Mendorong Perencanaan Partisipatif di De

Mendorong Perencanaan Desa Partisipatif
Pengalaman Pendampingan Penyusunan RPJM-Desa di Desa
Demen, Kulon Progo, DIY
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
rizky_mardhatillah@yahoo.co.id
“Lebih dari satu milyar orang masih belum mendapatkan akses untuk memperoleh air
yang aman, dan setiap tahun 2,4 juta anak meninggal akibat penyakit yang menular
melalui air…” (JohnWolfensohn, dikutip dari Coen Husain Pontoh dkk.)
A. Latar Belakang
Di aras yang kita sebut sebagai ‘pasca-reformasi’, masalah sosial kian bergerak dengan
berbagai kompleksitasnya. Kita tak hanya disuguhi oleh masalah politik yang semakin liar
mendekati 2013, tetapi juga masalah-masalah pembangunan yang dihadapi oleh massa
rakyat di akar rumput.
Setelah Soeharto jatuh pada tahun 1998, pemerintah mulai memperkenalkan skema
desentralisasi atas nama “otonomi daerah”. Skema desentralisasi yang mulai diberlakukan
pada permulaan era reformasi tersebut memberi dampak yang besar bagi tata perencanaan
pembangunan daerah, tak terkecuali desa. Sistem perencanaan pembangunan yang pada
awalnya bersifat top-down, berubah lambat laun menjadi bottom-up dengan model
perencanaan berbasis Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) secara
berjenjang.
Model baru tersebut mengharuskan Desa untuk membuat kerangka perencanaan tersendiri,

baik secara jangka pendek (RKP-Desa) maupun jangka menengah (RPJM-Desa). Proses
perencanaan desa dimulai dari pembuatan RPJM-Desa setelah Kepala Desa terpilih untuk
merumuskan rencana pembangunan desa selama 5-6 tahun kepemimpinan Kepala Desa.
Tulisan ini bermaksud untuk memberi alternatif “cara baru” secara praktis kepada
mahasiswa dalam memandang advokasi dan pemberdayaan masyarakat. Kami berangkat
dari pengalaman ketika KKN mendampingi warga desa Demen di Kulon Progo menyusun
RPJM Desa secara partisipatif.
B. Mengapa Advokasi Perencanaan?
Mansour Fakih dan Roem Pattimasang mendefinisikan advokasi sebagai usaha sistematis
dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam
kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Advokasi bukanlah mendesakkan
perubahan secara revolusioner. Ia bekerja justru dari dalam sistem. Oleh sebab itu, advokasi
pada dasarnya bekerja dengan memahami sistem yang berjalan pada ranahnya.
KAMMI men-tanfidz-kan dirinya sebagai ‘Gerakan Sosial Independen’. Format paradigm
gerakan ini meniscayakan KAMMI tidak hanya tampil dalam aksi-aksi politik jalanan, tetapi
juga politik sosial. KAMMI sebagai gerakan sosial independen berarti menjadi sebuah
gerakan kultural yang memperjuangkan hak-hak rakyat. Ini juga merupakan manifestasi AlQur’an Surah Al-Ma’un yang menjadi dasar teologis Muhammadiyah memberdayakan
masyarakat, dan menjadi dasar teologis KAMMI membela hak umat.
Mengapa anggaran perlu dikawal? Pengalaman Amin Sudarsono dalam memberdayakan
masyarakat di Pekalongan menarik untuk diikuti. Amin melihat advokasi anggaran sebagai

upaya untuk mengembalikan hak umat. Pembangunan di Indonesia dikelola dengan
menggunakan uang yang berasal dari masyarakat (pajak). Uang pembangunan itu

dianggarkan setiap tahun oleh pemerintah sebagai anggaran pendapatan dan belanja negara,
di setiap level. Oleh sebab itu, partisipasi umat dalam proses perencanaan, penganggaran,
dan pengawasan publik menjadi penting.
Dengan munculnya skema desentralisasi, semakin terbuka kesempatan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam proses perencanaan penganggaran. Namun, kapasitas masyarakat
tentu saja berbeda-beda. Sebagian masyarakat masih menggunakan logika ‘Orde Baru’
bahwa perencanaan pembangunan adalah wilayah kerja birokrasi. Padahal, ruang partisipasi
sudah dibuka sampai tingkat dukuh.
Salah satu contoh dapat kita lihat dalam penyusunan RPJM Desa. Menyusun RPJM Desa,
jika tidak dilaksanakan secara hanya mengandalkan prosedur standard dari PP 66/2007
tentang penyusunan RPJMDes, akan berakibat pada beberapa hal. Pertama, perencanaan
desa bisa menjadi sesuatu hal yang sangat memusingkan, tidak hanya bagi perangkat desa
apalagi bagi warga desa, tetapi juga bagi mahasiswa. Sebab, selain prosedurnya sangat
birokratis, prosesnya juga susah dipahami oleh warga desa yang umumnya berprofesi
sebagai petani.
Kedua, proses akan diikuti hanya oleh elit-elit desa yang berkepentingan. Sebab, masyarakat
selain tidak berkepentingan, juga bersikap acuh dengan prosedur yang sangat berbelit-belit

