Historiografi Tulang Punggung Seni Rupa
HISTORIOGRAFI: TULANG PUNGGUNG
SENI RUPA (Pengukuhan Agus Burhan sebagai
Profesor)
Oleh: Deni Junaedi
Diterbitkan di:
Majalah Galeri
Media Komunikasi Galeri Nasional Indonesia
No. 17, 61-65.
Jika penulisan sejarah seni rupa Indonesia masih lemah, jangan
harap
melahirkan
museum
yang
kuat.
Persepsi
seperti
ini
terbangkitkan ketika mengikuti pidato dalam Sidang Senat Terbuka
Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. M. Agus Burhan, M.Hum tanggal 24
Februari 2016.
Persoalan museum bukan satu-satunya hal yang muncul dari
kelemahan penulisan sejarah atau historiograf. Banjir lukisan palsu
juga dapat menjadi efek buruk berikutnya. Celakanya, bagaimana jika
jumlah sejarawan Indonesia sangat sedikit dan akademisi yang
berminat pada bidang ini amat langka?
Di atas mimbar Concern Hall ISI Yogyakarta, pria kelahiran
Rembang 8 April 1960 ini menyampaikan ceramah dengan judul
“Sejarah Seni Lukis Modern Indonesia: Historiograf dan Fungsinya”.
Kendati menggunakan frasa ‘seni lukis’, tentu saja, akademisi yang
mendapat gelar Doktor dari UGM ini menyinggung jenis karya lain
seperti
seni
instalasi
dan
performance
art
ketika
memperbincangkan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) maupun seni
kontemporer.
Ketika Galeri bertandang ke rumahnya yang penuh lukisan
untuk
mengkonfrmasi
judul
itu,
Burhan
menyatakan,
“Pokok
persoalan sebenarnya adalah, saya ingin menerangjelaskan sejarah
seni lukis modern Indonesia.” Selain itu, latar belakang S1 yang ia
tempuh di Seni Lukis ISI Yogyakarta juga menjadi pertimbangan.
1
Museum, Urgensi Historiograf
Di hadapan Senat maupun hadirin yang memenuhi tempat
duduk, Burhan menyampaikan urgensi penulisan sejarah seni rupa
terhadap keberadaan museum, “Sejarah seni menjadi penopang
utama keberadaan museum. Apabila penulisan sejarah seni lukis dan
seni rupa modern Indonesia masih sangat kurang, tentu kelangkaan
itu
bisa
berakibat
pada
ketimpangan
rujukan
dalam
praktik
museologi.”
Kedekatan sejarah seni dengan museum tidak terbantahkan.
Bahkan, kata ‘museograf’ merupakan istilah lain untuk ‘sejarah seni’.
Museograf ini pada gilirannya melahirkan praktik museologi. Dengan
kata lain, historiograf terkait erat dan relevan dengan keberadaan
museum. Keterkaitan antara pencatatan sejarah dengan museum ia
ungkapkan dalam tiga fungsi historiograf berikut ini.
Pertama, untuk membangun kesadaran genetis makna identitas
tentang proses keindonesiaan melalui seni rupa modern. Dalam setiap
periode ungkapan bentuk-bentuk visual merefeksikan paradigma
estetik dari fakta-fakta sosiokultural dan jiwa zaman.
Kedua, untuk keperluan didaktis, meneruskan tradisi, nilai-nilai,
dan pengetahuan antargenerasi. Juga sebagai acuan dunia akademik
maupun praktik wacana untuk mengkonstruksikan seni rupa modern
Indonesia.
Ketiga,
untuk
keperluan
pragmatis
yang
khusus,
yaitu
melegitimasi pencapaian para seniman, patron seni, dan lembaga
sosiokultural. Dalam kerangka pragmatis yang besar berfungsi untuk
menjelaskan pengaruh dan keberpihakan politik pada dunia seni.
Sejarah seni juga berfungsi untuk melakukan daya tawar ideologi dan
identitas pada dunia internasional.
Ketiganya melandasi simpulan Burhan, “Fungsi-fungsi tersebut
menjadi aktual dalam kebutuhan yang mendesak dan khusus, yaitu
aspek
historiograf yang
bisa
menangani
berbagai
masalah
museologi.”
