Konsekuensi dari Penghapusan Choice of L

Konsekuensi dari Penghapusan Choice of Law dalam Pewarisan
Hukum adat merupakan hukum yang masih di pegang teguh oleh masyarakat Indonesia dan
hukum tersebut masih eksis hingga saat ini. Begitu pula dengan hukum waris adat,
masyarakat masih menganggap jalur penyelesaian secara adat masih relevan dan memberi
nilai keadilan bagi masyarakat yang mempergunakan hukum waris adat tersebut.

Di Batak masih terdapat sistem patrilinial, begitu pula di Bali. Di daerah Minangkabau masih
di anut sistem matrilinial sedangkan di jawa masih terdapat sistem parental. Dimana ketiga
sistem tersebut masing-masing sangat mempengaruhi penyelesaian sengketa waris. Dan
setiap daerah memiliki ke-khas-an sendiri, semisal sistem pewarisan antara diBatak dan di
Bali yang walapun sama-sama menganut sistem Patrilinial antara Batak dan Bali memiliki
perbedaan-perbedaan dan kekhasan daerah masing-masing yang di sesuaikan rasa kepatutan
dan keadilan menurut daerah masing-masing.

Begitu juga dengan hukum waris Islam, dengan masuknya Islam di Indonesia juga
mmpengaruhi penyelesaian sengketa waris, dimana memberikan salah satu alternatif dalam
menyelesaikan sengketa waris bagi masyarakat, terutama bagi yang beragama Islam untuk
memberi kesempatan menjalankan syariatnya yaitu menyelesaikan sengketa waris secara
Islam.

Begitu juga dengan sistem waris Barat atau waris BW dimana sistem ini juga masih di pakai

sebagai penyelesaian sengketa waris untuk orang-orang barat atau orang yang beragama
selain Islam. Hal ini tidak lepas dari masih adanya pluralisme hukum yaitu, penggolongan
penggunaan sistem hukum untuk penduduk Indonesia seperti yang di atur dalam pasal 131 I.S
(Indische Staatsregeling)

yang merupakan produk kolonial. Dan penggolongan tersebut

berimplikasi dalam penyelesaian sengketa waris. Sehingga hukum waris BW pun masih
berlaku hingga saat ini.

Dengan demikian, sistem pewarisan di negeri ini pun beragam, tetapi secara garis besar
terdapat tiga sistem pewarisan, yaitu waris BW, waris Islam dan waris adat. Dan juga seperti
kita ketahui penyelesaian sengketa waris ini merupakan wilayah yang sangat rawan dalam
mencari

solusi

mekanisme

hukumnya.


Seperti

kata

Prof.Mochtar

Kusumaatmaja

mengungkapkan dalam bukunya Masayakat dan Pembinaan Hukum Nasional, hal. 14, bahwa,
”…bidang hukum waris dianggap sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar
bidang-bidang yang bersifat ‘netral’ seperti hukum perseroan, hukum kontrak dan hukum lalu
lintas (darat, air dan udara)”. Dengan demikian, bidang hukum waris ini menurut Mochtar
Kusumaatmadja, termasuk bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan, adanya
komplikasi komplikasi cultural, keagamaan dan sosiolagi.

Choice of Law, Social Justice dan Eksistensi Hukum Adat
Seperti kita ketahui Sebelum adanya Undang-Undang tentang Peradilan Agama (UU nomor 3
tahun 2006) masih terdapat mekanisme choice of law dalam pewarisan sebagimana di atur
dalam UU nomor 7 tahun 1989.


Dalam penjelasan umum Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 juga di jelaskan “Dalam
kaitannya dengan perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama
yang menyatakan para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih
hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus” Sehingga
dengan demikian choice of law atau pemilihan hukum untuk sengketa waris tidak lagi
berlaku.

Selain itu menurut pasal 49 ayat (1) UU nomor 3 tahun 2006 dan di dukung oleh penjelasan
umum UU nomor 3 tahun 2006 tersebut di atas, Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka
orang yang beragama Islam harus menyelesaian sengketa secara Islam di Pengadilan Agama
dalam sembilan hal yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama tersebut.

“Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 3 tahun 2006

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. warta;
c. wasiat;

d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.”

