Tinjauan yuridis Terhadap Keabsahan Produk Makanan Tanpa Label Halal Bagi Konsumen Muslim (Studi Pada MUI Medan)

BAB II
KAJIAN YURIDIS TENTANG LABEL HALAL PADA
MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)

A. Pengertian dan Jenis-jenis Label
Label memiliki kegunaan untuk memberikan informasi yang benar, jelas
dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi, kualitas, maupun hal-hal lain yang
diperlukan mengenai barang yang diperdagangkan. Dengan adanya label,
konsumen akan memperoleh informasi yang benar, jelas dan baik mengenai
kuantitas, kualitas, da nisi dari produk yang beredar. Selain itu, label juga dapat
menjadi suatu acuan bagi konsumen untuk melakukan pemilihan terhadap barang
dan jasa.
Label bisa berupa gantungan sederhana yang ditempelkan pada produk
atau gambar yang direncanakan secara rumit dan menjadi bagian kemasan. Label
bisa membawa nama merek saja, atau sejumlah besar informasi. Bahkan jika
penjual memilih label sederhana, hukum menyaratkan lebih banyak. 17
Label merupakan salah satu bentuk merek yang sangat berguna untuk
memberikan tanda terhadap suatu produk. Label merupakan suatu bagian dari
sebuah produk yang membawa informasi verbal tentang produk atau
penjualannya. 18 Menurut Tjiptono, label merupakan bagian dari suatu produk
yang menyampaikan informasi mengenai produk dan penjualan. 19


17

Philip Kotler, Manajemen Pemasaran : Edisi 1 (Jakarta : Erlangga, 2008), hal 29
Angipora dan Marinus, Dasae-dasar Pemasaran, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2002), hal 192
19
Tjiptono
18

16
Universitas Sumatera Utara

Menurut Gitosudarmo, Label dapat diartikan juga sebagai bagian dari
sebuah produk yang berupa keterangan atau penjelasan mengenai barang tersebut
atau penjualnya. 20
Sebuah label biasa merupakan bagian dari kemasan, atau bisa pula
merupakan etiket (tanda pengenal) yang dicantelkan pada produk. Philip Kotler
menyatakan bahwa label merupakan tampilan sederhana pada produk atau gambar
yang dirancang dengan rumit yang merupakan satu kesatuan dengan kemasan.

Label biasanya dicantumkan pada merek atau informasi. 21
Label digunakan sebagai bentuk pemberian merek, dan juga memiliki
tujuan untuk memberikan informasi terkait dengan produk yang di cantumkan
label tersebut. Seperti contohnya, label halal yang tercantum di kemasan produk
makanan, menginformasikan bahwa produk makanan yang tercantum label halal
tersebut merupakan makanan yang boleh di konsumsi oleh konsumen muslim, dan
juga makanan tersebut tidak merupakan produk yang di produksi dengan
menggunakan bahan makanan yang melanggar Syariat Islam.
Dapat dikatakan bahwa label merupakan suatu keterangan yang
melengkapi suatu kemasan barang yang berisi tentang bahan-bahan yang
digunakan untuk membuat barang tersebut, cara penggunaan, efek samping dan
sebagainya.
Terkait terhadap produk makanan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun
1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa label
pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar,
20
21

Gitusudarmo, 2000, hal 199
Philip Kotler, Manajemen Pemasaran (Jakarta : Prenhallindo, 2000), hal 477


Universitas Sumatera Utara

tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan,
dimasukan kedalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian dari kemasan
pangan. Jika diperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang
Label dan Iklan Pangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Label dapat
berbentuk :
1. Tanda dengan tulisan
2. Gambar pada kemasan makanan minuman dan barang lainnya
3. Brosur atau selebaran yang dimasukkan kedalam wadah atau
pembungkus.

