Survei dan Identifikasi Nematoda Sista Kentang (Globodera spp.) Asal Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah Chapter III V

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Survei dilaksanakan di sentra pertanaman kentang di Desa Patak Banteng, Desa
Parikesit, Desa Tieng, dan Desa Suren Gede (Kecamatan Kejajar, Wonosobo); Desa
Dieng, Desa Karang Tengah, Desa Bakal, Desa Kepakisan, dan Desa Pekasiran
(Kecamatan Batur, Banjarnegara); Desa Condong Campur dan Desa Ratamba
(Kecamatan Pejawaran, Banjarnegara), Jawa Tengah. Semua sampel tanah dan akar
dibawa dan diekstraksi-isolasi di Laboratorium Nematologi Fakultas Pertanian UGM.
Sedangkan proses identifikasi morfologi dan molekuler masing-masing dilakukan di
Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian USU dan Laboratorium Balai
Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian Bekasi. Penelitian dilaksanakan dari
bulan September 2013 sampai September 2014.
Survei dan Pengumpulan Sampel Tanaman Kentang Terinfeksi
Sampel akar dan tanah diambil dari tanaman yang diduga terinfeksi NSK di
lapangan dengan gejala daun menguning, layu, dan pertumbuhan kerdil dari beberapa
daerah pertanaman kentang di Kabupaten Wonosobo (Kecamatan Kejajar) dan
Banjarnegara (Kecamatan Batur dan Pejawaran) Jawa Tengah. Pengambilan sampel
tanah dan akar dilakukan dengan mengambil 100 ml tanah pada kedalaman 0-20 cm.
Lokasi pengambilan sampel tanah ditandai dengan GPS (Geo Positioning System)
untuk mengukur posisi geografis dan elevasi tanah. Pada setiap lokasi diambil 3 sampel
tanah yang mewakili kondisi lahan pada hamparan tersebut.

Pengambilan sampel tanah dilakukan pada 12 lokasi yaitu Desa Patak Banteng,
Desa Parikesit, Desa Tieng, dan Desa Suren Gede (Kecamatan Kejajar, Wonosobo);

Universitas Sumatera Utara

Desa Dieng, Desa Karang Tengah, Desa Bakal, Desa Kepakisan, dan Desa Pekasiran
(Kecamatan Batur, Banjarnegara); Desa Condong Campur dan Desa Ratamba
(Kecamatan Pejawaran, Banjarnegara), Jawa Tengah. Sampel akar dan tanah
dimasukkan ke dalam kantong plastik diberi label lokasi dan dimasukkan ke dalam
kotak pendingin, selanjutnya dibawa ke Laboratorium Nematologi Tumbuhan Fakultas
Pertanian UGM. Sebagai infomasi tambahan, dari setiap sampel dicatat kultivar dan
umur tanaman.
Setiap sampel tanah diekstraksi dengan metode penyaringan (Hooper, 1986),
sedangkan sampel akar dicuci dengan hati-hati dan dikeringanginkan. Selanjutnya sista
pada akar dan tanah dikumpulkan dengan menggunakan pinset atau jarum preparat dan
dihitung jumlah sista untuk setiap 100 ml tanah.
Identifikasi Spesies NSK berdasarkan Karakter Morfologi
Untuk identifikasi spesies dengan menggunakan karakter morfologi dan
morfometri tidak semua isolat NSK digunakan. Dari 12 isolat NSK yang ada,
hanya isolat (C6) saja yang digunakan pada percobaan ini. Sedangkan isolat-isolat

lain tidak diidentifikasi secara morfologi karena kepadatan populasi yang rendah
dan akan diidentifikasi dengan menggunakan karakter molokuler.
Sebanyak 25 sista dibuat preparatnya dengan memotong bagian posterior
sista menggunakan pisau bedah, kemudian telur dan juvenil yang ada di dalamnya
dibersihkan dengan jarum pancing nematoda.Setelah itu potongan sista
dipindahkan ke atas gelas objek yang telah ditetesi dengan Hoyer (30 gram gun
arabik, 200 gram kloral hidrat, 16 gram gliserol, dan dan 200 ml aquades)lalu
ditutup dengan gelas penutup.
Juvenil stadia 2 (J2) dan telur dikumpulkan pada tempat terpisah,

Universitas Sumatera Utara

kemudian dimatikan dengan pemanasan. Selanjutnya J2 dan telur masing-masing
diletakkan di atas gelas objek yang telah diteteskan lactophenol cotton blue
kemudian ditutup dengan gelas penutup.
Pengamatan
Pengambilan gambar setiap sampel dilakukan dibawah mikroskop
kompaun(Olympus CX21) dengan perbesaran 40x (10 x 4) untuk sista dan
perbesaran 100x (10 x 10) untuk J2 dan telur dengan kamera digital Sony
Cybershot DSC-W690.Preparat sista, telur, dan juvenile stadia 2 (J2) hasil

pengamatan morfologi dan morfometri dipilih masing-masing satu gambar yang
dapat mendeskripsikan ciri dari NSK tersebut. Sedangkan proses pengukuran
dilakukan dengan menggunakan mikrometer okuler dan mikrometer objektif,
dengan rumus berikut (Adiliet al., 2014):
1 Skala Okuler =

Jarak skala antara 2 garis pada mokrometer objektif
Jarak skala pada mikrometer okuler

= 0,01 x

= 10 x

Skala Objektif
Skala Okuler

(mm)

Skala Objektif
Skala Okuler


(µm)

Hasil perhitungan dengan rumus diatas akan dikonfirmasi dengan
menggunakan kunci determinasi spesies NSK Fleming dan Powers (1998).
Sista
Pengamatan sidik pantat (perrenial pattern) sista dengan menggunakan
mikroskop kompaun (Olympus CX21) perbesaran 400x dengan mengukur
diameter fenestra, jarak anus ke fenestra, dan rasio granek yaitu jarak antara
fenestra dengan anus dibagi dengan diameterfenestra.

