Leksikon Nomina Bahasa Gayo Dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik

(1)

LEKSIKON NOMINA BAHASA GAYO DALAM LINGKUNGAN

KEDANAUAN LUT TAWAR: KAJIAN EKOLINGUISTIK

           

TESIS

     

Oleh

  

DEWI SUKHRANI

087009024/LNG

  

    

  

 

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

LEKSIKON NOMINA BAHASA GAYO DALAM LINGKUNGAN

KEDANAUAN LUT TAWAR: KAJIAN EKOLINGUISTIK

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEWI SUKHRANI

087009024/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : LEKSIKON NOMINA BAHASA GAYO DALAM LINGKUNGAN KEDANAUAN LUT TAWAR: KAJIAN EKOLINGUISTIK

Nama Mahasiswa : Dewi Sukhrani

Nomor Pokok : 087009024

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Dr. Dwi Widayati, M.Hum.)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 30 Juli 2010

_____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.

Anggota : 1. Dr. Dwi Widayati, M.Hum.


(5)

ABSTRACT

This thesis investigates the nominal lexicon of the Gayo language concerning Lake Lut Tawar and the ecology of the lake through the ecolinguistic point of view. Specifically, it attempts to describe the level of comprehension of the native speakers of Gayo on the lake-related nominal lexicon and language defense (which includes language shift) of Gayo language. Data of nominal lexicon collected by ways of written documents, nonparticipant observation, and indepth interview guide. Thereafter, the data is reduced and classified based on its ecosystem and kind. Then, the test is conducted upon 72 informants resident around the lake, aging between 15 to 46 and above. The test result demonstrated (1) in each subdistrict and age group there is a different level of comprehension concerning nominal lexicon mastery, which correlates with (a) the difference of the lake-nature contour, (b) the development of communal area, (c) the pragmatic way of live, and (d) biota introduction; (2) 80.6 % of Gayonese speech community still know and vocalize nominal lexicon orienting the lake; (3) the high rate of lexical defense is caused by (a) biodiversity of the lake ecology, (b) the intense community interaction with the entity that characterized the lake ecology, and (c) the speaker’s highest awareness of using Gayo language in daily occasion.

Key words: ecolinguistics, nominal lexicon, lake ecology, level of

comprehension

 


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini mengungkap keberadaan leksikon nomina bahasa Gayo dan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik, Beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, yaitu mendeskripsikan tingkat pemahaman leksikon nomina guyub tutur bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini dan menjelaskan dinamika lingkungan ragawi Lut Tawar, kebertahanan, dan pergeseran leksikon nomina bahasa Gayo di lingkungan Lut Tawar. Pengumpulan data leksikon nomina bahasa Gayo dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Data yang sudah terkumpul kemudian direduksi dan dikategorikan berdasarkan tempat hidup dan jenisnya. Pengumpulan data leksikon kemudian dilanjutkan dengan pengujian data kepada 72 informan Gayo yang tinggal di empat kecamatan sekeliling Lut Tawar dengan rentang usia 15-46 ke atas. Dari hasil pengujian terungkap gambaran (1) pada tiap kecamatan dan kelompok usia terjadi perbedaan tingkat pemahaman nomina kedanauan yang berkaitan dengan (a) perbedaan kontur alam danau, (b) perluasan kota, (c) pola hidup praktis dan instan dengan munculnya alat-alat modern, (d) introdusi biota dari luar, (2) 80,6% penutur Gayo masih mengenal dan menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar dalam berkomunikasi, (3) faktor-faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (a) biodiversitas lingkungan sekitar danau; (b) penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (c) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.

Kata kunci: ekolinguistik, leksikon nomina, ekologi danau, tingkat pemahaman


(7)

ABSTRAK

Perubahan lingkungan ragawi Lut Tawar, Takengon, diduga memengaruhi khazanah nomina kedanauan bahasa Gayo penutur pria dan wanita yang tinggal di empat kecamatan sekitar danau, di masing-masing kecamatan sekitar danau, dan pada tiga kelompok usia, yaitu di atas 46 tahun, 21-45 tahun, dan 15-20 tahun. Pengaruh ini dapat diungkap melalui perspektif ekolinguistik menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Data kemudian dikelompokkan, digambarkan secara holistik, dianalisis secara kualitatif, dan dinterpretasikan sesuai pandangan informan. Dari hasil pengujian terungkap gambaran terjadi perbedaan tingkat pemahaman nomina kedanauan pada tiap kecamatan dan kelompok usia. Pada kelompok usia di atas 46 tahun pemahamannya masih tinggi, lalu menurun pada kelompok usia 21-45 tahun, hingga tergolong rendah pada kelompok usia 15-20 tahun. Perbedaan pemahaman tersebut berkaitan dengan (1) perbedaan kontur alam danau, (2) perluasan kota, (3) pola hidup praktis dan instan dengan munculnya alat-alat modern, (4) introdusi biota dari luar. Namun demikian, leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar masih dikenal dan digunakan oleh 80,6% penutur Gayo dalam berkomunikasi. Beberapa faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (1) biodiversitas lingkungan sekitar danau; (2) penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (3) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.

Kata kunci: ekolinguistik, leksikon nomina, ekologi danau, tingkat pemahaman


(8)

ABSTRACT

This thesis investigates the nominal lexicon of the Gayo language concerning Lake Lut Tawar and the ecology of the lake through the ecolinguistic point of view. Specifically, it attempts to describe the level of comprehension of the native speakers of Gayo on the lake-related nominal lexicon and language defense (which includes language shift) of Gayo language. Data of nominal lexicon collected by ways of written documents, nonparticipant observation, and indepth interview guide. Thereafter, the data is reduced and classified based on its ecosystem and kind. Then, the test is conducted upon 72 informants resident around the lake, aging between 15 to 46 and above. The test result demonstrated (1) in each subdistrict and age group there is a different level of comprehension concerning nominal lexicon mastery, which correlates with (a) the difference of the lake-nature contour, (b) the development of communal area, (c) the pragmatic way of live, and (d) biota introduction; (2) 80.6 % of Gayonese speech community still know and vocalize nominal lexicon orienting the lake; (3) the high rate of lexical defense is caused by (a) biodiversity of the lake ecology, (b) the intense community interaction with the entity that characterized the lake ecology, and (c) the speaker’s highest awareness of using Gayo language in daily occasion.

Key words: ecolinguistics, nominal lexicon, lake ecology, level of

comprehension

 

   


(9)

KATA PENGANTAR

Diawali ungkapan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya, terutama dalam memberi kesempatan, kesehatan, dan keselamatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tentang Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dari hasil penelitian ini diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran mengenai pemahaman penutur Gayo terhadap leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar.

Ekolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu bahasa, merupakan naungan bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi. Penelitian-penelitian dalam ranah Ekolinguistik memiliki bidang cakupan yang luas dan cukup menantang. Di samping itu, hasil kajian Ekolinguistik memberikan kontribusi yang nyata bagi konservasi bahasa dan lingkungan.

Akhirnya, pepatah mengatakan, tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna. Tesis ini pun tidak lepas dari aneka kesalahan dan kekurangsempurnaan. Karena itu, semua tegur sapa dan sumbang saran yang sifatnya membangun, akan selalu penulis terima dengan hati yang terbuka.

Medan, Juli 2010 P e n u l i s


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT ………. ii

KATA PENGANTAR ………... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ……….. iv

RIWAYAT HIDUP ………. vii

DAFTAR ISI ……….. viii

DAFTAR TABEL ……….. xi

DAFTAR BAGAN ……… xv

DAFTAR GAMBAR ………. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ……….. xviii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Rumusan Masalah ………... 7

1.3 Tujuan Penelitian ………. 7

1.4 Manfaat Penelitian ………... 8

1.4.1 Manfaat Teoretis ………... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ……… 8

1.5 Penjelasan Istilah ………. 9


(11)

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………..

2.1 Pendahuluan ………... 11

2.2 Landasan Teori ………... 12

2.2.1 Teori Ekolinguistik ………... 12

2.2.2 Teori Sosiolinguistik ………... 18

2.2.2.1 Pergeseran dan pemertahanan bahasa ………. 18

2.2.3 Leksikon ………... 20

2.2.4 Semantik Leksikal ………... 22

2.2.4.1 Kata benda ……….. 23

2.3 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan ………... 25

  BAB III METODE PENELITIAN ……….. 31

3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 31

3.2 Pendekatan dan Metode ……….………... 31

3.3 Sumber Data ………... 32

3.4 Pengumpulan Data ………. 32

3.5 Pengujian Data ………... 34

3.6 Analisis Data ……….. 37

3.7 Pengecekan Keabsahan Penelitian ………. 38


(12)

BAB IV GAMBARAN UMUM LUT TAWAR ……… 39

BAB V TINGKAT PEMAHAMAN DAN TEMUAN ………... 46

5.1 Gambaran Tingkat Pemahaman Nomina Kedanauan Lut Tawar ……... 47

5.1.1 Pemahaman tumbuhan di dasar danau ………... 47

5.1.2 Pemahaman tumbuhan dalam danau yang akarnya terapung ... 49

5.1.3 Pemahaman tumbuhan di lingkungan danau ……… 52

5.1.4 Pemahaman ikan dan hewan di dalam danau dan alirannya … 61 5.1.5 Pemahaman burung di lingkungan danau ………... 67

5.1.6 Pemahaman hewan di lingkungan danau ……….. 71

5.1.7 Pemahaman padi di lingkungan danau ………... 75

5.1.8 Pemahaman benda mati di dalam dan lingkungan danau ... 76

5.1.9 Pemahaman alat penangkap ikan tradisional di lingkungan danau ………... 78 5.1.10 Pemahaman alat pembesaran dan penggemukan ikan danau di lingkungan danau ………. 81 5.2 Tabel Rangkuman Tingkat Pemahaman Nomina Kedanauan Lut Tawar 83 5.3 Tabel Kebertahanan Leksikon Nomin Bahasa Gayo Berdasarkan

Pilihan Jawaban Ke empat ……….. 87


(13)

BAB VI KEBERTAHANAN BAHASA GAYO DAN BUDAYA GAYO SERTA KELESTARIAN LINGKUNGAN LUT TAWAR .………...

89

6.1 Perilaku Konservatif Guyub Tutur terhadap Lingkungan Ragawi …… 89

6.2 Ketahanan Penggunaan Teknologi Tradisional yang Ramah Lingkungan ……… 93 6.3 Hubungan Kosmologi Kedanauan yang Harmoni ………. 95

6.4 Beberapa Gejala Perubahan Bahasa Gayo dalam Kaitan dengan Perubahan Lingkungan ………. 99

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ……….. 107

7.1 Simpulan ……… 107

7.2 Saran ………. 108


(14)

ABSTRACT

This thesis investigates the nominal lexicon of the Gayo language concerning Lake Lut Tawar and the ecology of the lake through the ecolinguistic point of view. Specifically, it attempts to describe the level of comprehension of the native speakers of Gayo on the lake-related nominal lexicon and language defense (which includes language shift) of Gayo language. Data of nominal lexicon collected by ways of written documents, nonparticipant observation, and indepth interview guide. Thereafter, the data is reduced and classified based on its ecosystem and kind. Then, the test is conducted upon 72 informants resident around the lake, aging between 15 to 46 and above. The test result demonstrated (1) in each subdistrict and age group there is a different level of comprehension concerning nominal lexicon mastery, which correlates with (a) the difference of the lake-nature contour, (b) the development of communal area, (c) the pragmatic way of live, and (d) biota introduction; (2) 80.6 % of Gayonese speech community still know and vocalize nominal lexicon orienting the lake; (3) the high rate of lexical defense is caused by (a) biodiversity of the lake ecology, (b) the intense community interaction with the entity that characterized the lake ecology, and (c) the speaker’s highest awareness of using Gayo language in daily occasion.