tersebut. Akibatnya, proses akan sangat rawan dengan kooptasi elit, bahkan bisa menjadi
potensi korupsi baru di pedesaan.
Ketiga, proses penyusunan RPJMDesa akhirnya tidak memperkuat dimensi citizenship, di
mana masyarakat tidak dapat merumuskan, menegosiasikan, atau menuntut hak-haknya
untuk dimasukkan ke dalam agenda pembangunan. Ini akan membuat warga tidak mandiri
dan hak-hak warga tidak akan sampai ke tangan yang berhak. Akibatnya, proses
perencanaan tidak representatif terhadap kepentingan masyarakat di akar rumput.
Oleh sebab itu, peran mahasiswa sangat penting sebagai fasilitator untuk membangun dan
memperkuat kesadaran warga akan hak-hak dasar mereka. Kesadaran warga untuk tahu dan
berpartisipasi dalam proses pembangunan akan menentukan posisi politik mereka dalam
pengambilan keputusan, sehingga kooptasi elit baik di desa, kecamatan, maupun kabupaten
dapat dikurangi.
Untuk itulah perlu ada proses penyadaran terus-menerus kepada masyarakat. Agar,
masyarakat bisa memahami bahwa pada sebagian proses perencanaan penganggaran publik
yang ada di desa/daerah, terselip sebagian hak mereka yang harus sampai ke tangan yang
benar. Karena anggaran adalah bagian dari hak umat yang mesti disampaikan ke jalan yang
benar, dan tak boleh diambil tanpa kebutuhan yang tepat.
Pada titik inilah warga akan belajar mengenai demokrasi secara praktis. Tugas mahasiswa
tak lain adalah membangun kesadaran serta memfasilitasi proses pembelajaran tersebut.
Sehingga, peran mahasiswa dalam aktivitas advokasi dan pemberdayaannya juga dapat ‘

bernilai lebih’ di mata masyarakat.
C. Mengenal Perencanaan Partisipatif
Perencanaan penganggaran partisipatoris adalah model perencanaan pembangunan yang
disusun berdasarkan partisipasi warga dengan basis musyawarah. Secara konseptual, model
perencanaan ini mengadopsi konsep ‘demokrasi deliberatif’ yang digagas oleh Jurgen
Habermas. Model perencanaan partisipatoris menempatkan masyarakat sebagai aktor
utama dan mengedepankan metode dialog serta tukar pikiran untuk merencanakan proses
pembangunan di masyarakat.

Cerita sukses perencanaan partisipatoris dapat dilihat di Porto Allegre, Brazil. Di sana,
anggaran ternyata tidak hanya dibuat secara top-down seperti diterapkan di Indonesia,
tetapi juga secara bottom-up, di mana masyarakat juga turut berpartisipasi memberikan
usulan, draft, dan kontrol atas anggaran yang ada. Artinya, dengan model bottom-up
tersebut, anggaran pembuatan dan pengawasan anggaran dapat melibatkan segenap
stakeholders untuk berpartisipasi.
Mengapa perencanaan pembangunan perlu partisipasi masyarakat? Perencanaan
pembangunan akan menentukan seberapa besar dana yang akan dibutuhkan oleh
masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya. Dana pembangunan tersebut
tentu saja akan dibiayai oleh Anggaran Pembiayaan dan Belanja pemerintah
(APBDes/APBD/APBN). Proses penganggaran yang dilakukan hanya secara teknokratik

(oleh pemda) tanpa mempertimbangkan usulan masyarakat akan menyebabkan salah kelola
pembangunan.
Tania Murray Li mencatat bahwa proses perencanaan yang dilakukan hanya dengan
pendekatan teknokratis (oleh pemerintah) cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Selama bertahun-tahun, masyarakat diberikan dana pembangunan dengan
menyesuaikan kepentingan rezim politik. Ini yang disebut oleh Li sebagai technicality dan
menyebabkan konflik serta ketergantungan di masyarakat. Dalam paradigma demokrasi,
cara untuk mengurangi konflik dan ketergantungan tersebut adalah dengan memperkuat
partisipasi masyarakat (modal sosial).
Di Indonesia, proses perencanaan partisipatif mulai digunakan seiring dengan dimulainya
proses desentralisasi. Sistem perencanaan pembangunan yang pada awalnya bersifat topdown, berubah lambat laun menjadi bottom-up melalui beberapa perangkat hukum, di
antaranya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Proses perencanaan berbasis
Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) secara berjenjang tersebut
mempengaruhi model penganggaran yang digunakan.
Secara umum, proses perencanaan pembangunan di Indonesia dilakukan ke dalam tiga
tahap. Pertama, proses partisipatif. Proses ini melibatkan warga dalam pengusulan program
pembangunan yang akan dibiayai baik pada level desa maupun daerah. Kedua, proses
teknokratik. Hasil usulan prioritas yang dibahas pada level partisipatif akan dibawa ke
tingkat SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) untuk dimasukkan ke dalam draft RAPBD.