Universitas Sumatera Utara

Telur
Pengamatan pada telur dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar
telur.
Juvenil Stadia 2 (J2)
Pengamatan pada juvenil stadia 2 (J2) dilakukan dengan mengukur
panjang dan lebar tubuh, panjang dan lebar kepala, panjang stilet, tipe knob,
serta panjang ekor.

Identifikasi Spesies NSK berdasarkan Karakter Molekuler
Identifikasi

spesies

NSK

dilakukan

dengan

pendekatan

molekuler

menggunakan polymerase chain reaction (PCR).
Ekstraksi DNA
Metode ekstraksi DNA untuk PCR disusun berdasarkan metode yang
dilakukan oleh Fullaondo et al. (1999) ; Subbotin et al. (2001) dalam Lisnawita
(2007) yang telah dimodifikasi. Dua puluh lima sista dikumpulkan secara acak dari

setiap sampel, kemudian dimasukkan kedalameppendof steril yang berisi 150 µl
buffer lisis (125 mM KCl ; 25 mM Tris-HCl, pH 8,0 ; 3,75 mM MgCl2 ; 2,5 mM
DTT ; 1,125% Tween 20 dan 0,025% gelatin) dan ditambahkan 5 µl Proteinase K
(600 µg/ml) (USB, UK) kemudian digerus dengan pistil mikro plastik selama 2-3
menit, selanjutnya di vortex dan diinkubasi pada suhu 65oC selama 1 jam,
dilanjutkan inkubasi pada suhu 95oC selama 10 menit, setelah itu disentrifugasi
dengan kecepatan 11.000 rpm selama 10 menit.Supernatan dipindahkan pada
tabung baru dan ditambahkan1 volume kloroform : isoamil alkohol (24:1),
divorteks dan disentrifugasi dengan kecepatan 11.000 rpm selama 10 menit.

Universitas Sumatera Utara

Supernatan dipindahkan pada tabung baru dan ditambahkan 2,5 volume total
supernatan NAOAc 3 M (pH 5,2), kemudian diinkubasi selama 20 menit pada
temperatur -20oC. Setelah itu tabung disentifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm
selama 10menit, lalu supernatan dibuang. Pelet dicuci dengan 500 µl etanol 70%
dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 10 menit. Etanol dibuang,
pelet diambil dan dikeringkan dalam vakum, kemudian diresuspensi dengan 20 µl
air steril (ddH2O). Jika DNA belum segera digunakan, dapat disimpan pada
temperatur -20oC. DNA hasil ekstraksi diamplifikasi dengan teknik PCR

berdasarkan metode Fullaondo et al. (1999).
Reaksi PCR DNA Sista NSK
Setiap reaksi PCR (25 µl) terdiri atas 25 ng DNA template dari masingmasing sampel, yang terdiri dari 50 mM Tris-HCl (pH 9,0) ; 50 mM KCl ; 1,5 mM
MgCl2 ; 0,1% Triton X-100 ; 0,2 mM setiap dNTP (New England Biolabs), 50 ng
setiap primer dan 0,5 unit Taq polymerase(New England Biolabs). Primer yang
digunakan reaksi PCR DNA sista NSK yaitu: primer spesifik G. rostochiensis
PITSr3 (5’-AGCGCAGACATGCCGCAA-3’), primer spesifik G. pallida PITSp4
(5’-ACAACAGCAATCGTCGAG-3’)(Bulman & Marshall, 1997) dan primer
universal nematoda ITS5 (5’-GGAAGTAAAAGTCGTAACAAGG-3’) (White et
al., 1990).
Amplifikasi DNA dilakukan dengan denaturasi awal pada 94oC selama 2
menit, kemudian dilanjutkan dengan 35 siklus yang melalui tiga tahapan, yaitu
pemisahan utas DNA (denaturation) pada 94oC selama 30 detik, penempelan
primer (annealing) pada suhu 60oC selama 30 detik dan sintesis DNA (extention)
pada 72oC selama 30 detik. Khusus untuk siklus terakhir ditambah tahapan sintesis

Universitas Sumatera Utara

selama 7 menit, kemudian siklus berakhir pada suhu 4oC. Ukuran produk PCR
untuk G. rostochiensis adalah 434 bp dan untuk G. pallida adalah 265 bp.

Elektroforesis
Lima µl fragmen DNA hasil amplifikasi PCR dianalisis dengan
elektroforesis pada 1,2% gel agarose dalam buffer Trisborate EDTA (TBE) 1x
dengan tegangan 75 Volt selama 45 menit(Subbotin et al., 2001) dan diamati
dengan UV transiluminator setelah diberi warna dengan 1 µlethidium bromide.

