Pengaturan Penggunaan Dan Pengawasan Label Halal Terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen

(1)

PENGATURAN PENGGUNAAN DAN PENGAWASAN LABEL

HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN PERSPEKTIF

PERLINDUNGAN KONSUMEN

TESIS

Oleh

ALI AMRAN TANJUNG 077005110/HK

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PENGATURAN PENGGUNAAN DAN PENGAWASAN LABEL

HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN PERSPEKTIF

PERLINDUNGAN KONSUMEN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALI AMRAN TANJUNG 077005110/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PENGATURAN PENGGUNAAN DAN PENGAWASAN LABEL HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN

Nama Mahasiswa : Ali Amran Tanjung Nomor Pokok : 077005110

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) Ketua

(Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA) (Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 31 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA

2. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.

Dengan ketentuan wajib diperiksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan tersebut dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.

Dalam penelitian ini permasalahan yang akan dijawab yaitu: (1) Bagaimana pengaturan penggunaan label halal terhadap produk makanan? (2) Bagaimana pengawasan penggunaan label halal terhadap produk makanan? (3) Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran penggunaan label halal?

Dari hasil penelitian, secara argumentatif dapat disebutkan bahwa; Pertama, pengaturan penggunaan Label Halal dan Sertifikat Halal belum mewajibkan seluruh produsen untuk mencantumkan label pada produknya apakah produk tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi oleh konsumen Muslim. Kedua, pengawasan terhadap produk makanan yang menggunakan Label Halal secara illegal tidak maksimal, karena tidak adanya pengaturan yang khusus dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang Label Halal. Ketiga, belum ada keseragaman sanksi yang diterapkan oleh masing-masing peraturan perundang-undangan, meskipun Undang-undang Pangan, Perlindungan Konsumen, dan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan telah mengatur sanksi atas penyalahgunaan terhadap Label Halal. Sehingga, bukan tidak mungkin akan menimbulkan kesulitan dalam penetapan sanksi yang harus diterapkan terkait dengan penyalahgunaan Label Halal.

Kata Kunci: Penggunaan dan Pengawasan, Label Halal, Produk makanan, Perlindungan Konsumen


(6)

ABSTRACT

Every people who produce or import food that put in Indonesian which is sell and told that the food can be eat for moeslem, to be responsible for approval that statement and should be put the explanation or legal mark.

With that statement so it can be examined it product in the institution that has legalize with the legalization. The control has done based on directive and the way that make of ministry of religion with attent to consider and suggest of institute of religion that has competence in that face.

In this research the problem going to answer, which is, 1) How use of legal mark in produce of food. 2) How to control in using legal mark in produce of food. 3) How doubt of collision in using legal mark.

From the result of research, in argumentation it can be conclude that; first, the system of using legal mark and certification not to oblige off all the producer to put the mark in their product to show it permitted or not for consumer of moeslem. Second, the control of food production which is use legal mark in the illegal condition not to maximum because there is no the specification rules in legislation about legal mark. Third, there is no same doubt that side of each legislation, although the legislation of food, shelter of consumer and the government rules about label and advertisement has arrange the doubt of misuse of legal mark, until not imposible it will be cause complication in resolution of doubt that should be realize in misuse of legal mark.


(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, serta kesehatan, keselamatan dan ilmu pengetahuan yang merupakan amanah-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah yang terpilih untuk menghantarkan ajaran-Nya kepada umat manusia dan telah merubah paradigma umat.

Penulisan tesis yang diberi judul: PENGATURAN PENGGUNAAN DAN PENGAWASAN LABEL HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN, adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis meyakini bahwa tesis ini merupakan amanah yang diberikan dan harus dipertanggungjawabkan sedaya mampu dalam kerangka dan hakekat kemanusiaan yang penuh keterbatasan.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan, dukungan dan motivasi, dari berbagai pihak, baik moril maupun materil yang telah diberikan kepada penulis. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan setulus-tulusnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K). Rektor Universitas Sumatera Utara dan seluruh staff dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di Universitas Sumatera Utara, Medan.


(8)

2. Ibu Prof Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, dimana penulis sangat kagum terhadap kepribadiannya yang sangat mengayomi setiap mahasiswa, baik dalam proses bimbingan maupun dalam proses belajar mengajar.

4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M. Hum, sebagai Pembimbing Utama penulis, yang dengan penuh kewibawaan dan kebapakan mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

5. Bapak Prof. Dr. Hasballah Thaib, selaku komisi pembimbing, yang telah memberi kemudahan dan arahan-arahan dalam tulisan ini. Banyak pemikiran-pemikiran yang telah beliau curahkan bagi penulis.

6. Bapak Prof Dr. Tan Kamello, SH, MS, selaku Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan wejangan-wejangan kepada penulis, yang pada akhirnya membuka cakrawala berpikir penulis. Pada titik ini penulis menyadari betapa lemahnya penulis dalam menguasai dan memecahkan suatu permasalahan.

7. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M. Hum, sebagai Penguji penulis, dengan kebapakannya telah memberikan masukan-masukan yang cukup berharga demi kebaikan pada tulisan ini.


(9)

8. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum sebagai Penguji penulis, dengan keibuannya telah memberikan motivasi, kemudahan dan pokok – pokok pikiran yang sangat berharga demi kebaikan pada tulisan ini.

9. Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya Bapak dan Ibu dosen pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum. 10. Istri saya tercinta Zulfrida Andayani dan anak – anak saya tersayang Asiah

Afrianda Tanjung, Annisa Ananda Tanjung dan Muhamad Sulthan Tanjung yang telah memberikan inspirasi dan motivasi kepada penulis untuk penyelesaian penulisan tesis ini.

11. Seluruh rekan – rekan di Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu serta rekan – rekan yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

12. Seluruh Pegawai / Staff Administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan hidayah - Nya serta pahala yang besar untuk membalas jasa-jasa yang telah penulis terima. Akhimya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Medan, Agustus 2009 Wassalam

Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ali Amran Tanjung

Tempat/Tanggal Lahir : Nias, 18 Februari 1966 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan/ Jabatan : Wiraswasta/ Pengacara/ Direktur Utama PT Balai Lelang Sukses Mandiri

Pendidikan : SD Negeri Lawena Tamat Tahun 1979

SMP Negeri 3 Gunung Sitoli Tamat Tahun 1982 SMA Negeri 1 Gunung Sitoli Tamat Tahun 1985 IAIN Tamat Tahun 1992, Universitas Dharmawangsa Tamat Tahun 1999

Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ……… vii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah ……… 11

C. Tujuan Penelitian ……… 12

D. Keaslian Penelitian ……… 12

E. Manfaat Penelitian ………. 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

G. Metode Penelitian ……….. 20

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN LABEL HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN ...………….. 24

A. Tinjauan Atas Label Halal ...……… 24

1. Pengertian Halal ……… 24

2. Tinjauan Atas Label Halal ……… 36

B. Hak-Hak Konsumen Atas Kehalalan Produk Makanan ………. 40


(12)

BAB III PENGAWASAN PENGGUNAAN LABEL HALAL TERHADAP

PRODUK MAKANAN ……… 69

A. Masa Berlaku Label Halal …….……… 69

B. Sistem Pengawasan dan Prosedur Perpanjangan Label Halal ……… 72

BAB IV SANKSI TERHADAP PENYALAHGUNAAN LABEL HALAL ... 82

A. Tinjauan Tentang Sanksi …..……….. 82

B. Sanksi terhadap Penyalahgunaan Label Halal …………... 84

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .….……… 90

A. Kesimpulan ……… 90

B. Saran ……….. 91


(13)

ABSTRAK

Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.

Dengan ketentuan wajib diperiksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan tersebut dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.

Dalam penelitian ini permasalahan yang akan dijawab yaitu: (1) Bagaimana pengaturan penggunaan label halal terhadap produk makanan? (2) Bagaimana pengawasan penggunaan label halal terhadap produk makanan? (3) Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran penggunaan label halal?