Sebenarnya dengan memberikan informasi kepada konsumen, penggunaan
label

tersebut

merupakan


salah

satu

bentuk

perlindungan

terhadap

konsumen.Karena, dengan adanya label, konsumen telah mengetahui, apakan
barang yang diproduksi tersebut, merupakan produk yang bias digunakan atau
tidak. Selain memberikan informasi, menurut Kotler, label juga berfungsi untuk: 22
1. Mengidentifikasi produk atau merek
2. Menentukan kelas produk
3. Menggambarkan beberapa hal mengenai produk (siapa pembuatannya,
dimana produk tersebut diproduksi, kapan produk tersebut diproduksi,
apa isinya, bagaimana cara menggunakan produk tersebut dan
bagaimana penggunaan produk tersebut secara aman.


22

Ibid, hal 478

Universitas Sumatera Utara

4. Sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen tentang hal-hal
yang perlu diketahui oleh konsumen tentang produk tersebut. Terutama
hal-hal yang kasat mata atau tak diketahui secara fisik.
5. Memprompsikan produk lewat anega gambar yang menarik.

Tujuan utama dari pelabelan, adalah sebuah upaya pemerintah untuk
memberikan perlindungan konsumen. Selain fungsi dari pelabel, beberapa tujuan
dari pelabelan adalah sebagai berikut : 23
1. Memberi informasi tentang isi produk yang diberi label tanpa harus
membuka kemasan.
2. Pemberian label juga dapat merupakan sarana pengiklanan
3. Pemberian label merupakan suatu upaya untuk memberikan rasa aman
bagi konsumen.
4. Pelabelan bertujuan untuk memberikan petunjuk yang tepat pada

konsumen hingga diperoleh fungsi produk yang optimum

Label menjadi suatu hal yang sangat penting dalam upaya perlindungan
konsumen. Sebenarnya, terdapat berbagai jenis-jenis label sebagai berikut :
1. BrandLabel
Brand label merupakan label yang paling sering ditemukan pada produk
yang berbentuk tekstil. Brand label merupakan label yang semata-mata hanya
sebagai merek atau brand. Misalnya pada kain atau tekstil.Kita dapat mencari

23

Angipora, Loc.cit

Universitas Sumatera Utara

tulisan yang berbunyi ‘sanforized, berkolin, tetoron”, dan sebagainya.Nama-nama
tersebut digunakan oleh semua perusahaan yang mermproduksinya. Selain brand
label,setiap perusahaan juga mencantumkan merek yang dimilikinya pada tekstil
yang diproduksi.
2. Grade Label

Grade label merupakan label yang menunjukan tingkat kualitas tertentu
dari suatu barang. Label ini hanya dinyatakan dengan suatu tulisan atau kata-kata
3. Descriptive Label
Label deskriptif ini merupakan label yang berfungsi untuk memberikan
informasi objektif tentang penggunaan konstruksi, pemeliharaan penampilan, dan
ciri-ciri lain dari produk. Salah satu contoh label deskriptif ini adalah label halal.
Dengan adanya label halal pada suatu produk makanan misalnya, maka konsumen
akan diinformasikan bahwa produk makanan tersebut merupakan makanan yang
telah teruji dan diperiksa oleh lembaga yang berwenang, dengan tidak
menggunakan suatu bahan baku pembuatan dari bahan yang di haramkan
berdasarkan syariat islam.
Penggunaan label halal ini, selain memberikan sebuah informasi terhadap
konsumen muslim khususnya, juga merupakan sebagai upaya pemerintah untuk
melindungi konsumen muslim. Mengingat, peraturan perundang-undangan di
Indonesia mewajibkan berbagai pelaku usaha untuk mencantumkan label halal
pada produk makanan.

