Chapter II Kemampuan Bakteri Kitinolitik Asal Rizosfer Tanaman Karet Dalam Akar Putih Pada Bibit Karet

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan
berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15–25 m. Batang tanaman
biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa
kebun karet ada kecenderungan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah
utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks
(Nazarrudin & Paimin, 2006). Pertumbuhan tanaman karet sangat baik pada
daerah beriklim tropis, seperti daratan Amerika, Brazil, Sri Lanka, Malyasia,
Thailand termasuk Indonesia. Hampir daerah di Indonesia, termasuk daerah yang
tergolong kurang subur, karet dapat tumbuh baik dan menghasilkan lateks.
Sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama di Brazil yang
beriklim tropis, karet juga cocok ditanam di daerah–daerah tropis lainnya. Daerah
tropis yang baik ditanami karet mencakup luasan antara 15° LU sampai 10° LS.
Suhu harian yang diinginkan tanaman karet rata–rata 25°C–30°C. Apabila dalam
jangka waktu panjang suhu harian rata–rata kurang dari 20°C, maka tanaman
karet tidak cocok di tanam di daerah tersebut. Pada daerah yang suhunya terlalu
tinggi, pertumbuhan tanaman karet juga tidak optimal (Setiawan, 2000). Tanaman
karet dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 1-600 m dari permukaan

laut. Curah hujan yang cukup tinggi antara 2000–2500 mm setahun. Akan lebih
baik apabila curah hujan merata sepanjang tahun (Nazarrudin & Paimin, 2006).
Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai
sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan
ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun
pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Kayu karet juga akan mempunyai
prospek yang baik sebagai sumber kayu menggantikan sumber kayu asal hutan.
Indonesia sebagai negara dengan luas areal kebun karet terbesar dan produksi
kedua terbesar di dunia. Perkembangan pembudidayaan karet ( Hevea brasiliensis)
akhir–akhir ini mengalami kemajuan yang sangat pesat khususnya di Propinsi

5

Sumatera Utara, baik di perkebunan milik negara, swasta maupun yang
diusahakan oleh rakyat. Pohon karet atau disebut juga rambung banyak
diusahakan oleh masyarakat baik dengan sistem monokultur maupun secara
agroforestry.

2.2 Bakteri Rizosfer
Konsep rizosfer pertama kali dikemukakan oleh Hilltner yang menjelakan

bahwa riosfer adalah tanah yang berada disekitar perakaran tanaman dimana
pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh aktivitas akar tanaman (Sivasakhti et al.
2013). Populasi mikroorganisme di rizosfer biasanya lebih banyak dan beragam
pada rizosfer dibandingkan pada tanah bukan rizosfer. Kehadiran sejumlah
populasi organisme baik yang bersifat antagonis, patogen, maupun saprofit dapat
menambah

keragaman

spesies

di

dalam

komunitas

alami

tanaman.


Mikroorganisme yang dapat hidup pada daerah rizosfer sangat sesuai digunakan
sebagai agen pengendalian hayati, mengingat bahwa rizosfer adalah daerah utama
dimana akar tumbuhan terbuka terhadap patogen. Jika terdapat mikroorganisme
antagonis pada daerah ini, patogen akan berhadapan selama menyebar dan
menginfeksi akar (Hasanudin, 2003).

2.3 Penyakit Tanaman Karet
A. Jamur Akar Putih (JAP)
Pada perkebunan tanaman karet Jamur Akar Putih merupakan penyakit umum dan
yang paling merugikan pada tanaman karet.Penyakit ini adalah penyakit yang
utama pada tanaman karet yang ditemukan pada sebagian besar area perkebunan
didunia termasuk Indonesia, India, Malaysia, Sri Lanka, Thailand Afrika barat dan
Afrika Tengah. Pada beberapa negara penyakit ini adalah penyebab kerugian
terbesar pada tanaman karet (Kawchai & Soytong, 2010; Jayasurya & Thennakon,
2007).
Penyakit ini disebakan oleh jamur patogen Rigidoporus lignosus dari kelas
Basidiomycetes, ordo Polyporasles, famili Polyporaceae dan genus Rigidoporus.
Menurut Semangun (2008) cendawan ini mempunyai lebih kurang 35 nama lain
(sinonim), sinonim dari Rigioporus antara lain Rigidoporus lignosus (Kloztch)