Key words: ecolinguistics, nominal lexicon, lake ecology, level of

comprehension

 


(15)

ABSTRAK

Penelitian ini mengungkap keberadaan leksikon nomina bahasa Gayo dan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik, Beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, yaitu mendeskripsikan tingkat pemahaman leksikon nomina guyub tutur bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini dan menjelaskan dinamika lingkungan ragawi Lut Tawar, kebertahanan, dan pergeseran leksikon nomina bahasa Gayo di lingkungan Lut Tawar. Pengumpulan data leksikon nomina bahasa Gayo dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Data yang sudah terkumpul kemudian direduksi dan dikategorikan berdasarkan tempat hidup dan jenisnya. Pengumpulan data leksikon kemudian dilanjutkan dengan pengujian data kepada 72 informan Gayo yang tinggal di empat kecamatan sekeliling Lut Tawar dengan rentang usia 15-46 ke atas. Dari hasil pengujian terungkap gambaran (1) pada tiap kecamatan dan kelompok usia terjadi perbedaan tingkat pemahaman nomina kedanauan yang berkaitan dengan (a) perbedaan kontur alam danau, (b) perluasan kota, (c) pola hidup praktis dan instan dengan munculnya alat-alat modern, (d) introdusi biota dari luar, (2) 80,6% penutur Gayo masih mengenal dan menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar dalam berkomunikasi, (3) faktor-faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah (a) biodiversitas lingkungan sekitar danau; (b) penutur dari masing-masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam; dan (c) penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa Gayo dalam keseharian.

Kata kunci: ekolinguistik, leksikon nomina, ekologi danau, tingkat pemahaman


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata Gayo mengacu pada nama dataran tinggi di Provinsi Aceh, nama suku yang bermukim di dataran tinggi tersebut, dan nama bahasa yang digunakan suku tersebut. Jadi, dapat dikatakan Dataran Tinggi Gayo ditempati Suku Gayo yang berkomunikasi menggunakan bahasa Gayo. Dataran tinggi Gayo merupakan bagian Bukit Barisan yang membentang sepanjang pulau Sumatera. Menurut silsilah kekerabatan, bahasa Gayo termasuk subkelompok Bahasa Melayu Polinesia Barat dalam rumpun Bahasa Austronesia (Bellwood, 2000:153).

Berdasarkan pembagian wilayah kabupaten, bahasa Gayo memiliki tiga dialek (Dardanila, 2004:2). Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut dipakai oleh Suku Gayo yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah. Bahasa Gayo Dialek Gayo Lues dipergunakan di Kabupaten Aceh Tenggara. Bahasa Gayo Dialek Serbejadi dipergunakan di Kabupaten Aceh Timur. Bahasa Gayo Dialek Gayo Lut inilah yang dijadikan sebagai objek kajian dalam penelitian ini, karena berada dalam lingkungan Lut Tawar.

Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah juga mempunyai kedudukan dan fungsi yang tidak kalah pentingnya dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia. Menurut Alwi dalam Prasaja (2009:3,4) untuk mengetahui dan


(17)

melihat kedudukan bahasa daerah digunakan dua sudut pandang. Pertama, bahasa daerah sebagai komunikasi bagi para penutur yang berasal dari kelompok etnik yang sama. Kedua, bahasa daerah dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia. Menurut beliau dari point pertama bahasa daerah memiliki lima fungsi, yaitu

1) bahasa daerah sebagai lambang kebanggaan daerah; 2) bahasa daerah sebagai lambang identitas daerah;

3) bahasa daerah sebagai alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah; 4) bahasa daerah sebagai sarana pendukung kebudayaan daerah; dan

5) bahasa daerah sebagai pendukung bahasa dan sastra daerah.

Dari sudut pandang kedua, yaitu hubungan antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia, ada empat fungsi yang diemban oleh bahasa daerah, yaitu

1) bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional;

2) bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar; 3) bahasa daerah sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia; 4) bahasa daerah sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

Berdasarkan kedua perspektif itu bahasa Gayo berfungsi sebagai: (1) lambang identitas masyarakat Gayo, (2) lambang kebanggaan masyarakat Gayo, (3) alat komunikasi dalam keluarga dan masyarakat lokal Gayo, (4) pengungkap pikiran, dan kehendak para warga Gayo, (5) pendukung kebudayaan Gayo yang meliputi bidang kesenian, adat-istiadat, agama, dan lain sebagainya, dan (6) pilar penyangga kebudayaan Indonesia. Upaya-upaya pemeliharan dan pembinaan akan menempatkan


(18)

bahasa Gayo sesuai dengan fungsi dan kedudukannya selaku bahasa daerah yang dapat memperkaya khazanah bahasa Nasional.

Sebagian besar penutur bahasa Gayo bermukim di Kabupaten Aceh Tengah, selebihnya di Kabupaten Bener Meriah, dan di Kabupaten Gayo Lues. Banyaknya jumlah penutur bahasa Gayo tidak menjamin bahasa ini dapat bertahan dari ancaman kepunahan. Alasannya, untuk tetap bertahan hidup, sebagaimana dinyatakan oleh Saussure dan Barker dalam Mbete (2009:4,6), bahasa itu harus kokoh berada dalam kognisi penuturnya dan harus digunakan secara lebih sering dan mendalam dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

Sebagaimana layaknya sesuatu yang hidup di bumi ini, sosok bahasa terbukti juga dapat berkembang, terus berubah, dan bergeser tanpa henti dari waktu ke waktu (Rahardi, 2006:69). Bukti dari perubahan dan pergeseran bahasa yang paling gampang dilihat dan dicermati oleh siapapun adalah pada aspek leksikon bahasa yang bersangkutan. Perubahan dan pergeseran di dalam jumlah leksikon sebuah bahasa dapat terjadi karena ada penambahan, pengurangan, atau mungkin malah penghilangan. Kenyataan yang terjadi pada bahasa Gayo, terungkap fakta belakangan ini ada kekhawatiran terjadi erosi atau berkurangnya penggunaan bahasa Gayo oleh generasi muda, yang ditandai dengan semakin banyaknya leksikon Gayo yang tidak lagi diucapkan (Saleh dalam Mustafa, 2009:1). Walaupun bahasa Gayo digunakan, terbatas hanya untuk berkomunikasi dalam komunitas tersebut dan tidak digunakan dalam tulis-menulis.


(19)

Bahasa memang selalu berubah, mengarah ke arah yang tidak bisa ditentukan. Ia dipengaruhi ide-ide dan tantangan lingkungan. Dalam lingkup kajian ekolinguistik dinyatakan bahwa bahasa merekam kondisi lingkungan ragawi dan sosial; perangkat leksikon menunjukkan adanya hubungan simbolik verbal antara guyub tutur dengan lingkungannya, dengan flora dan fauna, termasuk anasir-anasir alamiah lainnya (Sapir

dalam Fill dan Muhlhauster, 2001:14). Keberagaman leksikon kekhasan daerah

menandakan lingkungan ragawi yang terjaga kelestariannya. Lingkungan ragawi Dataran Tinggi Gayo yang meliputi gunung, bukit, hutan pinus, danau dan sungai dengan keanekaragaman hayatinya menyumbang kekayaan leksikon pada bahasa Gayo. Kekayaan sumber daya hayati ini mempengaruhi mata pencaharian sebagian besar masyarakat Gayo. Data pokok Kabupaten Aceh Tengah mengungkap sekitar 80% masyarakat Gayo yang tinggal di sekitar Lut Tawar hidup dari menangkap ikan, bertani, berkebun, dan beternak. Profesi masyarakat sekitar danau turut menginventarisasikan leksikon kedanauan yang mereka miliki dan akrabi ke dalam bahasa Gayo.

Istilah kedanauan dalam penelitian ini berkaitan dengan danau (Lut Tawar), baik isinya dengan biodiversitasnya, keadaannya, maupun persepsi tentang danau di kalangan masyarakat di lingkungan danau itu. Disebabkan hampir semua informan yang diwawancarai menyatakan bahwa bahasa Gayo tidak memiliki istilah untuk kata kedanauan, istilah ini diadaptasi dari bahasa Indonesia.

Secara umum, kondisi lingkungan ragawi Lut Tawar cenderung dipengaruhi perkembangan tata kota Takengon sebagai ibukota Kabupaten Aceh Tengah dan


(20)

pertambahan penduduk. Ciri khas lingkungan ragawi Lut Tawar yang semula hijau

dan asri kini mulai luntur, digantikan dengan pemandangan sebagian lereng bukit dan

tepian danau yang terlihat agak gersang akibat perambahan. Di bibir danau, terlihat banyak berdiri bangunan-bangunan semen, dan keramba. Perubahan lingkungan itu berdampak pada penurunan permukaan air danau dan kenaikan temperatur air danau (dinginnya suhu udara sekitar danau dirasakan masyarakat sekitar danau berkurang belakangan ini). Selain itu, di beberapa tempat, dasar danau sekitar pemukiman penduduk dipenuhi ghost net ‘jaring-jaring untuk menangkap ikan biasanya berada di kedalaman 5-12 meter lebih’, sisa bahan organik (pelet), pestisida, dan sampah rumah tangga. Degradasi lingkungan sekitar danau dapat memusnahkan kehidupan biota di sekitar dan di dalam danau, yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan masyarakatnya. Padahal keberadaan biota tertentu bisa menjadi indikator kondisi suatu lingkungan dan bahasa. Dari segi lingkungan, dalam sebuah artikel di harian

Kompas (2010:13) dinyatakan bahwa keberadaan capung dan lebah sekarang hampir

punah, “padahal capung menjadi salah satu indikator adanya kualitas air bersih, dan lebah bisa meningkatkan penyerbukan hingga bisa panen tiga kali lipat.” Selain itu, ditemukannya ikan sapu-sapu di danau merupakan indikasi air danau tercemar (Munawardi, 2010). Terkait dengan degradasi lingkungan danau, masyarakat sekitar

Lut Tawar pada akhirnya nanti tidak akan lagi menemukan jenis-jenis flora dan fauna

yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka. Satu demi satu leksikon flora dan fauna tersebut akan hilang dengan sendirinya dari bahasa mereka (bahasa Gayo),


(21)

keadaan itulah terjadi gangguan pada proses transmisi bahasa Gayo antar generasi. Akibatnya generasi berikutnya tidak lagi menggunakan leksikon-leksikon kedaerahan yang bertautan dengan lingkungan ragawi mereka karena referennya sudah tidak dapat lagi ditemukan. Melihat kenyataan yang ada di lingkungan danau tersebut, tidaklah salah “kalau kita dituding tidak pintar menjaga keanekaragaman hayati,” (Tunggal, 2010:14).