Universitas Sumatera Utara

B. Sejarah Penerbitan Label Halal Pada Makanan

Labelisasi halal merupakan salah satu poin penting dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Rangkuti, Labelisasi halal adalah pencantuman tulisan atau
pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukan bahwa produk yang
dimaksud berstatus sebagai produk halal. Label halal sebuah produk dapat
dicantumkan pada sebuah kemasan apabila produk tersebut telah mendapatkan
sertifikasi dari BPPOM MUI. 24
Menurut LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Komestik
Majelis Ulama Indonesia), yang dinyatakan produk halal adalah produk yang
memenuhi syarat kehalalan sesuai syariat islam. Sehingga, ketika kita
kombinasikan antara pengertian dari produk halal di atas dengan pengertian label
yang merupakan suatu produk yang berisikan keterangan mengenai barang, maka
dapat disimpulkan bahwa labelisasi halal merupakan pencantuman keternagan
atau penjelasan halal pada kemasan sebuah produk yang memenuhi syarat
kehalalan sesuai dengan Syariat Islam.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
menetapkan tujuan untuk melindungi kepentingan konsumen dari dampak buruk
pemakaian barang dan atau jasa.Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 yang
menjadi payung hukum terkait perlindungan konsumen di Indonesia. Telah
memberikan perlindungan terhadap konsumen muslim dari makana-makanan atau
produk makanan yang tidak halal. Dalam Pasal 8 ayat (1) huruf h Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dinyatakan bahwa salah

24

Rangkuti, 2010, hal 8

Universitas Sumatera Utara

satu larangan bagi pelaku usaha adalah memproduksi dan atau memperdagangkan
barang dan atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana yang dicantumkan dalam label halal. Kata “halal” dalam klausul
pasal tersebut, sebenarnya merupakan antisipasi yang dilakukan pemerintah, agar
konsumen muslim tidak menggunakan atau mengkonsumsi barang dan atau jasa
yang tidak sesuai dengan syarian islam.
Pengaturan mengenai label halal di Indonesia, memiliki dua hal yang
saling terkait. Yaitu sertifikasi halal dan labelisasi.Sertifikasi halal merupakan
fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syariat Islam
melalui pemeriksaan yang terperinci oleh LPPOM MUI. Sertifikasi halal ini
merupakan salah satu bentuk sayarat untuk mendapatkan izin pencantuman label
halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang.

Sertifikasi dan labelisasi halal bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum dan perlindungan terhadap konsumen, serta meningkatkan daya sang
produk dalam negeri dalam rangka meningkatkan pendapatan nasional. Tiga
sasaran utama yang ingin dicapai dalam sertifikasi halal ini adalah :
1. Menguntungkan konsumen dengan memberikan perlindungan dan
kepastian hukum
2. Menguntungkan produsen dengan peningkatan daya saing dan omset
produksi dalam penjualan
3. Menguntungkan pemerintah dengan mendapat tambahan pemasukan
terhadap negara.

Universitas Sumatera Utara

Label halal pada produk makanan di Indonesia, merupakan salah satu hal
yang sangat penting. Indonesia yang memiliki masyarakat dengan mayoritas kaum
muslim, tentu akan sangat terbantu untuk memilih makanan yang akan di
konsumsi, yang tidak melanggar syariat islam. Karena dengan adanya label halal
yang dicantumkan oleh pelaku usaha, akan menginformasikan bahwa produk
makanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat islam.
Setiap produk, baik makanan ataupun produk lainnya harus memiliki label

halal.Untuk mendapatkan label halal tersebut, setiap pelaku usaha harus
mendapatkan sertifikasi halal terlebih dahulu dari Majelis Ulama Indonesia.
Lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikasi halal yang
nantinya akan menjadi syarat utama untuk mendapatkan izin mencantumkan label
halal adalah Lembaga Pengawasan Pangan, Obat, dan Kosmetik Majelis Ulama
Indonesia (LPPOM MUI).
LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989. Pada awalnya,
LPPOM MUI ini didirikan pada saat kasus lemak babi di Indonesia pada tahun
1988 meresahkan masyarakat Indonesia, khususnya kaum muslimin. LPPOM
MUI ini pada dasarnya didirikan dengan tujuan untuk meredam keresahan
masyarakat tersebut.
Sebenarnya, penerbitan sertifikasi halal pada makanan telah dilakukan
oleh pemerintah Indonesia, sebelum lahirnya LPPOM MUI ini didirikan. Label
halal sudah mulai dicantumkan pada tahun 1976, dengan dasar Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 280/Men.Kes/Per/XI/1976 yang dikeluarkan pada