Proses ini dilakukan oleh masing-masing satuan kerja dan menyesuaikan visi kepala daerah.
Ketiga proses politik. Setelah SKPD memasukkan usulan ke program mereka, RAPBD akan
dibahas oleh DPRD dan akan disahkan pada masa persidangan.
Proses ini menempatkan perencanaan di tingkat paling bawah pada wilayah partisipatif.
Artinya, semua usulan akan berasal dari masyarakat. Oleh sebab itulah partisipasi
masyarakat dalam mengajukan usulan sangat penting. Usulan tersebut tak hanya diajukan,
tetapi juga mesti dikawal dan diperjuangkan sampai ke tingkat yang lebih tinggi. Sebab,
kepastian apakah proyek pembangunan yang diusulkan akan didanai akan ditentukan pada
proses teknokratis dan politis di atasnya.
D. Mengenal Perencanaan Desa
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005, pemerintahan desa wajib memiliki
Rencana Pembangunan Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa
(RKP). RPJM-Desa merupakan langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah desa
selama 5 (lima) tahun. RPJM-Desa tersebut memuat arah kebijakan pembangunan desa,
arah kebijakan keuangan desa, kebijakan umum, dan program, dan program Satuan Kerja
Perangkat Desa (SKPD), lintas SKPD dan program prioritas kewilayahan dengan disertai
rencana kerja atau program indikatif.

Keharusan desa untuk memiliki RPJMDes dikuatkan dengan adanya Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa. Pada

peraturan tersebut, dijelaskan di pasal 2 ayat 3 bahwa RPJMDes memuat: 1) arah kebijakan
keuangan desa, 2) strategi pembangunan desa, dan 3) program kerja indikatif desa.
RPJMDes memuat rencana kegiatan selama 5 tahun ke depan.
Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2007, proses penyusunan RPJMDesa dimulai dari penggalian aspirasi dan usulan masyarakat di tingkat terbawah. Skema
RPJM-Desa yang ditawarkan oleh Permendagri tersebut disusun dari proses penggalian
aspirasi di tingkat basis terkecil melalui mekanisme Musyawarah Dukuh, kemudian dikaji
melalui alat kajian partisipatif (sketsa desa, kalender musim, dan analisis bagan
kelembagaan).
Setelah itu, proses masuk pada pra-Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang
Desa) untuk melakukan pemeringkatan masalah dan penentuan program indikatif. Proses
ini akan melihat program mana saja yang akan jadi prioritas serta berapa besaran dana yang
akan diperlukan. Setelah itu, RPJM-Desa disahkan pada Musrenbang Desa atas persetujuan
dari Badan Permusyawaratan Desa.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa akan dijabarkan menjadi Rencana Kerja
Pembangunan Desa (RKP-Desa), yaitu dokumen perencanaan untuk periode 1 (satu) tahun
yang merupakan penjabaran dari RPJM-Desa. RKP-Desa memuat rancangan kerangka
ekonomi desa dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan yang dimutakhirkan,
program prioritas pembangunan desa, rencana kerja dan pendanaan serta perkiraan maju,
baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah desa maupun yang ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat dengan mengacu kepada RPJM-Desa. RKP-Desa

selanjutnya akan dijabarkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Oleh sebab itu, penyusunan dokumen perencanaan membutuhkan partisipasi dan pelibatan
masyarakat hingga tingkat terbawah. Metode penyusunan ini memungkinkan semua
kelompok sosial untuk terlibat dalam perencanaan. Kendala yang mungkin muncul adalah
kendala birokratis dan teknis. Di sinilah peran mahasiswa diperlukan.
E. Pengalaman Mendampingi Penyusunan RPJM Desa Demen
Penyusunan RPJM di Desa Demen merupakan program KKN PPM UGM Unit 058. Program
ini pada awalnya diinisiasi oleh Pusat Studi Perencanaan dan Pembangunan Regional
(PSPPR) UGM. KKN ini dilatarbelakangi oleh belum adanya proses perencanaan desa secara
partisipatif di Kecamatan Temon, Kulon Progo. Berdasarkan data PNPM Mandiri
Perdesaan, dari 15 desa yang ada di Kecamatan Temon dan memiliki RPJM Desa, hanya
seperduanya saja yang dinyatakan lolos penilaian PNPM karena ketidaksesuaian
penyusunan dengan pedoman yang ada.
Tim KKN berjumlah 30 mahasiswa dari berbagai fakultas, utamanya Perencanaan Wilayah,
Geografi, dan hukum. Hanya 1 mahasiswa yang berlatar Fisipol (saya sendiri). KKN ini
bertempat di Desa Demen dan Kebonrejo, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. KKN
ini diberi tugas untuk menyusun draft RPJM Desa di kedua desa.
Kondisi di kedua desa hampir sama: baru saja melaksanakan Pemilihan Kepala Desa dan
memilih Kepala Desa yang baru. Kepala Desa yang terpilih belum memiliki pengalaman
teknis-manajerial yang cukup untuk menyelenggarakan pemerintahan desa. Oleh sebab itu,

pendampingan dalam penyusunan RPJM Desa menjadi sangat penting bagi Kepala Desa
yang baru terpilih tersebut.