Dalam uraian sebelumnya, kita pahami bahwa penyelesaian waris ini sangat riskan dan perlu
nilai-nilai keadilan, dimana kita juga pahami keadilan itu sangatlah relatif bahkan ada
adigium menurut Cicero, “Summun Ius Summa Iniuria”. Keadilan Tertiggi adalah ketidak
adilan yang tertinggi. Nilai kadilan menurut satu orang dengan orang lain pun berbeda-beda,
sehingga tidak ada kepastian dalam keadilan dan untuk mencapai keadilan sangatlah tidak
mungkin yang bisa di lakukan sebagai manusia hanyalah mendekati keadilan.

Dengan begitu, kita tidak bisa menilai bahwa suatu sistem penyelesaian waris tertentu lebih
bagus dan lebih adil ketimbang sistem penyelesaian waris yang lain. Mungkin, kita bisa
memberi penilaian bahwa sistem waris Islam lah yang paling baik dan adil, tetapi belum tentu
di nilai adil oleh masyarakat Batak maupun masyarakat Minagkabau yang menganut sistem
matrilinial.


Bicara tentang baik dan buruk, maka jika boleh menyimpang sedikit, hal tersebut membuat
terbesit suatu pemikiran dalam buku Rahwana Putih karya Sri Teddy Teddy dimana beliau
mengungkapkan ,
“ ....Pertentangan dari memandang gelap atau terang dan lain sebagainya yang kemudian
mengerucut pada penilaian baik atau buruk, ternyata hanyalah pandangan sepihak dari rasa
aku masing-masing orang yang memiliki keinginan untuk menilai. Jika keinginan rasa aku si
penilai terpebuhi, apa dan siapa pun yang terkait dengan penilaiannya adalah baik. Ketika
keinginan rasa aku si penilai tidak terpenuhi, apa dan siapa pun yang terkait dengan
penilaiannya adalah buruk”

“ .....Baik dan buruk, benar dan salah, jahat dan tidak jahat, sesat dan tidak sesat, surga dan
neraka serta sejenisnya sangatlah tergantung pada sudut mana hal itu di pandang. Ibarat
perbandingan malam dengan siang hari yang membedakannya hanyalah dimana letak bumi
di pandang dari arah matahari”

Sebenarnya, mengapa saya membahas tentang baik dan buruk, karena hal ini berkaitan
dengan penghapusan Choice of Law dalam penyelesaian waris, karena ada beberapa pendapat
mengapa orang Islam di dorong dan seakan-akan di paksa menyelesaikan masalah waris di
Pengadilan Agama secara Islam adalah selain karena untuk kepastian hukum dan penguatan
kedudukan Pengadilan Agama juga karena di dorong bahwa orang Islam mau tidak mau

harus menjalankan syariatnya untuk menyelesaikan secara Islam karena di anggap bahwa
waris Islam-lah yang paling adil dan paling baik. Padahal Waris ini berkaitan dengan nilainilai keadilan yang mana antara satu dengan yang lain berbeda dan memiliki prespektifnya
masing-masing.

Maka, saat ini mau tidak mau, suka tidak suka setiap orang yang beragama Islam haruslah
menyelesaikan sengketa waris melalui Pengadila Agama melalui pewarisan Islam yang mana
belum tentu di rasa paling baik dan adil bagi masyarakat yang berperkara itu sendiri. Lalu,
kalau seperti itu, apakah bisa orang Islam mnyelesaikan sengketa tidak secara Islam di
Pengadilan Agama? Tentu saja bisa, tetapi di luar peradilan, di jalur non-litigasi. Tetapi, saya

sempat menemukan kasus di putusan kasasi nomor 1119 K/PDT/2008 dimana terdapat orang
islam yang menyelesaikan sengketa waris. Di tahap PN dan PT, pengadilan menerima
gugatan ter sebut untuk di selesaikan secara waris adat. Tetapi, tiba-tiba dalam putusan
kasasi, gugatan tersebut N.O(niet- ontvankelijk verklaard) alias tidak dapat di terima, alasan
dari majelis kasasi adalah pasal 49 ayat (1) UU nomor 3 tahun 2006, dimana setiap orang
Islam harus menyelesaikan sengketa secara Islam di Pengadilan Agama. Adapun bunyi
pertimbangan majelis hakim kasasi dalam putusannya halaman 18 adalah sebagai berikut,
“Bahwa perkara ini adalah sengketa mengenai warisan oleh orang-orang yang beragama
Islam, sehingga berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, merupakan

kewenangan Peradilan Agama”

