F A T H U L B A A R I — XIII

Perpustakaan Nasional RI; Data Katalog Terbitan (KDT)
Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafizh
Fathul Baari syarah : Shahih Bukhari / Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar
Al Asqalani; penerjemah, Gazirah Abdi Ummah. - Jakarta: Pustaka Azzam,
2002.
460 hlm.; 23.5 cm
Judul asli: Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari.
ISBN 979-3002-03-4
1. Hadis

I. Judul

II. Ummah, Gazirah Abdi.
297.132

Judul Asli
Pengarang
Penerbit
Tahun Terbit

:

:
:
:

Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari
Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani
Maktabah Darussalam, Riyadh
Cetakan I, tahun 1418 H./1997M
Edisi Indonesia:

FATHUL BAARI
Syarah:
Shahih Al Bukhari
Penerjemah
Editor
Desain Cover
Cetakan
Penerbit
Alamat
Telp

Fax

VI

: Ghazirah Abdi Ummah
: Abu Rania, Lc.
Titi Tartilah, S. Ag
: Aminuddin
: Pertama, Pebruari 2002M
: PUSTAKA AZZAM Anggota I K A P I DKI
: Jl. Kampung Melayu Kecil III/15 Jak-Sel 12840
: (021)8309105/8311510
: (021)8309105
E-Mail.pustaka_azzam@telkom.net

— FATHUL BAARI

PENGANTAR PENERBIT

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya kebaikan menjadi

sempurna, dan dengan rahmat-Nya kebaikan akan berlipat ganda dan dosadosa a k a n d i a m p u n i . S h a l a w a t dan s a l a m m u d a h - m u d a h a n t e t a p
terlimpahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAWyang telah
diutus oleh Allah sebagai rahmat, petunjuk, nikmat dan pelita yang
menerangi hati umat manusia, sehingga mereka dapat melihat kebenaran
dan memperoleh hidayah-Nya.
Hadits (sunnah) dalam agama Islam merupakan sumber syariat yang
kedua setelah Al Qur'an. Dalam hal ini fungsi Sunnah adalah untuk
menguatkan apa yang ada dalam Al Qur'an, menjelaskan apa yang ada dalam
Al Q u f an dan menerangkan hukum-hukum yang tidak tersebut dalam Al
Qur'an. Begitulah urgensi sunnah dalam syariat Islam, sehingga kita umat
Islam berkewajiban untuk mengetahui, mempelajari dan mendalaminya. Hal
itu telah diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya, "Barangsiapa yang
menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah menaati Al lak." (Qs. An-Nisaa'
adalah untuk

mencakup semuanya, baik perempuan atau lainnya, adapun kata ganti
(dhamir)

pada kalimat yang dihilangkan sebelumnya J>> ^ )


^.j—-JJ ^ J

1

IzJiS'

*—v*** *0—'"ji adalah untuk mengingat kebesaran Allah dan

Rasul-Nya, berbeda
dengan perkataan dunya (dunia) dan mar 'ah
(wanita), karena konteksnya adalah untuk menghimbau agar manusia
selalu berhati-hati dan menjauhinya.
Imam Al Karmani berkata, "Kalimat £\

il J\ berhubungan

dengan dengan lafazh a! hijrah, maka khabar (predikat) nya dihilangkan
dan ditaqdirkan dengan kalimat gabihah (buruk) atau ghairu shahihah
(tidak benar), atau dimungkinkan yang menjadi predikat adalah lafazh
4 — d a n kalimat