2
Lukisan Palsu, Efek Lain
Problem lebih dekat dalam kepentingan praktis yang berkaitan
dengan museologi, yaitu ketika historiograf seni rupa lemah dan
kekurangan evidensi ilmiah sejarah seni, adalah praktik lukisan dan
seni rupa palsu yang merebak. Problem ini tengah melanda dunia seni
rupa Indonesia.
Ini bukan berarti Burhan menaruh semua persoalan lukisan
palsu ke pundak sejarawan. Ia meminjam rumusan George L. Stout
untuk melihatnya. Konservator seni rupa Amerika itu menggunakan
metafor ‘kursi berkaki tiga’ untuk mengatasinya. Kaki pertama ada di
sejarah seni rupa yang menyangkut keahlian seni (connoisseurship in
art); kaki kedua terletak pada praktik restorasi dan konservasi yang
menyangkut pembuktian kepemilikan dan asal muasal (povenance);
kaki ketiga untuk sains yang menjelaskan struktur material yang
dipakai.
Sejarah yang disusun berdasarkan karya seni yang terindikasi
palsu tentu berdapak pada validitasnya. “Oleh karena itu,” Burhan
mengusulkan, “perlu tersedia ahli sejarah seni rupa dan historiograf
dengan kepakaran khusus pada seniman tertentu. Di Indonesia
misalnya, perlu ada ahli tentang Raden Saleh, Sudjojono, Afandi,
Hendra Gunawan, atau seniman lainnya.”
Kelangkaan Sejarawan, Kegelisahan Burhan
Kendati urgensi historiograf tidak terelakkan, tapi tidak banyak
pewacana seni rupa yang berminat menggarapnya. Di sisi lain,
perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia tengah melesat pesat
dan terhubung dengan jaringan internasional. Dengan demikian,
penulisan sejarah dan praktek seni di Indonesia semakin tidak
berimbang.
Burhan
menyampaikan
kegundahannya,
“Pertanyaan
yang
menggelisahkan adalah apakah dalam waktu yang singkat kekurangan
ahli sejarah seni rupa ataupun ahli pengkajian seni yang lain dapat
3
mengimbangi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia yang
sangat pesat. Apabila masalah ini tidak teratasi maka akan timpang
perkembangan dunia seni rupa Indonesia.”
Profesor yang juga pengajar di Program Pascasarjana UGM ini
tidak menutup mata, “Memang ada beberapa penulisan sejarah, tetapi
perkembangannya berjalan dengan lambat.”
Ia menyodorkan contoh penulisan sejarah seni rupa. Gerard
Brom menyusun Java in Onze Kunst (1913); Loos Haxman menulis
Verlaat Rapport Indie (1968); Claire Holt meluncurkan Art in
Indonesia: Continuities and Change (1967); Sudarmadji membuat
Persagi sebagai Pelopor Kebangunan Seni Rupa Indonesia Modern
(1968); Jim Supangkat menyusun Indonesian Modern Art and Beyond
(1997); dan segelintir lainnya.
Sebagai sejarawan, Burhan sendiri telah menulis puluhan artikel
jurnal, makalah seminar, maupun buku tentang sejarah seni rupa
Indonesia. Dua bukunya yang terkenal adalah Perkembangan Seni
Lukis Mooi Indie sampai Persagi di Batavia dan Seni Lukis Indonesia,
Masa Jepang sampai Lekra.
Burhan
mengomentari
kelangkaan
sejarawan
ini,
“Alasan
‘kemalasan’ menjadi kambing hitam.”
Paradigma Estetis, Sumbangan Sang Profesor
Sebagai seorang profesor tentu saja Burhan memiliki teori.
Persoalan museum maupun lukisan palsu di atas bukanlah inti dari
teorinya. Sumbangan keilmuan yang ia haturkan pada masyarakan
seni rupa adalah bagaimana semestinya sejarah seni lukis Indonesia
ditulis.
