HUBUNGANFAKTOR TEKNIS, ORGANISASIONAL DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU PEGAWAI PEMDATERHADAP IMPLEMENTASI SISTEM PENGUKURAN KINERJA DI PEMERINTAH DAERAH Hafiez Sofyani Alumni Magister Sains dan Doktor FEB UGM Rusdi Akbar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ABSTRA

HUBUNGANFAKTOR TEKNIS, ORGANISASIONAL DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU PEGAWAI PEMDATERHADAP IMPLEMENTASI SISTEM PENGUKURAN KINERJA DI PEMERINTAH DAERAH

Hafiez Sofyani Alumni Magister Sains dan Doktor FEB UGM Rusdi Akbar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

ABSTRACT

The purpose of this study was to examine the relationship of technical, organizational, and individual characteristics of local government officials factors toward the implementation of performance measurement systems (PMS) in local governmentwhich includes; development of performance measurement systems, performance accountability and use of performance information. In addition, this study will also investigate the institutional isomophism phenomenon that occurs related to the implementation of PMS in local government. The study was conducted in the scope of local government of Yogyakarta Special Region (DIY). The samples are echelon 4 (four) local government officials in Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) who are directly involved in the implementation of the Government Performance Accountability System (SAKIP) and reporting Accountability Reports and Government Performance (LAKIP). The study was conducted with a mixed methods research and use a two-stage sequential explanatory strategy. The first stage was hypothesis testing used Structural Equation Modeling (SEM), and the second stage was a deductive thematic analysis.

From the results of hypothesis testing, it was found that the factors that positively and significantly associated to the implementation of a PMS for the development of performance measurement systems, performance accountability and use of performance information was organizational factors namely: training and response are open to change. While, high self- efficacy and conscientiousness factors that fall into the category of the individual characteristics, of each one, associated only with development of performance measurement systems and the use of performance information. More detailed information related to the results of testing the hypothesis presented at the qualitative data analysis. Finally, the results of the qualitative analysis of the institutional isomorphism phenomenon found that each of the factors relating to the PMS will be triggered and triggering phenomena different isomorphism i.e. coercive, mimetic and normative. However, the isomorphism was happening at the local govenment still dominant at the level of coercive.

Keywords: (Technical, Organizational, and Individual Characteristics)

Factors, PMS, Institutional isomorphism.

1. PENDAHULUAN

Isu mengenai pengukuran kinerja dewasa ini mulai menjadi perhatian di lingkup organisasi sektor publik, khususnya di pemerintahan (Ittner dan Lacker, 1998). Atkinson, Waterhouse, dan Wells (1997) mengemukakan sejak tahun 1993 pemerintah di Amerika Serikat sudah memberikan prioritas utama dalam mengembangkan strategi baru terkait sistem pengukuran kinerja. Hal tersebut ditandai dari dikeluarkannya The Government Performance and Results Act of 1993 .

Di Indonesia, sistem pengukuran kinerja untuk pemerintah, baik pusat maupun daerah, mulai diatur semenjak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 1999. Jika dipandang dari segi teoritisnya, lahirnya Inpres No. 7 tahun 1999 adalah bentuk adanyaisomorpisme (Isomorphism) pemerintah Indonesia terhadap pemerintahan di negara lain yang dinilai lebih maju penyelenggaraan pemerintahannya.Isomorpismeyang sifatnya mimetik atau imitasidapat berdampak kurang baik yaknikecenderungan untuk terjebak pada pelaksanaan suatu mekanisme kerja yang sifatnya sebatas seremonial formil, bukan berorientasi pada substansi (Tolbert dan Zucker, 1983).

Selain itu, menurut Sihaloho dan Halim (2005), sebagian besar instansi pemerintah yang secara konsisten mengikuti sistem pengukuran kinerja menjadikan efisiensi bukanlah suatu ukuran kinerja yang harus dikembangkan (Tulbert dan Zucker, 1983). Hal itu mengindikasikan bahwa niat penggunaan sistem pengukuran kinerja lebih didominasi oleh tekanan luar (coercive isomorphism). Paksaan yang dilakukan bisa menimbulkan ketaatan yang semu (Gudono, 2014).Dorongan isomorfisme koersif dan mimetik inilah yang diduga menjadi awal lahirnya masalah dalam pelaksanaan sistem pengukuran kinerja di pemerintahan di Indonesia. Oleh sebab itu, Sihaloho dan Halim (2005) menyarankan agar sebelum instansi pemerintah menjalankan suatu sistem pengukuran kinerja, maka perlu untuk memperhatikan beberapa faktor internal organisasi supaya menghindari informasi hasil pengukuran kinerja menjadi “tumpukan” indikator yang tidak termanfaatkan (Swindell dan Kelly, 2002).

Berangkat dari saran dari Sihaloho dan Halim (2005) tersebut, maka penelitian ini menguji secara empiris faktor-faktor yang memengaruhiimplementasi sistem pengukuran kinerja dalam kontek pemerintah di Indonesia, khususnya di pemerintah daerah yang merupakan pengembangan dari hasil penelitianCavaluzzodan Ittner (2004); dan Julnes dan Holzer (2001). Selain menguji faktor teknis dan organisasional, penelitian ini juga menguji faktor lain yang diduga memengaruhi implementasi sistem Berangkat dari saran dari Sihaloho dan Halim (2005) tersebut, maka penelitian ini menguji secara empiris faktor-faktor yang memengaruhiimplementasi sistem pengukuran kinerja dalam kontek pemerintah di Indonesia, khususnya di pemerintah daerah yang merupakan pengembangan dari hasil penelitianCavaluzzodan Ittner (2004); dan Julnes dan Holzer (2001). Selain menguji faktor teknis dan organisasional, penelitian ini juga menguji faktor lain yang diduga memengaruhi implementasi sistem

Terakhir, berbeda dengan penelitian yang dilakukan Cavaluzzo dan Ittner (2004); dan Julnes dan Holzer (2001), penelitian ini tidak hanya fokus pada pengujian hipotesis yang didasarkan pada teori institusional, tetapi juga berupaya mengeksplorasi fenomena implementasi sistem pengukuran kinerja pemerintah daerah di Indonesia dilihat dari kaca mata teori isomorpisme institusional (DiMaggio dan Powell, 1983). Oleh karenanya, penelitian ini menggunakan pendekatan metoda riset campuran yang memungkinkan mampu menggali tujuan-tujuan penelitian yang agak rumit.

2. TINAJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1. Isomorpisme Institusional (Institutional Isomorphism)

DiMaggio dan Powell (1983) berpendapat bahwa bahwa dari waktu ke waktu, ketika mencapai taraf yang mapan, organisasi cenderung untuk bergerak ke arah keseragaman, meskipun mungkin menunjukkan keseragaman yang hanya berada pada tataran awal. Istilah terbaik untuk menggambarkan proses “keseragaman” adalah “isomorpisme”.Hawley (dikutip dari DiMaggio dan Powell, 1983) mengemukakanisomorpismeadalah proses yang memaksa satu unit dalam populasi menyerupai unit lain dalam menghadapi pengaturan yang sama dari suatu kondisi lingkungan tertentu. Menurut Meyer (1979) dan Fennell (1980), ada dua jenis isomorpisme: isomorpisme kompetitif (Competitive Isomorphism) dan isomorpisme institusional (Institutional Isomorphism)organisasi bersaing tidak hanya untuk sumber daya dan pelanggan, tetapi untuk kekuasaan legitimasi politik dan institusional, untuk kesesuaian sosial serta ekonomi.

DiMaggio dan Powell (1983) mengidentifikasi tiga mekanisme untuk perubahan institutionalisomorphic (bagaimana organisasi menyesuaikan diri). Pertama, Isomorpisme koersif; merupakan hasil dari tekanan formal maupun informal yang diberikan pada organisasi dengan organisasi lainnya dimana mereka saling bergantung dan didalamnya terdapat fungsi organisasi. Kedua, isomorpisme mimetik atau meniru- niru; terjadi ketika teknologi organisasi kurang dipahami (March dan Olsen, 1976), ketika tujuan yang ambigu, atau ketika terdapat ketidakpastian lingkungan yang simbolik, maka organisasi akan cenderung menjadikan diri mereka sebagai model yang DiMaggio dan Powell (1983) mengidentifikasi tiga mekanisme untuk perubahan institutionalisomorphic (bagaimana organisasi menyesuaikan diri). Pertama, Isomorpisme koersif; merupakan hasil dari tekanan formal maupun informal yang diberikan pada organisasi dengan organisasi lainnya dimana mereka saling bergantung dan didalamnya terdapat fungsi organisasi. Kedua, isomorpisme mimetik atau meniru- niru; terjadi ketika teknologi organisasi kurang dipahami (March dan Olsen, 1976), ketika tujuan yang ambigu, atau ketika terdapat ketidakpastian lingkungan yang simbolik, maka organisasi akan cenderung menjadikan diri mereka sebagai model yang

2.2. SAKIP dan Isomorpisme institusional

Implementasi sistem pengukuran kinerja di semua level pemerintahan di Indonesia kerap menghadapi berbagai masalah.Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya dikarenakan lahirnya Inpres No. 7 tahun 1999 sebagai peraturan yang menuntut dijalankannya SAKIP adalah bentuk isomorpisme mimetik atau upaya meniru-niru pemerintah Indonesia terhadap pemerintahan di negara lain yang dinilai lebih maju yangmengarah kepada pelaksanaan suatu mekanisme kerja yang hanya sebatas seremonial formil, bukan berorientasi pada substansi (March dan Olsen, 1976, dikutip dari DiMaggio dan Powell, 1983; Tolbert dan Zucker, 1983).Selain itu,Sihaloho dan Halim (2005)menilai bahwa niat penggunaan sistem pengukuran kinerja di sebagian besar instansi pemerintah lebih didominasi oleh tekanan luar(Tolbert dan Zucker, 1983).Hal itu memunculkan kepatuhan semu atau pelaksanaan ritual yang bertujuan agar organisasi dilihat patuh oleh lingkungan di luarnya (Gudono, 2014). Oleh karenanya, agar permasalahan yang ada dapat dimitigasi, maka perlu untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan faktor pendorong berhasilnya suatu pelaksanaan sistem pengukuran kinerja di instansi pemerintahan.

Cavaluzzo dan ittner (2004) mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhikeberhasilan implementasi sistem pengukuran kinerja terbagi menjadi dua kategori, yaitu faktor teknis, meliputi: kesulitan menentukan ukuran kinerja dan keterbatasan sistem informasi; dan faktor organisasional, meliputi: komitmen manajemen, otoritas pembuatan keputusan, dan pelatihan. Julnes dan Holzer (2001) juga mengemukakan bahwa faktor organisasional berupa respon organisasi yang terbuka terhadap perubahan serta keberadaan insentif bagi pegawai untuk menerapkan suatu sistem baru juga berdampak positif dan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.

2.3. Faktor Teknis

2.3.1. Keterbatasan Sistem Informasi dan Kesulitan Menentukan Ukuran Kinerja

Teknologi informasi adalah salah satu penopang keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Kravchuk dan Schack (1996) menyimpulkan bahwa instansi Teknologi informasi adalah salah satu penopang keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Kravchuk dan Schack (1996) menyimpulkan bahwa instansi

Upaya yang mungkin di tempuh suatu instansi pemerintah ketika menghadapi keterbatasan sistem informasi dan kesulitan dalam menentukan ukuran kinerja adalah dengan cara meniru institusi lain yang juga mendapat tuntutan yang sama.Peniruan ini disebut isomorpisme mimetik (Mizruchi dan Fein, 1999; March dan Olsen, 1976; DiMaggio dan Powell, 1983; Gudono, 2014). Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut: H1: Keterbatasan sistem informasi berhubungan negatif dengan pengembangan

sistem pengukuran kinerja (H1a), akuntabilitas kinerja (H1b), dan Penggunaan informasi kinerja (H1c).

H2: Kesulitan menentukan ukuran kinerja berhubungan negatif dengan pengembangan sistem pengukuran kinerja(H2a), akuntabilitas kinerja (H2b) dan penggunaan informasi kinerja (H2c).

2.4. Faktor Organisasional

2.4.1. Komitmen manajemen

Bansal, Irving, dan Taylor (2004) mendifinisikan komitmen sebagai kekuatan yang mengikat seseorang pada suatu tindakan yang memiliki relevansi dengan satu atau lebih sasaran. Komitmen manajemen merupakan hal yang paling penting dalam proses mendesain, mengimplementasikan, dan menggunakan sistem pengukuran kinerja. Sejalan dengan pandangan isomorpismeinstitusional, komitmen manajemen secara normatif adalah bentuk dari perjuangan kolektif anggota organisasi untuk menentukan kondisi dan metoda kerja merekauntuk tujuan yang mengarah kepada profesionalisme (Larson, 1977, Collins, 1979, dan DiMaggio, 1983). Manajemen yang memiliki perasaan bertanggungjawab yang kuat terhadap organisasi didugaakan menerapkan sistem pengukuran kinerja secara baik dan melakukan pengembangan sistem pengukuran kinerja secara baik pula. Kondisi ini kemudian memicu lahirnya fenomena yang disebut isomorpismenormatif. Berdasarkan uraian di tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

H3: Komitmen manajemen berhubungan positif dengan pengembangan sistem pengukuran kinerja (H3a), akuntabilitas kinerja (H3b) dan penggunaan informasi kinerja (H3c).

