Pendugaan Potensi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun 2012

PENDUGAAN POTENSI EMISI CO2 AKIBAT KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU
TAHUN 2012

DISSA NATRIA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Potensi
Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun 2012
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Dissa Natria
NIM G24090015

ABSTRAK
DISSA NATRIA. Pendugaan Potensi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan
Lahan di Provinsi Riau Tahun 2012. Dibimbing oleh YON SUGIARTO dan
YENNI VETRITA
Kebakaran hutan dan lahan menghasilkan emisi CO2 dalam jumlah besar ke
atmosfer. Emisi CO2 tersebut perlu diestimasi guna memberikan informasi dalam
penentuan kebijakan dan penanggulangan bencana. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menduga luas area terbakar dan potensi emisi CO2 akibat kebakaran hutan
dan lahan di Provinsi Riau tahun 2012. Metode yang digunakan adalah dengan
menginterpretasi citra MODIS secara visual yang diduga sebagai lokasi
kebakaran, menentukan perubahan nilai EVI (Enhanced Vegetation Index), dan
selanjutnya mengestimasi emisi CO2 menggunakan rumus Seiler dan Crutzen
(1980). Perubahan nilai EVI yang diduga akibat kebakaran hutan dan lahan yaitu
0.15 – 0.25. Luas area terbakar di provinsi Riau selama tahun 2012 yaitu sebesar

26,440 ha dengan estimasi emisi CO2 sebesar 1.91 juta ton.
Kata kunci : emisi CO2, EVI (Enhanced Vegetation Index), luas area terbakar,
MODIS

ABSTRACT
DISSA NATRIA. Estimation of CO2 Potential Emission from Forest and Land
Fires in Riau Province 2012. Supervised by YON SUGIARTO and YENNI
VETRITA
Forest and land fires releases amounts of CO2 to the atmosphere. It is
necessary to estimate quantity of emission in order producing information for
policy consideration and disaster management. This research aims to estimate
burned area and CO2 emission potential of land and forest fires in Riau Province
in 2012. The method used is visual MODIS image interpretation estimated burned
spot, EVI (Enhanced Vegetation Index) change, and CO2 emission along with
employed Seiler and Crutzen (1980) formula. The EVI change ranges 0.15 – 0.25.
Meanwhile burned area in Riau Province during 2012 is 26,440 ha and CO2
emission estimation results 1.91 million tons.
Key words: burned area, CO2 emission, EVI (Enhanced Vegetation Index),
MODIS


PENDUGAAN POTENSI EMISI CO2 AKIBAT KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU
TAHUN 2012

DISSA NATRIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pendugaan Potensi Emisi CO 2 Akibat Kebakaran Hutan dan
Lahan di Provinsi Riau Tahun 2012

Nama
: Dissa Natria
NIM
: 024090015

Disetujui oleh

Yenni Vetrita SHut MSc
Pembimbing II

June MSc

Tanggal Lulus:

1 2 DEC 2013

Judul Skripsi: Pendugaan Potensi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan
Lahan di Provinsi Riau Tahun 2012
Nama
: Dissa Natria

NIM
: G24090015

Disetujui oleh

Yon Sugiarto, SSi, MSc
Pembimbing I

Yenni Vetrita, SHut, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan kasih

sayangNya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah yang merupakan
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada program studi Geofisika dan
Meteorologi dengan judul : Pendugaan Potensi Emisi CO2 Akibat Kebakaran
Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun 2012.
Rasa terima kasih juga tidak lupa penulis ucapkan kepada semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, antara lain :
1 Ayahanda Purwo Atmadi dan Ibunda Hidanti Karnila serta kedua adik
penulis Ikhwan Radilla A. dan Dinda Nurilla A. yang telah senantiasa
memberikan cinta, semangat, dan dukungan baik moral maupun material
kepada penulis.
2 Bapak Yon Sugiarto SSi, MSc selaku pembimbing I yang telah memberikan
waktu, ilmu, dan arahan kepada penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini.
3 Ibu Yenni Vetrita SHut, MSc selaku pembimbing II yang telah bersedia
membimbing, meluangkan waktu, memberikan saran, ide, dan arahan
kepada penulis dengan sabar.
4 Segenap dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis, serta seluruh staf dan
pegawai yang telah banyak memberikan bantuan.
5 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta bidang
Lingkungan dan Mitigasi Bencana yang telah mengijinkan penulis untuk