Ia
menolak
berdasarkan
periodisasi
periode
sejarah
pemerintahan,
seni
rupa
misalnya:
yang
periode
sekedar
Belanda,
Jepang, Orde Lama, Orde Baru, lalu Reformasi. Peneliti yang lulus
Magister Humaniora Program Studi Sejarah UGM ini lebih memilih
paradigma estetis sebagai tolok ukur penulisan sejarah seni lukis
Indonesia. Dengan paradigma estetis berarti ia menelisik nilai-nilai
4
estetis spesifk yang diterakan untuk peciptaan karya seni pada
periode tertentu.
Dalam pandangannya, “Perkembangan seni lukis dan seni rupa
modern
Indonesia
lebih
tepat
untuk
dikonstruksikan
sebagai
perkembangan seni visual yang merepresentasikan pergulatan fahamfaham
pemikiran,
sesuai dengan perubahan sosiokultural
yang
bergulir. Dengan kata lain, sejarah harus disusun atas dasar
perubahan paradigma estetik yang tumbuh dari konteks perubahan
zamannya sendiri.”
Maka, Burhan menyusunnya. Akhir abad ke-19, sebagai masa
perintisan seni lukis modern Indonesia, Raden Saleh ditempatkan
sebagai tokoh utama. Selanjutnya pada awal abad ke-20, berkembang
seni lukis Mooi Indie, yang diwarnai karya-karya romantisisme
tentang alam yang indah dan kehidupan eksotis Hindia Belanda.
Paradigma estetis itu dipengaruhi ikatan zaman dan kebudayaan
kolonial feodal yang memuja konvensi keharmonisan dan nilai ideal.
Pada tahun 1938-an sampai akhir Orde Lama berkembang periode
seni lukis dengan paradigma kontekstualisme kerakyatan Persagi
sampai Lekra. Penolakan pada romantisisme Mooi Indie melahirkan
pandangan estetis yang meyakini tentang realitas. Pertumbuhan ini
sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial yang didorong oleh
berbagai konteks sosial politik; seni lukis merepresentasikan realitas
kehidupan
rakyat.
Kemudian
pada
masa
Orde
Baru,
muncul
paradigma estetik humanisme universal yang menekankan pada jiwa
murni dan kebebasan berekspresi. Bentuk keberagaman individual
yang liris melahirkan seni lukis dengan berbagai gaya dan corak sifat
yang intuitif, di antaranya gaya abstrak menjadi dominan. Mulai tahun
1979, muncul Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) dan seni rupa
kontemporer yang bersifat plural dalam paradigma estetik maupun
dalam bentuk visual karya seninya. Perubahan konsep seni rupa baru
ini meleburkan batas-batas seni murni, seni tinggi dan seni rendah,
serta pengungkapan dalam bentuk-bentuk visual baru tanpa batas.
5
Bantaran Sungai Silugonggo
Pada ucapan terima kasih dalam pidatonya, ada satu nama
istimewa yang tidak bakal dilupakan Burhan, Ahmad Baedowi. Ia
adalah guru Burhan kecil ketika sekolah di SMP Negeri Juana.
“Beliau yang pertama kali membangkitkan jiwa seni dari
sanubari saya,” kenangnya. Burhan sangat terkesan ketika diajak
melukis langsung ke bantaran Sungai Siligonggo. Karyanya menjadi
perhatian siswa lain. Selain itu, Pak Guru Baedowi juga menunjukkan
buku Lukisan-lukisan Koleksi Dr. (HC), Ir. Sukarno, Presiden Republik
Indonesia. Burhan langsung jatuh cinta pada dunia seni lukis.
Tokoh lain yang tidak dapat lepas dari karir Burhan adalah M.
Hadi Projo Susastro. Bahkan, ketika membaca nama ini, suara Burhan
tertahan berat. Tokoh ini tidak lain adalah ayahnya. Sebagai Penilik
Sekolah dan Ketua PNI, Susastro biasa mengonsumsi Kompas,
Tempo, maupun Suara Karya. Burhan pun mengenal rubrik seni rupa
darinya.
Kendati kini telah renta, Susastro dapat menghadiri perhelatan
akademis anaknya yang diiringi belasan pemain musik klasik dan
gamelan. Sang Ayah yang duduk di samping menantunya, Umi
Hartati, tidak dapat menahan tangis ketika surat pengukuhan
dibacakan. Ia patut bangga, kini anaknya tidak hanya menyandang
gelar Guru Besar, tetapi juga Rektor perguruan tinggi terbesar di
Indonesia. []
6
SENI RUPA (Pengukuhan Agus Burhan sebagai
Profesor)
Oleh: Deni Junaedi
Diterbitkan di:
Majalah Galeri
Media Komunikasi Galeri Nasional Indonesia
No. 17, 61-65.