2.4..2. Otoritas pembuatan keputusan

Anderson dan Young (1999) menyatakan bahwa manajer yang memiliki otoritas dalam membuat keputusan percaya bahwa inovasi dapat mendukung aktivitas-aktivitas pembuatan keputusannya, sehingga lebih menyukai untuk mengimplementasikan dan menggunakan ukuran-ukuran kinerja.Otoritas pembuatan keputusan yang diberikan kepada pimpinan organisasi akan membuka ruang kepada para pimpinan untuk memiliki wewenang dalam menentukan kondisi, metoda kerja organisasi dan untuk mengembangkan kognitif serta melegitimasi otonomi pekerjaan mereka kepada tujuan yang mengarah kepada profesionalisme (Larson, 1977; Collins, 1979; dan DiMaggio, 1983). Kondisi ini yang kemudian memicu lahirnya fenomena isomorpismenormatif.Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut: H4: Otoritas pembuatan keputusan berhubungan positif dengan pengembangan

sistem pengukuran kinerja (H4a), akuntabilitas kinerja (H4b) dan penggunaan informasi kinerja (H4c).

2.4.3. Pelatihan

Nurkhamid (2008) menyampaikan bahwa pelatihan dapat menjadi sarana bagi para pegawai untuk memahami, menerima, dan merasakan secara nyaman atas inovasi yang hadir, serta mengurangi tekanan atau kebingungan para pegawai atas tuntutan proses implementasi suatu inovasi yang hadir. Sebagai contoh, pelatihan dalam menyusun Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah, Rencana Stratgis Pemerintah, dan Rencana Kerja Pemerintah, menentukan target kinerja suatu program, mengembangkan indikator kinerjasuatu program, menggunakan informasi kinerja suatu program dengan pencapaian tujuan strategis instansi. Dari kacamata teori isomorpismeinstitusional, pelatihan yang bersandar kepada pendidikan formal dapat menjadi faktor pendorong lahirnya isomorpismenormatif di suatu lembaga, dalam hal ini pemerintahan (Larson, 1977; Collins, 1979; DiMaggio, 1983 dan Gudono, 2014). Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut: H5: Pelatihan berhubungan positif dengan pengembangan sistem pengukuran

kinerja (H5a), akuntabilitas kinerja (H5b) dan penggunaan informasi kinerja (H5c).

2.4.4. Respon organisasi yang terbuka terhadap perubahan

Menurut Marshall (1996) dalam rangka mencapai tujuan yang ingin di capai oleh suatu organisasi maka organisasi tersebut memerlukan perubahan budaya dari yang tradisional menuju budaya modern. Dalam organisasi pemerintah di Indonesia, perubahan budaya organisasi mulai terjadi secara besar-besaran pasca era-reformasi dan salah satunya melahirkan Inpres No.7 tahun 1999. Namun, sikap organisasi dalam menjalankan Inpres No.7 tahun 1999 bisa saja didorong oleh tekanan dari pemerintah pusat maupun dari sumber lainnya, atau dengan istilah lain disebabkan oleh fenomena isomorpismekoersif. Alasan untuk menjalankan Inpres No.7 tahun 1999 bisa juga didorong oleh peniruan lembaga lain yang juga mendapat mandat yang sama agar dilihat patuh oleh lingkungan di luarnya (March dan Olsen, 1976; DiMaggio dan Powell, 1983; Gudono, 2014).

Oleh karenya, amanat inpres No. 7 tahun 1999 hanya akan berjalan dengan berhasil jika organisasi pemerintah selaku pengemban amanat mau menerima perubahan budaya organisasi tersebut secara terbuka. Sikap yang terbuka tersebut diharapkan akan menggiring organisasi untuk menjalankan SAKIP secara baik. Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan Julnes dan Holzer (2001) bahwa perilaku (attitude) anggota organisasi dalam merespon perubahan berpengaruh positif terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

H6: Respon organisasi yang terbuka terhadap perubahan berhubungan positif dengan pengembangan sistem pengukuran kinerja (H6a), akuntabilitas kinerja (H6b) dan penggunaan informasi kinerja (H6c).

2.4.5. Insentif

Julnes dan Holzer (2001) mengemukakan bahwa respon organisasi terhadap suatu perubahan juga berkaitan dengan adanya insentif. Simons (2000) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mendorong orang agar bekerja sesuai dengan tujuan organisasi adalah melalui insentif formal berupa reward atau pembayaran yang dharapkan untuk memotivasi kinerja. oleh karenanya, peran insentif keuangan merupakan elemen penting dalam desain kebanyakan sistem pengukuran kinerja. Adanya insentif diharapkan akan mengarahkan para pegawai kepada profesionalisme kerja yang semakin meningkat, khususnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan sistem pengukuran kinerja. Ujung dari kebijakan insentif adalah agar implementasi sistem Julnes dan Holzer (2001) mengemukakan bahwa respon organisasi terhadap suatu perubahan juga berkaitan dengan adanya insentif. Simons (2000) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mendorong orang agar bekerja sesuai dengan tujuan organisasi adalah melalui insentif formal berupa reward atau pembayaran yang dharapkan untuk memotivasi kinerja. oleh karenanya, peran insentif keuangan merupakan elemen penting dalam desain kebanyakan sistem pengukuran kinerja. Adanya insentif diharapkan akan mengarahkan para pegawai kepada profesionalisme kerja yang semakin meningkat, khususnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan sistem pengukuran kinerja. Ujung dari kebijakan insentif adalah agar implementasi sistem

(H5a), akuntabilitas kinerja (H5b) dan penggunaan informasi kinerja (H5c).

2.5. Faktor Karakteristik Individu 2.5.1.Self efficacy

Self efficacy diturunkan dari teori Kognitif sosial (Social cognitive theory) yang pertama kali dikemukakan oleh Bandura (1986). Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi akan mencurahkan semua perhatiannya untuk mencapai tujuan tertentu dari suatu tugas (Lee &Bobko, 1994). Dengan demikian, individu yang memiliki self efficacy tinggi beprotensi menjalankan sistem pengukuran kinerja sebagai suatu amanat yang harus dilakukan sebaik mungkin dan seperti yang seharusnya demi mempertahankan profesionalismenya. Hal ini sejalan dengan pandangan isomorpismeinstitusional bahwa isomorpismenormatif terkait dengan profesionalisme (Larson, 1977; Collins, 1979). Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut: H8: Self efficacy yang tinggi dari pegawai pemerintah berhubungan positif dengan

pengembangan sistem pengukuran kinerja (H8a), akuntabilitas kinerja (H8b) dan penggunaan informasi kinerja (H8c).