Sebagaimana telah diungkap sebelumnya (lihat hal. 5), masalah degradasi lingkungan Lut Tawar lambat laun akan mengikis kelangsungan hidup bahasa Gayo khususnya pada tataran leksikon, misalnya, leksikon mengenai pengetahuan lingkungan lokal sekitar Lut Tawar yang beragam. Dilatarbelakangi gejala perubahan lingkungan ragawi Lut Tawar yang mulai memprihatinkan, dalam penelitian ini peneliti mengungkap keberadaan leksikon bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan

Lut Tawar melalui perspektif ekolinguistik, yaitu mengkaji hubungan timbal balik

bahasa dan ekologi (lingkungan ragawi dan sosial budaya). Meskipun demikian, penelitian ini dibatasi hanya pada perangkat leksikon nomina bahasa Gayo dan lingkungan ragawi Lut Tawar.

Terlepas dari pengaruh lingkungan lokal bahasa Gayo, asumsi dasar dalam penelitian ini adalah erosi pada bahasa tersebut disebabkan semakin kuatnya dominasi bahasa Indonesia pada pemakaian bahasa daerah dalam sejumlah ranah; bahkan sebagai tuntutan hidup yang mengglobal, generasi muda dituntut untuk menguasai bahasa-bahasa asing. Dominasi kedua bahasa itu menyudutkan dan meminggirkan bahasa-bahasa lokal (Mbete, 2009:a). Asumsi ini diperkuat dengan pernyataan


(22)

Mustafa (2009), bahwa “Tahun 1951 ke bawah, rumah tangga di Gayo masih menggunakan bahasa Gayo. Tapi sekarang sudah digantikan bahasa Indonesia.”

1.2 Rumusan Masalah

Masalah pokok yang akan dijawab dalam penelitian yang berkaitan dengan leksikon bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar, mencakup:

1. Bagaimanakah gambaran tentang pemahaman leksikon nomina guyub tutur bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini? 2. Bagaimanakah kebertahanan bahasa Gayo dan budaya Gayo serta kelestarian

lingkungan Lut Tawar?

1.3 Tujuan Penelitian

Menurut rumusan masalah di atas, berikut beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, yaitu

1. mendeskripsikan tingkat pemahaman leksikon nomina guyub tutur bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar saat ini;

2. menjelaskan kebertahanan bahasa Gayo dan budaya Gayo serta kelestarian lingkungan Lut Tawar.


(23)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

Temuan penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi khazanah ilmu bahasa, linguistik, khususnya ekolinguistik. Temuan-temuan dalam penelitian ini selanjutnya diharapkan menimbulkan inspirasi bagi peminat bahasa untuk meneliti lebih lanjut mengenai kondisi bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar.

1.4.2 Manfaat Praktis

Pengetahuan mengenai kondisi dan peranan bahasa Gayo dikaitkan dengan kondisi alam sekitar Lut Tawar dapat membendung desakan kepunahan bahasa Gayo dan kerusakan lingkungan kedanauan. Berdasarkan informasi tersebut ancaman kepunahan bahasa dan kerusakan ekosistem kedanauan dapat dicegah lebih dini.

Perangkat leksikon ‘kedanauan’ Lut Tawar memberikan informasi tentang kehidupan dan penghidupan guyub tutur bahasa Gayo khususnya yang mendiami lingkungan danau tersebut. Pengetahuan atau tingkat pengetahuan tentang kondisi, keberadaan, dan sumber daya danau dalam arti luas antara generasi muda dan generasi tua bermanfaat dalam usaha memelihara lingkungan kedanauan Lut Tawar. Hasil penelitian ini diupayakan agar ada manfaat praktis, yaitu

1) adanya pemahaman masyarakat bahasa Gayo di sekitar danau tentang kondisi lingkungan; dan


(24)

2) diterbitkannya khazanah leksikon khususnya nomina kedanauan Lut Tawar

sebagai ‘Kamus Kecil’ yang dapat dipakai oleh generasi muda. Dengan demikian, generasi muda dapat memanfaatkannya dalam kerangka pendidikan lingkungan sehingga tumbuh rasa cinta pada lingkungan kedanauan.

1.5 Penjelasan Istilah

Istilah-istilah yang muncul pada tulisan ini ada kalanya mempunyai makna yang berbeda dengan bidang ilmu di luar linguistik. Oleh karena itu, penjelasan istilah pada penelitian ini dimaksudkan agar terciptanya persamaan persepsi mengenai istilah yang digunakan. Istilah-istilah dalam penelitian ini ditinjau berdasarkan konsep ekolinguistik. Berikut beberapa istilah itu:

1) Bahasa Gayo merupakan bahasa yang digunakan oleh suku Gayo yang mayoritas bermukim di dataran tinggi Gayo, Provinsi Aceh. Kendatipun demikian, penutur dari suku lain yang ada di tanah Gayo juga menggunakan bahasa Gayo dalam berkomunikasi.

2) Ekolinguistik adalah ilmu bahasa yang interdisipliner, yang menyandingkan ekologi dan linguistik. Melalui bidang ilmu ini, pengaruh kerusakan dan kemerosotan lingkungan atau juga kebertahanan dan kelestarian leksikon dan alam (ragawi dan sosio-kultural) terhadap lumpuhnya infrastruktur komunikatif (bahasa) diteliti. Dari segi bahasa, hal-hal yang dapat diteliti meliputi tataran fonologi, morfologi, semantik, dan leksikon.


(25)

3) Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya) atau kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi manusia berbeda dengan ekologi makhluk hidup lainnya, karena manusia memiliki budaya dalam suatu ekosistem.

4) Kedanauan adalah alam danau, juga semua hal, khususnya pemahaman secara kognisi tentang biota dan atau unsur-unsur alami secara leksikal dengan makna dasarnya.

5) Leksikon adalah kosakata atau kekayaan kata yang dimiliki oleh suatu bahasa. 6) Lingkungan kedanauan mengimplikasikan kondisi alam dan biota di dalam dan

sekitar danau. Tiap kecamatan berbeda kontur alamnya, ada yang landai, curam, berawa, dan berpasir. Agak ke atas, Lut Tawar dikelilingi perbukitan yang ditumbuhi hutan pinus. Batas lingkungan kedanauan dalam penelitian ini berkisar satu km dari tepi danau.

7) Tepi danau merupakan batas pasang tertinggi pinggir air danau sewaktu musim hujan atau daerah pinggir danau yang masih digenangi air saat musim hujan.


(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Penelitian ini bertitik tolak dari perspektif ekolinguistik. Menurut Mbete (2009:2), “dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan, bersama organisme-organisme lainnya.” Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi, sebagaimana dinyatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindø dan Simonsen (2000:40) bahwa ekolinguistik merupakan sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi

ecolinguistics is an umbrella term for ... all approaches in which the study of

language (and language) is in any way combined with ecology.” Sejumlah teori

linguistik yang digunakan dalam penelitian ini mencakup teori semantik, sosiolinguistik, dan leksikon.


(27)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Ekolinguistik

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologinya. Dalam the Ecology of Language Shift, Mackey dalam Fill dan Muhlhausler (2001:67) menjelaskan bahwa pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Dalam ekologi bahasa, konsep ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa (Fill,2001:43).

Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial (Sapir dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:14). Lingkungan ragawi menyangkut geografi yang terdiri atas fisik: topografi suatu negara (pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung), iklim, dan intensitas curah hujan, dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri dari fauna, flora, dan sumber-sumber mineral; sedangkan lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran dan kehidupan setiap individu di antaranya: agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni. Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik terinspirasi dari pemikiran Haugenian bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa (Fill, 2001:44). Alasan perlunya upaya penyelamatan bahasa juga dinyatakan oleh Sinar (2010:70) bahwa “banyak bahasa daerah di Indonesia berada di ambang kritis, semakin sulit untuk “hidup,” bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah. Belum


(28)

lagi, dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional dan nasional, semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.”

Bertolak dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian ekolinguistik memiliki parameter yaitu interrelationships (interelasi bahasa dan lingkungan),

environment (lingkungan ragawi dan sosial budaya) and diversity (keberagaman

bahasa dan lingkungan) (Haugen dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:1).

Haugen (1970), lihat Mbete (2009:11-12), menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu

(1) linguistik historis komparatif; (2) linguistik demografi;

(3) sosiolinguistik;

(4) dialinguistik;

(5) dialektologi;

(6) filologi;

(7) linguistik preskriptif;

(8) glotopolitik;

(9) etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural

linguistics); dan

(10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan.

Berdasarkan pembagian Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji sosiolinguistik dan linguistik preskriptif (leksikografi).


(29)

Dalam lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan menggambarkan, mewakili, melukiskan (merepresentasikan secara simbolik-verbal) realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan sosial-budaya). Hal tersebut mengimplikasikan bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya, sebagaimana dinyatakan Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) bahwa “… perubahan bahasa … merepresentaikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari.

Perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon. Alasannya, kelengkapan leksikon dari suatu bahasa mencerminkan sebagian besar karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat penuturnya. Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:14) menarik kesimpulan sebagai berikut.

It is the vocabulary of a language that most clearly reflects the physical and social environment of its speakers. The complete vocabulary of a language may indeed be looked upon as a complex inventory of all the ideas, interests, and occupations that take up the attention of the community, and were such a complete thesaurus of the language of a given tribe at our disposal, we might to a large extent infer the character of the physical environment and the characteristics of the culture of the people making use of it. It is not difficult to find examples of languages whose vocabulary thus bears the stamp of the physical environment in which the speakers are placed.


(30)

Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2) juga menambahkan bahwa dalam lingkup ekolinguistik, hubungan bahasa dan lingkungannya ada pada tataran leksikon saja, bukan, misalnya, pada tataran fonologi atau morfologi ‘this interrelation exists merely on the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or

morphology.’

Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindø dan Bundegaard, 2000: 10-11), yakni

(a) dimensi ideologis, yaitu adanya ideologi atau adicita masyarakat misalnya ideologi kapitalisme yang disangga pula dengan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan, seperti muncul istilah dan wacana eksploitasi, pertumbuhan, keuntungan secara ekonomis. Jadi ada upaya untuk tetap mempertahankan, mengembangkan, dan membudidayakan jenis ikan atau tumbuhan produktif tertentu yang bernilai ekonomi tinggi dan kuat,

(b) dimensi sosiologis, yakni adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi ini bahasa merupakan wujud praktis sosial yang bermakna, dan

(c) dimensi biologis, berkaitan dengan adanya diversifitas (keanekaragaman) biota danau (atau laut, ataupun darat) secara berimbang dalam ekosistem, serta dengan tingkat vitalitas spesies dan daya hidup yang berbeda antara satu dengan yang lain; ada yang besar dan kuat sehingga mendominasi dan “menyantap” yang lemah dan kecil, ada yang kecil dan lemah sehingga terpinggirkan dan termakan. Dimensi biologis itu


(31)

secara verbal terekam secara leksikon dalam khazanah kata setiap bahasa sehingga entitas-entitas itu tertandakan, dan dipahami.

