Analisis Dan Implementasikebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Riau Terhadap Hutan (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Indonesia dikaruniai sebagai salah satu hutan tropis yang paling luas dan
paling kaya akan keanekaragaman hayati di dunia. Puluhan juta rakyat Indonesia
mengandalkan hidup dan mencari mata pencaharian dari hutan, baik dari
mengumpulkan berbagai jenis hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup
maupun yang bekerja pada sektor industri pengolahan kayu. Hutan tropis
Indonesia merupakan habitat flora dan fauna yang kelimpahannya tidak
tertandingi dengan negara lain. Bahkan sampai sekarang hampir setiap ekspedisi
ilmiah yang dilakukan hutan Indonesia selalu menghasilkan penemuan species –
species yang baru.
Seratus tahun yang lalu Indonesia masih memiliki hutan yang melimpah.
Pohon – pohonnya menutupi 80 sampai 95 persen dari luas lahan total. Tutupan
hutan total pada waktu itu diperkirakan sekitar 170 juta Hektar. Saat ini, tutupan
hutan sekitar 98 juta Ha, dan paling sedikit setengahnya diyakini sudah
mengalami degradasi akibat kegiatan manusia. Tingkat deforestasi makin
meningkat, Indonesia kehilangan sekitar 17 persen hutannya pada periode tahun
1985 dan 1997. Rata – rata negara kehilangan sekitar satu juta hektar hutan setiap
tahun pada tahun 1980-an dan sekitar 1,7 juta per tahun pada tahun 1990-an. Sejak


1

tahun 1996, deforestasi tampaknya malah meningkat lagi sampai sekitar 2 juta ha
per tahun. 1
Pada tingkatan ini, seluruh hutan dataran rendah Indonesia yang paling
kaya akan keanekaragaman hayati dan berbagai sumber kayu akan lenyap dalam
dekade mendatang. Banyak sekali ancaman terhadap hutan Indonesia, mulai dari
berbagai kegiatan pembalakan skala besar oleh perusahaan industri perkebunan
sampai skala kecil oleh kalangan petani. Pembalakan illegal terhadap hutan
dilakukan oleh setiap tingkatan masyarakat mulai dari petani, pejabat pemerintah
nasional maupun lokal, para pengusaha industri bahkan militer.
Di Indonesia, hampir seluruh hutan merupakan milik negara dan secara
administrasi lahan – lahan hutan ini dipetakan secara akurat oleh pemerintah
berdasarkan penggunaan dan fungsinya. Departemen Kehutanan bertanggung
jawab atas kawasan hutan yang berstatus permanen, yaitu hutan – hutan yang
telah dialokasikan sebagai hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi
terbatas atau hutan produksi. Meskipun demikian, defenisi – defenisi pemanfaatan
hutan secara administratif ini sering tidak sesuai dengan tutupan hutan yang
sebenarnya. 2

Kondisi hutan Indonesia yang mengawatirkan tersebut disebabkan oleh
sistem politik dan ekonomi yang korup, yang beranggapan bahwa hutan sebagai
sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik maupun
pribadi. Perkembangan industri yang berkaitan dengan hutan dan perkebunan di
1

Restu Achmaliadi. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia : Forest Watch Indonesia. Hal 6.
Ibid. Hal 17.

2

2

Indonesia terbukti sangat menguntungkan, hal ini bermula di masa Orde Baru
dimana regulasi terkait Hak Pengusahaan Hutan (HPH) begitu menguntungkan
para pemodal.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan di
dalam suatu kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil
hutan, berdasarkan ketentuan–ketentuan yg berlaku serta berdasarkan azas

kelestarian. HPH diberikan Izin pengusahaan oleh pemerintah untuk kegiatan
tebang pilih di hutan-hutan alam selama periode tertentu, umumnya 20 tahun, dan
diperbarui untuk satu periode selanjutnya, umumnya 20 tahun lagi. Izin HPH ini
semula dimaksudkan untuk tetap mempertahankan hutan sebagai kawasan hutan
produksi permanen. 3
Halini juga dibarengi dengan kebijakan pembangunan hutan di Indonesia
di awali pada tahun 1957 yang ditandai dengan keluarnya peraturan pemerintah
Nomor 64 tahun 1957 tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada
Daerah Swatantra Tingkat I. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dana untuk
pembangunan pemerintah mengeluarkan Undang – Undang No. 1 tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing dan Undang – Undang No. 6 tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam negeri. Setelah Undang – Undang tersebut disahkan,

3
Lihat blog http://artidefinisimakna.blogspot.co.id/2011/10/pengertian-hak-pengusahaan-hutan-hph.html (di
akses pada tanggal 08 nov 16)

