Bahasa Kedanauan (Kajian Ekolinguistik Tentang Pelestarian Ekosistem Kawasan Danau Toba) Chapter III VIII

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Danau Toba terletak di pusat suatu puncak topografi dengan panjang 300 km dengan
beda tinggi berkisar antara 100-1000 m dimuat dalam peta topografi Sumatra Utara.
Luas badan air Danau Toba 1.103 km2 yang menempati 3 area, Pulau Samosir di dalam
danau mempunyai luas daratan 647 km 2 dan suatu Pulau Pardapur yang lebih kecil
dengan luas area 7 km2. Panjang danau adalah 87 km, dengan ukuran panjang keliling
danau 294 km. Area cekungan danau dikelilingi oleh batuan vulkanik, dengan tinggian
yang berkisar antara 400 hingga 1200 m di atas muka air danau. Danau ini terletak pada
garis lintang dan garis bujur antara 98030′ BT; 3005′ LS dan 99020 BT’; 2040′ LS.
Batas perairan Danau Toba meliputi suatu area seluas 3,704 km2 yang terbagi ke dalam
lima Kabupaten, yaitu. Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Simalungun, Dairi
dan Karo. Di wilayah Danau Toba, terdapat suatu area untuk tujuan konservasi yang
berfungsi sebagai resapan air, pengendalian polusi udara, pencegahan erosi lahan dan
stabilisasi lahan.
Kabupaten Samosir terdiri dari duabelas kecamatan merupakan daerah paling besar dari
seluruh batas perairan (64%), yang diikuti oleh Kabupaten Tapanuli Utara empat
kecamatan (21%), lima kecamatan di Kabupaten Simalungun (10%), Kabupaten Karo
satu kecamatan (3%) .


79

Universitas Sumatera Utara

80

Gambar 7: Peta Lingkungan Danau Toba

dan satu kecamatan di Kabupaten Dairi (2%).Duapuluh tiga (23) daerah yang terbagi
dalam lima (5) kabupaten telah termasuk dalam area perairan danau Toba, yaitu antara
lain, 1)Sianjur Mula-mula, Harian, Simanindo, Pangururan, Palipi, Onanrunggu,
Onanrunggu Timur, Lumbanjulu, Porsea, Silaen, Laguboti dan Balige di Kabupaten
Toba Samosir; 2)Silimakuta, Purba, Dolok Pardamean, Sidamanik dan Girsang
Sipanganbolon di Kabupaten Simalungun; 3)Doloksanggul, Muara, Lintongnihuta dan
Siborong-borong

Kabupaten Tapanuli Utara; 4) Merek di Kabupaten Karo; dan

5)Sumbul di Kabupaten Dairi.


Universitas Sumatera Utara

81

3.2. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.

Pendekatan

kualitatif suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang
menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti
membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan
responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15).

Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan
dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dengan demikian, wujud data adalah kata-kata

dan rangkaian kata (Denzin dan Lincolon, 2009; lihat Miles dan Huberman, 2007:1516). Dalam penelitian ini, berupa perangkat cerita rakyat bahasa Batak Toba yang
berkaitan dengan situs pelestarian ekosistem pada masyarakat penutur bahasa Batak

Toba sekitar Danau Toba. Sementara interpretasi makna dan fungsi kebahasaan
dilakukan dalam rangka menemukan makna dan fungsi bahasa (Band. Spradley, 2007)
dalam membangun dan merekam khazanah pengetahuan lokal komunitas tutur tentang
sumber daya alam dalam bahasa Batak Toba yang berhubungan dengan pelestarian
ekosistem. Sementara itu, interpretasi makna dan gagasan-gagasan dilakukan untuk
menemukan sumber daya budaya verbal yang bermakna dan berfungsi untuk
memelihara dan melestarikan lingkungan alam.

Pendekatan yang dilakukan terhadap subjek dalam penelitian ini adalah pendekatan
ekolinguistik dan pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan ekolinguistik yang diteliti
adalah bentuk wacana cerita rakyat. Data metode kualitatif, diyakini, dapat memberikan
pengertian yang mendalam tentang perilaku manusia.

Universitas Sumatera Utara

82

Penjaringan data dalam penelitian kualitatif dilakukan oleh peneliti sebagai alat utama
dalam penjaringan data (human instrument) tersebut. Dengan demikian, negosiasi
makna, dalam hal ini makna khazanah teks dalam bahasa Batak Toba yang ditemukan

dapat ditafsir, dan dinegosiasi kepada para nara sumber. Negosiasi makna (lihat Bogdan
dan Taylor, 1990) sangat penting dilakukan dalam penelitian ini, termasuk negosiasi
gagasan pemertahanan, dan pelestarian bahasa, budaya, dan lingkungan lokal di atas
landasan kesadaran, tanggung jawab, dan kemauan komunitas tutur sendiri. Tujuannya
adalah agar kekayaan makna cerita yang dibalut dalam mitos bahasa Batak Toba yang
diteliti ini hasilnya lebih menjadi objective lagi.

3.3.

Sumber Data

Lofland dan Lofland dalam Basrowi dan Suwandi (2008: 169) “sumber utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata dan selebihnya adalah data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain.” Berdasarkan pendapat tersebut, data penelitian ini bersumber
dari data lisan dan tertulis tentang wacana kedanauan bahasa Batak Toba yang berkaitan
dengan pemeliharaan keseimbangan ekosistem Danau Toba.
Sumber data dalam penelitian ini berupa cerita rakyat tuturan masyarakat, para tetua
kampung, para orang tua. Temuan penelitian cerita rakyat berfungsi

sebagai upaya


pelestarian lingkungan yang terdiri atas (1) cerita rakyat yang berkaitan dengan alam
semesta;(2) cerita yang berkaitan dengan penggarapan lahan; (3) cerita yang berkaitan
dengan pelestaria ekosistem; (4) cerita yang berkaitan dengan pemeliharaan dan
keserasian;dan (6) cerita yang berkaitan dengan hubungan antar sesama warga Batak
Toba. Pengambilan sampel sebagai informan didasari pada situasi, subjek, informan,

Universitas Sumatera Utara

83

dan waktu yang dikenal dengan teknik bola salju (snowball sampling). Oleh karena itu,
keakurasian data didukung oleh tindakan berikut ini:
a. Kehadiran Penelitian
Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam
penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Peneliti bertindak sebagai
instrumen sekaligus pengumpul data. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lapangan
untuk penelitian kualitatif mutlak diperlukan. Peran peneliti sebagai pengamat penuh
dalam menjaring dan menggali wacana di pinggiran Danau Toba.


b. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data digunakan observasi partisipan, wawancara mendalam yang
berkaitan dengan situs cerita rakyat, dan dokumentasi situs tersebut. Terdapat dua
dimensi rekaman data, yaitu fidelitas dan struktur. Fidelitas mengandung arti sejauh
mana bukti nyata dari lapangan disajikan (rekaman audio atau video memiliki fidelitas
tinggi, sedangkan catatan lapangan memiliki fidelitas kurang). Dimensi struktur
menjelaskan sejauh mana wawancara dan observasi dilakukan secara sistematis dan
terstruktur. Hal-hal yang menyangkut jenis rekaman, format ringkasan rekaman data,
dan prosedur perekaman diuraikan pada bagian ini. Selain itu dikemukakan cara-cara
untuk memastikan keabsahan data dengan triangulasi dan waktu yang diperlukan dalam
pengumpulan data.

c. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kerja lapangan (fieldwork), yaitu:

Universitas Sumatera Utara

84

1. Wawancara

Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau
keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara yang digunakan dalam
penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth
interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang
yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di
mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama.
Dalam hal ini wawancara diarahkan untuk menginvestigasi, menginventarisir wacana
kedanauan.
Dalam penelitian ini tdak ditentukan jumlah informan pendamping dan informan utama.
Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang terdiri atas:
1.

Cerita rakyat menyangkut situs biota Danau Toba yang berhubungan dengan
menjaga keseimbangan ekosistem.

2.

Cerita rakyat menyangkut situs abiotik Danau Toba


2. Observasi
Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat) beruapa
situs sebagai setting cerita, pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa,
waktu, dan perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan
gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk
membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran
terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut.

Universitas Sumatera Utara

85

Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan
dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan
observasi kelompok tidak terstruktur.

Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan
dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden.


Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa menggunakan guide
observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan
daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek.Observasi kelompok adalah
observasi yang dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa objek
sekaligus.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam observasi adalah topografi, jumlah dan
durasi, intensitas atau kekuatan respon, stimulus kontrol (kondisi dimana perilaku
muncul), dan kualitas perilaku.

3.

Dokumen

Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi
yang berisi wacana kedanauan. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk
surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat
utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada
peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara detail
bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu otobiografi, surat-surat pribadi, buku

atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server

Universitas Sumatera Utara

86

dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain. Teknik ini digunakan untuk
mendukung data wacana kedanauan yang sudah terekam lewat wawancara.

4. Triangulasi
Triangulasi merujuk pada konsistensi suatu penelitian. Patton (2001) memperingatkan
bahwa inkonsistensi sebuah analisis tidak boleh dilihat sebagai kelemahan bukti, tetapi
kesempatan untuk mengungkap makna lebih dalam data. Miles dan Huberman (1984)
memiliki cara yang baik untuk menjelaskan bagaimana triangulasi bekerja secara
kongkrit dalam sebuah penyelidikan terhadap sebuah teka-teki: "Detektif melibatkan
instrumentasi rumit. Ketika detektif amasses sidik jari, sampel rambut, alibi, saksi mata
dan sejenisnya, kasus yang dibangun mungkin cocok pada satu dugaan atau lebih.
Berbagai jenis pengukuran yang menyediakan verifikasi berulang."
Manfaat triangulasi adalah meningkatkan kepercayaan penelitian, menciptakan caracara inovatif memahami fenomena, mengungkap temuan unik, menantang atau
mengintegrasikan teori dan memberi pemahaman yang lebih jelas tentang masalah.


d.

Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis Padan,
seperti yang diungkapkan oleh Sudaryanto (1993:13) “Metode padan, alat penentunya
di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian bahasa (language) yang bersangkutan.
Pada bagian analisis data diuraikan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis
transkrip-transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain agar peneliti
dapat menyajikan temuannya. Analisis ini melibatkan pengerjaan, pengorganisasian,
pemecahan dan sintesis data serta pencarian pola, dan penentuan apa yang dilaporkan.
Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan

Universitas Sumatera Utara

87

data, dengan teknik-teknik misalnya analisis domain, analisis taksonomis, analisis
komponensial, dan analisis tema. Dalam hal ini peneliti

menggunakan

analisis

isi/pesan yang termuat dalam cerita rakyat kedanauan yang berkontribusi pada
pelesterian ekosistem kedanuan Danau Toba. Pemaknaan leksikon, kalimat, tematik
yang berkontribusi dalam pelestarian ekosistem kedanauan.
Langkah-langkah penelitian ini dilakukan adalah...
1. Menginventarisir situs-situs yang berpotensi melestarikan ekosistem
2. Mencatat dan mengklasifikasikan situs-situs berdasarkan informasi situs yang
terinventarisir.
3. Menggali cerita rakyat yang berkaitan dengan situs tersebut.
4. Merekonstruksi cerita yang sudah terekam.
5. Menganalisis cerita tersebut dari sudut leksikon, konten kalimat yang berkaitan
dengan pelestarian ekosistem.
6. Merekonstruksi model pelestarian ekosistem yang terdapat pada pemaknaan
cerita rakyat.
e. Pengecekan Keabsahan Temuan
Bagian ini memuat uraian tentang usaha-usaha peneliti untuk memperoleh keabsahan
temuannya.

Temuan dan interpretasi absah harus diteliti kredibilitasnya dengan

mengunakan teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi yang
diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, peneliti, teori),
pembahasan sejawat, analisis kasus negatif, pelacakan kesesuaian hasil, dan pengecekan
anggota. Selanjutnya perlu dilakukan pengecekan dapat-tidaknya ditransfer ke latar lain
(transferrability), ketergantungan pada konteksnya (dependability), dan dapat-tidaknya
dikonfirmasikan kepada sumbernya (confirmability)

Universitas Sumatera Utara

88

F. Keabsahan Data
Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu
subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif, alat
penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi mengandung banyak
kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol, dan sumber data
kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh
karena itu, dibutuhkan beberapa cara menentukan keabsahan data, yaitu:

1. Kredibilitas
Proses dan hasil penelitian dapat diterima atau dipercaya harus memenuhi beberapa
kriteria, yaitu lama penelitian, observasi yang detail, triangulasi, debriefing, analisis
kasus negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check.
Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu:
a. Memperpanjang masa pengamatan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan
data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi
dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden terhadap peneliti
dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.
b. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam
situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
c. Triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar
data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.

Universitas Sumatera Utara

89

d. Peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil
sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk deskripsi dalam diskusi
analitik dengan rekan-rekan sejawat.
e. Mengadakan member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang
berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan
mengaplikasikannya pada data, serta denganmengajukan pertanyaan-pertanyaan
tentang data.
2. Transferabilitas yaitu apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang
lain.
3. Dependability yaitu apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti
dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika
membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan.
4. Konfirmabilitas yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya.
Kesesuian hasil wawancara wacana rakyat bahasa Batak Toba dengan data yang
dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan.

Gambar 8: Alur Penelitian

SITUS MITOS

Universitas Sumatera Utara
OBSERVASI

WAWANCARA

DOKUMENTASI

90

Langkah-langkah penelitian ini dapat dirumuskan:

Universitas Sumatera Utara

91

a. Mendata dan menginventarisir situs-situs yang berkaitan dengan pelestarian
Lingkungan Danau Toba
b. Menyeleksi situs-situs yang masih hidup legendanya di tengah masyarakatnya.
c. Menganalisis kandungan wacana, berupa leksikon, kalimat, tematik situs yang
masih memiliki legenda.
d. Menganalisis

wacana

tersebut

dari

sisi

analisis

wacana

kritis,

dan

mengubungkannya dengan kearifan lokal dan kandungan ekologi bahasanya.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH DAN KARAKTERISTIK DANAU
SERTA SISTEM KEPERCAYAAN CERITA RAKYAT
4.1

Deskripsi Wilayah

A. Letak Geografis dan Luas Danau
Secara geografis Kawasan Danau Toba terletak di pegunungan Bukit Barisan Propinsi
Sumatera Utara pada titik koordinat 2021‘ 32‘‘– 20 56‘ 28‘‘ Lintang Utara dan 980 26‘
35‘‘ – 990 15‘ 40‘‘ Bujur Timur.
Gambar: 9 Kondisi Danau Toba

Danau Toba terletak di Pulau Sumatera 176 Km arah Selatan Kota Medan. Danau ini
merupakan danau terbesar di Indonesia dan di Asia Tenggara. Permukaan danau berada
pada ketinggian 903 meter dpl, dan Daerah Tangkapan Air (DTA) 1.981 meter dpl.
Luas Perairan Danau Toba yaitu 1.130 Km 2 dengan kedalaman maksimal danau 529
meter. Total luas Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba lebih kurang 4.311,58
Km2.

92

Universitas Sumatera Utara

93

Tabel:1 Luas Wilayah DTA Danau Toba
No
1

Kabupaten Kecamatan
Samosir
Simanindo
Pangururan
Palipi
Nainggolan
Onan Runggu
Ronggur Ni Huta
Harian
Sitio-tio
Sianjur Mula-mula

Luas Wilayah (Km2)
198,20
121,43
129,55
87,86
60,89
94,87
560,45
50,76
140,24

B. Iklim
DTA Danau Toba termasuk ke dalam tipe iklim B1, C1, C2, D2, dan E2. Dengan
demikian bulan basah (Curah Hujan ≥ 200 mm/bulan) berturut-turut pada kawasan ini
bervariasi antara 3 bulan sampai dengan 7-9 bulan, sedangkan bulan kering (Curah
Hujan ≤ 100 mm/bulan) berturut-turut antara 2-3 bulan. Berdasarkan klasifikasi iklim
menurut Scmidt dan Ferguson maka DTA Danau Toba ini termasuk ke dalam tipe iklim
A,B dan C.

C. Curah Hujan
Curah hujan tahunan yang terdapat di kawasan Daerah Tangkapan Air Danau Toba
berkisar antara 1.700 sampai dengan 2.400 mm/tahun. Sedangkan puncak musim hujan
terjadi pada bulan Nopember – Desember dengan curah hujan antara 190 – 320
mm/bulan dan puncak musim kemarau terjadi selama bulan Juni – Juli dengan curah
hujan berkisar 54 – 151 mm/bulan.

93

Universitas Sumatera Utara

94

D. Hidrologi

Gambar 10: Sebaran Sungai DTA Danau Toba

Air yang masuk ke Danau Toba berasal dari : (1) Air hujan yang langsung jatuh ke
danau ; (2) Air yang berasal dari sungai-sungai yang masuk ke danau. Sungai-sungai
yang mengalir dan bermuara ke Danau Toba yaitu (1) Sungai Sigubang, (2) Sungai Bah
Bolon, (3) Sungai Guloan, (4) (5) Sungai Arun, (6) Sungai Tomok, (7) Sungai
Sibandang, (8) Sungai Halian, (9) Sungai Simare, (10)Sungai Aek Bolon, (11)Sungai
Mongu, (12) Sungai Mandosi, (13) Sungai Gopgopan, (14) Sungai Kijang, (15) Sungai
Sinabung, (16) Sungai Ringo, (17) Sungai Prembakan, (18) Sungai Sipultakhuda dan
(19) Sungai Silang. Sedangkan Outlet Danau Toba satu sungai, yaitu Sungai Asahan.

Daerah aliran sungai (Catchment Area) tersebut di atas terdiri dari 26 Sub DAS, yaitu :
Aek Sigumbang, Aek Haranggaol, Situnggaling, Naborsahon,Tongguran, Gopgopan,
Mandosi, Aek Bolon, Simare, Halion, Sitobu, Siparbul, Pulau Kecil, Silang, Bodang,
Parembakan, Tulas, Aek Ranggo, Simala, B. Sigumbang, B. Bolon, Silabung, Guluan,
Arun, Simaratuang, Sitiung-tiung.

Universitas Sumatera Utara

95

Total jumlah sungai yang masuk ke Danau Toba adalah 289 sungai. Dari Pulau Samosir
adalah 112 sungai dan dari Daerah Tangkapan Air lainnya adalah 117 sungai. Dari 289
sungai itu, 57 diantaranya mengalirkan air secara tetap dan sisa 222 sungai lagi adalah
sungai musiman (intermitten).

F. Topografi dan Tata Guna Lahan
Kondisi topografi DTA Danau Toba didominasi oleh perbukitan dan pegunungan,
dengan kelerengan lapangan terdiri dari datar dengan kemiringan (0 – 8 %) seluas
703,39 Km2, landai (8 – 15 %) seluas 791,32 Km2, agak curam (15 – 25 %) seluas
620,64 Km2, curam (25 – 45 %)seluas 426,69 Km2

sangat curam sampai dengan terjal

(> 45 %) seluas 43,962 Km2.

Gambar 11: Kebun di DTA Danau Toba

Eksisting penggunaan dan penutupan lahan di DTA Danau Toba terdiri dari hutan
alam, hutan rapat, hutan tanaman, hutan jarang dan kebun campuran, semak
belukar, resam, tanaman semusim, persawahan dan lahan terbuka (permukiman,
bangunan lain, lahan terbuka, padang rumput dan alang-alang).

Universitas Sumatera Utara

96

Tabel: 2 Penggunaan dan Penutupan Lahan di DTA Danau Toba
No Tipe Habitat
% terhadap luas DTA
1
Hutan alam, hutan rapat
13,47
2
Hutan tanaman, hutan jarang, kebun campuran
13,68
3
Semak, belukar muda, resam Tanaman Semusim
15,09
4
Persawahan
36,39
5
Lahan terbuka (permukiman, bangunan lain,
9,44
6
pembukaan lahan)
11,93
rumput dan alang-alang
Jumlah
100

Tabel: 3 Jenis Penggunaan Lahan pada DTA Danau Toba

No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Jenis Penggunaan Tanah (Ha)
Tanah Sawah Tanah Kering Bangunan/
Lainnya
Kabupaten
Pekarangan
Samosir
5.011,60
63.820
2.037
56.424,3
Toba Samosir
12.267
20.232,3
2.623,4
24.866,9
Simalungun
1.258,25
31.368,75
2.348,50
8.021,50
Tapanuli Utara
860
4.308
184
2.623,00
Humbang
1.071
60
75
0
Hasundutan
Dairi
239
1.465
252
5.040,00
Karo
827
5.801
63
5.860,00
Jumlah
21.533,85
127.055,05
7.582,90 107.374,40

Universitas Sumatera Utara

97

Gambar 12: Penggunaan Lahan DTA Danau Toba

G. Fungsi dan Manfaat Danau
1. Cadangan Air (Air Baku Air Minum)
Air danau Toba dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai air baku air minum.
2. Objek Wisata.
Danau Toba yang memiliki pemandangan alam yang menakjubkan sangat
berpotensi sebagai sebagai sebagai objek wisata.
3. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
PLTA memproduksi energy listrik 450 megawatt. Potensi sumber daya air
Danau Toba telah memproduksi energy listrik sebesar 450 Megawatt melalui
PLTA Asahan yang memanfaatkan outlet air Danau Toba yang Sungai Asahan.
4. Transportasi
Danau Toba dimanfaatkan sebagai sarana transportasi di kawasan Danau Toba.

Universitas Sumatera Utara

98

4.2 Karakteristik Danau Toba
1. Keanekaragaman Hayati Danau
Secara umum habitat KDT dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe habitat yaitu (1)
habitat perairan Danau Toba dan (2) habitat daratan Kawasan Danau Toba yang berupa
Samosir dan daratan di sekeliling luar danau dalam cakupan Kawasan Danau Toba.

Tabel:4 Habitat Perairan dan Daratan Danau Toba
Habitat Daratan
Flora

Fauna

Habitat
Perairan
- Ikan Batak
jenis
Lissochilus
sumatranus
dan
Labeobarbu
s soro

Meranti, kapur, keruing, puspa, manggis Burung rangkong, elang, kuau,
hutan, kayu raja, pinus, liana, epifit, zing burung hantu, beo, monyet
iberaceae, pohon Hoting Batu,Atuang beruk, siamang, kancil, kucing
(Semecarpus,sp).Sona,
kayu
ara, hutan, macan dahan, babi hutan,
Dakkap dan Kamboang
angsana, biawak, Tapir (Tapirus indicus),
beringin, cemara, ekaliptus, mahoni, Kambing Hutan, Rusa (Cervus
kaliandra, kemiri, johar, mindi, palu, unicolor), Harimau Sumatera
pinus dan suren. alpukat, aren, bambu, (Panthera tiris sumatrensis),
- Remis Toba belimbing, cengkeh, coklat, dadap, Paku Ekor Kuda (Plathycerium
(Corbicula durian, gamal, jambu mente, jarak, sp), kutilang, sikatan, tekukur,
jengkol, jeruk, kapuk, kecapi, kelapa, bubut, beo,
tobae)
kemiri, kopi, kayu manis, mangga,
nangka, petai cina, petai, pinang,
rambutan, sawit, sawo dan sirsak.
berbagai
jenis
anggrek
alam
(Dendrobium spp).

2. Sosial, Ekonomi dan Budaya
Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan ekosistem Danau Toba dapat
dilihat dari aspek mata pencaharian, pendidikan, kesehatan, prasarana dan sarana
pendukung. Dari aspek sosial budaya, masyarakat di kawasan tersebut hidup dalam
beragam marga dan tradisi yang tetap dipegang teguh hingga kini. Kearifan lokal
tersebut banyak mewarnai seluk-beluk masyarakat sehingga tidak dapat diabaikan

Universitas Sumatera Utara

99

dalam

menyusun

perencanaan

pembangunan

setempat.

Sedangkan

kegiatan

perekonomian sebagian masyarakat di Kawasan Danau Toba masih mengandalkan
pada sektor pertanian, termasuk kegiatan peternakan dan perikanan.

Budidaya pertanian dilakukan umumnya dilakukan pada lahan kering untuk budidaya
tanaman pangan, tanaman perkebunan dan kehutanan. Sementara pengusahaan kegiatan
pertanian pada lahan basah hanya dilakukan untuk tanaman pangan.

Penduduk bermukim di Kawasan Danau Toba tersebar di 443 desa/kelurahan pada 37
Kecamatan, di tujuh Kabupaten ( Samosir,Toba Samosir, Simalungun, Tapanuli Utara,
Humbang Hasundutan, Karo dan Dairi) dengan jumlah total penduduk 580.428 jiwa.

Jalur angkutan danau penyeberangan di perairan Danau Toba :
1. Ajibata ke Tomok.
2. Ajibata ke Pangururan melalui Ambarita.
3. Balige ke Pangururan melalui Nainggolan dan Mogang.
4. Ajibata ke Nainggolan.
5. Nainggolan ke Muara.

4.3 Permasalahan Ekosistem Danau Toba
1. Kerusakan Daerah Tangkapan Air (DTA)
Berbagai kegiatan masyarakat pada DTA maupun pada kawasan danaunya dapat
menghasilkan limbah yang dapat mencemari perairan. Kualitas fisik-kimia perairan
Danau Toba akan mengalami perubahan yang disebabkan oleh berbagai kegiatan
pada Daerah Tangkapan Air maupun perairan Danau Toba.

Universitas Sumatera Utara

100

Luas hutan pada Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba pada tahun 1985
adalah ± 78.558 Ha dan menurun pada tahun 1997 menjadi ± 62.403 Ha. Penurunan
luas hutan tersebut diikuti dengan pertambahan luas semak belukar dari 103.970 Ha
menjadi 114.258 Ha serta bertambahnya luas padang rumput dari 5.870 Ha menjadi
22.528 Ha (LPPM USU, 2000). Penataan ulang terhadap kawasan tutupan hutan yang
harus dipelihara di kawasan Danau Toba harus ditata ulang. Salah satu penyebab
kebakaran hutan adalah keteledoran masyarakat, sebagian masyarakat membakar alangalang dengan tujuan untuk mendapatkan rumput muda sebagai makanan ternak.
Pembakaran alang-alang dapat merambat ke areal berhutan.

Pada DTA Danau Toba terindikasi telah terjadi penebangan hutan secara liar,
penebangan hutan secara untuk kawasan Danau Toba akan menurunkan kapasitas
resapan kawasan hutan terhadap air hujan. Pembukaan hutan untuk di konversi menjadi
lahan pertanian akan mengakibatkan lahan terbuka sehingga akan meningkatkan laju
erosi, transpor sedimen maupun meningkatkan aliran permukaan. Kemampuan resapan
kawasan yang telah dibuka penutupan hutannya juga akan menurunkan kemampuan
lahan meresapkan air hujan. Peningkatan aliran permukaan dan penurunan resapan ini
juga akan mengganggu keseimbangan / neraca air danau dan menurunkan fungsi
hidrologis DTA secara umum.

2. Kerusakan Sempadan
a. Okupasi lahan
b. Penambangan galian C, potensi bahan galian di Kawasan Danau Toba relatif
besar walaupun kegiatan penambangan yang dilakukan tanpa perencanaan
yang memadai. Sesuai karakteristik fisik Kawasan Danau Toba, akan berpotensi

Universitas Sumatera Utara

101

mengakibatkan longsor,

erosi aliran permukaan dan juga mempengaruhi

kualitas air yang mengalir ke Danau Toba.
c. Pertumbuhan dan

pemukiman, hotel, restoran yang tidak sesuai dengan

tataruang semestinya.
d.

Penurunan jumlah wisatawan ke Danau Toba.

e.

Pencemaran oleh limbah domestik, pertanian, dan peternakan.

f.

Erosi lahan dan tepi sungai dan galian pasir.

3. Pencemaran Perairan Air Danau
Kualitas perairan Danau Toba pada dasarnya dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan
manusia disekitarnya, terutama pemukiman penduduk, peternakan, pertanian, kegiatan
pariwisataan dan perdagangan termasuk pasar, hotel dan restoran serta kegiatan
transportasi air. Pengaruh terpenting dari seluruh kegiatan tersebut adalah produksi
sampah dan limbah yang secara langsung maupun tidak langsung akan masuk ke dalam
perairan danau.

Sumber-sumber pencemar yang potensial menimbulkan pencemaran air Danau Toba
adalah sebagai berikut :

a.

Limbah domestik.

b.

Perahu motor/kapal yang menghasilkan residu minyak dan oli.

c. Peternakan yang menghasilkan limbah dan sisa makanan.
d. Budidaya

perikanan

yang

menggunakan keramba jaring apung yang

menghasilkan sisa pakan ikan (pellet).
e. Pertanian
f.

yang menghasilkan

residu pestisida dan pupuk.

Sektor kehutanan.

Universitas Sumatera Utara

102

g. Industri kecil (industri ulos dan industri pengolahan kopi) yang dapat
menghasilkan limbah yang dapat mencemari perairan danau.
h.

Populasi enceng gondok.

i. Limbah cair yang berasal dari hotel/penginapan di sekitar Danau Toba yang
dibuang secara langsung ke perairan danau akan mempengaruhi kadar amonium
pada perairan Danau Toba. Adapun kondisi Kualitas Air Danau Toba dapat
dilihat pada grafik dibawah ini.

4.4 Religi atau Kepercayaan
Data cerita rakyat membuktikan kepercayaan atau religi selalu berusaha mendekatkan
diri dengan lingkungannya. Kepercayaan orang Batak dalam mitologinya adalah
persoalan kehidupan yang selalu sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya
sebagai karya Mula Jadi Nabolon. Mite mirip dengan mitologi dalam kepercayaan
Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum
dewa masing-masing Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari
Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia.
Beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh
Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Tampubolon menyebut
ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga
dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara
Guru sesuai dengan pekerjaannya di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta
dari alam semesta untuk alam yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang
lebih rendah. Debata Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui
oknum perantara (roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti Maha

Universitas Sumatera Utara

103

Guru yang memberi ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan
roh-roh jahat.
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut (tradisi
lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini terbukti dari
banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak. Lebih lanjut
Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki dongeng, yang
tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri sendiri (Hutauruk,
2006:8).
Ajaran agama Batak terdapat dalam mitologi Batak ini diperjelas oleh Batara Sangti
menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik otoritas kedewaan
dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata kehidupan manusia.
Legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam tonggotonggo (doa) yang disampaikan
pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon.
Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong
manusia dengan bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele
jala naso sinomba (yang tidak disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat
dimaksud dari na opat harajaon.
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep bahwa
kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada
pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan roh-roh itu
memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat
Batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur
bersama jasadnya sampai sekarang masih diyakini. Misalnya, pahean (pakaian) yang

Universitas Sumatera Utara

104

dikenakan dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari
rasa dingin, dan ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh
perjalanan ‘jauh’ dari dunia nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang
dibutuhkan dalam dunia roh.
Beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, orang Batak pada
zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu yang disebut Mulajadi
Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada
kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Juga
memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah sebagai
ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada.
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk mencapai
kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar pengaruhnya dalam segala
gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus mempunyai sahala. Penafsiran
sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup, kekayaan akan harta benda dan
keturunan, kemuliaan yang mencakup kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan,
kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini terus dilakukan oleh orang Batak secara
turun temurun. Implementasinya, nampak pada setiap pekerjaan adat dan hubungan
kehidupan antara orang Batak. Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon
dan hasangapon. Sahala adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di
dunia. Dia merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang
penting dan kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah dimana seseorang
memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa diperoleh
atau hilang. Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilainilai

Universitas Sumatera Utara

105

kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan
hasangapon (kehormatan).
Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia adalah berdiri sendiri secara
merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan kuasanya. Setiap orang Batak (lakilaki), selalu mempunyai keinginan menjadi seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah
seorang yang dapat mengatur hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena
itu dianggap penting untuk membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya
adalah awal dari usaha-usaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri. Manusia harus
menghormati sanak saudaranya dan marga yang dia miliki.
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah
mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih
dianggap sama dengan banyak memiliki istri dan anak, ladang yang luas dan ternak
yang banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak
memiliki sahala sebagai raja.
Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan gagasan-gagasan
harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon digambarkan sebagai
motivasi fundamental suku Batak. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan
hasangapon, ketegangan seringkali muncul antara kakak beradik dalam satu marga.
Dalam hal ini, seseorang yang memiliki status yang tinggi akan mencoba menengahi,
tetapi bila usaha-usaha ini tidak berhasil, sebuah kelompok bisa pergi untuk mendirikan
pemukiman baru.
Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Peran
hula-hula harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki

Universitas Sumatera Utara

106

ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat Jawa. Sifat ini tidak
berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki gender, pada umumnya perempuan
menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
a. Sahala

Sahala merupakan kemuliaan, kharisma, hikmat, kewibawaan, kebesaran otoritas,

penuh kesaktian. Sahala sebagai kekuatan yang membentuk kualitas tondi seseorang.
Sahala hasangapon (kemuliaan), sahala hamoraon (kekayaan), sahala hadatuon

(kekuatan adikodrati) hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu.

Berbeda dengan tondi, tidak semua orang memiliki sahala . Jenis sahala , kuantitas dan
kualitasnya berbeda-beda pada setiap orang. Sahala kepemimpinan membuat seorang
pemimpin berwibawa dan mampu memimpin, sahala kebijaksanaan membuat orang
lebih bijaksana dibanding lainnya, demikian juga sahala seorang pemimpin lebih besar
dan lebih kuat dari sahala masyarakat awam.

Sahala mempunyai arti yang sangat luas. Apabila diartikan kedalam bahasa hampir
tidak ada padanan kata yang cocok dengannya. Meskipun kamus bahasa Batak Indonesia mengartikan sahala sebagai kharisma dan wibawa, namun belumlah tepat
dengan makna yang sesungguhnya. Vergouewen memaknai Sahala sebagai daya khusus
dari tondi (jiwa). Menurut kepercayaan agama Malim, sahala adalah roh suci yang
bersumber dari Debata mulajadi Nabolon diturunkan melalui Balabulan kepada
seseorang manusia yang terpilih.

Universitas Sumatera Utara

107

Wujud sahala adalah gaib, halus dan tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia
dan tidak pula diketahui kapan masuk dan hinggap pada diri manusia. Orang yang
disebut marsahala dapat dilihat pada kehidupannya sehari-hari, dan akan terjadi
perubahan pada dirinya terutama dari segi sikap dan perilaku. Ciri lain orang yang
marsahala adalah kemampuan pada dirinya untuk memberikan pengobatan pertolongan

kepada orang lain. Sahala yang datang itu disebut sahala pangubati. Selain itu ada juga
yang disebut sahala pangajari (pengajar), sahala panuturi (penutur) dan sahala
panghongkop (jiwa pejuang).

Disisi lain orang yang sudah meninggal dunia boleh jadi akan meningkat menjadi
sahala apabila selama hidupnya tergolong orang yang baik dan suci. Rohnya itu bisa

dipanggil melalui upacara agama disebut mardebata ( menyembah Debata). Kegiatan
itu dilakukan dengan memohon kepada pargonsi (juru gendang) untuk membunyikan
gendang khusus kepada sahala amang atau sahala ompu. Sebaliknya orang yang
meninggal bergumulan penuh dosa maka dia setelah mati bukan menjadi sahala
melaikan begu.
b. Sahala Marsangap dan Sahala Martua

Sebutan ini merupakan sebuah nama panggilan terhadap para malim Debata , yang
diutus membawa agama ke Tanah Batak. Mereka itu ialah Raja Uti, Simarimbulubosi,
Raja na Opatpuluh opat, Raja Sisingamangaraja dan Raja Nasiak Bagi. Panggilan ini
muncul kepada mereka karena jasmani (hadirion) mereka tidak tampak lagi
dipermukaan bumi ini.

Universitas Sumatera Utara

108

Makna “Sahala Marsangap” secara harfiah adalah tondi yang sangat mulia dan
terhormat, sedangkan makna “sahala martua” adalah roh yang sangat bertuah,
bermarwah dan bahagia.
Pemimpin yang kuat mempunyai sahala ; begitu juga orang tua terhadap anak-anaknya,
hula-hula terhadap boru-nya. Sahala sebagai kualitas tondi berasal atau sebagai

rahmat dari Ompu Mulajadi na Bolon. Tiga alam kosmis diyakini oleh Bangsa Batak
sebagai dasar dan tujuan akhir dari suatu kehidupan, yaitu: Banua Ginjang (Alam Atas),
Banua Tonga (Alam Tengah), Banua Toru (Alam Bawah) . Ketiga alam kosmis ini

memiliki simbol-simbol yang mempengaruhi kehidupan manusia baik secara badaniah
maupun secara rohaniah.
Dipahami bahwa kehidupan ini tidak hanya mengandalkan kemampuan fisik dan
pemikiran otak tetapi ada suatu kekuatan supranatural yang kasat mata dipercaya turut
menguasai kehidupan manusia, itulah disebut hahomion (kemisterian) yang dipahami
sebagai wujud dari kekuasaan roh, dan masyarakat Batak menilainya dengan Roha .
Banyak literatur terutama setelah Bangsa Batak bersentuhan dengan pendatang dari
Eropah telah membuat pencitraan tentang kepercayaan Batak sebagai penganut Sipele
Begu, Penyembah Berhala, Penyembah Roh Leluhur, dan sampai saat ini pencitraan

itulah yang diketahui oleh kalangan orang Batak sendiri bahwa leluhur mereka adalah
penganut Sipele Begu.
Pencitraan ini pada awalnya hanyalah berupa asumsi oleh para pendatang yang
menyaksikannya hanya sebatas bertemu pandang atau sebatas mendengar penuturan
para saudagar pedagang komoditi utama. Padahal tujuannya adalah

merahasiakan

Universitas Sumatera Utara

109

keberadaan, lokasi, dan siapa produsen komuditas tersebut. Jadi pada awal berkembang
pandangan ini, pada dasarnya belum ada unsur pembuktian.
Sejalan dengan kontak yang lebih intens dengan para pedagang Bangsa Eropah maka
eksistensi Bangsa Batak menjadi objek pendataan berbasis keilmuan. Pendataan ini
dilakukan dengan suatu ekspedisi, ataupun tujuan khusus untuk pendataan semua aspek
kehidupan masyarakat Bangsa Batak.
Hasil-hasil kajian Bangsa Eropah ini banyak hal yang membingungkan mereka tentang
praktek-praktek pemujaan roh oleh masyarakat Batak pada masa itu. Ternyata banyak
pandangan yang keliru seperti diasumsikan jauh sebelumnya. Banyak ketertarikan
mereka tentang konsep ketuhanan yang dianut oleh Bangsa Batak.
Di satu sisi dianggap ada melakukan pemujaan terhadap roh-roh leluhur, termasuk
pemujaan kepada kuasa supranatural terhadap dewa-dewa penguasa alam, tetapi di lain
pihak ada keyakinan yang berazaskan pemujaan kepada satu oknum tunggal sebagai
pencipta Alam Raya Semesta yang disebut Mulajadi Nabolon (monotheisme).
Bentuk konsep inilah yang memicu mereka untuk datang dan mengirimkan evangelisasi
keagamaan dan sejalan dengan eksistensi mereka yang ingin menguasai perdagangan
komoditi spesifik yang ada di Tanah Batak.
Agama dapat didefinisikan sebagai konsep pemujaan kepada suatu kuasa yang
mahabesar di luar kemampuan diri manusia sehingga manusia melakukan penghambaan
terhadap kekuasaan itu. Apabila ritual pemujaan ini sudah dilakukan oleh pemujanya
secara komunitas dengan pola yang seragam dan terikat berkesinambungan sepanjang
waktu, itulah yang disebut agama.

Universitas Sumatera Utara

110

Masyarakat Bangsa Batak secara tradisional sudah mengenal suatu Keyakinan dan
Kepercayaan yang terkonsep kepada Yang Maha Kuasa Si pencipta Alam Raya Semesta
yang dinamai Mulajadi Nabolon (Monotheisme). Namun, mengapa konsep pemujaan
terhadap Roh Leluhur (SipeleBegu) yang utama dimunculkan oleh para penyiar agama
Samawi?

Penyebaran ajaran suatu agama, dalam sejarahnya selalu berkaitan dengan kepentingan
politik dan penguasa. Ajaran agama yang awalnya mengutamakan manusia dan alam
sebagai satu kesatuan di bawah kuasa pencipta, secara gradual beralih kepada konsep
manusia sebagai pelaku utama dengan nilai hirarki tertinggi, dan alam serta mahluk
ciptaan lainnya diklasifikasikan jauh pada posisi terendah.
Akibat memposisikan hirarki manusia menjadi yang tertinggi dan ciptaan lainnya
menjadi terendah, maka muncullah figur-figur dalam ajaran agama yang menjadi
didewakan dan bahkan dipertuhankan. Maka terciptalah agama-agama yang bersifat
ekspansif yang memunculkan ajarannya sebagai kebenaran tunggal dengan fokus ajaran
kepada manusianya, dan meninggalkan alam dan lingkungan hidup komunitas
diterbelakangkan.
Eksistensi ajaran keagamaan Samawi yang sebelumnya tidak dikenal oleh Masyarakat
Bangsa Batak, secara lambat laun dan pasti merasuki kehidupannya, terbonceng oleh
dominasi kekuasaan penjajahan. Polarisasi kekuasaan dari luar Batak sudah sedemikian
kuatnya menguasai sendi-sendi kehidupan masyarakat Bangsa Batak sehingga agama
leluhur, kultur budaya dan tatanan kehidupan Bangsa Batak yang selama ratusan dan
bahkan ribuan tahun merupakan suatu kearifan untuk menata kehidupannya, sejalan

Universitas Sumatera Utara

111

dengan perjalanan waktu turut hilang, dihilangkan, dan bahkan sudah menuju
kepunahannya.

c. Mulajadi Nabolon
Konsep ketuhanan Bangsa Batak purba merupakan sebuah gagasan berpikir yang
memunculkan sosok Mulajadi Nabolon sebagai sumber anutan kepercayaan dan adat
istiadat yang dijalankan oleh masyarakat Bangsa Batak secara patuh dengan segala
konsekuensi perjalanan kehidupannya.
Mulajadi Nabolon dipercaya sebagai sosok yang mengawali segala sesuatu yang ada di

jagad raya, layak dipuja-sembah sebagai pemilik tunggal apa saja yang mampu terekam
oleh indra tubuh. Pemujaan kepada Mulajadi Nabolon hanya dapat dilakukan melalui
perantara Datu (seorang ahli keagamaan yang berkemampuan berhubungan dengan
tuhan dan roh-roh). Pemujaan kepada Mulajadi Nabolon dilakukan secara massal oleh
Komunitas Bangsa Batak dengan ritual persembahan tertinggi, termasuk kurban
manusia dan hewan ternak terbaik.
Ritual semacam ini sebenarnya bukanlah hal yang aneh bagi perkembangan peradaban
purba, bahkan banyak bangsa-bangsa yang melakukan persembahan demikian. Tercatat
dalam sejarah bahwa suku-suku Indian di benua Amerika melakukan ritual
persembahan demikian, bahkan peradaban di kawasan Timur Tengah seperti cerita
Ibrahim (Abraham, Avraham, Avruhom) yang mengorbankan anaknya sebagai kurban
tertinggi kepada tuhannya, masih dianggap sah dan wajar saja. Mengapa pula
persembahan dan pemujaan kepada Mulajadi Nabolon menjadi sesuatu yang bersifat
iblis dan tuhan bangsa lain menjadi tuhan yang sebenarnya?

Universitas Sumatera Utara

112

Ada pendapat dari kaum agama Samawi yang menyebutkan bahwa Mulajadi Nabolon
adalah wujud dari Iblis dan tuduhan ini menempatkan Bangsa Batak menjadi tertuduh
sebagai Pemuja Iblis. Penilaian yang bersifat dualisme (double standard) dalam menilai
anutan sebuah bangsa, menandakan bahwa sebuah ajaran menjadikannya hanya sebagai
faham ekslusif dan tidak layak menjadikannya sebagai anutan universal.
Konsep pemikiran ajaran Agama Mulajadi tidak ada yang memberikan pemahaman
tetang peperangan atau persaingan diantara dewa-dewa penguasa langit, melainkan hak
penguasaan oleh para dewa mutlak berorientasi kepada pengawasan perilaku manusia
sebagai pewaris bumi. Oleh karena itu, gagasan pemikiran Bangsa Batak tentang dewadewa penguasa langit dalam ujud penyembahannya bukanlah untuk berusaha
membinasakan pemahaman dari tindakan dewa yang tidak disukai, dan sebab akibat
adalah wujud dari kepasrahan untuk menerima konsekwensi.
Konsep pemikiran yang demikian tertanam dihati sanubari terdalam, menjadi genetika
Bangsa Batak untuk bersikap menyatu dan memiliki alam lingkungan dimana langit
dijunjung dan dimana kaki berpijak adalah sebagai sesuatu milik Pencipta Alam
Semesta Mulajadi Nabolon.
Dalam perjalanan peradaban Bangsa Batak dengan anutan Agama Mulajadi, tidak
pernah tercatat dalam sejarah sebagai bangsa yang bersifat ekspansif, malah merasa
lebih arif untuk tidak bereaksi dengan segala pencitraan negatif terhadap dirinya,
kecuali yang berkaitan dengan harkat hidup dan tatanan kemasyarakatannya terganggu.

Universitas Sumatera Utara

113

d.

Debata (Dewata)

Pada era sebelum tahun 1960-an, orang Batak melafalkan silabel wa dengan ba, dalam
tulisan beraksara latin. Sebagai contoh kata Jahowa (Allah) menjadi Jahoba, demikian
pula Dewata menjadi Debata yang diartikan sebagai Tuhan.
Debata kemungkinan berasal dari ajaran Agama Hindu yang menyebutnya dengan kata
Devata (Sanskerta) dan diartikan sebagai dewa, juga berasal dari kata Deva (laki-laki),
Devi (perempuan). Walau demikian, banyak juga kosa kata ini yang mirip-mirip berasal

dari kepercayaan bangsa-bangsa purba seperti Indo-Iranian menyebutnya Dev, Deiwos
(Proto-Indo-Europe), Deus-Divus (Latin), Dievas (Lituania), Dievs (Latvia), Deiwas
(Prisia), Divine-Deity (English), Dieu (Prancis), Deus (Portugis), Dios (Spanyol), Dio
(Italia), Dias (Junani).
Boleh jadi interaksi Bangsa Batak dengan Hindu terjadi pada masa Rajendra Chola dari
Kerajaan Cola (India Selatan) mercokol di Tanah Batak di awal millennia ke-2.
Dicatatkan dalam sejarah bahwa pasukan Chola bermukim di Tanah Batak untuk
rencana penyerangan pertama ke Sriwijaya di tahun 1025 Masehi. Tetapi melihat
hubungan perdagangan komoditi dari Tanah Batak sudah berlangsung jauh sebelumnya
dengan para pedagang Parsi, Arab dan lainnya, jauh sebelum bermukimnya tentara
Chola, maka boleh jadi pengaruh ini datang dari Parsi.
Gagasan pemikiran adanya Debata bagi Bangsa Batak menyangkut kepada tiga
kekuasaan yang menjadi satu kesatuan dalam mengatur tatanan kehidupan manusia
yang disebut Debata Natolu , yang diartikan sebagai tiga sosok Dewa Penguasa dan

Universitas Sumatera Utara

114

masing-masing dewa mempunyai fungsi yang berbeda, satu tujuan yang sama, yaitu
untuk kehidupan manusia.
Ketiga Debata yang dimaksudkan adalah Debata Batara Guru, Debata Soripada,
Debata Mangala Bulan. Ketiga dewa ini bersinggasana di langit, dimana Debata
Batara Guru bersinggasana di Banua Ginjang, Debata Soripada di Banua Tonga ,
Debata Mangala Bulan di Banua Toru. Ketiga dewa Debata Natolu diciptakan oleh
Mulajadi Nabolon melalui proses kelahiran oleh Debata Asiasi.

Debata Batara Guru dipuja dan disembah oleh manusia atas segala kehidupan manusia

yang bersifat spiritual, ritual agama, adat istiadat, hubungan kekerabatan. Debata
Soripada dipuja dan disembah manusia atas segala kehidupan manusia yang bersiafat

duniawi, pengetahuan, perdagangan, keahlian, dan segala pergulatan kehidupan dunia.
Debata Mangala Bulan dipuja dan disembah oleh manusia atas segala kehidupan

manusia yang bersifat penderitaan, bencana, penyakit, nasib buruk, kematian.
Ada dewa lainnya yang bersinggasana di Langit yang disebut Debata Asiasi, adalah satu
sosok dewa yang memiliki tiga wujud dan tiga fungsi. Debata Asiasi bersinggasana di
langit dimana Mulajadi Nabolon bersinggasana dan fungsinya sebagai wakil dari
Mulajadi Nabolon untuk melakukan penciptaan di Kerajaan Langit. Debata Asiasi

digambarkan berbentuk burung sakti dengan tiga wujud yaitu Manuk Patiaraja, Manuk
Hulambujati, Manuk Simandoang.

Dari tiga wujud ini memiliki tiga fungsi dan masing-masing fungsi adalah Manuk
Patiaraja melahirkan dewa Penguasa Tiga Alam yang disebut tadi Debata
Natolu.Manuk Hulambujati melahirkan tiga dewi yang masing-masing bernama Siboru
Portibulan, Siboru Malimbim, Siboru Anggarana yang menjadi istri dari Debata Natolu

Universitas Sumatera Utara

115

secara berurutan. Fungsi ketiga dari Debata Asiasi dalam wujud Manuk Simandoang
adalah memberikan roh kehidupan pada setiap kelahiran anak manusia.
Ada juga dewa dewi lain yang bersinggasana di langit yang bertugas untuk melayani
kegiatan Mulajadi Nabolon dalam penciptaan Alrase dan menjaga kehidupan manusia.
Dewa ini bernama Leangleangmandi sebagai Malaikat pembawa pesan antara manusia
kepada