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran Nematoda Sista Kentang di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di sentra pertanaman kentang di
Kabupaten Wonosobo (4 lokasi) dan Kabupaten Banjarnegara (7 lokasi) Jawa Tengah
diketahui bahwa NSK telah tersebar diseluruh wilayah tersebut (Gambar 1). Hasil
survei juga menunjukkan bahwa NSK telah menyebar pada ketinggian tempat yang
berbeda yaitu dimulai dari ketinggian 1577 m dpl sampai dengan 2047 m dpl.
Disamping itu, dari hasil survei di Desa Patak Banteng, Desa Parikesit, Desa Tieng, dan
Desa Suren Gede (Kecamatan Kejajar, Wonosobo); Desa Dieng, Desa Karang Tengah,
Desa Bakal, Desa Kepakisan, dan Desa Pekasiran (Kecamatan Batur, Banjarnegara);
Desa Condong Campur dan Desa Ratamba (Kecamatan Pejawaran, Banjarnegara),
Jawa Tengah diketahui NSK dapat menyerang semua kultivar kentang yang ditanam

petani di lapangan. Kultivar yang ditanam oleh petani yaitu Granola dan Granola MZ
(hasil persilangan Granola lokal dan Granola asal Jerman) (Tabel 1).

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel NSK di Banjarnegara dan Wonosobo Jawa
Tengah

Universitas Sumatera Utara

Tanaman yang terinfeksi NSK di lapangan menunjukkan gejala yang sama
dengan gejala serangan nematoda pada umumnya. Infeksi NSK pada fase vegetatif
dengan tingkat populasi yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat
(tanaman kerdil), kekuningan, layu dan nekrosis (Gambar 2A dan Gambar 2B),
sedangkan pada fase generatif, infeksi NSK dapat mengakibatkan umbi yang dihasilkan
berukuran kecil dan apabila tanaman dicabut, akan terlihat betina dan sista menempel
pada permukaan akar tanaman kentang (Gambar 2C). Pada tingkat infestasi tertentu,
sista kadang-kadang dapat dilihat pada permukaan umbi dan akar tanaman
kentang.

A


B

C

Gambar 2. Gejala NSK di lapangan. Tanaman kentang dominan layu dan daun
menguning (A dan B); Sista menempel pada permukaan akar tanaman
kentang (ditunjukkan dengan tanda panah) (C)

Saat panen, sebagian besar sista menjadi terpisah dari akar dan tetap di
tanah sebagai sumber infestasi untuk tanaman kentang di musim tanam
berikutnya. Saat tanaman inang tidak ada, sebagian besar telur menetas dalam
waktu 7 tahun, dan populasi akan menurun. Namun, beberapa telur dapat bertahan
hidup di tanah selama 10 tahun atau lebih (Taylor, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Lokasi sebaran sampel NSK di Jawa Tengah dan jumlah sista per 100ml tanah
& 10 g akar
Suhu
Kode

Ketinggian
Umur
Lokasi
Sista Tanah
Kultivar
Isolat
(m dpl)
Tanaman
(°C)
C1
Desa Patak Banteng
1.998
100
16
Granola
70 Hst
MZ
Kecamatan Kejajar
Kabupaten Wonosobo
C2
Desa Parikesit
1.982
82
16
Granola
100 Hst
MZ
Kecamatan Kejajar
Kabupaten Wonosobo
C3
Desa Tieng
1.814
52
19
Granola
50 Hst
Kecamatan Kejajar
Kabupaten Wonosobo
C4
Desa Suren Gede
1.581
1
24
Granola
70 Hst
MZ
Kecamatan Kejajar
Kabupaten Wonosobo
C5
Desa Suren Gede
1.650
1
23
Granola
50 Hst
MZ
Kecamatan Kejajar
Kabupaten Wonosobo
C6
Desa Dieng
2.047
131
15
Granola
50 Hst
MZ
Kecamatan Batur
Kabupaten Banjarnegara
C7
DesaKarang Tengah
1.996
56
16
Granola
60 Hst
MZ
Kecamatan Batur
Kabupaten Banjarnegara
C8
DesaBakal
1.953
88
16
Granola
50 Hst
MZ
Kecamatan Batur
Kabupaten Banjarnegara
C9
DesaKepakisan
1.815
55
19
Granola
70 Hst
MZ
Kecamatan Batur
Kabupaten Banjarnegara
C10 DesaPekasiran
1.694
47
22
Granola
50 Hst
MZ
Kecamatan Batur
Kabupaten Banjarnegara
C11 Desa Condong Campur
1.676
54
22
Granola
65 Hst
MZ
Kecamatan Pejawaran
Kabupaten Banjarnegara
C12 Desa Ratamba
1.577
31
24
Granola
65 Hst
Kecamatan Pejawaran
Kabupaten Banjarnegara

