laporan kasus Tuberkulosis Paru Bakterio

Laporan Kasus

TUBERKULOSIS PARU

Oleh :
Puji Yunisyah Rahayu
NIM. 1608437723

Pembimbing :
dr. Zarfiardy Aksa Fauzi, Sp.P (K)

KEPANITERAAN KLINIK
PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2018

BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di

paru.1 Mycobacterium ini ditransmisikan melalui droplet di udara dari seorang
penderita tuberkulosis paru yang merupakan sumber penyebab penularan utama
terhadap populasi di sekitarnya.1,2
Tuberkulosis

merupakan

penyakit

menular

yang

masih

menjadi

permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam laporan World Health
Organization (WHO) tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB di
dunia pada tahun 2011 dimana 1,1 juta (13%) diantaranya adalah pasien TB

dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di Afrika. Pada tahun
2012, diperkirakan terdapat 450.000 menderita Tuberkulosis Multi Drug Resistant
(TB MDR) dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia. Meskipun kasus dan
kematian karena TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi angka kesakitan dan
kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta
kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena TB mencapai 410.000
kasus termasuk diantaranya adalah 160.000 orang wanita dengan HIV positif.
Separuh dari orang dengan HIV positif yang meninggal karena TB pada tahun
2012 adalah wanita.2,3
Indonesia juga mengalami peningkatan penemuan kasus TB dari tahun ke
tahun. Indonesia berada di peringkat kedua kasus TB terbanyak di dunia pada
tahun 2017 setelah India.3 Berdasarkan Global TB Report tahun 2014,
diperkirakan terdapat 680.000 kasus TB, dengan 460.000 diantaranya adalah
kasus baru atau 272 per 100.000 penduduk, dengan angka kematian akibat TB
yang masih tinggi yaitu 64.000, sebanding dengan 25 per 100.000 penduduk. 4
Survei prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 mendapatkan bahwa wilayah
Sumatera menempati peringkat ke-dua tertinggi angka prevelansi TB BTA positif
di Indonesia yaitu 90 per 100.000 penduduk.2 Profil kesehatan kota Pekanbaru

1


pada tahun 2015 jumlah seluruh kasus TB semua tipe berjumlah 1.723 kasus,
sementara jumlah kasus baru TB paru BTA+ berjumlah 1.180 kasus.5
Pengendalian TB paru saat ini dihadapkan kepada tantangan baru dengan
tingkat kompleksitas yang tinggi seperti ko-infeksi TB dengan infeksi HIV, TB
yang resisten obat dan tantangan lainnya seperti komorbid TB terhadap penyakit
kronis seperti diabetes melitus (DM).1,3
Berbagai upaya dan strategi harus dilakukan untuk menurunkan prevalensi
TB di Indonesia. Program penanggulangan TB paru dengan strategi Directly
Observed Treatment Short-course (DOTS) dan penerapan International Standard
for Tuberculosis Care (ISTC) telah diterapkan di puskesmas dan rumah sakit
pemerintah dengan baik.6 Oleh karena itu pengetahuan mengenai penyakit TB ini
penting dimiliki oleh para dokter dalam upaya mendukung target pencapaian yang
ditetapkan khususnya dari program penanggulangan penyakit TB di Indonesia.

2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1

Definisi
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit yang menyerang jaringan

paru disebabkan infeksi basil Mycobacterium tuberculosis. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (PDPI) mendefinisikan TB Paru sebagai penyakit yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex.2,7
2.2

Etiologi
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4

mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA).
Kuman tuberculosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan
tubuh, kuman ini dapat atau tertidur atau dormant lama dalam beberapa tahun7,8
2.3


Cara penularan
Penularan tuberkulosis paru adalah melalui percikan dahak (droplet).

Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA (+), namun bukan
berarti bahwa pasien TB dengan hasil BTA (-) tidak mengandung kuman di dalam
dahaknya. Tingkat penularan pasien dengan BTA (+) mencapai 65%, pasien BTA
(-) dengan kultur dahak (+) adalah 26% dan pasien BTA (-) dengan kultur (-) dan
foto toraks positif adalah 17%. Pada waktu penderita tuberkulosis paru batuk atau
bersin menyebarkan kuman melalui udara. Dengan demikian, penularan penyakit
TB terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular
(terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang sama.
Penderita TB sering tidak tahu bahwa ia menderita tuberkulosis. Droplet yang
mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Secara umum penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama
3

beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang lain dapat terinfeksi

kala droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan.2
2.4

Patogenesis
Perjalanan penyakit Tuberkulosis ini dibagi menjadi dua, yaitu tuberkulosis

primer dan tuberkulosis pasca primer (tuberkulosis sekunder).4,7,9
a. Tuberkulosis Primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembapan.
Dalam suasana lembap dan gelap kuman dapat bertahan berhari hari sampai
berbulan bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan
menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke
alveolar apabila ukuran partikel 5 mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi
karena kuman yang dormant.