melakukan penelitian di sana.
6 Teman seperjuangan yang selalu saling menyemangati (Ocha, Silvi, Solah,
Dwi, Ika, Hanifah, Gaseh, Risna) dan sahabat sepermainan tercinta yang
selalu berbagi rasa (Edo, Wengky, Alin, Noya, Sunte, Nowa, Dieni, Muts).
7 Seluruh keluarga GFM 46, kakak-kakak GFM 45 dan adik-adik GFM 47
yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
8 Uni Konservasi Fauna IPB, Indonesian Climate Student Forum, Himagreto,
EH Bogor, dan Backpacker Bogor Community yang telah mengajarkan halhal berharga dalam hidup yang tidak didapat di bangku kuliah.
9 Seluruh teman, keluarga, dan semua pihak yang telah membantu penulis
dalam melakukan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir
kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi banyak pihak dan memberikan
sumbangsih terhadap dunia ilmu pengetahun.
Bogor, Desember 2013
Dissa Natria

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI


ix

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kebakaran Hutan


2

Titik Panas (Hotspot)

3

Estimasi area bekas kebakaran (Burned Area)

4

Emisi Karbon

5

CITRA Terra/Aqua MODIS

5

MODIS Vegetation Index (VI)


6

Enhanced Vegetation Index (EVI)

6

METODE

7

Waktu dan Tempat

7

Alat

7

Bahan

7

Prosedur Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Kondisi Umum Wilayah

10

Faktor Kondisi Iklim dan Pembakaran

11

Estimasi Luas Area Terbakar

13

Estimasi Emisi CO2

15

SIMPULAN DAN SARAN

17

Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1

Tutupan kelas MODIS Land Cover area terbakar yang terdapat di
provinsi Riau dengan parameter persamaan Seiler dan Crutzen
(1980) (Mieville et.al 2010)

10

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Diagram Analisis Data
Profil suhu dan curah hujan provinsi Riau tahun 2003-2012
Kondisi curah hujan dan suhu stasiun simpangtiga terhadap
jumlah hotspot di kabupaten Kampar 2012
Kondisi curah hujan dan suhu stasiun Japura terhadap jumlah
hotspot di kabupaten Indragiri Hulu 2012
Sebaran hotspot provinsi Riau (Juni-September 2012)
Estimasi luas area terbakar Provinsi Riau tahun 2012
Estimasi emisi CO2 dari kebakaran hutan dan lahan provinsi Riau
Emisi CO2 dari kebakaran hutan di Indonesia tahun 1984-2003
(Trismidianto et. al 2009)
Tipe penutupan lahan area terbakar (MODIS Land Cover)

8
11
12
12
13
14
15
16
16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Spesifikasi Sensor MODIS Terra/Aqua
Konfirmasi Asap Kebakaran Hutan dan Lahan provinsi Riau
tahun 2012
3 Kelas GLC2000 dengan kerapatan biomassa, efisiensi
pembakaran, dan faktor emisi CO2 tiap kelas penutupan lahan
(Mieville et.al 2010)
4 Klasifikasi penutupan lahan MODIS Land Cover
5 Estimasi total luas area terbakar Provinsi Riau tahun 2012
berdasarkan perubahan nilai EVI
6 Total estimasi emisi CO2 dari kebakaran hutan dan lahan
provinsi Riau tahun 2012 berdasarkan rumus Seiler dan Crutzen
(1980)
7 Data Suhu dan Curah Hujan tahun 2012 stasiun SimpangtigaPekanbaru dan Japura-Rengat
8 Data Suhu tahun 2003-2012 stasiun Simpangtiga-Pekanbaru
9 Data Suhu tahun 2003-2012 stasiun Simpangtiga-Pekanbaru
10 Peta Estimasi Area Terbakar Provinsi Riau Tahun 2012