2.5.2. KeperibadianConscientiousness

Conscientiousness (di referensi lain disebut dengan “intellect”) adalah karakter individu yang memiliki kemampuan menghindari masalah dan mencapai level kesuksesan yang tinggi melalui perencanaan yang penuh tujuan dan ketekunan (McRae dan Costa, 1986, dikutip dari Guadagno dkk., 2007). Selain itu, individu conscientiousness juga identik dengan karakter yang memiliki rasionaltas, kedisiplinan, kehati-hatian, suka menganalisis, dapat menentukan tindakan, mengadopsi opini, dan cenderung menggunakan informasi yang tersedia untuk membuat kesimpulan atau sebagai dasar pengambilan keputusan yang dimiliki (Korzaan dan Boswell, 2008; McRae dan Costa, 1986). Karakter-karakter individu conscientiousness memiliki potensi untuk mengarahkan tindakan individu tersebut kepada pola perilaku normatif terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

H9: Conscientiousness berhubungan positif dengan pengembangan sistem pengukuran kinerja (H9a), akuntabilitas kinerja (H9b) dan penggunaan informasi kinerja (H9c).

2.5.3. Keperibadian Opennes to Experience

Opennes to experience menggambarkan sebuah dimensi kepribadian yang imajinatif, menyukai sesuatu yang bervariasi, dan bebas (McRae dan Costa, 1986, dikutip dari Guadagno dkk., 2007). McElroy dkk (2007) menyatakan bahwa orang dengan tipikal opennes to experience memiliki keingintahuan dan kesediaan seseorang untuk mengeksplorasi suatu ide baru. Individu yang terbuka cenderung untuk menemukan ide-ide baru, mendapatkan nilai-nilai luar biasa, dan sepenuh hati mempertanyakan otoritas.

Sifat imajinatif, kreatif, dan memiliki keinginan intelektual tinggi yang dimiliki individu dengan tipikal opennes to experience (Korzaan dan Boswell, 2008; McRae dan Costa, 1986)akan mungkin untuk mengarahkan tindakan individu tersebut kepada keinginan melaksanakan sistem pengukuran kinerja secara baik dan profesional dan tidak hanya sebatas tuntutan administratif saja. Profesionalisme adalah sumber dari munculnya isomorpismenormatif (Larson, 1977; Collins, 1979; DiMaggio, 1983). Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

H10: Opennes to experience berhubungan positif dengan pengembangan sistem pengukuran kinerja (H10a), akuntabilitas kinerja (H10b) dan penggunaan informasi kinerja (H10c).

2.5.4. Kesesuaian Tugas dengan Kompetensi Pendidikan

Meister (1998) mengemukakan bahwa kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, tindakan atau perilaku, dan pola pikir yang secara reliabel membedakan antara seseorang dengan orang lain khususnya dalam hal pencapaian kinerja.Oleh karenya, keberhasilan suatu penugasan akan dipengaruhi oleh pengetahuan atau kompetensi pendidikan dari seseorang yang melaksanakan tugas tersebut. Kompetensi yang diperoleh dari pendidikan formal merupakan salah satu dari sumber penting isomorpisme normatif (Larson, 1977; Collins, 1979; DiMaggio, 1983; Gudono, 2014).

Dalam konteks penelitian ini, individu yang memiliki latar belakang pendidikan di sektor publik, khususnya pemerintahan, ataupun pendidikan yang sesuai dengan tugas dan jabatan yang diemban, dinilai lebih mampu menjalankan konsep sistem pengukuran kinerja daripada kondisi sebaliknya.Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

H11: Kesesuaian tugas dengan kompetensi berhubungan positif dengan pengembangan sistem pengukuran kinerja(H11a), akuntabilitas kinerja (H11b) dan penggunaan informasi kinerja (H11c).

2.6. Pengembangan kinerja, akuntabilitas kinerja, dan penggunaan informasi kinerja

Berbagai literatur mengenai pengukuran kinerja menyebutkan bahwa ketersediaan laporan informasi kinerja yang berorientasi hasil akan dapat meningkatkan akuntabilitas kinerja dan penggunaan informasi kinerja untuk mendukung pembuatan keputusan di suatu organisasi (Artley, 2001; The Urban Institute, 2002). Sedangkan Kloot (1999) menyampaikan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi peningkatan penggunaan informasi kinerja adalah informasi kinerja yang dihasilkan dari implementasi sistem pengukuran kinerja suatu organisasi. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut: H12: Pengembangan sistem pengukuran kinerja berhubungan langsung secara positif

terhadap akuntabilitas kinerja(H12a) dan penggunaan informasi kinerja (H12b)sertaberhubungan tidak langsung secara positif terhadap penggunaan informasi kinerja melalui akuntabilitas kinerja(H12c).

2.7. Desain Penelitian

Desain penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1:

Masukkan Gambar 1.

3. METODA PENELITIAN

3.1. Populasi dan Sampel

Penelitian dilakukan di Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Objek penelitian adalah Instansi Pemerintah Daerah (Dinas, Badan, dan Kantor). Metoda pemilihan sampel adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu, yakni: pejabat minimal eselon 4 (empat) di masing–masing SKPD (Sihaholo dan Halim, 2005; Nurkhamid, 2008).

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer melalui penyebaran angket kuesioner dan wawancara kepada responden dengan metoda Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer melalui penyebaran angket kuesioner dan wawancara kepada responden dengan metoda

3.3. Alat Analisis

Penelitian ini akan melakukan dua tahap analisis, pertama; analisis data menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS), yakni teknik Structural Equation Modeling (SEM) berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan pengujian model pengukuran sekaligus pengujian model struktural (Hartono dan Abdillah, 2009). Kedua; analisis data dengan teknik analisis tematik deduktif (Braun dan Clarke, 2006).

3.4. Tahapan dan Teknik Analisis Data Kuantitatif

Berikut langkah–langkah pengujian hipotesis dengan menggunakan PLS:

1) Merancang Model Struktural (Inner Model), digunakan untuk memprediksi hubungan kausalitas antar konstruk (variabel laten).

2) Evaluasi Model Struktural (Inner Model), untuk menilai seberapa baik model yang diajukan untuk memprediksi konstruk yang diukur.

3) Merancang Model Pengukuran (Outer Model) dan Konstruksi Diagram Jalur.

4) Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model) dengan indikatoruji validitas dan uji reliabilitas.

5) Pengujian Hipotesis,dilakukan dengan membandingkan nilai T-table dengan nilai T-statistics yang dihasilkan dari proses bootstrap.