-


Berkomplikasi dan menyebar secara a) per kontinuitatum, yakni
menyebar ke sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang
bersangkutan maupun paru di sebelahnya, kuman dapat juga tertelan
bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c) secara
limfogen, ke organ organ tubuh lainnya, d) secara hematogen, ke organ
tubuh lainnya.

b. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahuntahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (TB
pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%.
Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi,
alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis
sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru
(bagian apikal posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke
daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hilus paru.TB sekunder
juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi usia tua
(elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan
imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi:4
5


-

Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

-

Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras
sehingga menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai
granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan
bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk
jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadi
kavitas. Kavitas ini mula mula berdinding tipis, lama lama dindingnya
menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar,
sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkejuan dan
kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh
enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan
sitokin dengan TNF- nya.

2.5


Klasifikasi Tuberkulosis
Klasifikasi tuberkulosis adalah sebagai berikut:2,7,8
a. Berdasarkan letak anatomi penyakit
-

Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim
paru. Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena
letak lesinya yang terletak dalam paru. Pasien yang mengalami TB
paru dan ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru.

-

Tuberkulosis ekstraparu adalah TB yang mengenai organ lainnya
selain paru seperti pleura, kelenjer getah bening (termasuk
mediastinum dan atau hilus), abdomen, traktus genitourinarius,
kulit, sendi tulang dan selaput otak. Kasus TB ekstra paru dapat
ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfrimasi bakteriologis.


b. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
6

1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan
TB terakhir, yaitu:
• Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi).
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB
yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to
follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan
pasien setelah putus berobat /default).

• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini be rdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

7

• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus
juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien koinfeksi TB-HIV) :
adalah pasien TB dengan :
 Hasil

tes

HIV

positif

sebelumnya

atau

sedang

mendapatkan ART, atau
 Hasil tes HIV positif saat diagnosis TB.
2) Pasien TB dengan HIV negatif : adalah pasien TB dengan :
 Hasil tesh HIV negatif sebelumnya, atau
 Hasil tes HIV negatif saat diagnosis TB.

2.6

Gejala klinis
1. Gejala Respiratorik7,8
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang
paling sering dikeluhkan. Batuk terjadi karena iritasi bronkus yang
pada awalnya tidak berdahak, tetapi karena terjadi peradangan
maka batuk akan menjadi produktif.
8

Biasanya batuk ringan

sehingga dianggap batuk biasa. Apabila batuk telah berlangsung
lebih dari 2 minggu, maka harus dipikirkan adanya TB.
b. Dahak
Dahak bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian
berubah menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai
purulen. Dahak berubah menjadi kental apabila sudah terjadi
perlunakan.
c. Batuk darah (hemoptysis)
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau
bercak-bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar
dalam jumlah sangat banyak. Keadaan ini terjadi akibat pecahnya
aneurisma (Rasmussen’s aneurysm) pada pembuluh darah yang
berdilatasi di kavitas atau dari formasi aspergiloma pada kavitas
lama. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar atau
kecilnya pembuluh darah yang terkena.
d. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan
napasnya.
e. Sesak napas
Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak
napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
2. Gejala Sistemik7,8
a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang
kadang panas badan dapat mencapai 40-41oc. Serangan demam
dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.
9

Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan
berat ringannya infeksi Tuberkulosis yang masuk.
b. Malaise dan nafsu makan berkurang
Tuberkulosis bersifat radang menahun sehingga dapat terjadi rasa
tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan
makin kurus, sakit kepala dan mudah lelah.
2.7

Diagnosis TB
Definisi pasien TB dapat dibagi berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan

Bakteriologis dan berdasarkan diagnosis klinis :2,7
1) Berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis
Seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasarkan hasil pemeriksaan
contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau
tes diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya:
GeneXpert). Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa
memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.
2) Berdasarkan diagnosis klinis
Pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk
diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
10

a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistem skoring.
Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi
bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang.
 Anamnesis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan lain berupa dahak berca,put
darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisis, demam meriang
lebih dari satu bulan. Riwayat dengan keluhan yang sama sebelumnya perlu
ditanyakan beserta dengan riwayat pengobatannya. Adanya keluarga atau tetangga
yang memiliki keluhan yang sama dapat lebih mengarahkan diagnosis sebagai TB.
Perlu juga ditanyakan mengenai pencahayaan dan sirkulasi udara dirumah
(ventilasi).
 Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin didapatkan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, demam, badan kurus dan
berat badan turun.1
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Apabila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga
suara napas tambahan seperti ronkhi basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrat
11

ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napas menjadi vesikuler yang melemah.
Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau
timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.2,7
Pada pleuritis TB kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada posisi yang terdapat
cairan. Pada limfadenitis TB terlihat pembesaran kelenjar getah bening tersering
didaerah leher kadang didaerah ketiak. Pembesaran tersebut dapat menjadi cold
abscess.7
 Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa penunjang laboratorium bisa membantu dalam menegakkan
diagnosis TB. Tetapi tidak semua pemeriksaan ini harus dilakukan, sesuaikan
dengan keperluan penunjang saja.
a. Darah
Pada saat TB paru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi, laju endap darah mulai meningkat. Hasil pemeriksaan darah lain juga
didapatkan :
1. Anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer.
2. Gama globulin meningkat
3. Kadar natrium darah meningkat. Pemeriksaan tersebut tidak spesifik.

b. Dahak / Sputum
Hingga sekarang prinsip penemuan BTA tetap merupakan salah satu pilihan
utama, dengan beberapa alasan antara lain murah, objektif dan spesifik. Teknik
pewarnaan yang kini banyak digunakan adalah Ziehl Neelsen. Dibutuhkan tiga
spesimen dahak untuk menegakkan diagnosis TB. Untuk kenyamanan penderita,
pengumpulan dahak dilakukan dengan prinsip Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
12

Pemeriksaan bakteriologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan sedian langsung
dengan mikroskop biasa, mikroskop fluorensens atau biakan kuman.2
1. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):2,7
• S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot
dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
• S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
2.

Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)

dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu,
seperti:2,7
• Pasien TB ekstra paru.
• Pasien TB anak.
• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat
yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan
untuk memanfaatkan tes cepat tersebut.
Diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikrokopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif.
Apabila ke tiga spesimen dahaknya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
selama 2 minggu. Apabila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap
13

mencurigakan TB dilakukan pengulangan pemeriksaan dahak SPS dengan kriteria
sebagai berikut: 2
a. Hasil SPS positif maka didiagnosis sebagai penderita TB BTA
positif.
b. Hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks untuk
mendukung diagnosis TB.

c. Tes Tuberkulin
Dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama
pada anak anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan
menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.D.D (Prurified Protein Derivative)
intrakutan. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seorang individu sedang
atau pernah mengalami infeksi M. Tuberkulosis, M. Bovis, vaksinasi BCG
dan mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin adalah reaksi alergi
tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan akan timbul reaksi
berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibodi seluler dengan antigen tuberkulin.4,7

 Pemeriksaan Radiologis
Sebagian besar TB paru didiagnosis dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu
pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesui indikasi sebagai berikut:7
-

Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pemeriksaan
foto toraks pada kasus ini diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru
BTA positif

-

Ketiga spesimen dahak tetap negatif setelah pemeriksaan 3 spesimen
dahak SPS sebelumnya dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotik non OAT

-

Penderita tersebut diduga menderita kompilkasi sesak napas berat yang
memerlukan penanganan.
14

Pada pemeriksaan foto toraks tuberkulosis dapat memberikan gambaran
berbagai macam bentuk ( multiform). Berikut merupakan gambaran radiologik
yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan
atau nodular.
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (Jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah sebagai berikut:
1.

Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

2.

Kalsifikasi

3.

Komplek ranke

4.

Fibrotoraks/fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Gambar 2.1 Algoritma penegakan diagnosis tuberkulosis paru.6
2.8

Diagnosis TB paru berdasarkan ISTC

15

International Standards for Tuberculosis Care

merupakan

program

dalam penanggulangan TB nasional yang awalnya direkomendasikan oleh WHO.
ISTC dimaksudkan bukan untuk menggantikan berbagai pedoman (guideline)
manajemen TB yang telah disusun secara rinci oleh masing-masing organisasi
profesi seperti Directly Observed Treatment Short-course (DOTS), tetapi
berperan sebagai rambu-rambu minimal untuk tenaga medis yang mengelola
kasus TB. ISTC memuat hal-hal apa (what) yang seharusnya dilakukan dokter
dalam mengelola pasien TB, sedangkan pedoman organisasi profesi berisi
panduan bagaimana mengelola pasien TB. ISTC berisi 21 standar yang terdiri dari
6 standar diagnosis, 7 standar terapi, dan 4 standar penanganan TB dengan infeksi
HIV dan kondisi komorbid lain serta 4 standar kesehatan masyarakat.
Standar diagnosis berdasarkan ISTC terdapat di standar 1 sampai 6,
yaitu:6,10
1. Untuk