Universitas Sumatera Utara

Hasil ekstraksi-isolasi NSK dari tanah dan akar, memperlihatkan kepadatan
populasi patogen tersebut bervariasi di setiap lokasi pengambilan sampel (Tabel 1).
Populasi NSK tertinggi terdapat di Desa Dieng (Kabupaten Bajarnegara) dan Desa
Patak Banteng (Kabupaten Wonosobo) dengan masing-masing populasi 131 sista/100
ml dan 100 sista/100 ml tanah, sedangkan populasi terendah terdapat di Desa Suren
Gede (Kabupaten Wonosobo) dan Desa Ratamba (Kabupaten Bajarnegara) masingmasing 1 sista/100 ml tanah dan 31 sista/100 ml tanah.
Hasil survei menunjukkan bahwa nematoda ini telah menyebar luas pada
sentra pertanaman kentang di Jawa Tengah. Infeksi NSK dapat terjadi pada semua
umur tanaman, mulai tanaman muda hingga tanaman yang siap panen. Infeksi
yang terjadi pada fase vegetatif ditandai dengan gejala daun menguning, layu,
pertumbuhan terhambat dan akhirnya tanaman mati. Sedangkan infeksi pada
tanaman yang telah memasuki fase generatif tanaman masih dapat menghasilkan,
tetapi umbi yang dihasilkan berukuran kecil dan dibawah rata-rata produksi
normal. Pada populasi NSK yang cukup tinggi seperti di Desa Dieng, Kecamatan
Batur (Kabupaten Banjarnegara) dan Desa Patak Banteng, Kecamatan Kejajar
(Kabupaten Wonosobo) diperoleh sista dengan jumlah masing-masing 131 dan 100
sista per 100 ml tanah. Sista dapat dilihat secara visual pada tanah dan nematoda betina
dengan warna keemasan menempel berderet pada akar tanaman kentang (Gambar 2C).
Nematoda sista kentang (G. rostochiensis dan G. pallida) merupakan nematoda
utama yang menyebabkan kerusakan di areal pertanaman kentang dan memiliki
sebaran geografi yang sangat luas. Saat ini penyebaran NSK di seluruh dunia sedikitnya
ada 106 negara yang tersebar di Benua Asia, Eropa, Amerika, dan Australia
(CABI, 2014). Di Indonesia spesiesG. rostochiensistelah tersebar di seluruh lahan

Universitas Sumatera Utara

kentang di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur (Lisnawita, 2007). Khusus di
Jawa Tengah (Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara), infeksi NSK menjadi lebih
serius dengan adanya G. pallida (Lisnawita et al., 2012) dan menyebabkan tidak ada
kultivar yang tahan terhadap spesies ini.
Terdeteksinya NSK di sentra-sentra pertanaman kentang di Jawa Tengah,
diduga telah ada dalam waktu yang lama. Seperti diketahui bahwa penggunaan bibit
kentang impor telah berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Menurut
Suwardiwijaya et al. (2007), sejak tahun 1985 petani di Jawa Tengah telah
menggunakan benih impor asal Jerman yang telah terinfestasi NSK. Keadaan ini
memungkinkan untuk NSK bisa berkembang dengan baik di wilayah Jawa Tengah
tersebut. Nematoda sista kentang dapat terdeteksi dan menyebabkan endemik di suatu
daerah memerlukan waktu sekitar 7 tahun (Brodie, 1998).
Hasil survei ini, akan menjadi acaman serius bagi pertanaman di wilayahwilayah lain yang merupakan sentra pertanaman kentang di Indonesia. Hal ini
dikarenakan NSK sulit untuk dikendalikan. Ketika NSK terinfestasi di suatu lahan,
maka NSK akan bertahan pada lahan tersebut dan akan tetap ada walaupun kentang
tidak ditanam dalam jangka waktu yang lama. Menurut Quader et al.(2008); Nakhla
et al.(2010) nematoda ini dapat bertahan di dalam tanah pada kondisi dorman
tanpa tanaman inang selama 30 tahun dalam bentuk sista. Walaupun hasil survei
menunjukkan variasi populasi NSK dari rendah hingga tinggi, namun kondisi ini
tidak menghalangi terjadinya ledakan penyakit di wilayah tersebut.
Hasil survei menunjukkan bahwa kedua kultivar kentang yang ditanam
petani di lokasi sampel yaitu Granola dan Granola MZ dapat terinfeksi NSK pada
berbagai tingkat ketinggian tempat. Tingginya populasi NSK di Wonosobo dan

Universitas Sumatera Utara

Banjarnegara Jawa Tengah, diduga karena pola petani yang melakukan sistem
pertanaman monokultur secara terus menerus. Pola penanaman monokultur
mengakibatkan populasi NSK meningkat dengan cepat, karena ketersediaan inang
bagi patogen ini yang ada sepanjang tahun. Di Jawa Tengah, petani menanam
kentang sepanjang tahun. Pola tanam seperti ini memungkinkan perkembangan
penyakit lebih cepat dibandingkan dengan polikultur.
Nematoda Sista Kentang hidup berkoevolusi dengan tanaman kentang.
Kondisi agroekosistem yang cocok untuk kehidupan tanaman kentang juga sangat
cocok untuk kehidupan NSK. Perpindahan NSK dari satu tempat ke tempat lain
secara aktif sangat terbatas, tetapi sebaran NSK tersebut justru dapat terjadi sangat
cepat dan luas secara pasif. Penyebaran NSK dapat terjadi melalui air (perkolasi,
aliran permukaan, banjir, aliran selokan dan sungai), tanah (erosi air, erosi angin,
tanah yang menempel di alat-alat pertanian, kaki dan sepatu, ternak, mesin
pertanian dan lainnya), manusia dan binatang, tanaman dan lain sebagainya.
Kemampuan bertahan (survive), reproduksi dan dinamika populasi NSK lebih
spesifik dibandingkan dengan nematoda parasit lain yang sejenis. Dinamika
populasi NSK sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantara faktor biotik
(predasi, parasitisme, interaksi kompetitif, abiotik (sifat tanah, iklim), kegiatan
pertanian (pola tanam dan bera).
Berdasarkan data EPPO (2013), di Chili kerugian akibat infestasi NSK
pada kentang yang ditanam pada musim dingin dan musim panas berbeda.
Kentang yang ditanam pada musim dingin menunjukkan ambang toleransi 0,8
telur/gram tanah, pada musim semi 1,56 telur/gram tanah, sedangkan pada musim
panas 1,3 telur/gram tanah. Pada musim panas tersebut penurunan produksi