0 J\ adalah sebagai predikat dari (mubtada)
subyek kalimat oli—T J—. Pendapat yang kedua adalah pendapat yang
paling kuat, karena pendapat yang pertama menunjukkan bahwa setiap
hijrah itu secara mutlak adalah tercela, padahal tidak demikian. Kecuali
terjadi penduaan dalam niat seperti seseorang yang niat hijrah untuk
menjauhi kekufuran dan mengawini seorang wanita, maka hal ini bukan
sesuatu yang tercela dan tidak sah, akan tetapi hijrah seperti ini kurang
sempurna dibandingkan dengan orang yang berhijrah dengan niat yang
tulus. Seseorang yang berhijrah disertai dengan niat untuk menikahi
seorang perempuan, maka ia tidak akan mendapatkan pahala seperti
orang yang hanya berniat hijrah, atau seorang yang mempunyai
keinginan menikah saja tanpa melakukan hijrah kepada Allah, maka
orang itu tetap mendapatkan pahala apabila pernikahan yang
dilakukannya untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata 'ala,
karena pernikahan adalah anjuran agama Islam.
Hal ini seperti peristiwa masuk Islamnya shahabat Thalhah,
sebagaimana diriwayatkan oleh Nasa'i dan Anas, ia berkata, "Abu
Thalhah telah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar masuk Islam,
karena Ummu Sulaim telah masuk Islam lebih dahulu dari pada Abu
Thalhah. Maka ketika Abu Thalhah melamarnya, Ummu Sulaim berkata.

28

— FATHUL BAARI

"Aku sudah masuk Islam, seandainya kamu masuk Islam, maka saya
bersedia dikawini." Lalu Abu Thalhah masuk islam dan menikahi ummu
Sulaim. Hal ini dilakukan atas dasar keinginannya untuk masuk Islam
dan menikahi ummu Sulaim, seperti juga orang yang melakukan puasa
dengan niat ibadah dan menjaga kesehatan.
Imam Ghazali menggaris bawahi apabila keinginan untuk
memperoleh dunia lebih besar dari keinginannya untuk mendekatkan diri
kepada Allah, maka orang itu tidak mendapatkan pahala, begitu pula
apabila terjadi keseimbangan antara keduanya antara keinginan untuk
mendapatkan dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, ia tetap tidak
mendapatkan pahala. Akan tetapi apabila seseorang berniat untuk ibadah
dan mencampurnya dengan keinginan selain ibadah yang dapat mengurangi keikhlasan, maka Abu Ja'far bin Jarir Ath-Thabari telah menukil
perkataan ulama salaf, bahwa yang harus menjadi tolak ukur adalah niat
awal, apabila ia memulai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada
Allah, maka perubahan niat tidak menggugurkan pahalanya. Wallahu
a'lam.

Kesimpulan dalam hadits ini, adalah larangan untuk melakukan
sesuatu perbuatan sebelum mengetahui hukumnya secara jelas, karena
suatu pekerjaan yang tidak didasari niat, maka pekerjaan itu akan sia-sia,
dan orang yang melakukan suatu perbuatan dengan tidak mengetahui
hukumnya secara jelas, maka niatnya tidak sah. Akan tetapi orang yang
lalai tidak termasuk dalam hukum ini, karena setiap perbuatan harus
dikerjakan dengan kesadaran diri, sedangkan orang yang lalai tidak
mempunyai maksud. Contoh, orang melakukan puasa sunah dengan niat
sebelum tergelincirnya matahari, maka orang itu akan mendapat pahala
dari waktu dia memulai niatnya. Akan tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa dia tetap mendapat pahala puasa yang sempurna berdasarkan
sebuah hadits, "Bamngsiapa
mendapatkan sebagian dari rakaat (shalat
jama 'ah), maka dia telah mendapatkan/iya"
artinya mendapatkan keutamaan jama'ah atau waktunya.
Dapat juga diambil kesimpulan dari pemahaman hadits di atas,
bahwa yang tidak termasuk dalam kategori pekerjaan tidak memerlukan
niat, seperti shalat jama' tagdim menurut pendapat yang paling benar
tidak diperlukannya niat tertentu, berbeda dengan pendapat ulama madzhab Syafi'i, tapi guru kami Syaikh Islam berkata, bahwa jama'
(mengumpulkan shalat) bukanlah termasuk perbuatan, tetapi yang
termasuk dalam perbuatan adalah shalat itu sendiri." Pendapat ini