Dari hasil penelitian, secara argumentatif dapat disebutkan bahwa; Pertama, pengaturan penggunaan Label Halal dan Sertifikat Halal belum mewajibkan seluruh produsen untuk mencantumkan label pada produknya apakah produk tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi oleh konsumen Muslim. Kedua, pengawasan terhadap produk makanan yang menggunakan Label Halal secara illegal tidak maksimal, karena tidak adanya pengaturan yang khusus dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang Label Halal. Ketiga, belum ada keseragaman sanksi yang diterapkan oleh masing-masing peraturan perundang-undangan, meskipun Undang-undang Pangan, Perlindungan Konsumen, dan Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan telah mengatur sanksi atas penyalahgunaan terhadap Label Halal. Sehingga, bukan tidak mungkin akan menimbulkan kesulitan dalam penetapan sanksi yang harus diterapkan terkait dengan penyalahgunaan Label Halal.

Kata Kunci: Penggunaan dan Pengawasan, Label Halal, Produk makanan, Perlindungan Konsumen


(14)

ABSTRACT

Every people who produce or import food that put in Indonesian which is sell and told that the food can be eat for moeslem, to be responsible for approval that statement and should be put the explanation or legal mark.

With that statement so it can be examined it product in the institution that has legalize with the legalization. The control has done based on directive and the way that make of ministry of religion with attent to consider and suggest of institute of religion that has competence in that face.

In this research the problem going to answer, which is, 1) How use of legal mark in produce of food. 2) How to control in using legal mark in produce of food. 3) How doubt of collision in using legal mark.

From the result of research, in argumentation it can be conclude that; first, the system of using legal mark and certification not to oblige off all the producer to put the mark in their product to show it permitted or not for consumer of moeslem. Second, the control of food production which is use legal mark in the illegal condition not to maximum because there is no the specification rules in legislation about legal mark. Third, there is no same doubt that side of each legislation, although the legislation of food, shelter of consumer and the government rules about label and advertisement has arrange the doubt of misuse of legal mark, until not imposible it will be cause complication in resolution of doubt that should be realize in misuse of legal mark.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara-negara berkembang membutuhkan sistem ekonomi baru yang efesien untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable

development)1, ikut serta sebagai mitra dalam perekonomian global, guna melindungi dan mengentaskan kemiskinan serta penderitaan manusia.2

Secara etika, setiap perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial (corporate social responsibility3), yaitu kepedulian dan komitmen moral perusahaan terhadap kepentingan masyarakat, terlepas dari kalkulasi untung dan rugi perusahaan. Pada pihak lain, perusahaan yang menolak tanggung jawab sosial itu diantaranya beralasan bahwa tanggung jawab sosial tersebut merupakan urusan pemerintah, perusahaan hanya berfungsi sebagai lembaga pencari laba. Selain itu perusahaan tersebut merasa bahwa selama produknya tidak merugikan masyarakat ia tidak perlu memberi kompensasi apa-apa terhadap masyarakat.

1

Pembangunan yang berkelanjutan adalah suatu gagasan paradigma yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan masakini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Sasaran uatama sustainable developmentadalah upaya dalam meningkatkan taraf hidup manusia sehingga kemiskinan dapat diminimalisir sampai titik terendah. Lihat Arif Budiman, Corporate Social Responsibility, Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini, (Jakarta: ICSD, 2003), hal. 5

2

Michael Keating, Bumi Lestari Menuju Abad 21, (Jakarta : Kopalindo, 1994), hal. 72 3

Istilah corporate social responsibility diartikan sebagai nilai, standar dan komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontibusi untuk peningkatan ekonomi bersama dengan meningkatkan kualitas hidup stakeholeder. Lihat Arif Budiman, Op.Cit. hal. 20


(16)

Setiap perusahaan memiliki aktifitas memproduksi barang dan jasa untuk mendapatkan keuntungan yang layak. Konsekuensinya perusahaan tersebut dalam aktifitasnya harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan dan masyarakat. Apabila memungkinkan, di samping mendapatkan keuntungan bagi perusahaan sendiri juga sekaligus dapat memberikan kesejahteraan bagi lingkungan dan masyarakat.4 Seperti halnya terhadap lingkungan hidup dan tenaga kerja, perusahaan juga bertanggung jawab terhadap perlindungan konsumen dalam menkonsumsi barang atau jasa yang diproduk oleh perusahaan tersebut. 5

Konsumen merupakan golongan yang rentan diekploitasi oleh pelaku usaha. Karena itu diperlukan seperangkat peraturan hukum untuk melindungi konsumen. Konsumen adalah “pengguna akhir” (end user) dari suatu produk,6 dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen disebutkan setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan7.

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri. Perlindungan konsumen memiliki cakupan yang luas, meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan

4

Murti Sumarni dan Jhon Suprihanto, Pengantar Bisnis, Dasar-dasar Ekonomi Perusahaan, (Yogyakarta : Liberty, 1987), hal. 21

5

Ibid, hal. 23 6

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis di Era Global, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 227

7


(17)

barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa tersebut. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.8

Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan beberapa jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. Dengan dukungan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika, di mana terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan jasa melintasi batas-batas suatu wilayah negara, konsumen pada akhirnya dihadapkan kepada berbagai jenis barang dan jasa yang ditawarkan secara variatif.

Kondisi seperti ini, pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.

Pada sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut mengakibatkan kedudukan produsen dan konsumen tidak seimbang, dimana konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktifitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh perusahaan melalui kiat promosi dan cara penjualan yang merugikan konsumen.9

8

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 9

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gramedia, 2003), hal. 12


(18)

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi barang dan jasa, namun sayangnya kecenderungan kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa yang demikian besar tersebut oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab dijadikan suatu kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam rangka untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya tersebut para produsen harus bersaing sesama mereka dengan perilaku bisnisnya, yang akhirnya tidak tertutup kemungkinan tidak lagi memperhatikan kepentingan konsumen.

Penyampaian informasi produk kepada publik yang diutamakan adalah produk tersebut telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan peraturan menyangkut perlindungan konsumen (consumer protection), seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Karena hak-hak konsumen harus menjadi prioritas utama setiap perusahaan, yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menkonsumsi barang atau jasa.

Guidelines for Consumer Protection of 1985, yang ditetapkan PBB pada

tanggal 9 April 1985 menyatakan bahwa “konsumen dimanapun mereka berada, dari

segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya” hak-hak dasar dimaksud adalah

hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur, hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak untuk memilih, hak untuk didengar,


(19)

hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia, dan hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik.10

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan hak-hak konsumen sebagai berikut:11

1. Hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan 3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa

4. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakannya

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif

8. Hak untuk mendapat konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

10

Bismar Nasution, Keterbukaan dalam Pasar Modal, (Jakarta : UI, 2001), hal. 121. Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2002), hal. 20

11


(20)

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.12

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa hak konsumen termasuk mengenai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa.13 Berarti perusahaan yang membuat produk harus memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.14

Berdasarkan hak-hak konsumen tersebut, maka penyampaian informasi yang berkaitan dengan produk harus dapat memberikan kepuasan kepada konsumen. Hal tersebut dilakukan untuk melindungi hak-hak konsumen. Maka perlu ditekankan, bahwa penyampaian informasi yang berkaitan dengan produk makanan harus memberikan jaminan bahwa produk makanan tersebut adalah halal.

Banyaknya pangan yang beredar di masyarakat tanpa mengindahkan ketentuan tentang pencantuman label dinilai sudah meresahkan. Perdagangan pangan yang kedaluwarsa, pemakaian bahan pewarna yang tidak diperuntukkan bagi pangan atau perbuatan-perbuatan lain yang akibatnya sangat merugikan masyarakat, bahkan dapat mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, terutama bagi anak-anak pada umumnya dilakukan melalui penipuan pada label pangan atau melalui iklan.

12

Seperti hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 5 ayat (1).

13

Pasal 4 huruf c Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 14


(21)

Label dan iklan pangan yang tidak jujur dan atau menyesatkan berakibat buruk terhadap perkembangan kesehatan manusia.

Perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab bukan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat, diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dapat memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum. Persaingan dalam perdagangan pangan diatur supaya pihak yang memproduksi pangan dan pengusaha iklan diwajibkan untuk membuat iklan secara benar dan tidak menyesatkan masyarakat melalui pencantuman label15 dan iklan16 pangan yang harus memuat keterangan mengenai pangan dengan jujur.

Dalam hubungannya dengan masalah label dan iklan pangan maka masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi, kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasaran. Informasi pada label pangan atau melalui iklan sangat diperlukan bagi masyarakat agar supaya masing-masing individu secara tepat dapat

15

Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Label. Pasal 1 Angka 3 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan

16

Iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan, yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Iklan. Pasal 1 Angka 4 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan


(22)

menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.

Tidak hanya masalah yang berhubungan dengan kesehatan saja yang perlu diinformasikan secara benar dan tidak menyesatkan melalui label dan atau iklan pangan, namun perlindungan secara batiniah perlu diberikan kepada masyarakat. Masyarakat Islam merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia yang secara khusus dan non diskriminatif perlu dilindungi melalui pengaturan halal. Bagaimanapun juga, kepentingan agama atau kepercayaan lainnya tetap dilindungi melalui tanggung jawab pihak yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan bagi keperluan tersebut.

Produk pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.17

Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.18

17

Pasal 1 Angka 1 PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan 18


(23)

Dengan ketentuan wajib diperiksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku19. Pemeriksaan tersebut dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.20

Produk makanan halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syari’at Islam, yakni:21

1. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.

2. Tidak mengadung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran dan lain sebagainya.

3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari’at Islam.

4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah dipergunakan untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara syari’at Islam. 5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengadung khamar.

19

Pasal 11 ayat (1) PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan 20

Pasal 11 ayat (2) PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan 21

Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal, (Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2008), hal. 2


(24)

Kasus PT. Ajinomoto Indonesia yang memproduksi bumbu masak menunjukkan terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 7 huruf b Undang-undang Perlindungan Konsumen, mengenai kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

Kasus Ajinomoto tersebut berawal dari pengumuman Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa ada unsur enzim babi dalam ajinomoto. Selanjutnya MUI meminta masyarakat untuk sementara tidak menkonsumsi ajinomoto. Di samping itu, PT. Ajinomoto Indonesia menarik produknya dari pasaran di seluruh Indonesia, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 2.000 sampai 3.000 ton.

Berkaitan dengan hal-hal tesebut di atas, maka konsumen perlu dilindungi secara hukum dari kemungkinan kerugian yang dialaminya dalam menkonsumsi suatu produk. Hal ini sejalan dengan ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, yang mengharapkan dapat menciptakan kegiatan usaha yang fair, tidak hanya bagi kalangan pelaku usaha melainkan secara langsung untuk kepentingan konsumen.

Bahwa perusahaan didirikan untuk mengelola sumber daya guna memenuhi kebutuhan manusia dengan memperoleh keuntungan. Namun perusahaan tersebut juga berdiri di tengah-tengah komsumennya, oleh karena itu perusahaan harus bertanggung jawab pada perlindungan konsumen dan tidak semata-mata untuk


(25)

mendapatkan keuntungan. Dengan demikian perusahaan harus mengimplimentasikan etika berusaha dalam hubungan antara perusahaan dengan konsumen.22

Pada hakikatnya, kepedulian dan tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat umum adalah untuk kepentingan perusahaan itu sendiri. Keuntungan tersebut yang diperloleh dari tanggung jawab dan kepedulian terhadap masyarakat umum dapat direalisasikan dengan bentuk kepercayaan publik yang kemudian bergerak ke arah pemetikan hasil dari kepercayaan publik tersebut.23

Pengaturan label halal dalam perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan ataupun melemahkan usaha dan aktifitas perusahaan, tetapi justru sebaliknya, sebab pengaturan lebel halal diharapkan mampu mendorong iklim dan persaingan usaha yang sehat, serta diharapkan dapat melahirkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan sehat melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas.24

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul: PENGATURAN PENGGUNAAN

DAN PENGAWASAN LABEL HALAL TERHADAP PRODUK MAKANAN PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN.

22

Sukanto Rebsohadiprojo M.Com at all, Pengantar Ekonomi Perusahaan, (Yogyakarta: BPFE, 1990), hal. 197

23

Lihat Arif Budiman, Op. Cit. hal. 15 24


(26)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka sebelumnya diinventarisasi dan diidentifikasi untuk menentukan mana yang perlu diteliti dan mana yang tidak, maka dapat dirumuskan masalah yang berhubungan dengan Pengaturan Penggunaan dan Pengawasan Label Halal terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan penggunaan label halal terhadap produk makanan? 2. Bagaimana pengawasan penggunaan label halal terhadap produk makanan? 3. Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran penggunaan label halal?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan penggunaan label halal terhadap produk makanan. 2. Untuk mengetahui pengawasan penggunaan label halal terhadap produk makanan. 3. Untuk mengetahui sanksi terhadap pelanggaran penggunaan label halal.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan hasil-hasil penelitian yang ada pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), penelitian mengenai Pengaturan Penggunaan dan Pengawasan Label Halal terhadap Produk Makanan Perspektif Perlindungan Konsumen ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan-permasalahan yang sama.


(27)

Jadi penelitian ini dapat disebut “asli”, karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisi yang sifatnya konstruktif sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

E. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapan memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perlindungan konsumen di Indonesia.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pengusaha, praktisi, dan seluruh konsumen, serta Majelis Ulama Indonesia yang berwenang menerbitkan sertifikasi label halal terhadap produk makanan, agar perlindungan konsumen dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Interaksi hubungan sosial kemasyarakatan tidak terlepas dari kepentingan, baik kepentingan yang sama maupun kepentingan yang berbeda. Dalam konteks kepentingan tersebut, sering terjadi pertentangan kepentingan yang pada akhirnya dapat melanggar hak-hak masyarakat lainnya. Hal ini juga dapat terjadi dalam kegiatan-kegiatan ekonomi, maka pada posisi ini dibutuhkan peraturan-peraturan untuk melindungi hak-hak setiap masyarakat.


(28)

Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit), dan kepastian hukum (rechtszekerheid).25 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice), selanjutnya Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah untuk melindungai diri dari kerugian” (the end of the justice to secure from the injury).26 Menurut GW Paton, hak yang diberikan oleh hukum ternyata tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi juga unsur kehendak (the element of will).27

Keadilan (adl) merupakan nilai paling asasi dalam ajaran Islam. Menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman adalah tujuan utama dari risalah para Rasul-Nya (QS 57:25). Keadilan sering kali diletakkan sederajat dengan kebajikan dan ketakwaan (QS 5:8). Seluruh ulama terkemuka sepanjang sejarah Islam menempatkan keadilan sebagai unsur paling utama dalam maqashid

syariah. ”Ibn Taimiyah menyebut keadilan sebagai nilai utama dari tauhid,

sementara Muhammad Abduh menganggap kezaliman (zulm) sebagai kejahatan yang paling buruk (aqbah al-munkar) dalam kerangka nilai-nilai Islam. Sayyid Qutb menyebut keadilan sebagai unsur pokok yarig komprehensif dan terpenting dalam semua aspek kehidupan”.28

25

Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosialogis, (Jakarta : Gunung Agung, 2002), hal. 85

26

Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, (Medan, Universitas Sumatera Utara, 2004), h. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, Adam Smith on Law, Vavariso University Law Review, Vol. 15, 1981, hal. 244

27

George Whitercross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, Second Edition, (London, Oxford University Press, 1951), hal. 221

28

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII Yogyakarta bekerjasama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 59


(29)

Dalam perkembangan masyarakat modern yang ditandai dengan revolusi industri, terjadi perkembangan yang pesat dengan teknologi dalam kehidupan masyarakat sehingga kemajuan usaha tidak cukup hanya dilakukan secara individual, melainkan sudah harus bekerja secara berkelompok.29 Dilain pihak, kemajuan dunia usaha tersebut juga diikuti dengan peningkatan produktifitas, yang justru pada satu sisi menguntungkan konsumen dan pada sisi lain merugikan konsumen.