3

para pemilik modal banyak menanamkan modalnya di Indonesia dengan tujuan

bisnis. 4
Pada saat rejim “Orde Baru” mulai berkuasa pada akhir tahun 1960-an,
para perencana ekonomi mengambil langkah – langkah taktis untuk membangun
perekonomian yang pada saat itu lemah menjadi membaik dengan menciptakan
kerangka legal yang membuat perusahaan swasta untuk melakukan eksploitasi
besar – besaran terhadap hutan tanpa memikirkan akibatnya. Hutan Sumatera dan
Kalimantan merupakan targetan utama dalam hal eksploitasi tersebut dimana
kondisi kedua hutan tersebut memiliki pasokan spesies pohon yang bernilai tinggi.
Indonesia adalah produsen utama kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis,
pulp dan kertas, disamping beberapa hasil perkebunan seperti kelapa sawit, karet
dan coklat. Pertumbuhan ekonomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan
hutan secara berkelanjutan atau hak – hak lokal. Lonjakan pembangunan
perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit juga merupakan penyebab dari
deforestasi. Hal ini dikarenakan hampir 7 juta ha hutan sudah dikoversi menjadi
perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 sampai tahun 1997. 5
Pada pertengahan tahun 1980-an, pemerintah meluncurkan sebuah rencana
ambisius untuk membangun kawasan yang luas untuk hutan tanaman industri
yang tumbuh cepat (Hutan Tanaman Industri – HTI), khususnya di Sumatera dan
Kalimantan. Program ini pada awalnya sebagai rencana untuk menyediakan
pasokan tambahan kayu yang berasal dari hutan – hutan alam, melakukan

4

Lihat blog Mukti Ali https://mukti-ali.blogspot.co.id (di akses pada tanggal 08 nov 16)
Opcit. Keadaan Hutan Indonesia Hal 25

5

4

rehabilitasi lahan yang terdegradasi dan mempromosikan konservasi alam. Untuk
mencapai tujuan tersebut, para pengusaha HTI menerima berbagai subsidi
pemerintah.
Peraturan pemerintah pada saat itu jelas menyatakan bahwa HTI hanya
diberikan untuk kawasan hutan permanen nonproduktif dan tidak akan diberikan
di kawasan yang sudah berada di bawah sebuah HPH. Namun pada kenyataannya,
konsesi HTI sering dibangun di lahan hutan yang masih produktif.
Secara umum, hutan sangat berperan dalam membantu umat manusia.
Diantaranya seperti mengatur tata air, mencegah banjir, mencegah abrasi air laut,
mengendalikan erosi, memelihara kesuburan dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
sudah seharusnya hutan menjadi salah satu yang harus dimiliki dan dijaga oleh

negara, bukan malah negara menjadi alat penghancur terhadap hutan. Namun
seiring berjalannya waktu dan tingkat kebutuhan akan lahan yang terus
meningkat, mendorong baik individu maupun kelompok melakukan eksploitasi
hasil hutan secara berlebihan serta tidak memperhatikan kelestariannya. Salah satu
pelanggaran yang dilakukann dan sangat sering diperbincangkan adalah maraknya
pembakaran hutan secara liar.
Kebakaran hutan Indonesia di mulai pada masa pemerintahan Soeharto, di
mana begitu tingginya hasrat akan pengelolahan hutan secara massif. Praktek
kebakaran hutan tersebut meninggalkan akumulasi limbah pembalakan yang luar
biasa di dalam hutan. Tingkat kerusakan yang terjadi akibat kebakaran hutan
secara langsung berkaitan dengan degradasi hutan. Kebakaran hutan Indonesia di

5

masa kepemimpinan Soeharto sering terjadi bahkan sampai pada pemerintahan
sekarang ini kita dapat merasakan kebakaran – kebakaran hutan yang dilakukan
oleh pihak koorporasi yang mendapatkan izin untuk mengelolah hutan produksi
dan membuka lahan perkebunan.
Sekarang ini Indonesia berada di persimpangan jalan, di mana sebagian
besar sumber daya alamnya mengalami kehancuran. Jatuhnya rejim orde baru

mengawali langkah baik dalam pengimpelementasi kebijakan otonomi daerah
yang pada intinya melakukan desentralisasi berbagai fungsi pemerintahan,
termasuk juga aspek peraturan tentang pengelolahan hutan kepada pemerintah
daerah.
Transisi pemerintahan Soeharto ke pemerintahan reformis menimbulkan
kondisi hutan yang porak poranda, sehingga banyak kalangan yang peduli akan
kondisi hutan coba memformulasikan konsepsi terkait pemulihan kondisi hutan
Indonesia yang juga dibarengi dengan adanya otonomi daerah. Otonomi daerah
dalam konteks hutan sangatlah penting, di mana pemerintah daerah yang
seyongyanya sebagai lembaga representatif sangat memahami kondisi dan
kebutuhan daerah itu sendiri. Sehingga, ketika masyarakat daerah tersebut resah
akan kondisi hutan dan kebakaran hutan yang ada maka pemerintah daerah
haruslah siap untuk melayani masyarakat untuk terhindar dari bencana yang
ditimbulkan akibat pembalakan hutan.
Fakta mengenai jumlah kebakaran yang terjadi sangat memprihatinkan.
Pada tahun 2013, mayoritas kebakaran yang terjadi terpusat di Propinsi Riau.