Universitas Sumatera Utara

tanggal 10 November 1976 Tentang Ketentuan Peredaran dan Penadaan Pada
Makanan yang mengandung Bahan Berasal dari Babi.
Bahwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
280/Men.Kes/Per/XI/1976 ini bukanlah merupakan suatu dasar hukum untuk
mencantumkan label halal terhadap produk makanan. Akan tetapi, justru Surat
Keputusan Menteri Kesehatan ini mewajibkan untuk memberikan tanda berupa
label yang bertuliskan “mengandung babi” terhadap makanan yang diproduksi
mengandung bahan baku dari babi.Akan tetapi, tidak ada larangan bagi pelaku
usaha yang ingin mencantumkan label halal pada produk makanan yang
diproduksinya.
Penggunaan label halal ini baru secara resmi diatur dengan Surat
Keputusan

Bersama

Menter

Kesehatan

dan

Menteri

Agama

Nomor

427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68 Tahun 1985 Tentang Pencantuman
Tulisan “halal” pada label makanan. Menurut keputusan bersama antara menteri
kesehatan dan menteri agama ini, yang berkewajiban untuk mencantumkan label
halal adalah produsen makanan tersebut, setelah melaporkan komposisi bahan
dan proses pengolahan kepada Departemen Kesehatan. Dengan adanya aturan ini,
lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan adalah Tim Penilaian
Pendaftaran Makanan, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan,
Departemen Kesehatan. Tim ini juga merupakan gabungan antara tim dari
departemen kesehatan, dan juga yang berasal dari departemen agama. 25

25

http://historia.id/agama/artikel-sejarah-awal-labelisasi-halal diakses Pada Tanggal 27
Januari 2017

Universitas Sumatera Utara

Namun, tim pengawas penilaian pendaftaran makanan tersebut, sudah
tidak ada lagi. Dan sekarang, Majelis Ulama Indonesia memiliki peranan penting
untuk menerbitkan sertifikasi halal yang akan dijadikan syarat untuk melakukan
labelisasi halal. Majelis Ulama Indonesia ini sendiri baru memiliki peran dalam
penerbitan sertifikasi halal dan labelisasi halal, Pada Tahun 1985 sejak
didirikannya LPPOM MUI.
Terkait pemberian label halal, Indonesia memiliki berbagai produk hukum
dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yang mengatur mengenai labelisasi
halal produk makanan. Pengaturan mengenai produk makanan halal di Indonesia,
pada awalnya di atur melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang
Pangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label halal
dan iklan pangan. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan,
pada Pasal 30 Undang-undang Pangan, memerintahkan kepada setiap orang yang
akan memproduksi atau memasukan ke dalam wilayah Indnesia, pangan yang
dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label, baik didalam, maupun
di luar kemasan pangan. Label tersebut harus mencantumkan keterangan halal.
Selain Undang-undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah
Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label Halal dan Iklan Pangan, memberikan aturan
yang sangat jelas terkait keharusan produsen untuk memberikan atau
mencantumkan label halal pada makanan yang dikemas. 26
Perkembangan pengaturan mengenai sertifikasi dan labelisasi makanan
halal kian mengembang pesat. Hal tersebut dibentuk oleh pemerintah sebagai
26

http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/c13808/node/lt4a0a533e31979/bagaiman
a-pengaturan-sertifikasi-halal-bagi-produk-makanan. diakses Pada Tanggal 27 Januari 2017

Universitas Sumatera Utara

bentuk perlindungan aqidah umat muslim dan sekaligus melindungi konsumen
muslim dari produk makanan yang diproduksi dari bahan baku haram menurut
syariat islam.
Pemerintah telah membentuk Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan produk Halal.Undang-undang ini merupakan salah satu dasar
hukum yang kuat untuk menjamin produk yang diproduksi atau diperdagangkan
oleh setiap orang, merupakan produk yang diberikan label halal.
Menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal, pemerintah dalam hal ini adalah Menteri agama, memiliki
tanggungjawab atas terselenggaranya jaminan produk halal. Dalam undangundang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, Pasal 5 ayat 3
yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelenggaraan jaminan produk
halal tersebut adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), yang
dibantu oleh Majelis Ulama Indonesia dan Lembaga Pemeriksa Halal. BPJPH
inilah yang memiliki kewenangan untuk mencabut dan menerbitkan label dan
sertifikat halal. Sedangkan MUI, hanya memiliki hak untuk melakukan sertifikasi
yang akan dijadikan syarat untuk mendapatkan sertifikat dan label halal.

