MENAJAMKAN BATIN MEMELIHARA JIWA MELALUI

MENAJAMKAN BATIN MEMELIHARA JIWA MELALUI PANTUN
(Potret Kejhung Papareghan dan Beberapa Sastra Lisan Bandingannya)
Oleh FN. Murti
Mon sèrèna ma’ sèrè konèng
Rokok Ěskok talèna mèra
Mon sakèrrana bulâ ta’ onèng
Sala lopot nyo’on sapora.
(Papareghan Madura)

/1/
Hakikat sastra milik manusia
Belajar menjadi tujuan hidup yang tak ada habisnya. Manusia hakikatnya adalah
makhluk yang lemah dan penuh kekurangan dan hanya dengan ilmulah manusia menjadi
makhluk yang berderajat. Banyak cara dilakukan manusia demi mendapat pelajaran.
Pendidikan formal menjadi sangat populer daripada harus belajar dari alam. Sistem
pendidikan formal yang kaku membuat pola pikir manusia juga kaku dan monoton. Pun
dengan Kurikulum 2013 yang menurut saya kembali pada tata cara belajar dari alam yang
sebenarnya secara implisit telah terjabarkan dalam kitab Islam di surah Al Alaq, “Iqro’...”
(Bacalah), masyarakat tetap saja sibuk dengan indikator-indikator pembelajaran formal.
Masyarakat lupa bahwa belajar kepada alam, belajar fenomena dan budaya merupakan hal
penting yang justru lebih menguntungkan.

Sastra dan budaya ada di mana-mana dan telah menjadi atmosfir bagi para cendekia.
Sastra menjadi tempat belajar dan mengasah diri. Sejak dulu manusia sadar bahwa sastra
hadir sebagai produk sekaligus kebutuhan akan penebalan ilmu dan pemahaman diri
terhadap kehidupan. Melalui sastra, ilmu dikekalkan dalam ideologi apik tempat
tercurahnya segala pengalaman, cita-cita, ilustrasi, imajinasi, dan nilai. Sastra ibaratnya
rangkuman kehidupan sama seperti prasasti, tempat mengukir jejak pencapaian
kontemplasi manusia.
Kini, atmosfir sastra sebagai sarana kontemplasi telah menyurut. Sebagian generasi kita
justru lesu jika berhadapan dengan sastra. Mereka tidak paham, tidak mau paham, dan
tidak menikmati jelajah internalisasi melalui sastra. Bagi pecinta nonsastra, mungkin
mendengar nama Rendra didengungkan, hanya sekedar mendengarkan saja nama Rendra
terucap. Mungkin mereka lebih memilih konser musik, daripada wayang kulit atau ludruk.
Karya sastra hadir sebagai reaksi pengalaman manusia atas kehidupan. Tema-tema yang
muncul merupakan masalah-masalah populer dalam masyarakat mengenai eksistensi dan
kodratnya sebagai manusia. Dari tema-tema yang diangkat, banyak nilai moral yang
tercermin sebagai pandangan hidup masyarakat.

Pada abad 17, pantun sebagai salah satu sastra lisan yang menjadi jati diri masyarakat
Melayu, dianggap sebagai bentuk yang sempurna dari sastra lisan. Produk sastra lisan yang
tersebar di seluruh nusantara (baik kidung maupun mantra) memiliki bentuk serupa pantun.

Hingga penjajah datang membawa bentuk sastra bebas membuat pantun mulai
ditinggalkan. Ironinya, yang terjadi kini justru sebaliknya. Orang luar mempelajari pantun,
sedangkan bangsa sendiri lupa akan produk jati dirinya sendiri. Padahal, pantun sangat
tersohor di dunia internasional, karena hanya bangsa Melayulah yang memilikinya.
Pantun sebagai bagian dari paham kuartenitas terdiri dari 4 baris, dan tiap baris terdiri
dari 8 suku kata. Dua baris pertama, sebagai sampiran, bersajak a-b. Demikian pula dua
baris ke-dua dan ke-tiga yang disebut isi, bersajak a-b. Masing-masing memiliki unsur
kontras. Jika 4 baris digabungkan, maka terbentuk kontras baru, yakni a-b dan a-b. Dengan
demikian, pantun harus dibaca secara kuartenitas (horisontal-vertikal) untuk menemukan -‘tali jiwa’ (istilah Amir Hamzah)-- makna transendensi pantun. Sebagai sarana pembangun
karakter bangsa, sastra daerah seperti pantun sangat berharga dan perlu dipertahankan.