21
22

24
25
26

26
27
27
28
28

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Eksploitasi sumberdaya hutan pada dua dekade terakhir di provinsi Riau
telah mengubah tata guna lahan dari kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan
dan transmigrasi. Semakin terbatasnya lahan kering selama lima tahun terakhir
mengakibatkan investor di bidang perkebunan dan HTI (Hutan Tanaman Industri)
mulai mengarah ke lahan basah / bergambut. Lahan kering dan pasang surut yang
yang telah mengalami alih fungsi lahan mencapai lebih dari 2 juta ha (Darjono
2004). Salah satu metode yang murah dan efektif dalam membangun perkebunan
maupun HTI adalah dengan cara membakar.
Provinsi Riau merupakan wilayah yang memiliki lahan gambut yang terluas
di Sumatera yaitu sebesar 4 juta ha (56 % dari luas lahan gambut Sumatera atau
45% dari luas daratan Provinsi Riau). Kandungan karbon tanah gambut di Riau
tergolong yang paling tinggi di seluruh Sumatera bahkan se-Asia Tenggara.
Pembukaan hutan rawa gambut untuk perkebunan sawit dan HTI yang terjadi saat
ini sangat berdampak buruk bagi lingkungan dan ekosistem. Kebakaran hutan dan
lahan yang terjadi saat ini dapat dipastikan merupakan rangkaian dari kegiatan
pembukaan lahan (land clearing) untuk perkebunan skala sedang dan besar
(perusahaan), hutan tanaman industri (HTI), usaha pertanian rakyat serta kegiatan
kehutanan lainnya (Muslim dan Kurniawan 2008).
Akibat utama dari kebakaran hutan dan lahan adalah terganggunya fungsi
hidrologis dan pengaturan iklim. Hilangnya vegetasi dan terbukanya hutan dan
lahan menyebabkan debit aliran permukaan dan erosi meningkat, sehingga akan
mengakibatkan banjir pada musim hujan. Selain itu, kebakaran yang terjadi akan
melepaskan CO2 yang berdampak meningkatkan efek rumah kaca. Hilangnya
vegetasi selain mengurangi penyerapan gas CO2 itu sendiri, juga mengakibatkan
hutan kehilangan fungsinya sebagai pengatur iklim.
Salah satu metode yang sering digunakan untuk menganalisis suatu kejadian
kebakaran hutan dan lahan adalah dengan menggunakan data remote sensing
(penginderaan jauh). Data tersebut dapat digunakan untuk mengetahui fenomena
di permukaan bumi melalui citra satelit. Melalui metode analisis interpretasi
visual dan digitasi area yang diindikasikan terbakar, lokasi kebakaran dan luas
area terbakar dapat diketahui. Selanjutnya data tersebut dapat digunakan untuk
pendugaan biomasa terbakar dan emisi yang dikeluarkan.

Tujuan Penelitian
1

Mengestimasi luas kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau tahun 2012
menggunakan citra MODIS satelit Terra/Aqua
2 Menghitung potensi emisi CO2 dari luas area yang terbakar di provinsi
Riau tahun 2012.

