FAKTOR PENENTU ALOKASI BELANJA MODAL DALAM APBD PEMERINTAH PROVINSI

   I NYOMAN DARMAYASA

  I KETUT SUANDI Politeknik Negeri Bali

  Abstract Infrastructure development is one of important aspects to accelerate the process of national development in Indonesia as a developing country. The purpose of this research is to obtain empirical evidences of the influence of Local Own Revenue (PAD), Shared Fund (DBH), General Purpose Grant (DAU), Special Purpose Grant (DAK), and Personnel Expenditure on Capital Expenditure of local government at Indonesia province. This research uses secondary data publications of Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan RI, data used is 32 provinces in Indonesia sampel of 34provinces in Indonesia for period 2011 - 2013. Data were processed using panel data regression. The results of the analysis indicate that DBHand DAU positive and significant effect on Capital Expenditure (DBH and DAU as Determinants of Capital Expenditure Allocation), while PAD, DAK, and Personnel Expenditure have no significant effect on Capital Expenditure (not as determinants of Capital Expenditure Allocation).

  SimultaneouslyPAD, DBH, DAU, DAK and Personnel Expenditure significant effect on Capital Expenditure. Implications of this research are expected to prefer the local government allocations source from PAD. Local government is expected to restructure the organizations in order to control Personnel Expenditure. Expenditure allocations are preferred to capital expenditure budget which implies increasing the welfare of the community.

  

Keywords: Capital Expenditure, Own Local Revenue (PAD),Shared Fund

(DBH), General Purpose Grant (DAU), Spesial Pupose Grant (DAK), Personnel Expenditure

  Abstrak

  Pembangunan infrastruktur merupakan salah satu aspek penting untuk mengakselerasi proses pembangunan nasional di Indonesia sebagai Negara yang berkembang. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh bukti empiris pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Belanja Pegawai pada Belanja Modal Pemerintah provinsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder, publikasi dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan RI. Data yang digunakan adalah data 32 provinsi, sampel dari 34 provinsi di Indonesia tahun 2011-2013. Data diproses menggunakan regresi data panel. Hasil analisis mengindikasikan bahwa DBH dan DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Modal (DBH dan DAU merupakan faktor penentu alokasi Belanja Modal), namun 1 PAD, DAK dan Belanja Pegawai tidak berpengaruh signifikan terhadap

  Belanja Modal (bukan merupakan faktor penentu alokasi Belanja Modal). Secara simultan PAD, DBH, DAU, DAK dan Belanja Pegawai berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Implikasi dari penelitian ini, diharapkan lebih memperhatikan alokasi belanja yang bersumer dari PAD. Pemerintah Daerah diharapkan merestrukturisasi organisasi dalam upaya mengawasi Belanja Pegawai. Alokasi belanja lebih diutamakan kepada Belanja Modal yang berimplikasi terhadap kesejahteraan masyarakat.

  

Kata Kunci: Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi

  Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Belanja Pegawai

  Pendahuluan

  Pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan suatu reformasi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Daerah diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki. Diharapkan pelaksanaan otonomi daerah mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah. Otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah (Adi, 2008).

  Persentase pengeluaran infrastruktur terhadap Gross Domestic Product (GDP) di Indonesia mengalami peningkatan dari 1,5 % pada tahun 2008 hingga 2 % dalam APBN 2014. Adam (2012) pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur bagi Negara berkembang adalah sekitar 5-6% dari GDP. Dalam APBN 2014, salah satu dari kebijakan adalah peningkatan belanja modal, terutama untuk infrastruktur. Pemerintah pusat mengalokasikan dana Rp 205,8 triliun untuk belanja modal dalam APBN 2014.

  Adi (2006) dan Laras & Adi (2008) menunjukkan adanya perbedaan kesiapan daerah dalam memasuki era otonomi daerah. Gan at el. (2005) menyimpulkan Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan sumber pendanaan yang penting bagi pemerintah daerah, DAU bisa didistribusikan untuk mengatasi ketimpangan pendapatan antar daerah baik horizontal maupun vertikal.

  Peran strategis pajak dan retribusi daerah memang telah memberikan kontribusi signifikan dalam sumber penerimaan PAD (Ahmad, 2006). Akan tetapi, perannya belum cukup kuat dalam menyokong APBD secara keseluruhan. Waluyo (2007) melakukan penelitian mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia, dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi bisa berdampak positif maupun berdampak negatif. Wong (2004) pembangunan infrastruktur industri memberikan dampak terhadap kenaikan PAD.

  Secara nasional PAD berpengaruh negatif terhadap belanja daerah hal ini disebabkan karena porsi PAD sebagai sumber pendapatan daerah sangat kecil, hanya terhadap belanja modal pemerintah daerah di Indonesia dalam kurun waktu 2008 sampai dengan 2012 (Jiwatami, 2013).

  Darmayasa (2014) menemukan bukti empiris bahwa DAU dan PAD berpengaruh positif terhadap Belanja Modal namun Belanja Pegawai berpengaruh negatif terhadap belanja Modal. Penelitian ini hanya bersifat regional pada kabupaten dan kota di Provinsi Bali untuk tahun pengamatan 2009-2013, dimana objeknya berbeda dengan penelitian Jiwatami. Jiwatami (2013) menemukan bukti empiris bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh negatif terhadap Belanja Modal sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif.