6

Angka yang cukup mengejutkan dimana sebanyak 87% dari peringatan titik api di

sepanjang Sumatera berada di Provinsi Riau. Kebakaran hutan dan lahan gabut di
Provinsi Riau terus meningkat. Kebakaran hutan di Riau masih terus terjadi
hingga saat ini, sehingga menimbulkan banyak dampak sosialnya seperti
kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain sebagainya.
Selama kurun tahun 2013, total 252.172 hektare hutan alam dihancurkan
oleh korporasi berbasis tanaman industri, dibanding tahun sebelumnya deforestasi
sebesar 188.000 hektare. Ada peningkatan sekitar 64 ribu lebih deforestasi terjadi
dibanding tahun 2012. Kini sisa hutan alam sekira 1.7 juta hektare atau tinggal 19
persen dari luas daratan Riau (8.9 juta hektare). Data menunjukkan bahwa tiga
tahun belakangan (2009-2012), Riau kehilangan tutupan hutan alam sebesar
565.197,8 (0.5 juta) hektare, dengan laju deforestasi per tahun 188 ribu hektare
per hari. Dan 73.5 persen kehancuran itu terjadi pada hutan alam gambut yang
seharusnya dilindungi. 6
Berdasarkan Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dalam pertimbangannya menyatakan pada huruf (a) bahwa dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, tugas
pembantuan,

diarahkan


untuk

mempercepat

terwujudnya

kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
6
Lihat Natgeo http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/01/eksploitasi-hutan-riau-potret-buruknya-tatakelola-kehutanan-ri (di akses pada 08 nov 16)

7

demokrasi, pemerataan, suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. 7Maka dari itu, pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk
melindungi dan melayani masyarakat daerahnya sendiri.
Dalam upaya mengatasi kebakaran hutan yang terjadi saat ini maka

kebijakan pemerintah daerah sangat diperlukan.Berdasarkan fenomena kebakaran
dan eksploitasi terhadap hutan di Provinsi Riau, maka pemerintah daerah
mengeluarkan kebijakan Peraturan Gubernur tentang Pusat Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Riau Nomor 11 tahun 2014. Peraturan
Gubernur tersebut merupakan tindaklanjut dari Intruksi Presiden Nomor 16 Tahun
2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, intruksi
tersebut ditujukan kepada pemerintah daerah seperti gubernur.
Kebijakan tersebut juga mengingat tentang beberapa undang – undang
yang saling terkait tentang hutan di antaranya adalah Undang – undang Nomor 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang – undang Nomor 26 tahun 2007
tentangPenataan Ruang, Undang – undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 131 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Pengungsi di
Daerah.
Kebijakan tentang pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan
bertujuan untuk memantapkan keterpaduan langkah – langkah dan tindakan –
tindakan dalam hal pengendalian hutan dan lahan. Di dalam kebijakan tersebut

7


Leo Agustino, 2009. Pilkada Dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Hal. 12.

8

juga dilakukan berdasarkan azas kemanusiaan, kemandirian, gotong-royong,
profesionalitas dan kewilayahan sesuai dengan wewenang dalam undang – undang
nomor 23 tahun 2004 tentang pemerintah daerah.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul tentang Analisis Kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi
Riau Terhadap Hutan (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Provinsi RiauNomor 11
Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)dengan
menganalisis apa – apa saja isi dari kebijakan tersebut.
I.2 Rumusan Masalah
Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan
fakta dan data ke dalam penulisan skripsi ini, maka dirumuskan dahulu
masalahnya. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di dalam latar belakang,
maka penulis merumuskan masalah yaitu :
1. Apa – apa saja yang menjadi kebijakan pemeritah daerah Provinsi Riau
melalui Peraturan Gubernur tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan.
2. Menganalisis Peraturan Gubernur Provinsi Riau Tahun 2014 Tentang
Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

9

I.3Pembatasan Masalah
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti membuat pembatasan masalah
terhadap masalah yang akan dibahas agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang
dari tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini hanya membahas :
1. Penelitian ini hanya mengkaji kebijakan pemeritah daerah Provinsi Riau
Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
2. Penelitian ini hanya menganalisis Peraturan Gubernur Provinsi Riau
Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
I.4Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui isi dari kebijakan pemeritah daerah Provinsi Riau melalui
Peraturan Gubernur tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Lahan.
2. Menganalisis Peraturan Gubernur Provinsi Riau Tahun 2014 Tentang
Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
I.5 Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, diharapkan mampu memberikan masukan, infromasi
yang bermanfaat, baik bagi peneliti maupun bagi orang lain, yaitu :

10

1.

Secara Akademis, Penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan
ilmiah di bidang politik terkait dengan menganalisis kebijakan-kebijakan
publik yang dikeluarkan Pemerintah.

2.

Secara Kelembagaan, penelitian ini dapat menjadi peluang maupun
evaluasi bagi pemerintah dalam menghasilkan sebuah kebijakan publik
yang berhubungan dengan kebutuhan hidup masyarakat.

3.

Secara Individu, penelitian ini bermanfaat mengembangkan kemampuan
penulis dalam mengasah kemampuan berpikir secara ilmiah mengenai
kebijakan pemerintah tentang hutan.