Universitas Sumatera Utara

kentang tercatat 20, 50 dan 70% pada densitas populasi awal nematoda 12, 32 dan
128 telur per gram tanah. Pada musim dingin, penurunan produksi tersebut
tercatat 20, 50 dan 70% pada densitas populasi awal 12, 32 dan 128 telur per gram
tanah. Selanjutnya di Polandia lahan kentang yang terinfestasi NSK khususnya G.
rostochiensis, meskipun jumlah sista bertambah menjadi 63 sista/100 g tanah
selama 4 tahun hasilnya tidak berpengaruh, namun pada tahun kelima jumlah sista
akan mencapai 180 sista/100 g tanah (hingga mencapai 3000 sista/tanaman) akan
mengakibatkan penurunan hasil hingga 72%. Untuk menghindari penurunan hasil
yang begitu besar akibat penyebaran NSK di wilayah-wilayah pertanaman
kentang lain di Indonesia, maka diperlukan monitoring perkembangan penyakit di
areal yang telah terinfeksi. Disamping itu, di wilayah lain yang belum terinfestasi
NSK, diharapkan kerjasama dan pengawasan dari pihak terkait seperti Badan
Karantina Tumbuhan agar patogen ini tidak masuk dan menginfeksi. Jika tidak
ada pengawasan yang lebih ketat, dikhawatirkan nematoda ini akan semakin
tersebar luas di areal pertanaman kentang di Indonesia.
Perkembangan penyakit dan siklus hidup dari patogen ini sangat
dipengaruhi oleh temperatur tanah. Hasil survei, temperatur tanah 15-16°C
memperlihatkan populasi sista cenderung lebih tinggi yaitu 131 dan 100 sista per
100 ml tanah, sedangkan pada temperatur tanah 23-24°C populasi sista sangat
rendah, yaitu 31 dan 1 sista per 100 ml tanah. Hal ini sesuai dengan Marks dan
Brodie (1998); Hadisoeganda (2006); Lisnawita et al. (2012) yang menyatakan
bahwa temperatur tanah berpengaruh terhadap perkembangan NSK. Lebih lanjut
Marks dan Brodie (1998) menjelaskan bahwa kisaran temperatur yang optimum
untuk proses penetasan telur G. rostochiensis adalah 18-24°C, sedangkan untuk

Universitas Sumatera Utara

perkembangan dan reproduksi NSKberkisar 15-21°C. Meskipun begitu tidak
berarti bahwa di luar kisaran temperatur tanah tersebut di atas, NSK tidak akan
mampu berkembang dengan optimal (Hadisoeganda, 2006). Mengingat bahwa
kemampuan daya adaptasi NSK khususnya terhadap temperatur, durasi
penyinaran matahari dan cara budidaya tanaman yang kuat, maka penyebaran dan
masalah yang akan ditimbulkan oleh NSK terhadap budidaya kentang di kawasan
lain (medium dan rendah) perlu diwaspadai.
Pengalaman negara-negara di Eropa dan Amerika yang telah kehilangan
hasil kentang mendekati 100% akibat serangan NSK (Brodie, 1998), seharusnya
menjadi perhatian serius bagi Indonesia. Dimana masih banyak wilayah-wilayah
pertanaman kentang yang masih bebas dari patogen ini. Karena potensi
merusaknya yang begitu besar, maka Indonesia memasukkan NSK ke dalam
golongan organisme pengganggu tanaman karantina (OPTK). Dimana sebelum
2003, pemerintah melalui Badan Karantina menggolongkan patogen ini ke dalam
OPTK kelas A1, yang berarti belum ada dan tidak boleh masuk ke seluruh
wilayah Indonesia. Namun setelah kemunculannya pada Maret 2003 di
Kecamatan Bumi Aji Batu Jawa Timur, NSK masuk menjadi golongan OPTK
kelas A2 yang berarti sudah ada di wilayah Indonesia namun penyebarannya
masih terbatas dan dalam pengendalian, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri
Pertanian nomor 38/Kpts/HK.060/1/2006 tanggal 27 Januari 2006. Jawa Tengah
sebagai wilayah dengan luasan areal pertanaman kentang terbesar di Indonesia
yaitu mencapai 17.630 Ha, seharusnya mendapat perhatian yang serius dalam
mengkaji faktor-faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi perkembangan
patogen ini.

Universitas Sumatera Utara

Hasil survei dan identifikasi ini merupakan informasi yang sangat penting,
karena memberikan informasi tentang sebaran dan spesies NSK yang terinfestasi
di Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah. Dengan demikian dapat menjadi
dasar pertimbangan bagi pengambil kebijakan di Jawa Tengah maupun nasional
dalam penyusunan program pengendalian NSK. Mengingat patogen ini memiliki
keunikan, dimana satu sista saja yang terinfestasi dapat berkembang menjadi
populasi yang besar dan mengakibatkan perkembangan penyakit yang luar biasa
pada kurun waktu tertentu.
Semua teknik pengendalian harus dilakukan dengan tujuan untuk menekan
perkembangan

hingga

meniadakan

sumber

inokulum.