dikuatkan dengan apa yang telah dipraktekkan Rasulullah yaitu men-

FATHUL B A A R I —

29

j a m a ' shalat pada waktu perang Tabuk tanpa diberitahukan terlebih
dahulu kepada para sahabat. Sekiranya hal itu merupakan syarat maka
Rasulullah akan memberitahukan terlebih dahulu kepada sahabat sebelum melakukan shalat. Seperti seorang membebaskan budak dengan
niat membayar kafarat, tanpa menyebutkan jenis kafaratnya, apakah
kafarat zhihar atau lainnya, maka hal ini diperbolehkan, karena makna
hadits di atas mengindikasikan bahwa setiap perbuatan tergantung kepada
niatnya. Sedangkan dalam masalah kafarat yang harus dilakukan adalah
mengeluarkan kafarat yang diwajibkan tanpa harus menentukan sebabnya.
Dalam nash hadits tersebut ada tambahan "sebab," karena
konteks hadits di atas adalah mengisahkan orang yang berhijrah dengan
tujuan untuk menikahi seorang perempuan, maka disebutkannya "dunia"
dalam hadits ini bertujuan untuk memberi peringatan kepada manusia
untuk selalu berhati-hati terhadap gemerlapnya dunia. Syaikh Islam
mengatakan. "Konteks penjelasan hadits tersebut adalah umum walaupun

mempunyai sebab khusus." maka kita dapat mengambil kesimpulan,
bahwa yang menjadi dasar dalam menentukan hukum adalah lafazh nash
secara umum, bukan sebab-sebab yang khusus, dan penjelasan pelajaran
yang dapat diambil dari hadits ini akan diterangkan lebih luas dalam kitab
•Iman".

30

— FATHUL BAARI

2. Dari 'Aisyak Ummu! Mukminin RA, bahwa Harits bin Hisyam RA
bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, "Ya Rasulullah
bagaimana
caranya wahyu turun kepada anda? Rasulullah menjawab,
"Kadangkadang wahyu itu datang kepadaku seperti bunyi lonceng. Itulah yang
sangat berat bagiku. Setelah bunyi itu berhenti, aku baru mengerti apa
yang disampaikannya.
Kadang-kadang
malaikat menjelma seperti seorang laki-laki menyampaikan
kepadaku dan aku mengerti apa yang

disampaikannya, " Aisyah berkata, "Aku pernah melihat Nabi ketika
turunnya wahyu kepadanya pada suatu hari yang amat dingin. Setelah
wahyu itu berhenti turun, kelihatan dahi Nabi bersimpah peluh.'"
Keterangan Hadits:
jy-jiii fi (Ummul Mukminin)
Kata tersebut diambil dari firman Allah SWT, "Istri-istri Nabi
adalah ibu-ibu mereka (kaum muslimin)" Artinya dalam menghormati
mereka dan larangan untuk menikahinya.
Harits bin Hisyam, adalah seorang dari Bani Makhzumi, ia masuk
Islam pada hari pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah), dia adalah
saudara kandung Abu Jahal dan termasuk tokoh dari kalangan para
sahabat. Dia meninggal dunia pada waktu penaklukan negeri Syam.
J C- (bertanya)
Seperti inilah yang diriwayatkan sebagian besar dari jalur Hisyam
bin Urwah. Hal itu dimungkinkan, bahwa Aisyah menyaksikan ketika
Harits bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah. Dengan demikian sebagian ahli hadits meletakkan hadits ini pada Musnad Aisyah. Atau juga
pada Harits yang memberitahu kepada Aisyah, sehingga haditsnya menjadi hadits Mursal (hadits yang perawi dari salah satu sahabat tidak
disebutkan), tapi menurut para ulama hadits ini adalah hadits Maushul
(hadits yang sanadnya sampai kepada Nabi). Pendapat kedua dikuatkan
dalam kitab Musnad Ahmad, Mu jam Al Baghawi dan kitab-kitab lainnya,

dari jalur Amir bin Shalih Az-Zubairi dari Hisyam dari ayahnya dari
Aisyah dan Harits bin Hisyam, dia berkata, "Aku bertanya."
'J-'jH lL;b 'Sg (Bagaimana caranya wahyu turun kepada anda?)
Mungkin pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat
wahyu, atau sifat pembawa wahyu, atau yang lebih umum dari itu.
Dengan demikian penisbatan kepada wahyu tersebut merupakan bentuk
majaz, karena maksud sebenarnya adalah menanyakan tentang sifat
pembawa wahyu bukan wujud wahyu. Ismaili berkata, "Hadits ini tidak
FATHUL BAARI —

