Survei dan Identifikasi Nematoda Sista Kentang (Globodera spp.) Asal Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah

TINJAUAN PUSTAKA
Globodera spp.
Globodera spp. adalah salah satu genus dari keluarga Heteroderidae.
Genera lainnya adalah Heterodera, Bidera, Cactodera, Dolichodera, Punctodera,
Sarisodera, Meloidera, Verutus, Cryphodera, Atalodera, Thecavermiculatus dan
Hylonema (Marshall, 1998). Perbedaan utama betinadewasa genus Globodera
dengan genera lain tersebut adalah terletak pada karakter bentuk tubuh, sidik
kutikula (cuticle pattern), vulva, dan anus (Marks &Brodie, 1998). Khusus untuk
genera Heterodera dan Globodera, salah satu cara terpenting untuk identifikasinya
adalah dengan mengamati morfologi sidik pantat. Kulit bagian posterior sista
ditandai dengan guratan-guratan kulit yang dikenal sebagai sidik pantat (perineal
pattern) (Ostojic et al., 2011).
Nematoda sista kentang (G.rostochiensisdan G. pallida) merupakan
nematoda terpenting pada tanaman kentang dan memperoleh perhatian besar
dalam budidaya kentang di dunia. Nematoda tersebut tersebar luas di daerah
subtropik dan tropik yang berhawa sejuk (Taylor, 2009).
Secara bio-ekologi, NSK termasuk nematoda endoparasit sedentari
(bersifat menetap) yang umumnya tetap tinggal pada inangnya, walaupun
inangnya tersebut telah rusak bahkan mati (Indarti et al., 2004). Nematoda ini
berukuran sangat kecil dan hanya dapat dilihat dengan mikroskop. Pada akar halus
atau akar samping, nematoda ini membentuk sista yang dapat dilihat dengan mata.

Spesies Globodera, sebagian besar membentuk sista yang menempel
dengan bagian anterior tubuhnya masuk ke dalam korteks, sedangkan bagian

Universitas Sumatera Utara

posteriornya di luar jaringan (semi endoparasit). Bentuk sistanya membulat,
warnanya sebagian besar kuning-keemasan, sebagian lagi putih dan kuning
sampai cokelat (Gitty & Maafi, 2010).
Klasifikasi
Menurut Wollenweber (1923); Behrens (1975) klasifikasi nematodaG.
rostochiensis dan G. pallida adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Nematoda

Klas


: Secernentea

Subklas

: Diplogasteria

Order

: Tylenchida

Superfamili

: Tylenchoidea

Famili

: Heteroderidae

Subfamili


: Heteroderinae

Genus

: Globodera

Spesies

: Globodera rostochiensis dan Globodera pallida

Bio-Ekologi NSK
Globodera spp. dalam perkembangannya melalui tahapan stadia telur,
juvenil, dan dewasa. Daur hidup antara 5-7 minggu tergantung kondisi
lingkungan. Produksi telur 200-500 butir (Marks &Brodie, 1998; Ostojic et al.,
2011).

Kemampuan

bertahan


hidup

pada

kondisi

lingkungan

kurang

menguntungkan (tidak ada inang, suhu sangat rendah, suhu tinggi dan kekeringan)
dengan membentuk sista dan mampu bertahan lebih dari 30 tahun. Nematoda aktif
kembali setelah kondisi lingkungan sesuai, terutama adanya eksudat akar tanaman

Universitas Sumatera Utara

inang (Ferris, 2013).
Juvenil stadium dua (J2) yang bersifat infektif mengadakan penetrasi
secara langsung pada akar primer dan muda atau bagian ujung meristem dari akar

sekunder. Selanjutnya masuk ke dalam korteks secara intraseluler dan
menyebabkan kerusakan bahkan kematian sel. Setelah dua hari melakukan
penetrasi, juvenil beristirahat dan makan pada sel korteks dan jaringan silinder
pusat, sehingga menyebabkan pembengkakan sel. Kelompok sel yang
membengkak tersebut dinamakan syncytia yang dikelilingi oleh satu lapisan sel
hiperplastis. Dalam perkembangan juvenil menjadi stadium tiga, sel korteks di
sekeliling juvenil pecah karena semakin membesarnya tubuh juvenil nematoda,
terutama nematoda betina (EPPO, 2013).
Sebagian besar spesies Globodera sudah membentuk sista yang menempel
pada bagian anterior tubuhnya menyusup ke dalam korteks, sedangkan bagian
posteriornya di luar jaringan akar (semi-endoparasit). Bentuk sista bulat (globular
atau speroid). Pada G. rostochiensis awalnya sista berwarna kuning keemasan
kemudian menjadi coklat atau coklat-kehitaman, sedangakan G. pallida semula
sista berwarna putih kemudian menjadi kuning atau kuning-kecoklatan (Mulyadi
et al., 2003).
Menurut Sysoevaet al.(2011) kisaran temperatur yang optimum untuk
proses penetasan telur nematoda NSK adalah 18-24oC, sedangkan untuk
perkembangan dan reproduksinya antara 15-21oC. Meskipun begitu tidak berarti
bahwa di luar kisaran itu tidak akan mampu berkembang dengan optimal,
mengingat bahwa NSK terbukti dapat dikembangkan di dalam rumah kaca di