Saat

ini

teknik

pengendalian menggunakan kultivar resisten banyak digunakan. Dimana menurut
Lisnawita (2007) teknik ini yang paling efektif dan banyak dilakukan di Eropa.
Dari data Joosten (1991 dalam Lisnawita, 2007), di Eropa ada beberapa kultivar
kentang yang resisten terhadap NSK diantaranya Granola resisten Ro1 dan Ro4,
Atlantik Ro1, Elkana resisten Ro1-Ro4, Astarte resisten Ro1, Diamant resisten
Ro1 dan Ro4, Karida resisten Ro1-Ro4, Ditta resisten Ro1, Remarka resisten Ro1,
Karniko resisten Ro1-Ro4, Sante resisten Ro1-Ro4, dan lain sebagainya. Akan
tetapi di Indonesia informasi tentang teknik ini masih belum tersedia. Oleh karena
itu, eksplorasi sifat ketahanan kultivar kentang yang banyak ditanam di Indonesia
seperti Granola perlu dilakukan. Melalui kegiatan evaluasi ketahanan, maka peta
respon ketahanan berbagai kultivar kentang bisa didapatkan (Lisnawita, 2007).
Teknik pengendalian lain yang dapat dilakukan dengan penggunaan
tanaman perangkap. Hal ini juga sudah banyak dilakukan negara-negara di Eropa
dan Amerika. Salah satu tanaman perangkap yang dapat digunakan adalah tomat

Universitas Sumatera Utara

Varietas Dona (Lisnawita, 2007). Berdasarkan laporan Supramana et al. (2006),
tanaman tomat varietas Dona memberikan hasil yang terbaik sebagai tanaman
perangkap untuk NSK dibandingkan dengan terung dan cabe dari famili
Solanaceae. Pengendalian dengan menggunakan tanaman perangkap di negaranegara Eropa dan Amerika dilaporkan dapat menurunkan populasi NSK secara
nyata (Lisnawita, 2007). Beberapa keuntungan menggunakan tanaman perangkap,
yaitu 1) dapat dikombinasikan bersama-sama dengan teknik pengendalian lain, 2)
waktu yang dibutuhkan relatif singkat yaitu sekitar 6-7 minggu, sehingga tidak
merubah waktu tanam kentang petani, 3) teknik pengendalian ini merupakan
teknik pengendalian lintas spesies dan patotipe, artinya untuk menggunakan
tanaman perangkap tidak memerlukan identifikasi spesies dan patotipe NSK
terlebih dahulu, karena tanaman perangkap dapat efektif untuk semua spesies dan
patotipe NSK, dan 4) penggunaan tanaman perangkap aman bagi lingkungan dan
kesehatan (Lisnawita, 2007).
Selain pengendalian di atas, teknik pengendalian lain yang masih banyak
dikembangkan oleh peneliti adalah agens hayati. Menurut Indarti (2012) mikroba
tanah potensial yang saat ini dapat berperan sebagai agens hayati untuk menekan
populasi NSK diantaranyaHypocera (=Trichoderma) virens, Fusarium oxysporum
(non patogenik), F. equiseti, Penicillium tritinum P. oxalicum, Talaromyces flavus
serta Talaromyces sp. Lebih lanjut dijelaskan bahwa isolat tersebut mampu
memarasit telur dan sista dengan kemampuan parasitasi lebih dari 50 %. Lebih
lanjut Jacobs et al. (2003 dalam Lisnawita, 2007) melaporkan beberapa cendawan
yang dapat menginfeksi betina dan telur NSK, yaitu Verticiliumclamydosporia,
Paecilomyces lilacinus, Plecthophaerella cucumerina. Ketiga cendawan ini

Universitas Sumatera Utara

dikembangkan sebagai agens hayati di Inggris (UK). Pemberian P. cucumerina
secara tunggal dapat menurunkan populasi G. rostochiensisdan G. pallidahingga
lebih dari 60%.
Selain cendawan, ada juga beberapa jenis bakteri yang dapat berfungsi
sebagai agens hayati untuk NSK. Beberapa bakteri tersebut diantaranya
Agrobacterium radiobacter, Bacillus subtilis, Pseudomonas spp. Selain itu,
Pasteuria penetrans juga jenis bakteri yang dapat menurunkan laju perkembangan
NSK (Lisnawita, 2007).
Pengendalian secara hayati, tentunya tidak dapat bekerja sendiri. Oleh
karena itu diperlukan kombinasi pengendalian yang sesuai dengan konsep
pengendalian secara terpadu, yaitu bersama-sama dengan solarisasi tanah,
penggunaan varietas tahan, penggunaan tanaman perangkap, dan penggunaan
nematisida.
Identifikasi Spesies NSK berdasarkan Karakter Morfologi
Hasil identifikasi berdasarkan karakter morfologi yang dilakukan pada isolat C6
dapat dilihat pada Gambar 3.
Sista
Sista merupakan betina dengan kutikula yang mengeras dan berbentuk
membulat, sedikit ellips atau ovoid. Di dalam sista berisi telur dan juvenil
stadia 2 (J2) yang akan menjadi generasi berikutnya. Pada sista tidak
ditemukan adanya vulval cone (vulva terlihat menonjol seperti kerucut),
vulval basin hilang dan membentuk single circular fenestra. Sista berwarna
kuning hingga kecoklatan (Gambar 3A). Hasil pengukuran perrenial pattern
sista (Gambar 3B) diperoleh diameter fenestra (17 µm), jarak anus ke fenestra

Universitas Sumatera Utara

(61,5 µm), dan rasio granek (3,62).

jaf
vb

A

a

B

C

D

Gambar 3. Karakter morfologi nematoda sista kentang. Sista (A), sidik pantat
(perrenial pattern) (B), Juvenil stadia 2 (J2) serta telur (C, D) (vb =
vulva basin, a = anus, jaf = jarak anus-fenestra, RG = 3,62)