Mungkin ini kritik terhadap Mahkamah Agung. Jika putusan tersebut menjadi yurispudensi
dan majelis hakim hanya menafsirkan secara tekstual dan leterlijk, maka sangat bahaya.
Bukankah hal tersebut dapat mematikan eksistensi hukum waris adat sendiri, yang kita
ketahui masih berlaku dan eksis di tengah kehidupan masyarakat. Bukankah hakim harus bisa
menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan hakim seharusnya tidak hanya sebagai
corong undang-undang saja, meskipun negara kita menganut Civil Law System.

Hakim harus dapat mendobrak Peraturan Perundang-undangan yang dirasa kurang sesuai dan
juga harus bisa menggali nilai-nilai keadilan di masyarakat, karena di tangan hakimlah salah
satu cara paling cepat dan efisien untuk menemukan dan mencari norma-norma keadilan dan
kepatutan di masyarakat. Kalau menunggu produk dari legislatif tentu lama karena ada
kepentingan-kepentingan politik di dalamnya sedangkan masyarakat butuh mendapat
keadilan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.

Selain itu, selain masyarakat yang beragama Islam di ‘paksa’ untuk tunduk dalam
penyelesaian waris, eksistensi hukum waris adat juga terancam padahal belum tentu umat
Islam menginginkan sengketa warisnya di selesaikan secara Islam, bukankah dengan
penyelesaian sengketa adalah untuk memutus sengketa, bukan malah menambah sengketa

baru karena masyarakat kurang sepenuh hati dalam menerapkan waris Islam yang mana kita

ketahui, waris Islam masih di terapkan secara leterlijk oleh hakim Pengadilan Agama,
hukum-hukum Islam yang di terapkan secara textbook belum di terapkan secara kontekstual.

Sehingga menurut saya Choice of Law dalam pewarisan masih di perlukan, karena bisa jadi
orang yang beragama Islam itu lebih memilih penyelesaian secara waris adat yang di
anggapnya lebih adil bagi para pihak yang berperkara. Kalau dianggap choice of law kurang
mencerminkan kepastian hukum, menurut saya juga keliru, bukankah choice of law itu
menajmin hak-hak warga negara, dan tentu saja kepastian hukum ada, karena kedua belah
pihak yang berperkara telah memilih sendiri mekanisme penyelesaiaannya.

Tetapi, tentu saja timbul konflik, jika para pihak memilih sendiri, tentu para pihak memilih
sistem yang menguntungkan diri sendiri, dimana bisa mendapat harta yang lebih banyak.
Inilah yang di sebut sebagai tidak adanya kepastian hukum. Saran saya, mungkin sebelum
masyarakat memilih sistem pewarisannya, harus di setujui oleh kedua belah pihak terlebih
dahulu. Jika kedua belah pihak tidak menyetujui sistem penyelesaian sengketa pewarisan,
maka mau tidak mau, suka tidak suka para pihak yang bersengketa harus tunduk pada
mekanisme yang telah di tetapkan oleh Undang-Undang. Misal, kalau Islam ya harus di
selesaikan secara Islam.


Mungkin kalau boleh memberi masukan, penjelasan umum dalam UU nomor 3 tahun 2006
itu di ubah menjadi, “ Choice of Law tetap berlaku sepanjang di kehendaki oleh kedua belah
pihak yang berperkara” atau dalam pasal 49 UU tahun 2006 di ubah menjadi ,”Pengadilan
Agama menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang ..a......b. waris, kecuali para pihak setuju untuk menyelesaikan dengan mekanisme
penyelesaian sengketa hukum waris yang lain....”. Sehingga dengan begitu kepastian hukum
tetap ada dan hukum adat pun masih eksis dan juga masyarakat dapat memilih sendiri
mekanisme penyelesaian hukum waris yang seadil-adilnya menurut para pihak.

@asharisetya

asharisetya@gmail.com