C. Kewajiban Produsen Dalam Memberikan Label Halal Pada Hasil
Produksi Makanan
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
TentangPerlindungan Konsumen, Pelaku usaha diartikan sebagai setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

Universitas Sumatera Utara

wilayah hukumNegara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
perkekonomian.
Selain Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, juga menyatakan definisi yang
sama dengan definisi Pelaku Usaha Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Jika dilihat penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang termasuk pelaku usaha adalah
perusahaan, korporasi, koperasi, importer, pedagang, distributor dan lainnya.
Definisi dari pelaku usaha ini, sangatlah luas. Dalam definisi yang
dinyatakan oleh Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, dapat dikatakan bahwa yang termasuk pelaku usaha
tersebut adalah :
1. Orang perseorangan (van person)
2. Badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum, maupun yang tidak
berbadan hukum.

Terdapat perbedaan antara badan usaha yang merupakan badan usaha
berbadan hukum dan juga badan usaha yang tidak berbadan hukum. Perbedaan
dari kedua badan hukum tersebut yaitu badan usaha yang bukan merupakan badan

Universitas Sumatera Utara

hukum, tidak akan dipersamakan kedudukannya sebagai orang, sehingga tidak
memiliki kekayaan para pendirinya. 27
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
tidak hanya memberikan perlindungan terhadap konsumen dan mengatur
mengenai hak serta kewajiban dari konsumen. Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai hak serta
kewajiban dari produsen atau pelaku usaha.Undang-undang Perlindungan
Konsumen dibuat tidak untuk mematikan usaha para pelaku usaha.Tetapi justru
Undang-undang Perlindungan Konsumen ini dapat mendorong iklim berusaha
yang sehat dan mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadaoi
persaungan melalui penyediaan barang yang berkualitas. 28
Kewajiban dari pelaku usaha, dimuat dalam Pasal 7 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Adapun yang menjadi
kewajiban dari pelaku usaha adalah sebagai berikut :
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3. Memperlakukan atau melauani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif

27

Irma Devita, Kiat-kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mendirikan Badan Usaha, (Bandung :
Kaifa, 2010), hal 2
28
Penjelasan Umun Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen

Universitas Sumatera Utara

4. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau
jasa
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau
mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau
garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan atau jasa
yang diperdagangkan.
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang
dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.

Selain itu, berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang memproduksi dan
atau memperdagangkan barang dan jasa, yaitu:
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan perundang-undangan
2. Tidak sesuai dengan berat bersih. Isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut.
3. Tidak sesuai dengan ukuran takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya

Universitas Sumatera Utara

4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalm label, etiket atau keterangan barang dan
atau jasa
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan komposisi, proses pengolahan,
gaya, model atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut
7. Tidak

mencantumkan

tanggal

kadaluarsa

atau

jangka

waktu

penggunaan
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan halal yang dicantumkan dalam label
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat atau isi bersih, komposisi, aturan lainnya
untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang.
10. Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.

Kewajiban dari pelaku usaha dalam memberikan label halal pada kemasan
produk makanan halal, dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen tidak di atur secara jelas dalam kewajiban bagi para
pelaku usaha sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-undang