/2/
Menilik pantun di beberapa lingkungan kebudayaan
Zaman dahulu pantun menduduki tempat yang penting dalam kehidupan kita. Pantun
banyak digunakan dalam permainan kanak-kanak, dalam percintaan, upacara peminangan,
pernikahan, nyanyian, dan upacara adat. Secara umum setiap tahap kehidupan masyarakat
Melayu dihiasi oleh pantun.
Pantun tersebar di berbagai daerah di nusantara. Bentuk dan pengamalan dalam
pantun bersifat multi-budaya, multi-bahasa, multi-agama dan multi-ras. Di Sunda terdapat
tradisi berbalas pantun yang dikenal dengan sebutan “palang pintu” ketika meminang

seorang gadis. Orang Melayu menamakannya pantun. Orang Ambon menyebutnya sebagai
panton, mirip dengan sebutan orang Madura selain papareghan. Orang Sri Lanka dan
Sulawesi menyebutnya pantong. Menurut orang orang Sunda, pantun ialah cerita panjang
yang sedih dengan iringan suling. Pada orang Sunda bentuk empat kerat seperti pantun
Melayu dikenali sebagai sisindiran atau sesebred. Orang Jawa menyebutnya wangsalan dan
peparikan, sedangkan orang Bali menyebutnya sebagai wewangsalan.
Di Jawa, pantun yang sering dilantunkan menyerupai lagu disebut parikan. Di Madura,
pantun dikenal dengan istilah paparegan, sehingga papareghan yang dikidungkan disebut
dengan kejhung papareghan. Parikan dan paparegan memiliki struktur dan fungsi yang
relatif sama.
Di Kalimantan, banyak istilah pantun yang dilagukan bergantung konteksnya, yakni
Kandan, Dedeo atau Ngaloak, Karungut, dan Salengot. Masing-masing pantun daerah
memiliki bentuk dan karakteristik yang berbeda. Namun, biasanya digunakan untuk fungsi
yang sama, sebagai variasi komunikasi yang bersifat intertaining/menghibur serta sebagai
perayaan siklus kehidupan manusia (lahir, tumbuh, khitan, menikah, mati).

Dalam kajian Muhammad Haji Saleh dan Bazrul Bahaman (1999) diperoleh informasi
ada persamaan unsur pantun Semenanjung dan Sumatera yang digunakan, di antaranya
tidak kurang daripada 29 bahasa termasuk Aceh, Gayo, Alas, Nias, 4 bahasa Batak – Toba,
Mendailing, Simalungun; Lampung, Jawa, Sunda, Bali (Agha), Lombok, Bajau, Menado,