Sehubungan dengan dasar konsep dan teori di atas maka sejumlah segi yang dapat dibedah dan dikaji di dalamnya mencakupi.

1. Leksikon-leksikon bermakna dan berfungsi referensial, yakni khazanah leksikon yang referensi nyatanya dapat dilacak, dijejaki, dibuktikan secara empirik atau kasat mata, karena dapat ditemukan di lapangan, atau juga kendati masih diingat (dalam kognisi warga masyarakat di sekitarnya) oleh penuturnya, baik tua maupun muda, namun sesungguhnya biota atau makhluk hidup yang diwadahi dalam bahasa lokal itu, sudah terancam keberadaannya, populasinya kian mengecil, bahkan ada yang sudah punah.

2. Secara kategori kelinguistikan, perangkat leksikon yang berkaitan dengan lingkungan itu, khususnya lingkungan alam-danau atau kedanauan itu, (seperti juga lingkungan kesultanan, kepurian, atau juga kepresidenan) sifat dan karakternya jelas harus dipilah-pilah atau dikategorikan. Dengan demikian, klasifikasi atau kategorisasi menjadi nomina (tatanama), verba, ajektiva, dapat menjadi fokus kajian pula. Pasti ada nomina yang secara semantis tergolong benda-benda mati tak bergerak (bebatuan, pasir, tanah liat), makhluk hidup (non-insani), seperti nama-nama fauna, hewan/binatang dan tumbuhan (flora) apa saja yang hidup di air danau a.l. ikan air tawar dalam bahasa lokal (Gayo) dengan spesiesnya. Dikaji pula atau ditemukan pula, jika ada, nama-nama (nomina) hewan dan tumbuhan yang habitatnya atau lingkungan hidupnya


(32)

hanya di danau atau yang khas danau tertentu. Demikian juga pasti cukup banyak tanaman air tawar danau, juga dalam bahasa lokal yang harus ditemukan, meskipun sebagiannya “tinggal ingatan” orang tua-tua, namun sudah tidak ada lagi di danau itu.

3. Pertanyaan lebih kritis lagi dapat diajukan pula sebagai fokus kajian lebih dalam yakni, mengapa sejumlah hewan air, tumbuhan air, yang menurut cerita atau tuturan orang tua-tua itu, sudah tidak ada lagi dalam realita di lingkungan danau itu? Selain penghilangan karena perburuan atau penangkapan, pencemaran karena menggunakan racun atau bom misalnya, semuanya itu dapat disingkap dalam kajian ini. Sebaliknya juga, apa saja yang tetap terpelihara, sehingga populasi hewan air danau misalnya, atau juga tumbuhan khas danau dan tepi danau tetap terjamin, perlu diungkapkan juga (nama-nama latinnya juga perlu disertakan karena identifikasi dan klasifikasi biologis universal sudah berlaku, (lihat Verheijen, 1991)).

4. Ungkapan-ungkapan, juga peribahasa, metafora-metafora, dan cerita-cerita rakyat, dongeng, bahkan fabel (cerita binatang) tentang lingkungan tertentu, adalah tanda adanya relasi mental manusia dengani lingkungan hidupnya yang sudah hidup turun-temurun. Di baliknya atau di dalamnya kaya dengan butir-butir makna tentang khazanah lingkungan.

5. Selain simbol-simbol verbal yang menggambarkan realitas kehidupan danau dengan segala isinya yang tersingkap dalam bahasa setempat (semisal bahasa


(33)

mulut (tuturan) dan tangan (tulisan), khususnya dari bahasa Indonesia, atau juga bahasa lainnya, perlu digali pula sebagai tanda hadirnya lingkungan kebahasaan yang memang sudah beragam. Kata dan istilah dalam bahasa Indonesia itu berkaitan dengan misalnya benih ikan atau tanaman air yang dikembangkan dari luar dan tentunya memakai bahasa Indonesia atau bahasa lain.

Dalam penelitian ekolinguistik yang pernah dilakukan oleh Mbete dan Abdurahman (2009) terungkap dua hal. Pertama, sejumlah leksikon yang terekam melalui proses konseptualisasi dalam pikiran penutur menjadi leksikon yang fungsional untuk digunakan. Dengan kata lain, penutur bahasa, tidak akan menggunakan leksikon yang tidak ada dalam konseptual mereka. Kedua, konsepsi leksikal dalam alam pikiran penutur ini akan berubah sesuai dengan perubahan lingkungan ragawi mereka. Perubahan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan menghilang atau menyusutnya sejumlah leksikon. Bahkan, pada komunitas yang dwibahasawan, tidak hanya terjadinya perubahan, tetapi pergeseran ke konsepsi leksikal bahasa yang lain.

2.2.2 Teori Sosiolinguistik


(34)

Pergeseran dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang, Crystal (2003:17) memaparkan pergeseran bahasa (language shif) sebagai ‘the conventional term for the gradual or sudden move from the use of one language to

another (either by an individual or by a group)’ perubahan secara bertahap atau

tiba-tiba dari satu bahasa ke bahasa lain (baik secara perorangan atau kelompok). Pergeseran bahasa disebabkan oleh sejumlah faktor, yaitu faktor sosiolinguistis, psikologis, demografis, dan ekonomik (Gunarwan, 2006:102).

1. Yang termasuk faktor sosiolinguistis adalah adanya bilingualisme (atau multilingualisme jika lebih dari dua bahasa terlibat).

2. Faktor psikologis dipengaruhi pandangan para anggota masyarakat bahasa yang bersangkutan mengenai bahasa mereka di dalam konstelasi bahasa-bahasa yang ada di dalam masyarakat (kebanggaan dan kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa).

3. Faktor demografis berhubungan dengan jumlah penutur yang kecil.

4. Faktor ekonomik dikaitkan dengan pemilihan bahasa menuju pekerjaan yang lebih menguntungkan.

Menurut Rahardi (2006:68-70), pergeseran bahasa dapat dengan mudah dicermati oleh siapapun pada aspek leksikon, yaitu adanya penambahan, pengurangan, dan penghilangan makna kata. Misalnya, kata ‘papan’ semula hanya bermakna ‘belahan pipih dari sebatang kayu’, sekarang bertambah maknanya menjadi ‘perumahan’; dulu kata ‘sarjana’ bermakna ‘orang yang benar-benar pandai dan


(35)

sudah lulus dari jenjang pendidikan tinggi tertentu dan tidak pasti orang yang pandai dan cerdas; kata ‘ceramah’ pada awal mulanya berarti ‘banyak bicara, cerewet’, kini makna-makna tersebut telah hilang dan berganti makna baru menjadi ‘paparan atau uraian dalam bidang ilmu tertentu’.

Berbeda dengan pergeseran bahasa, pemertahan bahasa terjadi jika dan bila penuturnya secara kolektif tetap menggunakan bahasa tradisionalnya walaupun ada desakan untuk beralih menggunakan bahasa yang lain. Membahas pemertahanan erat kaitannya dengan kepunahan bahasa, artinya jika upaya pemertahanan tersebut gagal, maka bahasa itu akan perlahan-lahan menjadi punah (Sumarsono dalam Damanik, 2009:9). Kemampuan bahasa untuk bertahan hidup menurut Holmes (2001:65) dalam Gunarwan (2006:101-102) dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu

1) status bahasa yang bersangkutan seperti yang tercermin pada sikap masyarakat bahasa itu terhadapnya;

2) besarnya kelompok penutur bahasa itu serta persebarannya; dan 3) seberapa jauh bahasa itu mendapat dukungan institusional.

2.2.3 Leksikon

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2008:805) mendefinisikan leksikon sebagai “kosakata; komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa; kekayaan kata yang dimiliki suatu bahasa.” Sedangkan Sibarani (1997:4) sedikit membedakan leksikon dari perbendaharaan kata,


(36)

yaitu “leksikon mencakup komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantis, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau sesuatu bahasa.” Pendapat yang sama dengan Sibarani mengenai leksikon dikemukakan oleh Booij (2007:16), yaitu ‘the lexicon specifies the properties of each word, its phonological form, its morphological and syntactic properties, and

its meaning.’ Ia memberikan contoh leksikon melalui swim, dan swimmer:

a. /swιm/ /swιmər/

b. [x]V [[x]V er]N

c. SWIMACTIVITY PERSON PERFORMING SWIMACTIVITY

Contoh a. merupakan bentuk fonologi leksem swim, Contoh b. merupakan struktur morfologi internal,

Contoh c. merupakan makna yang dinyatakan dengan huruf kapital kecil. Dalam bahasa Indonesia diberikan contoh leksikon melalui ‘takut’ dan ‘penakut’

a. /takut/ /penakut/

b. [x]A [[x]A peN-]N [[x]A peN-]A

c. tidak berani orang yang takut mudah takut Contoh a. merupakan bentuk fonologi leksem ‘takut’,

Contoh b. merupakan struktur morfologi internal, Contoh c. merupakan makna.


(37)

2.2.4 Semantik Leksikal

Dari segi semantis, “setiap kata memiliki makna sesuai dengan lingkungan budaya bahasa bersangkutan” (Sibarani, 1997:7). Pembahasan makna dalam kata merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata itu dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam kalimat (Pateda, 2001:74). Jadi, menurut semantik leksikal, makna satu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Contoh dalam bahasa Gayo terdapat kata batang kayu yang referennya ‘pohon’, kayu referennya‘tumbuhan tanpa batang’, dan iken referennya ‘ikan’.

Semantik berkaitan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut lambang (symbol) sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda (sign) (Pateda, 2001:25). Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh tanda, diatur oleh tanda, ditentukan oleh tanda, bahkan dipengaruhi oleh tanda. Tanda-tanda itu mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam (Pateda, 2001:31). Misalnya, air sungai keruh menandakan bahwa di hulu telah turun hujan, tanah longsor memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.

Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet dalam Palmer (1976:37) membagi kata atas kata penuh (full words), kata tugas, dan partikel


(38)

(form words). Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, verba, ajektiva, dan adverbia. Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks kalimat. Kata ini mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya, pronomina, numeralia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, interjeksi. Partikel merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan terikat pada konteks kalimat.

Sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditetapkan pada bab I, subbab ini membahas kata penuh nomina (kata benda), yang pembatasannya merujuk pada pendapat Chaer (2006:86-88) sebagai berikut.

2.2.4.1 Kata benda

Kata-kata yang dapat diikuti dengan frase yang … atau yang sangat …disebut kata benda. Misalnya kata-kata:

- lut tawar we jeroh

lut tawar yang indah ‘danau yang indah’ Ada tiga macam kata benda yaitu:

A. Kata benda yang jumlahnya dapat dihitung, sehingga di depan kata benda itu dapat

diletakkan kata bantu bilangan. Ke dalam kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan:


(39)

(1) orang. Termasuk kata-kata:

(a) nama diri, seperti Hasan, Abas, Siti, dan Ida.