Jika penulisan sejarah seni rupa Indonesia masih lemah, jangan
harap
melahirkan
museum
yang
kuat.
Persepsi
seperti
ini
terbangkitkan ketika mengikuti pidato dalam Sidang Senat Terbuka
Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. M. Agus Burhan, M.Hum tanggal 24
Februari 2016.
Persoalan museum bukan satu-satunya hal yang muncul dari
kelemahan penulisan sejarah atau historiograf. Banjir lukisan palsu
juga dapat menjadi efek buruk berikutnya. Celakanya, bagaimana jika
jumlah sejarawan Indonesia sangat sedikit dan akademisi yang
berminat pada bidang ini amat langka?
Di atas mimbar Concern Hall ISI Yogyakarta, pria kelahiran
Rembang 8 April 1960 ini menyampaikan ceramah dengan judul
“Sejarah Seni Lukis Modern Indonesia: Historiograf dan Fungsinya”.
Kendati menggunakan frasa ‘seni lukis’, tentu saja, akademisi yang
mendapat gelar Doktor dari UGM ini menyinggung jenis karya lain
seperti
seni
instalasi
dan
performance
art
ketika
memperbincangkan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) maupun seni
kontemporer.
Ketika Galeri bertandang ke rumahnya yang penuh lukisan
untuk
mengkonfrmasi
judul
itu,
Burhan
menyatakan,
“Pokok
persoalan sebenarnya adalah, saya ingin menerangjelaskan sejarah
seni lukis modern Indonesia.” Selain itu, latar belakang S1 yang ia
tempuh di Seni Lukis ISI Yogyakarta juga menjadi pertimbangan.
1
Museum, Urgensi Historiograf
Di hadapan Senat maupun hadirin yang memenuhi tempat
duduk, Burhan menyampaikan urgensi penulisan sejarah seni rupa
terhadap keberadaan museum, “Sejarah seni menjadi penopang
utama keberadaan museum. Apabila penulisan sejarah seni lukis dan
seni rupa modern Indonesia masih sangat kurang, tentu kelangkaan
itu
bisa
berakibat
pada
ketimpangan
rujukan
dalam
praktik
museologi.”
Kedekatan sejarah seni dengan museum tidak terbantahkan.
Bahkan, kata ‘museograf’ merupakan istilah lain untuk ‘sejarah seni’.
Museograf ini pada gilirannya melahirkan praktik museologi. Dengan
kata lain, historiograf terkait erat dan relevan dengan keberadaan
museum. Keterkaitan antara pencatatan sejarah dengan museum ia
ungkapkan dalam tiga fungsi historiograf berikut ini.
Pertama, untuk membangun kesadaran genetis makna identitas
tentang proses keindonesiaan melalui seni rupa modern. Dalam setiap
periode ungkapan bentuk-bentuk visual merefeksikan paradigma
estetik dari fakta-fakta sosiokultural dan jiwa zaman.
Kedua, untuk keperluan didaktis, meneruskan tradisi, nilai-nilai,
dan pengetahuan antargenerasi. Juga sebagai acuan dunia akademik
maupun praktik wacana untuk mengkonstruksikan seni rupa modern
Indonesia.
Ketiga,
untuk
keperluan
pragmatis
yang
khusus,
yaitu
melegitimasi pencapaian para seniman, patron seni, dan lembaga
sosiokultural. Dalam kerangka pragmatis yang besar berfungsi untuk
menjelaskan pengaruh dan keberpihakan politik pada dunia seni.
Sejarah seni juga berfungsi untuk melakukan daya tawar ideologi dan
identitas pada dunia internasional.
Ketiganya melandasi simpulan Burhan, “Fungsi-fungsi tersebut
menjadi aktual dalam kebutuhan yang mendesak dan khusus, yaitu
aspek
historiograf yang
bisa
menangani
berbagai
masalah
museologi.”