I.6 Kerangka Teori
Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berfikir dalam penelitian ini
adalah :
I.6.1 Teori Kebijakan Publik
Kebijakan adalah suatu keputusan yang mencerminkan sikap suatu
organisasi terhadap suatu persoalan yang telah, sedang atau akan dihadapi
.Kebijakan publik adalah keputusan yang di buat oleh Negara, khususnya
pemerintah, sebagai strategi untuk mengantarkan masyarakat pada masa awal,
memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang
dicita-citakan. 8
Kebijakan publik dalam defenisi yang mashur dari Dye adalah bahwa
apapun kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit merupakan
8

Riant Nugraoho.2008. Public Policy.Jakarta: Elex media Komputindo, Hal 55.

11

kebijakan. Jika anda melihat banyak jalan berlubang, jembatan rusak atau sekolah
rubuh kemudian anda mengira bahwa pemerintah tidak berbuat apa – apa, maka
“diamnya” pemerintah menurut Dye adalah kebijakan. Selain Dye, James E
Anderson mendefenisikan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat,
kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu. 9
Menurut Carl Frederich memandang kebijakan publik adalah suatu arah
tindakan yang diusulkan oleh seorang kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dalam rangka
mencapai suatu tujuan atau merealisasikan atau suatu maksud tertentu. 10
Sebagian dasar pemikiran, macam dan jenis kebijakan publik sangat
banyak, namun demikian secara sederhana dapat dikelompokan menjadi tiga
yaitu: 11
1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau mendasar, yaitu:
Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang,Peraturan
Pemeirntah,Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.
2. Kebijakan publik yang bersifat menengah berupa penjelasan pelaksanaan.
Kebijakan ini dapat berbentuk peraturan menteri, Surat Edaran
9

Dwiyanto Indiahono.2009.kebijakan publik berbabasis Dynamic Policy Analisys, Yogyakarta : Gava Media,
Hal 17.
10
Budi Winarno.2002,Teori dan Proses Kebijakan Publik, Jogjakara: Media Presindo, Hal. 16.
11
Riant Nugroho D.2006.Kebijakan Publik Untuk negara-negara berkembang ,Jakarta, Hal 31.

12

Kebijakanya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama atau SKB
antar Menteri, Gubernur dan Bupati atau Walikota.
3. Kebijakan Publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur
kebijakanya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di
bawah Menteri, Gubernur, Bupati atau Wali Kota.
Dalam pembuatan kebijakan, terdapat proses yang kompleks karena
melibatkan banyak bagian dari proses maupun variabel yang harus dikaji.
Kebijakan publik adalah suatu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian
kebagian lain secara berkesinambungan, timbal–balik dan saling membentuk.
Kebijakan publik tidak terlepas dari sebuah proses kegiatan yang melibatkan aktor
– aktor yang akan bermain dalam proses pembuat kebijakan.perumusan kebijakan
adalah inti dari kebijakan publik, karena di dalam perumusan akan dirumuskan
batas – batas kebijakan itu sendiri. 12
Tidak semua isu yang dianggap masalah oleh masyarakat perlu dipecahkan
oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan, yang akan memasukkannya kedalam
agenda pemerintah yang kemudian diproses menjadi sebuah kebijakan setelah
melalui berbagai tahapan, yaitu : 13
1. Tahap pertama, perumusan masalah mengenali dan merumuskan masalah
merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan.
Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah – masalah
publik harus dikenali dan didefenisikan dengan baik
12
13

Riant Nogroho, Ibid, Hal.355.
Budi Winarno, Opcit, Hal.82

13

2. Tahap kedua, agenda kebijakan. Tidak semua masalah publik akan masuk
kedalam agenda kebijakan. Masalah – masalah tersebut akan berkompetisi
antara satu dengan yang lain. Hanya masalah – masalah tertentu yang pada
akhirnya akan masuk kedalam agenda kebijakan masalah publik yang
masuk kedalam agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus
kebijakan. Masalah – masalah tersebut dibahas berdasarkan tingkat
urgensinya untuk dilaksanakan.
3. Tahap ketiga, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah.
Pada tahap ini, para perumus kebijakan akan berhadapan dengan berbagai
alternatif pilihan kebijakan yang akan diambil untuk memecahkan
masalah. Para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan
kepentingan antar berbagai aktor yang terlibat dalam perumusan
kebijakan. Pada kondisi ini, maka pilihan – pilihan kebijakan akan
didasarkan pada kompromi dan negoisasi yang terjadi antar aktor yang
berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.
4. Tahap keempat, penetapan kebijakan setelah salah satu dari kebijakan
alternatif diputuskan untuk diambil sebagai cara pemecahan masalah,
maka tahap terakhir dalam pembuat kebijakan adalah menetapkan
kebijakan yang dipilih tersebut sehingga memiliki kekuatan hukum yang
mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan
kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam
pembuatan kebijakan tersebut.

