Eksistensi Laki laki dalam Keluarga di K

Eksistensi Laki-laki dalam Keluarga di Kalangan Bangsa Arab:
Tinjauan Perspektif Struktur Fungsionalisme
Oleh : Dedy Darmawan Nasution
S1-Sastra Arab UNS/C1012008
Secara tradisional, perkawinan lebih dilihat sebagai hubungan keluarga dan
komunal atau sosial, bukan sebagai hubungan antar individu. Secara resmi, perkawinan
juga dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme reproduksi, pelestarian daur hidup
manusia, penguatan ikatan dan kepentingan keluarga, penjagaan kekayaan pribadi
mlalui pewarisan, sosialisasi, dan cara mencapai tujuan-tujuan lain yang bisa menjamin
terpenuhinya kepenitngan komunal meski mengorbankan kebahagiaan individu.
(Barakat; 2012:142)
Arab sebagai bangsa yang telah berperadaban lama, mempunyai karasteristik
tersendiri dalam tradisi perkawinan di masyarakat. Istri menempati posisi pasif.
Maksudnya, seorang istri benar-benar tunduk dan patuh terhadap segala keputusan yang
ditetapkan oleh pihak suami. Secara umum, aturan tersebut telah mengimplementasikan
apa yang dijelaskan dalam agama Islam. Namun dalam praktek kesehariannya terdapat
beberapa unsur yang menjadi khas dari tradisi perkawinan di Arab. Kecenderungan istri
sebagai pelayan suami mengarah kepada arah “tidak berkuasa”. Adapun sebelum
menikah, seorang kepala keluarga juga mempunyai hak otoritas dalam memilihkan
pasangan hidup bagi anaknya.
Tahap Awal Sebelum Berkeluarga

Pada awalnya, orang tua wajib untuk meminta izin kepada anak perempuannya
jika ingin menikahkannya. Tetapi, meskipun demikian orang tua mengharapkan agar si
anak memasrahkan jodohnya kepada kedua orang tuanya. Langkah tersebut di ambil
demi menjaga harkat dan martabat keluarga di mata masyarakat sekitar. Apabila anak
tidak menuruti kemauan orang tuanya, maka bisa berdampak pada jatuhnya kehormatan
keluarga di mata masyarakat sekitar. Orang tua selalu mengharapkan kalimat “jika
kalian mengendaki” atau “kalian tahu apa yang terbaik untukku”. Meskipun telah
melalu prosedur yang telah menjadi kesekapatan, pada akhirnya hak prerogatif seorang
ayah selalu ditunjukan secara implisit. Tetapi apabila seorang gadis memaksakan
kehendaknya

untuk

menikah

dengan

orang

yang


dicintainya,

maka

Islam

1

memperbolehkan dengan catatan pilihannya bukan didasari fisik semata dan merupakan
pilihan yang tepat. (Barakat; 2012: 143)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kehormatan keluarga menjadi
pertimbangan yang amat penting. Ketika seorang anak gadis lebih memilih seorang
yang dicintainya ketimbang pilihan ayahnya, dan status laki-laki tersebut tidak setara,
maka orang tua juga mempunyai hak untuk membatalkan hak anaknya.
Pada tingkatan pertama dalam rangka menuju kehidupan berkeluarga, posisi
anak perempuan sudah sangat lemah dalam hak memilih calon suami. Dependisasi yang
terjadi sudah menyeluruh. Ketika melihat fenomena tersebut, penulis beranggapan
bahwa kekuasaan seorang laki-laki di Arab jauh lebih tinggi (baca : timpang) dengan
perempuan dalam kehidupan berkeluarga.

Tahapan Kedua Setelah Berkeluarga
Pada tahapan kedua ini, posisi seorang wanita telah menjadi seorang istri yang
sah bagi suaminya. Budaya pada masyarakat Arab dahulu, memposisikan perempuan
sebagai seseorang yang minim akan kebebasan dalam berkarya dan memilih
kegiatannya. Emansipasi sulit untuk diwujudkan. Tanpa pernah mendapatkan
kesempatan bekerja di luar rumah, perempuan hanya bisa dinilai berdasarkan peranperannya sebagai ibu, saudara, atau anak. (Barakat; 2012:139). Dependisasi terhadap
istri oleh suami dilakukan dengan alasan untuk melindungi keluarga. Pada akhirnya
suami yang lebih berhak untuk mengeksplorasi bakat-bakatnya entah dalam pekerjaan
atau yang lainnya sedangkan istri harus setia menjadi pelayan keluarga.
Seiring kemajuan pola pikir masyarakat Arab, para pemikir yang memiliki
progresifitas tinggi mulai merubah mindset tersebut. Reposisi terhadap perempuan
dilakukan dan dikembangkan layaknya peran-peran pada kaum laki-laki. Kemerdakaan
perempuan terus diupayakan oleh orang-orang yang mempunyai keprihatinan atas
sistem yang telah di anut tersebut. Namun di sisi lain, akibat sistem yang telah
melahirkan sebuah institusi sosial1 ini, sulit untuk diubah dan pada akhirnya itu semua
masih menjadi harapan besar. Pola pikir masyarakat Arab dalam memandang wanita
apabila ditanya tentang seorang wanita, maka kalimat yang akan kita dapat adalah
penunjukan pada seseorang yang memilikinya. Seperti misalnya, wanita ini adalah istri
si anu, anak si itu, atau pasangan seorang lelaki, ibu, istri. Pada akhirnya ia selalu
1