Telur
Telur berada di dalam sista. Apabila sista dibelah atau dipecahkan telur
dan juvenil stadia 1 (J1) dan juvenil stadia 2 (J2) akan terlihat dalam jumlah
yang cukup banyak (Gambar 3C). Telur berbentuk oval dan tidak ada kantung
telur (Gambar 3D). Permukaan cangkang halus dan tidak memiliki mikrovili.
Hasil pengukuran yang dilakukan, diperoleh panjang telur (103 µm) dan lebar
(47 µm).
Juvenil Stadia 2 (J2)
Juvenil stadia 2 (J2) berbentuk cacing (Gambar 4A), dengan bentuk
ekor semakin ke ujung semakin mengecil (Gambar 4B). Kepala sedikit offset
(bagian kepala dengan bagian tubuh dibelakang kepala dipisahkan suatu
lekukan pada kutikula). Stilet tipe stomatosilet dan berkembang dengan baik.
Knob stilet (pangkal stilet) berbentuk membulat. Panjang tubuh total (548
µm) dan lebar tubuh maksimum (24,5 µm). Lebar kepala (4,4 µm), panjang
stylet (25,2 µm), panjang ekor (57,4 µm), sedangkan tipe knob berbentuk
bulat (Gambar 4A).

Universitas Sumatera Utara

B

A

C
kp

st

kb

Gambar 4. Morfologi juvenil stadia 2 (J2) (A). Daerah anterior (B) dan ekor (C).
(kb = knob, kp = kepala, st = stilet)

Identifikasi Spesies NSK berdasarkan Karakter Molekuler
Hasil amplifikasi DNA dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik G.
rostochiensis PITSr3 (5’-AGCGCAGACATGCCGCAA-3’), primer spesifik G.
pallida PITSp4 (5’-ACAACAGCAATCGTCGAG-3’)(Bulman & Marshall, 1997;
Garcia

et

al.,

2009)

dan

primer

universal

nematoda

ITS5

(5’-

GGAAGTAAAAGTCGTAACAAGG-3’) (White et al., 1990; Garcia et al., 2009)
terhadap 12 populasi NSK menghasilkan satu pola pita DNA dengan ukuran 434 bp.
Ukuran pita 434 bp ditemukan pada semua populasi NSK yaitu, Kabupaten Wonosobo
(C1-C5) dan Kabupaten Banjarnegara (C6-C12). Menurut Quader et al.(2008);
Nakhla et al.(2010), pita dengan ukuran ini merupakan spesies G. rostochiensis
(Gambar 5).

Universitas Sumatera Utara

434 bp

Gambar 5. Hasil amplifikasi DNA NSK dengan PCR menggunakan primer spesifik
untuk G. rostochiensis PITSr3, primer spesifik G. pallida PITSp4 dan
primer universal nematoda ITS5 (Bulman&Marshall, 1997; Garcia et al.,
2009). 1-5. NSK C1, C2, C3, C4 dan C5 (Wonosobo), 6-12. NSK C6, C7,
C8, C9, C10, C11 dan C12 (Banjarnegara). M=Marker 100 bp ladder
Invitrogen.

Identifikasi NSK berdasarkan karakter morfologi dari sampel yang digunakan
adalah G. rostochiensis. Hasil ini dapat dilihat dari karakter yang diamati diantaranya
sista, telur dan juvenil stadia 2 (J2) (Gambar 3 dan 4). Pengamatan pada sista dan
juvenil stadia 2 (J2) merupakan hal yang paling penting selain pengamatan pada telur,
betina dan jantan (Oro et al.,2010). Miller dan Gray (1968); Stone (1973); Skantar et
al.(2007) menggunakan daerah antara anus dan fenestra sista untuk membedakan
antara G. virginiae, G. tabacum,G. rostochiensisdan G. pallida.
Pengamatan pada sista diperoleh rasio granek yang diperoleh dari jarak
antara fenestra dengan anus dibagi dengan diameter fenestra sebesar 3,62.
Pengukuran terhadap nilai rasio granek sista dan jarak anus-fenestra menurut
Fleming dan Powers

(1998dalamCABI, 2014) dapat digunakan

untuk

membedakan spesies.Lebih lanjut Fleming dan Powers (1998 dalam CABI, 2014)
menjelaskan bahwa antara G. rostochiensis dan G. pallida memiliki rasio granek
yang berbeda. G. rostochiensismemiliki rasio granek lebih dari 3, sedangkan G.

Universitas Sumatera Utara

pallida kurang dari 3. Nilai

rasio granek dibutuhkan untuk membedakanG.