3.5. Teknik Analisis Kualitatif

Menurut Creswell (2010), ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam menganalisis data kualitatif, yakni mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis dengan membuat transkrip wawancara yang disesuaikan dari sumber informasi. Dalam penelitian ini, responden yang akan diwawancarai dipilih berdasarkan tujuan penelitian, yakni mengkaji fenomenaisomorpisme apa yang dominan di instansi pemerintah; paksaan, imitasi, atau normatif.

3.6. Definisi Operasional dan Instrumen Pengukuran Variabel

Definisi Operasional dan Instrumen Pengukuran Variabel dapat dilihat di tabel berikut:

Masukkan tabel 1.

4. HASIL

4.1. Pilot Study

Untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen, kuesioner terlebih dahulu diujicobakan (pilot) kepada 31 responden diluar sampel penelitian pada tanggal 15 Maret 2014. Para responden tersebut adalah para pegawai pemda yang sedang menempuh kuliah di Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (MEP UGM). Hasil pilot study menunjukkan bahwa nilai AVE dan Communality masing-masing > 0,5 dan mendekati 0,5. Nilai Composite Reliability masing-masing > 0,6Hasil dari pilot study ini juga menunjukkan bahwa nilai crossloading > 0,4.Disamping itu, nilai crossloading tertinggi berada pada konstruk yang dituju dibandingkan dengan nilai yang ada pada konstruk lainnya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pertanyaan–pertanyaan dalam penelitian ini valid dan reliabel, sehingga layak digunakan lebih lanjut.

4.2. Gambaran Umum Responden

Berikutrincian profil responden danresponse rate dan usable response rate berdasarkan hasil penyeberan angket kuesioner:

Masukkan Tabel 2. Masukkan Tabel 3.

4.3. Analisis Kuantitatif

4.3.1. Non-Response Bias

Pengumpulan data dari kuesioner yang telah disebarkan memerlukan waktu sekitar 2 (dua) minggu. Sehingga, untuk memastikan tidak ada jawaban yang bias, maka 60 respon akhir (minggu kedua) dibandingkan dengan tanggapan sebelumnya yaitu sebesar 59 respon awal (minggu pertama) menggunakan Mann-Whitney Test (Field, 2009 dikutip dari Akbar dkk. 2012). Dari ringkasan hasil Mann-Whitney Test dapat disimpulkan bahwa semua variabel yang digunakan antara tanggapan awal dan akhir tidak berbeda signifikan secara statistik [Asymp. Sig. (2-tailed)lebih besar daripada 5 persen].

Masukkan Tabel 4.

Selain itu, untuk memastikan tidak ada perbedaan jawaban responden antar wilayah, dilakukan Kruskal Wallis Test, yakni uji nonparametrik yang digunakan untuk membandingkan tiga atau lebih kelompok data sampel secara bersamaan (Supangat, 2007). Dari hasil Kruskal Wallis Test, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan Selain itu, untuk memastikan tidak ada perbedaan jawaban responden antar wilayah, dilakukan Kruskal Wallis Test, yakni uji nonparametrik yang digunakan untuk membandingkan tiga atau lebih kelompok data sampel secara bersamaan (Supangat, 2007). Dari hasil Kruskal Wallis Test, dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan

Masukkan Tabel 5.

4.3.2. Evaluasi Model Pengukuran

4.3.2.1. Validitas konvergen, validitas diskriminan, dan uji reliabelitas

Dari tabel 6 dapat disimpulkan bahwa validitas konvergen semua konstruk variabel terpenuhi karena nilai AVE dan communality lebih dari 0,5. Artinya, probabilitas indikator di suatu konstruk masuk ke variabel lain lebih rendah (kurang 0,5).Sehingga, probabilitas indikator tersebut konvergen dan masuk di konstruk yang dimaksud lebih besar, yaitu di atas 0,5 atau 50%. Meskipun idealnya skor AVE >0,5, namun skor >0,4 masih diberi toleransi (Lai dan Fan, 2008; Vinzi dkk., 2010).Untuk uji validitas diskriminan, parameter yang diukur adalah dengan melihat skor cross loading. Pada tabel 7,dapat disimak bahwa masing–masing indikator di suatu konstruk di dalam model pengukuran telah memenuhi syarat validitas diskriminan karena masing–masing indikator di suatu konstruk berbeda dengan indikator di konstruk lain dan mengumpul pada konstruk yang dimaksud dengan skor > 0,6.

Masukkan Tabel 6.

Uji reliabelitas yang ditunjukkan olehskorComposite Reliability dan Crombach Alpha juga mengindikasikan bahwa semua konstruk memenuhi syarat yakni memiliki nilai >0,6, kecuali variabel Komitmen Manajemen (KM) yang nilai skor Crombach Alpha- nya rendah yakni0,379981.Dengan demikian, konstruk-konstruk penelitian, selain konstruk KM (Komitmen Manajemen), merupakan konstruk yang valid karena telah memenuhi kriteria validitas konvergen dan diskriminan serta dapat diandalkan (reliabel), sehingga layak digunakan untuk pengujian hipotesis.

Masukkan Tabel 7.

4.3.2.2. Evaluasi Model Struktural

Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R 2 (R-Square) untuk konstruk dependen. Dari tabel 6 nilai R 2 untuk konstruk AKT (Akuntabilitas),PIK (Penggunaan

Informasi Kinerja) dan PSPK (Pengembangan Sistem Pengukuran Kinerja) dengan nilai antara 0,33 sampai 0,66berada pada level moderate(Chin, 1998, dikutip dari Henseler, 2009).

4.3.3. Pengujian Hipotesis

Untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka dilakukan pengujian model struktural dengan memakai fungsi Bootstraping dalam PLS. Berikut ringkasan hasil pengujian hipotesis:

Masukkan Tabel 8.

4.4. Analisis Kualitatif

4.4.1. Penentuan Sampel wawancara

Metoda kualitatif di penelitian ini akan berfokus pada penggalian informasi secara detil terkait hasil dari analisis kuantitatif, dan untuk menggali fenomena isomorpisme yang terjadi di pemda lingkup DIY, khususnya terkait pelaksanaan sistem pengukuran kinerja.Maka, sampel untuk wawancara dipilih berdasarkan kisaran jawaban responden yang sejalan dengan hasil hipotesis, dan tentunya juga didasarkan kepada kesediaan para responden untuk dimintai wawancara.Berikut penjelasan dari beberapa responden terkait implementasi sistem pengukuran kinerja di pemda lingup DIY beserta argumen yang menjelaskan mengapa beberapa hipotesis penelitian terdukung dan tidak terdukung:

4.4.2. Keterbatasan Sistem Informasi dan Kesulitan Menentukan Ukuran Kinerja

Dari hasil pengujian hipotesis, keterbatasan sistem informasi dan kesulitan menentukan ukuran kinerja tidak berhubungan terhadap pelaksanaan sistem pengukuran kinerja. Dari wawancara yang dilakukan, hasil tersebut bisa jadi disebabkan implementasi sistem pengukuran kinerja di banyak SKPD masih dilakukan secara manual.Alasan lain adalah karena kendala-kendala tersebut sudah bisa diantisipasi para pegawai di SKPD dengan baik. Dalam hal ini berarti, kondisi saat terdapat kendala teknis dalam pelaksanaan sistem pengukuran kinerja telah memicu konsekuensi terjadinya isomorpisme normatif atau upaya dari organisasi untuk menentukan kondisi dan metoda kerja mereka serta mengembangkan kognitif menuju peningkatan profesionalitas (Larson, 1977; Collins, 1979; DiMaggio, 1983; Gudono, 2014).Berikut paparan dari beberapa responden:

“LAKIP memang ini sifatnya manual. Tapi Bappeda Kulon Progo baru merancang ataupun mengadakan langkah persiapan, termasuk LAKIP...”

(Kasubbag PerencanaanDinas Parpora Kulon Progo)

“Saya kira software yang ada sudah baik, tapi memang ada beberapa keterbatasan dari sistem itu.... Sejauh ini kita bisa menyesuaikan diri dengan keterbatasan yang ada.”

(Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi Dinas Pendidikan Dasar Bantul)

“Kesulitan terjadi pada saat membuat ukuran kinerja karena sangat kualitatif sekali, abstarak dan sulit dirumuskan.... Dan ini memang kelemahan kita dalam pelaksanaan SAKIP. Sehingga, Bappeda dalam beberapa tahun terakhir ini mencoba merivisi renstra SKPD terkait ukuran kinerja agar lebih terukur dan reliabel berdasarkan laporan LAKIP tahun sebelumnya yang telah dibuat.

(Kasubbid Litbang Sarpras dan Tata Ruang Bappeda Kota Yogyakarta)

4.4.3. Otoritas Pembuatan Keputusan

Dari hasil pengujian hipotesis, otoritas pembuatan keputusan secara empirik tidak berhubungan terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja. Hal ini bisa jadi disebabkan sistem birokrasi yang tidak memberikan ruang gerak kreatifitas para pegawai pemda dalam bekerja sebagaimana yang juga dijelaskan Cavaluzzo dan Ittner (2004).Tidak adanya otoritas dalam pembuatan keputusan atau penentuan kebijakan menjadi indikasi bahwa pelaksanaan SAKIP di instansi pemda lebih dikarenakan oleh dorongan koersif, ketimbang tujuan normatif atau profesionalitas.Berikut ulasan pendapat dari dua responden yang merasakan hal tersebut:

“... ruang gerak kita dibatasi... Kan sudah ada plotnya. Jadi kita tinggal mengisi. Jadi memang daya ekspresi kita tidak tertuangkan di sini. Jadi analisisnya ya apa adanya.”

(Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi Dinas Pendidikan Dasar Bantul)

4.4.4. Pelatihan

Pelatihan secara empirik berhubungan positif terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja, khususnya dalam hal pelaporan akuntabilitas kinerja dan penggunaan informasi kinerja untuk merumuskan kebijakan. Pelatihan menjadi sarana yang baik untuk meningkatkan kapasitas pegawai agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional. Profesionalisme sendiri merupakan sumber penting dari lahirnya isomorpisme normatif.Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan

Cavaluzzo dan Ittner (2004) juga Nurkhamid (2008). Hal ini juga dikuatkan oleh beberapa pendapat para responden. Berikut salah satunya:

“Ya... Saya kira apapaun bentuknya, pelatihan bermanfaat untuk menunjang pekerjaan para pegawai pemda.”

(Kasubbid Litbang Sarpras dan Tata Ruang Bappeda Kota Yogyakarta)

4.4.5. Respon Organisasi yang Terbuka terhadap Perubahan

Adanya hubungan respon organisasi yang terbuka terhadap perubahan terhadap implementasi sistem pengukuran kinerjajuga didukung oleh hasil wawancara kepada beberapa responden. Menurut KTU Satpol PP Gunung Kidul, respon organisasi atas perubahan mekanisme kerja pada awalnya didorong oleh paksaan karena perubahan tersebut biasanya disahkan dalm bentuk peraturan atau perundang-undangan. Seiring berjalan waktu, organisasi merasakan bahwa perubahan mekanisme kerja adalah untuk kebaikan organisi. Oleh karenanya, dorongan dalam pelaksanaan sistem pengukuran kinerja dari yang awalnya karena koersif bergeser menjadi demi profesionalitas kerja atau isomorpisme normatif.Berikut salah satunya:

“Untuk aturan-aturan (mekanisme-mekanisme, pen) baru, selama itu pedomannya jelas dan kuat, dan itu harus dijadikan pedoman oleh kepala SKPD, maka SKPD harus segera menyesuaikan dengan peraturan itu.”

(Kepala Kantor TU Satpol PP Gunung Kidul)

4.4.6. Insentif

Insentif secara empirik tidak berhubungan terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja. Hal ini bisa jadi karena pada kenyataannya semua pemerintah daerah di lingkup DIY tidak memberlakukan sistem reward dengan pemberian insentif tertentu untuk menstimulus pelaksanaan sistem pengukuran kinerja (SAKIP), kecuali Pemerintah daerah Bantul. Berikut hasil wawancara kepada salah satu responden terkait masalah insentif:

“Secara mekanisme kami belum ada aturan mengenai reward (insentif, pen). Selama ini hanya dalam bentuk immaterial (bukan berupa barang atau uang, pen). Kalau material kami belum ada dasar hukum, jadi belum berani, karena belum ada aturannya.”

(Kasubbag Perencanaan Dinas Parpora Kulon Progo)

4.4.7. Pengaruh Faktor Karakteristik Individu; Self efficacy, Conscientiousness, dan Opennes to Experience

Dari hasil pengujian hipotesis, variabel self efficacy dan Conscientiousness secara empirik berhubungan positif terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja, masing-masing dalam hal pengembangan sistem pengukuran kinerja dan penggunaan informasi kinerja. Menurut beberapa responden, keberhasilan pelaksanaan sistem pengukuran kinerja dan pencapaian kinerja dinilai akan bisa diraih oleh adanya ketekunan, dedikasi, dan kematangan intelektual pegawai pemda. Beberapa karakter tersebut berperan penting dalam meningkatkan profesionalitas kerja yang mampu melahirkan isomorpisme normatif.Hasill ini sejalan dengan pendapat Lee & Bobko (1994) dan Guadagno dkk (2007). Selain itu, hasil ini juga dibenarkan oleh paparandua responden sebagai berikut:

“Orang yang tekun dan dia bisa bertahan dengan rutinitas yang mampu memberikan kinerja baik.” (Kasubbid Litbang Sarpras dan Tata Ruang Bappeda Kota Yogyakarta)

“Ya harus punya intelektual, semangat tinggi, tekun, loyal, dan mudah beradaptasi untuk mampu memberikan kinerjayang baik bagi instansi.”