Maksudnya adalah pola atau sistem kebudayaan yang telah mengakar di masyarakat

2

dikaitkan dengan laki-laki karena tidak memiliki eksistensi independen. (al-Mar’a alArabiyya dalam Dunia Arab; 2012:139)
Dengan terbentuknya posisi wanita sebelum dan atau setelah berkeluarga maka
kita dapat melihat kedudukan suami yang berkuasa penuh dan mempunyai hak-hak
yang jauh lebih besar dari seorang istri. Dalam kasus ini, posisi seorang suami (baca:
laki-laki) menempati posisi superrior.
Pandangan Perspektif Struktur Fungsionalisme dalam Melihat Posisi Suami dalam
Keluarga
Dalam kaitannya dengan fenomena tersebut, stuktur fungsionalisme memandang
setiap gejala kebudayaan yang terjadi di dalam masyarakat adalah sebagai hasil dari
interfensi orang-orang sekitarnya, sehingga manusia tidak pernah mampu dalam
menentukan segala sikap dan tindakan tanpa mempertimbangkan orang lain. (Sulasman
& Gumilar; 2013:110) Dalam struktur fungsionalisme, keterikatan dan keterpengaruhan
antar manusia sangat erat dan tidak bisa dihilangkan satu sama lain. Dalam hal ini,
penulis memfokuskan pada posisi seorang suami dalam keluarga di Arab. Setelah
dibahas secara singkat seperti apa posisi dan peran seorang suami dalam keluarga di

tanah Arab, penulis melihat adanya ketergantungan suami kepada istri. Meskipun secara

zhohir seorang suami terkesan memiliki hak prerogatif yang sangat besar,
ketergantungan akan pihak wanita tidak bisa dilupakan begitu saja. Bagaimana tidak?
Di awal telah disinggung bahwa posisi istri dalam kebanyakan keluarga Arab adalah
sebagai pelindung keluarga. Posisi suami dan istri dalam sebuah sistem kekeluargaan
sama-sama bersifat fungsional dan terstruktur. Tetapi, akibat terbentuknya sistem
kepercayaan dan kesepakatan yang secara konvensional telah menjadi “madzhab”
bersama, dan pihak suami diharuskan untuk menjaga eksistensinya sebagai seorang
kepala keluarga, akhirnya sistem tersebut sukar dihilangkan. Perempuan masih
dianggap sebagai properti semata. Sebab utama mengapa seorang suami diharuskan
menjaga eksistensinya, karena pada hakikatnya suamilah yang menjadi pemimpin serta
budaya orang Arab yang meninggikan derajat laki-laki dalam sebuah keluarga. Namun
bukan berarti seorang wanita di anggap rendah begitu saja, dan wanita tidak sepenuhnya
merasa tertindas. Istri dan suami tentu sangat berkaitan dan berintegrasi dalam
keseimbangan. Tetapi sekali lagi eksistensi – dan mungkin dapat dikatakan dengan
sebuah gengsi- dari pihak suami yang mematenkan sistem tersebut.

3


Struktur fungsionalisme memandang setiap pihak mempunyai peran penting
dalam menyusun kehidupan bersama. Saling ketergantungan untuk mencapai tujuan
bersama pasti dilakukan, namun pada tahap tindakannya, pola yang diikuti adalah
budaya yang telah tertanam lama di kalangan masyarakat Arab. Budaya seperti ini dapat
diubah secara perlahan dengan adanya proses transfer budaya. Transfer budaya yang
dimaksud adalah dengan melalui proses difusi kebudayaan, yaitu penyebaran tingkah
laku dari satu kesatuan sosial ke kesatuan sosial yang lainnya. Proses persebaran
tingkah laku dengan memanfaatkan globalisasi sangat mungkin untuk dilakukan. Jalan
tersebut dapat dicoba demi meningkatkan eksistensi wanita untuk meraih kebebasn
berekspresi dan pengaktualisasian diri.

Daftar Pustaka
Barakat, Halim. 2012. Dunia Arab (edisi terjemahan oleh Irfan M/Zakkie). Bandung:
Nusa Media.
Sulasman & Gumilar, Setia. 2013. Teori-Teori Kebudayaan dari Teori Hingga Aplikasi.
Bandung: Pustaka Setia.

4