Selain itu, di Desa Demen, perencanaan desa secara partisipatif juga belum dikenal. Desa
memang memiliki dokumen RPJM Desa yang dibuat pada kepemimpinan desa sebelumnya.
Akan tetapi, dari hasil assessment kami, terungkap bahwa RPJM Desa tersebut dibuat hanya
oleh perangkat desa untuk keperluan pencairan dana Alokasi Dana Desa (ADD). Sebab itu,
kebutuhan untuk memperkenalkan perencanaan ke masyarakat menjadi penting, karena
masyarakat harus dilibatkan dalam proses penyusunan RPJM Desa dan proses perencanaan
penganggaran selanjutnya.
Pada mulanya, proses penyusunan RPJM Desa dimulai dari assessment. Kami menghadapi
sebuah problem bahwa proses perencanaan partisipatif sama sekali belum dikenal baik oleh
masyarakat maupun perangkat desa. Proses perencanaan dianggap sebagai ‘pekerjaan
perangkat desa’, sehingga musyawarah untuk membuat dokumen perencanaan belum
pernah dilakukan sebelumnya.
Assessment di Desa Demen sudah dilakukan beberapa pekan sebelum KKN resmi dimulai.
Dari assessment pertama, terungkap bahwa Kepala Desa yang terpilih belum punya
pengalaman pemerintahan di Desa, dengan tingkat pendidikan yang tidak sebaik kepala
desa sebelumnya. Selain itu, dari assessment yang kami lakukan terhadap dokumen
perencanaan, terungkap bahwa dokumen RPJM Desa sebelumnya banyak yang merupakan

copypaste dokumen perencanaan dari daerah lain. Hal ini juga dikonfirmasi oleh hasil
penilaian Fasilitator Kecamatan PNPM Mandiri Perdesaan yang menilai dokumen tersebut
di bawah standard PNPM.
Setelah assessment, kami bergerak ke tahap penjadwalan. Normalnya, penjadwalan dimulai
dari pembentukan tim penyusun RPJM Desa. Namun, kami terkendala pada waktu yang
sudah mulai mendekati Ramadhan dan belum ada tim yang terbentuk. Oleh sebab itu, tim
berinisiatif untuk langsung melakukan penjadwalan Musyawarah di masing-masing dukuh.
Musyawarah dukuh tidak mudah untuk dijadwalkan. Sebab, kami menghadapi waktu yang
cukup sulit, yaitu bulan Ramadhan dan musim tanam. Banyak warga yang menghabiskan
waktu malam di sawah. Oleh sebab itu, perlu waktu yang tepat untuk mengorganisir
pertemuan warga.
Proses pengorganisasian Musyawarah Dukuh dilakukan dengan didampingi oleh perangkat
desa. Di beberapa dukuh, Musyawarah dilakukan dengan menggunakan acara arisan (Bapak
dan Ibu). Ada pula yang menggunakan momen selepas tarawih, dan beberapa dilakukan
pada saat pertemuan selapanan warga. Ibu-ibu difasilitasi forum sendiri, yaitu ketika
pertemuan kader-kader PKK dan Posyandu untuk memastikan usulan kelompok perempuan
terakomodasi. Musyawarah dipimpin oleh Pak Dukuh dan difasilitasi oleh mahasiswa.
Musyawarah Dukuh menjaring problem-problem yang dirasakan di masyarakat. Setelah
melakukan pemetaan problem, dengan difasilitasi mahasiswa, forum diarahkan untuk
melihat langkah apa yang akan diambil untuk menanggulangi masalah yang ada. Langkahlangkah tersebut akan dimasukkan sebagai usulan program indikatif desa. Setelah ada

langkah, forum juga membuat prioritas, mana yang akan dilaksanakan pada tahun pertama,
kedua, dan seterusnya.
Setelah Musyawarah Dukuh selesai, baru dibentuk Tim Penyusun RPJM Desa di tingkat
desa. Tim ini dibentuk atas fasilitasi tim KKN dan dipimpin oleh Kabag Pembangunan (Pak
Makmur –sebutan warga untuk perangkat). Tim ini bertugas untuk menyusun RPJM Desa
sesuai dengan kerangka kerja yang ditetapkan.
Secara garis besar, ada beberapa aktivitas yang menjadi kerangka kerja Tim Penyusun RPJM
Desa di Demen, antara lain: (1)Kajian terhadap Visi, Misi, dan Prioritas Pembangunan (2)
Analisis Keuangan Desa; (3) Kajian terhadap RPJM Daerah Kulon Progo; (4) Penyusunan
Profil Desa; (5) Analisis Hasil Musyawarah Dukuh dan Pemeringkatan Masalah; (6)