2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi potensi emisi
CO2 yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di provinsi Riau
tahun 2012. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pengambil kebijakan di pusat dan daerah.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah kejadian kebakaran hutan dan lahan di
provinsi Riau selama tahun 2012. Titik terbakar diketahui secara visual dari satelit
Terra/Aqua yang diperoleh dari website NASA (National Aeronautics and Space
Administration). Area terbakar adalah area yang memenuhi beberapa kriteria yaitu
ada indikasi asap, kumpulan hotspot, dan memiliki selisih nilai EVI (Enhanced
Vegetation Index) yang tinggi dalam periode sebelum dan sesudah kebakaran.
Estimasi nilai emisi CO2 dihitung menggunakan rumus Seiler dan Crutzen (1980)
dengan peta penutupan lahan MODIS Land Cover 2012.

TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran Hutan
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Dirjen Planologi
Kehutanan 2012).
Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) mengemukakan bahwa
kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak tertahan dan terjadi dengan tidak
disengaja atau tidak direncanakan pada areal tertentu yang menyebar secara bebas
serta mengkonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan seperti serasah, rumput,
cabang kayu yang sudah mati, patahan kayu, tunggul dan pohon-pohon yang
masih hidup. Selanjutnya konsep kebakaran hutan dikenal dengan segitiga api
(Fire Triangle) yang terdiri dari bahan bakar, sumber panas dan oksigen. Tiga
komponen segitiga api ini diperlukan oleh api agar dapat menyala dan mengalami
proses pembakaran. Secara umum proses pembakaran terjadi melalui dua proses,
yaitu proses secara kimia dan secara fisik. Proses ini berlangsung dengan cepat
dan memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur kimia, diiringi dengan
pelepasan panas. Sebagai suatu reaksi kimia proses ini berlawanan dengan proses
pembentukan bagian-bagian tanaman melalui proses fotosintesa.
Proses fotosintesa :
CO2 + H2O + Energi matahari  (C6H10O6) + O2
Proses Pembakaran :
(C6H10O6)n + O2 + panas penyalaan  CO2 + H2O + panas

3
Dalam proses fotosintesa energi terpusat secara perlahan-lahan, sedangkan
dalam proses pembakaran energi dilepaskan dengan cepat. Dalam proses
pembakaran, panas penyalaan dianggap sebagai katalisator untuk memulai dan
memelihara proses terjadinya kebakaran (Brown dan Davis 1973 dalam
Adinugroho 2009).
Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan/ Permenhut No P.
12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan, kebakaran hutan
adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan
kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan
atau nilai lingkungan. Kejadian alamiah selama musim kering dapat
mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan gambut. Namun demikian, 90-95%
pemicu utama terjadinya kebakaran hutan adalah karena adanya kegiatan dan atau
kecerobohan manusia (Kurnain 2008). Kejadian alamiah seperti terbakarnya
ranting dan daun kering secara spontan akibat panas yang ditimbulkan oleh batu
dan benda lainnya yang dapat menyimpan dan menghantar panas, dan pelepasan
gas metana (CH4) telah diketahui dapat memicu terjadinya kebakaran (Abdullah et
al. 2002). Sedangkan faktor kegiatan manusia yang dapat memicu terjadinya
kebakaran hutan yaitu pembukaan lahan dalam rangka pengembangan pertanian
dalam skala besar, persiapan lahan oleh petani, dan kegiatan rekreasi seperti
perkemahan, piknik, dan perburuan. Kegiatan pembukaan dan persiapan lahan
baik oleh perusahaan maupun masyarakat merupakan penyebab utama terjadinya
kebakaran hutan dan lahan. Pembukaan dan persiapan lahan oleh petani dengan
cara membakar merupakan cara yang cepat dan murah terutama bagi tanah yang
tingkat kesuburannya rendah. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa cara
ini cukup membantu memperbaiki kesuburan tanah karena meningkatkan
kandungan unsur hara dan mengurangi keasaman (Diemont et al. 2002). Namun,
kegiatan ini dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang lebih luas
apabila tidak dilakukan perencanaan yang matang.