31

sesuai apabila diletakkan pada bab ini, tetapi yang lebih cocok adalah
hadits setelannya, sedangkan hadits ini cocok dimasukkan dalam bab
"Cara Turunnyc Wahyu" bukan bab "Permulaan Turunnya
Wahyu."
Imam Al Karmani berkata. "Mungkin saja pertanyaan ini mengenai
bagaimana cara permulaan turunnya wahyu, sehingga hadits tersebut
cocok diletakkan dalam bab ini.*' Saya (Ibnu Hajar) katakan, "Tidak
seperti itu. karena konteks kalimat yang ada dalam hadits tersebut adalah
kalimat yang digunakan untuk menunjukkan masa yang akan datang
(mustaqbal) bukan masa lalu (madhi), meskipun demikian kita dapat
melihat adanya korelasi antara hadits dan pembahasan di atas dari
jawaban Rasulullah, karena jawaban beliau telah menunjukkan sifat
wahyu dan sifat pembawanya, dimana kedua hal tersebut mengindikasikan permulaan turunnya wahyu. Dengan demikian kita mengetahui adanya korelasi yang jelas antara hadits dengan judul pembahasan. Disamping itu Imam Bukhari sendiri ingin mengawali penulisan hadits
dalam kitabnya dengan riwayat orang-orang Hijaz, maka dimulailah
dengan Makkah kemudian Madinah. Demikian juga bukan merupakan
suatu keharusan, bahwa seluruh isi hadits yang ada dalam bab ini harus
sesuai dengan permulaan turunnya wahyu, tapi cukup dengan hadits yang
berhubungan dengan
pembahasan bab ini. Sedangkan hadits ini
berhubungan erat dengan topik pembahasan yang sedang kita bicarakan,
begitu pula dengan ayat-ayat Al Qurian yang membicarakan tentang
turunnya wahyu kepada para nabi sebelum Muhammad SAW, juga masih
berhubungan dengan pembahasan ini.
(Kadang-kadang)
i — a d a l a h bentuk jama'

(plural) dari j j - yang berarti waktu

yang banyak atau sedikit. Akan tetapi maksud kata tersebut dalam hadits
ini adalah waktu, seakan-akan Nabi berkata, "auqaatan
ya'tiinii
(beberapa kali dia datang kepadaku). Imam Bukhari juga meriwayatkan
dari Hisyam dalam bab "bad'ul khalqi" (Permulaan penciptaan), ia
mengatakan, "Dalam semua kondisi itu telah datang kepadaku malaikat."
Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'id dari jalur Abi Salmah Al Majisyun, dia
menyampaikan bahwa Rasulullah bersabda, "Bahwa wahyu datang kepadaku dengan dua cara, yaitu malaikat Jibril datang dan menyampaikan wahyu kepadaku sebagaimana seorang menyampaikan berita kepada
orang lain. dan ini tidak membuatku takut. Atau datang kepadaku dengan
suara lonceng, dan hal ini membuat aku takut."

32

— FATHUL BAARI

Disamping itu malaikat juga datang dalam bentuk manusia,
seperti ketika datang kepada Nabi dalam rupa sahabat Nabi yang bernama Dihyah, atau seorang laki-laki berbangsa Arab atau lainnya yang
semuanya telah dijelaskan dalam hadits shahih.
Sebenarnya inti hadits ini, yaitu Pertama, menjelaskan sifat
wahyu seperti turunnya wahyu dengan cara desingan tawon, bisikan hati,
ilham, mimpi, dan berbicara langsung pada malam Isra' Mi'raj dengan
tanpa hijab. Kedua, sifat pembawa wahyu, hakikat malaikat Jibril yang
memiliki 600 sayap, Nabi melihatnya duduk di antara langit dan bumi.
Nabi melihat malaikat Jibril dalam bentuknya yang asli hanya dua kali
menurut Aisyah.
Adapun turunnya wahyu dengan cara membisikkan dalam hati
Rasulullah dimungkinkan ada dua cara, yaitu pertama-tama malaikat
datang kepada Nabi seperti suara lonceng kemudian membisikkan wahyu
ke dalam hati Nabi. Adapun turunnya wahyu melalui Ilham tidak dipertanyakan, karena yang ditanyakan adalah sifat wahyu yang dibawa oleh
malaikat, begitu juga turunnya wahyu pada malam Isra' Mi'raj.
Al Hulaimi berkata, bahwa wahyu turun kepada Nabi dalam 46
macam cara --kemudian ia menyebutkan semuanya— dan yang paling
banyak adalah mengenai sifat pembawa wahyu, yang telah disebutkan
dalam hadits "Sesungguhnya
Ruh Qudus (malaikat Jibril)
membisikkan
dalam hati," Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam bab.
Qana 'ah, hadits ini shahih menurut Hakim dari jalur Ibnu Mas'ud.
,_ryJi

j i . (seperti bunyi lonceng)