Saluan, Kaili, Pamonma, Tanemperar, Sangihe-Talaud, Gorantalo, Bugis, Iranun, Iban,
Bidayuh, dan Aslian. Sementara itu tidak kurang dari 35 dialek Melayu termasuk
Minangkabau, Kerinci, Deli-Serdang, Riau Pulau dan Riau Daratan, Palembang, Bangkahulu,
Betawi, Sakai, Kutai, Banjar, Pasir, Sintang, Ketapang, Sambas, Hulu Kapuas, Cocos, Sri
Lanka, Kutai, Melayu Menado, Melayu Kupang, Melayu Makasar, Banda, Ternate, PataniKelantan, Terengganu, Pahang-Johor-Melaka, Peranakan Melaka, Peranakan India (Ceti),
Negeri Sembilan, Selangor, Perak, Kedah-Perlis, dan Pinang. Di Eropa pula pantun digunakan
dalam bahasa Perancis, Inggris, Belanda dan Jerman.1
Pantun pada mulanya adalah senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Dalam
kesusastraan, pantun pertama kali muncul dalam Sejarah Melayu dan hikayat-hikayat
popular yang sezaman. Kata pantun mempunyai asal-usul yang cukup panjang dengan
persamaan dari bahasa Jawa yaitu kata parik yang berarti pari, artinya paribasa atau
peribahasa dalam bahasa Melayu. Arti ini juga berdekatan dengan umpama dan seloka yang
berasal dari India.
Menurut Dr. R. Brandstetter, seorang berkebangsaan Swiss yang ahli dalam
perbandingan bahasa berkata bahwa pantun berasal dari akar kata tun, yang terdapat
dalam berbagai bahasa Nusantara, misalnya dalam bahasa Pampanga, tuntun berarti
teratur; dalam bahasa Tagalog tonton berarti bercakap menurut aturan tertentu; dalam
bahasa Jawa Kuno, tuntun berarti benang dan atuntun yang berarti teratur dan matuntun
yang berarti memimpin; dalam bahasa Toba pantun berarti kesopanan atau kehormatan.
Dalam bahasa Melayu, pantun berarti quatrin, yaitu sajak berbaris empat, dengan rima a-ba-b, sedangkan dalam bahasa Sunda, pantun berarti cerita panjang yang bersajak dan

diiringi oleh musik. R. O. Winstedt setuju dengan pendapat Brandstetter tersebut.

/3/
Potret Kèjhung Paparèghan sebagai Wahana Pendidikan Moral dan Karakter
Kèjhung paparèghan berbeda dengan tembang. Walaupun memiliki sifat pelantunan
yang mirip, namun struktur kèjhung paparèghan lebih seperti parikan Jawa yang berbentuk
pantun. Tembang (dalam Madura: tembhâng) yang datang dari kesusasteraan Jawa
berbentuk prosa, memiliki aturan lagu tersendiri dari tiap jenisnya, dan pertunjukannya
disebut seni macapat (dalam Madura dikenal dengan mamaca). Pelantunan kèjhung sangat
khas. Jika mendengarnya, masyarakat bisa langsung tahu bahwa yang dilantunkan adalah

1

Muhammad Haji Salleh. Ghairah Dunia dalam Empat Baris: Pantun Sebagai Bentuk Bersama.
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/01/ghairah-dunia-dalam-empat-baris-pantun.html

kèjhung, bukan tembhâng, nyanyian/laghu, atau jhung-kèjhungan. Kèjhung ditandai oleh
teknik vokal yang khas melengking, nyaring, serta pelafalan yang sering kurang jelas.
Dalam masyarakat etnis madura, kèjhung paparèghan dapat dijumpai dalam dua
konteks, yaitu konteks umum keseharian dan pertunjukan. Pada konteks umum, kèjhung

paparèghan dilantunkan di saat-saat santai, di rumah atau beranda, dan jeda saat bekerja di
sawah. Dahulu etnis madura biasa melantunkannya bersahut-sahutan di waktu senggang
saat mengambil rumput atau menggembala ternak. Dalam konteks pertunjukan
(performance art), kèjhung paparèghan digelar pada ritus-ritus kehidupan seperti acara
selamatan pernikahan, khitanan, bahkan ulang tahun, biasa dibawakan dengan iringan
gamelan, menyatu dengan seni pertunjukan lain seperti ludruk, tayub, dan saronen. Pada
konteks demikian, para tokoh wayang kulit dan wayang topeng, para sinden, penayub,
pemusik saronen, para pemain lodrok, para pelawak menembangkan pantun (panton2)
dalam bahasa madura, dengan iringan komposisi gending yang dikenal. Dalam bahasa
madura, aktivitas mereka disebut ngèjhung.3
Kèjhung ialah aktivitas melagukan puisi atau pantun. Iramanya khas milik masyarakat
etnis madura yang jika dinyanyikan orang dapat membedakan bahwa lagu tersebut adalah
kèjhung paparèghan atau mamaca, nyanyian rakyat, nyanyian dalam permainan anak-anak
(jhung-kèjhungan). Gending untuk kèjhung paparèghan termasuk Rarari, Ram-eram,
Gunong Manto’, Tallang, dan lain-lain (Tim Nabara, 1996:16)4.
Kèjhung paparèghan memiliki fungsi pendidikan sebagai semacam kursus kilat
mengenai adat dan pengetahuan kesukuan, tentang norma-norma, agama, nilai-nilai baikburuk dan kepantasan, apa yang harus dilakukan, apa yang seharusnya tidak dilakukan, apa
yang dilarang, dan sebagainya. Selain berisi ajaran-ajaran hidup, kèjhung paparèghan juga
berisi tentang nilai keagamaaan. Dengan begitu, selain sebagai media pendidikan
(pedagogical device), kèjhung juga berfungsi sebagai media syiar (dakwah). Kèjhung