Titik Panas (Hotspot)
Menurut pasal 1 angka 9 Permenhut No. P/12/P Menhut-II/2009 tentang
pengendalian kebakaran hutan, titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran
hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Sebuah hotspot tidak selalu menunjukkan
suatu kejadian kebakaran yang sebenarnya di lapangan. Hotspot hanya
memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi
lanjutan. Suatu kelompok hotspot yang berlangsung secara terus menerus adalah
indikator yang baik untuk menduga suatu kebakaran. Data hotspot bermanfaat
apabila dikombinasikan dengan informasi – informasi lainnya. Kesalahan bias
atau geografi dari sebuah hotspot dapat sejauh 3 km (Fire Fight South East Asia
2002).
Penentuan hotspot ini dihitung berdasarkan kanal termal yaitu pada panjang
gelombang 4 μm dan 11 μm, yang terdapat pada kanal 21, 22, dan 31 (Vetrita et
al. 2012). Metode penentuan hotspot MODIS dibangun oleh Gigilio et Al. (2003)
dalam Vetrita et al. (2012), dengan algoritma sebagai berikut :
Bukan hotspot, apabila :

4
a. T4 < 310°K, ΔT0.3 (siang hari), atau
b. T4 Δ+3.5δΔt) - (T4 > T + 3 δ) dan [(T11>
T+
δ - 4K) atau
(
δ’> 5K)]}, untuk siang hari
c. {(ΔT > ΔT+3.5δΔt) - (T4 > T4 + 3δ4), untuk malam hari
Dimana :
T4= suhu kecerahan pada panjang gelombang 4 μm
T11 = suhu kecerahan pada panjang gelombang 11 μm
ΔT = T4-T11
= rata-rata dari T4 pixel tetangga yang valid
δ = rata-rata absolut deviasi dari T4 pixel tetangga yang valid
= rata-rata T11 pixel tetangga yang valid
= rata-rata absolut deviasi dari T11 pixel tetangga yang valid
ΔT = rata-rata ΔT dari nilai pixel tetangga yang valid
δ = rata-rata absolut deviasi dari T11 pixel tetangga yang valid
T’4 = Nilai rata-rata suhu kecerahan T4 dari nilai pixel tetangga yang tidak
dihitung sebagai pixel tetangga valid karena tergolong background fires
= Nilai rata-rata absolut deviasi suhu kecerahan T4 dari nilai pixel tetangga
yang tidak dihitung sebagai pixel tetangga valid karena tergolong
background fires.

Estimasi area bekas kebakaran (Burned Area)
Sejauh ini kegiatan pengelolaan kebakaran hutan dan lahan terfokus pada
pencegahan dan penanggulangan, sementara upaya rehabilitasi daerah yang
terkena dampak masih kurang. Hal ini selain disebabkan oleh kurangnya kapasitas
dan kemampuan instansi terkait, juga karena ketidaktersediaannya informasi
mengenai daerah yang terkena dampak sehingga menyulitkan pelaksanaannya.
Metodologi penilaian yang tidak valid dan konsisten dalam penentuan luasan area
kebakaran akan menghasilkan informasi yang tidak akurat.
Data yang diperoleh melalui survei lapangan dapat menjadi sangat tidak
akurat mengingat sebagian besar daerah terbakar tidak memiliki akses yang baik
dan sangat luas. Survei terestrial ini memerlukan waktu yang sangat lama dan
biaya yang tinggi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metode untuk analisis
daerah bekas terbakar (Burned Area Analysis) menggunakan data satelit
penginderaan jauh yang memiliki keunggulan dalam akurasi, cepat, konsisten,
murah dan dapat dilakukan pada daerah yang relatif luas (Suwarsono et al. 2008).
Suwarsono et al. (2008) telah melakukan penelitian untuk menganalisis
daerah bekas kebakaran dengan menggunakan data satelit penginderaan jauh
Terra/Aqua MODIS serta mengestimasi luas hutan dan lahan yang terbakar di
provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian didasarkan pada analisis perubahan
reflektansi yang didukung dengan analisis titik panas untuk mengetahui puncak
terjadinya kebakaran. Analisis ini menggunakan dua buah data sebelum dan
sesudah terjadinya kebakaran hutan dan lahan untuk mengetahui daerah bekas