Menguntungkan konsumen, karena konsumen dapat memilih produk yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya dari sejumlah variasi produk yang beredasr di pasar. Namun hal tersebut juga dapat merugikan konsumen jika perkembangan produktifitas produsen tidak diikuti dengan perkembangan pengaturan hukumnya serta penegakan hukumnya, sehingga konsumen kesulitan untuk memilih produk mana yang layak dan tidak layak untuk dikonsumsi, atau produk mana yang halal atau haram.

Pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh syari’at Islam. Bahan makanan dan minuman yang diharamkan syari’at Islam adalah; bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih dengan nama selain Allah (QS. Al-Baqarah : 173). Sedangkan minuman yang diharamkan adalah semua bentuk khamar dan/atau minuman berakohol (QS. Al-Baqarah : 219). Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik, ternetur, jatuh tertanduk, diterkam binatang buas dan yang disembelih untuk berhala

29

Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya di dalam Hukum Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 4


(30)

(QS. Al-Maidah : 3), jika hewan-hewan ini sempat disembelih dengan menyebut nama Allah sebelum mati, maka akan tetap halal kecuali diperuntukan bagi berhala.

Sesungguhnya pengaturan penggunaan label halal perspektif perlindungan konsumen memiliki dua fungsi sekaligus; Pertama, fungsi pengawasan terhadap produsen, Pengaturan penggunaan label halal tidak dimaksudkan untuk mematikan ataupun melemahkan produktifitas perusahaan, tetapi justru sebaliknya pengaturan lebel halal diharapkan mampu mendorong iklim persaingan usaha sehat dan melahirkan perusahaan yang tangguh melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas. Kedua, fungsi perlindungan hak-hak konsumen, kepedulian dan tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat adalah untuk kepentingan perusahaan itu sendiri yang diperloleh dari kepercayaan publik dan kemudian bergerak ke arah pemetikan hasil dari kepercayaan publik tersebut.

Berdasarkan hal di atas, maka kerangka teori yang diambil sebagai bagian dari penelitian ini adalah dengan menggunakan teori keadilan, dan halalan-thayyiban. Teori keadilan yang dimaksudkan dalam penelitian ini untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.30 Lebih jauh lagi, keamanan dan keselamatan konsumen juga diperuntukkan bagi keamanan dan keselamatan akidah konsumen dalam mengkonsumesi barang dan jasa. Demikian juga halnya dengan keamanan dan keselamatan lahiriah dan batiniah konsumen.

30

Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


(31)

Dalam Islam, hukum perlindungan konsumen mengacu kepada konsep halal dan haram,31 serta keadilan ekonomi, berdasarkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip ekonomi Islam.32 Aktifitas ekonomi Islam dalam perlindungan konsumen meliputi perlindungan terhadap zat, proses produksi, distribusi, tujuan produksi, hingga pada akibat menkonsumsi barang dan/atau jasa tersebut. Maka dalam ekonomi Islam, barang dan/atau jasa yang halal dari segi zatnya dapat menjadi haram, ketika cara memproduksi dan tujuan mengkonsumsinya melanggar ketentuan-ketentuan syara’.

Karena itu pula, tujuan konsumen muslim dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa bertujuan untuk mengabdi dan merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah SWT. Fuqaha’ memberikan empat tingkatan bagi konsumen, yakni:33

1. Wajib, mengkonsumsi sesuatu untuk menghindari dari kebinasaan, dan jika tidak mengkonsumsi kadar ini -padahal mampu- akan berdosa.

2. Sunnah, mengkonsumsi lebih dari kadar yang menghindarkan dari kebinasaan, dan menjadikan seorang muslim mampu shalat berdiri dan mudah berpuasa. 3. Mubah, sesuatu yang lebih dari sunnah sampai batas kenyang.

31

Terkait dengan makanan dan minuman, pada prinsipnya semua bahan makanan dan minuman adalah halal, kecuali yang diharamkan oleh syari’at Islam. Bahan makanan dan minuman yang diharamkan syari’at Islam adalah; bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih dengan nama selain Allah (QS. Al-Baqarah: 173). Sedangkan minuman yang diharamkan adalah semua bentuk khamar dan/atau minuman berakohol (QS. Al-Baqarah: 219). Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik, terbetur, jatuh tertanduk, diterkam binatang buas dan yang disembelih untuk berhala (QS. Al-Maidah: 3), jika hewan-hewan ini sempat disembelih dengan menyebut nama Allah sebelum mati, maka akan tetap halal kecuali diperuntukan bagi berhala.

32

Muhammad dan Alimin, Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam, (Yogyakarta : BPFE, 2004), hal. 132

33

Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab, Terjemahan Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Yakarta : Khalifa, 2008), hal. 138


(32)

4. Konsumsi yang melebihi batas kenyang. Dalam hal ini terdapat dua pendapat, salah satunya menyatakan makruh, dan yang lain menyatakan haram.

Secara etimologi, kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Sedangkan thayyib berarti makanan yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya, atau tercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengundang selera konsumennya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya, dalam Al-Quran, kata halalan selalu diikuti kata thayyib.34

Al-Qur’an menyebutkan tentang makanan thayyibãt dalam beberapa ayat, yakni (Al-Baqarah: 57, 168, 172), (Al-Ma’idah: 4, 5, 88), (Al-A’raf: 157, 160), (An-Nahl: 72, 114), (Al-Isra’: 70), (Al-Mu’minun: 51).

Makanan yang halalan dan thayyiban harus diterjemahkan lebih jauh lagi, yakni halalan dan thayyiban terhadap asal dan jenis bahan baku, campuran, proses pembuatan, pemasaran serta akibat dari menkonsumsi makanan tersebut.

2. Kerangka Konsepsi

Guna menghindarkan perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan ini, maka sangat dibutuhkan definisi konsepsional dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini terkait dengan pengaturan penggunaan dan pengawasan Label Halal perspektif perlindungan konsumen, yakni:

34

Aisjah Girindra, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta : LP POM MUI, 2005), hal. 20


(33)

Makan dan makanan, sesuatu yang dapat ditelan, dikunyah dengan memasukkannya melalui mulut.35 Sedangkan Halal berasal dari bahasa Arab yang berarti “melespaskan” dan “tidak terikat”, secara etimologi halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. 36

Pengaturan penggunaan produk halal di Indonesia, memiliki dua hal yang saling terkait, yaitu sertifikasi dan labelisasi. Sertifikasi halal merupakan pemeriksaan yang rinci terhadap produk makanan yang selanjutnya diputuskan dalam bentuk fatwa MUI. Sedangkan Sertifikat Fatwa Halal MUI adalah fatwa MUI terhadap produk makanan yang telah diperiksa oleh LP POM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika) MUI.37

Sedangkan labelisasi halal adalah perizinan pemasangan kata “HALAL” pada kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman label ”HALAL” pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan rekomendasi MUI dalam bentuk Sertikat Halal MUI. Sertifikat Halal MUI dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksaan LP POM MUI.38

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer, secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produser) setiap orang yang menggunakan barang. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia yang memberi arti kata

35

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976), hal. 622

36

Lois Ma’luf, Al-Munjid, (Beirut-Lebanon, Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1986), hal. 146

37

Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 69 38


(34)

consumer sebagai pemakai atau konsumen.39 Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan.40

Sedangkan perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri. Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.41

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa Yunani “methods” yang berarti jalan dan cara. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.42

39

Jhon M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1986), hal. 124

40

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 41

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 42

Koentjara Ningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta, Gramedia, 1997), hal.16


(35)

Penelitian43 dalam bahasa Inggris disebut “research”, yang berawal dari kata “re” yang berarti “kembali” dan “to search” yang berarti “mencari”, pada dasarnya yang dicari itu adalah “pengetahuan yang benar” untuk menjawab pertanyaan dan permasalahan yang didapatkannya lewat kegiatan berfikir dengan menggunakan logika yang ditempuh melalui prosedur penalaran.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal (doctrine research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam hukum (law as written in the book) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is it is decided by the judge through

judicial process).44

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisasi dan menganalisis teori-teori dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Maka

43

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Abad ke-20, (Bandung, Alumni, 1994), h. 96. Kata “penelitian” sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah “research” yang semula hanya digunakan untuk penelitian di bidang teknik dan ilmu alam. Kemudian istilah research juga mulai digunakan dalam ilmu ekonomi, ilmu sosial, dan terakhir dalam ilmu hukum serta politik.