  Provinsi di Indonesia terdiri dari 34provinsi, namun data pengamatan hanya untuk 32 provinsi (tidak termasuk DKI Jakarta dan Kalimantan Utara), belanja daerah pada 32provinsi untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013, setiap tahunnya mengalami peningkatan namun tidak diimbangi dengan peningkatan pada Belanja Modal. Berbeda dengan pemerintah daerah (kabupaten/kota), pemerintah provinsi sumber pendapatan utamanya adalah PAD yang disusul dengan sumber dari DAU. Perbandingan antara Belanja Modal dengan total APBD persentase belanja modal hanya sebesar 16%, sedangkan belanja pegawai dengan rata-rata 14% dari total ABPDpada32 provinsi di Indonesia.

  Penulis tertarik untuk mengaitkan berbagai sumber pendapatan daerah PAD, DBH, DAU, DAK dengan perkembangan infrastruktur pada provinsi di Indonesia sehingga bisa mengetahui faktor penentu alokasi belanja modalnya. Fenomena meningkatnya transfer dari pusat ke daerah seharusnya diikuti dengan perkembangan infrastruktur daerah. PAD juga diharapkan lebih dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, namun fakta yang terjadi belanja modal hanya 16 % dari total APBD.

  Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya dalam objek penelitian dan jenis variabel yang digunakan. Objek penelitian mencakup provinsi di Indonesia hal ini sesuai dengan keterbatasan penelitian sebelumnya mengenai penelitian yang hanya bersifat regional. Analisis data menggunakan analisis data panel untuk periode tiga tahun, tahun 2011 sampai dengan 2013.

  Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah yang diajukan adalah : (1) Apakah PADmerupakan faktor penentu alokasi Belanja Modal (BM)?; (2) Apakah Dana Bagi Hasil (DBH)merupakan faktor penentu alokasiBM?; (3) Apakah DAUmerupakan faktor penentu alokasi BM?; (4) Apakah DAKmerupakan faktor penentu alokasi BM?, dan (5) Apakah Belanja Pegawaimerupakan faktor penentu alokasi BM? Tujuan penelitian ini adalah : (1) untuk mengetahui dan mendapatkan bukti secara empiris bahwa PADmerupakan faktor penentu alokasi BM; (2) Untuk mengetahui dan mendapatkan bukti secara empiris bahwa DBHmerupakan faktor penentu alokasi BM; (3) Untuk mengetahui dan mendapatkan bukti secara empiris bahwa DAUmerupakan faktor penentu alokasiBM.(4) Untuk mengetahui dan mendapatkan bukti secara empiris bahwa DAKmerupakan faktor penentu alokasi BM.(5) Untuk mengetahui dan mendapatkan bukti secara empiris bahwa Belanja Pegawai merupakan faktor penentu alokasi BM.

  Rerangka Teoritis Dan Pengembangan Hipotesis Belanja Modal

  Belanja Modal sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 huruf c Permendagri No

  59 Tahun 2007 tentang perubahan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang pengelolaan Keuangan Daerah digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan. Sedangkan menurut Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 2, Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Selanjutnya pada pasal 53 ayat 2 Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 ditentukan bahwa nilai aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/ pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Kemudian pada pasal 53 ayat 4 Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 disebutkan bahwa Kepala Daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi sebagai dasar pembebanan belanja modal selain memenuhi batas minimal juga pengeluaran anggaran untuk belanja barang tersebut harus memberi manfaat lebih satu periode akuntansi bersifat tidak rutin. Ketentuan hal ini sejalan dengan PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan khususnya PSAP No. 7, yang mengatur tentang akuntansi tetap.

  Jenis belanja Modal berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

  1. Belanja Modal Tanah yaitu semua biaya yang diperlukan untuk pengosongan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah dan pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administratif sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi tanah.

  2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin yaitu jumlah biaya untuk pengadaan alat-alat dan mesin yang dipergunakan dalam pelaksanaan kegiatan sampai siap untuk digunakan.

  Dalam jumlah belanja ini termasuk biaya untuk penambahan, penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin dan diharapkan dapat meningkatkan nilai aktiva, serta seluruh biaya pendukung yang diperlukan.

  3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan yang termasuk dalam belanja ini adalah jumlah biaya yang digunakan untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan kegiatan pembangunan gedung yang persentasenya mengikuti Keputusan Direktur Jenderal Cipta Karya untuk pembangunan gedung dan bangunan.

  4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan yaitu biaya untuk pengembalian penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan prasejarah dan sarana yang berfungsi atau merupakan bagian dari jaringan pengairan (termasuk jaringan air bersih), jaringan instalasi distribusi listrik dan jaringan telekomunikasi serta jaringan lain yang berfungsi sebagai prasarana dan sarana fisik distribusi instalasi.

  5. Belanja Modal fisik lainnya adalah jumlah biaya yang digunakan untuk perolehan melalui pengadaan/pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan (jalan, dan irigasi) dan belanja modal non fisik, yang termasuk dalam belanja modal ini antara lain: kontrak sewa beli (leasehold), pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang museum, serta hewan ternak, buku-buku dan jurnal ilmiah.