menentukan

diagnosis

awal,

petugas

kesehatan

harus

memperhatikan faktor risiko TB pada individu dan kelompok serta
melakukan evaluasi klinik dan uji diagnostik yang sesuai dengan gejala
dan temuan klinis lain sesuai TB.
2. Semua pasien, termasuk anak, yang mengalami batuk yang tidak dapat
dijelaskan dan berlangsung selama dua minggu atau lebih atau temuan
klinis lain pada pemeriksaan foto toraks yang dicurigai TB harus
dievaluasi sebagai TB.
3. Semua pasien, termasuk anak, yang dicurigai memiliki TB paru dan
mampu mengeluarkan dahak harus diambil setidaknya dua sediaan dahak
untuk pemeriksaan mikroskopik atau satu sediaan dahak untuk

16

pemeriksaan Xpert MTB/RIF di laboratorium yang terjamin kualitasnya.
Pasien dengan risiko tinggi resistens obat, yang berisiko memiliki HIV
atau mereka yang sakit berat harus diperiksakan Xpert MTB/RIF sebagai
alat uji diagnostik awal. Pemeriksaan serologi dan interferon-gamma
release assay (IGRA) tidak boleh digunakan untuk mendiagnosis TB aktif.
4. Semua pasien, termasuk anak, yang dicurigai memiliki TB ekstra paru,
sediaan yang sesuai dengan lokasi yang dicurigai terinfeksi harus diambil
untuk

pemeriksaan

mikrobiologi

dan

histologi.

Xpert

MTB/RIF

direkomendasikan pemeriksaan awal meningitis TB sebagai kebutuhan
untuk diagnosis yang cepat.
5. Pasien yang dicurigai TB paru dengan sediaan BTA negatif, Xpert MTB/
RIF dan kultur harus dilakukan. Orang dengan pemeriksaan mikroskopik
dan Xpert MTB/RIF negatif dan klinis sesuai TB, OAT harus dimulai
setelah pemeriksaan sediaan untuk dikultur.
6. Untuk anak yang dicurigai memiliki TB intratoraks (seperti paru, pleura,
mediastinum, atau kelenjar getah bening hilus), konfirmasi bakteriologis
harus dilakukan melalui pemeriksaan sekret saluran napas (ekspetorasi
dahak, induksi sputum, dan bilas lambung) untuk apusan mikroskopik,
Xpert MTB/RIF, dan/atau kultur.
2.9

Penatalaksanaan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT, melindungi keluarga dan komunitas
penderita.2 Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:2,6,7

17

a. Tahap awal (intensif)
Penderita mendapat obat setiap hari, awasi langsung. Pengobatan tahap
awal dimaksudkan untuk menurunkan jumlah bakteri dan meminimalisir
perngaruh dari sebagian bakteri yang mungkin sudah resisten sebelum
pasien mendapat pengobatan. Diberikan pada semua pasien baru selama 2
bulan. Bila pengobatan tahap awal diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam 2 minggu. Sebagian besar
penderita BTA positif akan menjadi negatif pada akhir pengobatan.
b. Tahap lanjutan
Merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa bekteri yang ada
dalam tubuh khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh
dan mencegah kekambuhan.

Jenis obat yang digunakan diantaranya :6,7
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
a. Isoniazid (INH) dosis 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kgBB
3 x seminggu atau 15 mg/kgBB 2 x seminggu, bersifat bakterisid,
dapat membunuh 90% populasi

kuman

dalam beberapa hari

pertama pengobatan.
b. Rifampisin dosis 10 mg/ kg BB, maksimal 600 mg 2-3 x/minggu,
Rifampisin, bersifat bakterisid, dapat membunuh

kuman semi

dorman yang tidak dapat dibunuh INH.
c. Pirazinamid fase intensif 25 mg/kg BB atau 35 mg/kgBB 3 x
seminggu atau 50 mg/kgBB 2 x seminggu, bersifat bakterisid, dapat
membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam.
d. Streptomisin 15mg/kgBB atau BB > 60 kg: 1000 mg, BB 40-60 kg:
750 mg, BB < 40 kg sesuai dosis, bersifat bakterisid.
e. Ethambutol fase intesif 15 mg /kg BB dan fase lanjutan 15 mg/kgBB
atau 30mg/kgBB 3 x seminggu, bersifat bakteriostatik.
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2):
18

Kanamisin, Amikasin, Kuinolon, Obat lain masih dalam penelitian yaitu
makrolid dan amoksilin + asam klavulanat.