(b) nama perkerabatan, seperti ngi (adik), ine (ibu), sudere (saudara), dan Aka (kakak).

(2) hewan, seperti lipe (ular), dan kintis (semut).

(3) tumbuhan atau pohon, lasun ilang (bawang merah), dan jamu (jambu),

(4) alat, perkakas, atau perabot, seperti dedisen, kik (alat tangkap ikan tradisional), (5) benda alam, seperti atu (batu), dan one (pasir),

(6) hal atau proses, seperti uren (hujan),

(7) hasil, seperti belacan (terasi hasil olahan ikan depik).

B. Kata benda yang jumlahnya tak terhitung. Untuk dapat dihitung di depan kata

benda itu harus diletakkan kata keterangan ukuran satuan seperti gram, ton, cm

(sentimeter), km (kilometer), persegi, hektare, liter, kubik; termasuk juga kata-kata

yang menyatakan nama wadah yang menjadi tempat benda tersebut, seperti karung,

gelas, tem (kaleng), motor (truk), dan gerbak (gerobak); serta kata-kata seperti

saraikat ((se)ikat), (se)potong, sengkerat ((se)kerat), (se)tumpuk, sarairis ((se)iris).

Ke dalam kelompok kata benda ini termasuk kata-kata yang menyatakan: (1) bahan, seperti one (pasir), papan (kayu), dan gule depik (ikan depik), (2) zat, seperti wih (air) dan hewe (udara).


(40)

C. Kata benda yang menyatakan nama khas. Di muka kata benda ini tidak dapat diletakkan kata bilangan, seperti Takengon, dan Lut Tawar.

2.3 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan

Berdasarkan survei pustaka dan keterangan lain-lain, ternyata penelitian tentang ekologi bahasa Gayo (terkait dengan Lut Tawar),  khususnya mengenai leksikon belum pernah dilakukan. Padahal unsur leksikon merupakan salah satu aspek kebahasaan yang sangat penting untuk pembinaan dan pengembangan bahasa itu, di samping aspek-aspek yang lain. Kendatipun demikian artikel-artikel tentang penelitian ekolinguistik yang pernah diterbitkan berikut ini bermanfaat dalam penelitian ini.

Linguistic Erosion on the Chesapeke: Intergenerational Diachronic Shifts in

Lexicalizations of the Bay oleh Anjali Pandey (2000). Artikel ini membahas

pergeseran penggunaan istilah across the bay (di seberang teluk) yang berorientasi lingkungan ragawi menjadi across the bridge (di seberang jembatan) yang berorientasi infrastruktur untuk merujuk pada west of the Chesapeake Bay oleh tiga generasi dengan kelompok umur yang berbeda. Temuan penelitian menunjukkan bahwa generasi muda lebih memilih istilah across the bridge. Hal ini dipengaruhi oleh kurikulum sekolah yang kurang berorientasi pada lingkungan. Yang dijadikan acuan dari penelitian ini adalah pembagian informan yang diteliti atas tiga kelompok umur,


(41)

proses pengujian data dengan memberikan empat pilihan jawaban, dan metode analisis berdasarkan persentase.

Sacred Worldview in Tribal Memory: Sustaining Nature through Cultural

Actions oleh Mahendra K. Mishra dalam Anna Vibeke dan Bundsgaard (2000).

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa mitos dan ritual berfungsi menyatukan pikiran dan tindakan penduduk asli suatu distrik di India; menghubungkan yang tidak bernyawa dengan yang bernyawa, dan masa lalu dengan sekarang. Setiap kata memiliki tujuan dan makna yang dinikmati, didistribusikan dan disosialisasikan. Akan tetapi, pembangunan jalan, pengenalan alat transportasi modern, dan ekploitasi lahan dan manusia memaksa komunitas lokal menerima budaya baru yang melupakan alam. Selain itu, masuknya bahasa asing mendesak bahkan memusnahkan tradisi oral yang sarat dengan kearifan lokal, mengakibatkan perubahan perilaku penduduk asli dalam memperlakukan alam dan sumber daya yang dimilikinya. Penelitian ini bermanfaat dalam penulisan subbab Saran dalam Bab Simpulan dan Saran, yaitu pentingnya upaya pelestarian budaya dan bahasa lokal untuk memelihara kelestarian lingkungan.

Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas

Remaja di Stabat, Langkat oleh Aron Meko Mbete dan Abdurahman Adisaputera

(2009). Dari hasil tes penguasaan leksikon responden terungkap bahwa rata-rata pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu Langkat (BML) tergolong rendah. Perubahan itu dipicu oleh (1) kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu, (2) langka bahkan punahnya entitas sehingga


(42)

tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, dan (3) konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam piranti BML, tetapi dalam bahasa lain. Yang dijadikan acuan dari penelitian ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikon sebagaimana disebutkan di atas, teknik pengumpulan/pemerolehan, dan analisis data. Dalam penelitian mereka, pemerolehan data dilakukan dengan mendokumentasi leksikon BML terkait dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat. Ada 150 leksikon yang diujikan kepada responden. Tujuan pengujian adalah melihat peringkat keterpahaman responden terhadap leksikon yang berhubungan dengan lingkungan alamiah mereka yang sebenarnya dalam bahasa mereka. Hasil pengujian dapat dijelaskan dengan memparafrasekan situasi penggunaan leksikon tersebut yang dikaitkan dengan kondisi sosioekologis remaja secara nyata. Setiap leksikon dideskripsikan sesuai dengan hasil survei lapangan tentang sosioekologis Melayu di Stabat.

Ekologi Bahasa dan Pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa

Melayu Loloan Bali oleh I Nyoman Suparwa, Fakultas Sastra Universitas Udayana.   

Kehidupan dan perkembangan bahasa Melayu (BM) Loloan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, hubungan sosial penutur dengan penutur lainnya, dan hubungan penutur dengan Sang Penciptanya. Berdasarkan faktor pertama, yaitu hubungan penutur bahasa dengan lingkungan alamnya, diketahui bahwa lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan penutur memengaruhi perkembangan BM Loloan. Lingkungan alam pesisir dan pinggir


(43)

dengan kata-kata tentang laut, nelayan, dan rumah panggung. Namun pengaruh faktor alam seperti penggundulan hutan, berkurangnya curah hujan, dan pendangkalan sungai, memengaruhi cara hidup dan menimbulkan pola pikir ekonomis generasi penutur bahasa Loloan berikutnya dalam menjalani kehidupan. Profesi nelayan ditinggalkan, diganti dengan profesi pedagang, buruh, tukang, dan rumah panggung digantikan dengan rumah biasa yang sedikit menggunakan kayu. Sejalan dengan perubahan profesi dan bentuk rumah, istilah-istilah baru bermunculan mengakibatkan istilah-istilah lama hampir tidak dikenal lagi. Terkait dengan penelitian leksikon nomina bahasa Gayo di lingkungan kedanauan Lut Tawar, faktor pertama di atas mengilhami peneliti dalam menulis subbab Saran dalam Bab Simpulan dan Saran.

Ungkapan-Ungkapan dalam bahasa Lio dan Fungsinya dalam Melestarikan

Lingkungan oleh Aron Meko Mbete (2002:174-186). Penelitian ini menguak warisan

budaya leluhur masyarakat etnik Lio, Flores, berupa ungkapan-ungkapan verbal yang memiliki fungsi untuk melestarikan lingkungan hidup. Ungkapan-ungkapan budaya verbal tersebut dirinci sebagai berikut. Pertama, ungkapan yang berfungsi memelihara keserasian hubungan dengan alam semesta, terutama dengan Sang Khalik, dan dengan leluhur pewaris lahan. Kedua, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan lahan dengan menggunakan teknik tradisional yang mendukung lingkungan. Ketiga, ungkapan yang mengamanatkan pemeliharaan hutan lindung dan sumber air. Keempat, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan pantai dan laut. Kelima, ungkapan yang berfungsi untuk melestarikan dan menjaga kebersamaan dan kesatuan sosial. Hasil penelitian tersebut menginspirasi peneliti untuk mengungkap


(44)

kandungan makna ungkapan-ungkapan terkait dengan pelestarian lingkungan alam kedanauan Lut Tawar yang populer di kalangan penutur Gayo. Selain itu, temuan dalam penelitian, yaitu merosotnya pemahaman nilai dan norma pelestarian lingkungan dikarenakan kesenjangan kebahasaan antargenerasi menjadi pembanding bagi peneliti dalam merumuskan kesimpulan penelitian leksikon nomina bahasa Gayo ini.

Kasus-Kasus Pergeseran Bahasa Daerah: Akibat Persaingan dengan Bahasa

Indonesia oleh Asim Gunarwan (2006:95-113). Tulisan ini menyoroti beberapa kasus

pergeseran bahasa daerah di Indonesia dan mencoba menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Penjelasan dicoba dengan mencari alasan-alasannya, yang mencakupi nosi vitalitas etnolinguistis, faktor-faktor yang ikut memicu pergeseran, termasuk kekalahan di dalam persaingan bahasa daerah dari bahasa Indonesia berdasarkan konsep geolinguistis. Tulisan ini dijadikan acuan dalam hal penyebab pemertahanan dan pergeseran bahasa. Tiga komponen penyebab bahasa mampu untuk bertahan hidup menurut Holmes (2001:65), yaitu 1) status bahasa yang bersangkutan seperti yang tercermin pada sikap masyarakat bahasa itu terhadapnya; 2) besarnya kelompok penutur bahasa itu serta persebarannya; dan 3) seberapa jauh bahasa itu mendapat dukungan institusional. Sedangkan pergeseran bahasa disebabkan faktor sosiolinguistis, psikologis, demografis, dan ekonomik.

Ungkapan Verbal Etnis Melayu dalam Pemeliharaan Lingkungan oleh Tengku


(45)

dan Serdang Bedagai, yang ditandai dengan semakin langka dan kurang dikenalnya sejumlah leksikon tumbuhan yang terdapat dalam sastra lisan Melayu, yaitu pantun, pepatah, dan jargon. Selain itu, permasalahan yang mengemuka juga dikaitkan dengan perspektif linguistik sistemik fungsional, yaitu metafungsi bahasa. Latar belakang penulisan makalah ini, yaitu perlunya upaya penyelamatan bahasa daerah di Indonesia dikarenakan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional dan nasional memperkuat subbab Teori Ekolinguistik dalam Bab Kajian Pustaka tesis ini. Di samping itu, pengungkapan kearifan lokal mengenai pelestarian lingkungan dalam sastra lisan pantun dan pepatah memengaruhi peneliti untuk lebih kritis dalam menganalisis makna ungkapan atau peribahasa yang dimiliki penutur Gayo terkait upaya pelestarian lingkungan alam kedanauan Lut Tawar yang dimuat dalam Bab VI.


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini melalui tiga tahap, yaitu tahap pralapangan, tahap kegiatan lapangan, dan tahap analisis.