Dalam riwayat Muslim dikatakan J}^

j£aL> J i . j

Shalshalah

arti-nya suara yang dihasilkan dari benturan antara besi, kemudian kata
tersebut dinisbahkan kepada semua suara yang menimbulkan denging.
Sedangkan Jaras
adalah lonceng kecil atau kerincingan yang
digantungkan pada kepala hewan. Al Karmani mengatakan, bahwa jaras
adalah gentongan atau lonceng kecil yang di dalamnya ada potongan
kuningan dan digantungkan di leher onta, apabila onta itu bergerak maka
lonceng itu akan berbunyi. Ada juga yang mengatakan, bahwa shalshalah
adalah suara malaikat ketika menyampaikan wahyu, atau suara sayap
malaikat.
'J* »jif

(Itulah yang sangat berat bagiku)

Kita dapat memahami dari statement di atas bahwa semua wahyu
itu berat, akan tetapi wahyu yang diterima nabi dengan disertai bunyi
lonceng adalah yang paling berat, karena memahami perkataan dengan
F A T H U L BAARI —

33

bunyi lonceng lebih sulit dari pada memahami perkataan secara langsung.
Sebagian ulama mengatakan, bahwa berat atau sulitnya menerima wahyu
bertujuan agar Nabi lebih berkonsentrasi dalam menerima wahyu. Ulama
lain mengatakan, bahwa cara turunnya wahyu seperti ini biasanya membicarakan masalah adzab dan ancaman, meskipun pendapat ini masih
diperselisihkan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Ya'la bin
Umayah pada masalah "Pemakai jubah yang dibauri Minyak wangi pada
waktu haji, " dia berkata, bahwa beliau melihat keadaan Nabi ketika
menerima wahyu dalam keadaan pucat. Adapun hikmah itu semua adalah
untuk mendekatkan kepada Allah dan meninggikan derajat Rasulullah di
sisi-Nya.
t ^ i i (Setelah bunyi itu berhenti) Hilang ketakutanku.
J u U. ili c4^j JJj (aku baru mengerti apa yang disampaikannya)
Artinya aku (Rasul) mengerti perkataan yang disampaikan
kepadaku setelah bunyi itu berhenti. Inilah yang menguatkan bahwa
turunnya wahyu melalui perantara malaikat. Hadits ini sesuai dengan ayat
Al Qur'an yang menentang orang-orang kafir yang mengatakan,
"Sesungguhnya
ini adalah perkataan manusia biasa." Karena orangorang kafir menentang adanya wahyu dan turunnya malaikat yang
menyampaikan wahyu kepada Rasulullah.
y^J*j il_XJi ^—1 j i i ' (Kadang-kadang malaikat menjelma seperti
seorang laki-laki)
Alif lam pada lafazh 'JJ—itJi menunjukkan sesuatu yang telah
diketahui, yaitu malaikat Jibril. Hadits ini sebagai dalil bahwa malaikat
dapat menyerupai manusia. Para ahli teologi berkata, "Malaikat memiliki
wujud yang halus dan tinggi, serta dapat berubah dalam berbagai bentuk
yang diinginkannya." Para filosof mengatakan, bahwa malaikat adalah
partikel terkecil yang bersifat ruhaniah. Imam Haramain berkata, "Jibril
dapat menyerupai kita," hal itu berarti Allah memusnahkan hamba-Nya
ke-mudian mengembalikan lagi. Ibnu Salam mengatakan, bahwa hal itu
tidak berarti memusnahkan, tapi hanya menghilangkan, dalam arti bahwa
perubahan malaikat Jibril tidak menyebabkan kematian hamba itu, karena
kematian adalah berpisahnya ruh dari tubuh berdasarkan kehendak Allah
bukan kehend