Imazeki atau Rigidoporus microporus (Swartz: Fr.) van Ov., Polyporus lignosus

6

Klotzsch, meskipun sekarang cendawan tersebut masih sering dikenal 5 dengan
nama Fomes lignosus (Klotzsch) Bres.
Tanaman karet yang terserang JAP memiliki gejala awal berupa
membusuknya akar tanaman yang diserang, sehingga tanaman mudah roboh.
Selain itu tanaman yang terserang juga menampakkan gejala sekunder berupa
bertambah banyaknya ranting dan berbuah lebih awal dari tanaman yang sehat,
sehingga tanaman terlihat lebih rimbun. Daun tanaman yang terserang selanjutnya
akan menguning dan gugur yang selanjutnya diikuti oleh matinya ranting tanaman
(Nugroho, 2010).
Penyakit jamur akar putih dapat mengakibatkan kematian pada tanaman.
Tanaman berumur dua sampai enam tahun sangat rentan terhadap penyakit ini.
Pada umumnya tanaman umur tiga tahun akan mati dalam waktu enam bulan, dan
tanaman enam tahun akan mati dalam waktu 12 bulan setelah terjadinya infeksi,
hal ini tergantung kepada banyaknya bibit penyakit (patogen) yang terdapat dalam
tanah. Penyakit akar putih sering menimbulkan kerusakan pada areal pertanaman
yang terdapat banyak tunggul atau sisa akar kayu, bekas tanaman tua atau bekas

hutan primer, atau tanah gembur dan berpasir (Situmorang & Budiman 2003).
Penyakit jamur akar putih menyebar di perkebunan karet daerah tropik
terutama Indonesia. Penyakit ini dijumpai di dataran rendah, dataran tinggi, dan di
daerah beriklim basah dan kering dengan keparahan penyakit yang berbeda.
Daerah yang sering mengalami serangan skala berat adalah Riau, Sumatera Barat,
dan Kalimantan Barat, serangan skala sedang adalah Nanggro Aceh Darussalam,
Sumatera Utara, Jambi, sebagian Sumatera Selatan, sebagian Bengkulu, dan
sebagian Lampung; dan serangan skala ringan adalah Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur
(Situmorang et al. 2006).
B. Serangan Infeksi Jamur Akar Putih
Penyakit akar tanaman adalah penyebab kematian yang paling signifikan pada
tanaman yang paling umum sebagai penyebab kegagalan pada perkebunan
(Wingfield, 1999). Penyakit akar tanaman ditemukan pada perkebunan dengan
kondisi lahan yang buruk serta disebabkan oleh penyakit akar pada tanaman
sebelumnya (Farid et al. 2009). Rigidoporus lignosus adalah salah satu penyakit

7

yang menyerang akar tanaman pada tanaman karet. R. lignosus tergolong ke

dalam tipe epidemik penyakit monosiklik. Penyakit monosiklik adalah penyakit
yang menyebabkan kehilangan produksi yang sangat tinggi, atau yang dapat
mematikan tanaman hanya dengan satu siklus infeksi per siklus tanaman (Sinaga
2004).

1

B

A

Gambar 2.1 Serangan jamur akar putih pada tanaman karet: A. Akar
tumbang akibat serangan JAP. B. Akar terinfeksi JAP (1. Hifa JAP).
Jamur akar putih menjadi penyakit yang sangat penting karena
penyebabnya memiliki kisaran inang yang luas. Selain menyerang karet, jamur
akar putih dapat menyerang teh, kopi, kakao, kelapa sawit, mangga, nangka, ubi
kayu, jati, cengkeh, duwet, lamtoro, sengon, dadap, nibung, kapur barus, cemara,
kayu besi, meranti, rasamala, walikukun, kesambi, randu alas, kumpas, akasia,
Ficus spp., dan Agzelia sp. Jamur akar putih juga dapat menyerang pupuk hijau,


seperti Tephrosia spp. dan Crotalaria spp. Tanaman penutup tanah kacangan yang
menjalar (legume creeping cover, LCC ) juga rentan terhadap jamur akar ini
(Semangun, 2008). Serangan patogen R. lignosus menyebabkan akar menjadi
busuk dan umumnya ditumbuhi rizomorf cendawan. Gejala tampak pada daun;
daun-daun yang semula tampak hijau segar berubah menjadi layu, berwarna
kusam, dan akhirnya kering (Pawirosoemardjo, 2004).
C. Penyakit Pada Daun Tanaman Karet
Daun adalah organ yang sangat penting pada tanaman karena daun
merupakan tempat berlangsungya proses fotosintesis. Serangan berbagai jenis

8

patogen dapat menyebabkan penyakit dan mengganggu proses fisioogis tanaman
sehingga menurunkan hasil fotosintesis serta menggangu proses pertumbuhan dan
perkemangan tanaman. Pada tanaman karet terdapat beberapa jenis jamur patogen
yang dapat menginfeksi daun dan menurunkan prodksi karet yaitu Corynespora
dan Colletotrichum. Jamur patogen tanaman Corynespora menyebabkan bercak
daun dan membusuknya batang, buah, biji dan bunga pada berbagai tanaman
inang (Fernando et al., 2010). Colletotrichum adalah penyebab gugurnya daun
pada tanaman karet, tidak hanya pada daun tanaman karet yang sudah tua jamur

tersebut juga menyerang bibit tanaman karet. Selain tanaman karet Colletotrichum
juga menyerang daun tanaman lainnya seperti Mangifera indica (Jayasinghe &
Fernando, 2009) Theobroma cacao (Suryanto et al, 2014).