mengajak pendengar untuk merenungkan kekuasaan Tuhan agar lebih bertaqwa. Contoh
kèjhung yang berfungsi sebagai syiar/dakwah adalah berikut.
Tamen magik tombu sokon
Namen sokon tombu magik
Pon gi’ odi’ kodhu parokon
Orèng rokon sangona paggi’

Kèjhung ini mengandung pesan bahwa manusia harus menjaga kerukunan dalam
bermasyarakat, baik antar umat seagama maupun antar umat beragama. Kèjhung ini
mengingatkan pendengar, khususnya umat Islam, akan janji Tuhan dalam Surah Al Hujurat
ayat 10, “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaiki hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
2

Panton ialah istilah Madura untuk merujuk pantun. Dalam sastra Madura dibedakan antar pantun,
papareghan, dan sendilan walaupun memiliki bentuk yang sama. Lihat Sadik (2008:82) Tumbuh dan
Berkembangnya Sastra Madura.
3
Hélène Bouvier. 2000. Lèbur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

4
Buletin Kongkonan Basa Madura

mendapat rahmat”/Orèng rokon sangona paggi’/. Kèjhung di atas juga mengandung pesan
agar menjaga kerukunan /Pon gi’ odi’ kodhu parokon/, bersikap baik dalam bertingkah laku,
agar tidak mendapatkan masalah dalam hidup bermasyarakat. Kèjhung ini juga dapat
berfungsi sebagai media pendidikan sosial, karena mengajak manusia dalam kebaikan
bertingkah laku dalam masyarakat.
Melatèna nalar ka tana, duh lek
Terrong perrat ma’ è sèbâ’â
Mon ta’ pastè neng è dunnya, duh alek
Nâng akhèrat bulâ è ambe’â

Kèjhung tersebut juga mengandung pesan bahwa segala yang dilakukan manusia
semasa di dunia akan dikenai pertanggungjawaban di akhirat kelak /Nâng akhèrat bulâ è
ambe’â/. Maka, hendaknya manusia tidak menyia-nyiakan waktu dengan melakukan
perbuatan-perbuatan tidak terpuji dan dilarang agama, melainkan mengerjakan segala
kebaikan dengan niat beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kèjhung paparèghan menjadi sebuah cara menyampaikan model atau pola-pola
perilaku yang direstui masyarakat. Kèjhung paparèghan berisi tentang pengalaman dan

penghayatan hidup manusia serta mengandung ajaran-ajaran luhur seputar norma, adat,
etika, nilai baik dan buruk. Karena itu kèjhung dapat berfungsi sebagai media tunjuk ajar
dalam masyarakat. Contoh lain yaitu.
Aèng santer labâng lèma’
Pagilie ka Caporè
Lamon nèser kodhu paènga’
A bâlie laèn arè

Kèjhung ini memberi pesan terutama untuk generasi muda agar dapat bersikap baik
dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, /Lamon nèser kodhu paènga’/ Jika menjalin
cinta harus dengan keseriusan /A bâlie laèn arè/ suatu saat akan kembali. Implikasi pantun
tersebut ialah menumbuhkan sikap serius dan bertanggung jawab terhadap pasangan dalam
menjalin cinta agar tetap terjaga nama baik. Nilai yang terkandung ialah nilai kesetiaan.