44

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, (Medan, Fakultas Hukum USU, 2003), hal. 1


(36)

metode penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

2. Sumber Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi, teori, atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Dari sudut informasi, maka sumber data penelitian kepustakaan (library

research) dapat dikumpulkan atas tiga kelompok,45 yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.

b. Bahan hukum skunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek penelitian ini.46

45

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003), hal.17

46

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, (Jakarta, Ghalian Indonesia, 1982), hal. 24


(37)

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder, seperti kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.47

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan (library research) bertujuan untuk menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Sedangkan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang berhubungan dengan materi penelitian ini.

4. Analisis Data

Dalam analisis data akan dilakukan pemilihan pasal-pasal yang berisi ketentuan yang mengatur tentang pengaturan penggunaan dan pengawasan label halal perspektif perlindungan konsumen, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Data yang berupa peraturan tersebut akan dianalisis secara deduktif kualitatif agar sampai pada suatu kesimpulan akhir yang akan menjawab semua pokok permasalahan dalam penelitian ini.48

47

Soerjono Soenkanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 13

48

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 196


(38)

BAB II

PENGATURAN PENGGUNAAN LABEL HALAL TERHADAP

PRODUK MAKANAN

A. Tinjauan Atas Label Halal 1. Pengertian Halal

Salah satu ciri manusia sebagai mahluk hidup adalah adanya kebutuhan akan makan dan minum untuk keberlangsungan dan bertahan hidup. Namun konsumsi makanan dan minuman dimaksud di sini bukanlah semata-mata hanya pemenuhan hidup, tapi lebih dari itu pemenuhan gizi yang memiliki standar kesehatan bagi manusia itu sendiri. Disadari atau tidak, menyeleksi jenis-jenis makanan yang masuk ke dalam tubuh merupakan salah satu bentuk upaya mahluk hidup untuk bisa bertahan hidup pula. Secara insting tidak mungkin mahluk hidup akan sengaja memasukkan bahan beracun ke dalam tubuhnya, sehingga hidup mereka menderita.

Suatu benda atau perbuatan itu tidak terlepas dari lima perkara, yaitu halal, haram, syuhbat, makruh dan mubah. Terhadap barang yang halal secara mutlak kita disuruh oleh Allah untuk memakannya; sedang terhadap yang haram kita disuruh untuk menjauhinya. Karena makanan yang halal itu dapat menambah cahaya imam dan membuat terkabulnya doa.49

49

Imam Al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, (Surabaya : Putra Pelajar, 2002), hal. 9


(39)

Allah SWT dalam firman-Nya mengatakan bahwa :

Wahai sekalian manusia! makanlah sebagian dari makanan yarrg ada dibumi ini, yanghalal dan baikdanjanganlah kamu menuruti jejak langkah setan, sesungguhnya setan itu adalah musuh kamu yang nyata. "(QS. Al-Baqarah: 168) "Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu; dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu berirnan kepada-Nya. "(QS. Al-Maidah: 88).

Rasulullah saw pernah berkata kepada Sa'ad bin Abi Waqqash ra ” "Pilihlah makanan yang halal, niscahya doamu akan dikabulkan”.

Dari kedua ayat Al-Qur’an dan hadis tersebut di atas, maka adalah wajib bagi masyarakat muslim untuk menjaga kehalalan makanan yang akan dikonsumsinya. ”Sebelum mengkonsumsi setiap muslim harus sangat yakin (haqqul yaqin) mengenai kehalalannya”.50

Kata halal berasal dari bahasa Arab yang berarti “melespaskan” dan “tidak terikat”, secara etimologi halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. 51 Atau diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.

Sedangkan thayyib berarti makanan yang tidak kotor atau rusak dari segi zatnya, atau tercampur benda najis. Ada juga yang mengartikan sebagai makanan

50

Aisjah Girindra, Op cit, hal. 14 51


(40)

yang mengundang selera konsumennya dan tidak membahayakan fisik serta akalnya, dalam Al-Quran, kata halalan selalu diikuti kata thayyib.52

Makanan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.53

Makanan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman.54

Sedangkan produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan.55

Secara umum ada tiga katagori makanan yang dikonsumsi manusia, yakni; nabati, hewani, dan produk olahan. Makanan yang berbahan nabati secara keseluruhan adalah halal, dan kerena itu boleh dikonsumsi kecuali yang mengandung

52

Aisjah Girindra, Op cit, hal.20 53

Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan 54

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan 55


(41)

racun, bernajis, dan/atau memabukkan. Sedangkan makanan yang berasal dari hewani terbagi dua, yaitu hewan laut yang secara keseluruhan boleh dikonsumsi dan hewan darat yang hanya sebagian kecil saja yang tidak boleh dikonsumsi. Sementara itu kehalalan atau keharaman makanan olahan sangat tergantung dari bahan (baku, tambahan, dan/atau penolong) dan proses produksinya.56

Produk makanan halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syari’at Islam, yakni:57

6. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.

7. Tidak mengadung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran dan lain sebagainya.

8. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari’at Islam.

9. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah dipergunakan untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara syari’at Islam. 10. Semua makanan dan minuman yang tidak mengadung khamar.

Maka, secara umum makanan dan minuman yang aram terdiri dari hewan, tumbuh-tumbuhan adalah sebagai berikut:

56

Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 24 57

Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal, (Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2008), hal. 2. Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 123. Lihat juga Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, (Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), hal. 7


(42)

1. Hewan: bangkai, darah, babi dan hewan yang disembelih dengan nama selain Allah.58 Hewan yang dihalalkan akan berubah statusnya menjadi haram apabila mati karena tercekik, ternetur, jatuh tertanduk, diterkam hewan buas dan yang disembelih untuk berhala,59 kecuali ikan dan belalang boleh dikonsumsi tanpa disembelih. Hewan yang dipandang jijik atau kotor menurut naluri manusia.60 Hewan dan burung buas yang bertaring dan memiliki cakar, hewan-hewan yang oleh ajaran Islam diperintahkan membunuhnya seperti ular, gagak, tikus, anjing galak dan burung elang dan sejenisnya, hewan-hewan yang dilarang membunuhnya seperti semut, lebah, burung hud-hud, belatuk, hewan yang hidup di dua jenis alam seperti kodok, penyu, buaya.61

2. Tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran dan buah-buahan boleh dimakan kecuali yang mendatangkan bahaya atau memabukkan baik secara langsung maupun melalui proses. Maka semua jenis tumbuh-tumbuhan yang mengandung racun atau yang memabukkan haram dimakan.62

3. Semua jenis minuman adalah halal kecuali minuman yang memabukkan seperti arak dan yang dicampur dengan benda-benda najis, baik sedikit maupun banyak.63

58

QS. Al-Baqarah : 173 59

QS. Al-Maidah : 3 60

QS. Al-A’raf : 157. Lebih lanjut lihat dalam Imam Al-Ghazali, Penyunting Ahmad Shiddiq, Benang Tipis antara Halal dan Haram, (Surabaya, Putra Pelajar, 2002), hal. 119

61

Departemen Agama RI, Op. Cit, hal. 9-11 62

Ibid, hal. 12 63


(43)