Pelatihan Pembuatan RPJM Desa; (7) Penyusunan Draft Awal RPJM Desa; (8) Lokakarya
Desa dan Penyusunan Program Indikatif; serta (9) Pengesahan RPJM Desa.
Pembentukan Tim
Penyusun RPJMDes

Musrenbang
Jangka Menengah
Desa

Kajian Visi-Misi &
RPJMD

Penajaman
Substansi

FGD
Pembahasan
Draft

Kajian Masalah &
Potensi Desa

Penyusunan Draft
Awal RPJMDes

Kajian terhadap Visi, Misi dan Prioritas Pembangunan diambil dari dokumen visi dan misi
Kepala Desa terpilih serta mempertimbangkan kondisi di Desa Demen sendiri. Hasilnya, tim
perumus sepakat untuk memilih visi “Terwujudnya Desa Demen yang Religius, Sejahtera,
Berbasis Pertanian, dan Mandiri”. Visi tersebut juga disinkronkan dengan dokumen RPJM
Daerah yang sudah ada. Analisis Keuangan Desa dilihat dari dana ADD dan APBDes tahun
sebelumnya.
Sementara itu, Profil Desa disusun dengan menggunakan form yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah. Tim Mahasiswa melakukan fasilitasi untuk mengisi dokumen tersebut
dengan mewawancarai beberapa narasumber penting. Setelah itu, tim penyusun RPJM Des
melakukan pembahasan hasil musyawarah dukuh dan melakukan pemeringkatan
berdasarkan kriteria yang diberikan oleh Permendagri 66/2007 serta prioritas tindakan
pemecahannya.
Untuk memastikan tim penyusun RPJM Desa, perangkat desa, dan kader-kader
pembangunan lebih memahami perencanaan dan penganggaran desa, Tim Mahasiswa
menggelar pelatihan penyusunan perencanaan dan penganggaran partisipatif. Pelatihan
tersebut menghadirkan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dari Pemkab Kulon Progo,
tim fasilitator dari Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional UGM, dan IDEA
Yogyakarta, LSM yang bergerak di bidang advokasi anggaran.
Pelatihan ini memberikan dasar-dasar kepada perangkat desa untuk melakukan
perencanaan secara partisipatif. Setelah menggelar pelatihan, proses penyusunan RPJM
Desa dilanjutkan dengan lokakarya desa. Proses ini membahas program indikatif
pemerintah desa selama lima tahun. Program indikatif ini disusun berdasarkan
pemeringkatan dan prioritas yang sudah ditentukan.
Lokakarya ini mengundang semua stakeholder yang berkepentingan dengan pembangunan
desa, baik dari perempuan (kader PKK & Posyandu), kelompok tani, organisasi masyarakat
(Muhammadiyah & NU), ta’mir mesjid, hingga pegiat lembaga simpan pinjam desa. Tak
mudah mengagendakan lokakarya, karena harus berkompromi dengan jadwal-jadwal warga
yang lain. Tetapi, di luar dugaan, warga justru banyak yang menghadiri undangan, terutama
dari kelompok perempuan.
Lokakarya diformat dalam bentuk FGD dan pleno. Masing-masing undangan dibagi ke
dalam 7 urusan wajib dan 1 urusan pilihan (pertanian) sesuai dengan kapasitas peserta.
Masing-masing kelompok itu antara lain: (1) Perangkat Desa; (2) Anggota BPD; (3)
Pengurus LPMD; (4) Kelompok Masyarakat (Karang Taruna, Takmir Mesjid, Kelompok
Tani, dsb.); (5) Kader Perempuan (PKK, Posyandu); dan (6) Perwakilan Dukuh dengan
mempertimbangkan keseimbangan gender