14

Suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi
sedemikian rupanya sehuingga dapat memberi landasan dari para pembuat
kebijakan dalam membuat keputusan. Analisis yang dimaksud di dalam analisis
kebijakan publik adalah proses dalam menelaah dan memilah unsur-unsur penting
yang terkandung di dalam kebijakan publik tersebut. Selain memilah dan menilah
bagian-bagian penting yang terkandung di dalam suatu kebijakan, analisis
kebijakan publik juga bertujuan untuk menemukan rancangan-rancangan alternatif
baru yang ada didalam kebijakan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat
direntangkan mulai penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pandanganpandangan terhadap isu-isu atau masalah - masalah yang terantisipasi sampai
mengevaluasi suatu program yang lengkap. Analisis kebijakan diambil dari
berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif,
dan perspektif. 14
Sebagai suatu terapan dalam disiplin ilmu analisis kebijakan publik
diharaplam dapat menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang memiliki
dasar logika yang jelas dan mengandung 3 macam tolak ukur utama, yaitu : 15
1. Nilai yang pencapainya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah
masalah telah teratasi
2. Fakta yang keberadaanya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian
nilai-nilai
3. Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.
14
15

William.N.Dunn. 2003. Analisis Kebijakan Publik II.Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hal.95
Ibid 97

15

Adapun pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan sesorang dalam
menganalisis sehingga memiliki dasar logika yang kuat yaitu pendekatan empiris,
valuatif dan normatif.
Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan Publik
Tabel 1.1
Pendekatan

Pertanyaan Utama

Empiris

Adakah

dan

Tipe Informasi

adakah Deskriptif dan preddiktif

(fakta)
Valuatif

Apa manfaatnya (nilai)

Valuatif

Normatif

Apakah yang harus di Preskriptif
perbuat (aksi)

Sumber : Analisis Kebijakan Publik. William N.Dunn hal 98
Tabel diatas menjelaskan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam
menganalisis sebuah kebijakan publik. Pendekatan empirisi menekankan
penjelasan berbagai sebab dan akibat dari sebuah kebijakan publik. Pertanyaan
utama di dalam pendekatan empiris bersifat faktual dan informasi yang dihasilkan
bersifat deskriptif. Sebaliknya, pendekatan valuatif lebih menekankan terhadap
penentuan bobot atau nilai yang terkandung didalam kebijakan. Adapun
pertanyaan dalam analisisnya adalah berapa nilai dan bobot yang terkandung di
dalam kebijakan tersebut, sehingga informasi yang dihasilkan bersifat valuatif.

16

Dan yang terakhir adalah pendekatan normatif yang menekankan terhadap
rekomendasi serangkaian tindakan-tindakan yangakan datang yang dapat
menyelesaikan masalah publik, pertanyaan dalam pendekatan ini adalah yang
berkenaan dengan tindakan yang diapilkasikan dari kebijakan publik tersebut.
Dalam memecahkan masalah yang dihadapi kebijakan publik, Dunn
mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan yaitu 16:
1. Penetapan Agenda Kebijakan (Agenda Setting)
Yang pertama kali harus dilakukan adalah penentuan masalah publik yang
harus dipecahkan. Pada hakekatnya permasalahan ditemukan melalui proses
Problem structuring. Woll mengemukakan bahwa suatu isu kebijakan dapat
berkembaang menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat berikut:
a.

Memiliki efek yang

besar terhadap kepentingan masyarakat.

b.

Membuat analog dengan cara memancing dengan kebijakan publik
yang pernah dilakukan.

c.

Isu tersebut mampu dikaitkan dengan simbol-simbol nasional atau
politik yang ada.

d.

Terjadinya kegagalan pasar (market failure)

e.

Tersedianya teknologi dan dana untuk menyelesaikan masalah
publik.

Menurut Dunnproblem structuring memiliki 4 fase yaitu: pencarian
masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem definition),
16

Ibid. Hal. 28.

17

spesifikasi masalah (problem specification), dan pengenalan masalah (problem
setting). Sedangkan teknik yang dapat dilakukan untuk merumuskan masalah
adalah analisis batasan masalah, analisis klarifikasi, analisis hirarki brainsroming,
analisis multi persfektif, analisis asumsional serta pemetaan argumentasi.
2. Formulasi Kebijakan ( Policy Formulation)
Menurut Woll, formulasi kebijakan berarti pengembangan sebuah
mekanisme untuk penyelesaian masalah publik, dimana pada tahap para analisis
kebijakan publik mulai menerapkan beberapa teknik untuk menjustifikasikan
bahwa sebuah pilihan yang terbaik dari kebijakan yang lain. Dalam menentukan
pilihan kebijakan pada tahap ini dapat menggunakan analisis biaya manfaat dan
analisis keputusan, dimana keputusan yang harus diambil pada posisi tidak
menentu dengan informasi yang serba terbatas.Pada tahap formulasi kebijakan
ini, para analis harus mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang dapat
digunakan melalui prosedur forcasting

untuk memecahkan masalah yang

didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap kebijakan yang dipilih.
3. Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)
Tahap adopsi kebijakan merupakan tahap untuk menentukan pilihan
kebijakan melalui dukungan para stakeholder atau pelaku yang terlibat. Tahap ini
dilakukan setelah melalui proses rekomendasi dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Mengidentifikasi alternatif kebijakan (policy alternative) yang
dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang

18

diinginkan dan merupakan langkah terbaik dalam upaya
mencapai tujuan tertentu bagi kemajuan masyarakat luas.
b. Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan terpilih untuk
menilai alternatif yang akan direkomendasi.
c. Mengevaluasi

alternative-alternatif

tersebut

dengan

menggunakan kriteria-kriteria yang relevan (tertentu) agar efek
positif alternatif kebijakan tersebut lebih besar daripada efek
negative yang akan terjadi.
4. Implementasi kebijakan (policy implementation)
Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor
(birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber
daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat
dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki bahwa implementasi berkaitan dengan
berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada
posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan
menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir,
seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unitunit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan
interpretasi terhadap perencanaan yang dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti
dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

19

Jadi, tahapan implementasi kebijakan merupakan peristiwa yang
berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundangundangan
ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk
output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi
kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan
kebijakan mencapai hasil melalui aktifitas atau kegiatan program pemerintah.
5. Evaluasi Kebijakan (Policy Asassment)
Tahap akhir dari proses pembuatan kebijakan adalah penilaian terhadap
kebijakan yang telah diambil dan dilakukan. Dalam penilaian ini semua proses
implementasi dinilai apakah telah sesuai dengan yang telah ditentukan atau yang
direncanakan dalam program kebijakan tersebut sesuai dengan ukuran-ukuran
(Kriteria-kriteria) yang telah ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan oleh lembaga independen maupun pihak
birokrasi pemerintah sendiri (sebagai eksekutif) untuk mengetahui apakah
program yang dibuat oleh pemerintah telah mencapai tujuannya atau tidak.
Apabila ternyata tujuan program tidak tercapai atau memiliki kelemahan mak
pemerintah harus mengetahui apa penyebab kegagalan (kelemahan) tersebut
sehingga kesalahan yang sama tidak terulang dimasa depan.

20

Tahapan Kebijakan Publik
Tabel A 1.2
Penyusunan kebijakan ( Agenda Setting)

Formulasi kebijakan (Policy Formulation)

Adopsi kebijakan (Policy Adoption)

Implemantasi kebijakan (Policy Implementation)

Evaluasi kebijakan (Policy Assassment)

I.6.2 Politik Lingkungan
Politik lingkungan sering kali disamakan pengertiannya dengan ekologi
politik. Beberapa definisi tentang ekologi politik yang asumsinya adalah
samayaitu: “environmental change and ecological conditions are (to some extent)

21

the product of political processes” Jika keadaan lingkungan adalah produk dari
proses-proses politik, maka tidak terlepas pula dalam hal ini adalah keterlibatan
proses-proses dialektik dalam politik ekonomi. Perhatian tertentu difokuskan pada
konflik yang di timbulkan karena adanya akses lingkungan yang dihubungkan ke
sistem politik dan hubungannya dengan ekonomi. 17
Menurut Vandana Siva, akar krisis ekologis terletak pada kelalaian pihak
penguasa dalam menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk berpartisipasi
secara aktif dalam kebijakan lingkungan. 18Paterson mengatakan bahwa politik
lingkungan adalah suatu pendekatan yang menggabungkan masalah lingkungan
dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik
antara lingkungan dan manusia, dan antara kelompok yangbermacam-macam di
dalam masyarakat dalam skala dari individu lokal kepada transnasional secara
keseluruhan. 19
Sementara menurut Bryant, politik lingkungan boleh didefenisikan sebagai
usaha untuk memahami sumber-sumber politik, kondisi dan menjadi suatu
jaringan dari pergantian lingkungan. Bryant memusatkan kajian politik
lingkungannya dengan meneliti operasional dalam pengelolaan hutan dalam kasus
Indonesia. Dari defenisi di atas, jelaslah, bahwa defenisi Bryant yang menekankan
bahwa politik hal yang pertama atas politik lingkungan, yang berbasis aspek

17

Sansen Situmorang. 2008. Ekologi Politik : Gagasan CSR Dalam Meredam Gejolak Sosial Masyarakat
Lokal. Hal 25.
18
Umar Syadat Hasibuan. 2008. Green Politics dan Penyelesaian Persoalan Lingkungan Hidup di Indonesia.
Melalui (http://www.unisosdem.org/article_detail diakses pada 08-11-16 pukul 21.00 WIB).
19
Herman Hidayat. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. Hal 9.