5
kebakarannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Citra satelit Terra/Aqua
MODIS dapat digunakan untuk melakukan analisis bekas kebakaaran hutan dan
lahan berdasarkan perubahan reflektansi pada kanal MODIS sebelum dan setelah
terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Emisi Karbon
Sekitar 500 milyar ton karbon tersimpan di dalam vegetasi yang ada di
seluruh dunia. Deforestasi dan degradasi hutan menyumbangkan sekitar 17.4%
emisi gas rumah kaca dunia. Masalah ini akan semakin parah apabila terjadi di
hutan tropis dan subtropis dimana stok karbon semakin berkurang dengan ratarata 1-2 milyar ton per tahun (Subedi et al. 2010).
Akibat dari kebakaran hutan dan lahan yaitu terjadi pelepasan senyawa
karbon ke udara. Semakin meningkatnya senyawa karbon (CO2) sebagai gas
rumah kaca, maka efek rumah kaca yang ditimbulkan juga semakin meningkat.
Unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan, karena
hampir 45% materi kering tumbuhan adalah karbon (Hao et al. 1990). Sebagian
besar unsur karbon yang teremisikan ke udara adalah dalam bentuk CO2, sisanya
berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH4, dan asap. Sedangkan sulfur akan
tertinggal sebagai asap dan sedikit terbentuk menjadi SO2 dan unsur klorin
membentuk senyawa CH3Cl (Crutzen dan Andreae 1990; Lobert et al. 1990;
Lobert dan Wartnaz 1993 dalam Syaufina et al. 2009). Bentuk emisi karbon
terbesar yaitu berupa CO2 sebesar 80-90%. Kebakaran mengakselerasi kecepatan
kembalinya CO2 ke atmosfer. Penambahan CO2 ke udara merupakan akibat dari
pembukaan lahan hutan, kebakaran hutan, dan konversi hutan menjadi pertanian
(Syaufina 2008).

CITRA Terra/AquaMODIS
MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan
instrumen utama pada satelit Terra (EOS AM) yang diluncurkan pada 18
Desember 1999 dan satelit Aqua (EOS PM) yang diluncurkan pada 4 Mei 2002.
Satelit Terra mengorbit bumi dari utara ke selatan melewati ekuator pada pagi
hari, sementara Aqua mengorbit dari selatan ke utara melewati ekuator pada siang
hari. Terra MODIS dan Aqua MODIS memotret permukaan bumi setiap 1 sampai
2 hari. MODIS memperoleh data pada 36 kanal spektral, atau kelompok panjang
gelombang antara 0.405 – 14.385 μm. Data diperoleh dari 3 resolusi spasial yaitu
250 m, 500 m, dan 1000 m. Istrumen MODIS ini memiliki lebar petak sapuan
2,330 km. MODIS mengukur radiasi tampak dan infra merah untuk memperoleh
data yang akan digunakan sebagai pengklasifikasian lahan bervegetasi, tutupan
permukaan di darat, klorofil di lautan, awan, aerosol, kejadian terbakar, tutupan
salju, dan tutupan es di lautan (NASA [tanpa tahun]).