Lokakarya menjadi penting karena di sini kelompok-kelompok yang selama ini marjinal dan
tidak mengakses proses perencanaan dapat bersuara. Selama ini, menurut pengakuan salah
satu tokoh perempuan di desa model Musrenbang yang digelar pemerintah desa jarang
mengakomodasi suara perempuan. Bahkan, hanya sedikit perempuan yang diundang di
forum, sehingga anggarannya tidak responsif gender. Lokakarya membuka sedikit ruang
partisipasi untuk perempuan.
Di Lokakarya juga dibahas draft awal dari RPJM Desa. Setelah lokakarya yang hasilnya
adalah mengesahkan program indikatif pembangunan beserta prioritas-prioritasnya, draft
awal tersebut dikonsultasikan dengan beberapa stakeholder, antara lain Fasilitator PNPM
Mandiri dan Pemerintah Daerah. Draft yang sudah dikonsultasikan tersebut kemudian
disahkan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai Peraturan Desa Demen.
F. Beberapa Catatan Penting: Strategi Pengorganisasian
Proses panjang perencanaan partisipatif di atas membutuhkan ‘energi’ yang cukup besar,
terutama dalam hal pengorganisasian. Ada beberapa catatan penting yang saya kumpulkan
dari hasil evaluasi mengenai pengorganisasian warga dalam penyusunan RPJM Desa di
Demen, Kulon Progo
1. Assessment dan Pemetaan
Pada aktivitas manapun, assessment (penjajakan) dan pemetaaan terhadap kondisi
lapangan selalu menjadi hal penting. Assessment dan pemetaan akan menentukan langkah
dan strategi advokasi apa yang akan ditempuh oleh tim dalam melaksanakan tugasnya.
Assessment adalah menjajaki ‘medan’ advokasi sebelum merancang strategi. Assessment
bisa dilakukan melalui observasi, silaturrahmi informal, wawancara, hingga ikut pertemuanpertemuan warga.
Setelah assessment, tim perlu melakukan pemetaan. Hal paling penting yang perlu
dipetakan adalah: (1) politik desa; (2) tokoh-tokoh berpengaruh; (3) latar belakang budaya;
(4) preferensi keagamaan; dan (5) institusi-institusi yang berada di desa, formal maupun
informal. Assessment dan pemetaan akan menjadi acuan untuk merumuskan strategi apa
yang akan dilakukan untuk mengadvokasi di desa.
Pengalaman kami di lapangan, assessment yang terlambat akan mengakibatkan tim menjadi
‘salah langkah’ dan kesulitan mengendalikan situasi. Karena assessment yang tidak lengkap,
kami sempat salah dalam melakukan penjadwalan Musyawarah Dukuh, karena tidak adanya
peta dan tidak tahu ‘siapa’ yang mengendalikan proses-proses birokratis-politis di desa.
Akibatnya, lobi dan komunikasi sempat mengalami kebuntuan di pekan pertama.
Beruntung, lobi yang kami lakukan kepada pak Carik (sekretaris desa) bisa mengondisikan
situasi di desa.
2. Mendekati Tokoh Kunci
Setelah tokoh-tokoh kunci di-assess dan dipetakan, perlu adanya pendekatan. Mendekati
mereka bisa dengan silaturrahmi informal (cara yang paling biasa dilakukan) atau pada
forum-forum formal maupun informal. Mendekati tokoh kunci akan memudahkan tim
untuk membangun komitmen dan kepercayaan, serta menjadi modal untuk lobi dan
negosiasi.
Di Demen, tokoh kunci selain perangkat dan pak dukuh adalah tokoh perempuan (Wakil
Ketua BPD) dan tokoh keagamaan (imam masjid serta Ketua Ranting Muhammadiyah).
Selain memudahkan komunikasi, pendekatan yang kami bangun juga memudahkan kami
dalam menjadwalkan Musyawarah dan memobilisasi warga.
3. Membangun Komitmen & Kepercayaan