Universitas Sumatera Utara

Perlindungan Konsumen. Akan tetapi, dapat dilihat pada Pasal 8 ayat (1) Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengenai
larangan bagi pelaku usaha point ke 8, bahwa pelaku usaha tidak boleh mengikuti
produksi secara tidak halal sebagaimana yang tercantum dalam label. Hal ini
menjadi salah satu dasar bahwa kewajiban dari pelaku usaha salah satunya adalah
harus memproduksi makanan sesuai prosedur produksi halal dan mencantumkan
label halal dalam kemasan.
Selain itu, Pasal 4 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk Halal, Pada Pasal 4 menyatakan bahwa produk yang masuk,
beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, wajib bersertifikat halal. Hal
ini menjadi sebuah dasar bahwa produk yang dijual tersebut adalah halal dan
wajib memiliki sertifikat halal.
Dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal , juga menyatakan terdapat beberapa kewajiban bagi pelaku usaha
yang mengajukan permohonan sertifikat halal. dan setelah memperoleh sertofokat
halal tersebut, pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal,wajib :
1. Memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur.
2. Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan , pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, perdistribusian, penjualan dan penyajian
antara produk halal dan tidak halal
3. Memiliki penyelia halal
4. Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada Badan Jaminan
Produk Halal.

Universitas Sumatera Utara

Kemudian, berdasarkan Pasal 25 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha
wajib :
1. Mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat
sertifikat halal
2. Menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal
3. Memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir
4. Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian
antara produk halal dan tidak halal
5. Melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH

Selain itu, Dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal, pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat
halal, wajib mencantumkan label halal pada :
1. Kemasan produk
2. Bagian tertentu pada produk
3. Tempat tertentu pada produk

Berdasarkan peraturan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sebenarnya,
kewajiban dari produsen atau pelaku usaha untuk mencantumkan label halal pada
kemasan produk makanan, terdapat pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal.

Universitas Sumatera Utara

D. Gambaran Umum Tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) hadir ke pentas sejarah ketikabangsa
Indonesia tengah berada di fase kebangkitan kembali, setelah selama tigapuluh
tahun sejak kemerdekaan energi bangsa terserap dalam perjuangan politik, baikdi
dalam negeri maupun di dalam forum internasional, sehingga kurang
mempunyaikesempatan untuk membangun menjadi bangsa yang maju dan
berakhlak mulia. 29
Pertemuan alim ulama yang melahirkan MUI tersebut ditetapkan
sebagaiMunas (Musyawarah Nasional) MUI Pertama. Dengan demikian, sebelum
adanyaMUI Pusat, terlebih dahulu di daerah-daerah telah terbentuk Majelis
Ulama, termasukMajelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera Utara yang berdiri
tanggal 11 Januari1975 Masehi bertepatan dengan 28 Zulhijjah 1394 Hijriah. 30
Lahirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak terlepas dari faktor intern
danekstern. Faktor intern ialah kondisi umat Islam dan bangsa Indonesia
sepertirendahnya pemahaman dan pengalaman agama. Lebih daripada itu,
kemajemukandan keragaman umat Islam dalam alam pikiran keagamaan,
organisasi sosial, dankecendrungan aliran dan aspirasi politik selain dapat
merupakan kekuatan, tetapisering juga menjelma menjadi kelemahan dan sumber
pertentangan di kalangan umatIslam sendiri. Sedangkan faktor ekstern ialah

29

Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Pusat, Jurnal, “Pedoman Penyelenggaraan
Organisasi Majelis Ulama Indonesia Edisi Revisi 2011 HasilRakernas MUI Tahun 2011”,
(Jakarta, 2011), hal 4
30
Ibid

Universitas Sumatera Utara

suasana yang mengintari umat Islamdan bangsa Indonesia yang menghadapi
tantangan global yang sangat berat. 31
Beberapa alasan atau latar belakang didirikannya Majelis Ulama Indonesia
(MUI)antara lain adalah :
1.

Diberbagai negara, terutama Asia Tenggara, ketika itu telah dibentuk
DewanUlama atau Majelis Ulama atau Mufti selaku penasehat
tertinggi dibidangkeagamaan yang memiliki peran tertinggi.

2.

Sebagai lembaga atau “alamat” yang mewakili umat Islam Indonesia
kalauada pertemuan-pertemuan ulama Internasional, atau lebih ada
tamu dari luarnegeri yang ingin bertukar pikiran dengan ulama
Indonesia.

3.