rostochiensis dan G. pallida karena keduanya memiliki tipe vulva yang sama, yaitu
tidak terdapat vulval cone(vulva tampak menonjol seperti kerucut). Vulval cone
dimiliki nematoda sista yang berasal dari genus Heterodera. Selain itu,
pengamatan dilakukan dengan pengukuran jarak antara anus-fenestra dengan nilai jarak
sebesar 61,5 µm. Nematoda sista kentang dengan karakter seperti ini termasuk
dalam spesies G. rostochiensis.
Selain nilai rasio granek, pengamatan pola tonjolan kutikula (cuticular ridges)
dari anus-fenestra juga dapat digunakan untuk membedakan G. rostochiensis dan G.
pallida. Jumlah pola tonjolan kutikula yang dimiliki G. rostochiensis lebih dari 14,
sedangkan G. pallida kurang dari 14 (Fleming & Powers, 1998 dalamCABI, 2014).
G. rostochiensis sangat mirip dengan spesies lain dari kelompok nematoda
sista. Morfologi, penampilan fenotipik dan biologi serta kisaran inang sangat sulit
untuk membedakan spesies dari G. tabacum, G. solanacearum, G. virginiae, dan
G. pallida (CABI, 2014). Semua betina G. rostochiensis, G. tabacum dan
Globodera spp. saat menempel pada akar berwarna kuning-keemasan, kemudian
kutikula sista menjadi berwarna coklat saat terlepas dari akar (Gitty & Maafi,
2010 ; EPPO, 2013). Sedangkan pada juvenil stadia dua (J2), menurut Roberts
dan Stone (1981) ; Stelter (1987), adanya hibridisasi G. rostochiensis dengan
kelompok G. tabacum membuktikan hubungan genetik yang kuat.
Untuk melengkapi diagnosis morfologi, identifikasi molekuler juga
dilakukan dengan menggunakan PCR dari DNA sista NSK (Subbotin et al., 2000;
Radivojevic et al., 2001; Reid & Pickup, 2005; Skantar et al., 2007). Pada
penelitian ini digunakan primer spesifik G. rostochiensis PITSr3 (5’- AGC GCA

Universitas Sumatera Utara

GAC ATG CCG CAA -3’), primer spesifik G. pallida PITSp4 (5’- ACA ACA
GCA ATC GTC GAG -3’) (Bulman & Marshall, 1997; Garcia et al., 2009) dan
primer universal nematoda ITS5 (5’- GGA AGT AAA AGT CGT AAC AAG G3’) (White et al., 1990; Garcia et al., 2009). Hasilnya, spesies yang teridentifikasi
secara molekuler adalah G. rostochiensis (434 bp) sementara tidak satupun hasil
amplikasi menunjukkan (Gambar 4) fragmen DNA dari spesies G. pallida (265
bp).
Hasil yang berbeda diperoleh peneliti terdahulu Lisnawita (2007) dan
Nurjanah (2009) di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Kedua
peneliti tersebut berhasil mengamplifikasi fragmen DNA berukuran 238 bp
dengan menggunakan pasangan primer ITS-1 R dan 5,8 S rRNA untuk spesies G.
rostochiensis serta fragmen DNA berukuran 391 bp dengan menggunakan
pasangan primer ITS-1 P dan 5,8 S rRNA untuk spesies G. pallida pada populasi
campuran.
Spesies G. pallida yang tidak teramplifikasi dalam penelitian ini,
dimungkinkan karena pasangan primer PITSp4 dengan primer universal ITS5
tidak relevan untuk mendiagnosis sista nematoda yang ditemukan dalam populasi
campuran pada 12 lokasi survei yang tersebar di Kabupaten Wonosobo dan
Kabupaten Banjarnegara. Hasil ini sama dengan yang dilakukan Grubisic et al.
(2013), dimana G. pallida tidak terdeteksi dengan menggunakan pasangan primer
PITSp4 dengan ITS5. Sedangkan pada penelitian sebelumnya, Grubisic et al.
(2007) berhasil mengidentifikasi spesies G. pallida pada populasi campuran di
wilayah yang sama di Kroasia.
Identifikasi spesies berdasarkan karakter molekuler memang memiliki tingkat

Universitas Sumatera Utara

akurasi yang tinggi. Hal ini disebabkan pada metode ini perbedaaan anatara isolat dapat
dilacak pada tingkat gen, sehingga memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi untuk
mengidentifikasi spesies sista campuran. Sebaliknya identifikasi spesies berdasarkan
karakter morfologi hanya dapat mengidentifikasi spesies yang dominan dari sampel
yang digunakan dalam pengamatan.
Kemudahan dan akurasi metode Bulman dan Marshall (1997) untuk
mengidentifikasi Globodera spp. yang sebelumnya telah diverifikasi oleh
sejumlah penelitian menggunakan berbagai populasi di seluruh dunia termasuk di
Indonesia untuk G. rostochiensis dan G. pallida. Namun, beberapa studi (Thiery
& Mugniery, 1996; Subbotin et al., 2000; Skantar et al., 2007) melakukan
perbandingan secara langsung antara G. rostochiensis, G. pallida dan G. tabacum,
agar mendorong kita untuk lebih memvalidasi dan memperluas identifikasi
berbasis DNA terhadap kekerabatan dari ketiga spesies tersebut.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Nematoda sista kentang terinfestasi di seluruh areal pertanaman kentang di
Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo Jawa Tengah dengan kepadatan populasi
rendah hingga tinggi.
2. Infeksi NSK dapat terjadi pada tanaman muda hingga menjelang panen, dari
ketinggian 1500 m dpl – 2100 m dpl.
3. Kultivar kentang yang terinfeksi saat survei dilakukan adalah Granola dan Granola
MZ (hasil persilangan Granola lokal dan Granola asal Jerman).
4. Identifikasispesiesberdasarkan

karakter

morfologi

berhasil

mengidentifikasi

populasi NSK (isolat C6), yaitu Globodera rostochiensis.
5. Identifikasi spesies berdasarkan karakter molekuler berhasil mengidentifikasi
populasi NSK (isolat C1-C12) yaitu Globodera rostochiensis.

Saran
1. Perlu dilakukan perunutan asam nukleat dari fragmen DNA hasil amplifikasi NSK
isolat seluruh arela pertanaman kentang di Jawa Tengah.
2. Perlu dilakukan studi biologi NSK terhadap faktor-faktor biotik (patogen tanah) dan
abiotik (temperatur, ketinggian, tanah).

Universitas Sumatera Utara