Setelah mendekati tokoh tersebut, penting untuk masuk pada langkah selanjutnya:
membangun komitmen dan kepercayaan pada isu yang kita advokasi. Membangun
komitmen adalah menjadikan isu tersebut sebagai ‘isu bersama’, bukan isu mahasiswa atau
isu elit desa. Membangun komitmen dilakukan secara perlahan, sedikit-demi-sedikit,
dengan memberikan pemahaman bahwa isu advokasi penting bagi desa.
Komitmen akan susah dibangun tanpa kepercayaan. Oleh sebab itu,penting agar tim
advokasi dipercaya oleh warga. Mahasiswa bisa melakukan beberapa cara agar dipercaya,
bisa dengan memanfaatkan kedekatan identitas kultural, srawung dengan warga, dan
berkomunikasi secara baik dan intens.
Pengalaman di Desa Demen, kepercayaan terbangun lewat kedekatan kultural dan srawung.
Kami hampir selalu hadir di acara-acara warga, terutama ketika bulan Ramadhan. Terlebih,
secara kebetulan beberapa di antara kami juga merupakan warga Muhammadiyah sehingga
kami diberi kepercayaan untuk mengisi ceramah tarawih. Dengan srawung dan
pembangunan kepercayaan, warga akan lebih mudah membangun komitmen dengan
program yang kita tawarkan.
4. Mengoptimalkan Pertemuan Warga
Bagi sebagian warga desa, mencari waktu lowong bukan sesuatu yang mudah. Terutama jika
waktu sedang menginjak musim tanam. Seluruh pikiran warga (jika komunitasnya adalah
petani) akan tercurah ke sawah. Oleh sebab itu, waktu-waktu untuk musyawarah perlu
menyesuaikan dengan warga.
Sebetulnya, tim advokasi tidak perlu mencari waktu khusus untuk melakukan musyawarah.
Biasanya warga sudah punya jadwal pertemuan sendiri yang rutin, entah melalui pengajian,
arisan, selapanan, Posyandu, atau pertemuan lain. Tim advokasi bisa menggunakan
momen-momen itu, sehingga tidak perlu bersusah-payah menyediakan waktu kosong untuk
musyawarah.
Pengalaman kami di Demen, Musyawarah Dukuh dilaksakan dengan menggunakan momen
arisan bapak-bapak, rehat selepas tarawih, temu kader perempuan desa, Posyandu, hingga
arisan selapanan. Asalkan diundang, jika waktunya tepat, warga pasti datang.
5. Pelatihan & Sosialisasi
Selain mengorganisasi pertemuan-pertemuan warga, perlu juga penguatan kapasitas serta
distribusi informasi. Terutama, bagi para ‘pemangku kepentingan’ dan pemegang amanah
publik. Oleh sebab itu, perlu adanya sosialisasi dan pelatihan kepada warga terkait perihal
perencanaan.
Pelatihan bisa diformat beberapa hari, bisa juga satu hari. Materi yang diberikan sebisa
mungkin disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Paling tidak, warga diberi pemahaman
mengenai pentingnya partisipasi dalam anggaran. Dalam hal sosialisasi, perlu juga
menggunakan undangan langsung kepada warga agar semua warga bisa mengetahui dan
bisa datang pada acara yang kita selenggarakan.
6. Menginisiasi Community Centre
Agar proses advokasi berjalan, perlu dibuat sebuah komunitas informal yang memang
menjadi wadah untuk berdiskusi tentang isu advokasi yang sedang diangkat. Kalau
ukurannya adalah advokasi anggaran, maka perlu dibuat komunitas warga yang memang
belajar anggaran. Ini penting, agar masyarakat bisa memahami isu ini secara mandiri tanpa
harus tergantung pada tim advokasi.
Membangun community centre memang bukan sesuatu yang mudah. Terbukti, ketika kami
3 bulan mendampingi penyusunan RPJM Desa, community centre belum bisa terbentuk.

Sebab, selain susah mengorganisir warga, juga pemuda di sana tidak banyak. Ini jadi catatan
penting bagi kami karena akhirnya setelah KKN selesai, proses pendidikannya tersendat.
KAMMI mungkin bisa lebih baik dari itu.
Pengalaman menginisiasi Community Centre bisa belajar dari pengalaman Amin Sudarsono
di Pekalongan. Untuk memfasilitasi warga NU belajar anggaran, Pattiro di sana menginisiasi
Nahdhiyin Centre. Tentu tidak 1-2 bulan lantas langsung selesai. Ada proses yang
diperlukan untuk men-sustain-kan komunitas itu. Di Yogyakarta, yang cukup leading adalah
IDEA Yogyakarta yang punya program Sinau Anggaran dan menjadi alat untuk membentuk
beberapa Community Centre.
7. Lobi & Negosiasi
Jika komunikasi dengan tokoh agak tersendat, tim advokasi bisa menggunakan mekanisme
lobi. ‘Lobi’ berarti meyakinkan stakeholder untuk melakukan sesuatu hal, bahwa hal itu
memang penting bagi warga. Lobi dan negosiasi menjadi penting. Sebisa mungkin, tim
advokasi melobi pada orang yang tepat. Kalau memungkinkan, tidak melobi sendirian, tetapi
juga melibatkan warga lain.
Pengalaman kami, sempat di minggu pertama komunikasi tersendat di tataran perangkat
desa. Lobi dilakukan kepada Carik atau Sekretaris Desa agar memfasilitasi beberapa
program. Beruntung, pak Carik bisa dilobi dan bisa memfasilitasi scenario yang kami
rancang. Setidaknya, ada satu perangkat desa yang bisa diajak diskusi untuk mengegolkan
program.
8. Membangun Jejaring Strategis
Selain membangun lobi ke tokoh-tokoh kunci di desa, penting juga bagi tim advokasi untuk
membangun jejaring strategis di luar. Ada banyak tokoh dan lembaga yang bisa diajak untuk
berpartner. Mereka bisa membantu kita di bagian-bagian yang susah dijangkau, karena
keterbatasan-keterbatasan tim. Pihak yang bisa membantu itu bisa saja Pemda, LSM,
lembaga pemerintah, atau jaringan-jaringan lain.
Berdasarkan pengalaman, kami menggandeng beberapa pihak untuk menyukseskan
aktivitas kami di desa. Kami berjejaring dengan Fasilitator Kecamatan & Teknis PNPM
Mandiri Perdesaan untuk menghimpun beberapa data dan menjalin komunikasi dengan
Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) PNPM di Desa Demen. Selain itu, tentu saja Badan
Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMPDPKB) Kulon Progo yang menyambut baik.
9. Melanjutkan Advokasi Hingga Tingkat yang Lebih Tinggi
Setelah RPJM Desa selesai, apa yang perlu dilakukan selanjutnya? Tentu saja, setelah draft
rancangannya disahkan jadi Perdes, perlu ada tindak lanjut. Jangan sampai, setelah RPJM
Desa selesai, partisipasinya bubar. Proses penganggaran setelah RPJM Desa yang cukup
panjang perlu dikawal juga, bahkan sampai ke Musrenbang tingkat Kabupaten.
Kelemahan dari KKN kami adalah tidak adanya desan tindak lanjut yang berkelanjutan.
Mungkin, karena tidak semua anggota punya sense advokasi sehingga setelah selesai KKN
atau selesai proyeknya, selesailah pekerjaan. Padahal, kalau diteruskan ke advokasi
anggaran akan lebih menantang. Saat ini, saya sedang berupaya untuk mengawal sampai ke
Musrenbang Kabupaten yang akan digelar bulan ini.
RPJM Desa hanyalah awalan dari proses perencanaan pembangunan. RPJM Desa akan
menjadi fondasi awal dari proses penganggaran. Arena pertarungan ada di proses
penganggaran tahunan, yang berbentuk RKP Desa, APBDes, serta APBD yang diusulkan
melalui Musrenbang dan disahkan oleh DPRD.