/4/
Kantong Emas Pantun: Ilmu dan Pengalaman Sebagai Warisan Budaya
Dari daerah Talukkuantan, Kampar, Sumatera, kita mendengar lagu yang dinyanyikan
oleh ibu kepada anak mereka.
Omua kita poi mandi
Mandi jangan bakubang tana

Omua la kita pou mangaji
Mangaji jangan buek pitona.

Semasa anak sudah baligh dan dapat menikmati pengalaman rohaniah isi pantun diisi
dengan hakikat ilmu sebagai payung di dalam hidup di dunia yang tidak kekal.
Potang iko potang sotu,
Potang isuak potang had,
Induak basuo ujud nan satu
Cuba tengok dalam tariqat.

Pantun merupakan daya cipta kreasi penghayatan manusia terhadap pengalaman
hidupnya. Melalui pantun –juga karya sastra yang lain-- , pengalaman hidup manusia dapat
dihayati, sehingga dapat menambah kearifan penikmatnya. Pantun kaya akan tema dan nilai
moral. Pantun berhasil memotret fenomena kehidupan masyarakatnya dan mengangkatnya
dalam bahasa indah dan padat serta penuh nilai-nilai positif. Pantun berisi peristiwaperistiwa umum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti agama, cinta, etika,
keluarga, dan sebagainya. Pantun dengan beragam bentuk dan variasinya yang tersebar di
penjuru nusantara dapat dijadikan media kontrol sosial karena penuh dengan nilai-nilai
positif realitas sosial (bermasyarakat, agama, kasih sayang keluarga, dan sebagainya) yang
dapat dijadikan ajaran atau pedoman hidup. Melalui pantun, manusia dapat memelihara
batin dan menajamkan jiwa dengan ilustrasi-ilustrasi pengalaman, pesan-pesan moral serta

nilai-nilai luhur warisan budaya.
Nilai dalam pantun sangat besar. Pantun selalu menggunakan instrumen dalam level
yang tinggi seperti moral dan ketuhanan. Lebih kompleks lagi dengan aspek-aspek
kehidupan seperti kosmologi yang lebih abstrak dalam kehidupan. Lebih khusus lagi, pantun
dapat memotret pandangan hidup dan aktivitas kehidupan manusia serta elemen-elemen
alam semesta. Unsur-unsur dalam pantun yakni pengamatan unsur alam, kontemplasi,
pengungkapan pemikiran, wacana, nilai, dan makna jika dapat dibaca dengan baik akan
melahirkan sebuah pengalaman perjalanan ruhani yang menakjubkan. Dalam untaian larik
tempat kata-kata hadir, timbul tenggelam dalam ritma, rima serta ide, dapat dijumpai
percikan nilai sarat makna yang selalu berkutat seputar Tuhan dan kehidupan. Dengan
demikian, pantun sangat berpotensi untuk menanamkan pemahaman moral dan karakter
positif.
Manfaat pantun dalam masyarakat tidak lain sebagai bentuk ekspresi estetis, hiburan,
pendukung ekonomi, pemelihara solidaritas dan media kritik sosial, serta sarana pendidikan
(pedagogical device) dan syiar agama yang bersifat filosofis dan mengakar pada kepribadian
masyarakat. Pantun sering kali menggambarkan hal-hal yang penting untuk kebudayaan,
mentransfer nilai-nilai budaya, serta moral (pandangan hidup). Dengan demikian, pantun
membantu melestarikan kearifan lokal (local genius) masyarakat kebudayaan.
Selain berfungsi sebagai hiburan, pemelihara solidaritas sosial, sebagai sarana
pendidikan (pedagogical device) yang bersifat filosofis dan mengakar pada kepribadian
masyarakat. Bentuk-bentuk pantun yang dilagukan atau dipertunjukkan seperti Kèjhung,
Kandan, Dedeo atau Ngaloak, Karungut, dan Salengot juga berfungsi sebagai usaha

revitalisasi budaya yang secara sadar dilakukan oleh pelaku seni. Jika ini berhasil, maka
peran pantun dalam mempertahankan karakter kelompok etnis cukup besar.