3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ekolinguistik bahasa Gayo ini dilakukan pada empat kecamatan yang mengelilingi Lut Tawar, Kabupaten Aceh Tengah, yaitu Kecamatan Bebesen, Kecamatan Kebayakan, Kecamatan Bintang, dan Kecamatan Lut Tawar.

Tahap pengerjaan lapangan tidak mengenal pembatasan waktu, namun diusahakan seefisien mungkin dengan memperhitungkan keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya yang digunakan. Pengumpulan data leksikon dilakukan selama sepuluh hari (14-24 Maret 2010), sedangkan pengujian keterpahaman data leksikon pada masyarakat di empat kecamatan sekitar danau dilakukan selama tiga minggu (7-28 April 2010).

3.2 Pendekatan dan Metode


(47)

penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan pada penciptaan gambar holistik yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah.” Salah satu ciri utama penelitian kualitatif ialah peranan manusia sebagai instrumen (Moleong, 1994:167). Dengan mengacu pada pemikiran tersebut, peneliti sendiri merupakan instrumen untuk pengumpulan data.

3.3 Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland (1984:47) dalam Basrowi dan Suwandi (2008:169), “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata… dan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.” Berdasarkan pendapat itu, data penelitian ini bersumber dari data lisan dan data tertulis tentang leksikon nomina bahasa Gayo yang berkaitan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar, sedangkan mengenai jumlah data merujuk pada Chaer (2007:39) yang menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, “jumlah data yang dikumpulkan tidak tergantung pada jumlah tertentu, melainkan tergantung pada taraf di mana dirasakan telah memadai.”

3.4 Pengumpulan Data

Data leksikon nomina bahasa Gayo terkait dengan lingkungan ragawi Lut


(48)

mendalam. Observasi nonpartisipan dilakukan terhadap situasi alam sekitar danau, misalnya mengamati tumbuhan, hewan, benda-benda mati yang terdapat di sekitar danau dan berbagai kegiatan, perilaku, dan tindakan penutur bahasa Gayo di kawasan danau secara intensif, sebagaimana dijelaskan Basrowi dan Suwandi (2008:94), “… observasi tidak terbatas pada orang tetapi juga objek-objek alam yang lain.”

Wawancara mendalam terstruktur dan terbuka dilakukan kepada beberapa orang informan. Pemilihan informan merujuk kepada kriteria Mahsun (2005:141-142) dan Keraf (1984:157) yang disesuaikan dengan tujuan penelitian. Di antaranya: 1) berjenis kelamin pria atau wanita;

2) berusia di atas 15 tahun;

3) orang tua, istri atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu; 4) menetap di sekitar Lut Tawar minimal selama 10 tahun ;

5) menguasai pertanyaan dalam bahasa Gayo; 6) dapat berbahasa Indonesia;

7) untuk informan tua, pendengarannya baik dan tidak pikun.

Dalam penelitian ini ditentukan empat informan pendamping dan 72 informan utama. Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan yang terdiri atas

1. leksikon biota Lut Tawar;

2. istilah-istilah tradisional alat penangkapan, penggemukan dan pembesaran, pengawetan, dan pengolahan hasil danau;


(49)

Mengenai bahasa, dalam berinteraksi dengan informan digunakan bahasa Indonesia. Hal ini berdasarkan temuan di lapangan bahwa semua penutur bahasa Gayo fasih berbicara dalam bahasa Indonesia.

Sumber Data

Dokumen Observasi Wawancara Foto tertulis nonpartisipan mendalam

Reduksi data

Pengkategorian data Bagan 1 Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data melalui dokumen tertulis, observasi nonpartisipan, wawancara mendalam, dan foto. Data yang sudah terkumpul kemudian direduksi dan dikategorikan berdasarkan tempat hidup dan jenisnya.

3.5 Pengujian Data

Pengumpulan data leksikon kemudian dilanjutkan dengan pengujian data untuk mengetahui apakah leksikon nomina bahasa Gayo yang berhubungan dengan


(50)

lingkungan ragawi di dalam dan sekitar Lut Tawar masih dikenal dan digunakan dalam keseharian. Pengujian dilakukan kepada 72 informan Gayo yang tinggal di empat kecamatan sekeliling Lut Tawar. Informan yang dipilih dilahirkan dan dibesarkan di tanah Gayo. Dari hasil survei ditemukan bahwa yang mampu menguasai pertanyaan dalam bahasa Gayo adalah rentang usia 15-65 tahun. Namun, di lapangan ditemukan juga informan yang berusia 80 tahun yang masih jelas pancaindra dan ingatannya, dijadikan juga sebagai informan pendamping. Dari rentang usia 15-65 tahun, peneliti mengelompokkan menjadi tiga kelompok usia, yaitu

1) 15-20 tahun, 2) 21-45 tahun, dan 3) di atas 46 tahun.

Adapun alasan pembagian kelompok usia tersebut adalah sebagai berikut.

1. kelompok usia remaja (15-20 tahun) mengacu pada pendapat psikolog (lihat Santrock, 1997:19-20; Mubin dan Cahyadi, 2006:106);

2. kelompok usia dewasa, yaitu awal masa dewasa (21-45 tahun) (lihat Mubin dan Cahyadi, 2006:115);

3. kelompok pertengahan masa dewasa dan masa dewasa lanjut/masa tua (di atas 46 tahun) (lihat Mubin dan Cahyadi, 2006:115).

Tiap kelompok usia pada tiap kecamatan terdiri atas tiga pria dan tiga wanita. Jadi, pada satu kecamatan diperoleh 18 informan. Penentuan jumlah informan pada tiap kecamatan mengacu pada pendapat Mahsun (2007:234). Menurut beliau ”dalam


(51)

penelitian bahasa sampel yang besar tidak diperlukan, karena perilaku linguistik cenderung lebih homogen dibandingkan dengan perilaku-perilaku yang lain.”

Instrumen pengujian adalah tabel pertanyaan yang memiliki 360 leksikon nomina. Leksikon yang diuji mencakup leksikon yang terkait dengan nama fauna, nama flora, alat-alat penangkap ikan tradisional dan alat pembesaran dan penggemukan ikan. Leksikon-leksikon tersebut dibagi menjadi 10 kelompok berdasarkan tempat hidup biota, jenis biota, alat tangkap ikan, dan alat pembesaran dan penggemukan ikan. Seperti yang telah dikemukakan di atas, pengujian leksikon dilakukan untuk mengetahui peringkat keterpahaman penutur Gayo terhadap leksikon nomina bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan alamiah Lut Tawar dan untuk menentukan masih adanya referen leksikon itu. Oleh karena itu, pada tiap kelompok leksikon diajukan empat pilihan, yaitu

1. pilihan 1 bermakna penutur kenal dan referennya masih banyak, 2. pilihan 2 bermakna penutur kenal dan referennya sedikit/langka, 3. pilihan 3 bermakna kenal dan referennya sudah punah,

4. pilihan 4 bermakna penutur sama sekali tidak kenal.

Istilah kenal bermakna informan dapat mendeskripsikan ciri-ciri leksikon, pernah melihat, mendengar, dan menggunakan leksikon tersebut.

Selama proses pengujian data, juga dilakukan proses reduksi data sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih objektif mengenai kategori leksikon nomina kedanauan setempat.


(52)

3.6 Analisis Data

Moleong (1994:103) mendefinisikan analisis data sebagai “proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema ....” Analisis data sudah dimulai sejak pengumpulan data dilakukan dan sesudah meninggalkan lapangan.

Dalam menganalisis data, jawaban dari setiap informan disimbolkan dalam bentuk angka dalam tabel untuk seluruh kecamatan, per kecamatan, dan juga untuk gender dan usia. Angka-angka tersebut kemudian dijumlahkan diubah ke dalam bentuk persen lalu ditabulasikan untuk seluruh kecamatan, tiap kecamatan, dan menurut gender dan usia, sehingga akan terlihat kecenderungan-kecenderungan tertentu. Selain itu, analisis juga dilakukan pada hasil wawancara dengan informan kunci, untuk memperoleh gambaran kelestarian lingkungan Lut Tawar.

Pengujian data kepada informan

Analisis data

Persentase Penafsiran wawancara

Temuan


(53)

3.7 Pengecekan Keabsahan Penelitian

Agar hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, perlu dilakukan pemeriksaan keabsahan data yang didasarkan atas kriteria Moleong (1994:175) yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitian ini, yaitu

1) ketekunan pengamatan, 2) triangulasi,

3) pengecekan atau diskusi sejawat, dan 4) kecukupan referensial.

Dalam penelitian ini pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan ketekunan pengamatan, diskusi sejawat dan kecukupan referensial.

3.8 Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan dua metode, yaitu metode yang bersifat informal dan metode yang bersifat formal. Metode jenis pertama dilakukan dengan kata-kata biasa (a natural language) walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya dan metode kedua dilakukan dengan tanda dan lambang (an artificial


(54)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LUT TAWAR

Secara administratif, Kabupaten Aceh Tengah  berada di wilayah Provinsi Aceh.  Batas‐ batas wilayah, di sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Barat, Pidie dan Nagan Raya, di  sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur, di sebelah utara dengan  Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Bireuen, sedangkan di sebelah selatan dengan  Kabupaten Gayo Lues. Secara geografis daerah ini terletak di antara garis‐garis koordinat  95o 15’40” – 97o 20’25” BT dan 4o 10’33” – 5o 57’50” LU, dengan luas daratan sekitar  4.318,39 kilometer persegi (Gambar 1).  

Kota Takengon sebagai ibukota Kabupaten Aceh Tengah relatif mudah dicapai dari kota Banda Aceh (ibukota Provinsi Aceh) dan kota Medan (ibukota Provinsi Sumatera Utara). Dengan menggunakan transportasi darat sekitar 12 jam waktu tempuh, sepanjang perjalanan akan melewati kampung-kampung dan kota-kota kabupaten dengan panorama hutan, bukit, dataran, dan lembah. Dari kota Takengon ke kota-kota kecamatan tersedia jaringan jalan beraspal dengan kondisi cukup baik, sedangkan dari kota kecamatan ke desa-desa umumnya masih berupa jalan tanah ataupun jalan perkerasan. Transportasi dalam kota dan menuju kota-kota kecamatan dapat ditempuh dengan becak mesin dan labi-labi (angkutan umum kota). Tarif angkutan umum cukup murah.


(55)

Kabupaten Aceh Tengah berpenduduk sekitar 194.860 jiwa (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Kampung, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil). Selain mencari ikan, bertani, berkebun, dan beternak sebagai mata pencaharian utama, sebagian orang berprofesi sebagai pedagang, pengusaha kecil, pegawai swasta, dan pegawai negeri sipil. Ada 14 kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Aceh Tengah. Salah satunya adalah Kecamatan Bebesen yang terbanyak jumlah penduduknya. Di kecamatan inilah kota Takengon berada. Penduduk kota Takengon cukup beragam; selain etnis Gayo, ada juga etnis-etnis minoritas seperti Minang, Aceh, Jawa, dan Cina. Bahasa yang digunakan pun cukup beragam, tetapi bahasa Indonesia dan bahasa Gayo mendominasi ranah kebahasaan di semua kecamatan. Hampir seluruh komunitas Gayo dari anak-anak hingga orang tua di Kabupaten Aceh Tengah dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Di sebelah timur Kota Takengon, terbentang Lut Tawar, danau terluas di Provinsi Aceh. Danau ini berada pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut. Komunitas Gayo menyebutnya Lut Tawar, namun pendatang umumnya akrab dengan istilah Danau Laut Tawar. Menurut masyarakat Gayo, disebut Lut karena luas dan letaknya di atas dataran tinggi yang seolah-olah mirip laut. Sedangkan kata “Tawar” diambil dari airnya yang berasa tawar. Sampai saat ini belum diperoleh informasi akurat yang menyebutkan asal terbentuknya danau ini.