Secara umum, proses perencanaan penganggaran tahunan meliputi: (1) Rencana Kerja
Pemerintah Desa (RKP Desa) yang berisi program kerja tahunan pemerintah desa; (2)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang berisi anggaran tahunan pemerintah
desa. Pembiayaan pembangunan desa akan bergantung pada APBDes. Dua dokumen
tersebut akan dibahas dan disahkan pada Musrenbang Desa. Di beberapa daerah, proses
musrenbang sudah diintegrasikan dengan prosedur PNPM Mandiri Perdesaan. Proses ini
perlu dikawal agar partisipatif.
Jika ternyata dana APBDes tidak cukup (mungkin karena Pendapatan Asli Desa kecil),
usulan bisa dimasukkan di Musrenbang Kabupaten dan dipertarungkan dengan usulan lain
(baik dari desa lain ataupun SKPD) agar jadi prioritas daerah. Usulan-usulan tersebut bisa
disampaikan di Musrenbang Kabupaten. KAMMI bisa berperan mengawalnya dengan
melakukan analisis anggaran dan mengawal proses Musrenbang agar sesuai dengan aspirasi
masyarakat dan tidak kalah dengan usulan-usulan SKPD.
Di sinilah peran KAMMI, untuk memastikan proses penganggaran daerah (1) partisipatif,
(2) sampai ke tangan yang berhak, dan (3) bisa diakses oleh masyarakat. Ini akan
membutuhkan kolaborasi dari Departemen Sosmas dan Departemen Kebijakan Publik untuk
proses advokasi anggaran.
G. Ikhtitam: Refleksi bagi KAMMI
“…Oleh karena itu, sesungguhnya masjid adalah miniatur organisasi.Organisasi adalah
masjid virtual. Dengan organisasi, kita ‘menjamaahkan’ amal shaleh demi tujuan bersama
organisasi” (Masdar Farid Mas’udi)
Paradigma gerakan sosial independen KAMMI telah menyatakan bahwa KAMMI adalah
gerakan kultural yang berdasarkan kesadaran dan kesukarelaan yang berakar pada nurani
kerakyatan. Konsekuensi dari paradigma gerakan ini adalah bahwa KAMMI mesti menjelma
pada masyarakat (gerakan kultural) atas dasar keikhlasan untuk membantu umat (nurani
kerakyatan). Dua dasar inilah yang menjadi panduan gerak bagi KAMMI.
Yang membedakan KAMMI dan organisasi lain yang juga bergerak di bidang advokasi
anggaran adalah nawaitu-nya. Ini yang akan menjadi ‘privilege’ KAMMI. Jika kami dulu
mendorong perencanaan karena tuntutan akademik, yang menjadi ‘energi’ bagi gerak kami
waktu itu, KAMMI perlu mengembangkan sumber energi lain, yaitu ‘ikhlas’. Artinya, dengan
keikhlasan, advokasi akan benar-benar sampai pada dimensi epistemologisnya, yang telah
digariskan oleh Al-Qur’an Surah Al-Ma’un.
Advokasi pada dasarnya bukanlah sesuatu yang perlu di-‘bangga’-kan. Tetapi, ia adalah
konsekuensi logis dari posisi manusia sebagai ‘makhluk sosial’. Artinya, sudah selayaknya
advokasi jadi ajang pembelajaran. Beberapa kawan sudah memulai dari pendidikan (GKM,
LH), pelayanan sosial (SSC), dll. Mungkin, KAMMI perlu juga masuk ke bidang anggaran,
agar tidak terputus dengan problem structural yang Indonesia hadapi saat ini.
Nashrun Minallah wa Fathun Qariib….
*) Makalah untuk disampaikan pada Forum Sarasehan Nasional Sosial
Kemasyarakatan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI),
Surabaya, 2 Februari 2013.