Bandung yang kisaran suhunya antara 20-27oC. Rangsangan eksudat akar inang

Universitas Sumatera Utara

tersebut mampu menyebabkan sekitar 60-80% telur menetas, sedangkan air hanya
mampu menyebabkan sekitar 5% telur menetas (Hadisoeganda, 2006).
Mekanisme Kerusakan
Secara fisiologi tanaman yang terinfeksi NSK mengalami proses fisiologi
yang abnormal. Patogen ini menghambat distribusi dari hasil asimilasi pada
jaringan akar, sehingga terjadi pengurangan aktifitas fotosintesis (Bacic et al.,
2011) akibat pemanfaatan sumber makanan yang dilakukan oleh patogen ini.
Secara keseluruhan, pengurangan pertumbuhan daun terjadi pada awal dan
sebelum akhir dari masa pertumbuhan. Pengurangan pertumbuhan dapat dilihat
dari jumlah NSK yang ada pada tanaman tersebut (Marks & Brodie, 1998; Ostojic
et al., 2011). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya reduksi dalam konsentrasi
asimilat hingga kandungan karbohidrat sangat rendah (Zouhar & Rysanek, 2002).
Infeksi pada tanaman dapat mengganggu fisiologinya baik pertumbuhan
maupun hasilnya. Hal ini juga dijelaskan oleh Trudgill (1995); Marks dan Brodie
(1998) yang menyimpulkan bahwa NSK dapat mengurangi hasil dari umbi
kentang yang pengurangannya dapat dihitung dari pertumbuhan daun.

Identifikasi Globodera
Identifikasi spesies NSK adalah langkah awal yang harus dilakukan untuk
mendapatkan teknik pengendalian yang tepat. Ada beberapa teknik identifikasi
NSK yang dapat dilakukan yaitu secara konvensional, misalnya dengan
pengamatan dan pengukuran ciri-ciri morfologi (morfometri), uji serologi (Schots,
1988), dan teknik molekuler dengan menggunakan sidik jari DNA melalui PCR
(Fleming & Power, 1998).
Menurut Oro et al. (2010), identifikasi pada sista dapat dilakukan dengan

Universitas Sumatera Utara

menghitung jumlah paralel ridges antara anus dan vulva (Granek ratio) yang bisa
didapatkan dengan membandingkan nilai dari jarak anus hingga diameter terluar
vulva dan nilai diameter vulva, sedangkan identifikasi pada J2, menurut Fleming
danPower (1998) dapat dilihat dari tipe kepala (tingkat sklerotisasi pada rangka
kepala), tipe stilet (stomatostylet dan odontostylet), bentuk knob stylet, tipe
esofaghus, posisi intestinum terhadap esofagus, tipe vulva, dan tipe ekor (ada
tidaknya bursa).
Selain metode konvensional di atas, proses identifikasi secara molekuler
telah banyak digunakan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Dalam bidang

fitopatologi, teknik PCR banyak digunakan untuk tujuan deteksi patogen, identifikasi
patogen, karakterisasi keanekaragaman patogen maupun untuk diferensiasi patogen
tumbuhan.Hal ini disebabkan proses pengujian didasari dengan perbedaan di dalam
protein, lemak, karbohidrat dan DNA untuk identifikasi NSK. Salah satu metode
molekuler yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi NSK adalah metode PCR
dan analisis DNA (Oro et al., 2010).
Teknik PCR merupakan teknik untuk keperluan amplifikasi DNA secara in vitro
(Mullis et al., 1986) yang seringkali mempunyai sensitifitas tinggi. Amplifikasi DNA
secara in vitro dengan PCR terdiri atas beberapa siklus yang setiap siklusnya terdiri dari 3
tahap, yaitu tahap denaturasi, pelekatan (annealing) dan pemanjangan (elongasi).
Tahap denaturasi adalah pembentukan DNA utas tunggal dari DNA yang
komplementer yang umumnya terjadi pada suhu ≥ 95 oC. Tahapan annealing yaitu
pelekatan primer yang terjadi pada suhu berkisar antara 35-65 oC, tergantung pada
panjang pendeknya oligonukleotida primer yang digunakan. Sedangkan tahap
pemanjangan primer terjadi sebagai hasil aktifitas polimerase oleh enzim Taq

Universitas Sumatera Utara

polymerase, yang pada umumnya dilakukan pada suhu 70oC (Manigan et al., 1997;
Skantar et al., 2007).

Analisis RFLP dari ITS sering digunakan untuk identifikasi spesies Globodera
(Subbotin et al., 2000; Sircaet al., 2010). Teknik PCR-DNA RFLP, digunakan secara
rutin untuk identifikasi NSK dan spesies yang mempunyai kekerabatan yang dekat,
berdasarkan pada teknik RFLP dan informasi sekuen dari populasi dan spesies yang
berbeda, tetapi saat ini beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa sekuen
intraspesifik di daerah ITS dari populasi NSK.

Universitas Sumatera Utara