Dalam buku ekosistem Danau Laut Tawar, Ir. M. Saleh M.si (2000) dalam Laksamana (2009) menyatakan bahwa “danau ini mempunyai luas 5,472 hektar, panjangnya 17 kilometer. Sedangkan lebarnya 3,219 kilometer. Diperkirakan volume


(56)

airnya berjumlah 2,5 triliun liter.” Jumlah aliran air yang masuk ke danau ini sebanyak 25 sumber aliran, terdiri dari sungai, alur, aliran dengan debit total 10.043, liter/detik. Sementara air yang keluar, hanya satu melalui sungai Krueng Peusangan dengan debit 5.664 liter/detik. Danau ini punya kedalaman rata-rata 8,9 meter untuk jarak 35 meter dari pinggir. Jarak 100 meter dari pinggir, kedalamannya rata-rata 19,27 meter, dan untuk jarak dari pinggir 1.620 meter danau ini punya kedalaman 51,13 meter. Untuk suhu air rata-rata, 21,55 hingga 19,35 derajat celcius, mulai tempat paling dangkal hingga tempat paling dalam. Saat ini di sekitar danau dilengkapi prasarana jalan beraspal, yang merupakan jalan provinsi, panjang jalan Utara 18 km, panjang jalan selatan 24 km (Laksamana, 2009).

Lut Tawar bukan saja menyuplai kebutuhan sumber air bersih untuk Kabupaten

Aceh Tengah tapi juga kabupaten lain seperti Bireuen, Aceh Utara dan Bener Meriah. Ketiga kabupaten tetangga Aceh Tengah ini, keadaan topografi tanahnya lebih rendah dari Aceh Tengah. Persawahan di sepanjang jalur sungai Peusangan irigasinya juga bergantung pada air danau ini.

Keadaan tanah di tepi danau ini sebagian besar terdiri dari tanah gambut, endapan lumpur, dan rawa-rawa. Kontur danau berbeda pada tiap kecamatan. Sebagian besar tepi danau di Kecamatan Bebesen, dan Kebayakan memiliki kontur tanah yang cenderung landai dan berawa. Di Kecamatan Lut Tawar kontur tanah di tepi danau agak curam, sedangkan di Kecamatan Bintang kontur tepi danau landai dan berpasir.


(57)

Lut Tawar kaya akan jenis flora dan fauna. Di dasar danau ditemukan sebanyak 46 jenis plankton, sebagai plankton nabati yang merupakan produsen dalam rantai makanan. Flora lain yang didapati merata di pinggir danau adalah Eceng Gondok, Hydrila dan Kiambang. Sedangkan vegetasi penyangga danau terdiri dari vegetasi rumput, vegetasi hutan dan vegetasi perkebunan.

Fauna yang ditemukan di perairan Lut Tawar terdiri dari hewan bertubuh lunak, cacing, dan ikan. Sedangkan fauna di sekitar danau antara lain serangga, burung, dan hewan menyusui.

Dari beragam jenis ikan yang hidup di danau, hanya ikan Depik (Rasbora

tawarensis), ikan seukuran jari telunjuk manusia, yang cukup menarik perhatian. Ikan

Depik adalah hewan endemik, yang hanya dapat ditemukan di danau ini. Ikan kecil mirip ikan teri ini hanya bisa hidup di ekosistem danau yang tenang dan bersih. Biasanya ikan ini muncul antara bulan April dan Agustus. Disebut Depik karena pada bulan tersebut terjadi angin kencang. Musim angin ini disebut musim angin Depik. Sebelum musim tiba, gerombolan Depik bersembunyi di Selatan danau, di kaki Gunung Bur Kelieten. Gunung tertinggi di sekitar Lut Tawar. Selain ikan Depik danau ini juga punya ikan khas, yang dalam bahasa setempat disebut ikan Kawan

(Puntius tawarensis).

Lut Tawar dikelilingi oleh empat kecamatan. Kecamatan Bebesen terdapat 3

kampung. Kecamatan Kebayakan memiliki 2 kampung. Kecamatan Bintang terdiri atas 12 kampung. Kecamatan Lut Tawar mempunyai 4 kampung dan 1 kelurahan.


(1)

R : Tapi banyak keramba hanya di daerah Lut Tawar saja, ya, Pak? Kecamatan lain?

J : Ya hanya di Lut Tawar. Keliling ndak ada Bu.

R : Keramba apung?

J : Ndak itu aja. Yang lain ndak mau orang ni keramba, lebih mau dia menangkap ikan itu.

R : Berarti mungkin daerah sini saja yang khawatir ikannya habis, mungkin sebelah sana.

J : Ndak pemiliknya, Bu, pemiliknya bukan orang sana orang sini R : Jadi orang mana?

J : Orang sini. Pemiliknya yang dekat-dekat sini, ya mungkin aja ada yang pegawai yang punya itu. Jadi dia di samping ada hobinya juga barangkali kan, a… itu aja

15. R : Tanaman air yang dikembangkan di danau apa, Pak? J : Di danau ndak ada

R : Enceng gondok tidak ada dimanfaatkan, Pak? Misalnya untuk tikar? J : Ndak, ndak ada di sini.

16. R : Tepian danau itu menghijau. Bagaimana bahasa Gayonya? J : Tepi lut ijo.

R : Udara di sekitar danau menyegarkan. Bagaimana bahasa Gayonya? J : Kalau di sini udara tu ndak ada bahasa Gayo. Itu ndak ada. Segar pun

mungkin ndak ada. Jadi biasa disebut udara sehat. Itu aja. R : Sehat itu bahasa Gayo?

J : Ya. Sehat itu bahasa Gayo juga, tapi kalau udara sudah saya cari dalam kamus, apa udara bahasa Gayo, ndak ada. Kecuali angin, itu ada kuyu. Tapi kalau dikatakan kuyu itu udara, kan ndak cocok. Jadi udara ndak ada bahasa Gayo.

R : Ndak ada, ya, Pak, ya. Jadi udara sehat.

J : Atau biasa kalau orang tua jaman hulu-hulu katanya berarti hawa. Hawe sehat, katanya.

R : Kalau tepian danau itu sangat kotor bagaimana mengatakannya, Pak? J : Kotor itu kotek. Tepian itu ewe. Eweh ni lut ni kotek. Air sungai ni di

pinggirnya kotor.

R : Kalau saya mengatakan air danau itu berbau busuk, bagaimana, Pak? J : Di sini bau busuk itu mungkin ndak ada juga, Bu. Air danau tu baunya

gere

Sedap. Kecuali langsung bau bangkai kalau itu memang baunya, kan. 17. R : Terus kalau di sini ada peribahasa-peribahasa yang berhubungan

dengan danau gitu, Pak?

J : Saya kira peribahasa itu bisa dikaitkan semua ke danau, Bu. Banyak peribahasa yang disesuaikan semua ke danau itu.

R : Salah satu contohnya apa ya, Pak?


(2)

Jangankan, bu, nggak boleh dengan ini ndak boleh dengan itu. Itu kan dikaitkan dengan hukum juga. Hukum dibele. Edet dipiket, hukum dibele. Adat kita jangan …. hukum kita jangan dimain-mainkan. Dikaitkan juga jadinya harus begini cara memasangnya. Jadi banyak yang dikaitkan ke sana.

18. R : Ada nggak, Pak, kata-kata yang tabu pada saat saya berada di tengah-tengah danau dan pada saat saya berada di tepi danau. Kalau ada, apa itu, Pak?

J : Biasa di sini disebut yang pertama jangan ria, kan? Itu dikatakan ngke rie, satu, empu tempat, pemilik tempat.

R : Misalnya saya di tengah danau apa yang tidak boleh saya katakan? Ntah itu mengenai tumbuhannya, mengenai ikannya?

J : O… kalau itu ndak, boleh saja, rianya yang jangan. Tidak boleh berbangga diri, a… rianya yang tidak dibenarkan. Dipantangkan berbahasa yang kasar atau bernada keras, dan menunjukkan kebolehan. 19. R : Menurut nelayan dari daerah Kala Kecamatan Kebayakan, ikan depik

itu sudah tidak ada lagi sekarang.

J : Ada, Bu. Ada. Cuma gini Bu, ya, ikan depik itu dulu dia punya legenda cerita tersendiri, asal usul ikan depik dan hasil penelitian. Memang di dunia ini ndak ada ikan depik lagi, kecuali Takengon. Ndak ada sejenis itu, ndak ada, mungkin saudaranya mungkin ada. Dulu menangkapnya itu pakai dedisen, atau penyangkulen. Ndak boleh dijaring di tengah. Kemudian ikan itu musim keluarnya. Jadi sekali musim itu ton, Bu. Ton, itu. Jadi kalau saya memiliki tempat penangkapnya itu saya tergolong kaya, saya, Bu, dulu. Itu sekarang karena dijaring suka hati, lepas kontrol, sehingga ikan depik ini ndak pernah jadi kita katakan jadi ya kan. Jadi boleh saja dikhawatirkan satu saat akan habis. Kalau dulu tidak bermusim, di saat tidak bermusim ndak dapat kita ikan itu.

R : Kenapa ikan itu sampai mahal gitu, Pak? Apa kelebihannya?

J : Saya kira ndak mahal kalau sekarang itu, Bu. Kalau dulu pun ndak mahal juga. Cuma dia mahal adanya, karena setahun mungkin dia empat kali. Jadi dia gini bahwa kalau musim itu ini angin ndak menentu. Kita bisa baca, Bu, alam. Hujannya dikata matahari ndak nampak. Hujan dikatakan iya ndak basah kita pergi. Nah, itu orang kampung itu tahu jam sekian besok dah keluar depik itu. Jadi mahalnya itu musimnya itu. Jadi sekarang ini boleh saja tiap hari kita peroleh, karena dijamin ke rumahnyalah katakanlah di pinggir itu dibuat cara pakai api sehingga depik itu lompat maka ndak ibu jumpai depik besar-besar. Depik enak payah dapat sekarang kan? Apalagi dengan jaring. Kalau dulu kan ndak dengan jaring, dengan tanggok itu. Atau dengan itu yang dikatakan penyangkulen yang pakai tanggok begini. Itupun pakai peraturan, Bu. Tanggok ibu dengan tanggok saya itu 2km baru


(3)

bisa buat lagi. Nah kemudian kalau yang pakai dedisen itu harus ada mata air yang mengalir di tepi danau. Itu baru bisa kita buat, kalau ndak depik ini ndak mau masuk. Jadi, punya tata cara dia.