22

pembangunan dan berwawasan lestari. Ada dua alasan rasional untuk kondisi
ini.Pertama, bahwa tekanan politik dan ekonomi dari pemerintah Soeharto
mewarnai secara mendalam dalam pengelolaan hutan sejak tiga dekade
pemerintahannya (1966-1998). Kedua, implikasi dari tekanan politik dan ekonomi
atas perspektif lingkungan telah diabaikan oleh birokrat kehutanan, yang pada
akhirnya menyebabkan kerusakan hutan.15
Mengamati skala sosial dan lingkungan yang berbeda, politik lingkungan
menjelaskan sekurangnya tiga penelitian area yang berbeda, yaitu : 20
1. Pertama, penelitian ke dalam sumber yang kontekstual perubahan
lingkungan yang menguji pengaruh lingkungan secara umum pada suatu
negara, hubungan antar negara, dan kapitalisme global.
2. Kedua, area penelitian mencari tahu suatu lokasi dari aspek-aspek yang
khusus mengenai perubahan lingkungan, yaitu dengan studi suatu konflik
atas akses sumber -sumber lingkungan. Ilmuwan memperoleh pandangan
bagaimana kontekstual pelaku berpengaruh atas kondisi sosio-lingkungan
yang khusus, hubungan, dan menekankan perjuangan lokasi yang khusus
atas lingkungan. Mengambil, baik sejarah maupun dinamika konflik,
penelitian area ini menggambarkan bagaimana para petani yang miskin
dan marsyarakat lokal tanpa kekuasaan berperang melindungi fondasi
lingkungan atas kehidupannya.

20

Ibid. Hal 10.

23

3. Ketiga, penelitian area ini menjelaskan jaringan politik dari perubahan
lingkungan atas hubungan sosio - ekonomi dan politik.
Etika lingkungan menyoroti tentang kapasitas sumber daya bumi untuk
menopang populasi manusia, kapasitas biosfer untuk menyerap limbah manusia,
perubahan iklim sebagai akibat perilaku manusia, laju kepunahan spesies nonmanusia yang terus meningkat dengan cepat, eksploitasi lingkungan dengan cepat,
eksploitasi lingkungan di negara miskin untuk mempertahankan gaya hidup
negara kaya, ketidakpedulian sistematis terhadap kepentingan generasi yang akan
datang, perusakan yang luas dan parah terhadap hutan dan laut, dan pemanfaat
binatang untuk keperluan industri. 21

I.6.3 Politik Pembangunan

Sama dengan konsep politik, pembangunan juga merupakan suatu konsep
yang masih diperdebatkan dan banyak menuai kritik.
Politik pembangunan dapat didesain atau dibuat oleh Negara. Ditinjau dari
konsepnya, politik banyak Pembangunan adalah perubahan kearah kondisi yang
lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.Dalam kata
pembangunan, hal yang sangat pokok yaitu adanya hakikat membangun, yang
berlawanan dengan merusak.Oleh karena itu, perubahan ke arah yang lebih baik
seperti yang diinginkan dan dengan terencana, harus mengoptimalkan sumberdaya
21

Nicholas Low. 2009. Politik Hijau, Bandung : Nusa Media, Hal 3.

24

yang tersedia dan mengembangkan potensi yang ada. mengartikan sebagai sebuah
perebutan kekuasaan seperti pengertian politik yang diberikan Hans J.
Morgenthau dengan istilah The Stuggle For Power yakni perjuangan untuk
mendapatkan kekuasaan 22. Politik itu dalam hubungan ini adalah perjuangan
untuk mendapatkan kekuasaan, mengontrol kekuasaan, serta bagaimana
menggunakan kekuasaan. Namun terlepas dari sinisme akan politik dan perebutan
kekuasaan, politik sesungguhnya merupakan cara atau strategi untuk meraih
kekuasaan dan dengan itu ia dapat mengimplementasikan ide, gagsan atau
ideologi perjuangan baik secara individu, kelompok atau negara. 23
Dalam pembangunan peran pemerintah menjadi subjek utama yang
memperlakukan rakyat sebagai objek, penerima dan bahkan partisipasi
pembangunan.Dalam pembahasan mengenai paradigma yang mencari jalan ke
arah pembangunan yang berkeadilan perlu diketengahkan teori pembangunan
yang berpusat pada rakyat. Paradigma ini memberi peran kepada individu bukan
sebagai

obyek,

melainkan

sebagai

pelaku

yang

menetapkan

tujuan,

mengendalikan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang
mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yang berpusat pada rakyat
menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan kekhususan setempat.
Menurut Warjio, peran pemerintah menjadi subjek utama pembangunan
yakni memperlakukan rakyat sebagai objek, resipient atau penerima. Pemahaman
22

Hans J. Morgenthau. 1959. Politics Among Nations, The Struggle For Power and Peace, New York:
Alfred A. Knopf, Hal 25.
23
Warjio, Ph.D. 2013. Politik Pembangunan Islam, Pemikiran dan Implementasi, Medan: Perdana
Publishing, Hal 70-71.

25

yang demikian tentang pembangunan memberikan satu kesimpulan bahwa
pembangunan sangat terkait erat dengan proses dan kepentingan politik lembagalembaga internasional ataupun kepentingan negara. Pembangunan juga merupakan
hasil dari proses ataupun kepentingan elit politik pemerintah ataupun kelompok
kepentingan dalam satu negara. 24
Menurut Todaro, pembangunan adalah sebuah proses multi dimensional
yang mencakup berbagai perubahan atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat
dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi, pertumbuhan
ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengetasan kemiskinan.
Pembangunan juga diartikan sebagai suatu proses perubahan sosial dengan
partisipasi yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk mencapai
kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan
dan kualitas yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih
besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka.
Menurut Warjio, Strategi pembangunan pada dasarnya adalah cara atau
jalan yang terbaik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan semula
berdasarkan platform yang di buat. Karena itu strategi pembangunan yang baik
akan dapat menghasilkan pencapaian tujuan yang diinginkan secara efesien dan
efektif. Strategi pembangunan mestilah disesuaikan dengan kondisi, potensi yang
dimiliki dan permasalahan pokok yang dihadapi serta sumber daya yang tersedia
yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan. 25
24