/5/
Jejak Revitalisasi
Generasi mana yang lancar dan ahli berpantun? Anak muda betawi? Mungkin.
Masyarakat Madura? Ya, sebagian masih. Masyarakat Jawa? (???) sebagian kecil, itupun
sumbangsih para tetua. Yang lainnya? Tidak ada gaungnya. Tahukah mereka dengan karyakarya pantun fenomenal yang sarat akan nilai, seperti Syair Anggun Cik Tunggal, Tjeritera Si
Umbut Muda, Berani Kulanggar Lautan Api, serta Bunga Dilengkung Ular Jang Besar karya
R.J. Wilkinson dan R.O. Winstedt, atau yang lainnya? Bahkan, jika disuruh menyebutkan
siapa saja tokoh pemantun tersohor hampir semua orang bahkan generasi sebelumnya pun
akan kebingungan.
Dahulu memang pantun diungkapkan secara langsung dan tidak pernah dituliskan.
Memang kebanyakan pantun tidak dapat diketahui siapa pembuatnya, karena pindah dari
mulut ke mulut yang setiap orang berhak atasnya. Orang seolah-olah tidak merasa perlu
menghubungkan nama penyair/pemantun dengan karya pantunnya. Begitulah, masyarakat
lama kurang mengemukakan hal kepunyaannya sendiri. Namun, saya rasa saat ini
penghargaan terhadap pemantun sangat dibutuhkan untuk menciptakan popularitas,
eksistensialitas pantun dan pemantun, serta membangun prestige atas pantun yang kini
kembali digalakkan dalam Kurikulum 13.
Pantun dalam konteks pertunjukkan secara sadar dilaksanakan oleh masyarakat
pendukungnya sebagai bentuk pelestarian. Contohnya, kejhung papareghan dalam Ludruk
Madura atau Suroboyoan, Selangot dan Kandan di Kalimantan. Mereka melakukan
pertunjukan bukan sekedar faktor ekonomi dan prestige, melainkan lebih sebagai ungkapan
berkesenian dan aktualisasi diri. Usaha revitalisasi tidak hanya dilakukan oleh pemikul
folklor aktif, namun juga masyarakat yang sadar budaya etnisnya. Mereka melestarikan
tradisi dari generasi-generasi sebelumnya.
Peran radio-radio lokal sangat membantu kelestarian pantun. Pembawa acara radioradio lokal membawakan pantun dalam suasana perbincangan santai dengan pendengar
dengan banyak variasi pantun sesuai lingkungan kebudayaannya. Radio menjadi media
penyalur kebutuhan berpantun masyarakat.
Beberapa artis dalam tahun-tahun terakhir mulai memopulerkan kembali pantun dalam
konteks-konteks hiburan. Tentu ini merupakan titik keberuntungan bagi pantun. Dengan
pembudayaan pantun oleh artis sebagai trendsetter akan mempermudah usaha revitalisasi
pantun di kalangan generasi muda, walaupun tidak semua pantun profan memiliki nilai dan
pesan moral dan memuat pendidikan karakter seperti pada pantun-pantun klasik.
Di luar itu, format pembelajaran Kurikulum 2013 yang memang memandang sastra
sebelah mata dengan kentalnya unsur sains dan dibuangnya puisi sebagai mata pelajaran,