Adapun hal-hal yang diharamkan dalam makanan adalah sebagai berikut : a. Bang

Al-Qur'an ialah bangk

mbelih, dan yang

apa ynag dipotong dari hewan hidup

angkai. "(HR. Abu Dawud dan Thrmudzi

tersebut diatas, maka bangkai yang ada di bawah

tuh ke dalam sesuatu dan mati di sana, maka tidaklah menyebabkan bernajis.

kai

Pertama. kali haramnya makanan yang disebut dalam ai, sebagaimana yang tertera dalam surat al-maidah ayat 3:

"Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena dicekik, yang mati karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang (mafi) karena dimakan oleh hewan buas kecuali yang dapat kamu se

disembelih untuk berhala. "(QS. Al-Maidah ayat 3)

Bangkai yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa ada suatu usaha manusia yang memang sengaja di sembelih menurut ketentuan agama atau dengan berburu. Termasuk dalam hal ini yaitu

, berdasarkan hadits Abu Waqid al-Laitsi:

"Telah bersabda Rasulullah saw, "Apa yang dipotorlgdari hewan ternak, sedang ia masih hidup, adalah b

dan diakui sebagi hadits Hasan) Dikecualikan dari bangkai ini adalah halal untuk dimakan: 1) Bangkai ikan dan belalang;

2) Bangkai hewan dan tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika ia ja


(44)

3) Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit serta apa yang sejenis dengan itu hukumnya suci, karena asalnya semua ini adalah suci dan tak ada dalil mengatakan najis.

Sesuatu yang dilarang atau diharamkan dalam agama, khususnya dalam agama Islam pasti ada hikmahnya. Diantara hikmah diharamkannya bangkai adalah sebagai berikut :64

1) Naluri manusia yang sehat pasti tidak akan makan barrgkai dan diapun kan menganggapnya kotor. Para cerdik cendikia di kalangan mereka pasti akan beranggapan, bahwa makan bangkai itu adalah suatu perbuatan yang rendah yang dapat menurunkan moral manusia. Oleh karena itu seluruh agama Samawi memandangnya bangkai itu suatu makanan yang haram. Mereka tidak boleh makan kecuali yang disembelih, sekalipun berbeda cara menyembelihnya.

2) Supaya setiap muslim suka membinasakan bertujuan berkehendak dalam seluruh hal, sehingga tidak ada seorang muslimpun yang memperoleh sesuatu atau memetik buah melainkan setelah dia mengkongkritkan niat, tujuan dan usaha untuk mencapai apa yang dimaksud. Begitulah, maka arti menyembelih yang dapat mengeluarkan hewan dari kedudukannya sebagai bangkai tidak lain adalah bertujuan untuk merenggaut jiwa hewan karena hendak memakannnya.

3) Hewan yang mati dengan sendirinya, pada umumnya mati karena suatu sebab; mungkin karena penyakit yang mengancam, atau karena sesuatu sebab mendadak, atau karena makan tumbuh-tumbuhan yang rnengandung racun dan lain sebagainya. Kesemuanya ini tidak dapat dijamin untuk tidak membahayakan. Contohnya seperti hewan yang mati karena sangat lemah ka-rena keadaannya yang tidak normal.

4) Allah mengharamkan bangkai kepada kita ummat manusia, berarti dengan ia telah memberi kesempatan kepada hewan atau burung untuk memakannya sebagi tanda kasih sayang Allah ke pada hewan atau burung-burung tersebut. Karena hewanhewan itu adalah makhluk seperti juga manusia.

5) Agar manusia selalu memperhatikan hewan-hewan yang dimilikinya, tidak membiarkan begitu saja hewannya itu diserang oleh sakit dan kelemahan sehingga mati dan hancur. Tetapi dia harus segera memberikan pengobatan atau mengistirahatkan.

64


(45)

b. A l - M u n k h o n i q o h

Al-Munkhoniqoh adalah hewan yang mati karena dicekik, baik dengan cara

menghimpit leher hewan tersebut ataupun meletakkan kepala hewan pada tempat yang sempit dan sebagainya sehingga hewan tersebut mati. Hewan yang demikian ini disebut bangkai. Sekalipun bangkai itu dari hewan yang halal, kalau matinya dicekik maka diharamkan untuk memakannya.

c. A l - M a u q y u d z a h

Al-Mauquudzah adalah bianatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan

sebagainya. Hewan yang mati karena di pukul dengan tongkat ini dinamakan bangkai.

d. Al-Mutariddiyah

Al-Mutariddiyah adalah hewan yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga

mati. Misalnya hewan yang jatuh ke dalam sumur. e. An-Nathihah

Al-Nathihah adalah hewan yang baku hantam antara satu dengan yang lain,

sehingga mati. Hewan An-Natihah ini adalah termasuk bangkai. f. Mas Akalas Sabu'u

Mas akalas sabu'u adalah hewan yang disergap oleh hewan dengan dimakan

sebagian dagingnya sehingga mati. Hewan yang mati karena oleh hewan buas ini termasuk bangkai.


(46)

g. Darah yang mengalir

Darah yang mengalir adalah termasuk makanan yang diharamkan untuk mamakannya. Ibnu Abbas pernah ditanya tentang limpa (thihal), maka jawab beliau: Makanlah? Orang-orang kemudian berkata: Itu kan darah. Maka jawab Ibnu Abbas: Darah yang diharamkan atas kamu hanyalah darah yang mengalir. h. Daging Babi

Daging babi adalah merupakan makanan yang diharamkan dalam Islam. Menurut penyelidikan para ilmuwan, bahwa daging babi itu sangat berbahaya karena salah satu sebab timbulnya cacing pita yang dapat berbahaya.

Pemanfaatan babi hukumnya haram, baik atas daging, lemak, maupun bagian-bagian lainnya. Firman Allah SWT dalam (QS 5:3) mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging babi. Demikian juga dengan firman-Nya dalam (QS 6:145 dan 16:115), mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging babi. Dalil- dalil pada beberapa ayat ini merupakan nash yang jelas, yang menegaskan tentang keharaman, antara lain mengkonsumsi babi. Al-quran menggunakan kata lakhma (daging) karena sebagian besar pengambilan manfaat dari babi adalah daging. Selain itu, dalam daging babi selalu terdapat lemak. Kendati Al-Quran menggunakan kata lakhma, pengharaman babi bukan hanya dagingnya. Tetapi seluruh tubuh hewan babi. Pandangan ini sesuai dengan kaidah usul fiqh: min

dzikri'l juz i wa iradati'l kulli. Artinya yang disebut sebagian dan

dikehendaki keseluruhannya.65

i. Hewan yang disembelih bukan karena Allah

Hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, misalnya dengan menyebut nama berhala. Kaum penyembah berhala (Wat saniyyin)dahulu apabila hendak menyembelih hewan, mereka sebut nama-nama berhala mereka seperti Lataa dan ‘Uzza. Ini

65


(47)

berarti suatu taqarrub (mendekatkan diri) kepada selain Allah dan menyembah kepada selain asma Allah yang Maha Besar.

Penyembelihan merupakan syarat kehalalan konsumsi daging hewan. Dalam fiqih penyembelihan diistilahkan sebagai al-dzakah, yang berarti al-tathayyub (bersih atau membersihkan). Misalnya, udara itu thayyib atau bersih. Diartikan dengan penyembelihan disebabkan kebolehan syariat menjadikannya bersih. Selain itu, ada pula yang mengartikan sebagai tatmin (sempurna). Dengan demikian, penyembelihan adalah menyembelih hewan dengan memotong

hulqun (jalan pernapasan) atau mariah (jalan makanan dan minuman). Adapun

syarat sahnya penyembelihan adalah sebagai berikut:66

1) Penyembelih haruslah Muslim, yang sempurna akalnya dan mengetahui syarat-syarat penyembelihan. Maka sembelihan orang yang tidak sadarkan diri (seperti mabuk, gila, dan sebagainya), dan anak-anak yang belum

mumayyiz tidak halal dimakan.

2) Menggunakan pisau yang tajam.

3) Memotong trachea (saluran nafas), osephagus (saluran makanan), arteri, dan

venajugalaris (arteri dan vena besar di leher).