2
Lukisan Palsu, Efek Lain
Problem lebih dekat dalam kepentingan praktis yang berkaitan
dengan museologi, yaitu ketika historiograf seni rupa lemah dan
kekurangan evidensi ilmiah sejarah seni, adalah praktik lukisan dan
seni rupa palsu yang merebak. Problem ini tengah melanda dunia seni
rupa Indonesia.
Ini bukan berarti Burhan menaruh semua persoalan lukisan
palsu ke pundak sejarawan. Ia meminjam rumusan George L. Stout
untuk melihatnya. Konservator seni rupa Amerika itu menggunakan
metafor ‘kursi berkaki tiga’ untuk mengatasinya. Kaki pertama ada di
sejarah seni rupa yang menyangkut keahlian seni (connoisseurship in
art); kaki kedua terletak pada praktik restorasi dan konservasi yang
menyangkut pembuktian kepemilikan dan asal muasal (povenance);
kaki ketiga untuk sains yang menjelaskan struktur material yang
dipakai.
Sejarah yang disusun berdasarkan karya seni yang terindikasi
palsu tentu berdapak pada validitasnya. “Oleh karena itu,” Burhan
mengusulkan, “perlu tersedia ahli sejarah seni rupa dan historiograf
dengan kepakaran khusus pada seniman tertentu. Di Indonesia
misalnya, perlu ada ahli tentang Raden Saleh, Sudjojono, Afandi,
Hendra Gunawan, atau seniman lainnya.”
Kelangkaan Sejarawan, Kegelisahan Burhan
Kendati urgensi historiograf tidak terelakkan, tapi tidak banyak
pewacana seni rupa yang berminat menggarapnya. Di sisi lain,
perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia tengah melesat pesat
dan terhubung dengan jaringan internasional. Dengan demikian,
penulisan sejarah dan praktek seni di Indonesia semakin tidak
berimbang.
Burhan
menyampaikan
kegundahannya,
“Pertanyaan
yang
menggelisahkan adalah apakah dalam waktu yang singkat kekurangan
ahli sejarah seni rupa ataupun ahli pengkajian seni yang lain dapat
3
mengimbangi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia yang
sangat pesat. Apabila masalah ini tidak teratasi maka akan timpang
perkembangan dunia seni rupa Indonesia.”
Profesor yang juga pengajar di Program Pascasarjana UGM ini
tidak menutup mata, “Memang ada beberapa penulisan sejarah, tetapi
perkembangannya berjalan dengan lambat.”
Ia menyodorkan contoh penulisan sejarah seni rupa. Gerard
Brom menyusun Java in Onze Kunst (1913); Loos Haxman menulis
Verlaat Rapport Indie (1968); Claire Holt meluncurkan Art in
Indonesia: Continuities and Change (1967); Sudarmadji membuat
Persagi sebagai Pelopor Kebangunan Seni Rupa Indonesia Modern
(1968); Jim Supangkat menyusun Indonesian Modern Art and Beyond
(1997); dan segelintir lainnya.
Sebagai sejarawan, Burhan sendiri telah menulis puluhan artikel
jurnal, makalah seminar, maupun buku tentang sejarah seni rupa
Indonesia. Dua bukunya yang terkenal adalah Perkembangan Seni
Lukis Mooi Indie sampai Persagi di Batavia dan Seni Lukis Indonesia,
Masa Jepang sampai Lekra.
Burhan
mengomentari
kelangkaan
sejarawan
ini,
“Alasan
‘kemalasan’ menjadi kambing hitam.”
Paradigma Estetis, Sumbangan Sang Profesor
Sebagai seorang profesor tentu saja Burhan memiliki teori.
Persoalan museum maupun lukisan palsu di atas bukanlah inti dari
teorinya. Sumbangan keilmuan yang ia haturkan pada masyarakan
seni rupa adalah bagaimana semestinya sejarah seni lukis Indonesia
ditulis.
Ia
menolak
berdasarkan
periodisasi
periode
sejarah
pemerintahan,
seni
rupa
misalnya:
yang
periode
sekedar
Belanda,
Jepang, Orde Lama, Orde Baru, lalu Reformasi. Peneliti yang lulus
Magister Humaniora Program Studi Sejarah UGM ini lebih memilih
paradigma estetis sebagai tolok ukur penulisan sejarah seni lukis
Indonesia. Dengan paradigma estetis berarti ia menelisik nilai-nilai
4
estetis spesifk yang diterakan untuk peciptaan karya seni pada
periode tertentu.