Untuk membantu pemerintah dalam memberikan pertimbangan
keagamaandalam pelaksanaan pembangunan, serta sebagai jembatan
penghubung sertapenterjemah komunikasi antara ulama, dan umat
Islam.

4.

Sebagai wadah pertemuan dan silaturahim para ulama seluruh
Indonesia untukmewujudkan Ukhuwwah Islamiyah.

5.

Sebagai wadah musyawarah bagi para ulama, zuama dan cendikiawan
muslimIndonesia untuk membicarakan permasalahn umat.

Majelis Ulama Indonesia mempunyai lima peran utama yang saling
terkait,yaitu :

31

Ibid

Universitas Sumatera Utara

1. Sebagai pewaris tugas para Nabi (Waratsat al-anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (Mufti)
3. Sebagai Pembimbing dan pelayan umat (Ra’iy wa khadim al ummah)
4. Sebagai penegak amar makruf dan nahyi munkar
5. Sebagai pelopor gerakan tajdid
6. Sebagai pelopor gerakan perbaikan umat (Ishlah al ummah)

7. Sebagai pengemban kepemimpinan umat (Qiyadah al ummah)

Jika dilihat poin ke 3 latar belakang dibentuknya Majelis Ulama Indonesia
yaitu

untuk

membantu

pemerintah

dalam

memberikan

pertimbangan

keagamaandalam pelaksanaan pembangunan, serta sebagai jembatan penghubung
sertapenterjemah komunikasi antara ulama, dan umat Islam, merupakan salah satu
latar belakang terpenting dalam membantu pemerintah untuk melindungi
konsumen muslim.
MUI sebagai suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan membantu
pemerintah, dianggap memiliki suatu integritas dalam hal syariat islam. Sehingga,
Majelis Ulama Indonesia memiliki peranan terpenting dalam mewujudkan upaya
pemerintah untuk melakukan perlindungan konsumen muslim terhadap makanan
yang diproduksi secara tidak halal.
LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat dan Komestik Majelis
Ulama Indonesia), menjadi salah satu lembaga yang memiliki peranan untuk
melindungi konsumen muslim terhadap produk makanan yang tidak halal.

Universitas Sumatera Utara

Sebelum mendapatkan izin mencantumkan label halal yang merupakan
kewajiban dari pelaku usaha, maka tugas dari Majelis Ulama Indonesia adalah
untuk menerbitkan sertifikasi halal. Selain itu, MUI memiliki peranan penting
dalam menjamin beredarnya produk halal.
Dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal, dinyatakan bahwa Badan Pengawas Jaminan Produk Halal (BPJPH)
dalam melaksanakan tugasnya untuk mengawasi peredaran produk makanan
khususnya, dibantu oleh Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal, menayatakan bahwa kerjasama antara MUI dan BPJPH dalam
bentuk :
1. Sertifikasi auditor halal
2. Penetapan kehalalan produk
3. Akreditasi Lembaga Produk Halal.

Jika dilihat dari Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014
Tentang Jaminan Produk Halal, dapat dilihat bahwa MUI memiliki tugas untuk
memberikan sertifikasi auditor halal dan memberikan penetapak kehalalan
produk. Tentu saja penetapan kehalalan produk tersebut di berikan setelah adanya
pengujian dan pengawasan dari LPPOM MUI. Berdasarkan Pasal 10 ayat (2)
Undang-undang Jaminan Produk Halal, MUI dalam melakukan penetapan
kehalalan suatu produk, akan memberikan keputusan penetapan halal produk,

Universitas Sumatera Utara

yang selanjutnya menjadi sebuah syarat untuk mendapatkan izin penetapan label
halal dari pemerintah.
Berdasarkan kewenangnan yang dimiliki oleh MUI terkait menjamin
produk halal di atas, maka peranan MUI sangatlah penting. Mengingat MUI
merupakan salah satu lembaga yang menjadi tempat perkumpulan para
cendikiawan muslim dan para ulama, yang memiliki integritas dan kapasitas
dalam hal syariat islam.

Universitas Sumatera Utara