4) Menyebut nama Allah SWT.

Dalam penyembelihan disunnahkan untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat, seraya merebahkannya ke sebelah kiri, dan membaca shalawat nabi.

66


(48)

j. Khamar (alkohol)

Masyarakat Arab memiliki kebiasan memproduksi dan mengkonsumsi khamar (air api). Namun demikian, kebiasaan ini berangsur-angsur mereka tinggalkan semenjak Allah SWT menegaskan berbagai dampak buruk khamar yang dapat menguras harta benda dan merusak akal sehat, seperti tertuang dalam QS An-Nahl : 67, yang menyatakan "Dan dari buah kurma dan anggur, bisa kamu buat minuman memabukkan dan rizki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian ini terdapat tanda-tanda kebesaran Allah SWT bagi orang-orang yang memikirkan". Umar ra. menangkap pesan ayat itu dalam konteks realitas masyarakatnya. Ia kemudian berdoa: "ya Allah, jelaskan kepada hambaMu ini secara tuntas tentang khamar, karena ternyata khamar selain menguras harta juga merusak akal". Allah SWT menjawab pertanyaan Umar melalui wahyu-Nya kepada Rasulullah SAW dengan paparan objektif: setitik nikmat minuman keras, menimbulkan malapetaka (dosa) besar. Meski demikian Allah belum memberikan keputusan final. Tampaknya manusia masih diberi kesempatan untuk membuktikan sendiri dampak buruk khamar. Maka Allah berfirman : "Mereka bertanya kepadamu mengenai khamar dan judi, Katakanlah, pada yang deinikian itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya ”.

Produksi dan konsumsi khamar jalan terus. Umar belum puas dan kembali berdoa. Kemudian turun wahyu kepada Rasulullah SAW (QS An Nisaa: 43) yang bermaksud mempersempit waktu konsumsi khamar. "Hai orang-orang


(49)

yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan".

Umar ra. masih belum puas. Sebelum ada keputusan final, ayat itu bisa diberi kesimpulan terbalik (konklusi resiprokal), yakni boleh mabuk diluar waktu shalat. Umar pun kembali berdoa, lantasturun wahyu kepada Rasulullah SAW (Al Maidah : 90-91), yang menyatakan, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan". Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, supaya kamu beruntung. Sesungguhnya setan bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran minum khamar dan berjudi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah SWT dan melakukan shalat, maka berhentilah kamu (mengerjakan hal itu).

Dalam salah satu Mudzakarah Nasional yang diselenggarkan oleh LP POM MUI pada tanggal 30 September dan 10 ktober 1993 di Jakarta, diperoleh kesepakatan mengenai status hukum minuman beralkohol. Meminum minuman beralkohol, sedikit atau banyak hukumnya haram. Demikian pula dengan kegiatan memproduksi, mengedarkan, memperdagangkan, membeli, dan menikmati hasil atau keuntungan dari perdagangan minuman beralkohol.67

67


(50)

2. Tinjauan Atas Label Halal

Label dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.68

Maka, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Label dimaksud tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.69

Label pangan tersebut sekurang-kurangnya memuat keterangan:70 1. Nama produk

2. daftar bahan yang digunakan; 3. berat bersih atau isi bersih;

4. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;

5. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa

Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut

68

Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan 69

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan 70


(51)

dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Label.71

Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal pada produk makanan, PP Nomor 69 Tahun 1999 mensyaratkan setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan pangan tersebut dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.72

Berdasarkan Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan, disepakati bahwa produk makanan dan minuman yang beredar dapat dinyatakan halal atas dasar Fatwa dari MUI, setelah melalui serangkaian pemeriksaan (audit) di lokasi produsen dan pengujian laboraturium dengan secara seksama.73

Maka, berdasarkan PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada

71

Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan 72

Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan 73

Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan


(52)

Makanan, MUI memiliki kewenangan secara yuridis untuk menerbitkan Fatwa MUI tentang kehalalan suatu produk makanan atau disebut dengan Sertifikasi Halal MUI.

Pengaturan penggunaan produk halal di Indonesia, memiliki dua hal yang saling terkait, yaitu sertifikasi dan labelisasi. Sertifikasi Halal adalah Fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syari’at Islam melalui pemeriksaan yang rinci oleh LP POM MUI. Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan izin pencantuman Label Halal pada kemasan produk dari instansi Pemerintah yang berwenang (Badan POM).74

Sedangkan labelisasi halal adalah perizinan pemasangan kata “HALAL” pada kemasan produk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman ”LABEL HALAL” pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan rekomendasi MUI dalam bentuk Sertikat Halal MUI. Sertifikat Halal MUI dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasil pemeriksaan LP POM MUI.75

Namun, PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan peraturan perundang-undangan lainnya belum mewajibakan dan mensyaratkan lLabel Halal bagi produk pangan kemasan yang beradar di Indonesia. Pengaturan tersebut hanya berlaku bagi produsen yang menyatakan bahwa produk makanannya halal bagi umat Islam.

Padahal jika ditinjau dari pengaturan hak-hak konsumen dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, bahwa konsumen memiliki hak untuk mendapatkan

74

Aisjah Girindra, Op. Cit, hal. 69 75


(53)

informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Terkait dengan hal tersebut, maka produsen berkewajiaban untuk memberikan informasi kepada konsumennya bahwa produk makanan tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi umat Islam.

Terkait dengan keselamatan konsumen muslim, baik secara akidah, rohaniah maupun jasmaniah, dalam mengkonsumsi produk makanan sangat bergantung pada informasi produk makanan tersebut. Maka informasi yang menyesatkan konsumen muslim tentang kehalalan produk makanan akan merusak keselamatan akidah, rohaniah dan jasmaniah konsumen muslim tersebut.

Hal ini pulalah yang mengaharuskan produk makanan kemasan memiliki label, baik Label Halal untuk dikonsumsi umat Islam maupun Label Haram untuk dikonsumsi umat Islam. Karena sesungguhnya antara halal dan haram harus jelas, maka produk makanan juga harus memiliki kepastian hukum apakah produk makanan tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi umat Islam.

Konsumen dalam ekonomi Islam tidak semata-mata hanya untuk mengkonsumsi kebendaan yang didasarkan pada rasionalisme semata, tetapi juga konsumen untuk kerohanian,76 sosial, dan lingkungan.77 Allah SWT memerintahkan kepada ummatnya, dalam hal ini konsumen, untuk mengkonsumsi makanan yang

76

Rasionalisme dalam Islam tidak hanya didasarkan pada dorongan akal, tetapi juga pada nila-nilai keilahian yang akan memudahkan konsumen untuk mencari dan mendapatkan kebenaran tentang produk yang dapat dikonsumsi. Azhari Akmal Tarigan, dkk, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Bandung : Citapustaka, 2006), hal. 279

77

Muhammad Muflih, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 16


(54)

baik, halal dan bermanfaat bagi manusia,78 juga memanfaatkan segala anugerah-Nya79 sebagai wujud ketaatan kepada-Nya.80

Sumber hukum perlindungan konsumen dalam Islam, praktis sama persis dengan sumber hukum Islam yang diakui oleh mayoritas ulama (jumhur ulama), yakni; Alqur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Alqur’an dan Sunnah dapat berdiri sendiri sebagai dalil hukum, sedangkan Ijma’ dan Qiyas tidak dapat berdiri sendiri sebagai dalil hukum, karena proses Ijma’ dan Qiyas harus berdasarkan kepada dalil penyandaran dari Al-Qur’an dan Sunnah.81

B. Hak-Hak Konsumen Atas Kehalalan Produk Makanan

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan erat dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen dimaksud untuk menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban konsumen tersebut.