Warjio. Ibid. Hal. 12
Ibid. Hal. 112

25

26

Politik pembangunan sebagai pedoman dalam pembangunan nasional
memerlukan keterpaduan tata nilai, struktur, dan proses. Keterpaduan tersebut
merupakan himpunan usaha untuk mencapai efisiensi, daya guna, dan hasil guna
sebesar mungkin dalam penggunaan sumber dana dan daya nasional guna
mewujudkan tujuan nasional. Karena itu, kita memerlukan sistem manajemen
nasional. Sistem manajemen nasional berfungsi memadukan penyelenggaraan
siklus

kegiatan

perumusan,

pelaksanaan,

dan

pengendalian

pelaksanaan

kebijaksanaan. Sistem manajemen nasional memadukan seluruh upaya manajerial
yang

melibatkan

pengambilan

keputusan

berkewenangan

dalam

rangka

penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan
ketertiban sosial, politik, dan administrasi.

I.7 Metodologi Penelitian
I.7.1 Metode Penelitian
Merujuk pada permasalahan yang akan diteliti, penulis menggunakan jenis
penilitian deskriftif. Penelitian deskriptif adalah cara dalam melihat dan
memecahkan masalah dengan melihat data dan fakta dari fenomena dimasa
kekinian. Penelitian deskriptif merupakan sebuah proses pemecahan suatu
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menerangkan keadaaan
sebuah objek maupun subjek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat

27

pada saat sekarang dengan berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana
adanya. 26
I.7.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Pada umumnya, penelitian kualitatif ini tidak mempergunakan angka
atau nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitif terdiri dari
kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian interaksi, dan kegiatan.
Dengan menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati
data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang
analitis, konseptual, dan kategoris dari data itu sendiri. 27 Tipe paling umum dari
penelitian ini adalah penilaian sikap atau pendapat individu, organisasi, keadaan
ataupun prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan dalam survei,
wawancara, atau observasi.
I.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, data yang dipergunakan adalah data primer dan data
sekunder. Dimana data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui
wawancara mendalam kepada sumbernya, adapun yang menjadi narasumber
adalah:

26

Hadari Nawawi. 1987. Metodelogi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hal: 63.
27
Bruce A. Chodwick. 1991. Social Science Research Method, terj. Sulistia dkk, Metode Penelitian Ilmu-Ilmu
Sosial. Semarang: IKIP Semarang Press. Hal: 234.

28

1. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau
2. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau
3. Pengurus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Riau.
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui berbagai sumber seperti
buku, majalah, laporan, jurnal dan dokumen lainnya.

I.7.4 Teknik Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penyusunan data penelitian ini
adalah teknik analisa kualitatif. Analisa yang dilakukan berdasarkan data
deskriptif dari lapangan dimana data diperoleh kejelasan dan permasalahan telah
dirumuskan sebelumnya, kemudia dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil
penelitian.

29

I.8 Sistematika Penulisan
BAB I

PENDAHULUAN
Pada

Bab

ini

Masalah,Rumusan
Penelitian,

berisi

tentang

Latar

Masalah,TujuanPenelitian,

Kerangka

Teori,

Metode

belakang
Manfaat
Penelitian

dansistematika Penulisan.

BAB II

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
Pada Bab ini mengambarkanprofil Provinsi Riau serta
menguraikan kondisi hutan di Provinsi Riau sebagai
sumber analisis penelitian.

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
Pada bab ini akan memuat data dan analisa data yang
didapat dari hasil penelitian yang dilakukan terkait
permasalahan yang menjadi masalah penelitian.

BAB IV

PENUTUP
Bab ini akan berisi kesimpulan dan saran-saran yang
diperoleh dari penelitian yang dilakukan.

30

Dokumen yang terkait

Pendugaan Potensi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun 2012

2 8 40

Variabilitas Iklim dan Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

0 4 44

Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi Riau: Hambatan dan Tantangan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan | Meiwanda | JSP (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) 15686 29978 1 SM

0 0 13

buku panduan pengendalian kebakaran hutan dan lahan

0 0 55

Analisis Dan Implementasikebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Riau Terhadap Hutan (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)

0 0 13

Analisis Dan Implementasikebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Riau Terhadap Hutan (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)

0 0 2

Analisis Dan Implementasikebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Riau Terhadap Hutan (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)

0 0 19

Analisis Dan Implementasikebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Riau Terhadap Hutan (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan) Chapter III IV

0 0 53

Analisis Dan Implementasikebijakan Pemerintah Daerah Provinsi Riau Terhadap Hutan (Studi Kasus : Peraturan Gubernur Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan)

0 0 5

SOSIALISASI PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (DALKARHUTLA) PROVINSI RIAU TAHUN 2014

0 2 1