Obat-obatan tersebut tersedia dalam kemasan obat tunggal dan obat
kombinasi (Fixed Dose Combination/FDC). FDC direkomendasikan bila tidak
dilakukan pengawasan menelan obat. Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari:6
-

4 obat kombinasi dalam satu tablet yaitu rifampicin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg.

-

2 obat kombinasi dalam satu tablet yaitu

rifampicin 150 mg,

isoniazid 75 mg.

Program Nasional Penanggulangan TB paru di Indonesia menggunakan
paduan OAT:2
1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Diberikan untuk penderita baru TB paru BTA positif, TB paru BTA
negatif rontgen positif yang sakit berat dan penderita TB paru ekstra paru
berat.
2. Kategori II (2HRZES/HRZE/5(HR)3E3)
Diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure) dan
penderita dengan pengobatan lalai (drop out).
3. Obat sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori I atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori II hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif.
Beberapa OAT memiliki efek samping, Efek samping yang terjadi dapat
ringan hingga berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat
simptomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. 2 Pengobatan yang diberikan
19

kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan
tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.7
1. Penderita rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan
vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk
penderita tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak
napas atau keluhan lain.

Terapi pembedahan
Indikasi mutlak operasi pada pasien tuberkulosis adalah sebagai berikut :2,7
1. Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap
positif
2. Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
3. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif
lndikasi relatif adalah sebagai berikut :
1. Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
2. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
3. Sisa kaviti yang menetap
Evaluasi pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.7
1. Evaluasi klinik

20

a. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
b. Respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
c. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis
2. Evaluasi bakteriologik
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan &
evaluasi pemeriksaan mikroskopik dilakukan sebelum pengobatan dimulai,
setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan.
3. Evaluasi radiologik
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
a. Sebelum pengobatan
b. Setelah 2 bulan pengobatan
c. Pada akhir pengobatan
2.10 Tatalaksana Berdasarkan ISTC
International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) adalah kumpulan
standar penanganan TB yang disepakati secara internasional dengan tujuan untuk
menggambarkan tingkat penanganan yang dapat diterima secara luas yang harus
dilakukan oleh seluruh praktisi baik pemerintah maupun swasta dalam
penanganan pasien TB atau diduga menderita TB. Penanganan yang dibawah
standar akan berakibat kegagalan pengobatan, transmisi kuman TB yang
berkelanjutan kepada anggota keluarga dan anggota masyarakat lain serta
menimbulkan Multi-Drugs Resistance (MDR). Alasan tersebut menyatakan
bahwa penanganan TB yang di bawah standar tidak dapat diterima. Diagnosis TB
berdasarkan ISTC dimuat menggunakan standar – standar yaitu dimulai dari
standar 7 sampai 13. Dalam standar - standar pengobatan TB berisikan tentang
tanggung jawab praktisi untuk mencegah penularan infeksi dan resistensi obat,

21

tentang pemberian obat dan pengawas minum obat sehingga sudah mencakup
secara keseluruhan. Standar –standar tersebut seperti berikut:6,7,10
1. Untuk memenuhi tanggung jawab kesehatan masyarakatnya, serta
tanggung jawab terhadap individu pasien, praktisi harus memberikan
rejimen terapi yang tepat, memantau kepatuhan terhadap rejimen, dan bila
perlu, membantu mengatasi berbagai faktor yang menyebabkan putusnya
atau terhentinya pengobatan. Untuk memenuhi tanggung jawab ini
diperlukan koordinasi dengan dinas kesehatan setempat dan atau
organisasi lainnya.
2. Semua pasien yang belum pernah diobati sebelumya dan tidak memiliki
faktor pasien untuk resistensi obat harus mendapatkan pengobatan lini
pertama yang diseujui oleh WHO dengan menggunakan obat yang
terjamin kualitasnya.

Fase inisial seharusnya terdiri dari dua bulan

isoniazid,

pirazinamid,

rifampisin,

dan

etambutol.

Fase

lanjutan

seharusnya terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4
bulan.

Dosis

pengobatan

harus

mengikuti

rekomendasi

WHO.