  Teori Keagenan

  Dalam teori keagenan, Jensen dan Meckling (Jensen, 1976) mendefinisikan hubungankeagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih (principal) menyewaorang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka denganmendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Konflik kepentinganakan muncul dan pendelegasian tugas yang diberikan kepada agen dimanaagen tidak dalam kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan principal, tetapimempunyai kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dengan mengorbankankepentingan pemilik.

  Halim & Syukriy (2006) Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif (asimetri informasi). Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintah daerah dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang baik tentang birokrasi dan administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu, anggaran untuk pelaksanaan pelayanan publik diusulkan untuk dialokasikan dengan didasarkan pada asumsi-asumsi sehingga memudahkan eksekutif memberikan pelayanan dengan baik. Eksekutif akan memiliki kecenderungan mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dari yang aktual terjadi saat ini (asas maksimal). Sebaliknya untuk anggaran pendapatan, eksekutif cenderung mengusulkan target yang lebih rendah (asas minimal) agar ketika realisasi dilaksanakan, target tersebut lebih mudah dicapai. Usulan anggaran yang mengandung slack seperti ini merupakan gambaran adanya asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. Slack tersebut terjadi karena agen (eksekutif) menginginkan posisi yang relatif aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

  Perilaku oportunistik legislatif dapat terjadi pada dua posisi, yakni sebagai prinsipal dan juga sebagai agen. Sebagai prinsipal bagi eksekutif, legislatif dapat meralisasikan kepentingannya dengan membuat kebijakan yang seolah-olah merupakan kesepakatan diantara kedua belah pihak, tetapi menguntungkan legislatif dalam jangka panjang, baik secara individual maupun institusional. Melalui discretionary power yang dimilikinya, legislatif dapat mengusulkan kebijakan yang sulit untuk ditolak oleh eksekutif, meskipun usulan tersebut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik dan fungsi legislatif. Sebagai agen bagi pemilih, perilaku oportunistik legislatif lebih kelihatan jelas. Dalam penganggaran, legislatif semestinya membela kepentingan pemilihnya dengan mengakomodasi kebutuhan publik dalam anggaran. Usulan kegiatan yang akan dibiayai dengan anggaran seharusnya didasarkan pada permasalahan dan kebutuhan masyarakat yang terindetifikasi ketika legislatif turun ke lapangan melakukan penjaringan aspirasi masyarakat (Halim & Syukriy, 2006).

  Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan bahwa Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  Penerbitan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertujuan untuk menyempurnakan sistem desentralisasi fiskal. Penyerahan wewenang pengelolaan jenis-jenis pajak yang bisa dipungut pemerintah daerah sesuai dengan potensinya diharapkan dapat membantu meningkatkan PAD.

  Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa PAD berpengaruh signifikan terhadap BM (Maimunah, 2008; Darwanto & Yustikasari, 2007; Andirfa, 2009; Yudani, 2008). Halim (2007) menyatakan bahwa ketergantungan kepada transfer dari pemerintah pusat haruslah diupayakan seminimal mungkin sehingga PAD bisa menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

  Kusnandar & Siswantoro (2012) membuktikan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap Belanja Modal. Prosentase PAD relatif rendah terhadap total pendapatan daerah dalam kisaran 7% namun kontribusi prosentase tersebut sangat perpengaruh terhadap pengalokasian Belanja Modal. Menurut Waluyo (2007), idealnya semua pengeluaran daerah dapat dipenuhi dengan PAD sehingga pemerintah daerah benar-benar bisa mandiri, tidak tergantung dari transferan pemerintah pusat lagi.

  Hasil penelitian dari Abdullah & Halim (2006) menyimpulkan bahwa pendapatan sendiri tidak berasosiasi positif terhadap Belanja Modal. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa secara teoritis PAD merupakan salah satu sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai pelayanan publik. Khusus untuk pemerintahan Indonesia, prosentasenya kecil yaitu 5-7% dari total penerimaan daerah digunakan untuk Belanja Modal. Ardhani & Handayani (2011), Jiwatami (2013) dan Wandira (2013) menyatakan hal yang sama yaitu mendukung hasil penelitian bahwa kemandirian daerah tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Berdasarkan pemaparan di atas hipotesis pertama(H

  1 )adalah PAD merupakan faktor penentu pengalokasian BM

  Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (UU No. 33 Tahun 2004).Besarnya realisasi Dana Bagi Hasil (DBH), yang terdiri dari DBH pajak dan DBH Sumber Daya dibagihasilkan, juga tergantung kepada peraturan perundang-undangan mengenai besarnya persentase bagian daerah penghasil.

  Penelitian yang dilakukan oleh Wandira (2013) menemukan bukti empiris bahwa DBH berpengaruh positif terhadap belanja modal pada seluruh provinsi di Indonesia untuk data pengamatan tahun 2012. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Jiwatami (2013) juga menyimpulkan hal yang sama yaitu DBH berpengaruh positif terhadap belanja Modal.Berdasarkan pemaparan di atas hipotesis kedua (H

  2 ) adalah DBHmerupakan faktor penentu pengalokasian BM.

  Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (UU No. 33 Tahun 2004).

  Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 26% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

  Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan oleh kebutuhan Daerah (fiscal needs) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada.

  Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif. Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB.

  Distribusi alokasi DAU per daerah dipengaruhi oleh data kebutuhan fiskal daerah, yang secara umum mengindikasikan perkiraan besarnya kebutuhan anggaran yang diperlukan oleh daerah dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Indikator dalam perhitungan kebutuhan fiskal, secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu indikator kependudukan dan indikator kewilayahan. Indikator kependudukan terbagi menjadi tiga indikator yaitu indeks penduduk (IP), indeks pembangunan manusia (IPM), dan indeks PDRB per Kapita. Sementara indeks kewilayahan terbagi menjadi dua komponen yaitu indeks luas wilayah (IW), dan indeks kemahalan konstruksi (IKK). Dalam pengalokasian DAU ke daerah setiap tahun, Pemerintah dan DPR sepakat untuk memberikan bobot dalam bentuk persentase untuk setiap indeks penduduk, IPM, PDRB per Kapita, IW, dan IKK. IKK merupakan data kewilayahan yang telah mengakomodasi tingkat kemahalan yang disebabkan oleh akses transportasi pada daerah-daerah kepulauan dan terpencil. Data IKK ini merupakan hasil perhitungan oleh BPS, terkait dengan aspek kemahalan bahan bangunan dengan mempertimbangkan intensitas pemakaian bahan bangunan menurut jenisnya di seluruh daerah. IKK yang digunakan dalam formula DAU, adalah IKK setiap daerah yang telah dibagi dengan rata-rata nilai IKK seluruh daerah.

  DAU merupakan dana transfer yang bersifat block grant. Alokasi penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai prioritas daerah yang idealnya dialokasikan untuk belanja yang berimplikasi meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat.

  Prakoso (2004) memperoleh temuan empiris yang menunjukkan bahwa jumlah belanja modal dipengaruhi oleh DAU yang diterima dari pemerintah pusat. Hasil penelitan Adi & Harianto (2007) semakin memperkuat kecenderungan ini. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat yaitu transfer DAU menjadi semakin tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Maimunah (2008), penelitian Darwanto & Yustikasari (2007), penelitian Christy & Adi (2009), penelitian Andirfa (2009), menyimpulkan DAU berpengaruh positif terhadap Belanja Modal.

  Yudani (2008) menemukan bukti empiris yang berbeda bahwa DAU tidak menyatakan DAU berpengaruh negatif terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah di Indonesia, hal ini disebabkan oleh DAU yang merupakan blok grant alokasinya cenderung bukan untuk pembangunan infrastruktur daerah. Berdasarkan pemaparan di atas hipotesis ketiga (H

  3 ) dalam penelitian ini adalah DAU merupakan faktor penentu alokasiBM.

  Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN yang merupakan urusan Daerah. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. (1) Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. (2) Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. (3) Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian Negara/departemen teknis.Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping dianggarkan dalam APBD. Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.

  Hasil penelitian Jiwatami (2013) menemukan bukti empiris bahwa DAK berpengaruh negatif terhadap alokasi belanja Modal. DAK bersifat special grant, dimana peruntukannya untuk pembangunan yang sudah ditentukan dari pusat, sehingga realisasinya merupakan realisasi belanja modal. Namun Miharabi (2013) menemukan bukti empiris bahwa DAK berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal pada kabupaten/kota di Sumatera Utara, dan Wandira (2013) menemukan bukti empiris bahwa DAK berpengaruh positif terhadap BM pada seluruh provinsi di Indonesia dengan pengamatan hanya pada tahun 2012, dengan memperhitungkan DKI Jakarta sebagai objek penelitian.Berdasarkan pemaparan di atas hipotesis keempat (H4) adalah DAK merupakan faktor penentu alokasi BM.

  Jiwatami (2013) dalam kurun waktu 2009-2012 menemukan bahwa pengeluaran belanja pegawai pemerintah kabupaten/kota dirata-ratakan per provinsi adalah 50,9%, dengan belanja pegawai 20 provinsi di atas rata-rata, dan 12 provinsi dibawah rata-rata. Disisi lain besaran belanja modal kabupaten/kota rata-rata hanya 24,1% dari total belanja. Formasi PNS merupakan pemicu membengkaknya belanja pegawai pada anggaran pemerintah daerah. Martowardojo (2011) menjelaskan bahwa termasuk pemerintah daerah dapat melakukan restrukturisasi organisasi sehingga dapat melakukan pengendalian belanja pegawai yang semakin meningkat setiap tahunnya.

  Hasil penelitian LPEM FEUI bekerja sama dengan Kementerian Keuangan tahun 2010 mengenai hubungan antara Dana Perimbangan dan Belanja Modal menyimpulkan bahwa terdapat korelasi negatif antara belanja pegawai dengan belanja modal. Jiwatami (2013) meneliti mengenai pengaruh belanja pegawai terhadap belanja modal yang menggunakan data 445 kabupaten/kota dengan data time series selama lima tahun dari tahun 2008 sampai tahun 2012 menyimpulkan bahwa belanja pegawai mempunyai pengaruh signifikan terhadap belanja modal namun dengan arah yang negatif. Darmayasa (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Belanja Pegawai berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal namun dengan arah yang negatif, hasil penelitian ini senada dengan penelitian Jiwatami. Berdasarkan pemaparan di atas hipotesis kelima (H5) adalah Belanja Pegawaimerupakan faktor penentualokasi BM.