6

MODIS Vegetation Index (VI)
Vegetation Indices (VIs) atau indeks vegetasi adalah perubahan nilai
spektral dari dua atau lebih kanal yang dirancang untuk meningkatkan kontribusi
area bervegetasi dan perbandingan temporal dari aktivitas fotosintetik bumi dan
variasi struktur kanopi (Huete et al. 2002). MODIS VI menyediakan
perbandingan kondisi global vegetasi yang konsisten, spasial, dan temporal untuk
memonitor aktivitas fotosintetik (Justice et al. 1998 dalam Huete et al. 2002).
Kedua MODIS VIs yaitu Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan
Enhanced Vegetation Index (EVI) dihasilkan secara bersamaan pada resolusi 1km dan 500-m setiap 16 hari. NDVI lebih sensitif terhadap klorofil, sedangkan
EVI lebih responsif terhadap variasi struktur kanopi, diantaranya termasuk Leaf
Area Index (LAI), tipe kanopi, karakter fisik (physiognomy) tanaman, dan
arsitektur kanopi (Gao et al. 2000). Kedua indeks ini dapat mendeteksi dengan
baik perubahan area vegetasi dan mengekstraksi parameter-parameter biofisik dari
suatu kanopi tanaman (Huete et al. 2002).

Enhanced Vegetation Index (EVI)
EVI adalah indeks vegetasi yang dihasilkan oleh sensor MODIS pada satelit
Terra/Aqua. Kualitas data EVI lebih baik dibandingkan dengan NDVI, karena
indeks ini sudah terkoreksi dari distorsi yang disebabkan oleh cahaya / panjang
gelombang yang dipantulkan oleh partikel di udara (Gao dan Mas 2008). EVI
memiliki sensitifitas yang rendah terhadap efek dari tanah dan atmosfer. Hal ini
dikarenakan EVI juga memasukkan panjang gelombang spektral biru (Huete et al.
2002). Menurut Huete et al. (2002) EVI dirumuskan sebagai berikut :
EVI = G
Dimana ρ adalah reflektan permukaan yang telah terkoreksi atmosferik
(Rayleigh dan penyerapan ozon), L adalah penyesuaian latar belakang kanopi
yang nonlinear, dan C1, C2 adalah koefisien ketahanan aerosol yang menggunakan
kanal biru untuk mengoreksi pengaruh aerosol pada kanal merah. Koefisien yang
digunakan pada algoritma EVI tersebut yaitu L = 1, C1 = 6, C2 = 7.5, dan G (gain
factor) = 2.5 (Huete et al. 1997).

7

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan April – Juni 2013 di Laboratorium
Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian
Bogor dan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bidang
Lingkungan dan Mitigasi Bencana.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa perangkat pengolah
citra penginderaan jauh, Microsoft Office, alat tulis, alat hitung, dan printer.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu, citra MODIS satelit
Terra/Aqua bulan Juni-September tahun 2012 yang diunduh dari
http://lancemodis.eosdis.nasa.gov/imagery/subsets/?subset=WestIndonesia. Data
Hotspot
MODIS
tahun
2012
yang
diperoleh
dari
http://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/download/tmp/firms61591371456040.zip.
Citra MODIS Vegetation Index level 2 (MOD13A1) sebelum dan setelah
terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang digunakan untuk estimasi area bekas
kebakaran. Data ini dapat diunduh dari http://earthexplorer.usgs.gov/. Selanjutnya,
data lain yang digunakan adalah peta administratif provinsi Riau dan peta
penutupan lahan provinsi Riau (MODIS Land Cover). Untuk analisis iklim
terhadap jumlah Hotspot 2012, bahan yang digunakan adalah data BMKG tahun
2012 stasiun Simpangtiga – Pekanbaru dan stasiun Japura – Rengat yaitu rata-rata
angin bulanan, curah hujan bulanan, rata-rata suhu bulanan, dan rata-rata
kelembaban nisbi bulanan. Sedangkan untuk mengetahui pola curah hujan dan
suhu udara secara umum digunakan data BMKG stasiun Simpangtiga – Pekanbaru
tahun 2003-2012.