R : Apa ada misterinya, ya, Pak?

J : Ndak.

R : Atau ada sejarahnya?

J : Kalau sejarahnya memang sejarah legenda. Ntah benar juga tidak tapi jadi ceritanya sampai sekarang. Ndak juga karena itu. Depik itu bisa ditangkap besok pun. Cuma dulu pakai peraturan cara menangkapnya. Sebelum dia musim ndak dapat, karena ndak ada dijaring.

R : Sekarang ini sedang musim depik nggak, Pak?

J : Ndak pernah musim pun, karena setiap hari ada di pasar. Ada sesekali pada musimnya tapi tidak sebanyak dulu. Kalau dulu ton itu, Bu.

R : Saya bertanya kepada nelayan itu, yang putih-putih itu bukan depik. Eyas katanya.

J : Sejenis depik, kayak depik, mirip. Kan gitu. Yang pertama eyas. Eyas itu kalau musim depik menyampur dia kesitu. Satu dua pun ndak banyak. Satu lagi relo, Bu. Relo. Mirip. Depik, tiga dia mirip. Tapi kalau musim depik memang depik semua, Bu. Jadi kalau musim sekarang baru ada eyasnya masuk ke dalam

R : Rasa sama, Pak?

Kalau saya rasa karena cuma satu dua, terasa saya kan sama aja buat, cuma kita bisa bedakan ini depik, ini eyas. Bisa. Bisa kita bedakan. R : Apa bedanya, Pak?

J : Kalau depik itu sedikit agak bulat, kalau eyas agak pipih dia dan memanjang sedikit. Kalau eyas itu putih saja, kalau depik ada hitamnya di belakang tengahnya. Bisa kita bedakan. Relo juga mirip, ada hitamnya di sini cuma dia lebih kecil dari depik.

20. R : Kalau menurut Bapak bahasa Gayo ini udah mulai ditinggalkan sama penuturnya atau masih dipakai sama penuturnya.

J : Masih dipakai sama penuturnya.

R : Dalam hal tertentu atau dalam segala hal dipakai.

J : Bahasa Gayo itu tetap terpakai sampai hari ini di dalam masyarakat biasa. Tetapi anehnya, nah ini barangkali aneh juga, Bu, ya, karena saya meneliti jauh ke pelosok. Kalau saya pendatang ke orang Gayo, ada acara di sana, atau kepala kampungnya ada acara, ntah apa, dia berbahasa Indonesia. Yang dengar bahasa Indonesia, yang seluruhnya penduduk bahasa Indonesia, tapi dia bahasa Indonesia. Tidak berbahasa Gayo. Tapi kalau hari-harian bercerita bahasa Gayo.

R : Kenapa seperti itu, Pak?

J : Itu saya ndak tahu kenapa kalau pembicaraan resmi umumnya dipakai bahasa Indonesia, tapi kalau duduk-duduk acara makan-makan walaupun banyak bahasa Gayo dia


(4)

R : Bahasa Gayo ada tingkatannya?

J : Ada. Ada bahasa halusnya, ada bahasa kasarnya.

R : Adakah kekhawatiran Bapak, generasi muda sekarang tidak menggunakan bahasa Gayo lagi.

J : Khawatir ndak, Bu. Bahasa Gayo itu dalam pikiran saya akan tetap berjalan, hanya barangkali, Bu, bahasa-bahasa langka itu semakin banyak. Itu bahasa-bahasa yang dulunya tahu sekarang ndak tahu lagi itu, mungkin itu aja.

R : Ada kosakat-kosakata tertentu ya, Pak?

J : Itu yang mungkin perbendaharaan kata Gayo aslinya itu bagi generasi muda akan hilang pelan-pelan, itu mungkin habis.

21. R : Di sekeliling danau banyak pembakaran hutan. Pembakaran hutan itu otomatis mempengaruhi danau. Pasti nanti ada yang hilang di dalam danau itu. Berarti nanti bahasanya bisa hilang itu, Pak, tetapi yang berhubungan dengan keadaan di danau gitu. Mungkin akan ada ikan yang punah.

J : Ya, banyak yang sudah hilang, artinya begini kalaupun masih ada jarang-jarang kita ketemu.

R : Ikan apa aja, Pak?

J : Iken pedih, sejenis bawal putih, ikan mas merah, lele. Yang ada sekarang lele jumbo, lele asli hilang. Jejolong hilang. Jejolong seperti keperas tetapi panjang dia. Peres, peres lama, ndak pernah kujumpa lagi. Ikan lindung, Bu, ya, payah dapat. Jadi banyak sekali ikan yang sudah langka dikatakan.

R : Lindung bukannya yang di sawah-sawah itu, Pak?

J : Itu belut di sini. A… di sini ndak ada itu. Belut itu datangnya baru itu. Jadi kalau belut itu sebelumnya ndak ada. Itu belakangan. Denung mungkin iya.

R : Lokot, Pak?

J : Lokot ada, itupun langka sekarang.

22. R : Saya ada dapat data, Pak, kalau di sini pisang, pisang Gayo, lengkuas, lengkuas Gayo.

J : Ndak ada didengar, Bu. Kalau pisang tu awal. Jadi kalau lengkuas, ya lengkuas saja di sini. Ndak ada lengkuas Gayo. Ndak ada pakai Gayo- Gayoan. Macam depik ini khas di sini, ndak ada disebut depik Gayo. Depik aja sudah. Ndak ada bawa nama Gayo tu.

R : Tadi saya baru beli jahe. Saya bertanya ada jahe nggak? Mungkin si penjual tahu saya dari Medan. Jahe Aceh ada, katanya begitu.

J : Gini, Bu. Yang dikatakan jahe Aceh itu bibitnya dari sana, modelnya sama sikit. Sama seperti bawang. Sini kan lasun. Kalau lasun sini ndak besar dia. Kalau dari Bireun nanti, bulat-bulat dia, bendanya itu juga, maka sebagian bilang bawang Aceh karena bentuknya dari sana asalnya.


(5)

23. R : Apa ada ikan yang ndak boleh dimakan di danau itu? J : Ndak ada, Bu.

24. R : Keong-keong nggak ada ya, Pak?

J : Ada.

R : Dikonsumsi penduduk?

J : Dulu ya sekarang kurang. Karena itu pun dah relatif. Kalau apa namanya tu, memin, pesi apa. Kemudian ini apa ketor, yang dibuat untuk kapur itu apa, kerang. Ada. Malahan keong emas, malahan itu di sini jadi hama, padi habis dirusak. Jadi begini, Bu, ya, kenapa datang? Siapa yang bawa? Mungkin begini setahu saya dulu tahun 1998 itu grass carp dibawa kemari. Grass carp dicoba, tapi menghilang.

R : Kenapa dicobakan ke sini?

J : Dicoba barangkali karena dulu dianggap begini e… banyaknya rumput laut yang tumbuh secara alam itu, itu dianggap dulu mengganggu danau oleh pemerintah. Grass carp ini bisa memakan itu. Maka dibawalah bibitnya kemari, tapi tidak lama mungkin kalau saya analisa perkembangannya tidak secepat di sana, kalah dia berkembang dengan ditangkap orang mungkin. Karena tertangkap. Kemudian kalau seperti kerang, ini analisa saya, Bu, ya, seperti udang, udang ndak ada belakangan ini, sekarang ini adanya. Jadi itu dulu begini itu, Bu, mungkin ini, ikan-ikan belut, keong mas, e… termasuk udang tadi, ada ikan merah kecil tadi, itu pada dasarnya bukan dipelihara di sini. Hitungan saya begini, Bu, kalau dulu dibawa dari Biruen kemari, berangkat pagi, begini hari baru sampai, karena mungkin jalan ndak bagus, mobil hanya empat roda yang kepalang jaman itu, jadi dari Bireun kemari satu hari perjalanan. Sekarang tidak, Bu. Diisi di sana pagi jam lima jam tujuh sudah sampai sini. Karena jualan di pinggir sungai, saya pikir itu yang ada hidup, Bu. Itu analisa saya. Hingga dia macam udang tadi mungkin ada dua ekor atau telurnya dan segalanya yang hanyut ke dalam apa itu jadi dia.

R : Bukan asli dari danau? J : Ndak ada, Bu.

25. R : Sewaktu bapak kecil, nampak jelas ikan mas itu warnanya merah

J : Dulu kalau kita mancing di pinggir-pinggir itu dapat dua atau tiga, ikan mujahir tu seperti semak di sini banyaknya. Capek kita melihatnya pun, karena orang dapat pun ikan itu ndak ada dikatakan perlu banyak ke rumah, tidak ada sebagai mata pencaharian utama, kecuali depik. R : Jadi saat ini yang bapak katakan ikan yang warnanya merah pucat, atau

kuning pucat. J : Itu ikan bawaan

R : Baru-baru ini kami ada melewati keramba, saat ini memang sama sekali bapak tidak mengenal ikan mas dulu?


(6)

pernah nampak. Kalau peres sekarang bawaan tu, baru. Peres juga disebut orang.

R : Nama lain dari ikan mas itu apa, ya, Pak?

J : Kalau sini modelnya itu bawal semua itu. Cuma di sini, yang merah itu ikan mas disebut, yang kuning itu bawal, yang putih itu iken pedih. Namanya itu juga, bendanya. Yang dikeramba itu semua, bawaan itu, Bu. Ndak ada itu di sini. Diternak itu, dibawa dari Lkokseumawe mungkin bibitnya dibeli, bukan di sini itu, Bu. Ikan pindah.

R : Kalau ikan itu dijemur aja, ya, Pak, diolahnya, semua ikan hasil danau ini. Tidak adakah yang dikalengkan, dikeringkan.

J : Yang dikeringkan cuma ikan depik barangkali. Ikan depik ditangkap dikeringkan. Itupun barangkali kalau musim berlimpah. Dikeringkan, dibuat jadi belacan. Atau mengirim untuk keluaraga di luar daerah. R : Kalau dikeringkan apa istilah Gayonya?

J : Biasa saja depik kering, sudah. R : Kalau dijemur, apa bahasa Gayonya? J : Ndak ada, dijemur saja sudah.

R : Trus dibuat terasi?

J : Nah itu bumbunya memang lain. Ndak sama dengan terasi biasa. R : Tidak asin berarti, Pak, ya?

J : Ndak.

R : Berati ikan yang diolah hanya ikan depik, itu aja, Pak, ya? J : Seluruhnya, Bu, ya? Ya, ya, yang lain ndak diolah

R : Sekarang, Pak?

J : Sekarang pun saya kira ndak ada. Sekarang pun ikan mujahir paling ada sekarang beberapa aja dikeringkan, dibelah, dikeringkan, kan. Kalau untuk khusus dikeringkan ndak ada.

R : Diasap tidak ada, Pak, ya?

J : Ndak.

26. R : Kalau penyebutan nama-nama untuk benda yang bukan asli Gayo gimana, Pak?

J : Kalau prodak baru tetap namanya, ndak mungkin kita robah. Macam hp, tetap hp, apa kita buat namanya lain?