ternyata menjadi peluang tersendiri terhadap perkembangan dan revitalisasi pantun secara
besar-besaran. Dengan memasukkan pantun sebagai teks tersendiri, semoga pantun dapat
merangkul kejayaannya kembali seperti 300-400 tahun silam, di mana masyarakat dekat
sekali dengan nilai-nilai luhur dengan kemasan bahasa yang indah dan sopan. Namun, titik
terang ini juga diikuti oleh pertanyaan besar yakni “Sejauh mana kiranya peran guru dapat
memanfaatkan pantun sebagai media pengoptimalan internalisasi nilai-nilai luhur budaya
nusantara?” perlu kiranya kita sebagai pendidik, renungkan hal tersebut secara cermat.
Upaya apa yang perlu dilakukan.
Tugas pembelajaran salah satunya adalah mengenalkan dan melestarikan. Tugas para
pendidik yang tidak pernah habis dan tidak pernah selesai ialah bagaimana membuat nilainilai luhur dan falsafah dapat mengendap dalam pemahaman siswa, sehingga dapat
membentuk karakter positif generasi bangsa. Pendidik harus mampu mengajak siswa
berpikir dan merenung, produktif dalam memahami masalah-masalah filosofis. Perlu kiranya
dikembangkan tema-tema aktual agar tercipta siswa terampil berpantun tetapi juga
intelektual dan kritis. Misalnya, siswa ditugasi membuat pantun dengan tema yang up to
date, berbasis kasus-kasus/isu sosial terkini, masalah politik, dan ekonomi di Indonesia.
Selain itu, yang harus dilakukan ialah pengembangan manfaat belajar budaya
berpantun. Usaha ini tentu harus bersinergi dengan apa yang ada di masyarakat. Pola
masyarakat dalam mengembangkan kembali pantun perlu didukung secara serius demi
kelestarian budaya. Dengan sastra dan budaya, manusia berpotensi meningkatkan kualitas
kearifan hidupnya.
Di negara tetangga kita, pantun tidak saja berhasil dilestarikan sebagai karya sastra
lama, melainkan sebagai karakter bangsa. Itulah yang perlu kita tiru. Pantun haruslah diberi
penghargaan seperti apa yang terjadi pada puisi. Begitulah cara puisi besar. Salah satu yang
dapat dilakukan ialah menciptakan kebutuhan akan pantun, lomba-lomba berpantun tingkat
pelajar dan advance, juga penghargaan terhadap karya pantun dan pemantun terbaik.
Walaupun perlahan, pantun-pantun daerah masih berjalan dan terus diusahakan. Pun
demikian, tampaknya sebuah gerakan revitalisasi dengan anggota yang tidak berkembang
bukanlah jalan mulus yang bisa diandalkan.

/6/
Apakah Pantun Masih Relevan di Jaman Teknologi Informasi Saat Ini?
Banyaknya pertanyaan, seperti apa harapan kita tentang pantun di masa kini dan masa
datang? Mungkinkah pantun mendapat kedudukan di antara maraknya perkembangan puisi
dan prosa modern? Kini tirai itu sedikit demi sedikit terkuak dengan harapan yang diberikan
oleh Kurikulum 2013.
Telah terbukti, pantun merupakan wahana sastra yang sarat akan pendidikan karakter.
Di dalamnya terkandung nilai-nilai, potret kebiasaan adat budaya yang dijunjung sebagai
norma yang dianggap benar. Namun, di abad 19, ketika penjajah datang membawa bentuk