  Metoda Riset

  Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, dimana data yang diperoleh diwujudkan dalam bentuk angka dan analisisnya menggunakan statistik. Penelitian ini merupakan penelitian sampel. Populasi dalam penelitian ini adalah semua provinsi di Indonesia, teknik sampel yang digunakan adalah purposive sampling, dimana kriteria yang telah ditetapkan adalah data yang lengkap sesuai dengan variabel yang diteliti selama tahun pengamatan. Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki dana DAK dan Provinsi Kalimantan Utara baru terbentuk pada 25 Oktober 2012 sehingga tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Jumlah keseluruhan provinsi di Indonesia adalah 34 provinsi, sehingga total sampel adalah 32 provinsi. Data time series yang diamati adalah data tiga tahun yaitu tahun 2011 – 2013 sehingga total sampel adalah 96 data amatan.

  Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan data realisasi Belanja Modal, PAD, Dana Bagi Hasil, DAU, DAK, dan Belanja Pegawai pada 32 provinsi di Indonesia tahun 2011 sampai dengan tahun 2013. Kecenderungan data dari tahun 2011 sampai tahun 2013 adalah PAD mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun peningkatan tersebut lebih terserap untuk Belanja Pegawai dari pada Belanja Modal. Data bersumber dari publikasi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Rebublik Indonesia (DJPK-RI). Variabel dalam penelitian ini Dana Bagi Hasil (X

  2 ), DAU (X 3 ), DAK (X 4 )dan Belanja Pegawai (X 5 ), variabel terikat adalah Belanja Modal (Y).

  PAD (X

  1 ), adalah realisasi Pendapatan Pajak Daerah, Pendapatan Retribusi

  Daerah, Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain- lain PAD yang sah. Dana Bagi Hasil (X ), adalah realisasi dana perimbangan yang

  2

  bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada pemerintah provinsi. DAU (X

  3 ),

  adalah transfer pemerintah pusat kepada daerah yang ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscal capacity). DAK (X ), adalah realisasi alokasi

  4

  danaDAK kepada pemerintah provinsisesuai dengan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.Belanja Pegawai (X

  5 ), adalah

  realisasi Belanja Pegawai Daerah untuk semua pembayaran berupa uang tunai yang dibayarkan kepada pegawai daerah otonom. Belanja Modal (Y), adalah realisasi Belanja Tanah, Belanja Peralatan dan Mesin, Belanja Gedung dan Bangunan, Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan, Belanja Tetap Lainnya, dan Belanja Lainnya.

  Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif untuk menggambarkan variabel bebas dan terikat secara keseluruhan. Pengujian hipotesis menggunakan uji F dan uji t dengan alat analisis regresi data panel (pooled data) dengan Software SPSS for windows versi 22.

  Analisis Data Dan Pembahasan

  Variabel-variabel bebas dalam penelitian ini adalah PAD, DBH, DAU, DAK dan Belanja Pegawai, sedangkan varibel terikat adalah Belanja Modal. Hasil uji statistik deskriptif disajikan dalam Tabel 1.

  Tabel 1 Statistik Deskriptif

  N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Pendapatan Asli Daerah 96 80678,00 9882025,00

  1726456,041

  7 2205787,4342

  7 Dana Bagi Hasil 96 23983,00 5900088,00 562061,2187 915311,67104 Dana Alokasi Umum 96 51447,00 1889268,00 825451,2604 332581,99220 Dana Alokasi Khusus 96 ,00 133897,00 45508,7083 20821,88949 Belanja Pegawai

  96 133839,0

  1729963,00 589082,6146 371822,07618 Belanja Modal

  96 112528,0

  3441906,00 694658,3750 581421,44117 Valid N (listwise)

  96 Sumber: Output SPSS (dalam jutaan rupiah) Dari Tabel 1, dapat diketahui gambaran distribusi data sebagai berikut :mean

  (purata) dari PAD adalah 1,7triliun, dengan deviasi standar sebesar 2,2trilun. Mean dari DBH adalah 562 Milyar, dengan deviasi standar sebesar 915 Milyar. Mean dari DAU adalah 825 Milyar, dengan deviasi standar sebesar 332 Milyar. Mean dari DAK adalah

  45 Milyar, dengan deviasi standar sebesar 20 Milyar.Mean dari BP adalah 589 Milyar, dengan deviasi standar sebesar 371 Milyar. Mean dari Belanja Modal adalah 694 Milyar dengan simpangan baku sebesar Rp. 581 Milyar. Nilai minimum dari Belanja Modal adalah 112 Milyar (Provinsi Gorontalo) sedangkan Belanja Modal yang paling tinggi adalah sebesar 3,4triliun (Provinsi Kalimantan Timur).

  Sebelum dilakukan pengujian dengan regresi berganda, dilakukan pengujian asumsi klasik terlebih dahulu. Hasil pengujian asumsi klasik menunjukkan model terbebas dari gejala asumsi klasik. Hasil pengujian hipotesis 1 sampai dengan hipotesis 5 disajikan pada Tabel 2, Tabel 3, dan Tabel 4.

