebiasaan buruk.

  Kontrol diri menurut Averill merupakan variabel psikologis yang mencakup kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan, dan kemampuan individu untuk memilih salah satu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini (dalam Sarafino, 2010), yang membawa seseorang kepada konsekuensi yang positif.

  Averill (dalam Ghufron& Risnawati, 2011) menyebutkan beberapa aspek Kontrol diri yaitu kontrol perilaku (behavior control), kontrol kognitif (cognitive

  control ), kontrol keputusan (decisional control). Kontrol diri sangat diperlukan

  oleh remaja mengingat bahwa masa remaja merupakan masa peralihan yang di dalamnya terjadi banyak perubahan drastis, baik secara fisik, kognitif, dan sosioemosional (Hurlock, 1999). Perubahan drastis ini memposisikan masa remaja sebagai masa badai dan tekanan (Hurlock,1999).

  Kontrol diri dipengaruhi oleh dua faktor besar, yaitu dipengaruhi oleh faktor internal (dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (dari luar diri individu). Faktor internal yang dimaksud salah satunya adalah usia, sedangkan yang termasuk dalam faktor eksternal adalah lingkungan keluarga khususnya orangtua. (Ghufron& Risnawati, 2011).

  Keluarga adalah rumah tangga yang terbentuk karena hubungan darah atau perkawinan yang menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan (Lestari, 2012). Keluarga merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat subsistem. Subsistem yang dimaksud antara lain adalah subsistem orangtua dan anak, subsistem suami dan istri serta subsistem antar saudara (Santrock, 2009).

  Subsistem keluarga saat ini khususnya suami dan istri banyak yang mengalami masalah. Salah satunya adalah masalah perceraian. Perceraian pada akhirnya akan mengubah struktur keluarga yang seharusnya terdapat ayah, ibu dan anak. Perubahan struktur ini tidak dipungkiri akan memberikan dampak yang negatif karena sesuai dengan yang Santrock (2009) paparkan bahwa kondisi satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.

  Herbert C.Quay (dalam Santrock, 2003) menyatakan bahwa keutuhan keluarga, baik utuh secara struktur maupun secara interaksi mempengaruhi perkembangan sosial remaja. Ketika remaja tinggal dengan salah satu orang tua akibat perceraian maka hal ini juga dapat berpengaruh pada perkembangan sosial remaja tersebut. Kartono (2008) menyebutkan bahwa salah satu dampak negatif dari ketidakutuhan keluarga akibat perceraian bagi remaja adalah mengakibatkan lenyapnya kontrol diri remaja yang mengarahkan remaja memiliki kebiasaan serta perilaku yang bersifat negatif.

  Berbeda dengan remaja yang berasal dari keluarga utuh. Ketika keadaan keluarga masih seimbang dan utuh, maka orangtua secara khusus akan lebih dapat mengarahkan anak remajanya, sehingga remaja memiliki perilaku yang lebih sesuai dan positif.

E. Hipotesis

  Berdasarkan penjelasan di atas maka hipotesis yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut:

1. Hipotesa nol: Tidak ada perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan keluarga bercerai.

  2. Hipotesa alternatif: Ada perbedaan kontrol diri pada remaja yang berasal dari keluarga utuh dan bercerai