1
A

2
B

Gambar 2.2 Serangan jamur patogen pada daun tanaman karet: A. Daun terserang
Corynespora sp., B. Daun terserang Colletotrichum sp., (1. Simtom
Corynespora sp., 2. Simtom Colletotrichum sp.,)
2.4 Potensi Bakteri Kitinolitik Rizofer Sebagai Agen Pengendali Hayati
Pengendalian jamur patogen tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan agen
pengendali hayati. Agen pengendali hayati mikroba lebih aman digunakan karena
sedikit kemungkinan merugikan lingkungan dan mempunyai prospek yang baik,
sehingga menjadi pilihan alternatif dari penggunaan pestisida (Kobayashi et al.
2002). Kesempatan untuk menemukan agen biokontrol untuk jamur patogen
sangat besar. Mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang

memiliki biodiversitas sangat besar, sehingga menyediakan banyak sumberdaya

9

alam hayati yang tak ternilai harganya, dari bakteri hingga jamur, tumbuhan, dan
hewan. Pencarian isolat dan jenis organisme yang potensial untuk digunakan
dalam bidang industri, pertanian, dan kesehatan merupakan pekerjaan yang harus
terus dilakukan (Suryanto, 2009).
Di dalam tanah secara alami terdapat mikroorganisme yang berpotensi
dalam menekan perkembangan patogen. Sebagian besar mikroorganisme
antagonis

tersebut

hidup

sebagai

saprofit.


Keberadaan

mikroorganisme

merupakan potensi besar untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati.
Mikroorganisme kitinolitik adalah mikroorganisme yang dapat mendegradasi kitin
dengan menggunakan enzim kitinase. Mikroorganisme ini dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti rizosfer, filosfer, tanah atau lingkungan air seperti laut,
danau atau limbah udang dan sebagainya. Selain lingkungan mesofil,
mikroorganisme kitinolitik juga dapat diisolasi dari lingkungan termofilik seperti
sumber air panas, daerah geotermal dan lain-lain (Herdyastuti et al. 2009).
Bakteri kitinolitik dapat digunakan dalam pengendalian hama dan penyakit
tanaman. Mikroba kitinolitik dapat ditapis dengan menggunakan medium
mengandung kitin. Mikroba diisolasi dari contoh dengan menggunakan medium
garam koloidal kitin disesuaikan dengan kondisi lingkungan darimana isolat
berasal. Pembentukan halo di sekitar koloni sebagai hasil degradasi kitin
(Suryanto & Munir, 2006). Bakteri kitinolitik adalah bakteri penghasil enzim
kitinase yang berperan dalam mendegradasi kitin menjadi N-asetilglokosamin.
Organisme pendegradasi kitin umumnya berasal dari kelompok mikroorganisme
diantaranya adalah dari kelompok bakteri (Suzuki, 1999).

Kitin adalah homopolimer dari β-1, 4 N-asetil glukosmin dan merupakan
polimer kedua terbanyak setelah selulosa. Kitin dapat dijumpai pada cangkag
udang, kepiting, moluska, serangga, annelida, serta pada dinding sel jamur
terutama kelas Ascomycetes, Zygomycetes, Basidiomycetes, dan Deuteromycetes.
Dinding sel jamur tersusun oleh glukan dan kitin oleh karena itu β-1, 3 glukanase
dan kitinase merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam mendegradasi dan
melisiskan dinding sel jmur (Anitha & Rabeeth, 2010). Kitin berbentuk padat dan
sifatnya tidak larut dalam air atau senyawa organik lainnya. Pada dinding sel
jamur, kitin berbentuk mikrofibril yang memiliki panjang yang berbeda

10

tergantung pada spesies dan lokasi selnya. Mikrofibril merupakan penyusun
dinding sel jamur yang terdiri atas rantai-rantai polisakrida yang saling
bersilangan membentuk anyaman (Rajarathanam et al. 1998). Beberapa kelompok
bakteri yag memiliki kemampuan kitinlotik yang digunakan dalam mengendalikan
jamur patogen tanaman seperti A. hydropphila, A. caviae, Pseudomonas
maltophila, B. licheniformis, B. circulans, Vibrio furnisii, Xanthomonas spp. dan
Serattia marcescens Enterobacter cloaceae LK 08, Enterobacter sp. BK 15,
Bacillus sp. BK 13, Bacillus sp. BK 17 (Gohel et al. 2006; Rahmiati, 2013;

Suryanto, et al. 2014).

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65