Dalam pandangannya, “Perkembangan seni lukis dan seni rupa
modern
Indonesia
lebih
tepat
untuk
dikonstruksikan
sebagai
perkembangan seni visual yang merepresentasikan pergulatan fahamfaham
pemikiran,
sesuai dengan perubahan sosiokultural
yang
bergulir. Dengan kata lain, sejarah harus disusun atas dasar
perubahan paradigma estetik yang tumbuh dari konteks perubahan
zamannya sendiri.”
Maka, Burhan menyusunnya. Akhir abad ke-19, sebagai masa
perintisan seni lukis modern Indonesia, Raden Saleh ditempatkan
sebagai tokoh utama. Selanjutnya pada awal abad ke-20, berkembang
seni lukis Mooi Indie, yang diwarnai karya-karya romantisisme
tentang alam yang indah dan kehidupan eksotis Hindia Belanda.
Paradigma estetis itu dipengaruhi ikatan zaman dan kebudayaan
kolonial feodal yang memuja konvensi keharmonisan dan nilai ideal.
Pada tahun 1938-an sampai akhir Orde Lama berkembang periode
seni lukis dengan paradigma kontekstualisme kerakyatan Persagi
sampai Lekra. Penolakan pada romantisisme Mooi Indie melahirkan
pandangan estetis yang meyakini tentang realitas. Pertumbuhan ini
sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial yang didorong oleh
berbagai konteks sosial politik; seni lukis merepresentasikan realitas
kehidupan
rakyat.
Kemudian
pada
masa
Orde
Baru,
muncul
paradigma estetik humanisme universal yang menekankan pada jiwa
murni dan kebebasan berekspresi. Bentuk keberagaman individual
yang liris melahirkan seni lukis dengan berbagai gaya dan corak sifat
yang intuitif, di antaranya gaya abstrak menjadi dominan. Mulai tahun
1979, muncul Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) dan seni rupa
kontemporer yang bersifat plural dalam paradigma estetik maupun
dalam bentuk visual karya seninya. Perubahan konsep seni rupa baru
ini meleburkan batas-batas seni murni, seni tinggi dan seni rendah,
serta pengungkapan dalam bentuk-bentuk visual baru tanpa batas.
5
Bantaran Sungai Silugonggo
Pada ucapan terima kasih dalam pidatonya, ada satu nama
istimewa yang tidak bakal dilupakan Burhan, Ahmad Baedowi. Ia
adalah guru Burhan kecil ketika sekolah di SMP Negeri Juana.
“Beliau yang pertama kali membangkitkan jiwa seni dari
sanubari saya,” kenangnya. Burhan sangat terkesan ketika diajak
melukis langsung ke bantaran Sungai Siligonggo. Karyanya menjadi
perhatian siswa lain. Selain itu, Pak Guru Baedowi juga menunjukkan
buku Lukisan-lukisan Koleksi Dr. (HC), Ir. Sukarno, Presiden Republik
Indonesia. Burhan langsung jatuh cinta pada dunia seni lukis.
Tokoh lain yang tidak dapat lepas dari karir Burhan adalah M.
Hadi Projo Susastro. Bahkan, ketika membaca nama ini, suara Burhan
tertahan berat. Tokoh ini tidak lain adalah ayahnya. Sebagai Penilik
Sekolah dan Ketua PNI, Susastro biasa mengonsumsi Kompas,
Tempo, maupun Suara Karya. Burhan pun mengenal rubrik seni rupa
darinya.
Kendati kini telah renta, Susastro dapat menghadiri perhelatan
akademis anaknya yang diiringi belasan pemain musik klasik dan
gamelan. Sang Ayah yang duduk di samping menantunya, Umi
Hartati, tidak dapat menahan tangis ketika surat pengukuhan
dibacakan. Ia patut bangga, kini anaknya tidak hanya menyandang
gelar Guru Besar, tetapi juga Rektor perguruan tinggi terbesar di
Indonesia. []
6