Presiden Jhon. F. Kennedy dalam pidatonya dihadapan kongres pada tahun 1962 menyebutkan, ada 4 (empat) hak konsumen yang perlu dilindungi,82 yaitu:

78

QS 2:172; 5:4,5; 16:114; 23:51 79

QS 7:32 80

QS 2:35; 2:168 81

Wahbah al-Zuhailiy, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Beirut : Dar al-Fikri, 1986), Jilid I, hal. 558 82

Bismar Nasution, Op. Cit, h. 121. Lihat juga Mariam Darus Badrul Zaman, Op. Cit, h. 5. Lihat juga Shidarta, Op. Cit, hal.16


(55)

1. Hak memperoleh keamanan (the right to safety). Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap pemasaran barang dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Dalam rangka penggunaan hal ini pemerintah mempunyai peranan dan tanggung jawab yang sangat penting. Berbagai bentuk perundang-undangan harus ada dan telah dibentuk untuk penanggulangannya. Sekalipun dibanding dengan meningkatnya produksi, karena pembangunan ribuan jenis barang dan/atau jasa dirasakan peraturan untuk menjaga keselamatan dan keamanan tersebut masih kurang.83

2. Hak memilih (the right to choose). Hak ini bagi konsumen sebenarnya telah ditujukan pada apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkannya. Oleh karena itu tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor diluar diri konsumen.84

3. Hak mendapat informasi (the right to be informed). Hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen bila dilihat dari sudut kepentingan / kehidupan ekonominya. Setiap keterangan mengenai sesuatu barang yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan

83

Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Yudika, Fakultas Hukum UNAIR, 1992, hal. 49

84 Ibid


(56)

dengan penuh kejujuran, informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakai bersama untuk tidak menyesatkan.85

4. Hak untuk didengar (the right to be heard). Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk didalamnya turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut.86

Pidato Jhon F. Kennedy tersebut menjadi inspirasi Perserikatan Bangsa-bangsa, sehingga PBB mengeluarkan resolusi Nomor 39/248 Tahun 1984 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) yang merumuskan enam kepentingan konsumen yang harus dilindungi, meliputi:

1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan kemanannya; 2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

4. Pendidikan konsumen;

5. Tersedianya ganti rugi yang efektif;

6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk

85

Ibid, hal. 50 86


(1)

3. Sementara menunggu terbitnya peraturan perundang-undangan yang secara khusus terkait dengan Label Halal, maka pengaturan tentang sanksi atas penyalahgunaan Label Halal harus diterapkan berdasarkan hukum lain yang berkaitan dengan Label Halal, seperti undang Pangan, Undang-undang Perlindungan Konsumen, dan PP tentang Label dan Iklan Pangan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. Kitab Suci

Al-Qur’anul Karim

B. Buku

Al-Daruquthni, Imam, Sunan, (Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996)

Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab, Terjemahan Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta, Khalifa, 2008)

Al-Ghazali, Imam, Penyunting Ahmad Shiddiq, Benang Tipis antara Halal dan Haram, (Surabaya, Putra Pelajar, 2002)

Ali,Ahmad, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosialogis, (Jakarta, Gunung Agung, 2002)

Al-Shan’ani, Al-Imam Muhammad, Subul al-Salam, (Mesir, Maktabah Zahran, tt) Al-Zuhailiy, Wahbah, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Beirut, Dar al-Fikri, 1986), Jilid I,

hal. 558

Asshiddiqie, Jimmly, Undang-undang Daar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya, (Jakarta, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 1998)

Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2005)

Budiman, Arif, Corporate Social Responsibility, Jawaban Bagi Model Pembangunan Indonesia Masa Kini, (Jakarta, ICSD, 2003)

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (St. Paul, Minn, West Publishing Co. 1990)

Cormick, Neil Mac, Adam Smith on Law, Vavariso University Law Review, Vol. 15, 1981


(3)

Dann, D.L. Strict Liability Indonesia The USA, dalam Aviation Products and grauding Liability Syimposium, (London, The Royal Acrunautical Sociaty, 1972)

Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal, (Jakarta, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2008)

Departemen Agama RI, Buku Pedoman Strategi Kampanye Sosial Produk Halal, (Jakarta, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003)

Departemen Agama RI, Panduan Sertifikasi Halal, (Jakarta, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2008)

Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, (Jakarta, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), hal. 7

Dj. A. Simarmata, Reformasi Ekonomo Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Kajian Ringkas dan Interpretasi Teoritis, (Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, 1998)

Echols, Jhon M. dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta, Gramedia, 1986)

Fuady, Munir, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya di dalam Hukum Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002)

Girindra, Aisjah, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal, (Jakarta, LP POM MUI, 2005)

Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997)

Hartono, C.F.G. Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Abad ke-20, (Bandung, Alumni, 1994)

Keating, Michael, Bumi Lestari Menuju Abad 21, (Jakarta, Kopalindo, 1994) Muhammad dan Alimin, Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan


(4)

Ma’luf, Lois, Al-Munjid, (Beirut-Lebanon, Dar El-Machreq Sarl Publisher, 1986) Mannan, M.A. Islamic Economics, Theory and Practice, (Delhi, Idarah-I

Adabiyat-I Delli, 1980)

Meliala, Adrianus, Praktik Bisnis Curang , (Jakarta, Pustaka Sinar harapan, 1993) Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta,

PT. Raja Grafindo Persada, 2004)

Muflih, Muhammad, Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006)

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis di Era Global, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002)

Musselman, Vernon A. dan Jhon H. Jackson, Introduction to Modern Business, diterjemahkan oleh Kusma Wiriadisastra, (Jakarta, Erlangga, 1992) Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, (Jakarta, Diadit

Media, 2002)

Nasution, Bismar, Keterbukaan dalam Pasar Modal, (Jakarta, UI, 2001)

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, (Medan, Universitas Sumatera Utara, 2004)

Ningrat, Koentjara, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta, Gramedia, 1997)

Paton, George Whitercross, A Text-Book of Jurisprudence, Second Edition, (London, Oxford University Press, 1951)

Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Pencantuman Label Halal pada Makanan

Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1976)

Purwadi, Ari, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, (Majalah Yudika, Fakultas Hukum UNAIR, 1992)


(5)

Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993)

Rebsohadiprojo Sukanto, at all, Pengantar Ekonomi Perusahaan, (Yogyakarta, BPFE, 1990)

Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta, Universitas Indonesia, 2004)

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, Grasindo, 2000) Sirait, Ningrum Natasya, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan,

Pustaka Bangsa Press, 2003)

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995)

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penemuan Hukum, (Jakarta, Ghalian Indonesia, 1982)

Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta, 1996) Sofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya,

(Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003)

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998)

Sumarni, Murti dan Jhon Suprihanto, Pengantar Bisnis, Dasar-dasar Ekonomi Perusahaan, (Yogyakarta, Liberty, 1987)

Swastia, Basu, Manajemen Modern, (Yogyakarta, Liberty, 1997)

Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003)

Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati (Penyunting), Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung, Mandar Maju, 2000)

Tarigan, Azhari Akmal, dkk, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Bandung, Citapustaka, 2006)


(6)

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Gramedia, 2003)

Wiradipraja, Endang Saefullah, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, (Bandung, Eresco, 1991)

Zaman, Mariam Darus Badrul, Pembentukan Hukum Nasional Dan Pernmasalahannya; Kumpulan Karangan, (Bandung, Alumni, 1981)

C. Undang-undang

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan

D. Majalah, Media Massa dan Jurnal

Lihat Jurnal Halal, Babi dalam Menu Hotel, LP POM MUI Edisi Nomor 65 Tahun XI 2007.

Jurnal Halal, Zona Halal untuk Melindungi Masyarakat, LP POM MUI Edisi Nomor 70 Tahun XI 2007.

Jurnal Halal, Susu Formula Bermasalah, Halal Jangan Dilupakan, LP POM MUI Edisi Nomor 71 Tahun XI 2007.

Jurnal Halal, Menyorot Kosmetika, 97% Tidak Jelas Kehalalannya, LP POM MUI Edisi Nomor 73 Tahun XI 2007.

Jurnal Halal, Memberi Makna Tradisi Lebaran, Berlebaran dengan Hidangan Enak dan Halal, LP POM MUI Edisi Nomor 74 Tahun XI 2007.