Penggunaan Obat kombinasi dosis tetap dapat mempermudah pemberian
obat.
*Etambutol dapat tidak digunakan pada anak dengan status HIV negatif
dan memiliki TB tanpa kavitas.
3. Pada pengobatan semua pasien, perlu dibangun pendekatan yang berpusat
kepada pasien, dalam rangka mendorong kepatuhan, meningkatkan
kualitas hidup, dan meringankan penderitaan. Pendekatan ini dilakukan
berdasarkan kebutuhan pasien dan rasa saling menghormati antara pasien

22

dan penyedia layanan kesehatanRespons pengobatan pasien TB paru
(termasuk pasien TB yang didiagnosis melalui pemeriksaan molekuler
cepat) harus dievaluasi dengan pemeriksaan apusan mikroskopik pada
waktu akhir fase intensif (2 bulan). Jika pemeriksaan dahak positif pada
akhir fase intensif, pemeriksaan mikroskopik dahak harus dilakukan lagi
pada tiga bulan, dan jika positif, pemeriksaan molekuler resistensi obat
yang cepat (line probe assays atau Xpert MTB/RIF) atau kultur dengan uji
resistensi obat harus dilakukan. Pasien dengan TB ekstraparu dan pasien
anak, respon pengobatan paling baik dinilai dengan temuan klinisnya.
4. Respons pengobatan pasien TB paru (termasuk pasien TB yang
didiagnosis melalui pemeriksaan molekuler cepat) harus dievaluasi dengan
pemeriksaan apusan mikroskopik pada waktu akhir fase intensif (2 bulan).
Jika pemeriksaan dahak positif pada akhir fase intensif, pemeriksaan
mikroskopik dahak harus dilakukan lagi pada tiga bulan, dan jika positif,
pemeriksaan molekuler resistensi obat yang cepat (line probe assays atau
Xpert MTB/RIF) atau kultur dengan uji resistensi obat harus dilakukan.
Pasien dengan TB ekstraparu dan pasien anak, respon pengobatan paling
baik dinilai dengan temuan klinisnya.
5. Penilaian kecenderungan resisten obat didasarkan atas riwayat terapi
sebelumnya, pajanan terhadap sumber yang mungkin memiliki kuman
kebal obat dan prevalensi kebal obat (di masyarakat), harus diambil
keterangannya dari semua pasien. Uji kepekaan obat harus dilakukan pada
awal pengobatan semua pasien dengan risiko resisten obat. Pasien dengan
pemeriksaan dahak mikroskopik positif setelah tiga bulan melengkapi

23

pengobatan, pasien gagal pengobatan, pasien lost to follow up atau
kambuh setelah satu atau lebih pengobatan harus dianggap sebagai
resistens obat. Pasien yang resisten OAT dipertimbangkan untuk
melakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF sebagai alat diagnostik awal. Jika
resisten rifampisin terdeteksi, kultur dan uji kepekaan obat terhadap
isoniazid, fluoroquinolon, dan obat injeksi lini ke-2 harus dilakukan di
awal pengobatan. Konseling dan edukasi pasien harus dilakukan segera
setelah pemberian obat lini ke-2 untuk mengurangi penyebaran. Penilaian
kontrol infeksi harus dilakukan sesuai dengan lingkungan.
6. Pasien dengan atau dicurigai memiliki TB yang disebabkan oleh
organisme resisten obat (MDR/XDR) harus diterapi dengan obat lini ke-2
yang terjamin kualitasnya. Dosis OAT harus disesuaikan dengan
rekomendasi WHO. Obat yang dipilih didasarkan pada uji kepekaan obat.
Setidaknya lima macam obat, pirazynamid dan empat macam obat untuk
organisme yang masih sensitif, termasuk obat injeksi, harus diberikan 6–8
bulan pada saat fase intensif dan setidaknya tiga obat untuk organisme
yang masih peka harus diberikan pada saat fase lanjutan. Pengobatan harus
diberikan setidaknya 18–24 bulan setelah konversi kultur. Pemeriksaan
yang terpusat pada pasien, termasuk evaluasi pengobatan, diperlukan
untuk menjamin kepatuhan. Konsultasi dengan spesialis untuk pasien
dengan MDRT TB harus dilakukan.
7. Untuk semua pasien perlu dibuat catatan yang mudah diakses dan disusun
secara

sistematis

mengenai

obat-obatan

yang

bakteriologik, hasil akhir pengobatan, efek samping

24

diberikan,

respon

2.11

Komplikasi
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi, yang dibagi atas:8
-

Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, dan laringitis.

-

Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas (SOPT: Sindrom Obstruksi Paska
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, kor-pulmonal,
sindrom gagal napas, yang sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

-

Komplikasi sistemik : menigitis TB, tamponade jantung, kerusakan Ginjal
dan Hepar.

BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama pasien

: Tn. BN / 981394

Jenis kelamin

: Laki-laki

Usia

: 42 tahun

Pekerjaan

: Tukang ojek

Alamat

: Tenayan Raya, Pekanbaru

Tanggal masuk RS : 16 Maret 2018
Tanggal keluar RS : 20 Maret 2018

ANAMNESIS: Autoanamnesis
25

Keluhan utama:
Sesak napas yang memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang:
-

1 minggu SMRS: Pasien merasakan sesak napas yang semakin memberat.
Sesak dirasakan tidak berkurang dengan istirahat dan tidak dipengaruhi oleh
cuaca, debu atau makanan. Batuk berdahak (+) berwarna putih, namun tidak
ada darah. Demam (+), keringat malam (+), badan terasa lemas, nafsu
makan dirasakan menurun, berat badan turun dari 55 kg menjadi 40 kg
dalam 2 bulan terakhir. Mual (+) muntah (+) setiap selesai makan. Atas
keluhannya, pasien dibawa ke IGD RSUD AA.

-

2 bulan SMRS: Pasien sudah mengeluhkan batuk berdahak (+) berwarna
putih. Pasien juga merasakan nyeri dada (+) saat batuk, tidak menjalar ke
lengan ataupun punggung, demam (+), hilang timbul disertai keringat
malam (+), BAK dan BAB tidak ada keluhan. Kemudian pasien dibawa ke
klinik dokter 24 jam, dokter menyarankan pasien untuk dilakukan
pemeriksaan dahak. Tetapi pasien menolak dan hanya minum obat yang
diberikan oleh dokter tersebut.

Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat OAT (-)
- Riwayat asma (-)
- Riwayat diabetes melitus (-)
- Riwayat hipertensi (-)
Riwayat penyakit keluarga :
-

Riwayat TB (-)

-

Riwayat asma (-)

-

Riwayat hipertensi (-)

- Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat sosial ekonomi:
-

Pasien merupakan seorang supir ojek, saat ini aktivitas terbatas di rumah.

-

Rumah mempunyai pencahayaan dan ventilasi yang cukup.

26

-

Kebiasaan merokok (+) sejak 20 tahun yang lalu, 24 batang / hari, IB=
504 (sedang), kebiasaan minum alkohol (-).

-

Tetangga tidak ada yang mempunyai keluhan serupa.

PEMERIKSAAN FISIS
-

Status generalisata
 Keadaan umum

: tampak sakit sedang

 Kesadaran

: komposmentis

 BB

: 40 kg

 TB

: 160 cm

 IMT

: 16,1 kg/m2 (underweight)

Vital sign :
 TD

: 110/60 mmhg

 Napas

: 28 kali / menit

 Nadi

: 98 kali / menit

 Suhu

: 37,8 ͦC

Kepala dan Leher
-

Mata : konjungtiva pucat (-/-) , sklera ikterik (-/-), napas cuping hidung (-)

-

Leher : pembesaran KGB (-)

Pemeriksaan Toraks:
Paru:
Inspeksi

: Normochest, pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan,
retraksi (-), otot pernapasan tambahan (-)

Palpasi

: Vokal fremitus kiri dan kanan meningkat

Perkusi

: Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi

: Vesikuler (+/+), Suara tambahan: ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung:
Inspeksi

: iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: iktus kordis teraba di SIK V linea midclavicularis sinistra

Perkusi

: Batas jantung kanan : Linea parasternal dekstra
Batas jantung kiri: Linea Miclavicula sinistra SIK V
27

Auskultasi

: Bunyi jantung: S1 dan S2 reguler, Bunyi jantung tambahan:
gallop (-), murmur (-)

Abdomen:
Inspeksi

: Bentuk datar, distensi (-), venektasi (-)

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (+), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani pada seluruh lapang abdomen.

Auskultasi

: Bising usus (+) 8x/menit.

Ekstremitas:
Akral hangat
CRT ≤ 2 detik
Edema (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin (16/03/2018)
HGB

