PENGARUH PENERIMAAN DANA OTONOMI KHUSUS TERHADAP INDEK PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA DAN PAPUA BARAT DENGAN BELANJA MODAL SEBAGAI INTERVENING

PENGARUH PENERIMAAN DANA OTONOMI KHUSUS TERHADAP INDEK PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA DAN

  

PAPUA BARAT DENGAN BELANJA MODAL

SEBAGAI INTERVENING

IMAM SUMARDJOKO

  Universitas Airlangga Abstract

  

Implementation of special autonomy policy in Province of Papua and West

Papua are based on the concept of asymmetric decentralization. The

implementation of fiscal decentralization in Papua and West Papua are not

Papua was given special authority to manage natural resources and

attention to the interests of indigenous peoples. This policy is taken to

accommodate the striking difference between the two regions than other

regions in Indonesia. The special autonomy fund is a source of local

revenue in order to support the authority of special autonomy. This issue is

interesting because it examined the application of asymmetric

decentralization outstanding for more than ten years, it was not able to lift

the quality of their lives Papua’s society. The local revenue is large enough,

so that should be utilized optimally for the welfare of the community.

  The purpose of the study was to test the application of asymmetric

decentralization to community enhancement and development of the area.

Furthermore, assess the human development index of Papua and West

Papua as an indicator for measuring the level of social welfare. Research

on asymmetric decentralization in Indonesia region has not been much done

except by international donor agencies and evaluation by government

agencies.

  This research is hypothesis testing studies, by testing the effect of

independent variables, special autonomy funds to the human development

index as a dependent, involving capital expenditure as intervening. The data

used in this research is budget’s report of Papua and West Papua period of

2002 till 2012. Hypothesis testing method using linear regression analysis

with the intervening variables.

  These results indicate that the acceptance of special autonomy

funds have a significant effect on the human development index in Papua

and West Papua through capital expenditures as a variable intervening.

Acceptance of special autonomy funds in the provincial budget Papua and

West Papua became accelerator development in the area in order to catch

up with other regions. This looks human building have index numbers on the

two provinces has increased since the implementation of special autonomy.

  

Keywords : special autonomy fund, capital expenditure, human development

index

1. Pendahuluan

  Implementasi dana otonomi khusus telah berjalan selama lebih dari satu dasa warsa di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Dana otonomi kusus yang diterima oleh kedua provinsi tersebut tergolong sangat besar sejumlah Rp. 33,854 triliun selama tahun 2002 sampai 2012. Nominal yang besar dibandingkan dengan penerimaan transfer daerah lain. Jumlah penerimaan tersebut masih diikuti dengan transfer dana perimbangan lainnya yang tidak kalah besarnya, dimana pemerintah Provinsi Papua merupakan penerima dana alokasi umum terbesar dengan nilai Rp. 1,99 triliun atau

  Perhatian pemerintah pusat yang besar kepada daerah Papua dan Papua Barat, tidak terlepas dari amanat UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 dengan memberikan landasan hukum atas pelaksanaan otonomi khusus bagi Pemerintah Provinsi Papua Barat. Hakekat pemberian otonomi khusus kepada daerah Papua dan Papua Barat mencakup beberapa hal. Pertama, pembagian otoritas dan urusan antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua serta pelaksanaan otoritas dengan kekhususan dalam bingkai NKRI. Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar masyarakat adat Papua serta pengembangan kemampuan secara strategis dan mendasar. Ketiga, menciptakan government yang baik. Keempat, pemberian otonomi khusus adalah memberikan tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang jelas dan tegas antara badan legislatif, eksekutif, yudikatif serta Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai perwujudan kultural masyarakat papua yang diberikan kewenangan tertentu. Besaran dana otonomi khusus adalah 2% dari total alokasi dana alokasi umum nasional.

  Kebijakan penerapan otonomi khusus yang diberlakukan pada daerah Papua dan Papua Barat berdasarkan konsep desentralisasi asimetris. Penerapan desentralisasi fiskal di Papua dan Papua Barat tidak simetris dibanding daerah lainnya. Kedua provinsi diberikan kewenangan khusus dalam mengelola sumber daya alam dan memperhatikan kepentingan masyarakat adat. Kebijakan tersebut diambil untuk menampung perbedaan yang mencolok kedua daerah tersebut dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Sehingga kebijakan ini ditujukan untuk mengurangi gejolak politik yang timbul terhadap penentangan pemerintah pusat.

  Penerimaan APBD pemerintah daerah Papua dan Papua Barat juga bersumber dari dana desentralisasi lainnya melalui pengaturan khusus. Kondisi ini merefleksikan Papua dan Papua Barat mendapat porsi penerimaan revenue sharing sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi sebesar 70% (UU No. 21 Tahun 2001). Pembagian ini berbeda apabila dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Persentase revenue sharing minyak bumi yang diberikan kepada daerah selain Papua dan Papua Barat hanya sebesar 15% dan untuk revenue sharing gas bumi hanya sebesar 30%. Persentase

  

revenue sharing lainnya seperti pertambangan umum, kehutanan, pajak tetap mengacu

  UU No. 33 Tahun 2004 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan daerah, tidak ada perbedaan dengan daerah lainnya. Hal ini merupakan refleksi dari pusat dan daerah bukan bersifat reaktif karena tuntutan daerah tetapi lebih ke arah welfare .