sastra bebas membuat pantun mulai ditinggalkan, tergeser oleh puisi. Semakin lama,
mengarungi abad 21, prinsip dulce et utile (keestetikan dan kebermaknaan) saat ini tidak lagi
menjadi unsur utama dalam pemroduksian sastra modern. Jika kita perhatikan dan
bandingkan sastra-sastra modern dengan sastra klasik sangat jauh kualitasnya. Aspek utile
menjadi tidak begitu terasa akibat kebutuhan estetis yang menuntut keterbacaan yang
mudah bagi para pendengar atau pembaca. Lalu, apakah pantun dengan aturan yang begitu
mengikat, dengan sedikitnya wilayah permainan kata masih relevan dikembangkan di jaman
informasi saat ini? Jawabannya YA. Sesuatu yang berbeda akan lebih menarik.
Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa ikatan puisi lama itu jarang atau lambat
untuk berubah, disebabkan dalam masyarakat lama banyak cabang kebudayaan bersatu,
bertali-tali, berseluk-beluk, tidak berpisah-pisah seperti masyarakat moderen.5 Kebanyakan
puisi saat itu dinyanyikan, atau dibawakan dengan tarian. Penyair sastra lama selalu
menekankan prinsip dulce et utile dengan serius untuk membangun tali jiwa sebuah sastra.
Hal-hal yang menjadi isi atau pesan dalam karya sastra tidak lain adalah ruh kehidupan
manusia sendiri. Manusia dan karya sastra saling menghidupi. Selama manusia hidup dan
mengarungi kehidupan, karya sastra akan terus lahir sebagai jawaban, produk kontemplasi
dan internalisasi diri melalui bahasa sebagai urat nadi manusia. Pantun dapat dikembangkan
sebagai alat atau media pendidikan karakter (salah satu fungsi susastra). Namun, perlu
adanya revitalisasi serta inovasi-inovasi baru dalam pantun agar sesuai dengan
perkembangan zaman.
Mengenai sastra modern saat ini yang memang tidak semuanya memiliki kualitas
sebagus dan sehandal sastra klasik, perlu diluruskan dan dipilah sesuai kebutuhan. Seperti
kata Sutan Takdir Ali Sjahbana, ada dua jenis puisi: puisi kebanyakan dan puisi seni sejati.
Pantun yang akan terus hidup ialah pantun yang bermakna dan berkualitas. Pantun seperti
itulah yang harus dikembangkan dan dilestarikan. Pantun seperti itulah pusaka. Kita tidak
mungkin mendapatkan siraman ruhani atau nilai-nilai moral dari pantun-pantun profan yang
terkesan hanya sebatas bumbu-bumbu parodi. Maka, pilihlah pantun-pantun berkualitas
seperti kumpulan Pantun Melayu di antaranya “Sembahyang”, “Syair Cik Tunggal”, “Tjeritera
Si Umbut Muda”, “Awang Sulung Merah Muda”, dan masih banyak lagi.
Saya tutup esai ini dengan mengutip kata-kata Anis Matta, “Ajarkan sastra pada anakanakmu agar mereka berani mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Ajarkan sastra pada
anak-anakmu agar mereka berani melawan ketidakadilan. Ajarkan sastra pada anak-anakmu
agar mereka berani menegakkan kebenaran. Ajarkan sastra pada anak-anakmu agar jiwajiwa mereka hidup. Ajarkan sastra yang mengajarkan keberanian.” Kita akan berhasil. ***
(13-5-14)

5

Sutan Takdir Alisjahbana. Puisi Lama. Hlm.9

Dokumen yang terkait

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN SEPEDA MOTOR HONDA MELALUI PENDEKATAN BOSTON CONSULTING GROUP PADA PT. MPM MOTOR DI JEMBER

7 89 18

EFEKTIVITAS PENGAJARAN BAHASA INGGRIS MELALUI MEDIA LAGU BAGI SISWA PROGRAM EARLY LEARNERS DI EF ENGLISH FIRST NUSANTARA JEMBER

10 152 10

PERANAN PUBLIC RELATIONS DALAM MENGINFORMASIKAN TELKOMFLEXI MELALUI NEWSLETTER PADA KARYAWAN DI PT TELKOM Tbk DIVRE III BANDUNG

2 38 1

UPAYA PENINGKATAN PROSES DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENGGUNAAN ALAT PERAGA PADA MATA PELAJARAN IPA DI KELAS IV (EMPAT) SDN 3 TEGALSARI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2011/2012

23 110 52

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGARUH PEMBERIAN KUNYIT DAN TEMULAWAK MELALUI AIR MINUM TERHADAP GAMBARAN DARAH PADA BROILER

12 105 39

MOTIVASI PEMUDA DESA BEKERJA DI SEKTOR PERTANIAN DI DESA MERAK BATIN KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

6 33 15