: 12,7 gr/dl

HCT

: 39,5 %

RBC

: 4,48x 106 /uL

WBC

: 7.600 /ul

PLT

: 403.000 /ul

Kimia Darah (16/03/2018)
GDS

: 93 g/dL

Ureum

: 9 mg/dL

Kreatinin

: 0,66 mg/Dl

SGOT/SGPT : 25 U/L / 27 U/L
Elektrolit (16/03/2018)
Na+

: 135 mmol/L

K+

: 3,3 mmol/L

Cl

: 98 mmol/L

28

Foto Thoraks

29

Interpretasi :
Identitas sesuai
Marker R
Foto thorak posisi PA
Foto simetris
Kekerasan cukup
Tulang dan jaringan lunak baik
Kedua sudut kostofrenikus lancip
Trakea di midline
Cor : CTR 3 minggu, batuk berdarah, sesak napas dan nyeri dada.
Gejala respiratorik ini bervariasi mulai dari tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Gejala sistemik dapat berupa demam,
malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. Dari anamnesis pada
pasien ini dapat ditemukan batuk berdahak, sesak napas, nyeri dada, malaise,
keringat malam, dan anoreksia.1,7
Pasien mengeluhkan sesak napas yang memberat, dirasakan terus menerus,
yang disertai dengan batuk berdahak. Batuk dirasakan sejak 2 bulan dan tidak
berkurang, batuk berdahak dengan warna putih, tetapi pasien tidak pernah
mengalami batuk berdarah. Berdasarkan teori, batuk pada TB terjadi karena
adanya respon pertahanan dari tubuh untuk mengeluarkan benda asing.
Dikarenakan kuman TB terus menerus berkembang dalam paru dan disertai
dengan adanya perlawanan dari sistem pertahanan tubuh menyebabkan semakin
bertambahnya mukosa yang diproduksi pada saluran napas. Mukosa yang semakin
banyak menyebabkan terjadinya penyempitan pada saluran napas sehingga pasien
cenderung sesak napas. Selain itu, jika perkembangan kuman TB semakin
meningkat nantinya dapat menimbulkan efusi pleura yang akan membuat sesak
terasa semakin hebat. Batuk berdarah dapat terjadi pada pasien TB, hal ini
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang
dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari
cabang pembuluh darah bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya
anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah
pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif. Teori terjadinya perdarahan
akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi
beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi
bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak
merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe.11

35

Untuk diagnosis pasti TB yaitu ditemukan kuman tuberkulosis dengan
cara pemeriksaan BTA sputum, Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari
berturut-turut atau dengan cara sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan),
dahak pagi ( keesokan harinya ), sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak
pagi). lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan adalah
bila 2 kali positif, 1 kali negatif berarti mikroskopik positif, jika 1 kali positif, 2
kali negatif periksa ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif
berarti mikroskopik positif bila 3 kali negatif mikroskopik negatif. Bila gambaran
radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1 kali
positif, 2 kali negatif tidak perlu diulang dan itu sudah dapat ditegakkan diagnosis
Tuberkulosis.2,7 Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan sputum BTA I dan II
dengan hasil (+). Pemeriksaan radiologis menunjukkan gambaran tuberkulosis
paru dikarenakan terdapat gambaran infiltrat di seluruh lapang paru. Dikarenakan
pemeriksaan BTA sputum (+) pada dua kali pemeriksaan, didukung dari
pemeriksaan klinis dan hasil rontgen mendukung ke arah TB, maka pada pasien
ditegakkan diagnosis tuberkulosis paru bakteriologis.
Pemberian FDC (Fixed Drugs Combination) bertujuan agar memudahkan
pasien dalam minum OAT, sehingga kepatuhan pasien dalam minum obat dapat
ditingkatkan dibandingkan pemberian OAT dalam tablet yang terpisah. Selain itu,
dosis FDC disesuaikan dengan berat badan pasien dan jumlah komponen obat
yang harus diminum pasien, sehingga dapat meminimalisasi efek samping OAT. 2,7
Penatalaksanaan TB pada pasien ini berupa OAT kategori 1 yaitu 4FDC dengan
dosis 1x3 tablet. Pemberian ambroxol bertujuan untuk mengencerkan dahak dan
Paracetamol untuk menurunkan panas tubuh pasien.
Pasien juga mengalami sindrom dispepsia, hal ini didasari dari anamnesis
pasien yang mengeluhkan mual dan muntah setiap kali selesai makan, berisi
makanan disertai penurunan nafsu makan. Pemeriksaan fisik ditemukan nyeri
tekan epigastrium (+). Pasien

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

Efisiensi pemasaran kayu jenis sengon (paraserianthes falcataria) (studi kasus Hutan Rakyat Kecamatan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor)

17 93 118

Penetapan awal bulan qamariyah perspektif masyarakat Desa Wakal: studi kasus Desa Wakal, Kec. Lei Hitu, Kab. Maluku Tengeha, Ambon

10 140 105

Keabsahan praktik wakaf (studi kasus daerah Pebayuran KM 08 Kertasari-Pebayuran KAB.Bekasi-Jawa

1 43 117

Perancangan media katalog sebagai sarana meningkatkan penjualan Bananpaper : laporan kerja praktek

8 71 19