  Motivasi penelitian yang dibangun dalam studi ini adalah pertama menguji penerapan desentralisasi asimetris terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat dan perkembangan daerah. Penelitian ini menggunakan variabel dana otonomi khusus sebagai bentuk desentralisasi asimetris yang dijalankan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Motivasi kedua adalah mengkaji tingkat indeks pembangunan manusia (IPM) daerah Papua dan Papua Barat, dimana IPM Provinsi Papua adalah terendah pada tahun .

  Isu otonomi khusus menjadi menarik diteliti lebih dalam mengingat Provinsi Papua dan Papua Barat menerima desentralisasi asimetris yang luar biasa selama lebih dari sepuluh tahun sejak pemberlakukan otonomi daerah pada tahun 2002. Mengingat pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Papua berlaku untuk jangka waktu dua puluh lima tahun, maka pengleolaannya harus dilakukan dengan tepat dan terarah. Di samping itu, kedua provinsi ini juga mendapat alokasi pendanaan lainnya berupa dana tambahan infrastruktur yang ditujukan untuk percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.

  Motivasi ketiga, potensi pendapatan Papua sebenarnya cukup besar, semestinya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 2010 dan 2011 total pendapatan Provinsi Papua rata-rata sebesar Rp. 5,37 triliun dan meningkat menjadi Rp. 7,29 triliun pada tahun 2012. Angka ini menunjukan kenaikan pendapatan daerah yang besar sehingga menjadi potensi untuk mendorong kemajuan pembangunan daerah.

  Rumusan masalah yang diteliti dalam studi ini adalah menguji apakah penerimaan dana otonomi khusus Provinsi Papua dan Papua Barat yang mulai maupun tidak langsung melalui belanja modal APBD. IPM merupakan salah satu indikator dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat.

  Penelitian ini sebagai bahan masukan dan evaluasi atas pelaksanaan dana otonomi khusus yang diterima oleh Provinsi Papua dan Papua Barat selama lebih dari sepuluh tahun sejak pemberlakuan UU No. 21 Tahun 2001 dan efektif berlaku pada tanggal 1 Januari 2002. Baik pemerintah pusat sebagai decision maker maupun pemerintah daerah selaku executing agency memiliki assesment terhadap pencapaian tujuan otonomi khusus untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan kemajuan kedua daerah tersebut agar memiliki kesetaraan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Di samping itu penelitian ini dapat memberikan tambahan bukti empiris terkait dengan penerapan desentralisasi asimetris dan theory of grants di Indonesia. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan di Papua dan Papua Barat.

  Hasil penelitian ini membuktikan bahwa penerimaan dana otonomi khusus di Papua dan Papua Barat memberikan pengaruh secara langsung terhadap IPM maupun pengaruh tidak langsung terhadap IPM melalui belanja modal dalam APBD sebagai intervening. Hasil ini mengindikasikan dana otonomi khusus berperan mendorong peningkatan kulitas hidup masyarakat setempat. Meskipun tingkat IPM kedua daerah tersebut masih berada di urutan bawah dibanding daerah lainnya di Indonesia.

2. Kerangka Teori dan Pengembangan Hipotesis

  Pemberlakuan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 telah membawa perubahan sistem desentralisasi fiskal di Indonesia. Tujuan dari pemberian dana otonomi khusus adalah salah satunya meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui pemanfaatan dan pengelolaan hasil kekayaan alam dengan empat program prioritas yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat serta pembangunan infrastruktur.

  Theory of grants memberikan landasan bahwa bantuan pemerintah yang dalam

  prakteknya di Indonesia dapat berbentuk transfer dana perimbangan menjadi stimulus bagi kemajuan ekonomi daerah dan menambah tingkat daya beli masyarakat. Tambahan kemampuan ini pada akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat salah satunya dapat diwujudkan

  Penelitian mengemukakan bahwa jumlah penduduk, banyak sekolah, panjang jalan dan jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kebutuhan dana daerah Papua. Tren pendapatan asli daerah pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat menunjukan kenaikan dari tahun ke tahun secara nominal, tetapi apabila dikaji lebih mendalam perkembangan pendapatan asli daerah menggambarkan keadaan yang kurang menguntungkan. Dengan kata lain pendapatan asli daerah Provinsi Papua masih relatif rendah sehingga menyebabkan ketergantungan kepada pemerintah pusat masih tinggi. kewenangan dan dana otonomi khusus adalah faktor politis yakni mereduksi keinginan sebagian masyarakat Papua memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan evaluasi selama tiga tahun implementasi otonomi khusus di papua, hasilnya tidak efektif mengingat sebagian besar dana otonomi khusus yang diterima oleh daerah tidak digunakan untuk kepentingan pendidikan dan kesehatan. Pemanfaatan dana otonomi khusus lebih ditujukan untuk pembagian merata ke semua sektor pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi Papua.

  Otonomi khusus yang diterapkan di Papua sebagai refleksi dari pendekatan desentralisasi asimetris di Indonesia. Pendekatan asimeteris ini diterapkan untuk menampung perbedaan yang tajam antara daerah papua dengan wilayah lainnya. Kekhususan wilayah dapat diberikan tanpa membentuk separatisme sebagai pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia .

  Banyak negara di dunia menerapkan desentralisasi asimetris, baik secara politik maupun administratif. Pemerintah pusat Spanyol mengatur tingkat otonomi yang berbeda pada pemerintah daerah. Catalonia, Basque Country, dan Galicia memiliki derajat otonomi yang cenderung lebih besar dibandingan daerah lainnya. Kondisi ini mempertimbangkan sentimen nasionalis dan hak-hak yang telah dimiliki daerah-daerah tersebut secara historis. Penerapan desentralisasi asimetris mampu memenuhi tuntutan nasionalistik dan menurunkan ketegangan antar daerah di Spanyol.

  Berkenaan dengan kebijakan otonomi khusus yang diterapkan pada pemerintah daerah Papua dan Papua Barat, selanjutnya yang menjadi soal adalah bagaimana pelaksanaan desentralisasi tersebut. Penerapan ini tentu menjadi arena baru dan boleh disebut merupakan kesulitan baru karena mereka harus dituntut untuk berkinerja. Terpenting adalah bagaimana pemerintah daerah beradaptasi dengan tuntutan dan harapan yang baru serta bagaimana mengatur kompleksitas tanggung jawab yang didesentralisasikan .

  Desentralisasi merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan pelayanan melalui pendekatan layanan publik dengan lebih memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dalam pendistribusian layanan tersebut. Penerapan desentralisasi juga diakui oleh negara berkembang guna mempercepat pengurangan kemiskinan/poverty reduction dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi/economic growth dengan cara penataan manajemen pemerintah yang efektif dan efisien . desentralisasi yang disesuaikan dengan karakteristik daerah sehingga tidak disamaratakan secara general penerapannya pada seluruh daerah di indonesia. Otonomi khusus dapat dilihat dari sudut de facto asymmetry and de jure asymmetry. Sudut de

  

facto asymmetry mengacu pada perbedaan kondisi antara satu daerah dengan daerah

  lainnya baik dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya serta bahasa. Sedangkan

  

de jure asymmetry menekankan pada produk konstitusi yang dibentuk secara sengaja

  untuk mencapai tujuan tertentu. Asimetri diartikan sebagai perbedaan status di antara unit-unit dalam suatu negara federal atau negara yang terdesentralisasi berdasarkan konstitusi atau ketentuan hukum lainnya.

  Pemberian kewenangan khusus tertuang dalam regulasi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua dan diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 yang memberikan otonomi khusus kepada daerah Papua Barat. Desentralisasi asimetris yang diterapkan kepada pemerintah Papua dan Papua Barat diharapkan membawa perubahan kemampuan APBD untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui belanja modal. Hal ini selaras dengan salah satu fokus pemanfaatan dana otonomi khusus yang diarahkan pada peningkatan taraf pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat.

  Konsep kerangka pemikiran yang dibahas dalam penelitian tentang desentralisasi asimetris bagi Papua dan Papua Barat melalui implementasi otonomi khusus adalah sebagai berikut :

  

Belanja Modal

APBD

Indeks Dana Otonomi Khusus

  Pembangunan Manusia Otonomi khusus yang diterapkan di Papua dan Papua Barat adalah bentuk desentralisasi asimetris yang disesuaikan dengan karakteristik daerah. Dana otonomi khusus yang diterima Provinsi Papua dan Papua Barat ditujukan untuk meningkatkan pembangunan dan kesamaan dengan daerah lainnya, melindungi hak dasar masyarakat serta meningkatkan kuliatas hi.

  Pelaksanaan desentralisasi memberikan efek yang besar terhadap perkembangan daerah di masa otonomi. Penerapan otonomi yang lebih besar akan memberikan pengaruh yang lebih besar juga terhadap pertumbuhan ekonomi, sehingga publik yang lebih bai.

  Dana otonomi khusus merupakan salah satu bentuk desentralisasi asimetris yang ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik. Tujuan tersebut dapat dicapai melaui percepatan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Salah satunya adalah melalui penyediaan infrastruktur dasar pembangunan dengan membuka keterisolasian wilayah melalui kemudahan akses transportasi dan informasi. Dana infrastruktur yang diarahkan untuk tujuan tersebut semestinya dapat mendorong belanja modal APBD. Penelitian dan membuktikan bahwa specific grant mampu mendorong peningkatan belanja modal daerah. Hipotesis pertama yang dibangun dalam penelitian ini adalah :

  

H1: Dana Otonomi Khusus berpengaruh poistif terhadap alokasi belanja modal

Provinsi Papua dan Papua Barat.

  Penyediaan infrastruktur di berbagai bidang baik jaringan, jalan, sarana pendidikan dan juga pembangunan fasilitas kesehatan diharapkan mendorong kualitas hidup dan tingkat kecerdasan masyarakat. Belanja modal daerah seperti penyediaan gedung, sarana dan prasarana sekolah menciptakan kenyamanan pendidikan yang selanjutnya mendorong kualitas pembangunan manusia . Hipotesis kedua yang dibangun dalam penelitian ini adalah :

  

H2: Alokasi belanja modal berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia

Provinsi Papua dan Papua Barat.

  Otonomi khusus yang dijalankan di Provinsi Papua dan Papua Barat diharapkan mampu menciptakan kesetaraan pembangunan dengan daerah lainnya. Transfer pemerintah pusat yang cukup signifikan kepada pemerintah daerah akan menciptakan keleluasaan dalam memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan merupakan salah satu pendapatan daerah sebagai komponen pendanaan yang dapat digunakan untuk mendorong investasi publik dan kesejahteraan masyarakat. Hipotesis ketiga yang dibangun dalam studi ini adalah :

  

H3: Dana otonomi khusus berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia pada

Provinsi Papua dan Papua Barat.

  Penerimaan dana otonomi khusus dan dana tambahan infrastruktur menjadi katalisator kemampuan APBD dalam membiayai investasi publik. Investasi publik melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik, jaringan, pendidikan dan kesehatan tidak sekedar membentuk tenaga ahli dan terampil melainkan juga untuk menciptakan

  

national character building. Langkah ini merupakan landasan terciptanya masyarakat

  yang sejahtera . Hipotesis keempat yang dibangun dalam penelitian ini adalah :

  

H4: Dana otonomi khusus berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia pada

Provinsi Papua dan Papua Barat melalui alokasi belanja modal.

3. Metode Penelitian

  Penelitian ini merupakan studi pengujian hipotesis, dengan meneliti pengaruh variabel independen terhadap dependen dengan melibatkan variabel intervening. Pengujian ini dilakukan untuk memperkirakan output yang akan dihasilkan. Penelitian ini merupakan kombinasi dari penelitian sebelumnya, dimana variabel yang digunakan pada umumnya adalah transfer dana perimbangan terkait dengan perkembangan daerah. Karakteristik desentralisasi asimetris menjadi ciri dari penelitian ini, dimana penelitian sebelumnya banyak berfokus pada pelaksanaan desentralisasi simetris di Indonesia.

  Populasi dalam penelitian ini adalah pemerintah daerah di Indonesia yang menjalankan desentralisasi asimetris yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat. Penentuan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling, untuk menyesuaikan dengan ruang desain penelitian. Sampel data penelitian yang digunakan dalam studi ini merupakan data sekunder. Peneliti menggunakan data realisasi dana otonomi khusus dan belanja modal yang bersumber dari laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua dan Papua Barat tahun anggaran 2002-2012. Sedangkan angka IPM bersumber dari data yang diterbitkan oleh BPS. Sumber data yang digunakan adalah angka dan informasi yang tersedia secara

  IPM adalah ukuran angka harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup yang disusun sebagai composite index dari beberapa indikator yang relevan dan diberlakukanbagi negara-negara di seluruh dunia . Pengukuran indeks pembangunan manusia melalui empat faktor yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, angka partisipasi kasar dan keseimbangan kemampuan belanja. IPM digunakan sebagai variabel dependen dalam penelitian ini.

  Dana otonomi khusus adalah dana untuk melaksanakan kewenangan khusus dalam rangka pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Pengukuran dana otonomi khusus menggunakan data angka yang termuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pos pendapatan daerah untuk jenis dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dana otonomi kusus menjadi variabel independen dalam studi ini

  Belanja modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan atau pembangunan aset tetap yang mempunyai nilai manfaat lebih dari satu tahun digunakan untuk layanan publik seperti dalam bentuk tanah, peralatan mesin, gedung bangunan, jalan, irigasi dan jaringan. Penelitian ini menggunakan belanja modal sebagai variabel intervening terhadap IPM Papua dan Papua Barat. Belanja modal merupakan pendanaan kebutuhan akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun fasilitas layanan publi.

  Metode analisis data yang digunakan adalah analisis regresi dengan variabel intervening untuk menguji hipotesis yang dibangun dalam studi ini. Analisis ini merupakan penjabaran dari regresi linear untuk menaksir hubungan kausalitas antar variabel. Pada analisis jalur terdapat variabel yang berperan ganda yaitu sebagai variabel independen pada satu hubungan tetapi kemudian menjadi variabel dependen pada hubungan yang lainnya sebagai hubungan kausalitas bertingkat. Model persamaan yang dibangun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.

  Model Regresi Tahap Pertama ABM =

  α + β1DOK + e1 2. Model Regresi Tahap Kedua

  IPM = α + β2ABM + β3DOK + e2 Keterangan : ABM : Alokasi belanja modal DOK : Dana otonomi khusus

  IPM : Indeks pembangunan manusia

4. Hasil Pengujian

4.1 Uji Normalitas

  Pengujian ini untuk mengetahui apakah data residual terdistribusi secara normal dan independen. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil . Hasil pengujian normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test memperoleh nilai Kolmogorov-Smirnov Z sebesar 0,386 dan asymp sig. sebesar 0,998. Kedua nilai tersebut lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa data penelitian ini terdistribusi secara normal.

  Uji multikolinearitas bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi memiliki korelasi antar variabel bebas. Jika variabel independen saling berkorelasi maka variabel tersebut tidak ortogonal. Nilai cut off yang umumnya dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai Tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10 . Pengujian multikolinearitas memberikan hasil sebagai berikut : (1) Nilai Tolerance semua variabel independen lebih besar dari 0,10, yaitu untuk DOK sebesar 0,646 dan ABM sebesar 0,646; (2) Nilai VIF semua variabel independen lebih kecil dari 10,00, yaitu untuk variabel DOK sebesar 1,547 dan ABM sebesar 1,547. Berdasarkan hasil pengujian tersebut disimpulkan bahwa model regresi adalah baik karena tidak terjadi korelasi antar variabel independen.

  Uji autokorelasi bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi linear memiliki korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode tersebut dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya. Autokorelasi muncul karena observasi yang saling berurutan sepanjang waktu . Hasil uji autokorelasi memberikan nilai Durbin-Watson sebesar 0,858. Berdasarkan tabel DW statistic untuk data penelitian ini memiliki du sebesar 0,814. Berdasarkan data tabel tersebut dapat ditentukan bahwa nilai du < 0,858 < (4-du). Hasil ini menunjukan bahwa model regresi adalah baik karena bebas dari autokorelasi antara residual pada periode tersebut dengan periode sebelumnya.

  Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk mendeteksi apakah model regresi mengalami ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variabel independen signifikan secara statistik mempengaruhi absolut residual maka ada indikasi terjadi heterokedastisitas . Hasil pengujian heterokedastisitas menghasilkan nilai signifikansi dari ketiga variabel bernilai 1,00 atau Sehingga dapat disimpulkan bahwa model regersi baik karena tidak terjadi heteroskedastisitas.

4.3 Analisis Regresi Linear Dengan Variabel Intervening

  Analisis regresi linear berganda bertujuan untuk menentukan pengaruh dua atau lebih variabel independen atau mencari hubungan fungsional dua variabel independen atau lebih terhadap variabel dependennya. Variabel intervening merupakan variabel antara yang berfungsi memediasi hubungan antara variabel independen dengan analisis jalur (path analysis). Analisis jalur merupakan perluasan dari analisis regresi linear berganda . Hasil pengujian regresi model persamaan di atas : 1)

  Model Regresi Pertama ABM =

  α + β1DOK + e1 Hasil pengujian regresi linear atas variabel dana otonomi khusus terhadap belanja modal memberikan hasil koefisien standarized beta sebesar 0,595 dan nilai signifikansi sebesar 0,019. Hasil ini membuktikan bahwa penerimaan dana otonomi khusus berpengaruh siginifikan positif terhadap belanja modal APBD Provinsi Papua dan Papua Barat pada level 10%. Dengan demikian, hasil pengujian ini mendukung hipotesis yang pertama dalam penelitian ini atau dengan kata lain H1 diterima. 2)

  Model Regresi Kedua

  IPM = α + β2ABM + β4DOK + e2 Hasil pengujian regresi linear atas variabel dana otonomi khusus dan belanja modal terhadap IPM memberikan hasil untuk belanja modal memiliki koefisien

  standarized beta sebesar 0,805 dan nilai signifikansi sebesar 0,010, sedangkan

  variabel dana otonomi khusus menghasilkan koefisien standarized beta sebesar 0,695 dan nilai signifikansi sebesar 0,021. Hasil pengujian ini membuktikan bahwa penerimaan dana otonomi khusus dan belanja modal berpengaruh signifikan pada level 10% terhadap indeks pembangunan manusia Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

  Berdasarkan hasil tersebut hipotesis kedua dari penelitian ini yang menyatakan bahwa alokasi belanja modal berpengaruh siginifikan positif terhadap IPM adalah terbukti atau dengan kata lain H2 diterima dengan nilai signifikansi 0,010. Hipotesis IPM Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga terbukti atau dengan kata lain H3 diterima dengan nilai signifikansi sebesar 0,021. Kedua hasil pengujian tersebut menunjukan bahwa terjadi pengaruh tidak langsung dana otonomi khusus terhadap IPM di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan intervening belanja modal. Dengan demikian hipotesis keempat didukung dalam penelitian ini atau H4 diterima yang menyatakan dana otonomi khusus berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap

  IPM melalui alokasi belanja modal. Besarnya pengaruh intervening dari belanja modal adalah perkalian koefisien DOK ke ABM dengan koefisien ABM ke IPM yang pengaruh langsung dari DOK ke IPM yaitu sebesar 0,695, maka pengaruh intervening lebih kecil dibanding pengaruh langsungnya.

  Pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mengacu pada pemberlakuan UU Nomor 21 Tahun 2001 junto UU Nomor 35 Tahun 2008, ditujukan untuk mewujudkan dan mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik terutama dalam rangka menciptakan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat daerah Papua dan Papua Barat sehingga memiliki kesetaraan dan keseimbangan dengan daerah provinsi lain.

  Hasil pengujian di atas membuktikan bahwa penerimaan dana otonomi khusus selama periode 2002-2012 memiliki pengaruh yang signifikan terhadap belanja modal APBD Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Hasil ini selaras dengan evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2012 yang menyatakan bahwa ketersediaan sarana prasarana kesehatan sudah mulai menunjukan peningkatan. Jumlah rumah sakit di Provinsi Papua pada tahun 2007 sebanyak 12 buah dan pada tahun 2010 bertambah menjadi sebanyak 29 buah atau mengalami peningkatan sebesar 141,66%, sedangkan jumlah rumah sakit di Provinsi Papua Barat pada tahun 2007 sebanyak 10 buah dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 14 buah atau mengalami kenaikan sebesar 40%. Begitu juga dengan ketersediaan jumlah puskesmas juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 di Provinsi Papua memiliki 94 puskesmas dan pada tahun 2010 bertambah jumlahnya menjadi 126 puskesmas atau mengalami kenaikan sebesar 34,04%. Hal ini memperlihatkan bahwa dana otonomi khusus mampu mendorong belanja modal APBD untuk penyediaan sarana publik.

  Hasil pengujian statistik model kedua membuktikan bahwa dana otonomi manusia di wilayah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan koefisien masing- masing sebesar 0,695 dan 0,805. Wujud konkret dana otonomi khusus dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan adalah penggunaan dana otonomi khusus untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat Papua dan Papua Barat. Pada tahun 2010, gerakan wajib tanam kakao diharapkan menjadikan keluarga miskin akan memiliki sumber penghasilan yang tetap dan pasti. Hasilnya adalah petani yang sudah berproduksi dalam tiga tahun terakhir diprediksi memiliki penghasilan Rp 1,6 juta - 2,5 juta per bulan. Bentuk pemberdayaan ekonomi lainnya adalah pengembangan perikanan melalui pakan tanaman pangan lainnya. Hal ini mengindikasikan penerimaan dana otonomi khusus mampu mempengaruhi angka indeks pembangunan manusia di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang merupakan salah satu indikator dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat.

  Hasil pengujian ini selaras dengan evaluasi yang dilakukan oleh Ditjen Otonomi Daerah yang menyatakan human development index Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sejak tahun 2002 sampai 2010 terus mengalami peningkatan. Pada tahun, 2002 Provinsi Papua memiliki IPM sebesar 60,10% dan tahun 2010 menjadi sebesar 64,94%. Besaran IPM ini menempati urutan ke-33 secara nasional. Sedangkan Provinsi Papua Barat tahun 2008 memiliki IPM sebesar 67,95% dan pada tahun 2010 menjadi sebesar 69,15%. Angka ini sedikit lebih baik dibanding dengan IPM Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Angka IPM Provinsi Papua Barat menempati urutan ke-29 secara nasional. Pada tahun 2008-2010, distribusi pendapatan Provinsi Papua Barat lebih merata dibandingkan Provinsi Papua yaitu bernilai 0,38.

  Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa dana otonomi khusus dan belanja modal berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan manusia, baik pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap indeks pembangunan manusia melalui intervening belanja modal pada tahun 2002-2012. Penelitian ini mununjukan bahwa belanja modal berperan sebagai variabel intervening antara dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia daerah Papua dan Papua Barat.

  Data yang ada memperlihatkan bahwa tingkat IPM Provinsi Papua dan Papua Barat yang masih berada pada urutan bawah dibandingkan daerah lain di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pendanaan dalam rangka desentraliasasi asimetris masih diarahkan pada langkah untuk meredam gejolak politik. Indikasi ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan ole.

  Secara umum terdapat kecenderungan penurunan angka kemiskinan penduduk, baik di Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat pada kurun waktu 2007 sampai 2010. Angka kemiskinan di Provinsi Papua lebih tinggi dibanding angka kemiskinan di Provinsi Papua Barat. Perlu ditegaskan bahwa penurunan angka kemiskinan di kedua provinsi tersebut tidak hanya bersumber dari pengaruh pelaksanaan otonomi khusus, mengingat sumber pendapatan daerah untuk kedua provinsi tersebut berasal dari dana diterapkan pemerintah. Namun demikian, implementasi otonomi khusus telah memberikan andil tersendiri bagi pengurangan kemiskinan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

  Hasil pengujian studi ini yang membuktikan bahwa dana otonomi khusus berpengaruh langsung terhadap IPM maupun tidak langsung melalui belanja modal terhadap IPM Provinsi Papua dan Papua Barat, menjadi bukti empiris terhadap theory of

  

grants. Teori ini menyatakan bahwa bantuan yang diberikan oleh pemerintah pusat akan

  berdampak pada ekonomi dan pendapatan masyarakat sehingga pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Otonomi khusus merupakan perpaduan theory

  

of grants dan assymetric decentralization, bahwa pendanaan dari pemerintah pusat akan

memberikan kemajuan daerah dan mengurangi tuntutan daerah.

5. Simpulan, Implikasi Dan Keterbatasan

  Setelah pelaksanaan otonomi khusus yang berjalan selama lebih dari 12 (dua belas) tahun di Provinsi Papua dan 5 (lima) tahun di Provinsi Papua Barat berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 Jo UU Nomor 35 Tahun 2008, kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat belum dapat disejajarkan dengan provinsi daerah lain. Meskipun dana otonomi khusus terbukti mempengaruhi indeks pembangunan manusia Papua dan Papua Barat, namun angka tersebut masih berada pada kisaran urutan bawah. Indeks pembangunan manusia Provinsi Papua Barat masih sedikit lebih bagus dibandingkan dengan Provinsi Papua. Melihat waktu implementasi otonomi khusus di Papua Barat yang dimulai tahun 2008, tetapi angka IPM provinsi tersebut berada di atas Papua.

  Berdasarkan hasil penelitian ini, dana otonomi khusus berpengaruh seginifikan positif terhadap belanja modal APBD Provinsi Papua Dan Provinsi Papua Barat periode mendorong pembangunan dan penyediaan infrastruktur daerah Papua dan Papua Barat. Harapannya dapat mengurangi keterisolasian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam batas tertentu mengingat kondisi geografis dan sosial budaya masyarakat kedua daerah tersebut lebih unik dibanding daerah lainnya. Hasil lain penelitian ini membuktikan bahwa dana otonomi khusus berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia yang berarti secara langsung berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meskipun terlihat angka urutan indeks pembangunan manusia wilayah Papua dan Papua Barat masih pada posisi urutan bawah dibandingkan sebagai variabel intervening dalam memberikan pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia, dengan nilai koefsien dari pengaruh langsung masih lebih besar dibandingkan pengaruh tidak langsungnya.

  Studi mengenai kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dengan salah satu indikatornya indeks pembangunan manusia, tentunya masih banyak faktor lain yang yang digunakan untuk menentukan tingkat kesejahteraan.

  Dana otonomi khusus bukan satu-satunya yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia tetapi juga variabel lainnya yang mendukung instrumen keuangan daerah dan partisipasi masyarakat. Di samping faktor sosial dan kultur masyarakat Papua dan Papua Barat yang sangat berbeda di banding dengan daerah lainnya.

  Keterbatasan penelitian lainnya adalah dalam penentuan alokasi belanja modal APBD, peneliti tidak memperoleh data pendukung lainnya berupa seberapa besar muatan politis tentang kebijakan pemerintah daerah Papua dan Papua Barat dalam mendorong investasi publik yang tercermin melalui alokasi belanja modal APBD. Begitu juga dengan aspek penting lainnya yang seharusnya dilibatkan dalam mengukur indeks pembangunan manusia seperti aspek kebijakan publik, aspek manajemen keuangan dan aspek psikologis personalitas pembuat keputusan di pemerintah daerah.

  Implikasi atas keterbatasan tersebut untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan variabel non keuangan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa variabel non keuangan seperti kebijakan pemerintah daerah dapat menjelaskan dengan baik seberapa besar tingkat alokasi belanja modal APBD agar mampu mendorong laju indeks pembangunan manusia sebagai salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat. Di samping itu kondisi geografis dan tingkat kemahalan konstruksi menjadi perhatian khusus dalam menilai studi tentang kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat.

  

Daftar Pustaka

  Abdullah, S. (2006). Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan Dan Sumber Pendapatan.

  

Jurnal Akuntansi Pemerintah, Vol. 2, No. 2 (November 2006), Hal 17 - 32.

  Christy, A., dan Adi. (2009). Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia. Konferensi Nasional UKWMS, Surabaya. Darwanto, Y. Y. (2007). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah,

  Dan Dana Aloaksi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi X . Fauzi, G. (2013). Indeks Pembangunan Manusia Papua Terendah. Republika. Ghozali, I. (2006). Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS (Vol. IV).

  Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Grindle, M. S. (2007). Good Enough Governance Revisited. Development Policy Review (Blackwell Publishing, Oxford OX4 2DQ, UK), 553-574.

  Irianni, F., dan Ohei. (2003 ). Analisis Keuangan Daerah Provinsi Papua Dengan Berlakunya Otonomi Khusus. Universitas Diponegoro, Semarang. Kausar. (2006). Perjalanan Desentralisasi Di Indonesia. Lemhanas. Kementerian Keuangan. (2012). Tinjauan Ekonomi Dan Keuangan Daerah Provinsi Papua . Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Kementerian Keuangan (2013). Deskripsi Dan Analisis Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah 2013 . Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Kurniadi, D., Bayu. (2012). Desentralisasi Asimetris Di Indonesia. Universitas Gajah Mada . McGuire. (2002). Fiscal Decentralization in Spain: An Asymmetric Transition to Democracy. University of Illinois, Chicago. Miharbi, L. A. (2012). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Alokasi Belanja (2012), 12. Sullivan, L. (2012). Langkah-Langkah Affirmatif Dan Otonomi Khusus. Papuaweb. Suryadi, A. (2008). Kependudukan dan pembangunan pendidikan. Jurnal Pendidikan,

  Tahun Ke - 14,,No.070,Januari, 2008 (0215-2673), 17.

  TADF. (2012). Policy Brief 2012 Republik Indonesia. (2001). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi

  Khusus Bagi Provinsi Papua; Republik Indonesia. (2004).Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

  Republik Indonesia. (2008).Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

  Wardana, A. G. (2012). Pengaruh PAD, DAU, DAK, Dan DBH Terhadap Pengalokasian Belanja Modal. Acounting Analysis Journal. Winardito. (2005). Evaluasi Terhadap Kebijakan Pemberian Dana Otonomi Khusus Kepada Propinsi Papua. Universitas Indonesia, Jakarta.

  Lampiran Lampiran 1

  Indeks Pembangunan Manusia

  PROVINSI TAHUN 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Papua Barat - 63,7 64,83 66,08 67,28 67,95 68,58 69,15 69,65 70,22

  

Papua 60,1 60,9 62,08 62,75 63,41 64.00 64,53 64,94 65,36 65,86

  Catatan: Mulai tahun 2005, angka IPM Provinsi dan Kabupaten/Kota disajikan dalam dua digit atau dua desimal dibelakang koma

  Lampiran 2

  Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrstruktur Provinsi Papua Periode 2002-2012

  (triliun rupiah) No. Tahun

  Dana Otonomi Khusus Papua Papua Barat

  1. 2002 1,38 - 2. 2003 1,54 - 3. 2004 2,61 - 4. 2005 1,64 - 5. 2006 1,78 - 6. 2007 2,91 - 7. 2008 3,26 - 8. 2009 2,61

  1.11 9. 2010 2,61 1,75 10. 2011 2,61 1,95 11. 2012 2,69 2,07

  Total 25,64 6,88

  Lampiran 3

  15 Normal Parameters

  Kolmogorov-Smirnov Z .386 Asymp. Sig. (2-tailed) .998 a. Test distribution is Normal.

  Absolute .100 Positive .100 Negative -.093

  2.45263694 Most Extreme Differences

  0E-7 Std. Deviation

  Mean

  a,b

  Unstandardiz ed Residual N

  Alokasi Belanja Modal Provinsi Papua Dan Provinsi Papua Barat Periode 2002-2012

  One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

  Uji Normalitas

  Lampiran 4

  Total 8,64 4,36

  1. 2002 0,30 - 2. 2003 0,37 - 3. 2004 0,58 - 4. 2005 0,40 - 5. 2006 0,52 - 6. 2007 1,52 - 7. 2008 1,18 0,36 8. 2009 0,89 1,72 9. 2010 0,90 0,89 10. 2011 0,95 0,58 11. 2012 1,03 0,81

  Alokasi Belanja Modal Papua Papua Barat

  (triliun rupiah) No. Tahun

  b. Calculated from data. Uji Asumsi Klasik Uji Multikolinearitas

  a

Coefficients

  Model Unstandardized Standardize t Sig. Collinearity Coefficients d Statistics

  Coefficient s B Std. Error Beta Tolerance

  VIF (Consta

  65.699 2.346 28.004 .000 nt)

  1 DOK -3.450 1.303 -.695 -2.647 .021 .646 1.547 ABM 7.916 2.581 .805 3.067 .010 .646 1.547

  a. Dependent Variable: IPM Uji Autokorelasi

  

b

Model Summary

  Mode R R Square Adjusted R Std. Error of Durbin- l Square the Estimate Watson

  a

  1 .682 .466 .377 2.64915 .858

  a. Predictors: (Constant), ABM, DOK

  b. Dependent Variable: IPM Uji Heteroskedastisitas

  a Coefficients Model Unstandardized Standardized t Sig.

  Coefficients Coefficients B Std. Error Beta

  (Constant) 7.046E-015 2.346 .000 1.000

  1 DOK .000 1.303 .000 .000 1.000 ABM .000 2.581 .000 .000 1.000

  a. Dependent Variable: Abs_Res1 Analisis Regresi Linear Dengan Variabel Intervening Model Pertama

  a Coefficients Model Unstandardized Standardized t Sig.

  Coefficients Coefficients B Std. Error Beta

  (Constant) .171 .248 .691 .502

  1 DOK .300 .113 .595 2.668 .019

  a. Dependent Variable: ABM Model Kedua

  

Coefficients

a

  Model Unstandardized Coefficients

  Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta

  1 (Constant) 65.699 2.346 28.004 .000 DOK -3.450 1.303 -.695 -2.647 .021 ABM 7.916 2.581 .805 3.067 .010

  a. Dependent Variable: IPM

Dokumen yang terkait

PENGARUH KARAKTERISTIK PERUSAHAAN TERHADAP PENGUNGKAPAN AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA NOVA MAULUD WIDODO Universitas Sebelas Maret Abstract - Widodo, SNA 2014, Akuntansi SDM

4 15 18

HUBUNGANFAKTOR TEKNIS, ORGANISASIONAL DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU PEGAWAI PEMDATERHADAP IMPLEMENTASI SISTEM PENGUKURAN KINERJA DI PEMERINTAH DAERAH Hafiez Sofyani Alumni Magister Sains dan Doktor FEB UGM Rusdi Akbar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ABSTRA

0 0 35

PENGARUH KARAKTERISTIK AUDITOR TERHADAP AUDIT DELAY LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH YEDIEL LASE

0 2 27

Sudibyo, Jianfu & Bawono, SNA 2014, TEORI INSTITUSI DAN KORUPSI

0 0 16

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHILUAS PENGUNGKAPAN SUKARELA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ASIMETRI INFORMASI Erna Wati Indriani

0 0 29

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL DAN KINERJA TERHADAP AKUNTABILITAS PELAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

0 0 24

PENGARUH MEKANISME PENGAWASAN TERHADAP AKTIVITAS TUNNELING Edwin Pratama Brundy I Gede Siswantaya Universitas Atma Jaya Yogyakarta Abstract - Brundy dan Siswantara, 2014 pengawasan dan tunneling

0 4 17

ANGGARAN EMANSIPATORIS BERDIMENSI KETUHANAN SEBAGAI KRITIK IDEOLOGI ANGGARAN BERBASIS KINERJA

0 0 25

PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN TERHADAP PERILAKU PEGAWAI PEMDA DENGAN KETIDAKPASTIAN TUGAS DAN JOB INSECURITY SEBAGAI VARIABEL MODERATING

0 1 24

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR TEKNIS DAN KEORGANISASIAN TERHADAP PENGEMBANGAN SISTEM PENGUKURAN KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris Pada Kantor Inspektorat Pemda Sleman)

0 0 29