  Tabel 2 Uji Statistik t t Sig.

  Standardized Model Unstandardized Coefficients

  Coefficients B Std. Error Beta 1 (Constant) 38493,330 88856,580 ,433 ,666

  Pendapatan ,005 ,026 ,021 ,208 ,835

  Asli Daerah Dana Bagi

  ,594 ,043 ,935 13,677 ,000 Hasil Dana Alokasi

  ,378 ,155 ,216 2,447 ,016 Umum Dana Alokasi

  • ,010 1,688 ,000 -,006 ,996 Khusus Belanja ,002 ,181 ,001 ,011 ,991

  Pegawai

  a. Dependent Variable: Belanja Modal

  Hipotesis 1: PAD merupakan faktor penentu pengalokasian BM

  Hasil pengujian statistik menemukan bahwa variabel PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Hasil penelitian ini berlainan dengan hasil penelitian sebelumnya (Maimunah, 2008; Darwanto & Yustikasari, 2007; Andirfa, 2009; Yudani, 2008; Kusnandar & Siswantoro, 2012; Darmayasa, 2014). Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh data yang digunakan dalam penelitian diatas adalah data kabupaten dan kota di Indonesia dengan penelitian masing-masing regional.

  Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Yudani (2008), Jiwatami (2013) dan Wandira (2013). Kontribusi alokasi PAD terhadap alokasi BM hanya sebesar 0,021. Hipotesis 1 (H

  1 ) :PAD merupakan faktor penentu pengalokasian BM, hasil penelitian

  menunjukkan bahwa PAD memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan terhadap BM. Hasil ini menolak hipotesis pertama.

  Alasan lain mengapa PAD tidak berpengaruh (bukan merupakan faktor penentu) terhadap alokasi belanja modal pada provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 2011- 2013 adalah adanya masalah keagenan (agency problem) antara pihak eksekutif yaitu pemerintah provinsi yang mengajukan anggaran untuk disetujui, dan pihak legislatif. Hal ini penting menjadi perhatian pemerintah mengenai prioritas alokasi belanja modal dari PAD mengingat prosentase PAD terhadap total PAD cukup tinggi 41 % untuk tahun pengamatan 2011-2013.

  Hipotesis 2: DBH merupakan faktor penentu pengalokasian BM

  Hasil pengujian hipotesis kedua membuktikan bahwa DBH berpengaruh positif yang signifikan terhadap alokasi belanja modal. DBH merupakan faktor penentu pengalokasian belanja modal pada pemerintah provinsi untuk tahun amatan 2011-2013. Hasil pengolahan data menunjukkan koefisien 0,935 terhadap belanja modal, DBH yang diterima oleh pemerintah provinsi benar-benar dialokasikan pada APBD untuk belanja modal.

  Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Jiwatami (2013) dan penelitian Wandira (2013) dimana mereka menemukan bahwa DBH berpengaruh positif yang signifikan terhadap alokasi belanja modal. Hipotesis 2 (H

  2 ) :DBH merupakan

  faktor penentu pengalokasian BM, hasil penelitian menunjukkan bahwa DBH memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap BM. Hasil ini menerima hipotesis kedua.

  Hipotesis 3: DAU merupakan faktor penentu alokasi BM Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan variabel bebas DAU memiliki nilai Sig.

  lebih kecil dari tingkat signifikansi 0,05 yaitu sebesar 0,016 hal ini berarti pengaruh DAU berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Hasil pengolahan data menunjukkan nilai standardized coefficients Dana Alokasi Umum (0,216).

  Hasil pengolahan data menunjukkan DAU berpengaruh signifikan positif terhadap BM pada provinsi di Indonesia. Setiap kenaikan DAU sebesar 1 satuan mampu meningkatkan BM sebesar 0,216 satuan. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dari Prakoso (2004), Adi & Harianto (2007), Maimunah (2008), Darwanto & Yustikasari (2007), Christy & Adi (2009), dan Andirfa (2009). DAU bersifat block

  

grant , namun untuk tahun amatan 2011-2013 pemerintah provinsi di Indonesia benar-

  benar telah mengalokasikan DAU untuk belanja modal yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dapat disimpulkan DAU merupakan faktor penentu alokasi belanja modal untuk tahun 2011-2013.

  Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Yudani (2008), Jiwatami (2013) dan Wandira (2013). Kontribusi alokasi DAU terhadap BM sebesar 0,216. Hipotesis 3 (H ) :DAU merupakan faktor penentu alokasi BM, hasil penelitian

  3 menunjukkan bahwa DAU memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap BM.

  Hasil ini menerima hipotesis ketiga.

  Hipotesis 4: DAK merupakan faktor penentu alokasi BM

  Hasil pengujian hipotesis keempat membuktikan bahwa DAKtidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. DAK bukan merupakan faktor penentu pengalokasian belanja modal pada pemerintah provinsi untuk tahun amatan 2011-2013. Hasil pengolahan data menunjukkan koefisien 0,000 terhadap belanja modal, DAK yang diterima oleh pemerintah provinsi pada APBD sangat kecil dialokasikan untuk belanja modal.

  Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian,namun hasil penelitian Miharabi (2013) dan wandira (2013) menemukan bahwa DAK berpengaruh positif terhadap BM. Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian Jiwatami (2013) yang menemukan bukti empiris bahwa DAK berpengaruh negatif terhadap alokasi belanja Modal.

  Alasan utama yang menyebabkan DAK tidak berpengaruh terhadap BM adalah kecilnya DAK yang diterima oleh pemerintah provinsi di Indonesia, yaitu hanya sebesar 1 % terhadap total APBD. Jumlah BM yang yang bersumber dari DAK hanya sebesar 7 % sehingga dapat disimpulkan walaupun DAK merupakan special grant, untuk pembangunan infrastruktur namun karena prosentasenya kecil bukan merupakan faktor penentu alokasi belanja modal untuk tahun pengamatan 2011-2013.

  Hipotesis 4 (H

  4 ) :DAK merupakan faktor penentu alokasi BM, hasil penelitian

  menunjukkan bahwa DAKtidak berpengaruh signifikan terhadap BM. Hasil ini menolak hipotesis keempat.

  Hipotesis 5: Belanja Pegawai merupakan faktor penentu alokasi BM

  Hasil pengolahan data menunjukkan Belanja Pegawai berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap BM pada 32 provinsi di Indonesia. Hasil penelitian ini bertentangandengan hasil penelitian Jiwatami (2013), dan Darmayasa (2014). Koefisien belanja pegawai sangat kecil terhadap BM yaitu hanya sebesar 0,001, sehingga belanja pegawai bukan merupakan faktor penentu dalam pengalokasian belanja modal. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya disebabkan oleh perbedaan objek penelitian yaitu penelitian sebelumnya pada kabupaten dan kota di Indonesia sedangkan dalam penelitian ini pada provinsi di Indonesia. Prosentase belanja pegawai pada provinsi di Indonesia hanya 16 % terhadap total APBD sedangkan pada kabupaten kota diatas 40 % dari total pengeluaran daerah (Jiwatami, 2013).Hipotesis 5 (H

  5 ) : analisis menunjukkan bahwa Belanja Pegawai tidakberpengaruh signifikan terhadap BM. Hasil ini menolak hipotesis kelima.

  Pengaruh Simultan

  Pengujian pengaruh variabel-variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat disajikan dalam Tabel 3 Tabel 3

  Uji Statistik F

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

b

  1 Regression 26222396000236,590 5 5244479200047,318 80,103 ,000 Residual 5892438764241,914 90 65471541824,910 Total 32114834764478,504

95

a.

  Dependent Variable: Belanja Modal b. Predictors: (Constant), Belanja Pegawai, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah Uji statistik F pada Tabel 3 digunakan untuk mengetahui sejauh mana variabel- variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terdadap variabel terikat. Hasil uji statistik F pada tabel diatas untuk menguji pengaruh PAD, DBH, DAU, DAK, dan Belanja Pegawai yang mempunyai F hitung sebesar 88,103 dengan nilai signifikansi 0,000 yang berarti PAD, DBH, DAU, DAK, dan Belanja Pegawai berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.

  Koefisien Determinasi

  Koefisien determinasi akan disajikan dalam Tabel 4.

  Tabel 4 Model Summary

  Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate 1 ,904

  a

  ,817 ,806 255874,07416 a. Predictors: (Constant), Belanja Pegawai, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah b.

  Dependent Variable: Belanja Modal Dari Tabel 4 diketahui besarnya koefisien determinasi (Adjusted R Square) adalah sebesar 0,806. Hal ini berarti 80 % variabel Belanja Modal dapat dijelaskan oleh

  Variabel PAD, DBH, DAU, DAK, dan Belanja Pegawai, sedangkan 20% dijelaskan oleh sebab-sebab lain diluar model penelitian.

  Simpulan, Keterbatasan, Dan Implikasi Simpulan

  Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor penentu alokasi Belanja Modal dalam APBD Pemerintah Provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 2011-2013. Berdasakan hasil uji empiris yang telah dilakukan, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

  1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki hubungan yang positif dengan alokasi belanja modal namun tidak berpengaruh secara signifikan. Rata-rata tertimbang perbandingan antara PAD dengan total ABPD adalah 41 %, termasuk kategori cukup tinggi, namun belum mampu mempengaruhi porsi belanja modal pemerintah provinsi. Adanya masalah keagenan antara pihak eksekutif dengan pihak legislatif sangat menentukan alokasi belanja modal dalam APBD, PAD bukan merupakan faktor penentu alokasi BM.

  2. Dana Bagi Hasil (DBH) memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal pemerintah provinsi. Alokasi DBH dalam ABPD provinsi ditentukan oleh kebijakan pemerintah provinsi. Dalam kurun waktu 2011- 2013 DBH terbukti digunakan untuk membangun infrastruktur daerah, DBH merupakan faktor penentu alokasi BM.

  3. Dana Alokasi Umum (DAU) memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal pemerintah provinsi. DAU bersifat block

  grant , dimana pemerintah provinsi menggunakannya dengan tepat sasaran yaitu

  untuk pembangunan infrastruktur daerah, DAU merupakan faktor penentu alokasi BM.