(Analis Kebutuhan Program Diklat Badan Kepegawaian Daerah DIY)

Adapun tidak terdukungnya variabel opennes to experiencebisa jadi dikarenakan pada realita di lapangan, tugas dan wewenang pegawai pemda dibatasi oleh peraturan. Sehingga, kapasitas pegawai pemda untuk melakukan improvosasi atau kreatifitas dalam hal tertentu tidak dapat dilakukan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa pelaksanaan SAKIP lebih didorong oleh koersif atau tekanan dari pihak tertentu maupun sistem birokrasi yang ada. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan beberapa responden berikut:

“Orang kreatif tidak punya ruang disini. Idealnya posisi litbang itu adalah fungsional peneliti. Jadi dia langsung betanggungjawab ke kepala bappeda... Saya pikir birokrasi kita memang belum memberikan ruang kepada insan kreatif.

(Kasubbid Litbang Sarpras dan Tata Ruang Bappeda Kota Yogyakarta)

4.4.8. Kesesuaian Tugas dengan Kompetensi Pendidikan

Dari hasil pengujian hipotesis, variabel kesesuaian tugas dengan kompetensi pendidikan secara empirik tidak berhubungan terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja. Keadaan ini bisa jadi dikarenakan ketidaksesuaian tugas dengan kompetensi pendidikan dapat tutupi oleh adanya pelatihan, kompetensi non-akademik dan pengalaman pegawai SKPD. Di samping itu, adanya tuntutan untuk siap ditempatkan di posisi manapun juga berkemungkinan menjadi alasan lain. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaiakan oleh responden dari Bantul berikut ini:

“Saya rasa ketika pejabat atas seperti orang di BKD berkoordinasi dengan kepala-kepala SKPD untuk mendiskusikan penempatan pegawai, mereka tentu mempertimbangkan segala hal terkait siapa yang akan menempati posisi tertentu. Entah itu kompetensi, kemampuan lain, pengalaman, ataupun faktor lain semuanya dipertimbangkan. Jadi menurut saya spesifikasi dalam hal kompetensi tidak begituberpengaruh signifikan ya dalam pelaksanaan sistem pengukuran kinerja dan dalam hal pencapaian kinerja. Disamping itu juga ada pelatihan yang sifatnya menyesuaikan dari yang tadinya tidak sesuai kompetensi dengan pekerjaannya supaya menjadi sesuai dan mampu bekerja di posisi yang diembannya.”

(Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi Dinas Pendidikan Dasar Bantul)

Meski demikian, terdapat pula argumen berbeda yang menyatakan bahwa ketidaksesuaian tugas dan kompetensi adalah masalah besar dan mengganggu impelementasi sistem pengukuran kinerja, khususnya dalam upaya pencapaian kinerja. Berikut pendapatresponden yang mendukung ketidaksesuain tugas dengan kompetensi adalah masalah bagi instansi:

“Lha ini.... Saya pikir kita semua sudah tahu yang namanya the right man in the right place . Seseorang kalau ingin melaksanakan tugas maksimal dan ingin

hasil maksimal pula, maka SKPD khususnya BKD harus menempatkan

seseorang sesuai dengan keahliannya dibidangnya. Namun kita melihat selama ini, kadang-kadang karena berbagai kebijakan, ada hal yang kurang pas, maka kita berusaha untuk menyesuaiakan....Kalau di Pol PP ada pendidikan

dasar ke Pol PP-an untuk penyesuaian kompetensi dengan tugas di Satpol

PP. Ini semacam matrikulasi kalau di perguruan tinggi.”

(Kepala Kantor TU Satpol PP Gunung Kidul) “Oya, itu masalah besar. Saya pernah pengalaman menbuat LAKIP. Basic

saya teknik arsitektur, Magister Urban Management dan Urban Planning, tapi jadi kepala TU waktu itu. Itu nggak banget (tidak sesuai dengan spesifikasi kompetensi, pen). Tapi tugas harus tetap dilaksanakan.Cuma problem-nya memang pada tingkat struktural itu sering dirotasi. Problem-nya lagi adalah SDM yang dipunya dengan formasi yang tersedia itu tidak selalu match. Sehingga, memang ada beberapa formasi yang akhirnya tidak matching dengan profile orang yang mengisi itu (formasi, pen). Ini problem,dan pelatihan tidak bisa mengatasi masalah itu...”

(Kasubbid Litbang Sarpras dan Tata Ruang Bappeda Kota Yogyakarta)

Daripaparan responden di atas,dapat disimpulkan ketidaksesuaian tugas dan kompetensi memicu fenomena isomorpisme koersif sebagaimana yang terjadi di Bappeda pemkot Yogyakarta dan mungkin juga terjadi di banyak SKPD di lingkup pemda DIY dimana pegawai pemda dituntut untuk melaksanakan tugas yang telah diemban kepadanya. Selain itu fenomena tersebut juga memicu isomorpismenormatif sebagaimana yang terjadi di Satpol PP Gunung Kidul, sebagai respon menyikapi kondisi tidak idealnya posisi dengan kompetensi pendidikan maka instansi membuat program pelatihan khusus kesatpol PP-an untuk membantu pelaksanaan tugas pegawai.

Secara keseluruhan, dari analisis tematikdeduktifatas hasil wawancara ditemukan bahwa setiap faktor yang diuji terkait implementasi sistem pengukuran kinerja di pemerintah daerah akan memicu fenomena isomorpisme yang beragam. Berikut ringkasan fenomena isomorpisme yang terjadi di lingkup pemda DIY dalam kaitannya dengan pelaksanaan sistem pengukuran kinerja:

Masukkan Tabel 9.

5. KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN SARAN PENELITIAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data kuantitatif, diperoleh hasil empirik tentang variabel- variabel yang berhubungan dengan impelementasi sistem pengukuran kinerja di lingkup Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa. Faktor–faktor yang Berdasarkan hasil pengolahan data kuantitatif, diperoleh hasil empirik tentang variabel- variabel yang berhubungan dengan impelementasi sistem pengukuran kinerja di lingkup Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa. Faktor–faktor yang

Tidak terdukungnya hipotesis terkait keterbatasan sistem informasi dan kesulitan menentukan ukuran kinerja terhadap impelemntasi sistem pengukuran kinerja dikarenakan instansi tidak merasa bahwa kendala-kendala tersebut merupakan hal yang menganggu pelaksanaan sistem pengukuran kinerja secara signifikan, dan sudah dapat diatasi instansi dengan memberdayakan kemampuan anggotanya. Adapun insentif, otoritas pembuatan keputusan, dan karakter pegawai kreatif (opennes to experience) yang juga tidak terdukung hipotesisnya atau dinilai tidak berhubungan terhadap pelaksanaan sistem pengukuran kinerja disebabkan oleh fakta di lapangan bahwa mayoritas SKPD memang tidak memberikan insentif, otoritas tertentu, serta ruang untuk berkreasi dalam kaitannya dengan pelaksanaan sistem pengukuran kinerja.

Sedangkan isu mengenai apakah kesesuaian tugas dengan kompetensi akan berhubungan positif terhadap implementasi sistem pengukuran kinerja, secara statistik tidak terdukung dan dalam kenyataannya di lapangan masih menjadi perdebatan di kalangan pegawai pemda sendiri. Terakhir, dalam sudut pandang isomorpisme institusional, setiap faktor akan dipicu dan memicu fenomena isomorpisme yang berbeda-beda, baik koersif, mimetik maupun normatif. Namun, dominasi isomorpismeyang terjadi masih pada level koersif.

5.2.Implikasi Penelitian

Implikasi penting dari hasil penelitian ini adalah bahwa untuk menunjang keberhasilan implementasi sistem pengukuran kinerja, aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah adalah mengupayakan adanya pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan, sikap terbuka kepada perubahan mekanisme kerja yang baik, dan menempatkan individu dengan karakter self efficacy tinggi dan conscientiousnessguna terus mendorong keberhasilan implementasi sistem pengukuran kinerja yang menyentuh pada level isomorpisme normatif. Selain itu, untuk masa mendatang, implementasi sistem pengukuran kinerja sebaiknya segera diintegrasikan dengan Implikasi penting dari hasil penelitian ini adalah bahwa untuk menunjang keberhasilan implementasi sistem pengukuran kinerja, aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah adalah mengupayakan adanya pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan, sikap terbuka kepada perubahan mekanisme kerja yang baik, dan menempatkan individu dengan karakter self efficacy tinggi dan conscientiousnessguna terus mendorong keberhasilan implementasi sistem pengukuran kinerja yang menyentuh pada level isomorpisme normatif. Selain itu, untuk masa mendatang, implementasi sistem pengukuran kinerja sebaiknya segera diintegrasikan dengan

5.3.Keterbatasan dan Saran Penelitian

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya, sehingga memiliki keterbatasan yang akan memengaruhi hasil penelitian. Keterbatasan– keterbatasan itu antara lain: pertama, beberapa faktor belum secara maksimal menangkap fenomena yang ingin dicari dalam penelitian ini. Kedua, item–item yang terdapat dalam kuesioner penelitian banyak yang di-drop, sehingga pengukuran– pengukuran yang dipakai untuk menjelaskan konstruk yang dibangun kurang maksimal. Ketiga, data penelitian ini merupakan hasil dari instrumen yang berdasarkan pada persepsi responden. Hal ini dapat menimbulkan masalah jika persepsi responden berbeda dengan keadaan sesungguhnya.

Keempat, pengukuran variabel kesesuaian tugas dengan kompetensi pendidikan (KTdK) hanya dilakukan dengan pendekatan pembobotan yang sangat mungkin memiliki kelemahan. Kelima, penelitian ini hanya dilakukan di lingkup wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga kurang mampu mengeneralisasi praktik–praktik pengukuran kinerja secara luas, khususnya di Indonesia.Keenam, wawancara kepada responden hanya dilakukan di 6 (enam) SKPD berbeda. Padahal, setiap SKPD memiliki karakter dan tugas yang spesifik, sehingga hasil wawancara tidak bisa dijadikan dasar sebagai simpulan apa yang terjadi di seluruh SKPD yang menjadi sampel penelitian. Terkahir, jumlah sampel pada tahap survei tidak memenuh jumlah sampel minimal. Hal ini disebabkan jumlah sampel yang ada di lapangan memang terbatas dan ditambah lagi respon rate di lapangan yang relatif rendah.

Beberapa masukan yang direkomendasikan untuk pengembangan penelitian berikutnya, yaitu; pertama, peneliti berikutnya dapat mencari faktor-faktor lain yang dapat menangkap fenomena isomorpismedalam kaitannya dengan implementasi sistem pengukuran kinerja. Kedua, penelitian selanjutnya sangat disarankan untuk dilakukan di pemda selain lingkup DIY atau bahkan memperluas wilayah penelitian hingga ke seluruh pemda di Indonesia. Ketiga, melakukan perbaikan untuk instrumen pengukuran variabel kesesuaian tugas dengan kompetensi pendidikan (KTdK).

Keempat, penelitian selanjutnya diharapkan untuk mencukupi aturan sampel ideal. Terakhir, penggunaan mixed methods sangat disarankan bagi penelitian berikutnya, karena dengan menggunakan teknik ini, maka hasil yang diperoleh dapat Keempat, penelitian selanjutnya diharapkan untuk mencukupi aturan sampel ideal. Terakhir, penggunaan mixed methods sangat disarankan bagi penelitian berikutnya, karena dengan menggunakan teknik ini, maka hasil yang diperoleh dapat

REFERENSI

Akbar, Rusdi., Pilcher Robyn and Perrin Brian. 2012. Performance Measurement in Indonesia: The Case of Local Government. Pacific Accounting Review Vol. 24 No. 3, 2012 pp. 262-291

Atkinson, A. A., Waterhouse, J. H., & Wells, R. B. (1997). A stakeholder approach to

strategic performance measurement. Sloan Management Review, 25–37. Bandura 1997. Self-efficacy; The exercise of control. W. H. Freemand and Comapany. Bansal, Harvir S., P. Gregory Irbing, and Shirley F. Taylor. 2004. A Three Component

Model of Customer Sommitment to Sevice Providers. Academy of Marketing Science, Journal : Summer, 32, 3; ABI/INFORM Global.

Cavalluzzo K .S. and Ittner, C. D. 2004. Implementing Performance Measurement Innovations: Evidence From Government. Accounting, Organizations and Society

29: 243-267. Collins, Randall. 1979. The Credential Society. New York: Academic Press. Creswell, John W. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

Mixed . Edisi Ketiga. Pustaka Pelajar. Yogyakarta DiMaggio, P. J., and Powell, W. W, 1983. The Iron Cage Revisited: Institutional

Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields . Dalam W. W. Powell & P. J. DiMaggio (editor). The New Institutionalism in Organizational Analysis (p/ 63-82). The University of Chicago Press. Chicago.