8
Prosedur Analisis Data
EVI MODIS Riau JuniSeptember tahun 2012

Hotspot MODIS
FIRMS JuniSeptember tahun 2012

Citra MODIS Riau
Juni-September tahun
2012

Data Penutupan Lahan
(Modis Land Cover)

Burned Area

Peta Administrasi Riau

Overlay

Luas Area Terbakar

Biomassa Terbakar

Emisi Karbon
(Seiler dan Crutzen 1980)

Gambar 1 Diagram Analisis Data

Menduga Luas Area Terbakar
1. Menganalisis data citra MODIS provinsi
Riau selama tahun 2012. Data dipilih
apabila secara visual mengindikasikan
kebakaran berdasarkan sebaran asap yang
muncul dari tiap Hotspot. Data yang
diperoleh yaitu tanggal 10, 11, 12 14, 16,
23 Juni 2012, tanggal 2, 21, 27, 30 Juli
2012, tanggal 10, 11, 12 Agustus 2012,
dan tanggal 2 dan 4 September 2012.
2. Pada masing-masing tanggal dibuat
shapefile poligon area yang diduga sebagai
area terbakar, yaitu area yang terlihat asap.

9
3. Shapefile area terbakar tiap tanggal kemudian
dioverlay secara keseluruhan. Dari overlay ini
dapat diketahui bahwa beberapa kebakaran
hutan dan lahan terjadi pada lokasi yang
berdekatan atau bahkan lokasi yang sama.
Artinya kebakaran di area tersebut terjadi
dalam kurun waktu beberapa hari.

4. Area yang telah dioverlay ini kemudian
kembali dikonfirmasi dengan data hotspot
yang sesuai dengan tanggal konfirmasi
asap. Hasil overlay menunjukkan bahwa
titik-titik Hotspot sangat banyak dan
terpusat pada poligon area konfirmasi
asap.
5. Selanjutnya area dioverlay kembali
dengan analisis nilai Vegetation Index
produk 16 harian citra MODIS
(MOD13A1). Dilihat dari waktu terjadinya
kebakaran maka data MODIS yang
digunakan yaitu data citra pada tanggal 24
Mei 2012, 9 Juni 2012, 25 Juni 2012, 11
Juli 2012, 27 Juli 2012, 12 Agustus 2012,
28 Agustus 2012, dan 13 September 2012.
∆ EVI = EVIpre - EVIpost
Luas Area terbakar adalah area yang
memiliki nilai ∆ EVI = 0.15 – 0.25

Perhitungan Estimasi Karbon
Luasan area terbakar yang diperoleh kemudian di-overlay dengan penutupan
lahan MODIS Land Cover (MCD12Q1). Kehilangan biomasa terbakar
dikalkulasikan dengan mengikuti persamaan Seiler dan Crutzen (1980) dalam
Zambrano et al. (2011) :
CO2 = ∑n BAn * BDn * BEn * EFn
Dimana:
CO2 = Emisi gas dari pembakaran biomassa (kg)
BA = Luas area terbakar (m2)
BD = Kerapatan biomassa (kgm-2)
BE = Efisiensi Pembakaran (kg kg-1)
EF = Faktor Emisi CO2 (kg(CO2) kg-1) (Andreae dan Merlet 2001)
n = GLC Code

10
Tabel 1

Tutupan kelas MODIS Land Cover area terbakar yang terdapat di
provinsi Riau dengan parameter persamaan Seiler dan Crutzen (1980)
(Mieville et al. 2010)

Kode
Modis
LC

Kode

BE

GLC

BD
[kgm2]

EF
[gCO2kg1]

Nama

2

Hutan berdaun lebar, selalu hijau

1

23.35

0.25

1580

4

Hutan berdaun lebar, berganti daun

2

20

0.25

1590

5

Hutan daun campuran

6

14

0.25

1569

6

Semak tertutup

11

1.25

0.9

1613

8

Tanaman pendek dengan 30-60% tegakan

13

1.43

0.9

1613

9

14

0.9

0.6

1567

10

Tanaman pendek dengan 10-30% tegakan
Tanaman pendek (rumput) dengan semak
dan tegakan