  4. Dana Alokasi Khusus (DAK) memiliki hubungan yang positif namun tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal pada pemerintah provinsi.

  DAK bersifat special grant, dimana peruntukannya untuk pembangunan yang sudah ditentukan dari pusat, yang lebih diprioritaskan untuk belanja modal. Rata-rata tertimbang DAK terhadap total APBD hanya sebesar 1 % dan alokasi belanja modal dari DAK hanya 7 %, kecilnya prosentase tersebut salah satu penyebab DAK tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal pemerintah provinsi. DAK bukan merupakan faktor penentu alokasi BM.

  5. Belanja Pegawai (BP) memiliki hubungan positifnamun tidak signifikan terhadap alokasi belanja modal pada pemerintah provinsi. Rata-rata tertimbang belanja pegawai dengan total APBD hanya 14 %, sedangkanalokasi belanja modal terhadap total APBD 16 %. Belanja Pegawai bukan merupakan faktor penentu alokasi BM.

  Keterbatasan

  Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang memerlukan perbaikan dan pengembangan dalam penelitian-penelitian berikutnya, yaitu:

  1. Data penelitian hanya dari 32provinsi (tidak termasuk DKI Jakarta dan Kalimantan Utara), sehingga tidak mencerminkan kondisi Pemerintahan Daerah Republik Indonesia secara keseluruhan.

  2. Data yang digunakan hanya data sekunder data publikasi DJPK, perlu adanya tambahan data primer (kuesioner) dengan menggunakan sampel responden masyarakat daerah penelitian untuk memperoleh data yang terkait langsung dengan kesejahteraan masyarakat.

  3. Data time series hanya 3 tahun, yaitu tahun 2011-2013 diperlukan adanya tambahan data time series.

  4. Dalam peneilitian ini hanya menggunakan 5 variabel yang terkait tengan struktur anggaran dalam ABPD, diperlukan adanya tambahan variabel yang terkait lainnya.

  Implikasi

  Berdasarkan simpulan diatas, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut :

  1. Pemerintah Provinsi di Indonesia supaya lebih memperhatikan alokasi anggaran dari dana PAD, diupayakan dialokasikan lebih banyak kepada Belanja Modal yang memberikan implikasi peningkatan kesejateraan masyarakat.

  2. Pemerintah pusat diharapkan dapat meningkatkan porsi DAK kepada pemerintah provinsi sesuai dengan kriteria yang ditentukan.

  3. Pemerintah Daerah diharapkan melakukan restrukturisasi sumber daya manusia untuk menekan belanja pegawai dan lebih mengutamakan alokasi kepada belanja modal.

  

Referensi

  Abdullah, Sukriy & Abdul, Halim. 2006. Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintahan, 2 (2) : 17-32

  Adi, Priyo Hari. 2006. Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa Bali). Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik, 8 (1) : 1450 -1465.

  Adi, Priyo Hari. 2008. Relevansi Transfer Pemerintah Pusat Dengan Upaya Pajak

  nd

  Daerah (Studi pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Se Jawa). The 2 National Conference UKWMS. Surabaya, 6 September 2008. Ahmad, Waluya Jati. 2006. Peranan Pajak dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan

  Asli Daerah (Studi Pada Daerah Tingkat II Di Jawa Timur), Jurnal Humanity, 2: Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang. Ardhini, & Sri Handayani. 2011. Pengaruh Rasio Keuangan Daerah terhadap Belanja

  Modal untuk Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Keagenan (Studi Pada

  . Undergraduate Thesis, Universitas

  Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah) Diponegoro, Semarang.

  Andirfa, Mulia. 2009. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Empiris pada Kabupaten/ Kota Pemerintah Aceh), Jurnal Akuntansi, Universitas Syiah KualaDarussalam Banda Aceh.

  Christy, Fhino Andrea & Adi, Priyo Hari. 2009. Hubungan antara Dana Alokasi

  Umum, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia (IPM) , makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional UKWMS. Surabaya 10 0ktober 2009.

  Darmayasa, Nyoman. 2014. Pengaruh DAU, PAD, dan Belanja Pegawai Terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah . Simposium Nasional Akuntansi Vokasi 3.

  Padang, Politeknik Negeri Padang 12-14 Juni 2014 Darwanto & Yustikasari, Yulia. 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan

  Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi X. Makasar, Unhas 26-28 Juli

  2007. Decentralization Support Facility, Kementerian Keuangan & LPEM FEUI.

  2010.Bagaimana Hubungan antara Dana Perimbangan dengan Belanja Modal? . Dipresentasikan pada Pelatihan Analisis Data Keuangan 2010, Jakarta. Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 2014. Data Series, Data Keuangan Daerah. 4 April

  2014. http://www.djpk.depkeu.go.id/data-series/data-keuangan-daerah/setelah- ta-2006 Gan, Wang, Chen. 2005. Intergovermental Fiscal Transfer System a New Model From a Comparison Between Sweden and China . Kristianstad University. Halim Abdul & Syukriy Abdullah. 2006. Hubungan dan Masalah Keagenan di

  Pemerintah Daerah; Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi, Jurnal , 2 (1) :53-64

  Akuntansi Pemerintah Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.

  Harianto, David & Adi, Priyo Hari. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita.