Bahasa Kedanauan (Kajian Ekolinguistik Tentang Pelestarian Ekosistem Kawasan Danau Toba)
BAB II
KERANGKA TEORETIS DAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekolinguistik
Ekolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu terbilang baru dalam kajian linguistik.
Kajian ini dikenal juga dengan istilah ekologi bahasa. Sebetulnya ada empat istilah yang
merujuk pada kajian ini, yaitu linguistic ecology, ecological linguistics, the ecology of
language/language ecology, dan ecolinguistics (Lechevrel, 2009: 5). Sementara itu,
dalam bahasa Indonesia dikenal istilah ekologi linguistik, linguistik ekologi, ekologi
bahasa/bahasa ekologi, ekologi bahasa, dan ekolinguistik. Dalam bahasa lain, dikenal
pula istilah Ecologie des langues/Ecologie du langage, Linguistique ecologique,
Ecologie
linguistique dan
Ecolinguistique
(Perancis), Okologie
der
Sprache/
sprachologie, okologische Linguistik, Linguistik Ekologie dan Okolinguistik (Jerman),
serta Ecologia des las lenguas, Ecologia linguistic dan Ecolinguistica (Spanyol)
(Lechevrel, 2009:5)
Ekologi adalah studi tentang hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat fungsional.
Dua parameter yang akan dihubungkan adalah bahasa dengan lingkungan/ekologi.
Pemakaian istilah ini tergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi bahasa
maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik.
Ekologi bahasa mempelajari dukungan berbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi
kelangsungan mahluk hidup, seperti halnya dengan faktor-faktor yang memengaruhi
kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini.
9
Universitas Sumatera Utara
10
Crystal (2008: 161-162) mendefinisikan
… biological studies – in which the interaction between language and the
cultural environment is seen as central; also called the ecology of language,
ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach
highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance of
individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes,
language awareness, language variety, and language change in fostering a culture
of communicative peace.
studi biologis-interaksi antara bahasa dan lingkungan kultural dilihat sebagai inti;
disebut pula dengan ekologi bahasa, ekologi linguistik dan kadang-kadang linguistik
hijau. Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman linguistik di dunia,
pentingnya hak linguistik dari individu dan komunitas, peranan sikap, kesadaran,
variasi, dan perubahan bahasa dalam mengembangkan sebuah budaya perdamaian yang
komunikatif. Sementara itu, istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos, yang
berarti house, man’s immediate surroundings. Ricklefs (1976:1) mendefinisikan ekologi
“Ecology is the study of plants and animals, as individuals and together in populations
and biological communities, in relation to their environments-the physical, chemical,
and biological characteristics of their surroundings”
Ekologi merupakan studi yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewanan
sebagai individu dan secara bersamaan dalam populasi dan komunitas biologis dalam
kaitannya dengan lingkungannya-fisik, kimia, dan karakteristik biologis lingkungannya.
Definisi lain dikemukakan oleh Haeckel (1870) dalam Ricklefs (1976:2)
By ecology,” he wrote, “we mean the body of knowledge concerning the economy
of nature – the investigation of the total relations of the animal both to its organic
and to its inorganic environment; including above all, its friendly and inimcal
relation with those animals and plants with ehich it come directly or indirectly in
contact – in a word, ecology is the study of all the complex interrelations referred
to by Darwin as the conditions of the struggle for existence.
Universitas Sumatera Utara
11
Dengan demikian, kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan
bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia
dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik). Lingkungan tersebut adalah
lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah
masyarakat. Situasi dwi/multi bahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa.
Lingkungan ragawi dengan berbagai kondisi sosial sangat memengaruhi penutur bahasa
secara psikologis dalam penggunaan bahasanya.
Kajian ini ini pertama kali dikenalkan Einar Haugen dalam tulisannya yang bertajuk
Ecology of Language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa
(ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan kajian ini. Pemilihan
tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya karena para pakar bahasa dapat
bekerjasama dengan berbagai jenis ilmu sosial lainnya untuk memahami interaksi
antarbahasa (Haugen dalam Fill& Mühlhäusler, 2001:57).
Disiplin ilmu ini lahir sekitar tahun 1990-an, kendati konsep dan benih teoretisnya
sudah berkembang sejak 1921 dengan rintisan Edward Sapir ( 1884-1939). Kemudian
Haugen (1972), secara gencar dikembangkan antara lain oleh Fill dan Muhlhausler
(2001). Dalam perspektif ekolinguistik, ekolinguistik dipandang sebagai life science,
ilmu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan (bahasa, budaya, manusia, dan
lingkungannya).
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 1: Ekolinguistik: Bahasa dengan Lingkungan
EKOLINGUISTIK/E
KOLOGI BAHASA
LINGKUNGAN
BAHASA
HIDUP DAN TIDAK
HIDUP
FONOLOGI,
MORFOLOGI,
SINTAKSIS,
WACANA
(1) LINGKUNGAN
(ENVIRONMENT), (2)
KEBERAGAMAN
(DIVERSITY), (3)
INTERAKSI,
Bahasa digunakan dalam perspektif ekolinguistik dipahami sebagai gambaran atau
representasi realitas alam dan manusia. Hal ini berarti ekolinguistik tidaklah netral dan
bebas nilai. Oleh karena itu, bahasa hidup dalam dan dengan manusia. Dimensi biologis
insani selalu terkait dengan dimensi sosiologisnya baik dalam mempelajari dan
mewariskan bahasa kepada generasi baru maupun dalam memfungsikan bahasa sebagai
wahana komunikasi insani dengan orang lain. Gagasan dan daya budi manusia untuk
memahami dan menata kehidupan sebagai adicita kolektiva (dimensi ideology) juga
tidak terlepas dari lingkungannya. Bahasa dipandang sebagai organisme, sesuatu yang
hidup. Proses ini dapat berlangsung dalam otak, jiwa, budi, dan raga manusia dengan
alat-alat ucap (organs of speech). Pada hakikatnya bahasa yang dituturkan
itu
berdimensi sosial-kultural. Harmoni antarhubungan yang insani, terutama dengan
Universitas Sumatera Utara
13
lingkungan yang alami, secara khusus dan terbatas dengan lingkungan sosial adalah
tuntutan demi hidup dan kehidupan. Dengan demikian, hak hadir dan hak hidup bahasabahasa (languages right) layak dijamin, baik secara konstitusional maupun secara
sosial-kultural dalam lingkungannya.
Sejumlah negara menenggarai betapa pentingnya kajian ekolinguistik. Kerusakan
lingkungan hidup oleh ulah manusia yang menjadikan dirinya sebagai pusat dan subjek
kehidupan (antroposentris), menggugah dan "menggugat" dirinya pula untuk
mengembangkan kajian ini secara reflektif, evaluatif, introspektif, konstruktif, dan
integratif. Pendekatan multidisipliner karena ekolinguistik menjadi payung dan wadah
bersama yang bersifat lintas bidang keilmuan, menjadi pilihan yang sangat penting dan
strategis. Sebagai kajian yang bertolak dari konsep dan parameter ekologi yakni: (1)
lingkungan (environment), (2) keberagaman (diversity), (3) interaksi, interelasi, dan
interdependensi. Kajian ekolinguistik menempatkan dan menjadikan fenomena
(penggunaan) bahasa dalam suatu perspektif yang lebih integratif, prospektif, dan juga
historis.
Lingkungan kebahasaan dan penggunaan bahasa (bahasa lingkungan, yakni ekspresi
verbal manusia dalam memahami, menanggapi, dan menggunakan sumber daya
lingkungan, baik alam sebagai matra kesejagatan yang makrokosnos, maupun manusia
(dengan tatanan dan sumber daya sosial-budayanya) dalam cakupan yang mikrokosmos
(jagat kecil), merupakan objek formal dan objek material kajian ekolinguistik. Bahasa
adalah sumber daya makna, termasuk makna dan pemaknaan alam dan makna budaya
dalam kemasan verbal sebagaimana terekam dalam bahasa-bahasa etnik khususnya,
baik khazanah leksikon maupun gramatikanya, sumber daya tekstual yang kontekstual
masa lalu dan masa kini, secara khusus misalnya gramatika metaforik sebagai khazanah
Universitas Sumatera Utara
14
ekspresi verbal manusia yang alami, semuanya adalah tanda adanya keterkaitan dan
ketergantungan manusia dengan lingkungan alam di sekitarnya, yang menjadi lahan
garapan ekolinguistik.
Sejalan dengan waktu, perkembangan ekolinguistik kritis menggugat greenspeak yang
selama ini mengandung energi perusak lingkungan natural khususnya, karena di balik
greenspeak itulah sesungguhnya dominasi dan hegemoni ideologi kapitalisme telah
terjadi dan telah merusak lingkungan dengan segala sumber dayanya, sumber daya
alami bahkan juga sumber daya budaya yang di antaranya tak terbarukan (no
renewable), telah terjadi penurunan mutu dan ketersediaan secara sangat drastis
terutama oleh ulah manusia pula.
2.1.1 Ekologi Bahasa
Kebanyakan deskripsi bahasa diawali dengan pernyataan singkat
tak acuh mengenai
jumlah dan lokasi penuturnya dan perihal yang berkenaan dengan sejarahnya. Jarang
dijumpai deskripsi yang menginformasikan pembaca apa yang
harus diketahui
sehubungan dengan status sosial dan fungsi bahasa yang bersangkutan. Ahli bahasa
umumnya terlalu bersemangat membahas fonologi, tata bahasa, dan leksikon dan
memberi perhatian yang dangkal dengan apa yang disebut sebagai "ekologi bahasa."
Pendapat lain yakin bahwa aspek ini lebih bermanfaat, hal ini telah dieksplorasi secara
mendalam dalam beberapa tahun terakhir oleh ahli bahasa, bekerja sama dengan
antropolog, sosiolog, ilmuwan politik, dan psikolog. Kebanyakan ahli bahasa bersedia
meninggalkan lapangan untuk menjadi ilmuwan non-linguistik sosial, tapi dipercaya
bahwa ada komponen linguistik yang kuat dalam ekologi bahasa.
Universitas Sumatera Utara
15
Ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antara bahasa tertentu
dengan lingkungannya. Definisi lingkungan mungkin menyebabkan pikiran seseorang
pertama-tama terhadap dunia referensial yang menyediakan bahasa indeks. Namun,
maksud istilah ini adalah lingkungan yang bukan dari bahasa tetapi leksikon dan tata
bahasa. Lingkungan yang benar dari suatu bahasa adalah masyarakat yang
menggunakannya sebagai salah satu dari kode tersebut. Bahasa hanya ada dalam benak
penggunanya, dan hanya berfungsi untuk menghubungkan para pengguna untuk satu
sama lain dan dengan alam, misalnya lingkungan sosial dan alam. Bagian dari ekologi
karena psikologis: interaksi dengan bahasa lain dalam pikiran penutur bilingual maupun
multilingual. Bagian lain dari ekologi adalah sosiologis: interaksi dengan masyarakat di
mana ia berfungsi sebagai media komunikasi. Ekologi bahasa ditentukan terutama oleh
orang-orang yang mempelajarinya, menggunakannya, dan mentransmisikannya kepada
orang lain.
Tulisan-tulisan dari abad kesembilan belas umumnya memuat "kehidupan bahasa,"
karena model biologis dengan mudah masuk ke dalam generasi baru menemukan
evolusi. Bahasa lahir dan mati, seperti halnya organisme hidup. Bahasa memiliki
rentang hidup, tumbuh dan berubah seperti manusia dan binatang, mengalami penyakit
yang dapat disembuhkan dengan obat yang tepat diketahui oleh tatabahasawan yang
baik. Spesies baru berevolusi dalam proses "kemajuan," yang seringkali sebagai akibat
dari kompetisi yang menjamin survival of the fittest. Sedangkan yang lainnya
memandang perubahan bahasa sebagai degenerasi dari kesempurnaan klasik, yang
dalam dunia yang tidak sempurna hanya bisa dipulihkan melalui kewaspadaan secara
terus-menerus terhadap kewaspadaan terhadap penjaga selera yang baik. Tak perlu
Universitas Sumatera Utara
16
mendokumentasikan judul di mana metafora tersebut terkandung, semua hal itu sudah
tidak asing lagi.
Saat ini model biologis tidak populer di kalangan ahli bahasa. Hal ini hanyalah sebuah
metafora, yang menimbulkan analogi tertentu antara bahasa dan organisme biologis,
tetapi tidak bisa dikaji terlalu jauh. Kesimpulan yang ditarik tentang bahasa dari model
tersebut sudah jelas palsu: bahasa tidak bernapas, tidak memiliki kehidupan sendiri
terpisah dari orang-orang yang menggunakannya dan tidak tidak memiliki kualitas nyata
dari organisme tersebut.
Metafora lain telah menggantikan satu sifat biologis pada umumnya, dalam menanggapi
aspek konstruktif yang kuat dari peradaban industri. Bahasa disebut "alat" atau "alat
komunikasi," apabila dibandingkan dengan palu atau gerobak atau komputer, yang
masing-masing berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan manusia yang mungkin
sulit atau tidak mungkin untuk dicapai tanpanya. Tapi tidak demikian, bahasa biasanya
tidak sengaja dibentuk. Hal ini tidak dapat dipisahkan dan disatukan lagi, atau dapat
disetel untuk meningkatkan efisiensinya: dengan mengejar hal ini, berarti jatuh ke
dalam perangkap mengejar "efisiensi" yang lebih besar dalam bahasa. Bahkan istilah
"struktur" seperti yang digunakan dalam deskripsi linguistik tidak tepat, karena
dibangun di atas gagasan bahasa sebagai sebuah entitas yang terorganisir seperti yang
dikemukakan Meillet,
setiap bagian tergantung pada bagian lainnya. Seharusnya,
struktur bahasa Prancis berbeda dengan struktur menera Eiffel.
Meskipun
seandainya ditolak metafora biologis, instrumental, atau struktural, tetap
diakui nilai heuristik dari fiksi tersebut. Bahasa memang memiliki hidup, tujuan, dan
bentuk, yang masing-masing dapat dipelajari dan dianalisis. Setelah dibagi ke dalam
Universitas Sumatera Utara
17
kandungan metaforis atau mistiknya,
bahasa dilihat sebagai aspek perilaku manusia.
perilaku yang selalu ganda dikenali sebagai tindakan luar, performa, tetapi juga potensi
bagian dalam, kompetensi, yang disimpulkan dari performa dan pada gilirannya
digunakan untuk menjelaskan performa. Oleh karena itu, ada alasan untuk bertanya
apakah bahasa merupakan ergon, produk, atau energeia, sebagai suatu aktivitas. Hal ini
mencakup keduanya: dipelajari dalam performa, tetapi generalisasi diambil dari
performa merupakan kompetensi. Tampaknya sebagai tindakan, seperti semua perilaku,
tetapi ada dalam pikiran sebagai potensi, yang dapat diperlakukan sebagai suatu hal,
yang menyiratkan kemungkinan tindakan.
Dalam tulisan ini dikemukakan
perlakuan terhadap bahasa sebagai sesuatu yang
"hidup" yang dipahami dan digunakan sebagai bagian dari ilmu ekologi. Istilah tersebut
berkembang sebagaimana cabang biologi dan dapat didefinisikan sebagai “cabang
biologi yang mencakup keterkaitan antara tanaman dan hewan dan lingkungannya
secara utuh" (Bagian 1966). Para sosiolog telah memperluas arti istilah terhadap saling
keterkaitan antara masyarakat manusia dan lingkungan mereka, seperti yang terdapat
dalam Human Ecology A. H. Hawley (1950). Ekologi bahasa akan menjadi
perpanjangan alami dari studi semacam ini dan telah lama dikejar dalam psikolinguistik,
etnolinguistik, antropologi linguistik, sosiolinguistik, dan sosiologi bahasa. Hal itu
menjadi perhatian para linguis dalam pekerjaan mereka sehubungan dengan perubahan
bahasa dan variabilitas, dalam kontak bahasa dan bilingualisme, serta standardisasi. Di
Amerika Serikat karya terbaru yang berhubungan dengan kesemua hal di atas adalah
karya Uriel Weinreich, Charles A. Ferguson, William A. Stewart, William Labov, John
Gumperz, Joshua Fishman, Dell Hymes, Joan Rubin, dan Edgar Polome, ini hanya
beberapa diantaranya.
Universitas Sumatera Utara
18
Satu-satunya penggunaan "ekologi" sebelumnya dalam kaitannya dengan bahasa, yang
tidak saya ketahui ketika pertama kali saya menyiapkan tulisan ini adalah karya
Voegelins dan Noel W. Schutz, Jr dalam sebuah makalah berjudul "The Language
Situation in Arizona as Part of the Southwest Culture Area"(1967). Perhatian yang
panjang dari Carl Voegelin terhadap masalah semacam ini sudah cukup dikenal.
Kareana berada di posisi menggeluti bidang antropologi dan linguistik, maka hal itu
wajar baginya untuk memulai penggunaan istilah dalam menangani hubungan timbal
balik yang kompleks dari bahasa baratdaya Amerika. Istilah ini dibatasi terhadap
masyarakat bilingual atau trilingual. Sebaliknya dalam sebuah makalahnya (Voegelin
dan Voegelin 1964, hal 2; yang sebenarnya ditulis setelah makalah tahun 1967)
Voegelins mengemukakan tentang intra-bahasa" yang dikenal dengan ekologi "antarbahasa". Mereka menyarankan bahwa "dalam ekologi linguistik, orang mulai tidak
dengan bahasa tertentu tapi dengan daerah tertentu, tidak dengan perhatian selektif
untuk beberapa bahasa tetapi dengan perhatian yang komprehensif untuk semua bahasa
di daerah." Meskipun hal ini benar, pemilihan terhadap daerah dapat secara bebas,
seperti dalam kasus Amerika Baratdaya, seseorang dapat berbicara tentang ekologi
bahasa atau dialek tertentu, melihat masalah dari sudut pandang penggunanya.
Pentingnya memiliki ahli bahasa yang kompeten yang mengkaji topik semacam ini
terbukti ketika kita beralih ke tradisi penelitian lima puluh tahun saat ini dalam ekologi
manusia. Hal ini agak mengejutkan dengan menemukan bahwa kebanyakan penulis di
bidang ini gagal untuk mempertimbangkan bahasa sebagai bagian dari lingkungan. Para
pioner di lapangan seperti Park, Burgess, McKenzie, dan Hawley berkonsentrasi pada
metropolis Amerika dengan pertumbuhan spasial yang fenomenal. Dalam semangat
Darwin mereka mempelajari "perjuangan untuk bertahan hidup" dalam lingkungan ini,
Universitas Sumatera Utara
19
dan kemudian baru menyadari bahwa keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok
etnis (dengan bahasa sendiri) mungkin menjadi faktor dalam perilaku ekologinya
(Hollingshead 1947). Sebuah studi klasik dengan semangat baru dilakukan Everett C.
Hughes dalam karyanya yang berjudul 'French Canada in Transition (1943), penelitian
serupa dari kelompok etnis di Amerika Serikat mengungkapkan pentingnya nilai-nilai
bersama dalam menentukan distribusi spasial (Theodorson 1961). Akan tetapi, sangat
sedikit yang menegaskan bahwa kepemilikan bahasa umum mungkin menjadi salah satu
dari nilai-nilai bersama yang bersangkutan. Sejak munculnya sekolah sosiolinguistik di
tahun 1960-an peran bahasa tidak dapat diabaikan seperti sebelumnya. Pada 1964-65,
Charles Ferguson juga termasuk dalam Social Science Research Council's Committee
on Sociolinguistics Sociologist seperti Everett Hughes dan ahli bahasa seperti penulis
ini. Kita dihadapkan dengan generasi muda, para sarjana dari berbagai disiplin ilmu
seperti Susan Ervin-Tripp, Joshua Fishman, Dell Hymes dan John Gumperz, untuk. Hal
ini terbukti menjadi pertemuan orang-orang yang punya gagasan yang sebelumnya telah
bekerja di bidang yang berbeda.
Nama bidang ilmu tidaklah begitu penting, tetapi tampaknya bagi saya bahwa istilah
"ekologi bahasa" mencakup berbagai kepentingan di mana ahli bahasa dapat bekerja
sama secara signifikan dengan segala macam ilmuwan sosial terhadap pemahaman
tentang interaksi bahasa dan pengguna bahasa tersebut. Seseorang mungkin berani
menunjukkan bahwa ekologi bukan hanya nama ilmu deskriptif, namun dalam
penerapannya telah menjadi bendera gerakan untuk sanitasi lingkungan. Istilah tersebut
juga termasuk dalam penerapannya pada beberapa kepentingan bahasa dalam
keprihatinan umum di kalangan orang awam atas budidaya dan pelestarian bahasa.
Ekologi menunjukkan sesuatu yang dinamis, bukan ilmu statis, sesuatu di luar deskriptif
Universitas Sumatera Utara
20
yang disebut prediktif dan bahkan terapis. Jadi apa yang menjadi atau seharusnya
menjadi peran "kecil" dari bahasa, dan bagaimana bahasa atau bahasa lainnya dibuat
menjadi "lebih baik," "lebih kaya," dan lebih "berbuah" bagi umat manusia?
Disini kita tidak bisa memasuki semua aspek yang mungkin dari masalah ekologi
bahasa. Kita mengambil contoh prinsip-prinsip tertentu yang sudah akrab bagi kita dari
pembelajaran dan penggunaan bahasa: bahwa seorang anak menginternalisasi bahasa
apa pun atau berbagai variasi yang secara fungsional yang berhubungan pada tahuntahun pertama hidupnya, bahwa kompetensi yang diperoleh 'berbeda dari yang anak
lainnya’ yang memiliki kepasifan yang lebih besar daripada kompetensi yang aktif,
yang memampukan untuk menerima dan menginterpretasikan sinyal yang biasanya
tidak akan mampu bereproduksi, bahwa pematangan mengarah ke pembatasan tertentu
pada kemampuan orang dewasa atau kemauan untuk belajar bahasa baru; dan bahwa
masyarakat begitu terorganisir untuk memberlakukan yang lainnya, dengan terlalu atau
kurang memberi batasan pada pembelajaran bahasa yang sebenarnya, dengan
pengurangan keterhubungan dengan ketidakterbatasan hingga pada kepraktisan
minimum.
Faktor-faktor lain muncul di berbagai belahan dunia yang universal adalah faktor
sebagian tergantung pada status dan keintiman. Dalam tulisan ini digunakan istilah
status berarti hubungan dengan kekuasaan dan pengaruh dalam kelompok sosial.
Sementara statusnya dapat menjadi bagian pada satu atau beberapa tingkat, dalam
hubungannya dengan dua varietas kita dapat berbicara satu sebagai sesuatu yang
memiliki [+ status], yang lain sebagai [- status]. Ini menandai kenyataan bahwa variasi
status tambah (H) digunakan oleh pemerintah, di sekolah, oleh orang-orang dari tingkat
sosial dan ekonomi yang tinggi, atau oleh warga kota, sedangkan varietas Status minus
Universitas Sumatera Utara
21
(L) tidak digunakan oleh satu atau semua kelompok. Keintiman yang digunakan di sini
dalam arti yang terkait dengan solidaritas, nilai-nilai bersama, persahabatan, cinta,
singkatnya hubungan yang dibentuk melalui keluarga dan kehidupan kelompok yang
umum. Bentuk-bentuk tertentu dari sasaran dan perilaku yang tepat antara interlokutor
memiliki keintiman tinggi yang dibenci atau disalahpahami oleh orang luar. Sekali lagi
kita berhadapan dengan sebuah kontinum, yang akan tersegmentasi secara berbeda
dalam budaya yang berbeda, tetapi dalam banyak kasus tidak sulit untuk menemukan
varietas bahasa sepanjang skala [+ intimasi] dan [- intimasi].
Seperti yang dikemukakan oleh Brown dan Gilman (1960) dan Brown dan Ford (1961)
sehubungan penggunaan kata ganti alamat dalam bahasa Eropa dan nama terakhir dalam
bahasa Inggris Amerika yang dapat dijelaskan dalam kedua faktor tersebut. Sementara
Rubin (1968a) menemukan bahwa dia tidak bisa menggunakan dua dimensi yang sama
dalam menempatkan penggunaan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay, dia
menemukan bahwa faktor-faktor tersebut tampak jelas dalam situasi yang ia kaji.
Kuesionernya secara rinci mengenai situasi tersebut memperlihatkan pentingnya
serangkaian pilihan yang dibuat oleh lawan bicara, yakni (1) lokasi (desa: Guarani,
perkotaan: keduanya); (2) formalitas (formal: Spanyol, informalitas: keduanya); (3)
keintiman (intim: Guarani, non-intim: keduanya). Dari rangkaian ini seseorang harus
mengekstrak faktor yang ia rujuk, yang merupakan hal mendasar dalam pemilihan
bahasa: harapan (atau pengetahuan) potensi linguistik lawan bicara. Pertanyaan 21
mempertanyakan bahasa mana yang akan berbicara dengan "seorang wanita yang
mengenakan rok panjang sambil merokok cerutu hitam besar." Tidaklah mengherankan
bahwa 39 dari 40 menjawab Guarani, karena hanya seorang wanita pedesaan akan
muncul dalam situasi ini dan penutur pedesaan dianggap sebagai penutur bahasa
Universitas Sumatera Utara
22
Guarani. Dengan demikian, faktor lokasi harus diabaikan sebagai non-bilingual dalam
kasus Paraguay pedesaan: ia berbicara bahasa Guarani terutama karena satu-satunya
bahasa di mana ia merasa nyaman atau bahkan lebih mampu berkomunikasi dengan
bahasa itu.
Faktor-faktor yang tersisa jelas termasuk ke dalam dimensi status dan keintiman:
Spanyol adalah [+ Status], sementara Guarani adalah [+ intimasi], dan bagi banyak
penutur ini saling eksklusif. Orang Paraguay yang sudah disebutkan sebelumnya,
menggunakan bahasa Guarani di luar negeri untuk menekankan solidaritas mereka,
bahkan jika mereka mungkin menggunakan bahasa Spanyol di rumah (Rubin 1968b:
523). Di luar negeri, hubungan status di antara mereka dihentikan, dan solidaritas
tumbuh di lingkungan yang tidak bersahabat. Bahkan di rumah, kita belajar bahwa
keintiman tumbuh dalam hubungan yang mengarah ke penggunaan Guarani untuk
mengatakan "sesuatu yang lebih manis" dan dalam situasi yang santai, karena "lelucon
terasa lebih lucu" dalam bahasa Guarani.
Tidak ada alasan untuk melihat sesuatu yang unik dalam situasi orang Paraguay, kecuali
sejauh situasi historis yang unik. Faktor identik telah diamati yang terdapat di antara
imigran Norwegia di Amerika dan telah melaporkannya secara rinci (Haugen 1953).
Skala yang sama dari hubungan status ini berlaku bagi bahasa Inggris di antara orang
Norwegia di Amerika serta Spanyol antara Guarani. Pertimbangan awal adalah tentu
saja potensi komunikatif: tidak ada gunanya berbicara monolingual bahasa Inggris
dengan Norwegia atau sebaliknya. Tetapi bahkan dalam kelompok bilingual ada
pembedaan yang jelas antara topik, kesempatan, dan orang-orang yang menyebabkan
penggunaan status bahasa Inggris dan orang-orang di mana keintiman mengarah ke
penggunaan bahasa Norwegia. Stewart (1962) pernah mengemukakan satu set sikap
Universitas Sumatera Utara
23
yang sama antara bahasa Kreol di Karibia, yang memaksa pilihan standar atau Kreol
sesuai dengan dimensi status (yang dia sebut "publik-formal") dan keintiman ("pribadiinformal"). Di antaranya adalah "kegiatan resmi pemerintah, prosedur hukum, akademis
dan kegiatan pendidikan formal, berbicara di depan umum, bagian dari program siaran
radio dan televisi, dan upacara perkenalan antara orang asing” (1962: 39). Contoh
terakhir adalah contoh dari [- keintiman], sementara sisanya adalah contoh [+Status],
karena ini ditentukan oleh struktur kekuasaan negara yang terlibat.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara hubungan standar kreol Karibia dan hubungan
standar-dialek Eropa. Selain itu, berbagai jenis diglosia dan bilingualisme disebabkan
oleh penaklukan dari satu kelompok oleh bahasa lain atau oleh imigrasi dari satu
kelompok ke dalam wilayah yang didominasi oleh orang lain adalah dari sifat yang
sama. Apa yang berbeda adalah tingkat jarak antara bahasa dominan dan varietas yang
didominasi, apa yang dapat disebut sebagai otonomi. Dalam beberapa kasus, misalnya
di Jamaika, mungkin ada skala kontinu, sementara di tempat lain, misalnya di Haiti,
mungkin ada perbedaan yang jelas, bahkan di mana varietas berkaitan. Pemisahannya
bahkan lebih besar di mana bahasa tidak berhubungan, seperti Breton atau Basque
terhadap Prancis. Ekstremitas dari [+ status] adalah kasus di mana populasi (atau
segmen kecil dari populasi) membebankan pada bahasa itu sendiri suatu bahasa yang
digunakan hampir secara eksklusif dalam bentuk tertulis dan disebarluaskan hanya
melalui sistem sekolah, baik untuk alasan persatuan agama dan budaya dan kontinuitas,
atau untuk tujuan komunikasi ilmiah dan internasional yang lebih luas. Bahasa kedua
mungkin standar negara lain (seperti ketika menerima orang Flemish menerima bahasa
Belanda atau Swiss menerima bahasa Jerman), mungkin bahasa pemersatu agama
Universitas Sumatera Utara
24
(Alkitab bahasa Ibrani untuk orang Yahudi atau bahasa Arab Klasik untuk orang Arab),
atau mungkin hanya versi kuno mengukur sendiri bahasa seseorang, diadopsi untuk
alasan kontinuitas budaya, seperti komunikasi dengan masa lalu (Katharevousa di
Yunani).
Dari sudut pandang pembelajar bahasa, situasi ini mewakili berbagai beban belajar
bahasa kedua. Jika kita mengasumsikan bahwa bayi itu diberkati dengan vernakular
tunggal yang digunakan untuk semua tujuan, ia juga dapat tumbuh dalam masyarakat
yang memungkinkan dirinya semata-mata untuk menambah jangkauan dan kedalaman
vernakular saat ia sudah dewasa, atau ia mungkin tumbuh dalam masyarakat yang
meminta dia untuk terus belajar tata bahasa baru dan leksika atau bahkan melupakan
hampir sepenuhnya yang ia pelajari terlebih dahulu. Vernakular apapun yang ia pelajari
terlebih dahulu, jika ia terus menggunakannya, kemungkinan akan tetap bahasa
intimasi.Dengan sedikit tambaahn dalam bentuk sistem penulisan dan perluasan
kosakata, mungkin juga menjadi bahasa status yang dapat digunakan dalam semua
situasi kehidupan yang mungkin, dengan variasi kecil untuk mengekspresikan derajat
status atau derajat keintiman. Di sebagian besar negara Eropa, hal ini hanya berlaku
bagi anak yang lahir di keluarga kelas
atas, di mana bentuk lisan standar yang
ditetapkan sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini umumnya berlaku bagi untuk orang
Amerika dari kelas menengah dan kelas atas, lahir dalam keluarga berpendidikan dari
latar belakang kulit putih, Anglo-Saxon. Seperti hal yang sekarang masih berlangsung,
tidak benar bahwa di sebagian besar negara di dunia, di mana anak-anak menghadapi
tingkatan status yang semakin menghapus mereka dari bahasa keintiman mereka.
Berbagai upaya menarik telah dilakukan untuk membentuk skema universal klasifikasi
ekologi bahasa. Ferguson (1959) mengkarakteristikkan situasi yang disebut sebagai
Universitas Sumatera Utara
25
diglosia yang memiliki variasi (H) tinggi dan (L) rendah dari bahasa yang sama.
Contoh L adalah Swiss German, Dhimotiki Yunani, Arab, dan Haiti Creole. Ini
merupakan kombinasi campuran, karena Swiss German adalah simbol kebanggaan
bangsa Swiss, dan Dhimotiki adalah media sastra dari penulis Yunani radikal,
sementara bahasa Arab dan Haiti Creole tampaknya dipandang dengan sebelah mata
oleh sebagian besar penggunanya. Namun, mereka semua menggambarkan situasi
korelasi terbalik antara status dan keintiman, yang sudah dibahas. Klaim tersebut dibuat
berdasarkan anggapan bahwa tidak ada orang yang berbicara bahasa H dalam
keseharian, kehidupan informal, bahkan di antara keluarga di mana mereka dibesarkan,
mengabaikan fakta bahwa model yang tersedia di tempat lain untuk kedua bahasa
Jerman dan Perancis yang banyak dipakai oleh kelas terpelajar. Dalam setiap kasus,
hubungan umum dari H ke L sering tumpang tindih karena fakta bahwa status dan
keintiman yang tidak kontras langsung (perbedaan status bisa ada di antara kawankawan karib, dan perbedaan keintiman antara pembawa status), tidak hanya
karakteristik dari semua standar-hubungan dialek, tetapi juga dari hubungan vernakularklasik (misalnya Yiddish vs Ibrani, seperti yang dikemukakan oleh Fishman 1967). H
kemudian menjadi ekspresi singkatan untuk varietas keintiman status tinggi/rendah
yang bertolak belakang dengan L untuk varietas keintiman status rendah/ tinggi.
Ferguson (1962) juga mengakarakteristikkan keadaan bahasa sendiri dalam dua
parameter, yakni menulis dan standarisasi: Penulisan diberikan nomor indeks tiga (W°
Wl W2) karena "biasanya tidak ditulis," "biasanya ditulis," dan "digunakan dalam ilmu
fisika". Penggunaan "normal" meliputi produksi surat, surat kabar, dan buku-buku asli.
Standardisasi juga diberi tiga nomor indeks (St° Se Ste) untuk "tidak ada standardisasi
penting," "standar bertentangan," dan "standardisasi yang ideal," dan yang terakhir
Universitas Sumatera Utara
26
menjadi "satu, yang diterima secara luas yang dirasakan sesuai dengan sedikit
modifikasi" (Ferguson 1962: 10). Sebagian besar bahasa dunia dibagi ke dalam kategori
W° dan St°, pada kenyataannya, kita mungkin menganggap ini sebagai keadaan
"normal" dari bahasa. Menulis dan standarisasi yang diberlakukan oleh pemerintah,
sekolah, dan gereja, antara lain, dan sangat sedikit orang berbicara "menurut buku
tersebut." Meskipun sebangsa Dalecarlia, Jutland, Bavaria, atau Sisilia memahami
standar masing-masing Negara walaupun tidak sering digunakan kecuali sebagai status,
bahasa non-intim.
Upaya lain yang berguna untuk mengklasifikasikan situasi kemungkinan bahasa
dikemukakan oleh William Stewart (1968). Dia mengemukakan empat atribut bahasa:
(1) standardisasi; (2) otonomi, (3) historisitas, (4) vitalitas. Masing-masing kemudian
diambil sebagai kualitas yang baik atau (plus / minus) dan membedakannya ke dalam
tujuh jenis: Standard (ditambah 1-4), Klasik (ditambah 1-3), Buatan (ditambah 1-2),
Vernakular (ditambah 2-4), Dialek (ditambah 3-4), Creole (ditambah 4), Pidgin (minus
semua). Klasifikasi ini digunakan untuk beberapa tujuan, seperti membuat profil
sosiolinguistik terpadu dalam suatu wilayah, terutama ketika dilengkapi dengan
spesifikasi terhadap fungsi (sepuluh daftar yang dikemukakan Stewart) dan tingkat
penggunaan (dalam hal persentase dari populasi nasional). Masalah sebenarnya adalah
bahwa empat atribut tidak independen satu sama lain: otonomi (seperti Jerman vs
Belanda) tergantung pada standarisasi yang terpisah. Bahasa daerah dibedakan dari
dialek dengan memiliki otonomi dan keduanya dibedakan dari kreol yang memiliki
historisitas. Karena ketiga jenis berfungsi sebagai bahasa pertama dalam komunitas
mereka dan tidak memiliki prestise yang berasal dari standarisasi, maka sulit untuk
melihat apa peran sinkronis yang dimiliki oleh perbedaan. Bahasa klasik dan buatan
Universitas Sumatera Utara
27
dibedakan dari yang standar dengan kurang vitalitas (misalnya penutur asli), tetapi
kebanyakan standar juga memiliki penutur asli saja, sementara bahasa klasik seperti
bahasa Ibrani telah menjadi penting di Israel dan bahasa buatan seperti Norwegia Baru
kini mengakui historitas maupun vitalitasnya .
Kelemahan lain dari klasifikasi ini adalah pengecualian ketumpang-tindihan linguistik
di antara para penutur. Hal ini kurang menarik diketahui bahwa sepuluh persen dari
penutur di suatu negara menggunakan bahasa selain untuk mengetahui apakah mereka
juga menggunakan bahasa lain dan pada situasi yang bagaimana. Penting juga untuk
mengetahui apakah kedwibahasaan mereka stabil atau dalam transisi, misalnya apa tren
dalam pembelajaran bahasa dalam kelompok penutur. Satu ciri khas dari masyarakat
penutur (A) dalam berubungan dengan yang lain (B) adalah bahwa A, jika didominasi
oleh B, dapat berubah dari satu bahasa A ke Ab bilingual (A bawahan, B dominan), AB
(A dan B sama ), AB (A bawahan, B dominan), dan akhirnya ke B monolingual. Ketiga
jenis kedwibahasaan (bilingualisme) dapat digambarkan sebagai pelengkap (Ab: di
mana B hanya Hilfssprache biasa untuk pruposes tertentu), pelengkap (AB: di mana dua
alternatif sesuai dengan fungsi penting dalam kehidupan pembicara), dan replasif (aB:
di mana A menjadi bahasa yang digunakan dengan orang tua sementara B memenuhi
semua fungsi penting). Satu set istilah yang barangkali masih baru mulai, fungsional,
dan residual, ketika ketiga jenis dipandang sebagai urutan historis dalam transisi
kedwibahasaan. Tapi tentu saja masing-masing dari bahasa tersebut juga bisa stabil, jika
tidak ada insentif atau kemungkinan untuk perubahan keanggotaan kelompok melalui
pembelajaran bahasa B.
Analisis ekologi tidak hanya mensyaratkan bahwa seseorang menggambarkan situasi
sosial dan psikologis dari setiap bahasa, tetapi juga dampak dari situasi ini pada bahasa
Universitas Sumatera Utara
28
itu sendiri. Sebagai pemula, maka perlu menunjukkan bahasa yang mempengaruhi saat
ini, seperti yang tercermin dalam impor dan substitusi yang sekarang sedang terbentuk
pada masing-masing bahasa. Tentu hal ini sudah cukup jelas, karena pembentukan in
menjadi subjek pembahasan dan bahkan kontroversi. Penjelasan yang lebih lengkap
akan membutuhkan beberapa deskripsi komposisi kosakata total dari sudut pandang ini.
Untuk bahasa Inggris, misalnya, melibatkan pengakuan terhadap keberadaan setidaknya
dua lapisan struktural, bahasa Jerman dan non-Jerman, sebagian besar Mediterania
(Prancis, Latin, Yunani, Italia). Secara historis ini berarti bahwa pada periode tertentu
dalam kehidupan setiap bahasa, orang-orang berpengaruh telah belajar bahasa tertentu
dan telah memperkaya (atau menurut beberapa pendapat, telah merusak) bahasa mereka
dengan pemodelan ekspresi mereka pada bahasa tertentu yang menjadi guru mereka.
Demikian pula, Finlandia dan Hungaria telah mengalami "Indo-Eropanisasi" dengan
meminjam dari tetangga mereka Eropa Barat.
Seluruh gagasan tentang peminjaman bahasa terbuka terhadap keberatan serius, dan
kita dapat mengatakan bahwa apa yang disebut "budaya" pinjaman hanya pylai dalam
lautan keterkaitan antara bahasa. Konsep bahasa sebagai struktur monolitik yang kaku
adalah salah, bahkan jika itu telah terbukti menjadi fiksi yang berguna dalam
pengembangan linguistik. Ini merupakan jenis penyederhanaan yang diperlukan pada
tahap ilmu tertentu, tetapi yang sekarang dapat digantikan dengan model yang lebih
canggih. Kita semua terbiasa dengan situasi spesifik simbiosis linguistik tertentu,
dimana sistem bahasa yang membentang dalam pengakuan kita. Salah satunya adalah
apa yang dikenal sebagai "aksen asing": dalam efek ini berarti bahwa seseorang dapat
berbicara bahasa dengan sistem suara yang sama sekali asing. Sebuah studi dari
"Marathi English" oleh Ashok Kelkar (1957) telah menunjukkan bahwa penutur
Universitas Sumatera Utara
29
Marathi memiliki dialek bahasa Inggri yang sudah terbentuk dengan baik. Sistem suara
Marathi yang digunakan dapat membuat sulit bagi penutur asli bahasa Inggris untuk
memahaminya. Mungkin disebutnya dialek "substratum" atau "kontaktual". Lalu ada
yang disebut dengan "dialek pelajar," di mana pembelajar bahasa berjuang dengan cara
mereka mempelajari bahasa ke lain, tidak hanya menggantikan sistem suara, tetapi juga
tata bahasa dengan kreasi baru yang tidak terduga oleh penutur asli. Dalam masyarakat
bilingual yang stabil ada akomodasi yang lebih jauh antara bahasa simbiosis, sehingga
mereka berhenti untuk mencerminkan dunia budaya yang berbeda: kalimat mereka
mendekati transibilitas kata-demi kata, yang jarang di antara bahasa yang benar-benar
otonom. Telah lama diamati proses ini dalam masyarakat imigran Amerika (Haugen
1956: 65). Hasilnya adalah bahasa imigran hampir setiap konsep adalah Amerika,
sehingga baik bahasa pinjaman atau semantik pergeseran pinjaman yang menyejajarkan
modus ekspresi menurut pola bahasa yang dominan. Gumperz (1967) melakukan
pengamatan serupa di India, di daerah di mana standar informal bahasa Indo-Arya dan
Dravida sama-sama hidup pada abad yang sama.
Kunci untuk pengembangan ini adalah kemungkinan pergeseran atau alternatif antara
bahasa. Psikolog sangat tertarik pada masalah bagaimana bahasa disimpan, baik sebagai
entitas yang terpisah atau sebagai penyimpanan tunggal konsep dimana kata melekat.
Hal ini tidak tampak bahwa salah satu dari kemungkinan tersebut sepenuhnya benarbenar nyata. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa setiap item yang disimpan entah
bagaimana ditandai sebagai bagian dari satu atau bahasa lainnya dan disebut melalui
perangkat pergantian umum yang menghalangi item tercakup. Namun, kesamaan antara
item dalam bahasa yang berbeda menyebabkan kebingungan: penempatan penanda, dan
item menjadi tersedia dalam dua bahasa. Hal ini mengurangi upaya penutur dalam
Universitas Sumatera Utara
30
pengalihan, dan dalam waktu yang mengarah pada homogenisasi dari dua bahasa.
Seperti pengurangan perbedaan terjadi pada semua waktu antara bahasa dan dialek
saling dipahami. Namun, terjadi juga antara bahasa yang tidak dapat dipahami penutur
bilingual
yang memerlukan pergantian bahasa. Sistemnya cepat menjadi sistem
langsung (atau oleh Nemser, 1969 menyebutnya sebagai sistem approksimasi) antara
bentuk "murni" bahasanya, yang terakhir menjadi orang-orang yang dipelihara baik oleh
populasi monolingual atau peraturan yang kaku. Namun, sistem murni penengah antara
masa lalu dan masa depan bahasa mereka sendiri dan perantara antara tetangga pada
semua sisi. Bahasa hanya mengalami kebekuan untuk sementara waktu, baik oleh
pemerintah maupun oleh persetujuan sastra.
Untuk bahasa tertentu, harus dimiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ekologi
berikut: (1) Apakah klasifikasi dalam kaitannya dengan bahasa lain? Jawaban ini akan
diberikan oleh para linguis historis dan deskriptif, (2) Siapa penggunanya? Ini adalah
pertanyaan demografi linguistik, yang menempatkan penggunanya sehubungan dengan
daerah, kelas, agama, atau kelompok lain yang relevan; 3) Apa saja domain
penggunaannya? Ini merupakan pertanyaan tentang sosiolinguistik, dalam menemukan
apakah penggunaannya tidak dibatasi atau terbatas dengan cara tertentu, (4) bahasa apa
saja yang digunakan oleh penggunanya? Dapat disebut masalah dialinguistik, untuk
mengidentifikasi tingkat keberadaan bilingualisme dan derajat ketumpangtindihan
antara bahasa, (5) varietas internal yang apa yang ditunjukkan oleh bahasa? Ini adalah
tugas dari dialektologi yang tidak hanya mengenali daerah, tetapi juga dialek sosial dan
kontaktual (6) Apa sifat dari tradisi tertulis? Ini adalah bidang filologi, studi teks-teks
tertulis dan hubungannya dengan pidato, (7) Sampai pada taraf apa bentuk tertulisnya
telah distandardisasi, misalnya unifikasi dan dikodifikasinya? Ini adalah bidang
Universitas Sumatera Utara
31
linguistik preskriptif, para ahli tata bahasa tradisional dan leksikografer; (8) Jenis
dukungan kelembagaan apa yang telah ia peroleh, baik di pemerintahan, pendidikan,
atau organisasi swasta, baik dalam penengaturan bentuk maupun penyebarannya? Kita
dapat menyebutnya penelitian glottopolitik, (9) Apa sikap penggunanya terhadap
bahasa, dalam hal keintiman dan status, yang mengarah ke identifikasi pribadi? Kita
dapat menyebut bidang ini ethnolinguistik, (10) Akhirnya kita mungkin ingin meringkas
statusnya dalam tipologi klasifikasi ekologi, yang akan memberitahu kita tentang
sesuatu di mana bahasa berdiri dan di mana ia akan dibandingkan dengan bahasa lain
dunia. (Hougen, 1971).
2.1.2 Ekologi budaya dan Teori Ekosistem budaya
Dalam memulai bahasan ini, diuraikan teori yang disebut sebagai ekosistem budaya.
Teori ini merupakan bagian utama dari konsepsi baru Ekologi Budaya (EB). EB lebih
merupakan ilmu yang masih muda yang secara hangat dibahas terutama di Amerika
Serikat, di mana telah dikembangkan dalam konsepsi pertama oleh antropolog budaya
Julian H. Steward sejak tahun lima puluhan. Pembahasan yang berkenaan dengan
gagasan beliau maupun para pengikutnya dikesampingkan, diantaranya Vayda dan
Rappaport. Menurut pendapat saya, konsepsi lain dari EB mulai dari asal-usul lain yang
lebih relevan untuk tujuan. Kemudian tidak akan dikomentari sumber dalam konteks
ini, diantaranya mengarah kepada ahli biologi Jerman-Swedia Jakob von Uexkiull atau
ke filsuf Norwegia Arne Naess. Ada juga sedikit disinggung mengenai peneliti universal
kelahiran Inggris yakni Gregory Bateson, yang programnya ekologi pikirannya
menandai langkah pertama ke arah yang dimaksud.
Pokok utamanya adalah
bahwa Bateson tentu tidak menggunakan istilah 'ekologi'
Universitas Sumatera Utara
32
secara metaforis bila berbicara dari ekologi pikiran. Meskipun kami telah mempelajari
sejumlah besar hal-hal dari ekologi ilmiah konvensional, disiplin biologi hingga saat ini
gagal untuk membebaskan diri dari batas-batas fisikalis yang menghalangi pemahaman
yang memadai dari dimensi psikis ekosistem. Bateson melihat hal ini sebelumnya dan
lebih jelas daripada yang lain. Pemahaman sistemik dari dalam pemikiran, bukan di luar
yang merupakan kunci terhadap pemikiran revolusioner.
Identitas dimensi psikis yang dikembangkan dalam ekosfer dalam ko-evolusi dengan
organisme, jauh sebelum manusia sebagai spesies baru memasuki kehidupan.
Berkembangnya kompleksitas kemampuan kognitif, perilaku cerdas dan bentuk
sistemik komunikasi terorganisir pun muncul, maka bahasa menjadi salah satu yang
terakhir muncul. Namun, bahasa memberikan manusia sarana yang sama sekali baru
dalam sejarah evolusi kehidupan, yang memungkinkan kita agar secara aktif
menafsirkan sistem baru, sistem berpikir dan keyakinan, nilai-nilai, pendapat dan
pengetahuan abstrak, yang tidak hanya soal perilaku, tetapi tindakan, atau - dengan
kata-kata yang dipakai dalam tema kongres Utrecht, yakni memori, sejarah dan kritik.
Sistem ini, yang secara substansial memperbesar dan mengubah permulaan atau kurang
dikenal di alam pramanusia, dalam perjalanan dari ribuan tahun lalu hingga menjadi
seperti kita yang sekarang, sosial dan etnis atau budaya global kita. Budaya adalah anak
dari alam, dan evolusi budaya adalah keturunan dari alam. Tapi apa itu yang merupakan
identitas budaya?
Konsep budaya sangat diperlukan karena sulit untuk menjelaskannya. Ada bentuk
utama dari budaya dan ada banyak budaya pada tingkat yang berbeda dari analisis.
Universitas Sumatera Utara
33
Namun, dengan kacamata Batesonic dalam mengkategorikan pandangan kita terhadap
dunia, salah satu temuan yang paling mengejutkan dari penelitian pada struktur budaya
adalah ditemukan pola pengorganisasian tertentu dari ekosistem yang akrab, yakni
keterbukaan dan ketergantungan pada energi yang tersedia dalam lingkungan, umpan
balik-proses, keadaan keseimbangan, bahkan ketiga hal: produksi, konsumsi dan
kehancuran, sekarang berhubungan dengan kognitif bukannya proses trophic dan pada
disposisi dari satu spesies saja. Ada banyak perbedaan dengan sistem alam, tentu saja,
dan perkembangan baru, terutama mengenai kebebasan bertindak dalam sistem, tetapi
asal-usul dari organisasi ekosistem lingkungan budaya dari nenek moyang masih dapat
ditelusuri hingga saat ini.
Pengaplikasikan persepektif evolusiner atas hubungan antara alam dan budaya
merupakan prinsip metodologi utama dari konsep yang paling umum dari Ekologi
Budaya yang disebut Ekologi budaya evolusioner
(EBE).
Oleh karena itu, EBE
membedakan antara ekosistem yang lebih tua dari materi dan ekosistem yang lebih
muda dari pikiran dan 'ekosistem budaya' yang terakhir. Hipotesis utama
ilmu baru
tersebut adalah proposisi eksistensial yang terdapat ekosistem budaya.
Berada dalam dunia budaya dari sudut pandang evolusi dan ekologi
akan
dimungkinkan untuk melihat dunia secara lebih baik, dan akibatnya menyebabkan
perubahan menyeluruh dari sistem nilai-bersama. Tidak mengikat berjuang untuk
otonomi ilusi tetapi pengakuan saling ketergantungan pada tingkat sumber energi dan
sistem tetangga menjadi nilai positif. Urutan dikenal dan prinsip persetujuan harus
berdiri kembali terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dan proses kreatif. Identitas
Universitas Sumatera Utara
34
icdividuals dipertajam dan menisbikan pada waktu yang sama. Keanekaragaman tidak
lagi keadaan transisi yang menyerukan pengurangan untuk keseragaman tetapi nilai
positif manifoldness dan kekayaan. Pusat-pusat berlebihan dari sistem berdiri kembali
dalam terang dari siluman struktural di dekat perbatasan mereka terutama dalam zona
transisi hidup antara sistem eighboring. Ada lebih banyak re-evaluasi kemungkinan
menyusul tawaran konseptual teori ekosistem budaya. Hipotesis utama kedua dari EBE,
karena itu, adalah sesuatu seperti rekomendasi metodologis, yaitu: pengetahuan tentang
alam membantu kita dengan pengetahuan budaya.
Tiga hipotesis utama dari EBE, yaitu sebagai berikut: secara jelas kita berhubungan
dengan ekosistem budaya yang jauh lebih rasional atau lebih pintar dari apa yang dapat
kita lakukan dalam kasus yang lebih natural. Ada sistem yang lemah, ada yang lebih
kuat, dan kita jarang benar-benar berada pada sisi yang lemah. Jadi sistem yang kuat
tumbuh dengan baik ke dalam sifat yang terakhir dan kadang-kadang membawa mereka
pada kepunahan. Kadang-kadang kita menemukan sistem baru hanya untuk merusak
atau membuat kehancuran pada yang lain. Budaya persus tidak selalu sejalan dengan
hal yang tampak benar baik, atau cantik, kadang-kadang alam secara rasional dirancang
untuk mencapai tujuan yang berlawanan. Seringkali, rancangan mengandung kesalahan
dan kekurangan, atau kemungkinan kita menggunakannya dengan cara tidak
semesetinya atau rusak. Sering juga, kita menipu diri sendiri tentang nilai-nilai
perubahan dan inovasi dan menghasilkan ideologi belaka, atau kita takut keragaman
atau kreativitas dan merusak lanskap akhlak budaya kita yang berasal dari ketakutan
yang tidak diketahui atau kita berjuang mengejar kekuasaan. Dalam prakteknya, ini
berarti sebagai berikut: menerapkan pengetahuan EBE dalam tindakan kita, kemudian
Universitas Sumatera Utara
35
memutuskan apakah kita harus mempertahankan atau untuk mereformasi identitas
ekosistem budaya kita. Seringkali, yang pertama juga mencakup yang terakhir:
pertahanan hanya mungkin dengan cara reformasi substansial. Karena kita dapat
mereformasi ekosistem budaya, yang tidak dapat dilakukan dengan yang alami.
2.1.3 Kajian Ekolinguistik
Kajian interdisipliner yang mengkaitkan ekologi dan linguistik diawali pada tahun
1970-an ketika Einar Haugen (1972) menciptakan paradigma ekologi bahasa. Dalam
pandangan Haugen, ekologi bahasa adalah kajian tentang interaksi bahasa dan
lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan bahasa
secara metaforis, yakni lingkungan dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa,
sebagai salah satu kode bahasa. Bahasa berada hanya dalam pikiran penuturnya. Oleh
karenan itu, bahasa berfungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antarpenutur,
dan menghubungkan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial ataupun
lingkungan alam. Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang yang
mempelajari, menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada orang lain
(Haugen, 2001:57).
Dua dekade setelah diciptakannya paradigma ekologi bahasa, barulah muncul istilah
ekolinguistik ketika Halliday (1990) pada konferensi AILA memaparkan elemenelemen dalam sistem bahasa yang dianggap ekologis (’holistic’ system) dan tidak
ekologis (’fragmented’ system). Berbeda dengan Haugen, Halliday menggunakan
konsep ekologi dalam pengertian non-metaforis, yakni ekologi sebagai lingkungan
biologis. Halliday mengkritisi bagaimana sistem bahasa berpengaruh pada perilaku
penggunanya dalam mengelola lingkungan. Halliday (2001) menjelaskan bahwa bahasa
Universitas Sumatera Utara
36
dan lingkungan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Perubahan bahasa, baik
di bidang leksikon maupun gramatika, tidak dapat dilepaskan dari perubahan
lingkungan alam dan sosial (kultural) masyarakatnya. Di satu sisi, perubahan
lingkungan berdampak pada perubahan bahasa, dan di sisi lain, perilaku masyarakat
terhadap lingkungannya dipengaruhi oleh bahasa yang mereka gunakan. Kajian
terhadap hubungan dialektika antara bahasa dan lingkungannya telah melahirkan
KERANGKA TEORETIS DAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekolinguistik
Ekolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu terbilang baru dalam kajian linguistik.
Kajian ini dikenal juga dengan istilah ekologi bahasa. Sebetulnya ada empat istilah yang
merujuk pada kajian ini, yaitu linguistic ecology, ecological linguistics, the ecology of
language/language ecology, dan ecolinguistics (Lechevrel, 2009: 5). Sementara itu,
dalam bahasa Indonesia dikenal istilah ekologi linguistik, linguistik ekologi, ekologi
bahasa/bahasa ekologi, ekologi bahasa, dan ekolinguistik. Dalam bahasa lain, dikenal
pula istilah Ecologie des langues/Ecologie du langage, Linguistique ecologique,
Ecologie
linguistique dan
Ecolinguistique
(Perancis), Okologie
der
Sprache/
sprachologie, okologische Linguistik, Linguistik Ekologie dan Okolinguistik (Jerman),
serta Ecologia des las lenguas, Ecologia linguistic dan Ecolinguistica (Spanyol)
(Lechevrel, 2009:5)
Ekologi adalah studi tentang hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat fungsional.
Dua parameter yang akan dihubungkan adalah bahasa dengan lingkungan/ekologi.
Pemakaian istilah ini tergantung pada perspektif yang digunakan baik ekologi bahasa
maupun bahasa ekologi. Kombinasi keduanya menghasilkan kajian ekolinguistik.
Ekologi bahasa mempelajari dukungan berbagai sistem bahasa yang diperlukan bagi
kelangsungan mahluk hidup, seperti halnya dengan faktor-faktor yang memengaruhi
kediaman (tempat) bahasa-bahasa dewasa ini.
9
Universitas Sumatera Utara
10
Crystal (2008: 161-162) mendefinisikan
… biological studies – in which the interaction between language and the
cultural environment is seen as central; also called the ecology of language,
ecological linguistics, and sometimes green linguistics. An ecolinguistic approach
highlights the value of linguistic diversity in the world, the importance of
individual and community linguistic rights, and the role of language attitudes,
language awareness, language variety, and language change in fostering a culture
of communicative peace.
studi biologis-interaksi antara bahasa dan lingkungan kultural dilihat sebagai inti;
disebut pula dengan ekologi bahasa, ekologi linguistik dan kadang-kadang linguistik
hijau. Pendekatan ekolinguistik menyoroti nilai keragaman linguistik di dunia,
pentingnya hak linguistik dari individu dan komunitas, peranan sikap, kesadaran,
variasi, dan perubahan bahasa dalam mengembangkan sebuah budaya perdamaian yang
komunikatif. Sementara itu, istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos, yang
berarti house, man’s immediate surroundings. Ricklefs (1976:1) mendefinisikan ekologi
“Ecology is the study of plants and animals, as individuals and together in populations
and biological communities, in relation to their environments-the physical, chemical,
and biological characteristics of their surroundings”
Ekologi merupakan studi yang mempelajari tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewanan
sebagai individu dan secara bersamaan dalam populasi dan komunitas biologis dalam
kaitannya dengan lingkungannya-fisik, kimia, dan karakteristik biologis lingkungannya.
Definisi lain dikemukakan oleh Haeckel (1870) dalam Ricklefs (1976:2)
By ecology,” he wrote, “we mean the body of knowledge concerning the economy
of nature – the investigation of the total relations of the animal both to its organic
and to its inorganic environment; including above all, its friendly and inimcal
relation with those animals and plants with ehich it come directly or indirectly in
contact – in a word, ecology is the study of all the complex interrelations referred
to by Darwin as the conditions of the struggle for existence.
Universitas Sumatera Utara
11
Dengan demikian, kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan
bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia
dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik). Lingkungan tersebut adalah
lingkungan ragawi berbahasa yang menghadirkan pelbagai bahasa dalam sebuah
masyarakat. Situasi dwi/multi bahasa inilah yang mendorong adanya interaksi bahasa.
Lingkungan ragawi dengan berbagai kondisi sosial sangat memengaruhi penutur bahasa
secara psikologis dalam penggunaan bahasanya.
Kajian ini ini pertama kali dikenalkan Einar Haugen dalam tulisannya yang bertajuk
Ecology of Language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa
(ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan kajian ini. Pemilihan
tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya karena para pakar bahasa dapat
bekerjasama dengan berbagai jenis ilmu sosial lainnya untuk memahami interaksi
antarbahasa (Haugen dalam Fill& Mühlhäusler, 2001:57).
Disiplin ilmu ini lahir sekitar tahun 1990-an, kendati konsep dan benih teoretisnya
sudah berkembang sejak 1921 dengan rintisan Edward Sapir ( 1884-1939). Kemudian
Haugen (1972), secara gencar dikembangkan antara lain oleh Fill dan Muhlhausler
(2001). Dalam perspektif ekolinguistik, ekolinguistik dipandang sebagai life science,
ilmu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan (bahasa, budaya, manusia, dan
lingkungannya).
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 1: Ekolinguistik: Bahasa dengan Lingkungan
EKOLINGUISTIK/E
KOLOGI BAHASA
LINGKUNGAN
BAHASA
HIDUP DAN TIDAK
HIDUP
FONOLOGI,
MORFOLOGI,
SINTAKSIS,
WACANA
(1) LINGKUNGAN
(ENVIRONMENT), (2)
KEBERAGAMAN
(DIVERSITY), (3)
INTERAKSI,
Bahasa digunakan dalam perspektif ekolinguistik dipahami sebagai gambaran atau
representasi realitas alam dan manusia. Hal ini berarti ekolinguistik tidaklah netral dan
bebas nilai. Oleh karena itu, bahasa hidup dalam dan dengan manusia. Dimensi biologis
insani selalu terkait dengan dimensi sosiologisnya baik dalam mempelajari dan
mewariskan bahasa kepada generasi baru maupun dalam memfungsikan bahasa sebagai
wahana komunikasi insani dengan orang lain. Gagasan dan daya budi manusia untuk
memahami dan menata kehidupan sebagai adicita kolektiva (dimensi ideology) juga
tidak terlepas dari lingkungannya. Bahasa dipandang sebagai organisme, sesuatu yang
hidup. Proses ini dapat berlangsung dalam otak, jiwa, budi, dan raga manusia dengan
alat-alat ucap (organs of speech). Pada hakikatnya bahasa yang dituturkan
itu
berdimensi sosial-kultural. Harmoni antarhubungan yang insani, terutama dengan
Universitas Sumatera Utara
13
lingkungan yang alami, secara khusus dan terbatas dengan lingkungan sosial adalah
tuntutan demi hidup dan kehidupan. Dengan demikian, hak hadir dan hak hidup bahasabahasa (languages right) layak dijamin, baik secara konstitusional maupun secara
sosial-kultural dalam lingkungannya.
Sejumlah negara menenggarai betapa pentingnya kajian ekolinguistik. Kerusakan
lingkungan hidup oleh ulah manusia yang menjadikan dirinya sebagai pusat dan subjek
kehidupan (antroposentris), menggugah dan "menggugat" dirinya pula untuk
mengembangkan kajian ini secara reflektif, evaluatif, introspektif, konstruktif, dan
integratif. Pendekatan multidisipliner karena ekolinguistik menjadi payung dan wadah
bersama yang bersifat lintas bidang keilmuan, menjadi pilihan yang sangat penting dan
strategis. Sebagai kajian yang bertolak dari konsep dan parameter ekologi yakni: (1)
lingkungan (environment), (2) keberagaman (diversity), (3) interaksi, interelasi, dan
interdependensi. Kajian ekolinguistik menempatkan dan menjadikan fenomena
(penggunaan) bahasa dalam suatu perspektif yang lebih integratif, prospektif, dan juga
historis.
Lingkungan kebahasaan dan penggunaan bahasa (bahasa lingkungan, yakni ekspresi
verbal manusia dalam memahami, menanggapi, dan menggunakan sumber daya
lingkungan, baik alam sebagai matra kesejagatan yang makrokosnos, maupun manusia
(dengan tatanan dan sumber daya sosial-budayanya) dalam cakupan yang mikrokosmos
(jagat kecil), merupakan objek formal dan objek material kajian ekolinguistik. Bahasa
adalah sumber daya makna, termasuk makna dan pemaknaan alam dan makna budaya
dalam kemasan verbal sebagaimana terekam dalam bahasa-bahasa etnik khususnya,
baik khazanah leksikon maupun gramatikanya, sumber daya tekstual yang kontekstual
masa lalu dan masa kini, secara khusus misalnya gramatika metaforik sebagai khazanah
Universitas Sumatera Utara
14
ekspresi verbal manusia yang alami, semuanya adalah tanda adanya keterkaitan dan
ketergantungan manusia dengan lingkungan alam di sekitarnya, yang menjadi lahan
garapan ekolinguistik.
Sejalan dengan waktu, perkembangan ekolinguistik kritis menggugat greenspeak yang
selama ini mengandung energi perusak lingkungan natural khususnya, karena di balik
greenspeak itulah sesungguhnya dominasi dan hegemoni ideologi kapitalisme telah
terjadi dan telah merusak lingkungan dengan segala sumber dayanya, sumber daya
alami bahkan juga sumber daya budaya yang di antaranya tak terbarukan (no
renewable), telah terjadi penurunan mutu dan ketersediaan secara sangat drastis
terutama oleh ulah manusia pula.
2.1.1 Ekologi Bahasa
Kebanyakan deskripsi bahasa diawali dengan pernyataan singkat
tak acuh mengenai
jumlah dan lokasi penuturnya dan perihal yang berkenaan dengan sejarahnya. Jarang
dijumpai deskripsi yang menginformasikan pembaca apa yang
harus diketahui
sehubungan dengan status sosial dan fungsi bahasa yang bersangkutan. Ahli bahasa
umumnya terlalu bersemangat membahas fonologi, tata bahasa, dan leksikon dan
memberi perhatian yang dangkal dengan apa yang disebut sebagai "ekologi bahasa."
Pendapat lain yakin bahwa aspek ini lebih bermanfaat, hal ini telah dieksplorasi secara
mendalam dalam beberapa tahun terakhir oleh ahli bahasa, bekerja sama dengan
antropolog, sosiolog, ilmuwan politik, dan psikolog. Kebanyakan ahli bahasa bersedia
meninggalkan lapangan untuk menjadi ilmuwan non-linguistik sosial, tapi dipercaya
bahwa ada komponen linguistik yang kuat dalam ekologi bahasa.
Universitas Sumatera Utara
15
Ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antara bahasa tertentu
dengan lingkungannya. Definisi lingkungan mungkin menyebabkan pikiran seseorang
pertama-tama terhadap dunia referensial yang menyediakan bahasa indeks. Namun,
maksud istilah ini adalah lingkungan yang bukan dari bahasa tetapi leksikon dan tata
bahasa. Lingkungan yang benar dari suatu bahasa adalah masyarakat yang
menggunakannya sebagai salah satu dari kode tersebut. Bahasa hanya ada dalam benak
penggunanya, dan hanya berfungsi untuk menghubungkan para pengguna untuk satu
sama lain dan dengan alam, misalnya lingkungan sosial dan alam. Bagian dari ekologi
karena psikologis: interaksi dengan bahasa lain dalam pikiran penutur bilingual maupun
multilingual. Bagian lain dari ekologi adalah sosiologis: interaksi dengan masyarakat di
mana ia berfungsi sebagai media komunikasi. Ekologi bahasa ditentukan terutama oleh
orang-orang yang mempelajarinya, menggunakannya, dan mentransmisikannya kepada
orang lain.
Tulisan-tulisan dari abad kesembilan belas umumnya memuat "kehidupan bahasa,"
karena model biologis dengan mudah masuk ke dalam generasi baru menemukan
evolusi. Bahasa lahir dan mati, seperti halnya organisme hidup. Bahasa memiliki
rentang hidup, tumbuh dan berubah seperti manusia dan binatang, mengalami penyakit
yang dapat disembuhkan dengan obat yang tepat diketahui oleh tatabahasawan yang
baik. Spesies baru berevolusi dalam proses "kemajuan," yang seringkali sebagai akibat
dari kompetisi yang menjamin survival of the fittest. Sedangkan yang lainnya
memandang perubahan bahasa sebagai degenerasi dari kesempurnaan klasik, yang
dalam dunia yang tidak sempurna hanya bisa dipulihkan melalui kewaspadaan secara
terus-menerus terhadap kewaspadaan terhadap penjaga selera yang baik. Tak perlu
Universitas Sumatera Utara
16
mendokumentasikan judul di mana metafora tersebut terkandung, semua hal itu sudah
tidak asing lagi.
Saat ini model biologis tidak populer di kalangan ahli bahasa. Hal ini hanyalah sebuah
metafora, yang menimbulkan analogi tertentu antara bahasa dan organisme biologis,
tetapi tidak bisa dikaji terlalu jauh. Kesimpulan yang ditarik tentang bahasa dari model
tersebut sudah jelas palsu: bahasa tidak bernapas, tidak memiliki kehidupan sendiri
terpisah dari orang-orang yang menggunakannya dan tidak tidak memiliki kualitas nyata
dari organisme tersebut.
Metafora lain telah menggantikan satu sifat biologis pada umumnya, dalam menanggapi
aspek konstruktif yang kuat dari peradaban industri. Bahasa disebut "alat" atau "alat
komunikasi," apabila dibandingkan dengan palu atau gerobak atau komputer, yang
masing-masing berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan manusia yang mungkin
sulit atau tidak mungkin untuk dicapai tanpanya. Tapi tidak demikian, bahasa biasanya
tidak sengaja dibentuk. Hal ini tidak dapat dipisahkan dan disatukan lagi, atau dapat
disetel untuk meningkatkan efisiensinya: dengan mengejar hal ini, berarti jatuh ke
dalam perangkap mengejar "efisiensi" yang lebih besar dalam bahasa. Bahkan istilah
"struktur" seperti yang digunakan dalam deskripsi linguistik tidak tepat, karena
dibangun di atas gagasan bahasa sebagai sebuah entitas yang terorganisir seperti yang
dikemukakan Meillet,
setiap bagian tergantung pada bagian lainnya. Seharusnya,
struktur bahasa Prancis berbeda dengan struktur menera Eiffel.
Meskipun
seandainya ditolak metafora biologis, instrumental, atau struktural, tetap
diakui nilai heuristik dari fiksi tersebut. Bahasa memang memiliki hidup, tujuan, dan
bentuk, yang masing-masing dapat dipelajari dan dianalisis. Setelah dibagi ke dalam
Universitas Sumatera Utara
17
kandungan metaforis atau mistiknya,
bahasa dilihat sebagai aspek perilaku manusia.
perilaku yang selalu ganda dikenali sebagai tindakan luar, performa, tetapi juga potensi
bagian dalam, kompetensi, yang disimpulkan dari performa dan pada gilirannya
digunakan untuk menjelaskan performa. Oleh karena itu, ada alasan untuk bertanya
apakah bahasa merupakan ergon, produk, atau energeia, sebagai suatu aktivitas. Hal ini
mencakup keduanya: dipelajari dalam performa, tetapi generalisasi diambil dari
performa merupakan kompetensi. Tampaknya sebagai tindakan, seperti semua perilaku,
tetapi ada dalam pikiran sebagai potensi, yang dapat diperlakukan sebagai suatu hal,
yang menyiratkan kemungkinan tindakan.
Dalam tulisan ini dikemukakan
perlakuan terhadap bahasa sebagai sesuatu yang
"hidup" yang dipahami dan digunakan sebagai bagian dari ilmu ekologi. Istilah tersebut
berkembang sebagaimana cabang biologi dan dapat didefinisikan sebagai “cabang
biologi yang mencakup keterkaitan antara tanaman dan hewan dan lingkungannya
secara utuh" (Bagian 1966). Para sosiolog telah memperluas arti istilah terhadap saling
keterkaitan antara masyarakat manusia dan lingkungan mereka, seperti yang terdapat
dalam Human Ecology A. H. Hawley (1950). Ekologi bahasa akan menjadi
perpanjangan alami dari studi semacam ini dan telah lama dikejar dalam psikolinguistik,
etnolinguistik, antropologi linguistik, sosiolinguistik, dan sosiologi bahasa. Hal itu
menjadi perhatian para linguis dalam pekerjaan mereka sehubungan dengan perubahan
bahasa dan variabilitas, dalam kontak bahasa dan bilingualisme, serta standardisasi. Di
Amerika Serikat karya terbaru yang berhubungan dengan kesemua hal di atas adalah
karya Uriel Weinreich, Charles A. Ferguson, William A. Stewart, William Labov, John
Gumperz, Joshua Fishman, Dell Hymes, Joan Rubin, dan Edgar Polome, ini hanya
beberapa diantaranya.
Universitas Sumatera Utara
18
Satu-satunya penggunaan "ekologi" sebelumnya dalam kaitannya dengan bahasa, yang
tidak saya ketahui ketika pertama kali saya menyiapkan tulisan ini adalah karya
Voegelins dan Noel W. Schutz, Jr dalam sebuah makalah berjudul "The Language
Situation in Arizona as Part of the Southwest Culture Area"(1967). Perhatian yang
panjang dari Carl Voegelin terhadap masalah semacam ini sudah cukup dikenal.
Kareana berada di posisi menggeluti bidang antropologi dan linguistik, maka hal itu
wajar baginya untuk memulai penggunaan istilah dalam menangani hubungan timbal
balik yang kompleks dari bahasa baratdaya Amerika. Istilah ini dibatasi terhadap
masyarakat bilingual atau trilingual. Sebaliknya dalam sebuah makalahnya (Voegelin
dan Voegelin 1964, hal 2; yang sebenarnya ditulis setelah makalah tahun 1967)
Voegelins mengemukakan tentang intra-bahasa" yang dikenal dengan ekologi "antarbahasa". Mereka menyarankan bahwa "dalam ekologi linguistik, orang mulai tidak
dengan bahasa tertentu tapi dengan daerah tertentu, tidak dengan perhatian selektif
untuk beberapa bahasa tetapi dengan perhatian yang komprehensif untuk semua bahasa
di daerah." Meskipun hal ini benar, pemilihan terhadap daerah dapat secara bebas,
seperti dalam kasus Amerika Baratdaya, seseorang dapat berbicara tentang ekologi
bahasa atau dialek tertentu, melihat masalah dari sudut pandang penggunanya.
Pentingnya memiliki ahli bahasa yang kompeten yang mengkaji topik semacam ini
terbukti ketika kita beralih ke tradisi penelitian lima puluh tahun saat ini dalam ekologi
manusia. Hal ini agak mengejutkan dengan menemukan bahwa kebanyakan penulis di
bidang ini gagal untuk mempertimbangkan bahasa sebagai bagian dari lingkungan. Para
pioner di lapangan seperti Park, Burgess, McKenzie, dan Hawley berkonsentrasi pada
metropolis Amerika dengan pertumbuhan spasial yang fenomenal. Dalam semangat
Darwin mereka mempelajari "perjuangan untuk bertahan hidup" dalam lingkungan ini,
Universitas Sumatera Utara
19
dan kemudian baru menyadari bahwa keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok
etnis (dengan bahasa sendiri) mungkin menjadi faktor dalam perilaku ekologinya
(Hollingshead 1947). Sebuah studi klasik dengan semangat baru dilakukan Everett C.
Hughes dalam karyanya yang berjudul 'French Canada in Transition (1943), penelitian
serupa dari kelompok etnis di Amerika Serikat mengungkapkan pentingnya nilai-nilai
bersama dalam menentukan distribusi spasial (Theodorson 1961). Akan tetapi, sangat
sedikit yang menegaskan bahwa kepemilikan bahasa umum mungkin menjadi salah satu
dari nilai-nilai bersama yang bersangkutan. Sejak munculnya sekolah sosiolinguistik di
tahun 1960-an peran bahasa tidak dapat diabaikan seperti sebelumnya. Pada 1964-65,
Charles Ferguson juga termasuk dalam Social Science Research Council's Committee
on Sociolinguistics Sociologist seperti Everett Hughes dan ahli bahasa seperti penulis
ini. Kita dihadapkan dengan generasi muda, para sarjana dari berbagai disiplin ilmu
seperti Susan Ervin-Tripp, Joshua Fishman, Dell Hymes dan John Gumperz, untuk. Hal
ini terbukti menjadi pertemuan orang-orang yang punya gagasan yang sebelumnya telah
bekerja di bidang yang berbeda.
Nama bidang ilmu tidaklah begitu penting, tetapi tampaknya bagi saya bahwa istilah
"ekologi bahasa" mencakup berbagai kepentingan di mana ahli bahasa dapat bekerja
sama secara signifikan dengan segala macam ilmuwan sosial terhadap pemahaman
tentang interaksi bahasa dan pengguna bahasa tersebut. Seseorang mungkin berani
menunjukkan bahwa ekologi bukan hanya nama ilmu deskriptif, namun dalam
penerapannya telah menjadi bendera gerakan untuk sanitasi lingkungan. Istilah tersebut
juga termasuk dalam penerapannya pada beberapa kepentingan bahasa dalam
keprihatinan umum di kalangan orang awam atas budidaya dan pelestarian bahasa.
Ekologi menunjukkan sesuatu yang dinamis, bukan ilmu statis, sesuatu di luar deskriptif
Universitas Sumatera Utara
20
yang disebut prediktif dan bahkan terapis. Jadi apa yang menjadi atau seharusnya
menjadi peran "kecil" dari bahasa, dan bagaimana bahasa atau bahasa lainnya dibuat
menjadi "lebih baik," "lebih kaya," dan lebih "berbuah" bagi umat manusia?
Disini kita tidak bisa memasuki semua aspek yang mungkin dari masalah ekologi
bahasa. Kita mengambil contoh prinsip-prinsip tertentu yang sudah akrab bagi kita dari
pembelajaran dan penggunaan bahasa: bahwa seorang anak menginternalisasi bahasa
apa pun atau berbagai variasi yang secara fungsional yang berhubungan pada tahuntahun pertama hidupnya, bahwa kompetensi yang diperoleh 'berbeda dari yang anak
lainnya’ yang memiliki kepasifan yang lebih besar daripada kompetensi yang aktif,
yang memampukan untuk menerima dan menginterpretasikan sinyal yang biasanya
tidak akan mampu bereproduksi, bahwa pematangan mengarah ke pembatasan tertentu
pada kemampuan orang dewasa atau kemauan untuk belajar bahasa baru; dan bahwa
masyarakat begitu terorganisir untuk memberlakukan yang lainnya, dengan terlalu atau
kurang memberi batasan pada pembelajaran bahasa yang sebenarnya, dengan
pengurangan keterhubungan dengan ketidakterbatasan hingga pada kepraktisan
minimum.
Faktor-faktor lain muncul di berbagai belahan dunia yang universal adalah faktor
sebagian tergantung pada status dan keintiman. Dalam tulisan ini digunakan istilah
status berarti hubungan dengan kekuasaan dan pengaruh dalam kelompok sosial.
Sementara statusnya dapat menjadi bagian pada satu atau beberapa tingkat, dalam
hubungannya dengan dua varietas kita dapat berbicara satu sebagai sesuatu yang
memiliki [+ status], yang lain sebagai [- status]. Ini menandai kenyataan bahwa variasi
status tambah (H) digunakan oleh pemerintah, di sekolah, oleh orang-orang dari tingkat
sosial dan ekonomi yang tinggi, atau oleh warga kota, sedangkan varietas Status minus
Universitas Sumatera Utara
21
(L) tidak digunakan oleh satu atau semua kelompok. Keintiman yang digunakan di sini
dalam arti yang terkait dengan solidaritas, nilai-nilai bersama, persahabatan, cinta,
singkatnya hubungan yang dibentuk melalui keluarga dan kehidupan kelompok yang
umum. Bentuk-bentuk tertentu dari sasaran dan perilaku yang tepat antara interlokutor
memiliki keintiman tinggi yang dibenci atau disalahpahami oleh orang luar. Sekali lagi
kita berhadapan dengan sebuah kontinum, yang akan tersegmentasi secara berbeda
dalam budaya yang berbeda, tetapi dalam banyak kasus tidak sulit untuk menemukan
varietas bahasa sepanjang skala [+ intimasi] dan [- intimasi].
Seperti yang dikemukakan oleh Brown dan Gilman (1960) dan Brown dan Ford (1961)
sehubungan penggunaan kata ganti alamat dalam bahasa Eropa dan nama terakhir dalam
bahasa Inggris Amerika yang dapat dijelaskan dalam kedua faktor tersebut. Sementara
Rubin (1968a) menemukan bahwa dia tidak bisa menggunakan dua dimensi yang sama
dalam menempatkan penggunaan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay, dia
menemukan bahwa faktor-faktor tersebut tampak jelas dalam situasi yang ia kaji.
Kuesionernya secara rinci mengenai situasi tersebut memperlihatkan pentingnya
serangkaian pilihan yang dibuat oleh lawan bicara, yakni (1) lokasi (desa: Guarani,
perkotaan: keduanya); (2) formalitas (formal: Spanyol, informalitas: keduanya); (3)
keintiman (intim: Guarani, non-intim: keduanya). Dari rangkaian ini seseorang harus
mengekstrak faktor yang ia rujuk, yang merupakan hal mendasar dalam pemilihan
bahasa: harapan (atau pengetahuan) potensi linguistik lawan bicara. Pertanyaan 21
mempertanyakan bahasa mana yang akan berbicara dengan "seorang wanita yang
mengenakan rok panjang sambil merokok cerutu hitam besar." Tidaklah mengherankan
bahwa 39 dari 40 menjawab Guarani, karena hanya seorang wanita pedesaan akan
muncul dalam situasi ini dan penutur pedesaan dianggap sebagai penutur bahasa
Universitas Sumatera Utara
22
Guarani. Dengan demikian, faktor lokasi harus diabaikan sebagai non-bilingual dalam
kasus Paraguay pedesaan: ia berbicara bahasa Guarani terutama karena satu-satunya
bahasa di mana ia merasa nyaman atau bahkan lebih mampu berkomunikasi dengan
bahasa itu.
Faktor-faktor yang tersisa jelas termasuk ke dalam dimensi status dan keintiman:
Spanyol adalah [+ Status], sementara Guarani adalah [+ intimasi], dan bagi banyak
penutur ini saling eksklusif. Orang Paraguay yang sudah disebutkan sebelumnya,
menggunakan bahasa Guarani di luar negeri untuk menekankan solidaritas mereka,
bahkan jika mereka mungkin menggunakan bahasa Spanyol di rumah (Rubin 1968b:
523). Di luar negeri, hubungan status di antara mereka dihentikan, dan solidaritas
tumbuh di lingkungan yang tidak bersahabat. Bahkan di rumah, kita belajar bahwa
keintiman tumbuh dalam hubungan yang mengarah ke penggunaan Guarani untuk
mengatakan "sesuatu yang lebih manis" dan dalam situasi yang santai, karena "lelucon
terasa lebih lucu" dalam bahasa Guarani.
Tidak ada alasan untuk melihat sesuatu yang unik dalam situasi orang Paraguay, kecuali
sejauh situasi historis yang unik. Faktor identik telah diamati yang terdapat di antara
imigran Norwegia di Amerika dan telah melaporkannya secara rinci (Haugen 1953).
Skala yang sama dari hubungan status ini berlaku bagi bahasa Inggris di antara orang
Norwegia di Amerika serta Spanyol antara Guarani. Pertimbangan awal adalah tentu
saja potensi komunikatif: tidak ada gunanya berbicara monolingual bahasa Inggris
dengan Norwegia atau sebaliknya. Tetapi bahkan dalam kelompok bilingual ada
pembedaan yang jelas antara topik, kesempatan, dan orang-orang yang menyebabkan
penggunaan status bahasa Inggris dan orang-orang di mana keintiman mengarah ke
penggunaan bahasa Norwegia. Stewart (1962) pernah mengemukakan satu set sikap
Universitas Sumatera Utara
23
yang sama antara bahasa Kreol di Karibia, yang memaksa pilihan standar atau Kreol
sesuai dengan dimensi status (yang dia sebut "publik-formal") dan keintiman ("pribadiinformal"). Di antaranya adalah "kegiatan resmi pemerintah, prosedur hukum, akademis
dan kegiatan pendidikan formal, berbicara di depan umum, bagian dari program siaran
radio dan televisi, dan upacara perkenalan antara orang asing” (1962: 39). Contoh
terakhir adalah contoh dari [- keintiman], sementara sisanya adalah contoh [+Status],
karena ini ditentukan oleh struktur kekuasaan negara yang terlibat.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara hubungan standar kreol Karibia dan hubungan
standar-dialek Eropa. Selain itu, berbagai jenis diglosia dan bilingualisme disebabkan
oleh penaklukan dari satu kelompok oleh bahasa lain atau oleh imigrasi dari satu
kelompok ke dalam wilayah yang didominasi oleh orang lain adalah dari sifat yang
sama. Apa yang berbeda adalah tingkat jarak antara bahasa dominan dan varietas yang
didominasi, apa yang dapat disebut sebagai otonomi. Dalam beberapa kasus, misalnya
di Jamaika, mungkin ada skala kontinu, sementara di tempat lain, misalnya di Haiti,
mungkin ada perbedaan yang jelas, bahkan di mana varietas berkaitan. Pemisahannya
bahkan lebih besar di mana bahasa tidak berhubungan, seperti Breton atau Basque
terhadap Prancis. Ekstremitas dari [+ status] adalah kasus di mana populasi (atau
segmen kecil dari populasi) membebankan pada bahasa itu sendiri suatu bahasa yang
digunakan hampir secara eksklusif dalam bentuk tertulis dan disebarluaskan hanya
melalui sistem sekolah, baik untuk alasan persatuan agama dan budaya dan kontinuitas,
atau untuk tujuan komunikasi ilmiah dan internasional yang lebih luas. Bahasa kedua
mungkin standar negara lain (seperti ketika menerima orang Flemish menerima bahasa
Belanda atau Swiss menerima bahasa Jerman), mungkin bahasa pemersatu agama
Universitas Sumatera Utara
24
(Alkitab bahasa Ibrani untuk orang Yahudi atau bahasa Arab Klasik untuk orang Arab),
atau mungkin hanya versi kuno mengukur sendiri bahasa seseorang, diadopsi untuk
alasan kontinuitas budaya, seperti komunikasi dengan masa lalu (Katharevousa di
Yunani).
Dari sudut pandang pembelajar bahasa, situasi ini mewakili berbagai beban belajar
bahasa kedua. Jika kita mengasumsikan bahwa bayi itu diberkati dengan vernakular
tunggal yang digunakan untuk semua tujuan, ia juga dapat tumbuh dalam masyarakat
yang memungkinkan dirinya semata-mata untuk menambah jangkauan dan kedalaman
vernakular saat ia sudah dewasa, atau ia mungkin tumbuh dalam masyarakat yang
meminta dia untuk terus belajar tata bahasa baru dan leksika atau bahkan melupakan
hampir sepenuhnya yang ia pelajari terlebih dahulu. Vernakular apapun yang ia pelajari
terlebih dahulu, jika ia terus menggunakannya, kemungkinan akan tetap bahasa
intimasi.Dengan sedikit tambaahn dalam bentuk sistem penulisan dan perluasan
kosakata, mungkin juga menjadi bahasa status yang dapat digunakan dalam semua
situasi kehidupan yang mungkin, dengan variasi kecil untuk mengekspresikan derajat
status atau derajat keintiman. Di sebagian besar negara Eropa, hal ini hanya berlaku
bagi anak yang lahir di keluarga kelas
atas, di mana bentuk lisan standar yang
ditetapkan sebagai bahasa sehari-hari. Hal ini umumnya berlaku bagi untuk orang
Amerika dari kelas menengah dan kelas atas, lahir dalam keluarga berpendidikan dari
latar belakang kulit putih, Anglo-Saxon. Seperti hal yang sekarang masih berlangsung,
tidak benar bahwa di sebagian besar negara di dunia, di mana anak-anak menghadapi
tingkatan status yang semakin menghapus mereka dari bahasa keintiman mereka.
Berbagai upaya menarik telah dilakukan untuk membentuk skema universal klasifikasi
ekologi bahasa. Ferguson (1959) mengkarakteristikkan situasi yang disebut sebagai
Universitas Sumatera Utara
25
diglosia yang memiliki variasi (H) tinggi dan (L) rendah dari bahasa yang sama.
Contoh L adalah Swiss German, Dhimotiki Yunani, Arab, dan Haiti Creole. Ini
merupakan kombinasi campuran, karena Swiss German adalah simbol kebanggaan
bangsa Swiss, dan Dhimotiki adalah media sastra dari penulis Yunani radikal,
sementara bahasa Arab dan Haiti Creole tampaknya dipandang dengan sebelah mata
oleh sebagian besar penggunanya. Namun, mereka semua menggambarkan situasi
korelasi terbalik antara status dan keintiman, yang sudah dibahas. Klaim tersebut dibuat
berdasarkan anggapan bahwa tidak ada orang yang berbicara bahasa H dalam
keseharian, kehidupan informal, bahkan di antara keluarga di mana mereka dibesarkan,
mengabaikan fakta bahwa model yang tersedia di tempat lain untuk kedua bahasa
Jerman dan Perancis yang banyak dipakai oleh kelas terpelajar. Dalam setiap kasus,
hubungan umum dari H ke L sering tumpang tindih karena fakta bahwa status dan
keintiman yang tidak kontras langsung (perbedaan status bisa ada di antara kawankawan karib, dan perbedaan keintiman antara pembawa status), tidak hanya
karakteristik dari semua standar-hubungan dialek, tetapi juga dari hubungan vernakularklasik (misalnya Yiddish vs Ibrani, seperti yang dikemukakan oleh Fishman 1967). H
kemudian menjadi ekspresi singkatan untuk varietas keintiman status tinggi/rendah
yang bertolak belakang dengan L untuk varietas keintiman status rendah/ tinggi.
Ferguson (1962) juga mengakarakteristikkan keadaan bahasa sendiri dalam dua
parameter, yakni menulis dan standarisasi: Penulisan diberikan nomor indeks tiga (W°
Wl W2) karena "biasanya tidak ditulis," "biasanya ditulis," dan "digunakan dalam ilmu
fisika". Penggunaan "normal" meliputi produksi surat, surat kabar, dan buku-buku asli.
Standardisasi juga diberi tiga nomor indeks (St° Se Ste) untuk "tidak ada standardisasi
penting," "standar bertentangan," dan "standardisasi yang ideal," dan yang terakhir
Universitas Sumatera Utara
26
menjadi "satu, yang diterima secara luas yang dirasakan sesuai dengan sedikit
modifikasi" (Ferguson 1962: 10). Sebagian besar bahasa dunia dibagi ke dalam kategori
W° dan St°, pada kenyataannya, kita mungkin menganggap ini sebagai keadaan
"normal" dari bahasa. Menulis dan standarisasi yang diberlakukan oleh pemerintah,
sekolah, dan gereja, antara lain, dan sangat sedikit orang berbicara "menurut buku
tersebut." Meskipun sebangsa Dalecarlia, Jutland, Bavaria, atau Sisilia memahami
standar masing-masing Negara walaupun tidak sering digunakan kecuali sebagai status,
bahasa non-intim.
Upaya lain yang berguna untuk mengklasifikasikan situasi kemungkinan bahasa
dikemukakan oleh William Stewart (1968). Dia mengemukakan empat atribut bahasa:
(1) standardisasi; (2) otonomi, (3) historisitas, (4) vitalitas. Masing-masing kemudian
diambil sebagai kualitas yang baik atau (plus / minus) dan membedakannya ke dalam
tujuh jenis: Standard (ditambah 1-4), Klasik (ditambah 1-3), Buatan (ditambah 1-2),
Vernakular (ditambah 2-4), Dialek (ditambah 3-4), Creole (ditambah 4), Pidgin (minus
semua). Klasifikasi ini digunakan untuk beberapa tujuan, seperti membuat profil
sosiolinguistik terpadu dalam suatu wilayah, terutama ketika dilengkapi dengan
spesifikasi terhadap fungsi (sepuluh daftar yang dikemukakan Stewart) dan tingkat
penggunaan (dalam hal persentase dari populasi nasional). Masalah sebenarnya adalah
bahwa empat atribut tidak independen satu sama lain: otonomi (seperti Jerman vs
Belanda) tergantung pada standarisasi yang terpisah. Bahasa daerah dibedakan dari
dialek dengan memiliki otonomi dan keduanya dibedakan dari kreol yang memiliki
historisitas. Karena ketiga jenis berfungsi sebagai bahasa pertama dalam komunitas
mereka dan tidak memiliki prestise yang berasal dari standarisasi, maka sulit untuk
melihat apa peran sinkronis yang dimiliki oleh perbedaan. Bahasa klasik dan buatan
Universitas Sumatera Utara
27
dibedakan dari yang standar dengan kurang vitalitas (misalnya penutur asli), tetapi
kebanyakan standar juga memiliki penutur asli saja, sementara bahasa klasik seperti
bahasa Ibrani telah menjadi penting di Israel dan bahasa buatan seperti Norwegia Baru
kini mengakui historitas maupun vitalitasnya .
Kelemahan lain dari klasifikasi ini adalah pengecualian ketumpang-tindihan linguistik
di antara para penutur. Hal ini kurang menarik diketahui bahwa sepuluh persen dari
penutur di suatu negara menggunakan bahasa selain untuk mengetahui apakah mereka
juga menggunakan bahasa lain dan pada situasi yang bagaimana. Penting juga untuk
mengetahui apakah kedwibahasaan mereka stabil atau dalam transisi, misalnya apa tren
dalam pembelajaran bahasa dalam kelompok penutur. Satu ciri khas dari masyarakat
penutur (A) dalam berubungan dengan yang lain (B) adalah bahwa A, jika didominasi
oleh B, dapat berubah dari satu bahasa A ke Ab bilingual (A bawahan, B dominan), AB
(A dan B sama ), AB (A bawahan, B dominan), dan akhirnya ke B monolingual. Ketiga
jenis kedwibahasaan (bilingualisme) dapat digambarkan sebagai pelengkap (Ab: di
mana B hanya Hilfssprache biasa untuk pruposes tertentu), pelengkap (AB: di mana dua
alternatif sesuai dengan fungsi penting dalam kehidupan pembicara), dan replasif (aB:
di mana A menjadi bahasa yang digunakan dengan orang tua sementara B memenuhi
semua fungsi penting). Satu set istilah yang barangkali masih baru mulai, fungsional,
dan residual, ketika ketiga jenis dipandang sebagai urutan historis dalam transisi
kedwibahasaan. Tapi tentu saja masing-masing dari bahasa tersebut juga bisa stabil, jika
tidak ada insentif atau kemungkinan untuk perubahan keanggotaan kelompok melalui
pembelajaran bahasa B.
Analisis ekologi tidak hanya mensyaratkan bahwa seseorang menggambarkan situasi
sosial dan psikologis dari setiap bahasa, tetapi juga dampak dari situasi ini pada bahasa
Universitas Sumatera Utara
28
itu sendiri. Sebagai pemula, maka perlu menunjukkan bahasa yang mempengaruhi saat
ini, seperti yang tercermin dalam impor dan substitusi yang sekarang sedang terbentuk
pada masing-masing bahasa. Tentu hal ini sudah cukup jelas, karena pembentukan in
menjadi subjek pembahasan dan bahkan kontroversi. Penjelasan yang lebih lengkap
akan membutuhkan beberapa deskripsi komposisi kosakata total dari sudut pandang ini.
Untuk bahasa Inggris, misalnya, melibatkan pengakuan terhadap keberadaan setidaknya
dua lapisan struktural, bahasa Jerman dan non-Jerman, sebagian besar Mediterania
(Prancis, Latin, Yunani, Italia). Secara historis ini berarti bahwa pada periode tertentu
dalam kehidupan setiap bahasa, orang-orang berpengaruh telah belajar bahasa tertentu
dan telah memperkaya (atau menurut beberapa pendapat, telah merusak) bahasa mereka
dengan pemodelan ekspresi mereka pada bahasa tertentu yang menjadi guru mereka.
Demikian pula, Finlandia dan Hungaria telah mengalami "Indo-Eropanisasi" dengan
meminjam dari tetangga mereka Eropa Barat.
Seluruh gagasan tentang peminjaman bahasa terbuka terhadap keberatan serius, dan
kita dapat mengatakan bahwa apa yang disebut "budaya" pinjaman hanya pylai dalam
lautan keterkaitan antara bahasa. Konsep bahasa sebagai struktur monolitik yang kaku
adalah salah, bahkan jika itu telah terbukti menjadi fiksi yang berguna dalam
pengembangan linguistik. Ini merupakan jenis penyederhanaan yang diperlukan pada
tahap ilmu tertentu, tetapi yang sekarang dapat digantikan dengan model yang lebih
canggih. Kita semua terbiasa dengan situasi spesifik simbiosis linguistik tertentu,
dimana sistem bahasa yang membentang dalam pengakuan kita. Salah satunya adalah
apa yang dikenal sebagai "aksen asing": dalam efek ini berarti bahwa seseorang dapat
berbicara bahasa dengan sistem suara yang sama sekali asing. Sebuah studi dari
"Marathi English" oleh Ashok Kelkar (1957) telah menunjukkan bahwa penutur
Universitas Sumatera Utara
29
Marathi memiliki dialek bahasa Inggri yang sudah terbentuk dengan baik. Sistem suara
Marathi yang digunakan dapat membuat sulit bagi penutur asli bahasa Inggris untuk
memahaminya. Mungkin disebutnya dialek "substratum" atau "kontaktual". Lalu ada
yang disebut dengan "dialek pelajar," di mana pembelajar bahasa berjuang dengan cara
mereka mempelajari bahasa ke lain, tidak hanya menggantikan sistem suara, tetapi juga
tata bahasa dengan kreasi baru yang tidak terduga oleh penutur asli. Dalam masyarakat
bilingual yang stabil ada akomodasi yang lebih jauh antara bahasa simbiosis, sehingga
mereka berhenti untuk mencerminkan dunia budaya yang berbeda: kalimat mereka
mendekati transibilitas kata-demi kata, yang jarang di antara bahasa yang benar-benar
otonom. Telah lama diamati proses ini dalam masyarakat imigran Amerika (Haugen
1956: 65). Hasilnya adalah bahasa imigran hampir setiap konsep adalah Amerika,
sehingga baik bahasa pinjaman atau semantik pergeseran pinjaman yang menyejajarkan
modus ekspresi menurut pola bahasa yang dominan. Gumperz (1967) melakukan
pengamatan serupa di India, di daerah di mana standar informal bahasa Indo-Arya dan
Dravida sama-sama hidup pada abad yang sama.
Kunci untuk pengembangan ini adalah kemungkinan pergeseran atau alternatif antara
bahasa. Psikolog sangat tertarik pada masalah bagaimana bahasa disimpan, baik sebagai
entitas yang terpisah atau sebagai penyimpanan tunggal konsep dimana kata melekat.
Hal ini tidak tampak bahwa salah satu dari kemungkinan tersebut sepenuhnya benarbenar nyata. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa setiap item yang disimpan entah
bagaimana ditandai sebagai bagian dari satu atau bahasa lainnya dan disebut melalui
perangkat pergantian umum yang menghalangi item tercakup. Namun, kesamaan antara
item dalam bahasa yang berbeda menyebabkan kebingungan: penempatan penanda, dan
item menjadi tersedia dalam dua bahasa. Hal ini mengurangi upaya penutur dalam
Universitas Sumatera Utara
30
pengalihan, dan dalam waktu yang mengarah pada homogenisasi dari dua bahasa.
Seperti pengurangan perbedaan terjadi pada semua waktu antara bahasa dan dialek
saling dipahami. Namun, terjadi juga antara bahasa yang tidak dapat dipahami penutur
bilingual
yang memerlukan pergantian bahasa. Sistemnya cepat menjadi sistem
langsung (atau oleh Nemser, 1969 menyebutnya sebagai sistem approksimasi) antara
bentuk "murni" bahasanya, yang terakhir menjadi orang-orang yang dipelihara baik oleh
populasi monolingual atau peraturan yang kaku. Namun, sistem murni penengah antara
masa lalu dan masa depan bahasa mereka sendiri dan perantara antara tetangga pada
semua sisi. Bahasa hanya mengalami kebekuan untuk sementara waktu, baik oleh
pemerintah maupun oleh persetujuan sastra.
Untuk bahasa tertentu, harus dimiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ekologi
berikut: (1) Apakah klasifikasi dalam kaitannya dengan bahasa lain? Jawaban ini akan
diberikan oleh para linguis historis dan deskriptif, (2) Siapa penggunanya? Ini adalah
pertanyaan demografi linguistik, yang menempatkan penggunanya sehubungan dengan
daerah, kelas, agama, atau kelompok lain yang relevan; 3) Apa saja domain
penggunaannya? Ini merupakan pertanyaan tentang sosiolinguistik, dalam menemukan
apakah penggunaannya tidak dibatasi atau terbatas dengan cara tertentu, (4) bahasa apa
saja yang digunakan oleh penggunanya? Dapat disebut masalah dialinguistik, untuk
mengidentifikasi tingkat keberadaan bilingualisme dan derajat ketumpangtindihan
antara bahasa, (5) varietas internal yang apa yang ditunjukkan oleh bahasa? Ini adalah
tugas dari dialektologi yang tidak hanya mengenali daerah, tetapi juga dialek sosial dan
kontaktual (6) Apa sifat dari tradisi tertulis? Ini adalah bidang filologi, studi teks-teks
tertulis dan hubungannya dengan pidato, (7) Sampai pada taraf apa bentuk tertulisnya
telah distandardisasi, misalnya unifikasi dan dikodifikasinya? Ini adalah bidang
Universitas Sumatera Utara
31
linguistik preskriptif, para ahli tata bahasa tradisional dan leksikografer; (8) Jenis
dukungan kelembagaan apa yang telah ia peroleh, baik di pemerintahan, pendidikan,
atau organisasi swasta, baik dalam penengaturan bentuk maupun penyebarannya? Kita
dapat menyebutnya penelitian glottopolitik, (9) Apa sikap penggunanya terhadap
bahasa, dalam hal keintiman dan status, yang mengarah ke identifikasi pribadi? Kita
dapat menyebut bidang ini ethnolinguistik, (10) Akhirnya kita mungkin ingin meringkas
statusnya dalam tipologi klasifikasi ekologi, yang akan memberitahu kita tentang
sesuatu di mana bahasa berdiri dan di mana ia akan dibandingkan dengan bahasa lain
dunia. (Hougen, 1971).
2.1.2 Ekologi budaya dan Teori Ekosistem budaya
Dalam memulai bahasan ini, diuraikan teori yang disebut sebagai ekosistem budaya.
Teori ini merupakan bagian utama dari konsepsi baru Ekologi Budaya (EB). EB lebih
merupakan ilmu yang masih muda yang secara hangat dibahas terutama di Amerika
Serikat, di mana telah dikembangkan dalam konsepsi pertama oleh antropolog budaya
Julian H. Steward sejak tahun lima puluhan. Pembahasan yang berkenaan dengan
gagasan beliau maupun para pengikutnya dikesampingkan, diantaranya Vayda dan
Rappaport. Menurut pendapat saya, konsepsi lain dari EB mulai dari asal-usul lain yang
lebih relevan untuk tujuan. Kemudian tidak akan dikomentari sumber dalam konteks
ini, diantaranya mengarah kepada ahli biologi Jerman-Swedia Jakob von Uexkiull atau
ke filsuf Norwegia Arne Naess. Ada juga sedikit disinggung mengenai peneliti universal
kelahiran Inggris yakni Gregory Bateson, yang programnya ekologi pikirannya
menandai langkah pertama ke arah yang dimaksud.
Pokok utamanya adalah
bahwa Bateson tentu tidak menggunakan istilah 'ekologi'
Universitas Sumatera Utara
32
secara metaforis bila berbicara dari ekologi pikiran. Meskipun kami telah mempelajari
sejumlah besar hal-hal dari ekologi ilmiah konvensional, disiplin biologi hingga saat ini
gagal untuk membebaskan diri dari batas-batas fisikalis yang menghalangi pemahaman
yang memadai dari dimensi psikis ekosistem. Bateson melihat hal ini sebelumnya dan
lebih jelas daripada yang lain. Pemahaman sistemik dari dalam pemikiran, bukan di luar
yang merupakan kunci terhadap pemikiran revolusioner.
Identitas dimensi psikis yang dikembangkan dalam ekosfer dalam ko-evolusi dengan
organisme, jauh sebelum manusia sebagai spesies baru memasuki kehidupan.
Berkembangnya kompleksitas kemampuan kognitif, perilaku cerdas dan bentuk
sistemik komunikasi terorganisir pun muncul, maka bahasa menjadi salah satu yang
terakhir muncul. Namun, bahasa memberikan manusia sarana yang sama sekali baru
dalam sejarah evolusi kehidupan, yang memungkinkan kita agar secara aktif
menafsirkan sistem baru, sistem berpikir dan keyakinan, nilai-nilai, pendapat dan
pengetahuan abstrak, yang tidak hanya soal perilaku, tetapi tindakan, atau - dengan
kata-kata yang dipakai dalam tema kongres Utrecht, yakni memori, sejarah dan kritik.
Sistem ini, yang secara substansial memperbesar dan mengubah permulaan atau kurang
dikenal di alam pramanusia, dalam perjalanan dari ribuan tahun lalu hingga menjadi
seperti kita yang sekarang, sosial dan etnis atau budaya global kita. Budaya adalah anak
dari alam, dan evolusi budaya adalah keturunan dari alam. Tapi apa itu yang merupakan
identitas budaya?
Konsep budaya sangat diperlukan karena sulit untuk menjelaskannya. Ada bentuk
utama dari budaya dan ada banyak budaya pada tingkat yang berbeda dari analisis.
Universitas Sumatera Utara
33
Namun, dengan kacamata Batesonic dalam mengkategorikan pandangan kita terhadap
dunia, salah satu temuan yang paling mengejutkan dari penelitian pada struktur budaya
adalah ditemukan pola pengorganisasian tertentu dari ekosistem yang akrab, yakni
keterbukaan dan ketergantungan pada energi yang tersedia dalam lingkungan, umpan
balik-proses, keadaan keseimbangan, bahkan ketiga hal: produksi, konsumsi dan
kehancuran, sekarang berhubungan dengan kognitif bukannya proses trophic dan pada
disposisi dari satu spesies saja. Ada banyak perbedaan dengan sistem alam, tentu saja,
dan perkembangan baru, terutama mengenai kebebasan bertindak dalam sistem, tetapi
asal-usul dari organisasi ekosistem lingkungan budaya dari nenek moyang masih dapat
ditelusuri hingga saat ini.
Pengaplikasikan persepektif evolusiner atas hubungan antara alam dan budaya
merupakan prinsip metodologi utama dari konsep yang paling umum dari Ekologi
Budaya yang disebut Ekologi budaya evolusioner
(EBE).
Oleh karena itu, EBE
membedakan antara ekosistem yang lebih tua dari materi dan ekosistem yang lebih
muda dari pikiran dan 'ekosistem budaya' yang terakhir. Hipotesis utama
ilmu baru
tersebut adalah proposisi eksistensial yang terdapat ekosistem budaya.
Berada dalam dunia budaya dari sudut pandang evolusi dan ekologi
akan
dimungkinkan untuk melihat dunia secara lebih baik, dan akibatnya menyebabkan
perubahan menyeluruh dari sistem nilai-bersama. Tidak mengikat berjuang untuk
otonomi ilusi tetapi pengakuan saling ketergantungan pada tingkat sumber energi dan
sistem tetangga menjadi nilai positif. Urutan dikenal dan prinsip persetujuan harus
berdiri kembali terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dan proses kreatif. Identitas
Universitas Sumatera Utara
34
icdividuals dipertajam dan menisbikan pada waktu yang sama. Keanekaragaman tidak
lagi keadaan transisi yang menyerukan pengurangan untuk keseragaman tetapi nilai
positif manifoldness dan kekayaan. Pusat-pusat berlebihan dari sistem berdiri kembali
dalam terang dari siluman struktural di dekat perbatasan mereka terutama dalam zona
transisi hidup antara sistem eighboring. Ada lebih banyak re-evaluasi kemungkinan
menyusul tawaran konseptual teori ekosistem budaya. Hipotesis utama kedua dari EBE,
karena itu, adalah sesuatu seperti rekomendasi metodologis, yaitu: pengetahuan tentang
alam membantu kita dengan pengetahuan budaya.
Tiga hipotesis utama dari EBE, yaitu sebagai berikut: secara jelas kita berhubungan
dengan ekosistem budaya yang jauh lebih rasional atau lebih pintar dari apa yang dapat
kita lakukan dalam kasus yang lebih natural. Ada sistem yang lemah, ada yang lebih
kuat, dan kita jarang benar-benar berada pada sisi yang lemah. Jadi sistem yang kuat
tumbuh dengan baik ke dalam sifat yang terakhir dan kadang-kadang membawa mereka
pada kepunahan. Kadang-kadang kita menemukan sistem baru hanya untuk merusak
atau membuat kehancuran pada yang lain. Budaya persus tidak selalu sejalan dengan
hal yang tampak benar baik, atau cantik, kadang-kadang alam secara rasional dirancang
untuk mencapai tujuan yang berlawanan. Seringkali, rancangan mengandung kesalahan
dan kekurangan, atau kemungkinan kita menggunakannya dengan cara tidak
semesetinya atau rusak. Sering juga, kita menipu diri sendiri tentang nilai-nilai
perubahan dan inovasi dan menghasilkan ideologi belaka, atau kita takut keragaman
atau kreativitas dan merusak lanskap akhlak budaya kita yang berasal dari ketakutan
yang tidak diketahui atau kita berjuang mengejar kekuasaan. Dalam prakteknya, ini
berarti sebagai berikut: menerapkan pengetahuan EBE dalam tindakan kita, kemudian
Universitas Sumatera Utara
35
memutuskan apakah kita harus mempertahankan atau untuk mereformasi identitas
ekosistem budaya kita. Seringkali, yang pertama juga mencakup yang terakhir:
pertahanan hanya mungkin dengan cara reformasi substansial. Karena kita dapat
mereformasi ekosistem budaya, yang tidak dapat dilakukan dengan yang alami.
2.1.3 Kajian Ekolinguistik
Kajian interdisipliner yang mengkaitkan ekologi dan linguistik diawali pada tahun
1970-an ketika Einar Haugen (1972) menciptakan paradigma ekologi bahasa. Dalam
pandangan Haugen, ekologi bahasa adalah kajian tentang interaksi bahasa dan
lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan bahasa
secara metaforis, yakni lingkungan dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa,
sebagai salah satu kode bahasa. Bahasa berada hanya dalam pikiran penuturnya. Oleh
karenan itu, bahasa berfungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antarpenutur,
dan menghubungkan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial ataupun
lingkungan alam. Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang yang
mempelajari, menggunakan, dan menyampaikan bahasa tersebut kepada orang lain
(Haugen, 2001:57).
Dua dekade setelah diciptakannya paradigma ekologi bahasa, barulah muncul istilah
ekolinguistik ketika Halliday (1990) pada konferensi AILA memaparkan elemenelemen dalam sistem bahasa yang dianggap ekologis (’holistic’ system) dan tidak
ekologis (’fragmented’ system). Berbeda dengan Haugen, Halliday menggunakan
konsep ekologi dalam pengertian non-metaforis, yakni ekologi sebagai lingkungan
biologis. Halliday mengkritisi bagaimana sistem bahasa berpengaruh pada perilaku
penggunanya dalam mengelola lingkungan. Halliday (2001) menjelaskan bahwa bahasa
Universitas Sumatera Utara
36
dan lingkungan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Perubahan bahasa, baik
di bidang leksikon maupun gramatika, tidak dapat dilepaskan dari perubahan
lingkungan alam dan sosial (kultural) masyarakatnya. Di satu sisi, perubahan
lingkungan berdampak pada perubahan bahasa, dan di sisi lain, perilaku masyarakat
terhadap lingkungannya dipengaruhi oleh bahasa yang mereka gunakan. Kajian
terhadap hubungan dialektika antara bahasa dan lingkungannya telah melahirkan